
Novel Mommy Untuk Princess buku ke 3
Sebenarnya, Naira sudah melihat Darius sejak dia bicara di depan ruang wardrobe Raid. Tapi Naira yang saat itu ingin menyerahkan dasi pada Raid. Memilih bersembunyi, dan malah mengintip obrolan mereka dari jauh.
Padahal, sebenarnya Naira sangat penasaran dengan obrolan itu, dan ingin ikut nimbrung. Tapi apa daya, dia belum siap ketemu Darius. Dengan kenyataan yang dibawa Raid sebenarnya.
Karena itulah, setelah selesai dengan tugasnya sebagai pengiring pengantin. Naira buru-buru pergi dan kembali bersembunyi dari jangkauan Darius, pria yang dia rindukan sekaligus dia benci dalam waktu yang bersamaan.
Perasaannya ini memang sangat membingungkan. Di sisi lain, dia tidak bisa membohongi diri pada perasaannya yang masih mencintai Darius. Tapi di sisi lainnya, hatinya juga masih sering sakit, tiap kali ingat undangan pernikahan yang Darius berikan sebagai kado ulang tahunnya.
Bukan undangannya yang membuat Naira sedih. Tapi harapan yang Darius patahkan dengan undangan itu.
Naira kecewa. Itu lebih tepatnya. Kecewa pada Darius. Juga pada dirinya sendiri yang terlalu menggantungkan asa pada pria itu.
Benar kata pepatah, jangan pernah menggantungkan asa tinggi pada manusia. Karena yang akan kau dapat hanya kekecewaan saat asa itu tidak sesuai keinginanmu. Gantungkan asa pada Tuhan. Agar sekalipun yang terjadi tidak sesuai harapanmu. Hatimu akan yakin, kalau Tuhan pasti sudah menyiapkan ganti yang lebih baik di depan sana.
Dan Naira sudah membuktikan pepatah itu.
Lalu tiba-tiba, terdengar ringtone pesan ponsel saat Naira sedang menikmati kesendiriannya, di sebuah ruangan yang cukup jauh dari tempat pesta pernikahan Raid. Dan ternyata Raid mengirimkan sebuah chat padanya.
Raid pasti menyadari ketidakhadirannya di pesta itu.
Raid
Kamu tidak bisa terus bersembunyi, Naira. Bagaimanapun,
kamu harus belajar menghadapi macanmu sendiri
Naira menghela napas berat membaca pesan itu. Karena Naira akui, Raid benar tentang itu. Hanya saja ....
Naira
Aku belum siap, Raid.
Tak sampai lama. Balasan Raid sudah dia terima dengan cepat.
Raid
Sampai kapan? Ingatlah sudah berapa lama kalian menyia-nyiakan waktu untuk kesalahpahaman ini! Dan semua salah paham kalian tidak akan berakhir. Jika tidak ada salah satu pun yang mengakhiri.
Naira tahu itu, hanya saja ... entahlah, Naira juga bingung mendeskripsikan perasaannya. Belum sempat Naira membalas pesan Raid. Naira sudah mendapat chat lanjutan dari Raid lagi.
Raid
Aku sudah memegang janjiku untuk tidak mengganggunya lagi, dan memberitahukan kenyataan soal kita. Tapi kini, dia sudah datang, dan tau statusku sebenarnya dalam hidupmu. Karena itulah, sekarang sudah waktunya kalian bicara, Naira. Karena dia berhak tau yang sebenarnya.
Tidak, Raid. Kali ini kau salah. Karena Naira rasa, tidak punya hak apa pun menjelaskan pada Darius. Kalau pria itu sendiri tidak ingin tau yang sebenarnya.
Siapa suruh pria itu tidak mencari tau kebenarannya sendiri? Dan malah memilih menikah dengan wanita lain. Tanpa menghargai perasaannya sebagai wanita yang dia berikan janji manisnya.
Membuat hatinya patah, karena pengkhianatan cinta pertamanya.
“We need talk, Naira.”
Astaga!
Karena keasyikan melamun. Naira sampai tidak sadar pada kehadiran seseorang, yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya.
Naira pun refleks bangkit, dan menoleh pada sang pemilik suara. Hingga akhirnya di detik berikutnya. Naira malah tanpa sadar menahan napasnya, tidak menyangka harus menghadapi macannya secepat ini.
Iya! Benar! Yang baru saja bicara itu Darius. Pria yang dia hindari sejak tadi. Tapi dia rindukan dari pagi karena Naira sangat ingin melihat reaksinya, setelah mengetahui kalau Raid dan Naira tidak punya hubungan apa pun selama ini.
Nyatanya, memang Naira ini hanya seorang pengecut, sekalipun tahu Darius sudah datang, bahkan melihat semuanya. Naira tak berani menghadapi pria ini langsung setelahnya.
“Dari mana Bapak tahu saya di sini?” Sekuat tenaga. Naira membuat suaranya tidak bergetar di bawah tatapan mata pria, yang sebenarnya sangat ingin dia peluk itu.
Bukannya menjawab, pria itu malah tersenyum haru. Dengan mata yang berkaca-kaca mendengar tanyanya barusan.
Ada yang salahkah dengan pertanyaannya?
“Tahukah kamu. Rasanya seperti ada batu besar yang diangkat dari hati saya, hanya karena bisa mendengar suara kamu lagi.”
Gombal!
Kalau keadaannya senormal dulu. Naira pasti akan meneriaki kata itu pada duda rese ini. Hanya saja, kenyataannya sekarang kan mereka sudah tak seperti dulu lagi.
“Bapak ke sini mau modusin saya?” tanya Naira dengan sarkas. Yang lagi-lagi membuat senyum pria bermata abu-abu itu melebar.
“Saya juga rindu galaknya kamu yang seperti ini, Nai.”
Astaga!
Pria ini gila, ya? Naira sudah dalam mode serius. Dia malah terus menggombal saja dari tadi. Sebenarnya, pria ini mau ngajakin bicara atau bercinta? Eh?
“Kalo tujuan Bapak menemui saya hanya untuk mengobral modusan. Maaf, Pak. Saya gak ada waktu!” Karena tak ingin terhanyut suasana yang Darius ciptakan, Naira pun memilih pergi demi menyelamatkan ego dan hatinya lagi.
Naira tidak ingin kembali termakan rayuan buaya duda rese ini.
Namun, baru saja Naira hendak pergi. Darius sudah mencekal tangannya, dan menghalangi langkahnya.
“Kita harus bicara, Sweety.”
Degh!
Bukan. Naira bukan baper karena panggilan manis dari Darius itu. Tapi karena cekalan tangannya, yang ternyata masih sehangat dulu. Dan mampu menggetarkan hatinya lagi.
Sialan!
Kenapa, sih? Hatinya selemah ini kalau berhadapan dengan si bapak duda?
“Lepasin!” Bukan maksud Naira kasar, dan tak ingin menerima sentuhan pria yang setengah mati dia rindukan. Hanya saja, seperti yang Naira bilang di awal. Naira cuma tak mau hatinya goyah, dan termakan bujuk rayu pria yang sudah pernah mematahkan hatinya.
Ingat! Jatuh pertama itu namanya patah. Tapi jatuh kedua kali, itu pasti akan hancur.
Maka dari itu, Naira cuma tak ingin hancur lagi. Karena dia sudah pernah patah.
Namun sepertinya, apa yang Darius tanggapi itu berbeda. Setelah Naira menghela tangannya dengan cukup keras. Tatapan Darius pun makin sendu, dengan sinar yang sarat akan rasa pilu.
“Sebenci itu, ya, kamu sama saya?” Bahkan suaranya pun kini berubah menjadi sendu.
“Menurut Bapak?” Namun Naira tetaplah Naira. Bukannya menjelaskan untuk meluruskan kesalahpahaman. Dia malah memberikan jawaban yang sukses membuat rasa bersalah Darius makin mencekiknya.
Merasa bersalah dan belum siap menjelaskan apa pun. Naira pun memilih segera pergi, meninggalkan Darius begitu saja.
“Tapi kita harus bicara, Naira?” Sekali lagi, Darius menghentikan langkahnya. Namun kali ini tanpa mencekal lengannya. Karena mungkin Darius takut menerima penolakan dari Naira lagi.
“Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Pak.” Naira memang layak dinobatkan menjadi artis paling munafik sedunia. Karena sekalipun hati juga sangat ingin duduk berdua dan bicara dari hati ke hati bersama Darius. Tetap saja Naira memilih jual mahal.
Ah, tidak! Memang pada dasarnya wanita itu munafik, kan? Lebih banyak lain di hati dan lain di bibir. Contohnya saja, kata terserah. Ada banyak sekali makna dari kata terserahnya seorang wanita.
“No, Naira. Ada banyak yang harus kita bicarakan di sini. Termasuk kenyataan hubungan kamu dan Raid. Juga pernikaha saya dan Jenifer.”
Mendengar itu, tentu saja Naira menjadi kesal. Bisa-bisanya si duda ini malah membahas wanita lain di hadapannya.
“Saya gak punya waktu!”
Sudah bisa ditebak. Naira pun marah, dan secepat mungkin memilih menjauh dari si duda rese.
“Kapan kamu ada waktunya? Saya akan mengatur jadwal saya untuk kamu. Bahkan kalo kamu mau—”
“Tristan!!”
Entah ini hanya keberuntungan atau apa, tapi beberapa langkah setelah keluar dari ruang santai tadi. Naira melihat Tristan baru saja keluar dari sebuah toilet.
Mendengar namanya dipanggil. Artis ganteng itu pun menghentikan laju kakinya. Dan memutar badan ke arah sumber suara. Kemudian langsung menautkan alis dengan bingung, saat melihat sang adik tiri seperti terburu-buru menghampirinya.
Apa itu? Bahkan wajahnya penuh binar lega dan bahagia hanya karena bertemu dengannya.
Apa Naira memang serindu itu pada kakak tirinya ini? Bukannya gadis itu sedang menghindarinya, ya? Karena takut dijodohkan kembali dengannya? Lalu, kenapa ....
“Hey, hati-hati dong, Naira!” tegur Tristan, seraya menghambur ke arah Naira. Yang sepertinya menginjak gaunnya sendiri saat berjalan cepat tadi.
Bodoh! Sudah tau sedang jadi pengiring pengantin. Bukannya berubah kemayu atau manis sikapnya. Malah tetap aja bar-bar. Jelas saja sepatunya marah. Dan menginjak gaunnya.
“Bang, tolongin gue,” bisik Naira dalam pelukannya. Karena memang Naira terjerembab jatuh menabrak dada bidang penyanyi yang selalu bikin baper fans dengan lagu-lagunya.
Tapi, tolong apa dulu nih?
“Tol—”
“Gendong gue. Kaki gue keseleo kayanya,” terang Naira. Membuat Tristan mendengkus pelan.
Kirain ada apa?
“Makanya kalo jalan hati-hati, Queen. Kalo gak bisa pake sepatu heels. Pake swallow aja,” cibir Tristan sambil menyentil dahi Naira pelan. Membuat Naira langsung cemberut kesal.
“Tolongin ih, sakit loh ini kakinya,” rengek Naira kemudian. Membuat Tristan memutar mata malas. Tapi tetap menuruti permintaan Naira untuk menggendongnya ala bridal style.
Bagaimanapun, Naira tetap adiknya, kan? Sama seperti Tania. Jadi tentu saja, Tristan gak setega itu mengabaikan permintaannya.
Walaupun ... tanpa Tristan sadari. Kalau sebenarnya Naira hanya menjadikannya tameng untuk menghindari Darius yang cuma bisa menatap nanar kepergiannya dalam gendongan Tristan.
***
“Lo yakin gak mau dianter ke rumah sakit? Katanya kaki lo keseleo?” tanya Tristan. Saat di perjalanan mengantar Naira ke apartemennya.
“Keseleo itu butuhnya tukang urut, Bang. Bukan rumah sakit,” jawab Naira sekenanya. Sambil mengutak-atik ponsel.
Bukan mengutak-atik sih, tepatnya. Tapi membalas rentetan chat dari Raid dan istrinya. Yang menanyakan keberadaannya, karena harusnya memang Naira masih di sana menemani istri Raid.
Heran deh, pasangan pengantin itu kok bisa membombardirnya dengan chat, sih? Emang gak ada tamu, apa?
“Ya ... siapa tau tulang kaki lo ada yang retak? Bisa sekalian ronsen, kan?”
“Doa lo jelek banget sih, Bang. Dasar Abang Durjana!” omel Naira. Sambil mendelik kesal pada Tristan.
Tristan malah menanggapinya dengan kekehan saja.
“Abang bagi lo. Tapi calon suami bagi Papa.”
Begini nih resenya Tristan. Suka banget ngingetin perjodohan mereka.
“Kan, resek, ih! Nyebelin tau, gak?” Dengkus kesal Naira pun terdengar. Membuat Tristan makin tergelak.
“Makanya lo buruan nyari pacar lagi, Nai. Biar gue gak dikejer-kejer Papa suruh halalin lo. Kalo bisa yang sekuat Raid. Biar Papa kicep kaya dulu.”
“Dih, ngapa jadi gue? Lo duluan aja sono. Gue masih pengen berkarier,” bantah Naira tak terima.
“Gue masih nungguin Jeje,” aku Tristan tanpa malu. Membuat Naira langsung memutar bola mata.
“Jangan jadi pebinor, deh. Kak Jeje, kan, udah sama fotografer itu.” Naira mencoba menegur Tristan yang ternyata belum bisa move on juga.
“Kok, lo tau? Perasaan gue aja baru ketemu Jeje lagi seminggu yang lalu, deh?” heran Tristan.
“Gue hidup di zaman modern, Abangku Sayang. Segala informasi bisa didapet dengan mudah lewat medsos. Apalagi berita soal lo yang ternyata galmov. Ya, ampun. Gue gak habis pikir lo senekat dan sebodoh itu seminggu yang lalu. Waras gak, sih, lo?” omel Naira panjang lebar, yang ternyata tetap saja ditanggapi Tristan dengan cengiran konyol doang.
Padahal, apa yang Naira ucapkan itu benar adanya. Apalagi soal kenekatan dan kebodohan Tristan. Sudah tau lagi naik daun. Bukannya jaga prilaku, malah seenaknya aja kaya gak punya otak. Apa itu? Mau alih profesi dia? Dari male singer jadi artis tukang cari sensasi?
Bikin malu saja!
“Mau gimana lagi? Gue kangen banget sama dia. Dan gak pengen kehilangan lagi. Makanya daripada dia kembali ngilang lagi. Gue tembak aja, deh. Mumpung suasana mendukung, ya kan? Romantis kan, momennya?” Tristan memberikan pembelaannya dengan sungguh-sungguh.
“Dan momennya pas juga buat bikin lo malu. Karena ternyata lo nembak cewe orang. Astaga! Emang lo gak nyuruh orang nyelidiki status Kak Jeje setelah ketemu waktu itu. Seenggaknya kalo lo mau nembak. Lo pastiin dulu dia masih single kali, Bang. Jan asal seruduk gitu.” Dan helaan napas berat dari Tristan pun terdengar begitu saja.
“Gue masih gak percaya dia bisa ngelupain gue semudah itu.” Suara Tristan tiba-tiba berubah menjadi sendu. Membuat Naira akhirnya hanya bisa menghela napas berat menanggapinya.
Sesungguhnya, Naira tidak tau apa yang terjadi pada kisah percintaan abang tirinya ini. Karena dulu, yang Naira kenal sebagai pacarnya Tristan, justru malah Kak Juju, saudara kembarnya Kak Jeje. Siapa sangka? ternyata Tristan malah ngebetnya sama Kak Jeje.
Akan tetapi, yang Naira denger juga adalah, sebenarnya Tristan juga sempat menjalin hubungan dengan Kak Jeje sebelum dengan Kak Juju. Entah kenapa sampai berubah alih gitu, Naira gak tau cerita selengkapnya. Karena Tristan juga gak selemes itu curhat padanya. Makanya, tungguin aja deh kisah selengkapnya di Novel Jelita.
***
“Gue tanya sekali lagi. Lo beneran gak mau gue anter ke rumah sakit?” tanya Tristan untuk kesekian kali, mencoba meminta kepastian dari Naira. Setelah memarkirkan mobilnya di lobi apartemen adik tirinya itu.
“Kaga, Bang. Gak percayaan banget, sih?” tolak Naira, juga untuk kesekian kalinya.
“Seriusan? Trus kaki lo gimana? Atau ... lo balik ke rumah aja dulu, deh. Biar ada yang nemenin,” usul Tristan dengan penuh perhatian. Namun sayangnya, malah ditanggapi dengan guliran mata malas dari Naira.
“Gue lagi males berdebat sama Papa,” jawab Naira sekenanya.
Tristan pun terdengar menghela napas dengan berat setelahnya. Karena tau pasti apa yang dirasakan adik tirinya ini.
“Trus kaki lo, gimana?” Tristan masih belum tega meninggalkan Naira sendirian. Karena bagaimanapun, bagi Tristan Naira ini sudah seperti adiknya sendiri.
“Gak papa, udah mendingan, kok.” Naira mencoba meyakinkan kakaknya lagi.
“Ya, udah. Gue anter ke dalam dulu, deh. Gak tega gue bayangin lo jalan sediri dari sini ke tempat lo.” Tristan bersiap buka seatbelt-nya. Tapi langsung dicegah Naira.
“Jan gila, deh!” larang Naira dengan cepat. “Gue gak mau muka gue nampang di majalah gosip besok.” Naira mencoba mengingatkan Tristan. Yang memang masih dalam incaran awak media gara-gara kecerobohannya minggu lalu.
Begini nih, risiko punya abang artis. Ke mana-mana kudu aja was-was diikutin paparazi. Karena itulah, tadi saja Naira meminta Tristan ke parkiran lewat pintu darurat daripada menunggu di lobi. Soalnya, kehadirannya memang sangat diburu wartawan.
Bahkan, untuk mengantarkan Naira saja, Tristan harus rela meninggalkan mobilnya di hotel tempat perayaan resepsi Raid. Dan memilih menggunakan mobil Naira untuk pergi.
Soalnya kalau pake mobilnya, pasti para wartawan itu engeh. Dan akan mengejar mereka.
Lalu, bagaimana Tristan nanti pulangnya, kalau sekarang membawa mobil Naira?
Gampang!
Naira memang menyuruh Tristan membawa mobil kembali ke hotel. Dan membiarkannya di sana. Biar besok pagi Naira ambil. Toh, Naira sudah menitipkan mobilnya pada Raid, yang akan menginap di sana untuk beberapa hari pasca menikah. Sebelum nanti pergi untuk bulan madu.
“Ya, trus gimana? Gue beneran gak tega biarin lo jalan sendiri,” ungkap Tristan dengan lugas.
“Gue gak papa, Abang. Gue bisa kok, tibang jalan ke tempat sendiri ini.”
“Tapi kaki lo—”
“Udah mendingan,” sela Naira cepat. Mencoba menenangkan Tristan.
“Beneran?”
“Iya, beneran!”
“Uhm ... ke rumah sakit aja, deh. Biar nanti kaki lo diperiksa. Nanti kalo lo kenapa-napa di apartemen lo, gimana?” Ternyata, Tristan tak begitu saja gampang diyakinkan.
“Gak usah!”
“Tapi—”
“Tetangga gue tukang urut, kok. Nanti biar gue gangguin dia aja malam ini,” terang Naira, sengaja memotong ucapan Tristan. Membuat pria ganteng pujaan kaum hawa itu diam, dan akhirnya mau mengalah juga.
“Ya udah kalo gitu.” Tristan pasrah. “Tapi nanti kalo ada apa-apa. Chat gue, ya?” beritahunya. Yang langsung Naira angguki saja biar perdebatan ini cepet selesai.
“Iya, nanti gue chat elo kalo butuh sesuatu.” Naira menenangkan Tristan.
“Huft ... kok, gue ngerasa lagi dimanfaatin lo, ya? Soalnya lo gak kaya orang lagi sakit kaki!”
Emang!
Naira pun hanya menjawab tuduhan Tristan itu dengan cengiran konyol saja. Sebelum akhirnya pamit. Keluar dari mobilnya.
“Hati-hati nyetirnya. Jan ngebut! Awas kalo mobil gue sampe lecet!” Naira memberi wejangan sekaligus ancaman pada Tristan. Yang hanya ditanggapi Tristan dengan acungan jempol saja.
Setelah itu, Naira membalik badan memasuki lobi apartemennya. Setelah Tristan berlalu dari sana.
Naira tidak sadar. Kalau dari tadi ada sepasang mata abu-abu yang mengawasinya. Dengan binar pilu, karena merasa sudah terlambat mengejarnya kembali.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
