
Perjuangan Tanisha baru akan dimulai, bagaimana kisahnya
Jangan lupa love dan komen ya
Part 6 - Nenek
Tanisha membuka pintu gerbang rumahnya tanpa turun dari sepeda motor maticnya. Seiring dengan pintu besi terbuka, pintu depan rumahnya pun terbuka. Menunjukkan sosok wanita lanjut usia yang mengenakan daster batik dan kerudung lebarnya. Wajah cantik yang termakan usia itu menatapnya dengan senyuman lembut khasnya.
Tanisha melajukan motornya, masuk ke dalam rumah yang pintunya sengaja dibukakan oleh sang nenek, terus memasukkan motornya dan memarkirkannya di ruang tamu kecil rumahnya.
Rumah yang ia tempati memang memiliki teras, tapi untuk menghindari dicuri maling, Tanisha lebih memilih memasukkan motornya ke dalam rumah, meskipun itu membuat ruang tamunya yang tidak terlalu besar jadi terlihat semakin sempit.
Melepas helm dan mencium punggung tangan neneknya. Tanisha lantas kembali keluar rumah dan menutup kembali pagar besi dan menguncinya dengan gembok besar.
"Bang Toni beliin sate kambing, Nek." Tanisha menyerahkan keresek hitam kepada neneknya. "Katanya baru gajihan. Trus Bang Toni bilang besok dia mampir kesini." Tanisha sudah melepaskan jaket anti air dan sepatunya. Masuk ke dalam kamar untuk meletakkan tas, jaket dan ikat rambutnya. "Nisha mandi dulu ya, Nek. Belum magriban soalnya. Nenek makan duluan aja."
Tanisha berjalan menuju dapur. Meraih handuk dalam perjalanannya. Rumah mereka tidaklah besar. Hanya sebuah rumah berukuran tujuh kali sepuluh dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi yang menyatu dengan dapur. Dan ruang tamu kecil serta ruang tengah yang tidak berkursi yang selalu mereka gunakan untuk menonton TV.
Neneknya mengikuti dari belakang. Mengambil peralatan makan bertepatan saat Tanisha masuk ke kamar mandi. Tak menghabiskan waktu sampai lima belas menit, Tanisha sudah selesai dengan semua rutinitasnya. Ia kembali ke ruang keluarga dan melihat bungkusan sate itu hanya berpindah ke atas piring, tanpa dibuka sama sekali oleh neneknya.
"Kenapa didiemin?" tegurnya pada sang nenek. Tanisha kemudian membuka satu bungkusan yang tidak ditandai dan meletakkannya di atas piring sebelum menyerahkannya pada sang nenek. Sementara miliknya sudah sedikit disobek sebagai tanda bahwa miliknya sudah diberi sambal.
Neneknya menerima piring berisi sate dan mulai mengaduk bumbunya sehingga lontongnya sepenuhnya terbumbui. "Gimana rapatnya?" tanya neneknya setelah suapan pertama.
"Capek dan membosankan." Jawab Tanisha dengan gaya berlebihan. Neneknya terkekeh mendengar jawabannya.
"Habis lihat kantor pusat, kamu jadi mau kerja disana?" Tanya Neneknya lagi dengan tatapan ingin tahu.
Tanisha mengerucutkan bibirnya, tampak berpikir. Namun kemudian menggelengkan kepala. "Sekilas pandang sih kerja disana emang kelihatan enak, Nek. Gedungnya gede, ada AC—meskipun di toko juga ada AC nya—trus nya peralatannya canggih-canggih dan bagus. Meja kerja rapi, berpakaian bagus dan rapi juga. Trus Nisha gak perlu lagi angkut-angkut barang, rapihin etalase dan lainnya. Yang paling enaknya, perlu nombokin minus." Ujarnya terkekeh. "Tapi tetep aja ada gak enaknya juga."
"Gak enaknya?" tanya Neneknya lagi.
"Nisha cuma bakal ketemu sama orang yang itu-itu aja tiap harinya. Bos yang galak. Temen kerja yang cerewet plus suka kepoin masalah orang. Dikejar laporan terus-terusan. Gak bisa bebas bercanda bebas saat jam kerja karena takut ditegur bos, belum lagi saat kejar target. Orang-orangnya juga kelihatan ngebosenin. Kayaknya mau ketawa atau kentut tuh harus ditahan gitu." Jawabnya asal, neneknya terkekeh. "Beneran, Nek. Kayaknya tuh mereka kalo ketawa takut bedaknya pecah. Atau mungkin takut keriput di sudut matanya itu nambah?" tanyanya di akhir kalimat.
Neneknya hanya terkekeh saja. "Kamu itu, kalo ngeledek orang gak jauh beda sama kakek kamu."
"Ya, kan kalo buah gak jatuh jauh dari tanahnya." Jawab Tanisha santai.
Mereka melanjutkan makan dengan membicarakan hal-hal sepele. Seperti gosip yang terjadi pada tetangga mereka. Gosip artis yang neneknya lihat tayang di TV. Si anu akhirnya mau nikah sama si ini. Dan Tanisha menyukai momen-momen seperti itu. Meskipun saat neneknya mengomentari acara sinetron di TV ia tidak paham karena tidak pernah menontonnya secara rutin.
Pukul Sembilan malam, mereka memutuskan untuk kembali ke kamar mereka masing-masing. Bersiap mengisi tenaga untuk melanjutkan hari esok.
Lima tahun terakhir ini, neneknya sudah tidak lagi berjualan nasi uduk. Dulu, empat belas tahun yang lalu. Saat pertama kali mereka pindah kesini, kakeknya terlihat kebingungan. Karena pria itu tidak bisa melakukan aktifitas berkebun seperti kebiasaannya karena memang tidak ada lahan yang harus ia tanami. Pada akhirnya, waktu berlalu, lantas mendiang kakeknya mencetuskan ide untuk membuat sebuah kedai bubur kacang hijau. Maka mulailah mereka berjualan bubur kacang hijau sebagai menu sarapan.
Ternyata, antusiasme warga kala itu sangatlah positif. Setelah membuat bubur kacang, nenek kemudian ingin uji keberuntungan juga. Maka nenek mencoba membuat nasi uduk. Dan lagi, nasi uduk nenek terjual laris manis. Hingga di usia nenek dan kakek yang sudah tua itu, mereka kembali produktif bekerja.
Ketika Tanisha bertanya apa kakek dan neneknya tidak lelah. Karena setiap harinya mereka harus bangun sebelum subuh untuk membuat semua makanan itu. Kakek dan neneknya menjawab, bahwa saat mereka berjualan dan bertemu dengan orang-orang baru. Mendengarkan cerita mereka. Itu sama saja dengan menambah pengetahuan mereka.
Kakek dan neneknya juga mengajarkannya bagaimana cara membantu orang lain dengan seringkali memberikan makanan secara gratis pada mereka yang kebetulan lewat dan terlihat tidak memiliki uang.
Karena tak ingin berpangku tangan. Maka Tanisha pun memiliki ide untuk membawa bubur kacang buatan kakeknya dan nasi uduk buatan neneknya ke sekolah.
Alhasil ia bersekolah sambil berjualan. Lantas kakek dan neneknya giliran bertanya padanya. Apa Tanisha tidak malu. Membawa keranjang berisi makanan untuk ia jual di sekolah. Tanisha menggeleng. Kakeknya selalu mengajarkan bahwa sesuatu yang didapat secara halal, meskipun sedikit akan menjadi berkah. Dan memang Tanisha menyukainya.
Mungkin itu jugalah yang mendasarinya melamar ke Arion Group. Ketika sebagian orang merasa malu karena bekerja sebagai 'Pelayan Toko', tapi bagi Tanisha itu adalah sebuah kesenangan tersendiri. Terlebih ia tahu bahwa di Arion toko ada kebijakan tentang jenjang karir. Dan itu sedikitnya membuat Tanisha merasa bahwa dirinya bisa bersaing meskipun dirinya hanyalah seorang lulusan SMA, bukan sarjana.
Dan setelah kakeknya meninggal tujuh tahun lalu. Tinggalah neneknya yang berjualan. Itu pun sesekali dibantu oleh Toni dan Tanisha saat Toni tidak bekerja dan saat Tanisha tidak sekolah. Tanisha meminta neneknya berhenti berjualan. Bukan karena apa-apa. Tapi neneknya sudah tidak muda lagi. Dan terlebih, untuk kehidupan mereka berdua sebenarnya sudah cukup dari dana pensiun kakeknya. Tapi neneknya menolak, karena ia merasa bosan jika harus sendirian di rumah dalam waktu yang lama.
Akhirnya setelah Tanisha lulus sekolah dan mendapat pekerjaan, neneknya sudah tidak bisa berkutik lagi. Namun untuk menghindari rasa bosannya, kini neneknya membuka rumahnya untuk mengajari siapa saja yang ingin belajar mengaji. Neneknya mengajak para wanita yang buta huruf baik itu alphabet ataupun hijaiyah untuk belajar bersama dengannya. Dan setelah dua tahun berlalu, murid neneknya semakin lama semakin bertambah. Tidak hanya orang tua seusianya. Tapi juga anak-anak kecil dan anak-anak remaja sekarang mulai sering keluar masuk rumah Tanisha.
Tapi belakangan ini, Tanisha merasa ada yang berbeda dengan neneknya. Tanisha tidak tahu apa. Tapi ia harus mencari tahu. Besok, dia akan bertanya pada neneknya. Kalau neneknya tidak mau mengatakan apa masalahnya pada Tanisha. Maka Tanisha akan meminta bantuan Bang Toni untuk mencari tahu.
Part 7 - Masa Lalu
Tanisha terbaring di atas tempat tidurnya. Layar ponselnya menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi ia masih tidak bisa terlelap. Tanisha memang selalu seperti itu. Saat kepalanya dipenuhi bermacam pikiran, maka ia akan mengalami insomnia. Dan bahkan ia tidak akan tidur sama sekali sampai pagi menjelang, sementara ia harus melakukan aktifitasnya seperti biasa.
Dan kali ini, insomnianya diakibatkan pertemuannya dengan wanita yang selama lima belas tahun ini dilupakannya. Atau ia coba lupakan.
Bayang-bayang masa lalu seolah kembali menghantuinya. Hanya sedikit memori yang masih tersimpan dalam benaknya, tentang kehidupannya sebelum ia tinggal dengan kakek dan neneknya.
Tanisha akui, ia bahkan sudah lupa bagaimana wajah ayahnya kini. Itu fakta, bukan kebohongan yang ia ada-ada. Layaknya kau ditinggalkan jauh oleh seseorang, dimana kau tidak punya potret untuk dikenang dan hanya mengandalkan ingatanmu saja. Tentu saja perlahan ingatanmu akan pudar. Atau jika tidak, ingatanmu akan tenggelam, tersimpan di sebuah sudut memori yang sulit untuk kau gali.
Begitulah posisi ayah Tanisha di kepalanya. Tersembunyi. Berada dalam posisi terjauh dan terabaikan.
Kakeknya dengan keras menegaskan untuk tidak menyimpan kenangan apapun tentang ayah Tanisha. Dan neneknya menurut saja. Dan Tanisha, selama lima belas tahun ini tak pernah sekalipun menanyakan tentang ayahnya pada mendiang kakek ataupun kepada neneknya.
Bukan karena ia membenci ayahnya. Tapi karena ia takut lagi-lagi mendapat penolakan. Rasa sakit karena dibuang itu masih menjadi mimpi buruknya sampai saat ini. Bahkan ketika Tanisha pergi menjiarahi makam ibunya, usiran yang ia terima serta hinaan dari para wanita itu selalu menjadi penghias malamnya. Ia selalu berakhir dengan mimpi buruk dan tangisan yang ia redam.
Entah mendiang Kakeknya ataupun neneknya tahu atau tidak. Karena sejak usianya sepuluh tahun, ia berusaha menyembunyikan semua kesakitan itu sendirian.
Masa delapan tahun awal hidupnya perlahan mulai memudar dalam ingatannya. Satu-satunya yang selalu ia ingat adalah wajah ibunya. Karena setiap kali ia bercermin, ia selalu melihat wajah itu disana.
Ilyana. Yang berarti kelembutan. Nama itu diberikan kakek dan neneknya pada ibunya dengan harapan ibunya menjadi pribadi yang lembut. Dan sejauh yang Tanisha ingat, ibunya memang memiliki kepribadian yang lembut. Bahkan saking lembut hatinya, ibunya tidak tahu bahwa ia telah membawa seekor ular kedalam rumahnya.
Tanisha memejamkan mata. Namun bayangan itu kembali memenuhi pelupuk matanya. Wajah ketika wanita itu melihatnya dengan tatapan menghina ketika mereka tak sengaja saling bertatap mata. Meskipun Tanisha sudah berpura-pura tak melihatnya, tapi wajah penuh penghinaan itu terus terbayang di matanya.
Lunara Prisha.
Wanita yang menjadi musuh terbesarnya. Jangan lupakan ibunya, Harini Iswari. Wanita yang menyembunyikan kelicikannya dibalik wajah cantiknya. Wanita yang sudah ibunya bawa atas dasar rasa iba namun ternyata merusak kehidupannya secara perlahan dari dalam.
Tanisha ingat siang itu. Ketika ibunya menjemputnya pulang dari sekolah. Mereka melihat seorang wanita yang seusia dengan ibunya berjalan membawa seorang gadis kecil yang kurus tak terurus. Wanita itu memiliki lebam di wajah, dan terlihat begitu mengenaskan. Ibunya mengenalinya dan menyapanya. Pada awalnya wanita itu menolak untuk mengenali ibu Tanisha. Namun ibu Tanisha begitu sabar membujuk. Lantas ketika itu, ibunya membawa keduanya untuk makan di sebuah foodcourt yang tak jauh dari tempat mereka berpapasan.
Sementara Tanisha memperhatikan gadis kurus di hadapannya makan dengan lahap seolah tak makan selama berhari-hari. Tanisha memperhatikan ibunya tengah menenangkan wanita itu. Lalu dengan baik hatinya ibunya menawari keduanya untuk pulang bersama. Membawa mereka ke istana Ghassan yang megah. Dan sepertinya disana lah semuanya bermula.
Tanisha kecil mungkin kala itu tidak paham akan apa yang terjadi pada dunia orang dewasa. Namun sekarang ia mengerti. Dengan pikirannya sebagai orang dewasa, ketika Tanisha mencoba mengingat lagi, ia akhirnya tahu apa makna dibalik senyum wanita itu kala itu.
Dia. Harini Iswari, jelas sejak saat itu menargetkan istana Ghassan dan pemiliknya untuk menjadi miliknya sendiri.
Ketika ibunya mengajarkan Tanisha untuk berbagi dengan Lunara. Ibu dan anak itu jelas merencakan keburukan lainnya. Sampai akhirnya, hal itu terjadi.
Tanisha tidak mengerti kenapa ayahnya menatapnya dengan benci dan menuduhnya sebagai biang keladi atas kecelakaan yang menimpa ibu dan adik dalam kandungan ibunya. Ia hanya bisa menatap ayahnya bingung kala itu. Saat kecelakaan itu terjadi, Tanisha sedang melakukan darmawisata di sekolahnya bersama seluruh teman-temannya. Ibu dan ayahnya tahu hal itu. Dan seperti kebiasaan dari sekolah, setelah darmawisata anak-anak akan dijaga oleh guru sebelum orangtuanya menjemput.
Tanisha menunggu ibunya kala itu. Karena sebelumnya ibunya berjanji bahwa sepulang darmawisata mereka akan berbelanja untuk keperluan adik bayi. Tanisha saat itu begitu antusias. Namun yang menjemputnya di sekolah bukanlah ibunya, ataupun supirnya. Melainkan kakek dan neneknya.
Mereka lantas mengantarkan Tanisha ke rumah dan menemani Tanisha hingga dirinya tertidur. Tanisha bahkan tidak sempat bertanya dimana ibunya. Sampai keesokan harinya, ia melihat wajah cantik itu terbaring di lantai dengan kain menutupi hampir seluruh tubuhnya. Dan perutnya, perut ibunya terlihat kecil.
Tanisha menangis terisak dalam pelukan neneknya kala itu. Bahkan ketika mereka ke pemakaman, tidak ada lagi suara di tenggorokan Tanisha. Dia hanya tahu kalau ia terisak lirih, yang mungkin bagi sebagian orang terdengar memilukan.
Usianya delapan tahun kala itu. Dan di pemakaman itulah Tanisha melihat tatapan benci ayahnya untuk pertama kalinya. Menuduhnya sebagai penyebab kematian ibunya. Sementara ia sendiri tidak tahu apa salahnya. Ia hanya bisa memandang ayahnya dengan bingung.
Dan sekembalinya ke rumah. Ayahnya lagi-lagi mengumpatinya. Mengatakan bahwa ia tak lebih dari seorang anak pembawa sial. Kala itu, Tanisha ingin meminta seseorang untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi tidak ada satu pun yang memberikannya penjelasan. Bahkan kakek dan neneknya pun hanya bisa menutup telinga Tanisha kala itu.
Sampai suatu malam.
#Flashback#
Tanisha bermimpi buruk. Ia melihat ibunya terbaring di atas lantai yang dingin dengan wajah putih membiru. Terbujur kaku. Bahkan ketika Tanisha memanggil-manggil namanya, ibunya tak juga membuka mata.
"Ma.. bangun. Jangan bikin Tisha takut." Tangan Tanisha menggoyangkan tubuh itu. Tapi tubuh itu tidak juga terusik. Ibunya tidak membuka mata. Yang dirasakan Tanisha saat itu hanya rasa dingin yang menembus telapak tangannya. "Ma..." suaranya memanggil lirih.
"Dia gak akan bangun. Dia udah mati. Dan itu semua karena kamu." Sebuah suara memenuhi kepalanya. Tanisha memandang berkeliling, namun tidak ada siapa-siapa disana. Dan tanah dingin yang tadi dipijaknya berubah menjadi tanah merah yang sedikit basah.
"Kamu yang buat ibumu seperti ini. 'Kalau saja kau tidak mencari perhatian, Ilyana ku masih ada disini bersama kita sekarang!' Tanisha melihat tatapan ayahnya yang menuduhnya. 'Kau pembunuh! Dasar anak pembawa sial!'
Tanisha terbangun dari mimpinya dengan dahi berkeringat dingin dan napas terengah. Malam sudah begitu larut. Dan kala itu ia tau kalau ia tertidur sendiri di kamarnya. Tapi ia salah. Karena disana, ada seseorang yang sepertinya sudah menyadari keadaannya.
Wanita itu berjalan mendekat dan duduk di sisi tempat tidurnya. Tangannya mengusap rambut Tanisha dengan gerakan lembut. Tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu mematikan.
"Terima saja keadaan, Tisha yang cantik." Suara itu begitu lirih namun menakutkan bagi Tanisha. Bulu tangannya bahkan meremang seketika. "Ibumu mati, adikmu sekarat, dan sebentar lagi ayahmu juga tidak akan menginginkanmu. Dia tidak akan ada lagi untukmu." Ucapnya di setiap usapan lembutnya.
Adik? Tanisha bahkan tidak mengetahui keberadaan adiknya. Apa adiknya masih hidup? Tapi dimana dia? Kenapa Tanisha tidak melihatnya.
"Kau mau tahu dimana adikmu, bukan? Dia sekarang berada di rumah sakit. Sedang berusaha bernapas. Kalau dia beruntung, dia akan hidup. Tapi kalau tidak, mungkin sebentar lagi kita akan melakukan pemakaman juga untuknya."
"A-apa maksud tante?" tanya Tanisha bingung.
"Maksudku," Ucapnya dengan nada melambat. "jadilah anak yang baik dan penurut. Maka akan kupastikan ayahmu tidak akan meninggalkanmu." Ucapnya dengan senyum licik di wajahnya. Wanita itu bahkan sempat mengusap rambut Tanisha lembut sebelum berlalu meninggalkan Tanisha kecil yang mematung di atas tempat tidurnya.
Dan kemudian Tanisha bisa melihat adiknya. Bayi laki-laki yang tampan dan lucu. Ayahnya memberinya nama Daffa Rezvan.
Keberadaan Daffa seolah membuat ayahnya melupakan kesedihannya sementara waktu. Kala itu, Tanisha berpikir semuanya akan baik-baik saja. Sampai akhirnya perlahan ia mulai dikucilkan. Para pekerja tak lagi mau mengurusinya. Tanisha merasa seperti orang asing di kediamannya sendiri. Ayahnya mengabaikannya. Ia merasa sendirian. Hanya Daffa kecil yang seolah bisa memahami semua kesedihannya. Tapi itu pun tak berlangsung lama. Karena drama terjadi sesudahnya.
Tanisha seolah menjadi tersangka atas segala kesalahan dan kekacauan yang terjadi di rumah. Bahkan gelas yang terjatuh tanpa sengaja pun menjadikannya sebagai seorang anak pemberontak dan pencari perhatian. Ketika Lunara terjatuh, Tanisha menjadi tersangka yang dengan sengaja mendorong Lunara sampai ia terluka. Dan ketika Daffa sakit pun, ia kembali menjadi tertuduh.
Padahal ia sama sekali tak melakukan apa-apa. Padahal yang selama ini dilakukannya adalah mencoba supaya tidak menjadi pusat perhatian. Tapi ketika ia berusaha untuk bersembunyi, justru dirinyalah yang menjadi tertuduh.
Makian dan tuduhan ayahnya semakin lama semakin menjadi dan terasa semakin menyakitkan hati. Tanisha kecil hanya bisa menangis terisak saat semua orang mengira dirinya tertidur. Tatapan mengasihani kini ditujukan para pekerja ayahnya untuknya. Lalu suatu ketika, tiba-tiba saja ayahnya mengantarkannya ke kediaman kakek dan neneknya.
"Ghassan menyerahkan hak asuh Tanisha pada kita." Itulah yang Tanisha dengar suatu malam. Ia berniat untuk mengambil minuman ketika tak sengaja mendengar kakek dan neneknya berbincang.
"Ya Allah, Pa.."
"Papa gak tahu apa yang ada dalam otaknya saat ini. Tapi bagaimana bisa dia melakukan semua ini pada Tanisha, disaat dia hanya seorang anak yang gak tahu apa-apa." Tanisha bisa mendengar kemarahan yang coba ditahan oleh kakeknya.
Tanisha kecil hanya bisa bersembunyi dibalik bayangan gelap. Dadanya terasa sesak dan matanya memanas tiba-tiba. Airmata tanpa suara jatuh begitu saja membasahi kedua pipinya.
"Apa yang harus kita lakukan?" Suara neneknya terdengar begitu lirih dan sedih.
"Dia sudah menyerahkan hak asuh Tanisha pada kita. Mulai sekarang, Tanisha menjadi anak kita. Kita akan menjaganya seolah kita memiliki Ilyana kecil lagi." Jawab kakeknya dengan suara tak kalah sedihnya. -Kala itu Tanisha kecil tidak mengerti arti nada itu. Kini setelah dewasa ia paham. Suara itu mengandung begitu banyak kesakitan dan kekecewaan-.
"Bagaimana dengan Tisha? Kita juga harus mencari tahu keinginannya. Dia punya ayah, dia punya adik. Apa dia mau tinggal dengan kita?" pertanyaan itu muncul dari neneknya.
"Kalaupun Tanisha kembali ke rumah itu. Dia tidak akan bahagia disana. Lebih baik dia disini bersama kita. Anggap saja Tanisha itu anak yatim piatu. Ayah macam apa yang menuduh anaknya sendiri sebagai sumber kematian ibunya? Ghassan sudah benar-benar kehilangan akal. Dia sudah gila." Lagi-lagi suara kakeknya terdengar marah. "Mulai saat ini, putuskan semua komunikasi kita dengannya. Papa akan menjual rumah ini, dan kita akan pindah dari sini."
"Pa.."
"Kita buka lembaran baru. Demi Tanisha, cucu kita." Jawab kakeknya dengan teguh.
Tanisha tak lagi ingin mendengar apapun yang mereka perbincangkan. Dalam diam dia kembali ke kamarnya dan menangis seraya menyembunyikan tubuhnya di balik selimut dan bantal yang menutupi wajahnya.
Dan sejak saat itu Tanisha tahu. Bahwa Tanisha Zaina Ghassan telah berubah nama menjadi Tanisha Zaina Akbar. Sama seperti nama mendiang ibunya Ilyana Nura Akbar. Dan sejak saat itu juga Tanisha berjanji. Bahwa orang yang harus ia cintai dan hormati hanyalah Kakek Akbar dan Nenek Balqis. Dua orang yang Tanisha tahu mencintainya sepenuh hati dan rela melakukan apapun demi kebahagiaannya.
#FLASHBACK OFF#
Namun meskipun sudah memutuskan untuk menghilangkan nama Ghassan di ingatannya. Tanisha tahu bahwa ia memiliki seorang adik laki-laki satu ibu. Daffa Rezvan. Bocah tampan yang kini tengah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Tanisha tidak pernah mengetahui wajahnya. Ia tidak tahu seperti apa Daffa tumbuh dan bagaimana karakternya.
Rindu? Seharusnya kata itu tidak pernah ada jika kita tidak pernah dekat dengannya. Tapi Tanisha merindukan adiknya. Jauh dalam hatinya dia berharap mereka bisa tumbuh bersama. Ia bisa mengenal Daffa dan Daffa bisa mengenalnya.
Tapi sama halnya seperti Daffa yang tidak ada dalam hidupnya. Tanisha tahu bahwa namanya pastinya tak akan pernah disebut di depan adiknya.
Tanisha tidak tahu sejak kapan wanita itu menggantikan posisi ibunya dan anaknya menggantikkan posisi Tanisha. Tapi Tanisha bisa pastikan bahwa kedua wanita licik itu tidak akan berbuat buruk pada Daffa. Mengingat kini hanya Daffa lah satu-satunya pewaris sah harta Ghassan. Dan Daffa lah yang nantinya yang akan mengontrol semua kemewahan yang akan kedua wanita itu dapatkan.
Tanisha tidak tahu kapan sebenarnya ia benar-benar terlelap dalam tidurnya. Namun saat adzan subuh berkumandang, ia merasakan denyutan di kepalanya dan rasa kaku di punggungnya. Dengan malas Tanisha keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. Neneknya sudah mendahuluinya dan tampak sudah lebih segar setelah berwudhu.
Tanisha melakukan kewajibannya. Inginnya ia bisa kembali tidur dan bangun siang hari, tapi ia bukan karyawan kantoran yang memiliki hari libur pada hari sabtu dan minggu. Justru sabtu dan minggu adalah hari sibuknya karena toko akan kedatangan lebih banyak pelanggan daripada hari-hari biasanya.
Tanisha mengenakan seragam tokonya. Warna krem dan biru membuat kulitnya yang memang sudah putih terlihat semakin putih. Ia menggelung rambutnya dan menggunakan jepitan khusus yang memiliki jaring untuk membuat rambut panjangnya tetap diam di belakang tengkuknya selama ia bekerja. Pukul enam pagi, dia sudah bersiap sarapan bersama neneknya.
Oseng tempe bumbu kecap dengan banyak daun bawang, telur mata sapi yang digoreng setengah matang merupakan menu favorit Tanisha. Ia duduk berhadapan dengan neneknya dan makan sarapan dengan lahapnya. Tak sampai lima belas menit kemudian, Tanisha sudah kembali segar setelah menggosok gigi dan bersiap menghangatkan motornya.
"Nenek gak ada janji kemana-mana kan hari ini?" tanya Tanisha seraya membuka pintu pagar rumahnya. Neneknya hanya menggeleng. "Takutnya nenek lupa, kalo Bang Toni mau kesini. Nisha gak nanya sama Bang Toni jam berapa dia akan kesini. Apa perlu Nisha telepon dulu?" neneknya menggeleng.
"Nenek gak akan kemana-mana. Kalo Toni nanti kesini pas nenek gak ada, kan dia bisa telepon langsung ke hape Nenek." Ujar wanita berusia lanjut itu. Tanisha hanya mengangguk. Ia mencium punggung tangan keriput milik neneknya sebelum menggunakan helm dan bersiap pergi meninggalkan rumahnya.
Neneknya masih berdiri di depan pagar, wanita itu nantinya akan menutup dan mengunci pagar sebelum masuk ke dalam rumah seperti kebiasaannya.
Tanisha memarkirkan motornya di luar Mini Market. Dua orang bawahannya yang mendapat giliran shift pertama sudah berada di sana dan tampak sedang bersih-bersih. Tanisha menyapa mereka sebelum masuk ke dalam menuju ruangan khusus karyawan. Ia meletakkan tas nya ke dalam loker dan bersiap bekerja di balik layar komputer.
Waktu berlalu, beberapa karyawan sudah mulai sibuk melayani pelanggan. Tanisha memperhatikan mereka dari CCTV seraya membuat beberapa laporan dan menerima beberapa panggilan. Ia juga sesekali pergi keluar dari ruangannya untuk memantau para pengirim barang.
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Tanisha melirik jam tangannya. Sudah waktunya untuk makan siang dan sebentar lagi akan memasuki jam nya dhuhur. Tanisha kembali masuk ke area kasir, melakukan sesi input data seraya menemani Sita sementara salah satu karyawan lainnya beristirahat lebih dulu. Setelahnya ia akan bergiliran dengan anak buahnya untuk beristirahat.
Part 8 - Tanisha
Sheraz masih berada di dalam mobilnya. Matanya memandang ke seberang jalan, tepat dimana salah satu cabang Mini Marketnya berada. Ia menatap pintu mini market itu dibalik jendela mobil. Ben yang mengikutinya turut melihat ke arah yang sama.
"Kau yakin dia berada disini?" tanya Sheraz tanpa mengalihkan pandangannya. Ben mengangguk. Sheraz ragu karena sejak tadi ia tidak melihat Tanisha dimanapun. Tapi informasi dari Ben tak mungkin salah.
"Dua tahun pertamanya dia tidak bekerja disini, tapi di cabang lain. Lalu satu tahun kemudian dia dipindahkan. Dan di tahun ke empat dia diangkat menjadi wakil kepala toko. Dan sekarang menuju tahun keenamnya, dia menjadi kepala toko." Benjamin menuturkan.
Sheraz mengusap bibir bawahnya dengan gerakan perlahan. Lalu sebuah mobil box besar datang memasuki area parkir mini market, membuat Sheraz kehilangan arah pandangnya dari pintu depan mini market. Dia hendak meminta Ben menyuruh mobil itu dipindahkan. Tapi kemudian sosok gadis itu muncul. Mengenakan seragam toko nya dengan sebuah senyum merekah di wajahnya. Gadis itu tampak tak canggung menyapa pengemudi truk dan bahkan tak takut merasa kotor bersalaman dengan mereka.
Sheraz memperhatikan gadis itu menerima kertas yang disodorkan si supir. Membacanya kemudian mengangguk. Ia kemudian membuka pintu lain yang sepertinya mengarah ke dalam gudang dan membiarkan rekan si supir menurunkan barang sementara ia mengecek sesuai dengan catatan.
Cukup lama Sheraz memperhatikan interaksi gadis itu dengan si supir dan juga kondekturnya. Gadis itu juga terlihat menyapa beberapa orang yang masuk ke dalam toko dengan ramahnya. Si supir dan kondekturnya kemudian tampak membenahi bagian belakang truk mereka. Gadis itu tampak seperti mencoret sesuatu di kertas sebelum menyerahkannya pada si supir dan truk pun berlalu.
Sheraz bisa kembali melihat gadis itu masuk ke dalam toko. Dari kaca bening yang menjadi pintu dan dinding toko, Sheraz bisa melihat gadis itu berjalan ke belakang meja kasir.
"Pindah ke seberang." Perintah Sheraz pada supirnya. Pria itu mengangguk dan mulai melajukan mobil sampai mobil mereka benar-benar terparkir di area depan toko. Menggantikan posisi truk penurun barang tadi.
"Selamat datang di Arion Mart." Sebuah sapaan menjadi penyambut Sheraz saat ia membuka pintu. Sheraz melirik ke area kasir. Ternyata gadis itu duduk tepat di samping si kasir dan tampak tengah fokus pada layar di depannya dengan tangan yang sibuk mengetikkan sesuatu di keyboard.
Sheraz hanya berjalan berkeliling toko. Mengambil barang yang sebenarnya tidak ia perlukan, namun ia butuhkan untuk ia jadikan alasan. Biasanya urusan dengan belanjaan itu sudah menjadi tugas para pelayannya.
Sheraz meletakkan belanjaannya di kasir. Kasir mulai menghitung dan menyebutkan nominal yang harus ia keluarkan. Sheraz mengeluarkan debitnya. Gadis itu tertegun sejenak sebelum menerima kartu dan mulai menggeseknya. Tapi perhatian Sheraz sepenuhnya tertuju pada gadis yang berada di sampingnya.
Sheraz menerima kartu dan kemudian meninggalkan mini market. Ia kembali masuk ke dalam mobil dan menyerahkan belanjaannya pada supirnya. "Cari tahu lebih banyak tentang gadis itu. Kurasa aku akan membutuhkannya suatu waktu." Perintahnya pada Ben. Ben hanya mengangguk. Lalu mobil meninggalkan mini market.
Sementara sepeninggal Sheraz. Sita yang saat itu menjaga kasir mencolek legan Tanisha.
"Mba, lihat pengunjung yang barusan?" tanya gadis itu dengan nada antusias.
Tanisha mengerutkan dahi. Ia memang melihat sekilas saat Sheraz masuk tadi. Tapi ia tidak benar-benar memperhatikan. Ia hanya tahu kalau pria itu mengenakan pakaian rapi dan terkesan mahal. Tanisha menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Ganteng, Mba. Ya ampun, aku malah jadi gugup sendiri barusan." Ujar gadis yang tiga tahun lebih muda dari Tanisha itu
"Kenapa gak diajak kenalan kalo gitu?" ledek Tanisha.
Gadis itu terkekeh geli. "Malu." Jawabnya polos. "Kayaknya dia udah nikah trus punya anak deh, Mba. Masa iya aku ngajak kenalan suami orang. Meskipun awalnya Cuma coba-coba. Tapi takutnya nanti malah kebablasan." Ujar gadis itu lagi.
"Darimana kamu tahu dia udah nikah sama punya anak?" Tanisha yang sudah selesai menginput data ke dalam computer kini mengalihkan perhatiannya sepenuhnya pada Sita.
"Itu, jajanannya." Gadis itu mulai berasumsi. "Dia beli snack yang disukai anak-anak."
"Siapa tahu itu memang buat dia." Jawab Tanisha lagi.
"Masa iya buat dia, dia beli susu kotak anak juga. Mba ini." Sita cemberut. Tanisha hanya menjawab dengan terkekeh.
Tak lama salah satu bawahan Tanisha kembali, dan giliran Sita yang beristirahat. Mereka selalunya melakukan istirahat secara bergilir sampai waktunya pergantian shift.
Jam sudah menunjukkan pukul tiga. Pekerja di shift kedua sudah datang menggantikan Sita dan temannya sejak pukul dua lewat. Kedua bawahannya itu sudah pulang pada pukul dua tiga puluh siang. Sementara Tanisha akan berganti shift dengan wakil kepala toko di jam setengah empat. Tinggal setengah jam lagi.
Dan pukul tiga lewat dua puluh menit, wakil kepala tokonya sudah datang. Tanisha memberikan laporan singkat tentang yang terjadi sejak siang. Setelah itu ia pamit pulang. Besok ia kebetulan memiliki jadwal libur dan hari seninnya ia yang memiliki jadwal kerja sore sampai malam. Jadi ia berniat menghabiskan waktu dengan begadang untuk sekedar menonton film yang dia unduh di ponselnya atau mungkin membaca cerita romans terbaru yang bisa ia buka di aplikasi ponselnya juga.
Tanisha sampai di rumahnya pukul empat kurang lima belas menit. Jarak dari mini market tempat ia bekerja sekarang memang tidak terlalu jauh dibandingkan dengan dua toko sebelumnya. Dan itu membuat Tanisha merasa lebih aman dalam perjalanan pulang jika mendapatkan shift sore.
Anak-anak tengah berkumpul di ruang tengah rumahnya. Sedang belajar menghafal Al-Qur'an bersama neneknya. Tanisha menyapa mereka dengan melambaikan tangannya sebelum ia masuk ke kamarnya. Melepas atributnya dan bersiap mandi sore sebelum melakukan kewajibannya.
Ketika ia selesai melakukan sholat Asharnya, anak-anak yang tadi berjumlah sekitar lima belas orang kini tersisa lima orang saja. Dan tak sampai pukul lima sore. Tidak ada lagi anak-anak di rumahnya.
"Bang Toni jadi kesini tadi, Nek?" Tanyanya saat neneknya dirasa sudah mulai santai.
"Ada, tadi jam sepuluh pagi. Katanya dia dapat proyekan di daerah Malang. Jadi mungkin dia bakalan gak pulang dalam waktu beberapa bulan." Jawab neneknya.
Tanisha hanya mengangguk saja. "Enak ya, jadi Bang Toni. Kerjaannya bisa pergi-pergi keluar kota. Kan jadinya banyak pengalaman, banyak kenalan juga."
"Kenapa? kamu mau juga kerja keliling-keliling kayak Toni?" tanya neneknya. Tanisha mengangguk, namun kemudian menggeleng. "Kamu itu, kayak bocah aja. Bentar-bentar mau ini, gak lama mau itu."
Tanisha hanya terkekeh. "Ya.. kan pepatah bilang kalo rumput tetangga itu terlihat lebih hijau. Nisha Cuma bandingin aja. Kayaknya enak jadi Bang Toni, yang bisa keliling-keliling. Tapi meskipun gajinya gede, kerjaannya pasti lebih nyamanan Tisha dong. Tisha kerja di dalam ruangan. Adem, sejuk, gak kepanasan dan gak bikin kulit item. Kalo Bang Toni. Biarpun gajinya gede, tapi tiap hari kepanasan mulu. Jadinya nanti uangnya dia habisin buat pemutihan."
Nyonya Balqis menepuk bahu cucunya karena gemas. "Kamu itu, bisa aja ledek orang. Kenapa kamu gak sekalian aja nikah sama Toni?" pertanyaan neneknya itu tiba-tiba membuat Tanisha terdiam.
"Nenek ini gimana sih. Buat Nisha, Bang Toni itu gak lebih dari sekedar kakak. Mana mungkin Nisha nikah sama kakak Nisha sendiri."
Neneknya mengusap rambut Tanisha dengan lembut. "Menikah dengan orang yang sudah kita kenal itu lebih baik. Daripada menikah dengan orang yang kita cintai tapi gak kita kenal. Kamu tahu kan istilah, cinta datang karena terbiasa?" Tanisha hanya memandang neneknya dalam diam. "Kalau kamu tinggal bersama sama Toni, nenek yakin suatu saat kamu juga bisa jatuh cinta sama dia."
Tanisha cemberut. "Lagian kenapa sih mendadak nenek bahas soal nikah? Nisha belum siap, Nek. Lagian nanti kalo Tisha udah ada calonnya, Nisha juga bakal kenalin ke nenek. Keluarga Tisha kan Cuma nenek, dan Bang Toni." Ujarnya dengan nada sendu.
Neneknya memandangi Tanisha dengan tak kalah sendunya. "Nenek Cuma berharap nenek masih diberi kesempatan buat nikahin kamu." Jawabnya lirih.
Tanisha terdiam. "Nenek sebenarnya kenapa sih?"
Part 9 - Kanker Usus
"Tidak ada apa-apa, Sayang. Tapi kan, nenek ini sudah tua. Waktu nenek mungkin gak akan lama lagi. Keinginan terakhir nenek itu lihat kamu nikah. Atau bahkan kalau Allah mengijinkan, Dia memberi waktu nenek sampai nenek bisa lihat kamu lahirin buyut buat nenek."
Tanisha memandang neneknya dengan bibir cemberut. "Nenek gak boleh bilang gitu. Umur nenek itu masih panjaaaaang. Nenek bakal bisa lihat Nisha nikah trus punya anak. Masa iya nenek mau ninggalin Nisha sendirian disini." Ucapnya dengan nada memelas.
Neneknya tersenyum, kemudian merentangkan tangan dan Tanisha seketika masuk ke dalam pelukannya. "Waktu sudah lama berlalu. Nenek seharusnya minta maaf sama kamu sejak lama."
"Maaf? Maaf untuk apa?"
"Maaf karena telah menjadi nenek yang buruk. Nenek bahkan bawa kamu pergi jauh dari ayah kamu." Ucap neneknya seraya mengusap punggung Tanisha perlahan. "Kalau saja kala itu nenek menolak permintaan kakek kamu untuk pindah, mungkin saat ini kamu bisa berbaikan dengan ayah kamu dan mengenal adik kamu lebih dekat." Ujarnya lagi.
Tanisha meregangkan pelukannya dan memandang wajah sang nenek dengan senyum di wajahnya. "Gak ada yang salah. Kakek dan juga Nenek melakukan semua yang terbaik untuk Nisha. Nisha juga gak bisa menyalahkan ayah. Dan Nisha juga gak menyalahkan diri Nisha sendiri. Nisha selalu yakin bahwa semua ini memang takdir yang harus Nisha jalani. Nisha hanya bisa menerima. Dan melakukan apa yang kakek serta nenek nasihatkan. Kalau Nisha harus melakukan semuanya dengan cara yang terbaik yang bisa Nisha lakukan. Masalah penilaian di mata manusia itu terserah mereka, yang jelas Allah Maha Adil. Dia yang akan menilai kita karena kesungguhan kita. Itu kan yang selalu Kakek dan Nenek ajarkan sama Nisha." Neneknya mengangguk, meraih kedua tangan Tanisha dan menggenggamnya erat.
"Ingat pesan nenek. Kalau kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan, tapi balaslah dengan kebaikan. Biarkan kejahatan orang lain Allah yang menghukumnya. Kita manusia hanya perlu berusaha sebaik-baiknya dan beribadah tanpa ingin dilihat oleh orang lain. Nisha ngerti, kan?" Tanisha mengangguk paham. Meskipun dalam hati ia masih merasa ada sesuatu yang mengganjal.
Dan ganjalan itu akhirnya ia dapatkan jawabannya tiga hari kemudian.
Tanisha pulang dari pekerjaannya dengan segera ketika mendapat telepon dari tetangganya bahwa neneknya jatuh pingsan saat sedang mengajar. Tanisha yang kebetulan mendapatkan jadwal sore segera pamit pada kedua anak buah yang menjaga toko dengan terburu-buru.
Tanisha segera pergi menuju ke rumah sakit tempat neneknya dirawat. Neneknya ternyata langsung dimasukkan ke ICU karena keadaannya yang serius. "Apa yang terjadi pada Nenek, Bu?" Tanisha memandang Bu Fatimah, tetangganya yang menghubungi Tanisha dan membawa neneknya ke rumah sakit.
"Anu..itu.." Bu Fatimah tampak ketakutan. "Nenek bilang sama Ibu supaya Ibu gak bilang apa-apa sama Nisha." Ujar wanita itu ragu-ragu.
"Bu, Nisha satu-satunya keluarga yang Nenek punya. Kalau Nisha gak tahu apa-apa, gimana Nisha bisa bantuin nenek?" tanya Nisha lirih.
Bu Fatimah tampak ragu-ragu. Tapi kemudian wanita berusia empat puluhan itu membawa Tanisha menuju salah satu lorong dan mengajaknya berbincang empat mata.
"Beberapa minggu lalu, Ibu lihat Nenek pergi ke puskesmas. Waktu itu Ibu lagi bawa Ayuni imunisasi. Waktu Ibu tanya nenek kenapa, Nenek gak jawab. Tapi kemudian tiga hari kemudiannya, Nenek kelihatan ke puskesmas lagi.
Waktu itu Ibu takut buat tanya-tanya. Tapi Nenek kelihatan cemas. Terus Ibu tanya, Nenek kenapa. Nenek bilang dia harus ke rumah sakit. Ibu bingung, ibu tanya kenapa. Nenek gak jawab apa-apa. Tapi Nenek bilang, dia nunggu kamu kerja pagi, baru nenek mau ke rumah sakit.
Ibu tanya, kenapa gak sama kamu aja perginya. Tapi Nenek bilang, takut kamunya cemas. Jadi Ibu nawarin diri buat nganterin Nenek. Maafin ibu, Nis. Ibu bukannya mau rahasiain ini dari kamu. Tapi habis dari rumah sakit, Nenek bilang supaya kamu jangan dulu dikasih tahu dulu. Karena saat itu memang laporannya belum keluar. Nenek waktu itu melakukan banyak tes. Dan Dokter bilang nenek bisa kontrol sekaligus ambil hasil tesnya seminggu kemudian.
Seminggu setelah periksa, Ibu ngajakin Nenek buat kembali ke rumah sakit. Buat ngambil hasil lab nya sekaligus control lagi." Wanita itu menunduk dengan setitik airmata di pipinya. "Dokter bilang, nenek terkena kanker usus."
Tanisha terdiam. Tidak percaya dan tidak mau percaya akan apa yang didengarnya barusan. "Ka-kanker usus?" tanyanya tak yakin.
Bu Fatimah mengangguk. "Dokter bilang seperti itu setelah hasil lab nya keluar. Waktu itu Ibu minta supaya Nenek cerita sama kamu. Tapi Nenek nolak. Dia bilang kasihan kamu. Lalu Nenek tanya-tanya apa ada cara supaya nenek bisa sembuh. Dokter bilang, di usia nenek, kemoterapi itu rentan dan lebih terasa menyakitkan. Tapi dokter menyarankan supaya Nenek dioperasi. Setidaknya itu diharapkan bisa membantu."
"Operasi?" tanyanya lagi. Bu Fatimah mengangguk. "Siapa Dokter yang bertanggung jawab? Apa dia juga dinas disini?"
Bu Fatimah mengangguk. "Ibu bawa nenek kesini karena dokternya Nenek dinas disini. Tapi tadi waktu ibu tanya ke bagian perawat, katanya dokternya baru akan datang besok."
"Apa Ibu dengar Nenek tanya-tanya soal biaya operasi?" tanya Tanisha lagi.
Bu Fatimah mengangguk. "Biayanya cukup mahal, Nis. Mungkin karena itu juga Nenek takut bilang sama kamu?" Bu Fatimah tampak memandang Tanisha ragu. Tanisha terdiam. Mereka memang bukan orang kaya. Tapi Tanisha akan mengusahakan apapun supaya neneknya bisa sembuh seperti sedia kala. Ia juga mungkin bisa meminta bantuan Toni jika memang ia perlu. Atau jika Toni tidak bisa memberikannya bantuan, Tanisha akan pergi ke tempat dimana ayahnya berada. Meskipun kemungkinannya untuk mendapatkan bantuan kecil, tapi ia harus mengusahakan setiap kemungkinan yang ada dulu sebelum menyerah.
Bu Fatimah akhirnya pamit untuk pulang. Wanita itu memiliki cucu yang harus ia jaga karena putrinya bekerja malam hari sebagai seorang pelayan di sebuah café. Tanisha hanya mengangguk dan berkali-kali mengucapkan terima kasih padanya. Atas semua pertolongan yang wanita itu berikan.
Setelahnya ia duduk sendirian di ruang ICU. Hanya ada dua pasien yang menghuni ICU itu. Satu, neneknya. Dan satunya adalah seorang pasien pria yang kondisinya tampak lebih parah dari neneknya.
"Itu Neneknya adek?" tanya wanita yang menunggui si pasien pria. Tanisha mengangkat kepala, tersenyum kemudian mengangguk. "Sakit apa?" Tanyanya penuh perhatian.
"Saya belum tahu jelas, Bu. Dokter bilang kanker usus."
"Innalillahi..." wajah wanita terlihat terkejut. Lantas kemudian tampak iba. "Sabar ya, semoga neneknya kuat dan bisa bertahan. Sudah tahu stadium berapa?" tanyanya lagi.
Tanisha menggelengkan kepala. "Saya belum bertemu sama dokternya, Bu. Katanya dokternya baru akan datang besok." Lagi-lagi wanita itu mengangguk.
"Saya gak bisa bilang apa-apa. Tapi saya Cuma memberi saran. Buat adek yang jagain Nenek, jangan ikut bersedih ataupun merasa gundah. Orang sakit sudah merasa down lebih dulu. Kita yang menjaga mereka harus memberikan semangat supaya mereka juga menjadi lebih semangat melakukan pengobatan. Sebelum kita menyarankan pasien untuk sembuh, kita harus lebih dulu memiliki pikiran yang sehat dan harus lebih optimis."
Tanisha hanya mengangguk. Tentu saja ia harus optimis. Jika bukan dirinya yang menyemangati neneknya, siapa lagi
Part 10 - Benar Ini Kamu?
Tanisha merasa bersyukur karena memiliki tetangga yang baik hati. mereka tahu bahwa Tanisha hanya memiliki sang nenek. Dan begitupun sebaliknya. Dengan baiknya, mereka menawarkan diri untuk menjaga neneknya selama Tanisha pergi bekerja.
Namun meskipun begitu, Tanisha tidak bisa menghilangkan kekhawatirannya dari kondisi sang nenek. Neneknya juga sudah terbangun. Meskipun Tanisha ingin marah kepadanya karena sudah merahasiakan semua ini darinya, namun melihat kesakitan di wajah sang Nenek. Tanisha menjadi tidak tega. Alhasil dia malah membalik keadaan dengan bertanya bagaimana perasaan sang nenek kala itu.
Dokter juga mengatakan bahwa pilihan yang bisa diambil Tanisha mengenai kondisi neneknya hanyalah operasi. "Pengangkatan sel kanker yang ada di tubuh Ibu Balqis menjadi satu-satunya jalan yang bisa kita lakukan saat ini. Selanjutnya kita akan melihat, apakah setelah diberikan resep kondisi nenek Anda bisa menjadi lebih baik atau tidak. sekiranya nenek Anda bisa kuat menahan, kita bisa melanjutkan penyembuhan dengan proses kemoterapi. Tapi untuk itu, mengingat usia nenek Anda. Saya benar-benar tidak bisa menyarankannya." Ujar dokter yang menangani neneknya.
"Operasi? Berapa kemungkinan berhasilnya?" Tanisha takut. Seperti kata dokter tadi, neneknya itu sudah berumur dan proses pemulihan bagi orang-orang seusia neneknya tidaklah memakan waktu sebentar karena proses metabolism dan regenerasi dalam tubuhnya tidak seaktif anak muda.
"Lima puluh persen. Maaf sebelumnya jika saya mengatakan ini. Tapi kondisi terburuknya, nenek Anda bisa saja meninggal di meja operasi." Jawab dokter itu lagi.
"Me-meninggal? Maksud Dokter?"
"Operasi untuk pasien seusia nenek Anda itu termasuk rentan. Kemungkinan terjadinya perubahan tekanan darah pasien pada saat operasi itu juga menjadi salah satu penyebab sukses atau tidaknya operasi. Saya hanya memberikan kemungkinan terburuknya saja. Tentu saja saya dan tim akan melakukan semua yang terbaik semampu kami. Tapi kami kembalikan semuanya pada doa dan takdir dari Yang Maha Kuasa."
Dan sekarang, Tanisha hanya bisa memandang neneknya yang sedang tertidur.
Beliau sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Dan Tanisha merasa sangat bersalah karena tidak bisa memberikan perawatan yang terbaik bagi neneknya. Jika saja kondisi mereka...
Tanisha seketika menggelengkan kepala. Bagaimana bisa dia memikirkan ayahnya di saat seperti ini? Apa yang harus dia lakukan sekarang? Ia sudah mengajukan pinjaman pada pihak perusahaan untuk membantu biaya operasi neneknya yang tidak sedikit. Dan perusahaan pun belum tentu akan mencairkan seluruh dana yang dibutuhkan oleh Tanisha. Karena system mereka akan mencairkan pinjaman sesuai dengan simpanan koperasi yang selama ini Tanisha simpan.
Tanisha merasa tidak punya pilihan lain. Tapi setidaknya ia bisa mencoba. Lima belas tahun, tidak ada salahnya dia meminta ayahnya untuk membantunya bukan?
Tanisha lagi-lagi meminta bantuan rekannya untuk menggantikan jadwal kerjanya. Entah rekannya itu benar-benar ikhlas atau keberatan, saat ini Tanisha tidak terlalu memedulikannya. Dia hanya ingin neneknya selamat, dan semua kenekatan ini dia lakukan.
Tanisha tidak berani mengendarai motornya sendiri. ia memilih menggunakan kendaraan umum untuk pergi ke kota dimana ayahnya tinggal. Berharap selama lima belas tahun ayahnya masih tinggal di tempat tinggal mereka yang lama.
Tiga jam perjalanan—karena Tanisha menggunakan kendaraan umum yang banyak menaik-turunkan penumpang—akhirnya Tanisha bisa sampai di depan rumah keluarganya. Rumah itu jelas jauh berbeda dibandingkan saat Tanisha kecil dulu. Lebih megah dan lebih mewah. Dengan beberapa perubahan dan penambahan bangunan di sana-sini. Seolah pemiliknya benar-benar ingin melupakan masa lalu yang mereka miliki.
Tanisha melirik jam tangannya. Pukul empat sore. Mungkinkah ayahnya sudah kembali dari kantor. Tanisha berjalan menuju tempat satpam. Dia bertanya apakah Tuan Ghassan si pemilik rumah ada. Satpam itu—jelas sekali merupakan karyawan yang baru datang setelah Tanisha pergi—memandangi Tanisha dari atas ke bawah dengan pandangan menghina.
"Ada apa mencari Tuan Ghassan? Meminta sumbangan?" tanyanya jelas dengan nada menghina.
Sumbangan? Tanisha terkekeh dalam hati. apakah meminta hak kepada ayah kandungnya bisa disebut sebagai meminta sumbangan?
"Tidak. Saya ada keperluan dengan beliau." Jawab Tanisha. Berusaha bersikap setenang mungkin.
"Tuan Ghassan tidak ada. Dia belum kembali. Kalau kamu mau menunggu, silahkan tunggu saja diluar." Ujar satpam itu lagi. Tanisha menggigit bibir bawahnya. Beginikah ia diperlakukan di rumahnya sendiri? padahal seharusnya dialah yang disanjung disini.
Jam berlalu, sudah pukul enam sore. Dua jam Tanisha menunggu namun ia tidak melihat ada satu mobil pun masuk dan keluar. Ia ingin meninggalkan tempat itu dan mencari masjid terdekat. Entahlah, mungkin nanti dia akan mencoba lagi.
Tanisha berjalan menuju tempat yang dulu ia tahu sebuah masjid berdiri. Banyak hal yang berubah juga di area tempat tinggalnya. Dulu, rumah dimana ia tinggal itu jarang sekali penduduk. Hanya ada satu atau dua rumah besar disana. Tentu saja setiap rumahnya memiliki taman indah karena mereka tinggal di area mewah. Dan sekarang, tanah itu sudah dipenuhi lebih banyak rumah yang masing-masing tak kalah besar dan mewahnya, seolah satu pemilik tengah bersaing dengan pemilik yang lainnya.
Tanisha memasuki masjid yang beruntungnya masih berdiri disana. Mungkin ia akan mencari beberapa informasi dari Jemaah yang turut beribadah disana nanti setelah kewajibannya selesai.
Setelah selesai shalat magrib, Tanisha mencoba menegur salah satu wanita lanjut usia yang kemungkinan seusia dengan neneknya. "Assalamualaikum." Tanyanya pada wanita lanjut usia itu.
Wanita itu balik menoleh dan memandang Tanisha seraya menjawab salamnya. "Waalaikumsalam. Adek siapa ya?" tanyanya dengan ramah.
"Saya Tanisha, Bu. Kebetulan saya sedang berkunjung disini." Jawabnya lagi. Wanita itu mengerutkan dahi sejenak. "Saya mau bertanya, apa kebetulan ibu mengenal Tuan Ghassan. Pemilik rumah nomor 83?" tanyanya lagi.
"Tuan Ghassan?" wanita itu kembali mengulang nama yang Tanisha sebutkan. Tanisha mengangguk. Seketika wanita itu terbelalak lebar. "Ya Allah." Serunya dengan nada tertahan dan tangan menutup mulut. "Apa benar ini kamu?" tanya wanita itu tak percaya. Giliran Tanisha yang mengerutkan dahi karena bingung. "Kamu putrinya Ibu Ilyana, iya kan? Tanisha? Yang dulu kecil punya rambut pendek model laki-laki?" tanya wanita itu lagi. Tanisha tersenyum dan kemudian mengangguk.
Wanita lanjut usia itu memeluk Tanisha erat seraya mengusap punggungnya pelan. "Ya Allah, kemana aja kamu selama ini. Berapa lama kamu pergi selama ini?" tanya wanita itu tanpa melepas pelukan di tubuh Tanisha. Tanisha sendiri sudah merasakan sesak akibat pelukan itu. Namun ia mencoba menahannya. Mungkin wanita ini salah satu wanita yang mengenalnya dan ibunya dulu. Meskipun sebenarnya Tanisha benar-benar tidak mengingat siapa wanita yang ada di hadapannya kini.
Wanita itu kemudian melepaskan pelukannya dan menatap Tanisha lagi. Memperhatikan Tanisha dari atas ke bawah. Sebuah senyum terkembang di wajahnya. "Pantas saja ibu merasa mengenal kamu. Kamu benar-benar mirip sama ibu kamu." Ujar wanita itu lirih.
~Jangan lupa Love & Komennya ya~
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
