Ketika Playboy Jatuh Cinta - Part 1-5

8
0
Deskripsi

Tidak ada yang percaya ketika Erhan mengatakan ia jatuh cinta. Pasalnya, setiap kali ia melihat wanita cantik, ia selalu mengatakan ia jatuh cinta.

Pertama pada Caliana, istri Adskhan. Kedua kepada Gisna, Istri Lucas. Karena hal itulah dia memiliki julukan "Wifey Cousin Syndrom" karena jatuh cinta pada istri para sepupunya. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Nadira John Hanley. Seorang model berdarah Indonesia-Amerika yang merupakan sahabat dari kakak sepupu iparnya.

Erhan mengatakan ia jatuh cinta...

Part 1 – Awal

Turki

Hiruk pikuk keramaian orang-orang membuat Erhan ingin menutup telinga. Sejujurnya, bukan karena masalah suara musik yang lantang atau tarian yang dilakukan orang-orang. Tapi ia merasa bosan dengan pertanyaan-pertanyaan yang para tetua dari pihak keluarga ibunya berikan.

“Kapan kau akan menikah?” atau “Kapan kau akan menyusul si anu?” dan yang lainnya.

Hellow, dirinya masih berusia 28 tahun. Belum terlalu tua untuk memutuskan melajang bukan? Tanyanya pada diri sendiri. Pada akhirnya ia memilih untuk meninggalkan aula dimana pesta sedang berlangsung dan pergi menuju taman hotel yang sepi. Sayangnya, bukannya bisa menenangkan diri, dia malah bertemu sosok yang tak ingin dilihatnya.

“Menghindar, heh?” pertanyaan itu jelas bernada ejekan.

Erhan mendengus. Namun memilih untuk duduk di tempat yang sama dengan sepupunya yang super tengil itu. “Apa yang kau lakukan disini?” ia balik bertanya. Lalu kemudian sebuah senyum terkembang di wajahnya. “Kupikir aku tahu.” Ucapnya dengan wajah sumringah. “Kau menghindari pertanyaan dari para wanita tua di dalam sana, iya kan?” ledeknya.

Lucas mengangkat sebelah alisnya. Memandang Erhan dengan jijik. Sementara Erhan tertawa terbahak karenanya. Dengan cukup keras ia menepuk punggung sepupunya dengan tangan kirinya hingga mengeluarkan suara. “Sabar, Sepupu. Semua akan indah pada waktunya.” Ucapnya dengan nada mengejek. “Setidaknya kau lebih tua daripada aku. Kenapa aku lupa itu? seharusnya saat aku ditanya kapan akan menikah, aku menjual namamu.”

“Apa maksudmu?” tanya Lucas tak mengerti.

“Seharusnya aku menjawab. ‘Mana mungkin aku melewati Lucas. Dia bujang yang usianya lebih tua dariku.’ Bukan begitu?” namun bukannya menjawab ejekan Erhan. Lucas memilih untuk memalingkan muka. “Hei, Sepupu. Kau tersinggung?” tanya Erhan tiba-tiba karena melihat ekspresi sepupunya yang berubah. Lucas biasanya baik-baik saja jika Erhan menggodanya, namun sepertinya sepupunya itu saat ini sedang dalam mode sensitif. “Apa kau sedang PMS?” godanya lagi.

“Sialan kau!” ucap Lucas. Erhan malah tertawa karenanya. “Kalau kau tidak punya pekerjaan disini, lebih baik kau ikut denganku ke Indonesia.” Ucap Lucas pada akhirnya.

Pernyataan bernada perintah dari sepupunya itu membuat Erhan mengerutkan dahi. “Maksudmu? Kau sedang merekrutku?” tanyanya tak yakin.

Lucas mengedikkan bahu. “Terserah kau menyebutnya apa. Tapi yang jelas, aku dan Adskhan membutuhkan bantuanmu. Lagipula, Paman Gohan juga sudah menyuruhmu untuk bekerja bukan?”

Erhan mengedikkan bahu. “Kau tahu kalau aku tidak punya minat dengan konstruksi. Aku lebih suka melihat para wanita cantik daripada tumpukan batu dan bau cat.”

Lucas mengerling kepada sepupunya. “Hanya untuk sementara. Aku butuh seseorang yang bisa kupercaya. Sementara Adskhan saat ini tidak bisa diandalkan.” Jawab Lucas lagi.

Erhan mengerutkan dahinya bingung. “Mana mungkin pekerja marathon itu tidak bisa diandalkan?” ejeknya.

Lucas lagi-lagi mengedikkan bahu. “Dia sedang mengejar seseorang sampai dia lupa pada perusahaan.”

Erhan terbelalak. “Apa itu artinya dia akan menikah lagi?” tanyanya tak percaya. Lucas hanya mengedikkan bahu. Kemudian dia merangkul bahu Lucas dan mengusap lengan berotot pria itu dengan lembut. “Sabar ya, sepupu. Terima saja nasibmu.”

Lucas kembali mengerutkan dahi. “Apa maksudmu.”

“Aku tahu kau merana. Saat Adskhan akan menikah untuk kedua kalinya, kau malah masih asyik saja sendiri.” ledekan Erhan tentu saja membuat sepupunya itu meradang. Lucas bahkan menyikut rusuk Erhan dengan cukup keras sampai Erhan mengaduh. Namun pria itu kembali tertawa tak lama setelahnya. “Tapi sepupu, aku sebenarnya ingin bertanya sesuatu padamu.” Ucapnya lagi.

“Apa!” bentak Lucas.

“Slow, Bro. slow.” Ucap Erhan dengan kedua tangan terangkat ke atas. “Aku hanya ingin bertanya, apa kau pria normal?” tanyanya dengan mata tertuju kea rah bagian bawah tubuh Lucas. “Apa adikmu itu benar-benar bisa berdiri?” lanjutnya lagi yang membuat Lucas semakin meradang.

Kesal, Lucas hendak memukul Erhan namun pria itu bisa berkelit dengan mudah dan menjauh dari Lucas dengan tawa yang tak lepas dari wajahnya.

Erhan berhasil menjauh dari Lucas pada akhirnya. Biarkan saja sepupunya itu kesal. Anggap saja ini sebagai balas dendamnya atas situasi tak menyenangkan yang sedang ia hadapi kini. Memangnya dia tidak kesal selalunya ditanya kapan menikah. Memangnya Erhan tidak mau punya pasangan yang dia cintai dan mencintainya. Tentu saja dia mau, hanya saja kalau belum jodoh, dia harus bilang apa?

Indonesia? Haruskah dia pergi kesana?

Negara itu adalah tempat dimana paman-pamannya bertemu dengan cinta sejati mereka. Dan saat ini Adskhan pun sedang mencari pujaan hatinya disana. Apakah mungkin jika ternyata Tuhan menggariskan jodohnya berasal dari sana juga?

Baiklah, kenapa tidak. dia bisa mencobanya. Sekali berenang tiga pulau dia datangi. Usaha sepupunya, usaha ayahnya dan juga usahanya untuk mendapatkan jodoh. Ya, kenapa tidak. siapa yang tahu nanti saat dia kembali dia sudah membawa mempelai wanita untuk dia ajak melakukan Kina Gecesi. Erhan tertawa dalam hati.

Beberapa hari kemudian.

Jalan tol penghubung kota itu tampak lengang. Bandung. Nama kota kedua yang Erhan singgahi setelah sebelumnya menapakkan kakinya di Jakarta. Kota ini adalah kota dimana kakak dari ayah Erhan memutuskan untuk menetap.

Ya, jika Erhan memiliki darah Turki murni karena kedua orangtuanya berasal dari Turki. Maka kedua paman dari pihak ayahnya berbeda. Karena keduanya memilih untuk menikah dengan warga Negara Indonesia. Dari apa yang Erhan dengar, kedua pamannya itu awalnya lari ke Indonesia karena menghindari perjodohan yang dilakukan oleh kakek dan neneknya. Bermulai dari pelarian itulah mereka akhirnya menemukan cinta sejati mereka. Dan yang sangat Erhan ingin acungi jempol adalah, keduanya itu begitu setia terhadap pasangan mereka.

Para wanita Indonesia memang memiliki pesona tersendiri. Erhan selalu memperhatikan kedua bibinya saat mereka berkunjung ke Turki. Atau saat Erhan berkunjung ke Indonesia—yang sebenarnya tidak sering dia lakukan. Tantenya, Helena. Ibu dari Adskhan, kakak sepupunya tertua. Itu memiliki raut wajah yang—orang mengatakan jutek. Itulah kenapa pada awalnya Erhan menjaga jarak karena takut jika tantenya itu akan menyentilnya dengan kata-kata pedas suatu waktu. Tapi faktanya, semakin beranjak dewasa ke dewasa, ia tahu bahwa itu hanyalah mimik saja. Karena di balik wajahnya yang selalu tampak dingin itu. Beliau adalah wanita yang sangat perhatian dan lemah lembut.

Sementara Aunty Karin. Ibu dari sepupunya Lucas yang kini duduk di kursi depan. Itu adalah kebalikan dari Tante Helena nya. Beliau adalah orang yang selalunya ceria dan banyak bicara. Ia pun kadang berpikir, bagaimana bisa pamannya yang pendiam bisa memiliki istri yang super cerewet seperti Aunty nya itu. tapi lagi-lagi, dibalik sifatnya yang ceriwis itu. Aunty Karin adalah sosok ibu yang begitu lembut dan tak kalah penuh perhatiannya seperti tante Helena.

Dan kini, Erhan merasa bahwa petualangannya akan dimulai.

Part 2 – Oscar Vs Poppy

Berminggu-minggu tinggal di Indonesia, keinginan Erhan untuk tebar pesona alhasil terhalang oleh kedua sepupunya. Bagaimana tidak, Erhan merasa dirinya seperti kerbau dan kedua sepupunya itu seperti petani yang selalu saja menyuruhnya untuk membajak sawah mereka.

Masalahnya, meskipun banyak kota yang ia datangi. Dia tidak punya waktu untuk bersenang-senang. Lucas dan Adskhan seolah mengutuknya untuk menjadi campuran semen dan pasir.

Erhan memasukkan mobilnya ke area perumahan Adskhan. Akhirnya dia mendapatkan waktu untuk berlibur dan ia berniat untuk mencuci mata dan ia benar-benar ingin menikmatinya. Namun belum sempat ia keluar dari mobilnya. Dua bocah kembar beda ibu bapak menerobos masuk ke dalam mobilnya.

“Apa-apaan ini?” tanya Erhan memandang kedua remaja itu.

“Anterin kita ke rumahnya Carin, Uncle.” Pinta Syaquilla. Keponakannya.

“Ngapain? Emangnya Uncle ini supir kalian?” tanyanya pada kedua remaja itu. Tak disangka kedua remaja itu mengangguk bersamaan. “Siapa yang bilang?” tanya Erhan tak suka.

“Uncle Lucas!” jawab Syaquilla dengan polosnya. Erhan memandang sepupunya itu dengan mata menyipit. Namun ia tidak menolak dan kemudian kembali memutar mobilnya keluar dari rumah mewah sepupunya itu.

Erhan tahu kemana tujuan mereka pergi. karena ia sudah seringkali melewati rumah itu dan sesekali mengantar mereka ke sana, karena seperti yang dikatakan dua remaja itu, ia lebih seperti supir pribadi daripada pamannya. “Kamu yakin Papa kamu gak pake pelet?” tanya Erhan pada keponakannya. Ia memandang bocah bermata keemasan itu dari spion tengah.

“Maksud uncle apa?” tanya Syaquilla dengan polosnya.

“Maksud Uncle, kenapa tantenya dia mau sama Papa kamu yang udah tua itu? udah tua, wajahnya kaya hutan rimba pula.” Nyinyirnya.

Syaquilla memandang Erhan dengan mata menyipit sementara Carina yang duduk di sampingnya malah cekikikan.

“Uncle, ih. Papa Qilla itu ganteng tau!” tolaknya.

“Iya, ganteng pada jamannya. Alias jaman old.” Lanjut Erhan lagi. “Kamu, bujuk tante kamu. Daripada dia sama Adskhan yang udah tua, mening dia sama Uncle. Udah muda, ganteng, kaya juga. Pokoknya sama uncle itu banyak plus nya.” Ucap Erhan berpromosi.

“Ih, Uncle! Qilla itu mau dapetin Itan jadi mamanya Qilla susah. Enak aja buat Uncle.”

“Ya elah, La. Masih banyak cewek diluar sana yang bisa Papa kamu deketin. Tuh, masih ada si Anastasia. Dia lebih cocok sama Papa kamu.”

“Qilla gak mau sama tante Anas. Carin bilang tante Anas itu cocoknya sama om-om menjelang kakek.”

“Iya, kayak Papa kamu.” Jawab Erhan lagi yang kemudian mendapat pukulan keras dari Syaquilla.

“Enak aja bilang papa Qilla kakek. Masih muda tahu. Lagian Uncle ini, buat dapetin Itan jadi mamanya Qilla itu susah, enak aja main minta. Uncle aja yang sama tante Anas.”

“Ya elah, berjuang dikit itu gak apa-apa. Papa kamu bisa berjuang lagi.” Jawab Erhan. “Lagian Anastasia itu bukan tipenya Uncle. Tapi tipe-tipenya papa kamu.” Lanjutnya. “Lagian kamu, namanya itu Anastasia, bukan Anas. Ya kali dia itu penangkal jin.” ." (Merujuk pada surat An-Nas dalam Al-Qur'an yang isinya meminta pertolongan dari gangguan jin, setan dan manusia).

"Ya, soalnya kata Carina, penampilan tante Anas itu lebih kayak gangguan setan secara nyata. Pake baju kurang bahan, ngiklanin paha sama dada. Emang gitu ya kalo tampilan model? Mana make-upnya tebel banget. Kasihan Papa nanti harus modalin Tante Anas biaya buat oplas, botox sama beli serum import."

"Yey, anak kecil tahu apa. Lagian kamu,” tunjuknya pada Carina. “Kamu itu kayak lahir di jaman old aja. Pikirannya ketuaan.” Tegurnya. “Nih ya, jangan kalian hakimi seseorang dari penampilannya. Jangan hakimi penampilan model semuanya kayak gitu. Kalo ibarat peribahasa, kamu tuh nilai dia kayak 'akibat nila setitik rusak susu sebelanga'. Satu model yang terlalu cantik, rusak image model lainnya. Ada kok model yang tampilannya rapi, tertutup."

"Masa? Siapa?" tantang Carina.

"Tuh, model baju muslim." Kini pukulannya didapat dari dua tangan sekaligus.

"Kamu ini kenapa sih, mukul-mukul mulu? Mau Uncle laporin ke komnas perlindungan pria tampan mapan rupawan? Dihukum gak dikasih uang saku baru tahu." Lagi, Erhan mengusap lengannya.

"Habis Uncle itu kalo ngomong suka bener." Qilla tertawa terbahak. "Ya iya kalo model baju muslim pasti tertutup. Masa iya pake bikini."

"Lah kamu juga kalo nge judge kagak kira-kira. Nih ya, Uncle kasih tau. Penampilan orang dari luar gak selalu nunjukkin karakter asli orang sebenarnya. Misal, kamu lihat aktor meranin antagonis di film, kan bisa jadi aslinya itu ramah tamah, baik hati dan tidak sombong. Sebaliknya, aktor yang kelihatan selalu meranin protagonis gak selamanya ramah diluaran."

"Iya, kalo itu Qilla juga tahu. Namanya tuntutan peran. Tapi kan Tante Anas itu beda. Kerjaannya nyosor-nyosor mulu. Kalo kata Carina, udah kayak bebek nemu pantat. Maunya matok mulu."

”Ya ampuuunnn... Qilla. Bahasa kamu tuh.” Erhan menghentikkan mobilnya di depan rumah berlantai dua milik sahabat keponakannya itu. “Lama-lama Uncle ruqiah mulut kalian berdua. Terutama kamu.” Ucapnya pada Carina. “Apa perlu Uncle lakban sekalian? Komen kok pedes amat kayak gitu. Kamu belajar dari siapa sih?" tanyanya pada Carina. Namun Carina malah mengedikkan kepala menunjuk ke arah luar sana dimana sosok Caliana muncul. “Ya Allah, cantiknya.” Puji Erhan. “Rin, beneran kamu gak mau ngasih dia buat Uncle aja? Toh sama Uncle ataupun sama Om Adskhan kalian pada akhirnya tetep sodaraan.” Bujuknya lagi.

Keduanya kembali memukul lengan Erhan. Membuat Erhan mengaduh kesakitan. Tepat disaat Caliana masuk ke dalam mobil.

“Ada apa nih?” tanyanya pada ketiganya bergantian.

“Ini Itan, Uncle.” Rajuk Syaquilla.

“Kenapa?”

“Uncle bilang Itan sama Uncle aja daripada sama Papanya Qilla.” Ucap Syaquilla masih dengan wajah merajuknya.

“Dia?” Caliana menunjuk Erhan. Syaquilla mengangguk. “Uncle kamu?” tanyanya lagi. Syaquilla kembali mengangguk. “Loh, Itan kira dia supir baru Papa kamu.” Jawabnya dengan nada datar.

Erhan memandang Caliana terbelalak. Sementara kedua remaja di belakangnya tertawa cekikikan.

"Tawaran Uncle kayaknya Uncle cancel deh, La." Ucap pamannya seraya menyalakan mesin mobil.

"Tawaran yang mana?" Tanya Syaquilla heran.

"Tawaran buat jadiin Tante Caliana calon istri Uncle. Uncle gak mau nantinya mati muda kalo sering ketemu sama kalian bertiga." Ucap Erhan seolah Carina dan Caliana tidak ada di sana.

"Sorry to say ya, Uncle tuir. Mening Om Adskhan kali kemana-mana. Udah tampan, tajir, baik hati pula. Ya meskipun mukanya datar dan Uncle bilang kaya hutan rimba, tapi tetep penuh pesona. Irit ngomong pula. Kalo udah senyum, aduuuhhh... Bikin melting bin klepek-klepek. Gak kayak Uncle, udah muda, kurus, sakunya gak jelas, kalo ngomong kayak petasan betawi, ditambah mulutnya lemes kayak cewek kurang belaian." Carina membalas tanpa memperdulikan ekspresi Erhan yang kini sedang dalam emosi tingkat dewa. Kedua mata mereka bertemu lewat spion tengah. "Apa?!" Carina melotot. Erhan balas melotot.

Caliana dan Syaquilla yang mendengarnya hanya bisa menahan tawa.

"Udah, Uncle sama Carin kenapa sih, kalo ketemu udah kaya si Oscar sama Poppy aja.” Sergah Syaquilla.

"Ya kali dia Uncle itu kaya kadal gurun.” Jawab Carin yang kembali membuat Erhan melotot.

“Apa kamu bilang? Uncle kayak kadal gurun? Lagian siapa tuh Oscar siapa juga Poppy?"

"Udah, yang tua mah ngalah aja. Gak usah pengen tahu urusan anak muda." Cebik Carina. “Lagian Uncle juga kepedean mau sama Itan. Kayak Itan mau aja sama Uncle.” Dan terus saja selama perjalanan mereka diisi dengan keributan antara Carina dan Erhan.

Part 3 – Nadira

Suasana hiruk pikuk di tempat pemotretan sengaja ia acuhkan. Nadira memilih untuk menghabiskan waktunya menikmati sesi curhat via telepon bersama sahabat baiknya, Gisna. Gadis lugu yang sudah menjadi sahabat baiknya sejak jaman putih abu-abu itu kini tengah berbahagia dengan kondisinya yang sedang mengandung.

Cukup mengejutkan sebenarnya. Saat akhirnya Nadira tahu sahabatnya itu membuat keputusan instan untuk menjadi ibu pengganti bagi sosok pria yang sama sekali tidak dikenalnya demi menyelamatkan ibunya. Dan karena hal itu juga, Nadira merasa menyesal karena ia—yang mengaku sebagai sahabat—tidak bisa membantu sahabatnya pada saat-saat genting. Dan ini semua karena kata ‘profesional’ sialan yang sering diagung-agungkan oleh asistennya si Fera bin Feri. Sehingga ia bahkan tidak bisa menggunakan ponselnya sendiri.

Dan sejak kejadian itu, dia berkonfrontasi dengan banci itu supaya dia bisa mendapat hak nya sebagai seorang manusia dan mengontrol hal pribadinya dengan caranya sendiri.

"Ra, bentar lagi lo take.” Orang yang ada di pikirannya kini tengah berdiri menjulang di hadapannya dan memandangnya tajam. “Buang tuh permen. Kelakuan lo dah kayak anak lima tahun aja." Gerutunya sambil berlalu pergi. Nadira mencebik namun kemudian memilih bangkit.

“Udah dulu ya, Na. Jaga ponakan aku baik-baik.” Pintanya sebelum menutup sambungan telepon.

Nadira memandang Feri yang kini ingin dipanggil Fera karena sifat kemayunya yang semakin menjadi. "Lo mau? Ngomong kalo mau. Gue ada banyak di tas." Ucapnya menjawab teguran Fera bin Feri sebelumnya.

Pria bertubuh tambun itu memutar bola mata. "Ya ampun, Dira. Gigi loe tuh lama-lama bisa ompong tahu gak sih." Pekik Fera lagi.

Bukannya menurut, Nadira malah nyengir dan menunjukkan gigi putihnya yang terawat. "Permen karet itu bagus buat kesehatan tau. Salah satu cara menghilangkan stres." Ucapnya dengan santai dan lalu memasukkan sisa permen karet kembali pada bungkus awalnya dan membuangnya ke tempat sampah. Dengan senyum manisnya, Nadira berjalan menuju depan kamera dan siap dengan posenya.

Pemotretan selesai pada pukul sepuluh malam. Tidak terlalu larut sebenarnya, karena seringkali Nadira menghabiskan waktu lebih daripada itu. Semua tergantung dari situasi dan kondisi pemotretan itu sendiri. dan juga tema. Jangan lupakan itu.

Nadira dan kawan-kawannya yang tergabung dalam proyek ini sudah diberikan kunci untuk kamar tempat menginap mereka. Pemotretan yang diadakan di Bali ini adalah lokasi terakhir pemotretan mereka setelah sebelumnya mereka melakukan pemotretan di Makassar dan Lombok. Ya Tuhan, Nadira sangat rindu pada apartemen mungilnya.

Ia melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur single sesaat setelah membuka pintu. "Cape gue." Desahnya. Kamar yang ditempatinya ini bukanlah kamar presiden suite karena Nadira bukanlah model kelas atas dengan bayaran fantastis. Dia masih menjadi model pemula namun ya bayarannya memang tidak terlalu murah juga.

“Mandi dulu, baru rebahan.” Perintah Fera bin Feri.

Sesaat Nadira mendelik pada managernya itu, tapi kemudian mengiyakan saja dan bangkit menuju kamar mandi.

Memilih dunia model memang bukan cita-citanya. Awalnya Nadira begitu ingin menjadi fashion designer. Minatnya pada dunia itu jauh lebih besar daripada keinginannya untuk berjalan di atas catwalk. Namun karena untuk kuliah di jurusan itu tidaklah murah, maka ketika ada orang yang memberinya kesempatan untuk menjadi model, ia menerimanya begitu saja. Ia menganggap ini sebagai batu loncatan. Jika suatu saat nanti dia memiliki peluang untuk mencapai cita-citanya, setidaknya dia tidak perlu lagi memulai semuanya dari awal karena dia sudah membangun koneksi.

Beruntung juga bagi dirinya karena memiliki tubuh yang ideal yang bisa menunjang karirnya. Ketika diluaran sana orang-orang bersusah payah untuk diet, Nadira tidak perlu melakukan hal tersebut karena tubuhnya entah kenapa di anugerahi Tuhan dengan bentuk yang stabil dan sulit gemuk. Dan karena itu juga dia bisa mengejek sahabatnya Meta yang begitu ingin menjadi model namun tidak kesampaian.

Tapi meskipun memiliki tubuh proporsional, bukan berarti Nadira tidak bekerja keras. Tahun awal ia memulai karirnya, Fera bin Feri mendidiknya dengan begitu keras. Olahraga, latihan catwalk, diet pola makan. Dan blah-blah-blah urusan lainnya. Belum lagi masalah pendidikan attittude. Benar-benar menyiksa Nadira pada awalnya. Karena ia merasa terkekang dan tak bisa menjadi dirinya sendiri.

Hanya di depan Meta, Gisna dan Fera bin Feri lah dia bisa menjadi dirinya sendiri.

"Cin, lo dapet paket lagi." Fera bin Feri mengedikkan kepalanya ke arah meja rias yang ada di depan tempat tidurnya. Carina yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk di atas kepalanya berjalan mendekat dan melihat buket bunga yang ada disana. "Dari orang yang sama." Lanjut saat Nadira mengambil kartu yang terselip diantaranya.

To. My Beautiful Nadira

Kamu tampak cantik sekali dengan gaun pemotretan hari ini. Lain kali, gunakan gaun itu saat berdua denganku.

From. Your Admirer. J.D

Nadira menggeram. Meremas kertas itu dan melemparkannya ke dalam tempat sampah. Seketika ia memandang Fera dengan matanya yang tajam. “Loe masih belum tahu siapa yang ngirim ini semua?” tanyanya dengan marah. Fera menggelengkan kepalanya dengan wajah bersalah. “Gue udah bilang kalo gue gak suka sama ini semua. Ini nakutin tau gak sih loe? Minimal loe cari tahu donk. Jangan sampe gue ketar-ketir takut sendiri. Dia tuh kayaknya selalu ada dimana-mana. Lama-lama gue jadi takut kalo jalan sendirian trus tiba-tiba dia nyerang gue gitu."

"Lo kebanyakan nonton drama, Cin. Orang tuh suka kalo ada fans, ini malah takut."

"Ya kali gue se terkenal Jovita sampe diburu fans." Sejenak amarah melingkupinya ketika mengingat nama wanita yang membuat sahabatnya menderita itu. Gue kan masih model ecek-ecek Fer. Lagian kalo fans nya normal sih gue juga oke-oke aja. Tapi ini, gue bahkan gak tahu dia siapa, dia orang mana, umurnya berapa, tapi dia kok kayak tahu segalanya tentang gue. Dia bahkan selalu aja ngirim buket begituan dimanapun gue pemotretan. Kan nakutin Fer." Nadira bahkan bergidik setelahnya.

"Udah lah, Posthink aja. Siapa tahu dia emang tahu dia emang punya orang dalem jadi dia dapet info tentang loe."

"Ya tetep aja nyeremin Fer. Kalo suka berubah jadi obsesi, itu bukan lagi hal yang bisa dianggap wajar. Loe gak pernah nonton apa di film-film. Adanya penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, itu semua karena obsesi Fer."

"Yaelah, film lagi, drama lagi. Loe kayak anak micin tahu. Lama-lama loe nyangkut-nyangkutin hidup loe macem novel. Ya udahlah, Cin. Kalo pun semuanya serba film, drama sama novel. Loe mimpinya hidup loe macem cinderella gitu. Yang berakhir ketemu pangeran. Atau gak kayak si Belle yang akhirnya merubah monster jadi pangeran." Nadira menepuk dahi.

"Ya kali lo samain hidup gue sama dongeng buat anak-anak." Decihnya. “Udah, balik sana ke kamar loe. Gue mau tidur. Fera bangkit dari duduknya dengan enggan. “Oh ya, sebelum pulang ke Jakarta, beliin Pai Susu sama Pia ya." Nadira berteriak di antara sela-sela pintu.

"Hmm... Berapa banyak?"

"Yang banyak aja. Buat bumil." Teriaknya lagi.

***
Nadira berjalan dengan cepat menuju pintu keluar. Mengabaikan semua barang bawaannya kecuali kantong kertas dan sling bagnya dan meminta Fera bin Feri untuk mengurus sisanya. Ia dengan segera berjalan keluar menuju parkiran dan langsung memasuki taksi yang kosong yang pertama kali ditemuinya. Panik, itulah yang dirasakannya saat mendengar sahabatnya, Gisna pingsan dan dirawat di rumah sakit.

Supir taksi dimintanya untuk mengantarkannya dengan cepat ke rumah sakit yang sahabatnya Meta sebutkan. Setelah tahu dimana kamar Gisna dari perawat, dia berjalan dengan cepat menuju ruangannya. Setelah tiba di depan pintu, ia berusaha menetralkan napasnya dan merapikan penampilannya. Nadira mengetuk pintu dan mengucap salam lalu masuk ke dalamnya. Ia menatap sekeliling dengan cepat. Dia bagian kanan ruangan rawat Gisna terdapat dua sofa panjang yang tampak terisi penuh dengan keluarga sahabatnya itu. ia menyapa mereka dengan anggukan kepala sebelum berjalan mendekat ke arah tempat tidur sahabatnya.

"Nih, abisin. Jangan sampai ponakan aku nanti ileran." Nadira menyerahkan bingkisannya pada Gisna yang tersenyum menerimanya.

"Gue gak dikasih, Ra?" Meta memandangnya dengan wajah merajuk.

Nadira membuka sebuah kemasan dan memberikan satu potong pai susu itu pada Meta. "Nih, biar lo gak ileran. Makanya minta sama laki lo buat dibeliin. Gak malu apa punya laki kaya tapi kerjaan ngemis oleh-oleh mulu?" Sindir Nadira pada kekasih Meta, Ganjar. Ganjar yang juga ada di ruang itu memberengut namun yang lainnya malah tertawa.

"Ekhm.. gak dikenalin kita Na?" Nadira mendengar suara dehaman seorang pria yang membuatnya refleks berbalik. Disana, ada seorang pria yang malah mengedipkan matanya dengan genit.

"What the..." Nadira terbelalak sebelum kembali menoleh ke arah Gisna yang balas sedang tersenyum ke arahnya.

"Dia sahabat aku, Nadira." Ucap Gisna dengan suaranya yang lemah lembut seperti biasa. Sementara pria yang tadi mengedipkan sebelah mata padanya kini berjalan mendekat.

Sebenarnya pria itu tidak bisa dikatakan jelek. Dia tampan, dan sebenarnya merupakan pria tipe Nadira. Namun sikap genitnya itu sudah membuat Nadira memberikan nilai minus di pertemuan pertama mereka ini.

Pria itu mengulurkan tangan dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Dengan tinggi tubuhnya yang mencapai 170cm, Nadira masih harus mendongak saat pria itu berada di depannya. Tinggi juga pria itu ternyata.

"Erhan. Sepupu Lucas." Salam pria itu. Lucas sendiri adalah suami sahabatnya Gisna. Pria berdarah Indonesia-Turki yang sudah dengan kurang ajarnya meminta Gisna menjadi ibu pengganti hanya untuk memberikannya keturunan.

Memang tidak baik jika kita menyamaratakan orang hanya karena dengan siapa dia bergaul. Tapi mau tak mau, Nadira pada akhirnya menyamakan Erhan dengan Lucas. Dan karena dia tidak terlalu suka pada suami sahabatnya, jadi dia memilih untuk tidak menyukai sepupunya juga.

"Nadira." Balasnya dengan senyum yang dipaksakan.

"Emm.. aku jomblo." Ucap Erhan salah tingkah. "Kamu single juga kan, ya?"

Bukannya menjawab, Nadira malah balik memandang Gisna. "Na, sepupu ipar kamu masih sehat?" sindirnya, sengaja dengan nada yang ia ucap lantang.

"Aku sehat kok. Lahir batin. Kalo perlu kita bisa cek di lab sekarang. Kamu mau tes apa? Paru-paru? Jantung? Otak? Atau mau teh vitalitas? Aku sih oke!" Erhan menjawab dengan bangga.

Meta terkikik geli. Begitu juga dengan Gisna. Namun Nadira malah memutar bola mata. "Sepupu, jangan mengemis seperti itu. Nadira bisa kabur nanti." Adskhan—pria yang Nadira tahu merupakan sepupu tertua Lucas—memperingatkan.

"Kamu bisa ngomong begitu karena kamu udah laku, Sepupu." Jawab Erhan lagi. Erhan menatap Meta dengan tajam. "Jangan ketawa. Aku ini sekarang atasan kamu, loh. Mau saya cut?" Meta seketika terdiam dan menutup mulutnya. Dan pandangan Erhan kembali ke tertuju pada Nadira. "Gimana? Kamu mau jadi cewek aku? Biarpun gak sekaya Adskhan atau Lucas. Tapi di negara asalku aku itu kaya." Ucapnya lagi dengan penuh kebanggan.

Nadira mengangkat sudut mulutnya dengan sengaja. "Maaf, aku gak minat." Jawabnya datar. Suara tawa dari Adskhan terdengar membahana.

Pria bernama Erhan itu kembali berbalik dan mendelik pada sepupunya. "Kamu itu terlalu banyak ngumbar kata 'suka', Sepupu." Tegur Adskhan. "Gak bisa lihat yang cantik, maunya main sosor aja. Jangan mau Nadira, dia itu bujang lapuk. Garansinya belum terjamin." Ucap Adskhan lagi yang malah mendapat pukulan dari istrinya.

"Mas, Ih." Desis Caliana.

"Ini kartu nama aku. Kalau kamu berubah pikiran, just call me maybe." Ucapnya diakhiri dengan senandung lagu.

Nadira hanya menjawabnya dengan gidikan pelan. ‘Dasar pria aneh.’ Gumamnya dalam hati.

Mereka menghabiskan waktu di rumah sakit. sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul delapan malam dan semua keluarga Gisna memilih bubar.

Nadira dan Meta memilih tinggal di sana untuk menemani Gisna dan memberi alasan pada keluarga Gisna kalau mereka ingin bernostalgia. Namun baik Meta dan juga Nadira tahu, bukan itu alasan sebenarnya mereka ada disana.

"Kamu baik-baik aja kan, Na?" Dengan lembut Meta memandang sahabatnya yang tengah duduk dengan wajah pucat dan tampak tak bertenanga.

Gisna balik memandang Meta dan menunjukkan senyumnya. Senyum yang bahkan tak sampai ke matanya. "InsyaAllah. Kalo kamu nanya aku baik-baik aja, jawaban aku enggak, Ta. Aku gak baik-baik aja. Tapi kalo kamu nanya apa aku kuat, aku bakalan jawab, iya. Aku kuat." Jawabnya. Nadira melihat mata sahabatnya itu mulai berkaca-kaca.

"Na.." ucapnya bersamaan dengan Meta. Nadira menaiki sisi tempat tidur sahabatnya yang terbebas dari selang infusan, sementara Meta memilih untuk duduk di bagian kakinya.

Gisna menggelengkan kepalanya pelan. "Kalian gak usah merasa kasihan. Sejak awal aku memang sudah memprediksi semua ini akan terjadi. Salahku karena jatuh cinta pada orang yang tidak tepat." Ucapnya lirih. Nadira masih saja memandang sahabatnya.

"Gak ada yang salah, Na. Semua orang berhak jatuh cinta. Dan patah hati adalah salah satu resiko yang mesti ditanggung." Jawab Meta bijak, Gisna mengangguk.

"Tidak semua kisah cinta berakhir bahagia. Meskipun aku selalu berdoa supaya kita berakhir dengan kisah bahagia." Doa Nadira. Lagi-lagi Gisna mengangguk.

Meskipun mengatakan hal seperti itu, Nadira sendiri sebenarnya bukan orang yang percaya pada kisah cinta. Ia adalah orang yang menghindari perasaan semacam itu. Kisah cinta yang berakhir bahagia itu memang ada, tapi ia rasa kemewahan itu bukan untuknya. Tidak ia semakin tidak percaya pada kisah cinta abadi atau bahagia setelah ia melihat bukti nyata dari kisah Gisna dan juga apa yang terjadi pada ibunya.

Melihat penderitaan yang dirasakan keduanya, Nadira merasa enggan untuk menjatuhkan hatinya pada siapapun. Semua makhluk berjenis kelamin pria adalah hal yang seharusnya hindari. Ya, kecuali mereka yang memiliki kelainan seksual atau memiliki kesalahan dalam pola pikir, seperti Fera bin Feri.

"Mungkin belum saatnya saja baginya. Dan ini memang belum berakhir. Kamu masih bisa berjuang, Na." Ucapan Meta mengalihkan Nadira dari lamunannya. Nadira mengangguk. Meta tidak salah dengan harapannya, Gisna juga tidak salah dengan cintanya. Tidak ada yang salah diantara mereka. Semuanya karena pilihan masing-masing.

Nadira melihat Gisna tersenyum. "Aku belum mengaku kalah, Na, Ta." Ada binar keoptimisan di wajahnya. "Tidak sebelum bayi-bayi ini lahir. Bukankah aku sudah mengatakannya pada kalian, dan pada wanita itu?"

Nadira tahu siapa yang Gisna maksud dengan 'wanita itu'.

‘Wanita itu’ adalah sosok wanita cantik berhati iblis. Dan disini dia merasa bersalah karena dialah yang mengenalkan mereka berdua. Dia lah yang menjadi jembatan atas penderitaan yang dialami sahabatnya ini. Seandainya saja dia tahu bahwa wanita itu mendekatinya karena sebuah rencana. Ia tidak akan mau membanggakan wanita itu sebagai temannya. Cukup ia menjadi fans nya saja tanpa harus tahu seperti apa pribadi wanita itu yang sebenarnya.

"Aku mencintainya.” Ucapan Gisna membuat Nadira kembali pada dunia nyata. “Aku jatuh hati padanya. Dan saat ini aku memang merelakannya menemani wanita itu. Tapi aku belum menyerah. Masih ada waktu sampai bayi-bayi ini lahir. Aku masih meminta kepada si pemilik hati untuk membalikkan hati suamiku padaku. Namun jika sampai waktunya bayi-bayi ini lahir dan dia masih tidak menjatuhkan pilihannya. Saat itulah aku akan menyerah."

Mendengar ke optimisan dalam suaranya, Nadira tersenyum. Ia senang melihat sisi lain sahabatnya kembali muncul. Meskipun kemudian wanita itu tergugu dalam tangisannya, Nadira bahagia karena sahabatnya itu belum mengaku kalah. (Cerita ini merupakan cuplikan dari Bukan Ibu Pengganti, bagi yang belum baca silahkan mampir).

*****

Pagi datang begitu saja. Tidurnya di rumah sakit tidaklah nyenyak dan jusru membuat tubuhnya berteriak tak nyaman. Ia dan Meta pada akhirnya berpamitan saat keluarga Gisna datang dan membawakan sarapan.

Nadira benar-benar lelah, sangat lelah. Dia belum benar-benar mendapatkan istirahat yang cukup karena kemarin dia langsung melakukan penerbangan ke Jakarta berselang satu jam setelah pemotretan selesai. Dan itu pun dia langsung menuju ke rumah sakit karena khawatir.

Nadira bukan Meta, yang bisa tidur dengan nyaman kapanpun dimanapun selama ia menemukan bantal. Tidak. Nadira adalah tipe pecinta bantal dan tempat tidurnya sendiri. Dan dia adalah orang yang suka tidur dalam keheningan. Meskipun ia sering melakukan aktivitas diluar rumah dan terkadang terpaksa harus tidur bersama orang lain dan seringkali begadang, dia tidak merasa masalah.

Karena setelah semua aktivitasnya selesai, ia akan mengurung diri di kamar. Mengisolasi dirinya sendiri di atas tempat tidur dan benar-benar tidur tanpa gangguan. Tidak peduli jika itu menghabiskan waktu berjam-jam dan bahkan sampai belasan jam. Nadira akan menyebutnya sebagai penebusan dosa.

Nadira melirik pergerakan bayangan pergerakan kaki dari pintu seberang unitnya. Setahunya, unit itu kosong dan hendak disewakan saat ia akan pergi, dan sekarang sepertinya selama kepergiannya unit itu telah terisi.

Baiklah, ramah tamah kepada tetangga akan ia lakukan nanti setelah ia puas beristirahat. Nadira masuk ke dalam unitnya bertepatan dengan suara pintu seberang unitnya terbuka. Ia meletakkan tas dan kunci mobilnya di atas meja bar dan langsung menuju kamar. Melepas pakaiannya dan melemparnya ke dalam keranjang cucian. Mandi cepat dengan air hangat adalah pilihannya. Dan tak sampai lima menit kemudian Nadira sudah memakai tangtop berwana hitam tanpa dalaman dan celana dalam katun. Memasukkan tubuhknya ke dalam selimut tebal dan bergelung sambil memeluk guling yang sudah lama ditinggalkannya.

Hibernasi, I'm coming....

Part 4 – Lima Langkah

Semenjak kepulangannya dari rumah sakit, Erhan masih saja membayangkan wajah Nadira. Sosok gadis cantik yang memiliki tubuh indah dan ekspresi wajah jutek yang selalu terbayang di kepalanya. Ya Tuhan, hanya dengan membayangkan wajahnya saja membuat Erhan begitu ingin menyentuhnya. Sisi kelelakiannya terbangun begitu saja. Bahkan semalam, dia memimpikan hal yang indah bersama gadis cantik yang baru pertama kali dilihatnya itu.

Awalnya ia merasa tidak asing dengan wajah gadis itu. Sampai akhirnya dia sadar bahwa Nadira bekerja di bawah naungan agency yang selama ini dimiliki tantenya.

Sebuah senyum terkembang di wajahnya kala membayangkan bagaimana jika nanti gadis itu melihatnya dengan statusnya yang lain. Pastinya sangat menyenangkan.

Namun saat ini, Erhan kebingungan sendiri dengan langkah awal yang harus dia ambil. Dia sedang berjalan mondar-mandir di ruangannya kala ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. “Anda sedang apa, Sir?” Ganjar, asisten pribadi sepupunya yang kini menjadi mentornya itu memandanginya dengan dahi berkerut.

“Coba katakan padaku.” Erhan balik mendekatinya dengan langkah cepat dan antusias. “Bagaimana caranya menggoda seorang wanita?” tanyanya dengan wajah menghadap Ganjar sepenuhnya. “Tidak.” Ralatnya cepat. “Bukan menggoda, tapi memikat.” Lanjutnya.

Ganjar, si pria hitam manis itu balik memandang Erhan dengan dahi yang berkerut semakin dalam. "Kenapa kau bertanya padaku?" Tanya Ganjar bingung. Ia memandangi rekannya yang malah balas menatapnya dengan wajah memelas.

Kepalanya sudah mau pecah karena pekerjaannya yang bertumpuk, dan kini Erhan memanggilnya hanya untuk meminta tips bagaimana caranya mengencani seorang wanita? Demi Tuhan. Dia sendiri kesulitan untuk menaklukan Meta, bagaimana bisa dia menasehati orang lain?

"Setidaknya kau telah menjatuhkan salah satu dari trio itu.” Jawab Erhan dengan lantang. “Melihat bagaimana dia menyebutmu kemarin malam, aku pastikan kalau kau juga mengenal baik Nadira. Jadi kumohon, berikan aku informasi tentangnya dan juga tips and trick untuk menaklukannya." Kedua tangan Erhan kini meremas lengan Ganjar. Dan lagi, masih menunjukkan wajah memelas seperti anak anjing yang minta diadopsi.

Ganjar menggelengkan kepala. "Sejujurnya, aku tidak terlalu mengenal Nadira, sama seperti aku tidak mengenal Gisna." Jawab Ganjar lirih. Ganjar dan Erhan memang sudah sepakat untuk menggunakan bahasa informal karena usia mereka yang tak terlalu jauh dan karena Erhan ingin mereka berteman. Lebih dari itu, kesan Erhan memang tak semenyeramkan Lucas saat mereka bekerja bersama. "Aku bahkan mengenal Gisna lebih dekat setelah sepupumu mengajaknya menikah." Lanjut Ganjar apa adanya. Karena kesibukannya dengan Lucas, ia memang jarang menghabiskan waktu bersama orang lain diluar jam kantor. Jangankan bergaul atau menghabiskan waktu dengan teman, Dengan kekasihnya pun, Ganjar memiliki waktu yang teramat sangat sedikit. Beruntung saja Meta masih kuat bertahan dengannya dan tidak memintanya untuk putus

“Kalau begitu, jadilah mak comblangku.” Erhan membuat solusi lain.

Ganjar mengerutkan dahi. “Maksudnya?” tanyanya tak mengerti.

“Saat kau akan pergi dengan kekasihmu, ajak juga Nadira. Di waktu yang bersamaan aku bisa pergi denganmu. Tenang saja,” Erhan menyela seketika. “Aku tidak akan mengganggu kencanmu. Aku hanya ingin kau dan kekasihmu mengajaknya dan setelah itu aku yang akan membawanya pergi tanpa mengganggu kencan kalian berdua.” Tutur Erhan. “Ya ya ya..." Pintanya seperti anak kecil yang meminta permen pada ayahnya. Ganjar menatap tangan kekar pria itu yang kini memegang lengannya sambil menggoyang-goyangkannya.

Ganjar berpikir sejenak. "Bisa-bisa. Bisa diatur.” Jawabnya seraya melepas tangan Erhan di lengannya. “Nanti aku minta Meta supaya meminta waktu Nadira. Sebaliknya, kau harus siap sedia jika misalkan aku katakan kami siap pergi. Bagaimana?" Ganjar memberikan saran yang dengan atusiasnya diangguki oleh Erhan.

"Aku akan selalu siap. Kapanpun." Jawab Erhan dengan penuh semangat. "Akhirnya, aku bisa bertemu dengan jodohku juga." Gumamnya dengan mata berbinar.

Ganjar mengangkat sebelah alisnya memandang pria yang lebih muda darinya itu. jodoh? Tanyanya dalam hati. kapan pria itu akan benar-benar sadar dan berhenti mengucap kata suka dan jodoh pada sembarang wanita? Namun Ganjar tidak mengatakan itu dari mulutnya. Ia lebih memilih bungkam dan menggeser berkas yang tadi ia bawa ke hadapan Erhan.

"Lupakan Nadira untuk sejenak. Sekarang, waktunya bekerja." Tegur pria itu. “Periksa laporan itu baik-baik dan nanti akan kita rapatkan.” Ujarnya seraya bangkit dari duduknya.

Jika saat pertama kali kedatangan Erhan ke Coskun Ganjar memiliki posisi sebagai asisten COO (yang kala itu COO dipegang oleh Lucas), kini posisi Ganjar sudah berganti menjadi wakil COO. Satu tingkat di bawah Erhan secara langsung, namun tetap menjadi mentor pria itu sebelum nantinya ia pindah ke perusahaan yang dirintis oleh Lucas. "Bekerjalah dengan baik, Sir. Saya tidak mau Sir Adskhan memarahi saya karena lalai bertugas hanya karena Anda meminta nasihat berkencan." Ganjar menepuk bahu Erhan sebelum meninggalkan ruangan pria itu.

Erhan memandang pria itu seraya mengedipkan sebelah matanya dengan gaya genit. Ganjar tertawa melihatnya.

Berjam-jam kemudian. Setelah membaca semua dokumen yang menumpuk, akhirnya Erhan bisa membebaskan kepalanya dari pekerjaan yang memusingkannya. Ia sudah sampai di basement apartemen yang beberapa hari ini ia tinggali. Apartemen baru yang sengaja dia sewa supaya ia tidak lagi perlu tinggal di hotel atau di kediaman paman dan bibinya.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam dan dia telah melewatkan jam makan malamnya. Dalam perjalanan menuju lift, Erhan melihat selebaran makanan yang menerima delivery order. Erhan yang merupakan penghuni baru apartemen tersebut dengan sukacita mengambil satu persatu lembaran menu sebelum memasuki lift. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran seseorang karena terlalu terfokus pada lembaran menu yang ada di tangannya.

Wangi bunga chamomile khas bayi menguar di udara. Wangi yang entah bagaimana begitu disukai Erhan. Matanya membelalak seketika ketika ia melihat pantulan seorang gadis dari dinding lift yang seluruhnya dilapisi cermin. Gadis yang berdiri tenang di sampingnya itu kini sedang asyik menunduk dan memandang ponselnya. Mengenakan kaos putih dengan hotpans jeans diatas lutut, sebagian besar tubuh langsing itu tertutupi oleh sebuah cardigan lengan panjang dengan panjang tubuh sampai ke bawah lututnya. Dan yang mengejutkannya lagi, wanita itu tidak menekan tombol lantai lain. Yang berarti mereka tinggal di lantai yang sama? Erhan terbelalak seketika dengan pertanyaan dalam kepalanya.

Demi apa? Erhan ingin bersorak dengan gembira karenanya. Namun alih-alih memekik kegirangan, ia malah mengepalkan tangannya dan menutupi mulutnya dengan itu. Erhan kembali pura-pura membaca menu di hadapannya, meskipun matanya sesekali menatap cermin berharap gadis itu mendongak dan menyadari keberadaanya. Bahkan Tuhan sudah memberikannya jalan. Ia hanya perlu merancang cara untuk mendekati gadis itu.

Pintu lift terbuka di lantai mereka. Erhan dengan sengaja memilih membuka ponselnya sebelum keluar dari lift. Dia tidak ingin gadis itu merasa diikuti. Jadi dia memunggungi gadis itu dan kembali menghadap pintu lift seraya berpura-pura menelepon.

Erhan kembali terbelalak ketika melihat gadis itu membuka pintu unit tepat di depan pintu unitnya. Waaaw,, jodoh memang tidak lari kemana. Erhan kembali berjalan menuju unitnya sembari menyanyikan sebuah lagu dangdut yang ada di kepalanya.

"Pacarku memang dekat, tiga langkah dari depan..
Tak perlu kirim surat, sms juga gak usah...
Duh aduh memang asyik.. punya pacar tetangga..
Biaya apel pun irit. Gak usah, buang duit."

Terus saja Erhan bersiul seraya memasuki unitnya dan bahkan sampai ia masuk ke kamar mandi dan melupakan makan malamnya yang tadinya akan ia pesan.

Erhan berbaring di atas tempat tidurnya, kembali mengatur rencana untuk mendekati tetangga seberang unitnya.

'Apa aku harus minta gula?' ia bermonolog. Lalu kemudian menggelengkan kepala. 'Nanti dipikirnya aku miskin sampai gula pun tidak punya'. Erhan menggelengkan kepala. 'Minta pinjam alat?'. Erhan lagi-lagi menggeleng. Mana mungkin seorang gadis memiliki alat pertukangan.

"Arrggghhh...!!" Erhan mengacak rambutnya dengan gemas. Perutnya kembali berbunyi. Dia benar-benar lapar sekarang. Erhan kembali ke meja bar dan melirik menu yang ada di meja. Lalu kemudian sebuah ide terbersit di kepalanya. Erhan memencet beberapa tombol dan memesan beberapa jenis makanan di tempat yang berbeda. 'baiklah, kita tunggu makanannya. Bertindak seolah tidak tahu apa-apa dan say hai pada tetangga baru'.

Setengah jam menunggu, bagian delivery datang hampir secara bersamaan. Lima kotak makanan untuk masing-masing menu sudah mengisi meja barnya. Ada empat unit yang harus ia datangi. Erhan memasukkan setiap jenis makanan untuk dikirim pada satu unit dalam satu bungkus besar. Ia akan menjadikan unit depannya sebagai tempat terakhir untuk dikunjungi.

Erhan menekan bel dengan tak sabar. Kakinya mengetuk kakinya berkali-kali. Mulutnya komat kamit menggumamkan setiap sapaan yang akan dia keluarkan jika gadis itu muncul.

Suara pintu diputar memenuhi indra pendengaran Erhan. Erhan menegakkan punggungnya, sebuah senyum terukir di wajahnya. Ia siap menyapa namun cukup terkejut saat melihat seorang lelaki dengan tubuh tambun membuka pintu dan mendongak ke arahnya dan matanya tampak berbinar. "Siapa ya?" Tanya pria itu dengan gemulai. Setidaknya Erhan merasa lega karena pria di depannya setidaknya bukan benar-benar

"Saya penghuni unit baru." Erhan menunjuk pintu unit di belakangnya dengan ibu jarinya. "Sebagai perkenalan sesama tetangga." Erhan menyodorkan kantong berisi makan malam itu pada si pria tambun. "Saya sudah bertemu dengan dua pemilik unit lainnya, dan unit ini unit terakhir yang saya datangi. Saya Errhan." Erhan mengulurkan tangannya.

"Oh, Saya Feri tapi lebih suka dipanggil Fera." Ucapnya dengan gemulai.

"Siapa Fer?" Sebuah suara di belakang pintu menyahut.

"Tetangga baru, Cin." Jawab Feri yang suka dipanggil Fera itu.

Terdengar suara sandal mendekat. Erhan melihat gadis itu masih mengenakan pakaian dan cardigan yang sama. Matanya membelalak seketika ketika melihat Erhan. "Loe?!" Tanyanya.

"Oh, Hai!" Erhan berusaha tampak terkejut. "Waah, kita ketemu lagi disini ternyata. Jodoh emang gak kemana ya." Ucapnya dengan senyum semanis mungkin.

Nadira tampak mengerutkan dahi ketika Erhan mengatakan kata 'jodoh'. "Kalian saling kenal?" Feri yang suka dipanggil Fera itu memandang Nadira dan Erhan bersamaan.

"Dia sepupu iparnya Gisna." Jawab Nadira lugas.

"Ohhh,, masih keluarga Levent ternyata. Pantas aja sedikit beda." Ucap Feri yang suka dipanggil Fera itu dengan tawa centilnya. "Mas nya mau masuk? Yuk, sekalian kita juga baru mau makan." Ajak Feri yang suka dipanggil Fera itu seraya membuka pintu lebih lebar dan memberikannya jalan.

"Kenapa loe ajak orang seenaknya ke apartemen gue?" Nadira melotot pada si Feri yang suka dipanggil Fera itu.

"Jangan jutek gitu dong, Ra. Sesama tetangga itu harus ramah, biar ke depannya kalo ada apa-apa bisa saling bantu.

"Gue milih tinggal di apretemen itu biar gak usah SKSD sama tetangga Fer..." Gerutu Nadira seraya kembali memilih masuk ke dalam apartemennya.

"Gak usah ditanggepin, Mas. Dia mah emang gitu orangnya." Ajak Feri yang suka dipanggil Fera itu. Namun tak ingin membuat wanita incarannya ilfeel, akhirnya Erhan memilih undur diri saja.

"Lain kali aja ya." Tolak Erhan. "Kebetulan saya sudah menyiapkan makanan saya sendiri di unit. Tapi kalau kurang, masi ada satu set lagi di unit saya, bagaimana?" Tawarnya dengan harap-harap cemas.

"Ah gak usah, ini juga udah cukup kok." Tolak Feri yang suka dipanggil Fera itu dengan cara yang tak kalah halusnya. "Oh iya, ini nomor ponsel saya." Pria setengah matang itu menyerahkan kartu namanya. "Kalau ada perlu apa-apa Mas bisa hubungi saya. Atau kalau Mas punya niat jadi model, saya bisa bantu. Mas nya cocok kok masuk di agency kita. Kebetulan saya ini kerja jadi manager artis. Kali aja Mas nya minat."

Erhan ingin bersorak gembira, namun sebisa mungkin dia tahan. Satu orang dekat dengan Nadira bisa ia dekati. Maka ia selangkah lebih dekat untuk memiliki gadis itu. Erhan menerimanya dan setelahnya pamit. Ia melirik ke dalam apartemen, gadis pujaannya itu sedang duduk bersila di depan meja dengan mata menatap layar datar di hadapannya.

Kembali mendendangkan lagu pacar lima langkah, Erhan sesekali menciumi kartu nama yang diberikan si Feri yang suka dipanggil Fera itu. "Nadira ohhh Nadira..." Erhan sudah kembali ke unitnya dan bersiap menghabiskan makan malamnya.

Part 5 – Daftar

"Tuh cowok kece nya pake banget ya, Cin." Komentar Fera bin Feri seraya meletakkan makanannya di atas meja di hadapan Nadira. Wajahnya yang bulat tampak merona malu. "Beneran ya keluar Levent itu cowoknya pada cuco semua.” Lanjutnya lagi. “Mestinya gue cepat-cepat operasi ganti kelamin kali ya supaya bisa dapat cowok ganteng kayak dia. Menurut loe, gimana?”

Nadira mengangkat sebelah alisnya dan memandang Fera bin Feri tajam. Lalu kemudian dia mendecih. "Loe pikir kalo semisal loe ganti kelamin dia bakalan suka sama loe?” tanyanya tak yakin. “Sejauh yang gue tahu, meskipun loe ganti kelamin jadi cewek, hormon loe tetep laki. Dan laki normal gak bakalan terpesona meskipun loe udah berubah bentuk jadi kayak Kim Kardashian juga.” Ucapnya apa adanya. “Lagian gue gak bisa ngebayangin kalo loe ganti kelamin.” Lanjutnya. Kembali memperhatikan tubuh Fera bin Feri dari atas kebawah. “Semisal loe punya dada…” Nadira menunjuk dada Fera bin Feri dan kemudian tertawa terbahak.

"Setan loe. Teman macam apa loe, tega amat ketawain temen sendiri." Fera bin Feri tampak cemberut. Nadira menghentikkan tawanya dan mencolek dagu pria kemayu itu dengan cara menggoda.

"Udah terima kenyataan aja. Tuhan itu ngelahirin loe jadi laki supaya loe jadi laki. Loe tuh mestinya bersyukur terlahir dengan fisik sempurna. Di luaran sana banyak orang yang lahir dengan cacat fisik. Kalo loe mau merubah diri loe jadi cewek itu namanya pelanggaran fitrah." Nadira kembali menyuapkan ayam di hadapannya.

Tanpa menjawab komentar Nadira. Fera membuka bingkisan yang dikirim oleh Erhan. Satu box berisikan kimbab, satu lagi berisikan ayam geprek, lalu ada box berisi cheesecake, dan dua box lagi berisi kue kering yang tampak menggiurkan.

"Wah, makanan bikin gagal diet semua nih." Komentar Fera. Dia melihat label toko yang ada dalam kemasan dan kemudian meraih ponselnya untuk melakukan pencarian di internet. Tak lama mata pria gemulai itu terbelalak. Ia menunjukkan layar di tangannya pada Nadira. "Anjaayyy tuh cowok kelewat tajir apa sombong?" ucapnya terkesima karena harga semua makanan yang ada di hadapannya kini bernilai cukup fantastis. Dan kemudian melanjutkan makan kue di hadapannya. "Jangan ngambek kalo kue ini habis sama gue ya. Jarang-jarang dapet kue mahal, enak-enak lagi." Ucapnya dengan mulut penuh.

"Slow bae, gue nggak bakalan rebut." Ucap Nadira menepuk punggung Fera. Ia sendiri masih asyik menghabiskan nasi padang dengan rendang di hadapannya tanpa menoleh pada Fera.

“Apa dia juga setajir keluarganya yang lain?” Tanya Fera lagi. Tampak enggan mengalihkan topik pembicaraan dari Erhan.

“Mana gue tahu.” Jawab Nadira seraya mengedikkan bahu.

“Tapi kan, temen loe nikah sama salah satu Levent. Masa iya loe gak tahu?”

“Yang nikah sama keluarga Levent itu Gisna. Yang jadi keluarga cowok itu juga Gisna. Jadi ngapain gue mesti tahu silsilah keluarganya dia?” tanya Nadira tak suka. “Lagian kenapa loe kepo?”

Fera bin Feri mengedikkan bahu. “Cuma mau tahu aja, kenapa keluarga kaya macem dia milih tinggal di apartemen level menengah maca ini. Bukannya di apartemen mewah yang harganya gak bakal pernah masuk ke kantong gue?” tanya Fera lebih pada dirinya sendiri. Nadira mengedikkan bahu.

“Besok-besok, kalo loe ketemu sama dia. Loe tanya langsung sama dia.” Jawabnya seraya mengangkat piringnya dan berjalan menuju wastafel.

Keesokan paginya Nadira terkejut mendengar kabar bahwa sahabatnya Gisna menghilang. Meta yang menghubunginya terdengar begitu panik. Dan karena hal itu juga membuat Nadira turut panik. pasalnya, bertahun-tahun Nadira mengenal Gisna, ia merasa yakin bahwa sahabatnya itu tidak akan berbuat senekad itu jika tidak dalam keadaan terpaksa. Terlebih saat ini sahabatnya itu tengah mengandung.

Nadira kebingungan. Memikirkan kemungkinan dimana keberadaan Gisna saat ini. Gisna bukan orang yang mudah bergaul, jadi Nadira tahu bahwa ia tidak punya banyak teman. Terlebih sahabatnya itu adalah tipe anak penurut yang tentunya tidak suka membuat orang lain khawatir, apalagi ibunya.

Ya. Ibunya. Nadira harus memastikan dulu apa ibu sahabatnya ini tahu mengenai hal ini.

Dengan cepat Nadira pergi ke kamar mandi. Membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan kemeja putih lengan panjang dan celana jeans. Saat hendak meraih kunci mobil, tiba-tiba saja bel apartemennya berbunyi. Nadira melirik dari lubang pintu dan melihat suami sahabatnya itu tampak berdiri dengan raut tak sabar.

"Ya?" Nadira membuka pintu apartemennya dengan wajah malas.

"Ra, apa Gisna kemari?" Tanya pria itu. ia hendak menerobos masuk ke dalam rumah namun Nadira menahannya. Nadira jelas melihat kantung mata di wajah pria itu. Tampak sekali pria itu begitu lelah dan kurang istirahat. Penampilannya terlihat begitu acak-acakan, tidak seperti biasanya dimana Lucas selalu tampil modis dan rapi. Tapi saat ini, Nadira menolak untuk merasa kasihan. Tidak akan ada akibat kalau tidak ada sebab, bukan?

"Kau suaminya, tapi kenapa kau bertanya padaku?" Nadira menjawab seolah dia tidak tahu apa-apa mengenai kepergian Gisna.

Nadira tahu apa yang saat ini terjadi pada sahabatnya dan suaminya. Semuanya bermula karena kehadiran rekan sesama profesinya yang Nadira pikir seorang wanita baik-baik. Rasa penyesalan kembali masuk ke hatinya. Ini semua karena dia yang termakan umpan. Dialah yang sudah mendekatkan Gisna dengan wanita sialan itu. tapi tahan, ini bukan saat yang tepat baginya untuk mengumpat.

Ia balik memandang Lucas dengan tatapan tajamnya. "Kupikir kau pria baik-baik.” Ucapnya dengan nada menghina. “Tapi ternyata, kau dan wanita itu sama saja." Ucap Nadira ketus. "Aku tidak tahu dia dimana. Kalau-kalau kau lupa, Gisna dan ibunya, keduanya yatim piatu. Jadi mereka tidak punya tempat yang hendak dituju. Kalau Bi Minah, aku tidak tahu darimana dia berasal. Kami tidak sedekat itu untuk saling mengobrol. Tapi kalaupun aku tahu dimana Gisna saat ini, aku tidak punya kewajiban untuk mengatakannya padamu." Jawab Nadira lagi. Nadira masih saja berdiri di depan pintu apartemennya dengan melipat kedua lengan di depan dada. Ia sama sekali tidak ingin mempersilahkan pria itu masuk.

"Kumohon, Ra. Bantu aku." Pria di hadapannya begitu memelas, memohon dan membujuk kepadanya. Nadira sebenarnya tidak tega, tapi memang faktanya dia juga tidak tahu keberadaan Gisna. Apa yang ada dipikirannya berbeda dengan apa yang dikatakannya.

"Untuk apa? Apa untungnya untukku? Bukankah aku sudah mengatakan padamu sebelumnya, memintamu untuk membahagiakan dia. Aku sudah mengatakan padamu kalau Gisna bukanlah orang yang sabar dan tegar. Tapi kau terus menerus menguji kesabarannya. Aku saja yang hanya menjadi pendengar sudah tidak kuat menahan marah. Apalagi dia. Kau pikir dia orang suci? Kau pikir dia itu biksu? Dia manusia biasa. Kau hanya tinggal berdoa saja semoga dia berubah pikiran dan memilih kembali kepadamu." Dengan cepat Nadira kembali masuk ke apartemennya dan dengan sengaja menutup pintu begitu keras di hadapan Lucas.

Ia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi minta. "Ya?" Tanya sebuah suara di seberang sana.

"Ta, loe beneran nggak tahu di mana Gisna?" Tanyanya ingin tahu. Ia tahu semuanya ini sebenarnya sia-sia. Meta tak mungkin menyembunyikan hal itu darinya jika memang dia tahu. Tapi tidak salah kan jika Nadira berharap Gisna menghubungi sahabatnya itu.

"Gue beneran gak tau, Ra. Gue juga udah nanya sama si Ganjar kali aja dia tahu. Tapi cowok gue juga bilang kalo dia nggak tahu apa-apa. Sir Lucas juga malahan baru aja datang ke kantor. Gue denger dia nanya sama Sir Adskhan, sama Sir Erhan juga. Tapi Ganjar bilang keduanya bilang nggak tahu." Nadira meremas rambutnya dengan kasar dan bahkan menggigit bibir bawahnya dengan khawatir.

Tangannya beralih turun dan mengetuk-ngetuk meja bar dengan gerakan cepat. "Lakinya barusan datangin gue. Dia pikir gue tahu dimana Gisna. Gue jadi panik sendiri." jawabnya jujur.

"Gue yakin Gisna baik-baik aja." Jawab Meta optimis.

"Tapi kemana dia pergi?” tanyanya lebih pada diri sendiri. “Ya udah kalo ada kabar apa-apa dari Gisna, cepet kabarin gue." Perintahnya lagi.

"Iya..." Jawab Meta dengan datar. Tapi walau bagaimanapun, Nadira tidak bisa tenang begitu saja.

Sesaat setelah mematikan panggilan, ia mendengar suara ketukan di pintu. Dengan langkah cepat dia berjalan ke pintu dan membukanya kasar. “Apa lagi!” bentaknya, menduga bahwa di depannya itu masih ada Lucas.

“Loe gila?” bentak Fera bin Feri. Pria kemayu itu mengusap daun telinga dengan tangannya yang bebas.

“Sorry. Gue pikir loe orang lain. Lagian kenapa pake ketuk pintu segala sih?” jawabnya seraya berjalan masuk kembali.

“Gue udah buka kunci, tapi loe malah ngunci diri di dalem.” Jawab Fera bin Feri dengan nada kesal. Nadira terdiam, mungkin tadi saat ia menutup pintu, tanpa sadar dia mengunci pintu dari dalam juga.

“Sorry, gue lagi bingung.”

“Bingung kenapa?” tanya Fera bin Feri khawatir. Tapi Nadira memilih tidak menjawab dan tampaknya Fera bin Feri mengerti hal itu. “Loe udah siap ternyata. Kalo gitu kita berangkat.”

“Berangkat? Berangkat kemana?” tanyanya bingung.

“Loe lupa? Hari ini kita Ada pemotretan di Levent Property. Loe Masih ingatkah kontrak yang ditandatangani bulan lalu?" Nadira mengerutkan dahi. "Itu loh kontrak tentang loe yang jadi model perabot rumah tangga yang dibuat sama Coskun Company."

Lagi-lagi Nadira melupakan sesuatu. "Oh.. iya. Gue inget. Emang jadwalnya sekarang?" Tanya Nadira. Fera mengangguk. “Itu?” tunjuknya pada bungkusan yang dipegang Fera bin Feri di tangannya.

"Ini pakaian yang mesti loe pakai." Fera menunjukkan sebuah gaun yang terbungkus rapi di tangannya. “Gue kesini pake taksi, makanya repot.” Ucapnya kesal. "Loe mau make-up an disini apa disana?"

"Disana aja lah." Jawab Nadira dengan santai. Sejenak Nadira melupakan pencariannya terhadap Gisna.

Empat puluh lima menit kemudian mereka sudah sampai di sebuah gudang besar yang memiliki logo CC di bagian depannya. Tempat yang merupakan pabrik pembuatan properti rumah tangga terbesar yang Nadira tahu saat ini. Tempat milik keluarga imigran Turki yang salah satu anggota keluarganya tadi pagi sudah menggedor pintu apartemennya. Dan anggota keluarganya yang lain kini menjadi tetangganya yang semalam tengah menjamu nya dengan makan malam mahalnya.

Nadira dan Fera bin Feri mengikuti seorang sekuriti yang menggiring mereka ke area di mana tempat pemotretan berada. Sebuah ruangan luas sudah dihias dengan dekorasi yang indah yang hanya bisa kita lihat di acara home shopping di televisi. Dan di sisi lain ruang itu, terdapat sebuah ruang ganti yang Nadira tahu akan dipergunakannya nanti. Namun sebelum itu, ia harus berbasa-basi dan berkenalan dulu dengan para kru supaya nanti pemotretannya lebih berjalan lancar.

Di ruang make-up, bahkan dalam keadaan tertutup pun Nadira masih bisa mendengar suara bising dari alat-alat seperti gergaji mesin ataupun suara paku yang dipukul dan lain-lain yang berhubungan dengan kegiatan pembuatan benda keras.

“Gila, sebenernya keluarga Levent itu sekaya apa?” Fera akhirnya mengeluarkan komentarnya saat mereka sudah terkurung di ruang make-up. “Bayangin aja, pabrik di depan, studionya berada di bagian belakang pabrik. Belum lagi area parkiran luas. ditambah ruang administrasi. Gue yakin ini tanah gak cukup Cuma satu-dua hektar aja.” Ucapnya dengan nada kagum.

Studio yang dikatakan Fera tadi memang tidak bisa tidak Nadira akui tampak indah. Desainnya bahkan lebih seperti rumah sendiri daripada sekedar tempat pemotretan saja. Meskipun hanya sekilas, ia tahu bahwa motif dinding berlapis ukiran kayu dengan dasar warna putih, peach dan gold, itu tidaklah murah harganya. Dan kursi-kursi bergaya vintage yang di dominasi dengan warna soft serta perabotan lain yang nantinya akan masuk dalam katalog produk tentu akan dibandrol dengan harga yang fantastis. Ya. Fera bin Feri benar. Seberapa kaya sebenarnya keluarga Levent itu? betapa beruntungnya Gisna dan juga Caliana karena berhasil menaklukan hati pada pria berwajah bengis itu.

Betapa beruntungnya mereka karena mendapatkan pria yang jelas tampak begitu memuja mereka. Mungkinkah Nadira bisa merasakan hal yang sama? Tidak. ia menggelengkan kepala pelan yang membuat penata riasnya mengerutkan dahi bingung.

Tidak. kemewahan seperti itu bukan sesuatu yang ada dalam daftar hidupnya. Ia suka dengan cerita romantis. Entah itu cerita yang berakhir tragis ataupun bahagia. Namun ia tahu, bahwa ia tidak akan pernah menjadi tokoh utama dalam cerita seperti itu. dia bukan orang yang percaya pada cinta. Apalagi pernikahan.

Ia melirik Fera yang kini mengeluarkan gaun yang sejak tadi berada dalam bungkusan. Gaun sederhana. Sebuah gaun berwarna hitam tanpa lengan dengan bentuk leher V yang hampir menyentuh belahan dadanya. Panjang gaun itu mencapai lututnya. Dan bahannya. Jika Nadira sentuh, ia tahu bahwa bahan pakaian itu berkualitas tinggi dan tentunya tidak murah. Inilah yang menjadi mimpinya. Inilah yang ada dalam daftar keinginannya. Menjadi seorang perancang busana. Bukan pernikahan. Bukan menjadi ratu dalam sebuah istana. Tapi menjadi seorang fashion designer.

Ia kembali melihat pantulannya di cermin. Puas dengan dengan make up natural yang diusapkan ke wajahnya. Tatanan rambutnya yang juga dibuat Casual membuat Nadira merasa menjadi dirinya sendiri. ia tersenyum, dan setelah Nadira akhirnya keluar dari ruangan itu menuju tempat pemotretan akan dilaksanakan.

Visual Cast :

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Ketika Playboy Jatuh Cinta - Part 6-9
4
0
Tidak ada yang percaya ketika Erhan mengatakan ia jatuh cinta. Pasalnya, setiap kali ia melihat wanita cantik, ia selalu mengatakan ia jatuh cinta.Pertama pada Caliana, istri Adskhan. Kedua kepada Gisna, Istri Lucas. Karena hal itulah dia memiliki julukan Wifey Cousin Syndrom karena jatuh cinta pada istri para sepupunya. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Nadira John Hanley. Seorang model berdarah Indonesia-Amerika yang merupakan sahabat dari kakak sepupu iparnya.Erhan mengatakan ia jatuh cinta pada pandangan pertama pada wanita itu. Dan langsung, kata itu ditepis oleh Gisna. Gisna tidak ingin sahabatnya ditaksir oleh pria plin plan macam Erhan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan