Katbah (By Ghulam Abbas)

1
0
Terkunci
Deskripsi

Sekilas tentang penulis:

Ghulam Abbas

Ghulam Abbas lahir pada tahun 1090 di Amritsar (British India-sekarang bagian Punjab India). Dia tumbuh dan mendapat pendidikan dalam lingkungan sastra budaya Lahore. Menulis sudah bagian dari darahnya. Kehidupan sastranya dimulai sejak tahun 1925.

 

Pada kurun 1925-1928 dia menerjemahkan beragam cerita pendek berbahasa asing. Dari tahun 1928-1937 dia diberi kepercayaan menjadi editor majalah anak 'Phool' yang berarti bunga dan majalah wanita 'Tahzeeb-e-Niswaan"...

2,822 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
100
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Kapal yang Karam
0
0
Judul Cerpen: Kapal yang KaramPenulis: Milana  Lagi, gadis itu terlihat linglung. Katanya dia ingin pergi ke Mall Centaurus sebelum tiba di rumah. Akan tetapi, dia tidak turun saat bus Metro berhenti di halte ini. Suara pengumuman dari speaker bus pun seperti tak digubris. Dia bahkan tidak sadar ketika aku menaiki bus yang sama dan berdiri dari jarak yang hanya beberapa langkah; mengamatinya dalam diam. Matanya menerawang jauh dari balik jendela kaca. Pikirannya sedang tidak di sini, terbang entah ke mana. Bus sebentar lagi akan berhenti di halte Ibnu Sinna. Namun, gadis itu masih duduk mematung, tidak bersiap-siap hendak turun. Maka, tidak ada jalan lain selain menyadarkannya. “Naura sayang, sebentar lagi Metro-nya berhenti di halte Ibnu Sinna. Ayo, pulang bareng!” Gadis yang bernama Naura itu terperanjat. Seakan bangun dari tidur panjang. Matanya dengan cepat memindai situasi sekitarnya. Lehernya menoleh ke segala arah. “A-a-ammah (tante) … kok bisa ada di sini?” Jarinya menunjuk ke arahku. Mata dan mulutnya kini terbuka lebar. Aku tersenyum geli melihat reaksinya. Jika ini semacam ‘prank’, kupikir ini termasuk berhasil. “Aku sudah naik dari halte sebelum Mall Centaurus. Kamunya aja yang banyak melamun sampai ngga sadar ammah naik bus ini. Kamu bahkan lupa turun di halte mall itu. Ammah ‘kan jadi khawatir sama kamu.” Naura menggaruk kepalanya. Pipinya bersemu merah menahan malu. “Maaf ya sudah bikin Ammah Erma khawatir.” Kutarik tangannya agar berdiri lalu mengikutiku. “Ya sudah, ayo cepetan turun. Busnya sudah sampai di halte apartemen kita.” Dengan patuh Naura mengikuti langkahku. Perjalanan dari halte bus ke apartemen sebenarnya tidak memakan waktu lama. Hanya kurang dari sepuluh menit berjalan kaki. Kami berjalan bersisian, berbincang mengenai hal yang umum saja. Dia lebih banyak menjadi pendengar. Aku pun sengaja tidak menyinggung perilakunya belakangan ini. Menunggu hingga dia siap menceritakannya kepadaku. Langit Kota Islamabad sore ini cukup cerah. Namun, tidak dengan hati Naura. Mendung seakan menyelimuti hati dan pikiran. Entah apa penyebabnya ….***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan