
Hanya tengtang sekotak coklat dan sejuta luka
NOTE : CERPEN
Bagian dari seri Sejuta Rasa
- Sekotak Coklat yang Terabaikan ✔️
- Sepotong Kue
- Dandelion
- Muara Rindu
- Takdir yang di Paksa Lepas
- Imam Tarawih
- Janji dan Menanti
Awal yang manis tidak dapat menentukan akhir yang manis juga, terkadang sesuatu yang dimulai dari hal-hal manis dapat menimbulkan sakit yang luar biasa, contohnya saja sakit gigi. Coklat, es krim, kembang gula dan makanan manis lainnya adalah penyebab utama dari rasa nyeri di gigi. Namun, bukan hanya makanan manis saja yang dapat menimbulkan sakit luar biasa, terkadang senyuman manis juga dapat membuat sakit. Tapi bukan sakit gigi melainkan sakit hati.
Ini hanya tentang sekotak coklat, hadiah pemberian seseorang yang sangat manis namun menyakitkan diwaktu bersamaan. Tentang bagaimana sekotak coklat mengantarkan kepedihan mendalam yang sangat membekas di ingat dan tentang betapa indah senyuman yang berhasil mencuri segalanya. Hanya sekotak coklat yang berhasil membuat luka sedalam palung mariana yang tidak ada ujungnya.
Perkenalkan dia adalah Bima Mahendra Pratama, pemeran utama kisah ini yang memiliki kepribadian biasa saja dan tampang yang pas-pasan. Bukan maksud menjelekkan, namun kriteria tampan atau bahkan jelek tidak ada pada dirinya. Dia juga bukan manusia yang memiliki bakat istimewa atau bukan juga manusia istimewa. Dia hanya seorang siswa biasa yang bahkan tidak pernah di pandang mata. Selalu terabaikan dan hanya menyendiri dalam kesunyian yang penuh keramaian.
TING… TIDING TING
TING… TIDING TING
“Suara apa itu?”
“Yap, suara bel sekolah. Aneh sih, tapi mau bagaimana lagi, memang itu kenyataannya. Suara bel upacara yang selama bertahun-tahun tidak pernah di ganti. Mau heran tapi juga sadar diri, ini cerita tentang apa? Mau protes juga gak bisa kan Authornya yang ngarang cerita bukan saya. Saya apalah, cuma tokoh fiksi yang gak ada dan muncul akibat pemikiran gak jelas Authornya. Jadi mau gimana pun tetep gak bisa protes. Ya paling cuma ngejalanin hidup yang udah di atur alurnya sama Author. So woles santai jalanin kisahnya.”
Bel berdering nyaring menandakan upaca bendera akan dilaksanakan lima menit lagi. Seluruh siswa yang masih berada di depan gerbang sekolah dengan buru-buru mempercepat langkahnya tanpa mempedulikan apapun yang mereka tabrak. Termasuk Bima yang sudah beberapa kali terinjak, tersungkur, jungkir balik-yang kurang hanya roll depan belakang, tengah diam tanpa berani menegur mereka. Maklumlah dia kan mantan badut, so pasti bisa atraksi.
Upacara berjalan lancar seperti biasanya, tidak ada yang berubah paling hanya pengibar benderanya saja yang ganti manusianya. Amanat yang selalu di sampaikan juga itu-itu saja, tentang tujuan hidup dan tentang membentuk karakter diri. Hal yang sudah biasa terjadi seakan kembali memutar kaset yang sama berulang-ulang kali, hingga rasanya keseluruhan dialog sudah hapal di luar kepala. Amanat yang memang hanya di tunjukkan untuk Bima seorang bagaikan sendirian keras yang tak manusiawi.
‘Masih lama lagi, kah?’ sebelah tangannya mengibas-ngibasi wajahnya yang kemerahan, panas terik matahari sangat amat menyiksa apalagi mendengar amanat yang selalu menyindir dirinya berulang-ulang kali pasti rasanya sangat haredang. Sebisa mungkin Bima tidak menggunakan hatinya agar tidak terlalu sakit saat mendengarkan amanat yang di sertai hujatan dari siswa lainnya. Tak terkecuali para junior yang tidak mengahargainya.
Kalau tidak salah, ramalan cuaca tadi mengatakan akan turun hujan di sertai petir, namun apa hasilnya? bullshit semata. Panas pagi ini bukan dari sinar ultraviolet melainkan sinar laser yang panasnya sungguh terlalu. Untung saja tadi Bima tidak lupa membawa topinya, jadi dia tidak perlu langsung terpapar sinar matahari dan dapat menghindari hukuman di jemur di bawah tiang bendera sampai bel pergantian pelajaran berbunyi. Dia juga tidak perlu menjalankan hukuman membersihkan WC putra yang terkenal bau jengkolnya. Heran juga sih, kenapa WC putra setiap paginya selalu bau jengkol, apa mungkin ada sesosok jin penunggu yang memang doyan makan rendang jengkol? atau memang dari sononya udah setelan pabrik setiap pagi bau jengkol. Yah, kita tidak tahu pastinya.
Setelah setangah jam lebih akhirnnya upaca selesai dengan dua siswi yang di laporkan pingsan akibat teriknya sang surya. Mungkin bagi mereka panasnya matahari hari ini sudah hampir mengimbangi panasnya padang mashar.
“Salah si Surya, ngapain dia masuk. Coba bolos, pasti mendung tuh langit.” Celetuk salah seorang siswa menunjuk temannya yang berada di barisan depan dekat dengan barisan wanita. Ntah apa masalahnya dengan surya yang tidak tahu apa-apa. Surya satu ini adalah manusia bukan matahari di langit sana.
“Surya gak salah, yang salah itu langit. Ngapain dia senyum-senyum mulu, kan jadi cerah nih matahari. Mintanya dia nangis biar turun tuh hujan.” Lanjut temannya yang tiba-tiba berkomentar kembali menyalakan siswa lainnya yang tidak tahu apa-apa. Kasian sekali Surya dan langit yang selalu menjadi kambing hitam teman kelasnya.
Perdebatan itu berakhir dengan cepat di karnakan seorang guru dengan tiba-tiba mendatangi barisan mereka dan bertanya tentang keberadaan Bima yang sudah tidak tau kemana. Guru itu adalah wali kelas mereka yang sejak lama selalu memperhatikan dan membela Bima jika dia dalam kesulitan, tak terkecuali kejadian ini yang biasa terjadi. Mungkin Bima sudah muak dengan semuanya sehingga apapun yang telah di sampaikan kepsek bahkan hujatan siswa lain tidak dia gubris dan hanya menganggapnya sebagai angin lalu saja. Bima dengan sengaja kabur menghindari Wali kelasnya bukan tanpa sebab, dia hanya tidak ingin menyeret wanita tua itu dalam masalahnya. Dia tidak mau kejadian lama terulang kembali dan membuatnya semakin merasa tidak berguna. Dia juga tak mau mengingat kembali apa yang baru saja dia dengar di lapangan yang penuh mulut berbisa. Memang benar adanya jika seseorang harus memiliki karakter dalam dirinya, namun apa yang mereka tau tentang Bima yang selalu terabaikan bahkan saat dia baru mulai akan berbaur. Sedari awal merekalah yang membuat jarak dengannya dan berhasil membuatnya merasa tersisihkan. Hal yang membuatnya merasa lebih baik menyendiri dalam kesunyian. “Manusia itu bukan makhluk sosial, melainkan makhluk yang suka mendeskriminasi.”
Tak terasa bel pulang sekolah sudah berdering. Hari yang sangat panjang namun membosankan begitu cepat berlalu tanpa jeda sedetikpun. Semua berjalan seperti semestinya dengan suara keributan dalam kesunyian. Tak ada yang berubah.
Saat Bima akan melangkahkan kakinya keluar kelas, dia di kejutkan dengan seorang siswi yang datang ntah dari mana. Spontan dia langsung menghentikan langkahnya dan menatap siswi itu dengan mata terbelalak, kaget pastinya. Bukannya maaf yang di dapatkan, tanpa rasa bersalah siswi itu meninggalkan Bima. Kejadian yang sudah biasa terjadi namun tetap saja hal ini sedikit membuat perasaan Bima tereluka, dia merasa seperti tidak di perlakukan layaknya manusia pada umumnya.
Hal yang paling mengesalkan kembali terjadi. Bagaimana bisa hujan turun saat dirinya ingin segera pulang kerumah. Kenapa tidak turun saat upacara bendera saja, kenapa mesti saat jam pulang sekolah, mungkin itu yang ada di pikirannya saat ini.
“Menyebalkan.”
Walauapun Bima sudah membawa payung, tetap saja tidak dapat menghalau semua tetesan hujan yang tertiup angin kencang. Bisa di katakan, kepala selamat tapi badan dan kaki jadi korbannya. Yah, beginilah nasib siswa yang kalau pulang-pergi sekolahnya jalan kaki. Mau tidak mau Bima harus menunggu beberapa menit hingga hujannya sedikit mereda. Menunggu di pojokan yang memang tidak banyak orangnya.
Saat kedua Netranya menatap langit yang penuh rintik, ntah mengapa secerca cahaya muncul seakan membelah awan gelap dengan kilauan cahayanya. Sebuah pikiran terbesit di kepalanya saat menatap kilauan cahaya yang bahkan matanya sendiri tidak dapat melihatnya dengan jelas. Dia terpicing dan mulai mengeluarkan air mata, namun pandangannya tetap di tujukan pada cahaya di langit sana. Bodoh emang.
Bima tak sadar saat pikirannya mulai melayang, hujan berhenti dan menyisakan dirinya sendiri di lorong kelas yang sunyi. Seluruh siswa yang sempat menunggu hujan reda secara tiba-tiba menghilang entah kemana. Dan lagi-lagi kesunyian selalu menemaninya tanpa absen sedetikpun dalam hidup Bima.
Dengan wajah datar, dia melangkahkan kakinya yang kini sudah berganti mengenakan sepasang sandal jepit. Ya, sepatu sekolah yang tadi dia gunakan sudah ada dalam ranselnya yang terbungkus plastik kresek agar bukunya tidak kotor. Dia sengaja melepas sepatu sekolahnya agar tidak basah terkena genangan air yang banyak berserakan di sepanjang jalan menuju rumahnya. Dia juga mengenakan mantel hujan agar seragamnya tidak basah terkena cipratan dari kerdaraan yang berlalu lalang di jalan kota. Sungguh antisipasi yang sangat luar biasa dari seorang cowok.
Klakson dan asap kendaraan kembali memenuhi jalanan. Bima yang memang tidak suka keramaian terlihat terburu-buru untuk meninggalkan jalan raya sesegera mungkin. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat salah seorang siswi yang tampaknya terkena musibah. Bajunya terlihat basah akibat cipratan kendaraan, bahkan pakaian dalamnya terlihat samar. Dia yang awalnya tidak peduli kini merasa kasian pada siswi itu, apalagi saat mengetahui bahwa ada beberapa pria yang tengah menggodanya terang-terangan.
“Ini,” Di sodorkan hoodie miliknya yang memang sengaja tidak dia gunakan. “Kenapa pulangnya gak nungguin aku?” Lanjut Bima berkata sambil menatap mata gadis di hadapannya dengan ekspresi seperti teman dekat.
Siswi itu terlihat kaget sekaligus kebingungan dengan tingkah Bima yang sok akrab. Mungkin detik itu dia berpikir ‘apa-apan nih cowok sok akrab bener, mana kagak kenal, main muncul aja kayak jalangkung'. Bima yang sudah sadar akan hal itu langsung memberi kode lewat alis kanannya. Untung saja gadis itu tidaklah type cewek lemot yang suka lola, alias loading lama. Jadi, saat Bima memberikan kode lewat alisnya dengan sigap gadis itu bereaksi secara natural hingga membuat kumpulan pria yang sempat menggodanya percaya dan pergi meninggalkan mereka berdua.
“Lain kali hati-hati.” Ujar Bima yang langsung meninggalkan gadis itu begitu di rasanya sudah aman.
Siswi itu terdiam beberapa saat, dia tampaknya tengah mengingat sesuatu yang menggaljal pikirannya. Beberapa detik kemudian matanya terbelalak kaget lalu berteriak di tengah keramaian jalan. “Terimakasih orang aneh!”
Spontan Bima membalikkan tubuhnya menatap siswi itu dengan wajah tak percaya. “Tau gitu gak aku tolongin.”
*
Hari berjalan dengan semestinya tidak ada perubahan dalam setiap detik menit jam bahkan hari. Mungkin yang berbeda hari ini hanya Pak Sulaiman yang tiba-tiba datang kerumah menagih uang sewa rumah yang katanya belum dibayar. Padahal jelas-jelas Rabu kemarin Bima menyaksikan sendiri ibunya tengah membayar sewa rumah yang sudah menunggak tiga bulan kepada istri Pak Sulaiman yang memang di saksikan oleh beliau langsung.
“Kalau gak sanggup bayar keluar aja dari kontrakan saya. Banyak orang di luar sana yang mau ngontrak di tempat saya.”
Omelan itu sudah sering terdengar dari kontrakan Buk sukma tiap akhir bulan saat semua orang tengah kesulitan keuangan. Sepertinya Beliau tidak akan pernah puas memarahi dan mencaci maki ibu Bima dengan kumis tebalnya yang hampir menutupi seluruh bibir atasnya.
“Maaf pak, kan rabu kemarin sudah ibu bayar ke-”
“Halah, itu bulan ini. Untuk bulan besok mana? belum bayar kan?”
Andai saja Bima tidak mesti menghormati orang tua selain ibunya, mungkin dia sudah mencaci-maki wajah jelek Pak Sulaiman. Namun dia masih berpikir bagaimana jika Ibunya marah nanti setelah perbuatan kurang ajarnya. Selain ibunya marah, masalah selanjutnya adalah di usir dari kontrakan. Mau tinggal dimana mereka nanti?
Mendengar ucapan itu Bima diam dan kini giliran Ibunya yang angkat bicara dengan suara lembut yang sedikit terdengar sesak dari tenggorokannya.
“Saya akan usahakan bulan depan, Pak. Saya janji tidak akan-”
“Kentut.” Potong Pria Tua itu dengah wajahnya yang terlihat meremehkan. “Janji janji. Saya udah kenyang denger janji Ibu ya. Yang saya butuh itu uang bukan janji. Emangnya orang bisa makan janji doang kenyang, enggak kan? mikir dong buk. Sudah susah masih aja nyusahin orang.”
Ada benarnya juga kata pak Sulaiman. Tapi semestinya beliau tidak harus secara terang-terangan menagih uang kontrakan yang bahkan mengundang tetangga sekitar untuk menonton. Apakah beliau tidak berpikir jika hal begitu dapat mempermalukan orang lain, atau beliau memang tidak punya pikiran.
Lagi-lagi ibu tersenyum, sambil sedikit menunduk membiarkan Pak Sulaiman memarahinya hingga beliau pergi. Bima yang memang tak bisa berbuat apa-apa cuma bisa menahan napas dalam hingga membuat dadanya sesak. Matanya hanya memarah dan hampir menjatuhkan air mata namun dia tidak mau membuat ibunya sedih juga.
“Yok nak masuk, ibu tadi masakin tumis kangkung kesukaan mu.”
Suara lembut itu kembali memberi kekuatan untuk bima bergerak. Namun sayang, semakin lembut dan perhatiannya ibu ketika dirinya tertindas tepat di hadapan Bima, rasanya sungguh semakin menyedihkan.
‘Andai bapak masih ada buk.’
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
