
Gadis yang jarang sekali tersenyum itu mengulurkan telapak tangan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Hani mengerti, lalu buru-buru menyerahkan ponsel padanya. Adel mengernyit ketika membaca sederet tulisan satire di mana ada foto dirinya dalam postingan itu. Foto itu baru kemarin malam Adel posting di sosial media. Foto ketika Adel sedang berlibur ke luar negeri.
Kalimat satire itu tidak berhenti di sana, bahkan mengundang komentar-komentar jahat dari banyak orang. Mereka menyebut-nyebut Adel memakan...
Usai menghadiri rapat Paripurna, Adel yang sejak rapat berlangsung terlihat sangat vokal dan juga tegas saat menyampaikan opini, kini kembali ke ruangan dengan wajah kusut. Adel menentang program-program Pemprov yang akan menghabiskan APBD dengan percuma. Program-program itu sama sekali tidak menguntungkan rakyat nantinya. Tapi seperti biasa, opini-opini positif semacam itu mustahil bisa di terima dengan mudah. Alhasil, Adel keluar dari ruang rapat dengan setumpuk rasa kesal di hatinya.
Bahkan ketika Hani, asisten pribadinya datang untuk menyampaikan informasi dari Sekretariat Jenderal DPR pun, Adel yang duduk di kursi dengan kaki menyilang anggun, masih berkubang dengan rasa kesal itu. Ya, selalu begini setiap kali hal yang Adel inginkan tidak terwujud.
Dia adalah Adelia Putri Hamizan. Gadis mandiri, cerdas, keras kepala, dan tidak mengenal takut. Gadis berparas cantik namun memiliki sorot mata yang tajam ini memilih terjun ke dunia Politik sejak sering mengobrol dengan anak dari supir Maminya yang bekerja sebagai Jurnalistik. Adel sudah memiliki segalanya. Selama Adel hidup, dia tidak pernah menemukan satu hambatan apa pun yang berarti.
Lalu ide itu muncul begitu saja. Membuat semua orang nyaris terkena serangan jantung ketika Adel memberitahu mereka mengenai keinginannya. Semua orang menentang Adel, Politik bukan sesuatu yang menyenangkan, mereka tidak mau Adel terlibat banyak masalah yang akan menyulitkan hidupnya.
Orang-orang bilang, hidup Adel sudah sempurna, sebaiknya Adel tidak mencari masalah dengan terjun ke dunia politik.
Tapi sayangnya, itu lah yang ingin Adel miliki.
Masalah.
Sungguh. Adel sudah muak hidup bak di negeri dongeng. Mendapatkan semua hal yang dia mau hanya dengan satu gerakan telunjuk tanpa harus berusaha karena diikelilingi puluhan pelayan yang siap melayani kebutuhannya.
Sejak kecil, Adel tidak pernah kekurangan apa pun. Dia selalu hidup bermewah-mewahan. Sebut saja negara mana yang belum pernah Adel jelajahi, Adel pasti bisa menginjakkan kedua kakinya di tempat itu tanpa harus menunggu lama.
Adel sangat muak. Sungguh. Itu kenapa dia butuh tantangan di hidupnya.
Dan ya, sejak menjadi anggota DPR, Adel akhirnya tahu kalau tidak semua keinginannya dapat terwujud ketika dia menanggalkan nama keluarganya di hadapan orang-orang. Meski kerap kali membuat amarahnya memuncak, namun Adel sangat menikmati semua tantangan itu.
"Mbak Adel," Hani sudah selesai menyampaikan informasi yang Adel perlukan. Tapi dia masih saja berdiri di depan meja Adel, menatap ragu, sedang tangannya meremas ponsel dalam pegangannya dengan gelagat gusar. Ketika Adel melirik, Hani meringis pelan. "ada thread di twitter tentang Mbak Adel."
Gadis yang jarang sekali tersenyum itu mengulurkan telapak tangan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Hani mengerti, lalu buru-buru menyerahkan ponsel padanya. Adel mengernyit ketika membaca sederet tulisan satire di mana ada foto dirinya dalam postingan itu. Foto itu baru kemarin malam Adel posting di sosial media. Foto ketika Adel sedang berlibur ke luar negeri.
Kalimat satire itu tidak berhenti di sana, bahkan mengundang komentar-komentar jahat dari banyak orang. Mereka menyebut-nyebut Adel memakan gaji buta tanpa bekerja, membuat Adel mendengus dengan dengusan mencemooh. "Apa orang-orang ini pikir aku nggak punya uang, sampai harus mengharap gaji di tempat sialan ini cuma untuk beli tas seharga satu Milyar dan juga parfum." Rutuk Adel malas dengan wajah datar.
Adel mengembalikan ponsel Hani, lalu dia meraih ponselnya sendiri. Ada senyum miring di bibirnya ketika matanya menyorot ponselnya penuh arti.
Penasaran dengan apa yang Adel lakukan, Hani mengintip ke layar ponsel. Matanya membulat lucu ketika melihat Adel memposting sebuah video di mana dia dan Maminya sedang berada di sebuah toko bermerk serupa. Dalam video itu, ada seseorang yang mengatakan dengan sangat jelas kalau toko itu sengaja di tutup untuk mereka berdua agar bisa berbelanja dengan tenang.
"Mbak Adel... itu..." Hani menggaruk pelipis kaku. "mereka pasti jadiin video itu bahan baru buat jelek-jelekin Mbak Adel lagi."
Adel mengedikkan bahunya tak peduli, sedangkan bibirnya tersenyum puas. Biarkan saja, pikirnya. Toh mereka akan semakin mirip seperti cacing kepanasan setelah melihat video itu. "Tapi, Hani," tiba-tiba saja dahinya mengernyit. "kayanya ini bukan pertama kalinya akun itu ngomongin tentang saya, kan?"
Hani mengangguk cepat. "Saya juga udah lama perhatiin, Mbak. Akun ini memang selalu bahas tentang Politikus. Tapi akhir-akhir ini, dia lebih sering ngomongin Mbak Adel."
Adel bersedekap, matanya memandang lurus ke depan, dia tampak berpikir lama. "Apa nama akunnya?"
Hani memeriksa ponselnya lagi. "Javier."
"Javier?"
"Iya. Dia ini dari LSM, Mbak. Setiap ada demo, saya perhatiin dia selalu ada. Mukanya paling sering kelihatan di televisi buat di wawancara." Hani terdengar jengkel. Bagaimana pun, dia tidak suka ada yang menjelek-jelekkan Adel. Di mata Hani, Adel memang terkesan angkuh karena dia sangat irit bicara dan tidak mudah tersenyum. Tapi sebenarnya Adel adalah orang baik yang anehnya tidak senang disanjung.
"Oke. Kalau gitu tolong kamu cari tahu di mana orang ini tinggal dan bekerja." Adel beranjak dari kursinya. Merapikan pakaian, lalu meraih tasnya.
Hani yang masih tidak mengerti, kini bertanya. "Buat apa, Mbak?"
"Lakukan aja yang saya minta." Ucap Adel sembari berlalu pergi.
Hani masih berdiri diam di tempatnya, tapi kali ini dengan perasaan resah. Kira-kira apa yang akan Adelia Hamizan itu lakukan nanti?
***
"Oi, Jav, ngopi dulu!"
Mendengar sebuah teriakan yang memanggil namanya, seorang lelaki keluar dari kolong mobil menggunakan mekanik creeper. Wajah lelaki itu tampak berpeluh, ada noda oli di sekitar wajahnya, namun semua itu tidak membuat bibirnya kehilangan senyuman.
Keluar dari kolong mobil, Javier meraih handuk kecil dari kursi di dekat mobil. Dia menyeka keringat, mengibas-ngibas kerah kaus putihnya yang sedikit basah. Hari ini terik matahari sangat menyengat, tubuh Javier tak henti-hentinya mengeluarkan keringat sejak dia mulai bekerja pagi tadi.
Usai mencampakkan handuk kecil itu kembali ke atas kursi, Javier bergabung bersama rekan-rekan sesama mekanik. Ada sekitar lima orang lelaki selain Javier yang bekerja di bengkel mobil itu. Empat di antara mereka sudah berusia sekitar empat puluhan, Javier sudah berusia dua puluh sembilan tahun, sedang lelaki satunya lagi masih berusia dua puluh tiga tahun.
"Kopi, Jav." Putra, lelaki berusia dua puluh tiga tahun itu menyerahkan segelas kopi hitam pada Javier. Usia mereka memang terpaut jauh, tapi Putra tidak pernah menggunakan panggilan sopan pada Javier karena mereka sudah sangat dekat di tempat itu.
"Lo udah dengar belum," Putra memulai obrolan. Javier yang sedang menikmati kopi miliknya hanya mengangkat satu alisnya ke atas. "nggak jauh dari kost kita, ada pembangunan Sutet. Warganya nolak, tapi pembangunannya udah mulai di proses beberapa hari ini."
"Lokasinya dekat banget sama rumah warga?" tanya Javier, ada rokok yang terjepit di bibirnya. Javier sedang membakar ujungnya dengan mancis.
Putra mengangguk. "Dekat. Bakal ganggu sih menurut gue, apa lagi lahan yang diambil, taman buat main anak-anak."
"Prosesnya udah sampe mana?"
"Baru dimulai, tiga hari lalu kayanya."
Kepala Javier mengangguk-angguk, "Lo koordinasi warga, gue bawa beberapa anggota. Besok kita ke lokasi." Mulutnya menghembuskan kepulan asap. Minum kopi sambil merokok memang menyenangkan.
Senyum Putra mengembang sempurna. Kalau Javier sudah memberi perintah, artinya lelaki itu akan melakukan sesuatu yang di mata Putra sangat menarik. Putra senang sekali kalau Javier sudah melakukan aksi-aksi protes terhadap kebijakan pemerintah.
Javier bekerja di salah satu LSM yang track record-nya sering bersinggungan dengan pemerintah. Satu tahun belakangan, Putra yang tergolong masih muda sangat tertarik dengan pekerjaan lain Javier itu, tapi sayang, Javier tidak mengizinkan Putra mengikuti jejaknya.
Mereka berdua berteman sejak Putra bekerja di bengkel yang sama, bahkan tinggal di kost yang sama pula. Di mata Putra, Javier adalah Kakak yang baik. Dia senang sekali menolong orang, tidak pelit dan juga apa adanya.
Obrolan kembali berlanjut, senda gurau khas lelaki terjadi di sana. Sampai dering ponsel Javier terdengar kemudian dia menatap muram ponselnya. "Halo?" ucapnya setelah mengangkat panggilan.
[Nanti sore aku pulang. Kamu jemput, ya...] suara merdu seorang gadis terdengar.
"Jam berapa?"
[Hm... lima, eh, enam aja deh.]
"Iya."
[See you, Baby.]
Javier menghela napas samar setelah percakapan itu selesai. Perasaannya yang sejak tadi baik-baik saja, berubah menjadi muram. Padahal tiga minggu belakangan ini, Javier merasa hidupnya sangat damai. Tapi mulai sore nanti, Javier akan kembali merasakan dilema yang membuatnya tak nyaman.
Karena bersikap baik-baik saja dan berusaha menerima kembali setelah dikhianati, nyatanya tidak semudah bayangan Javier.
"Jav, nanti malam PS, yuk." Ajak Putra. Javier mempunyai PlayStation di kamar. Tidak tanggung-tanggung, yang dia miliki adalah PlayStation 5 yang harganya sangat mahal. Putra pernah terheran-heran saat tahu Javier memiliki benda itu. Tapi saat di tanya, Javier menjawab kalau itu hadiah dari pacarnya.
Meski tidak tahu siapa pacar yang Javier maksud, tapi Putra bisa menebak kalau Javier menjalin hubungan dengan perempuan yang bukan berasal dari kalangan seperti mereka. Terbukti setiap kali Javier meninggalkan kost cukup lama dengan alasan sedang bersama pacarnya, begitu dia pulang ke kost, Javier banyak sekali membawa makanan dan pakaian mahal yang dia bagi-bagikan dengan beberapa penghuni kost termasuk Putra.
Javier menggelengkan kepala. "Malam ini gue nggak pulang."
"Kenapa?" Putra mengernyit. Tapi Javier hanya diam dan menyibukkan diri dengan ponsel, seketika senyum Putra mengembang. "Oh, mau pacaran."
Javier mengabaikan gumaman Putra. Demi melarikan diri dari perasaan muram itu, Javier sengaja membuka twitter. Sebagai anggota LSM yang sering berkicau di sana, Javier memiliki banyak sekali pengikut. Akun milik Javier itu memang senang sekali membahas berita-berita terbaru yang sedang disorot banyak orang.
Sebuah notifikasi Javier temukan di sana. dahinya mengernyit begitu saja ketika membaca nama sebuah akun twitter yang membalas salah satu cuitan Javier.
Adelia Hamizan?
Adelia... yang itu?
Javier mendengus kuat sambil tertawa malas. Jujur saja, Javier sama sekali tidak menyangka kalau Adel berani mampir ke akun milik Javier bahkan membalas cuitannya. Karena biasanya, para Politikus itu selalu mengabaikan Javier, tidak mau ambil pusing atau mencari masalah karena mereka tahu seperti apa Javier jika sudah menguliti latar belakang seseorang.
Tapi gadis bernama Adelia itu malah dengan sengaja membalasnya. Javier menemukan balasan lain yang dibubuhkan banyak orang atas sederet kalimat yang Adel tulis di sana. Sebagian orang mengolok-olok Adel, sebagian lagi memuji keberaniannya bahkan kecantikannya.
Cantik?
Ya. Javier akui, Adel memang sangat cantik. Meski jarang tersenyum dan selalu memasang wajah jutek, namun kecantikan Adel sulit di tepis. Bahkan saat dia memasang wajah cemberut ketika di kerubungi wartawan yang masih membutuhkan keterangan Adel mengenai salah satu berita miring tentang dirinya atau pekerjaannya, Adel masih saja terlihat cantik.
Dia juga berkharisma.
Jangan tanyakan mengapa Javier mengetahui semua itu. Karena semenjak menemukan nama Adel ada di daftar anggota DPRD, Javier mulai sering mengamatinya. Hal itu terjadi begitu saja. Entah karena Javier tidak percaya pada gadis yang terlihat hanya bisa mengandalkan uang milik keluarga dari pada otaknya sendiri itu, atau karena hal lain yang sejujurnya tidak ingin Javier benarkan.
Harusnya Javier berhenti mengamati, atau berpura-pura tidak pernah mengetahui siapa Adel. Tapi sayangnya, dia justru menggali lebih dalam. Mencari tahu lebih banyak hingga perlahan-lahan dia mulai merasa terusik dan tanpa sadar berusaha mengusik.
Entah apa tujuannya, Javier sendiri pun tak tahu.
Tapi yang pasti, kini Javier sudah terlihat sibuk mengetik sesuatu di ponsel. Bibirnya tersenyum miring, sedang matanya berkilat penuh arti. Sepertinya Adel sedang ingin bermain-main dengan Javier. Tidak masalah, dengan senang hati Javier akan meladeni.
***
Adel baru saja hendak makan setelah menyelesaikan percakapan dengan Bara melalui telepon saat Arka datang dengan wajah kesal. "Besok kamu harus ketemu Om Pras, orang itu harus di laporkan." Cetus Arka tajam sembari menyebut nama Pengacara keluarga mereka. Sedangkan Adel yang langsung mengetahui maksud Arka hanya menaikkan satu alisnya ke atas.
"Buat apa?" tanya Adel.
"Buat apa?!" Arka nyaris murka. Semenjak Papinya menelepon dan memberitahu padanya tentang seseorang yang sedang berusaha mengganggu Adel di sosial media, Arka tidak bisa merasa tenang. Berani sekali orang itu mengusik saudaranya dengan segala omong kosong itu. "Dia udah ngomongin yang nggak-nggak tentang kamu, menggiring opini jahat sampai kamu mendapat banyak hujatan sampai saat ini." Arka mengusap wajah gusar. Dia tampak sangat mencemaskan saudara kembarnya. "Papi juga udah tahu. Cuma ada dua pilihan, kita yang urus, atau Papi yang urus. Tapi kamu tahu, kan, kalau Papi sampai ikut campur, orang itu benar-benar akan mendapatkan masalah besar."
Adel pikir, hanya Bara saja yang bereaksi berlebihan saat dia tahu kabar ini meski dia ada di asrama. Tapi saat Arka datang dengan wajah marah, Adel tahu dia harus bersusah payah untuk meredakan kemarahan Arka. Tapi ternyata, Papi mereka pun sudah tahu tentang hal ini. Dan itu adalah kabar buruk.
Karena Leo Hamizan tidak akan pernah membiarkan siapapun menyakiti putri kesayangannya. Jangankan menyakiti, menyentuh seujung kuku pun tidak boleh.
Pernah saat Adel remaja, karena sifatnya yang cenderung dingin dan senang menyendiri, beberapa teman sekolahnya sering menatapnya tak suka. Apa lagi Adel berwajah jutek, maka semua itu semakin menambah alasan mereka untuk tidak menyukai Adel.
Saat di jam pelajaran Olahraga, mereka semua di bagi menjadi dua grup untuk olahraga Voli. Adel yang memang tidak mahir dalam olahraga tampak kesulitan. Ke empat teman sekelas yang tidak menyukai Adel saling bekerja sama hingga bola Voli itu beberapa kali mengenai tubuh Adel.
Adel tahu mereka sengaja, tapi karena terlalu malas membuat keributan, dia hanya meminta izin untuk beristirahat dengan alasan kalau perutnya sedang sakit. Semua berjalan seperti biasa sampai ketika Arka melihat memar di pundak Adel dan mengadukan hal itu pada Leo.
Leo murka ketika Adel tidak punya pilihan lain selain memberitahu apa yang terjadi. Dia datang ke sekolah Adel, mengadukan apa yang Adel alami dan mengancam akan menuntut sekolah itu kalau mereka tidak mengeluarkan ke empat teman Adel dari sana.
Mengeluarkan murid dari sekolah bukan sesuatu yang mudah, apa lagi sejujurnya masalah itu bisa diselesaikan baik-baik. Tapi, berhubung yang menuntut adalah Leo Hamizan, maka pihak sekolah pun tahu kalau mereka tidak punya pilihan selain menyanggupi tuntutan Leo.
"Kalian semua nggak harus berlebihan begini cuma karena ocehan orang bodoh di sosial media." Desah Adel malas. Dia kembali meletakkan sendok dan garpu ke atas piring.
Arka menarik kursi di samping Adel, duduk miring menghadap Adel dan menatapnya tak percaya. "Berlebihan? Adel, dia udah menggiring opini buruk sampai semua orang nyaris percaya kalau selama ini kerjaan kamu cuma bisa korupsi uang negara. Kalau opini ini semakin berkembang, bukan nggak mungkin kamu bisa aja terlibat masalah. Sialan banget tuh orang!"
"Tapi kenyataannya nggak, kan? Kalau ada yang percaya, atau misalnya ada yang mau audit kekayaan aku, silahkan aja. Aku nggak harus mencemaskan sesuatu yang sama sekali nggak pernah aku lakukan." Jika sejak tadi Arka tampak menggebu-gebu, Adel justru masih bersikap tenang.
Arka mulai berdecak. "Tapi nggak ada salahnya kasih orang itu pelajaran. Kalau begini jatuhnya jadi pencemaran nama baik tahu nggak."
"Kamu tenang aja, sebentar lagi orang itu akan mengerti dengan siapa dia berurusan." Gumam Adel, matanya memandang lurus ke depan, terlihat sedikit kelam seperti sedang merencanakan sesuatu.
"Maksudnya?" tanya Arka tidak mengerti.
Adel mengedikkan bahu, "Bukan apa-apa." Kemudian dia menatap Arka dengan ekspresi lelah. "sekarang boleh aku makan dengan tenang? Aku udah menunda jadwal makan malamku selama setengah jam karena adik kamu yang berniat pulang untuk meninju orang itu, dan lima belas menit karena harus dengar kamu ngomel-ngomel. Kalau aku sampai sakit perut karena telat makan, aku akan telepon Papi dan menyebut nama kalian berdua."
Arka menyengir kecil. "Sori... sori. Ya udah, kamu makan sana."
Adel mendengus, lalu akhirnya dia bisa makan dengan tenang meski dia tahu saat ini Arka sedang memandangi.
"Kamu itu anak kesayangan Papi, Del, kesayangan aku sama Bara juga. Kami nggak bisa diam aja kalau ada yang jahatin kamu." ucap Arka pelan.
Adel tahu itu. Bahkan saat ini hatinya menghangat mendengar ucapan Arka. Tapi sebagai manusia yang sulit sekali berekspresi, Adel hanya diam tak menanggapi. Membuat dirinya tampak tak peduli meski sejujurnya tidak seperti itu.
"Terus Mami?" tanya Adel.
"Hm?"
"Kalau aku anak kesayangan Papi, siapa yang jadi anak kesayangan Mami?"
Telunjuk Arka mengarah ke wajahnya sendiri, bibirnya pun sudah tersenyum lebar.
Adel mengernyit tak yakin. "Bukannya Bara, ya? Kayanya dibanding kamu, Mami lebih sayang sama Bara."
Sontak saja Arka mengernyit tak terima. "Enak aja! Anak kesayangan Mami cuma aku. Kan yang lahir duluan aku."
"Tapi kalau Mami pergi, yang lebih sering ditanya Bara, bukan kamu. Yang lebih banyak dapat oleh-oleh juga Bara, yang sering dipeluk juga Bara." Adel mencibir dengan ekspresi menghina. "Kamu nih anak siapa sih, Ka, sebenarnya."
"Wah, kamu cari gara-gara, ya, Del?" Arka memberenggut kesal.
Sementara itu, Adel sudah tertawa geli. Tidak peduli sudah sedewasa apa Arka, namun setiap kali dia kesal dan memberenggut, di mata Adel, Arka masih terlihat sama seperti mereka masih anak-anak.
"Kamu ke sini sendiri?" tanya Adel pada Arka yang baru saja minta disuapi karena tiba-tiba berselera dengan kuah soto yang sedang Adel nikmati. Arka hanya mengangguk sebagai jawaban. "Elena?"
"Aku tinggal di rumah. Genta lagi rewel, mau tumbuh gigi kayanya."
"Bukannya Genta baru umur enam bulan, ya?"
"Iya. Makanya Mamanya panik. Nggak tahu dengar dari siapa, tapi Elena bilang kalau tumbuh gigi duluan, malah belajar jalannya yang lama." Arka terkekeh pelan. "Elena tuh kalau udah panik gemesin banget."
Adel tersenyum tipis, dia amati tawa bahagia Arka. Melihat Arka hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, Adel masih sering tidak percaya kalau saudara kembarnya yang kekanakan dan cengeng itu telah menjadi seorang suami sekaligus Ayah. "Kayanya pernikahan memang cocok sama kamu." gumam Adel yang kini melanjutkan kegiatan makannya.
Arka melirik padanya, lalu teringat percakapannya bersama Rere beberapa saat lalu. "Eh, Del," Arka kembali menghadap sempurna pada Adel. "Mami bilang, kemarin Papi ajak Mami ketemu sama temennya Papi. Om apa, ya, namanya... Beni? Benu? Oh, Danu!"
"Jauh banget dari Beni ke Danu." Cibir Adel.
Arka hanya berdecak. "Om Danu itu bawa anaknya kata Mami. Cowok, seumuran sama kita."
"Ya, terus?"
"Masa kamu nggak ngerti sih, Del."
"Memang aku nggak ngerti, makanya aku tanya sama kamu."
"Kamu masih ingat, kan, soal perjodohan?"
Mulut Adel yang dari tadi bergoyang-goyang karena mengunyah, kini berhenti bergerak. Matanya menatap Arka cepat, ada gurat gelisah yang kini hadir.
"Mami bilang, Papi kelihatan suka sama anaknya Om Danu. Papi jadi sering tanya-tanya pendapat Mami soal laki-laki itu. Mami sih belum tanya apa-apa sama Papi, cuma dari gelagatnya, Mami rasa kayanya Papi mau jodohin anak temannya itu sama kamu, Del."
Jika sejak tadi Adel sangat menikmati makan malamnya, apa lagi dengan perut yang keroncongan. Maka saat ini nafsu makan Adel mendadak hilang saat Arka mulai membicarakan tentang perjodohan.
Adel tahu hari itu akan segera tiba. Hari di mana Papinya datang memperkenalkan seorang lelaki yang akan menjadi suaminya kelak. Apa lagi usia Adel sudah hampir menginjak angka dua puluh delapan. Sedangkan Arka sudah menikah sejak usianya dua puluh enam.
Sebagai putri satu-satunya di rumah itu, apa lagi sebagai anak kesayangan Leo, maka Adel harus mengerti kalau Leo ingin selalu memberikan yang terbaik untuknya. Leo sangat menyayangi Adel, perhatiannya pada Adel justru lebih besar dibandingkan pada istrinya.
Hal itu juga dia tanamkan pada ke dua putranya. Seperti apa Leo menjaga Adel, maka seperti itu juga mereka berdua menjaganya.
Suatu hari di masa lalu, saat Adel beranjak remaja, Leo mengatakan dengan tegas kalau Adel tidak boleh berpacaran. Adel tidak boleh menjalin hubungan asmara dengan siapa pun kecuali calon suaminya kelak di mana Leo sendiri lah yang akan mencarinya.
Waktu itu, Adel yang remaja hanya mengangguk setuju. Selain dia juga hanya peduli dengan sekolah dan pelajaran, Adel juga tidak punya keinginan untuk menjalin cinta dengan lelaki mana pun. Padahal bukan tidak banyak lelaki yang mendekatinya. Sejak SMP, SMA, bahkan di kampusnya dulu pun, banyak sekali lelaki yang menyatakan cinta. Namun semua itu Adel tolak mentah-mentah. Adel selalu mengatakan pada mereka semua kalau dia hanya ingin belajar.
Adel tidak pernah peduli dengan urusan asmara. Namun akhir-akhir ini, semenjak orang-orang mulai sering bertanya sekaligus penasaran tentang siapa calon suami Adel yang akan Leo bawa ke hadapannya kelak, Adel mulai merasa gelisah.
"Hei," Arka menyentuh kepala Adel, mengusapnya lembut. "kamu kenapa?" sepertinya dia menyadari keterdiaman Adel.
"Nggak apa-apa," Adel lanjut makan meski tidak lagi berselera.
Sebagai saudara, apa lagi mereka adalah saudara kembar. Meski tidak berkata jujur, namun Arka tahu apa yang sedang Adel pikirkan. "Kalau memang benar, tapi setelah ketemu, kamu malah merasa nggak cocok, bilang aja, Del. Aku yakin, Papi bakalan ngerti."
Adel memelankan kunyahan. "Arka," panggilnya lirih saat sesuatu terlintas di benaknya.
"Ya?"
"Jatuh cinta itu... rasanya gimana sih?"
"Kenapa nanya gitu?"
Adel menghela napas, kali ini dia membalas tatapan Arka dengan sorot mata yang sendu. "Kamu mencintai Elena, kan?"
"Iya."
"Itu kenapa kamu bahagia."
"Hm."
"Kalau aku menikah nanti, aku juga mau bahagia kaya kamu, Ka."
Arka tersenyum lembut dan mengusap rambut Adel.
"Tapi, bahagia dalam pernikahan itu butuh cinta, kan? Gimana kalau ternyata... aku nggak bisa mencintai suamiku nanti. Kami menikah karena dijodohkan, nggak kaya kamu sama Elena yang jatuh cinta lalu menikah. Seperti yang aku bilang tadi, aku mau bahagia seperti kamu. Tapi, gimana caranya aku bisa bahagia kalau ternyata aku nggak mencintai suamiku?"
Dulu, Adel tidak pernah mau memikirkan semua itu. Menurutnya, memikirkan perjodohan hanya akan membuang waktu. Tapi akhir-akhir ini Adel mulai merasa cemas. Sampai detik ini, Adel tidak pernah menyukai apa lagi jatuh cinta dengan lelaki mana pun. Besar kemungkinan, dia juga akan merasakan hal serupa pada suaminya kelak.
Tapi Adel adalah gadis keras kepala yang tidak mau berada dalam situasi yang tidak dia inginkan. Adel sudah bisa menebak apa yang akan terjadi ketika dia menikah lalu nyatanya tidak bisa mencintai.
Adel pasti akan menyudahi semuanya, dan hal itu akan menjadi masalah besar di keluarga mereka. Menikah lalu bercerai adalah hal terlarang di keluarga mereka meski dulu, Opa dan Oma Adel pernah melakukannya meski pada akhirnya mereka kembali bersama.
Dari cerita yang Adel dengar, perceraian itu telah menciptakan kekacauan besar yang berlangsung lama. Itu mengapa sejak saat itu, perceraian menjadi hal terlarang dalam keluarga mereka.
"Kalau gitu, kamu harus menikah dengan laki-laki yang kamu cintai." Ujar Arka.
Adel mengerjap lambat. "Siapa?"
Arka mengernyit, kemudian tersenyum geli. "Ya, mana aku tahu." Arka mengacak rambut Adel gemas. "Mungkin sama laki-laki yang akan Papi kenalkan ke kamu, atau... seorang laki-laki yang nggak sengaja kamu temui di luar sana dan buat kamu jatuh cinta." seringai miring Arka terpatri sempurna. "Tapi jangan, deh, Del. Bahaya. Bisa ada perang dunia ketiga di rumah. Apa lagi kalau kamu jatuh cinta sama laki-laki yang nggak Papa restui."
Adel mendengus malas menanggapi ocehan Arka.
Laki-laki yang Adel temui di luar sana? Yang benar saja, Adel bahkan tidak pernah mau mengobrol lebih dari tiga puluh menit dengan lelaki manapun jika bukan karena urusan pekerjaan.
Lalu bagaimana bisa Adel jatuh cinta?
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
