
"Ini dari Mas Javier, untuk Nona Adelia, katanya."
Mendengar jawaban dari seorang waiters laki-laki setelah Adel mengatakan tidak memesan minuman yang baru saja dihidangkan untuknya, Adel langsung memalingkan wajah, mencari di mana keberadaan Javier. Satu alisnya terangkat malas ke atas manakala menemukan Javier yang sedang duduk di depan meja Bar, tersenyum tengil seraya mengangkat gelasnya ke atas sebelum meneguk isinya.
"Dia siapa, Del?" tanya Bimo, seorang lelaki...
[Bulan depan Papi sama Mami pulang. Ada yang mau Papi bicarakan sama kamu.]
Tidak perlu bertanya. Adel tahu apa yang ingin dibicarakan oleh Papinya. Apa lagi kalau bukan soal perjodohan. Seperti yang Arka bilang, kemarin Mami mereka mengatakan kalau Papi terlihat menyukai anak temannya.
Berdiri di depan dinding kaca kamar, Adel bersedekap, menatap sendu ke depan.
Sejak remaja, Adel sudah tahu tentang semua itu. Adel pun menerimanya. Tapi entah mengapa, akhir-akhir ini Adel merasa sangat gelisah. Ada perasaan cemas dan juga takut, bahkan kalau saja Adel punya keberanian, Adel ingin meminta sedikit waktu lebih lama sebelum Papinya memutuskan perjodohan itu.
Tapi sejak kecil, Adel sudah terbiasa menjadi putri kesayangan Leo Hamizan yang patuh. Dia bahagia setiap kali melihat sorot mata penuh bangga Papinya setiap kali dia melakukan sesuatu yang membanggakan.
Di antara Adel, Arka dan Bara, hanya Adel yang tidak pernah melakukan kesalahan. Adel selalu menjadi juara kelas, tidak pernah bolos sekolah, tidak pernah melanggar peraturan apa pun di rumah. Dan menjadi kebanggaan semua orang.
Tapi, Adel punya rahasia kecil yang tidak pernah berani dia bagi dengan siapa pun.
Adel tahu apa itu bahagia. Tapi Adel merasa kalau dia belum pernah benar-benar bahagia. Dulu, ketika Adel sedang jenuh dengan semua tumpukan buku pelajaran yang dia baca, Adel akan mencari di mana keberadaan Arka dan Alma.
Lalu dari kejauhan, dia mengamati mereka berdua. Arka dan Alma yang bercanda, berlarian hingga membuat keributan dan tertawa lepas. Adel menyaksikan semua itu dalam diam dengan perasaan cemburu.
Karena sejujurnya, jauh di dalam isi hatinya, Adel juga ingin merasakan semua itu. Memiliki seseorang yang bisa tertawa bersamanya. Tapi, Adel tidak pernah bisa menemukan jalannya.
Meski dia memiliki Arka yang selalu ada di sisinya, namun tetap saja Adel tidak bisa melakukan semua hal itu bersama Arka. Sedangkan untuk mencari teman di luar rumah, Adel tidak mengerti bagaimana caranya.
Sikap dan karakternya membuat Adel sulit memiliki teman. Bahkan sekarang, meski dia memiliki banyak teman dari kalangan mana pun, Adel tetap tidak bisa melakukan apa yang Arka dan Alma lakukan bersama teman-teman mereka. Apa lagi Adel bukan jenis orang yang mudah mempercayai orang lain.
Lalu sebentar lagi, Adel akan segera menikah dengan seseorang yang tidak dia kenal. Dan keinginannya itu harus dia kubur selama-lamanya.
Memikirkan semua itu, sorot mata Adel berubah muram. Hatinya bergejolak tak terima, namun dia tidak tahu harus melakukan apa.
Di tengah pikirannya yang kusut, muncul satu nama di benaknya secara begitu saja.
Adel meraih ponsel dari ranjang, kembali ke tempat semula sembari menempelkan ponsel di telinga. "Halo."
[Eh, tumben banget gue di telepon sama Ibu Dewan.]
Adel tersenyum. Alma tidak pernah berubah. Tapi anehnya, hanya mendengar celetukan menyebalkan gadis itu saja pun, Adel merasa senang. "Apa kabar, Al?"
[Buruk sih sebenarnya. Gue belum tidur dari semalam, tapi kerjaan gue nyebelin banget, Del. Sampe sekarang nggak kelar-kelar.]
"Oh..."
[Lo ngapain tumben banget telepon gue? Mau pinjam duit? Nggak ada, Del.]
"Apaan sih!"
Alma tertawa cekikikan. Padahal tadi dia bilang belum tidur semalaman, tapi dia masih saja sanggup untuk bercanda.
[Jadi kenapa, nih?]
"Nggak apa-apa. Cuma kangen aja sama kamu yang udah jarang kasih kabar."
[Bohong banget,] Alma mendengus diseberang sana. [lo nggak mungkin tiba-tiba telepon gue kalau nggak ada alasan penting. Pake alasan kangen lagi.]
Adel tertawa pelan. Menyenangkan sekali jika sedang mengobrol bersama Alma.
[Lo kenapa, Del? Cerita aja sama gue.]
Adel menggigit bibirnya pelan. Kalimat itu sudah ada di ujung lidahnya, tapi dia tidak tahu cara mengatakannya. Dia tidak terbiasa melakukan ini.
[Del?]
"Hm, itu... aku cuma penasaran aja."
[Penasaran soal apa?]
"Kamu."
[Gue? Emang gue kenapa?]
Menghela napas berat sembari memejamkan mata, Adel memberanikan diri untuk berterus terang. "Gimana sih, Al, rasanya jadi anak pembangkang?"
[Hah?]
"Aku sering lihat kamu dimarahi sampai di hukum juga sama Tante Gisa. Kamu pernah berantem sama Tante Gisa, pernah debat sama Om Abi. Sering buat masalah, bikin semua orang di sekeliling kamu kesal sama tingkah kamu."
[Ya, terus?]
"Aku cuma penasaran. Apa yang kamu rasakan setelah melakukan semua itu?"
Mendadak tawa Alma terdengar di seberang sana. [Lo repot-repot telepon gue cuma buat nanya perasaan gue setiap kali bikin semua orang pengin cekik gue sampe mati, Del?]
Adel berdecak pelan. "Hm."
[Tapi aneh banget nggak sih, tiba-tiba lo nanya begini.]
"Bisa jawab aja nggak?" cebik Adel galak.
[Perasaan gue, ya... hm, gimana ya...] Adel menunggu dalam diam. [Sebenarnya nggak gimana-gimana sih. Gue cuma melakukan apa yang gue mau, bodo amat kalau yang gue lakukan salah, yang penting gue udah coba. Soal ternyata itu salah atau nggak, kan ada Bokap sama Nyokap gue yang tugasnya emang buat kasih tahu mana yang salah dan mana yang benar.]
"Tapi kan, kalau kamu melakukan kesalahan, mereka bakal kecewa." Lirih Adel. Kecewa. Itu lah yang dia takutkan selama ini. Adel sangat takut jika membuat keluarganya, terutama Papinya kecewa.
[Ya, terus, memangnya kenapa kalau mereka kecewa?]
"Kamu nggak takut kalau mereka sampai kecewa gara-gara kamu?"
[Nggak.] Jawab Alma santai. [Setahu gue, di dunia ini nggak ada tuh, aturan tentang anak yang nggak boleh buat orangtuanya kecewa. Sama kaya anak, orangtua juga pasti pernah buat anaknya kecewa, kan. Jadi, ya udah. Kalau gue sih... salah tinggal minta maaf. Yang penting rasa penasaran gue tentang banyak hal udah terjawab.]
Adel menggigit bibirnya ragu. "Gitu, ya..."
[Lo kenapa sebenarnya? Nggak apa-apa, Del, cerita aja. Gue nggak akan bilang sama siapa-siapa.] Alma bisa menebak Adel dengan mudah ternyata.
"Mungkin nggak lama lagi aku akan menikah." lirih Adel dengan tatapan sendu.
[Oh... sama siapa?]
"Nggak tahu. Tapi kelihatannya Papi udah punya calonnya. Bulan depan... Papi pulang." Adel tersenyum getir. "Al, menurut kamu... apa yang aku lakukan selama ini udah cukup belum?"
[Cukup.]
"Oh, ya?"
[Hm. Lo udah cukup membanggakan dan membahagiakan keluarga lo, Del. Tapi, untuk diri lo sendiri, gue rasa... lo belum melakukan apa-apa.]
Adel termangu. Meski sejujurnya hal itu sudah lama sekali bergumul di dalam hatinya, namun Adel yang selalu berusaha menepis pergulatan itu, tidak pernah mendengar langsung dari orang lain.
[Jujur aja, gue udah lama mikir kalau suatu saat lo bakal begini.]
Adel mengernyit tak mengerti. "Maksudnya?"
[Lo mulai merasa kalau selama ini, lo belum melakukan banyak hal untuk diri lo sendiri, kan? Adel, lo tahu nggak sih, kalau apa yang lo lakukan dari dulu cuma untuk menyenangkan orangtua lo, terutama Papi lo? Lo terlalu memaksakan diri untuk menjadi sempurna kaya Om Leo. Padahal Om Leo nggak sempurna-sempurna banget menurut gue.] Alma tertawa pelan di seberang sana, mungkin ingin mencairkan suasana karena dia pasti tahu kalau apa yang sedang dia sampaikan ini akan membuat Adel kebingungan.
[Dulu gue sering banget ngomel sama saudara lo. Gue udah bilang, lo harus ikut main sama kita. Tapi dia bilang, lo selalu aja nolak dan lebih milih belajar.] Alma mendengus.
"Memangnya salah ya, Al, kalau aku senang belajar?" tanya Adel, suaranya terdengar pelan.
[Belajarnya nggak salah, sih, Del. Tapi yang jadi masalah, lo cuma mau belajar dan nggak mau main padahal umur lo masih enam, eh, apa tujuh ya waktu itu? Ya pokoknya, di saat anak-anak seumuran kita lebih senang main dari pada belajar, lo malah lebih senang belajar dari pada main.]
"Waktu itu aku mau jadi juara kelas."
[Iya. Lo selalu jadi juara kelas kan sampai akhir? Terus apa? Papi lo bangga, semua orang bangga, sedangkan elo?] Alma berdecak kesal. [Lo bahkan baru sadar kalau hidup lo nyaris sia-sia di umur setua ini.]
"Aku nggak bilang gitu!" sanggah Adel.
[Lo nggak mungkin tiba-tiba telepon gue dan nanya pertanyaan aneh kaya tadi kalau bukan karena lo lagi kebingungan. Begini-begini, gue ini temen lo, Adel.]
Adel menghampiri ranjang, duduk di tepinya. Ponsel masih menempel sempurna di telinga. Perasaannya semakin gundah setelah mendengar apa yang Alma katakan.
Benar. Adel sedang ketakutan saat ini. Adel takut kalau selama ini dia tidak pernah melakukan apa-apa untuk dirinya sendiri. Adel semakin ketakutan saat dia tahu pernikahannya akan tiba sebentar lagi.
Karena ketika dia sudah menikah, artinya sebagian hidupnya akan dimiliki oleh suaminya. Lalu bagaimana ketika dalam pernikahan itu, lagi-lagi Adel harus melakukan hal-hal sempurna untuk membuat suaminya bangga pada dirinya.
[Adel, are you ok?] suara Alma terdengar cemas.
"Al,"
[Ya?]
"Kalau kamu jadi aku... apa yang akan kamu lakukan sekarang."
[Lo serius nanya sama gue? Lo tahu gue gimana, kan?]
"Jawab aja."
[Lo nggak harus jadi gue untuk tahu apa yang harus lo lakukan. Tapi lo harus tahu, kalau naik sepeda keliling komplek itu menyenangkan. Nongkrong sama temen, minum satu atau dua gelas alkohol, bahkan sesekali mabuk juga menyenangkan. Lihat pemandangan dari atas gunung bakal bikin lo nggak mau pulang saking indahnya. Nyetir sendirian sambil dengerin musik lumayan bikin pikiran lo tenang.]
Semua yang Alma katakan adalah hal-hal yang selama ini tidak pernah Adel lakukan dalam hidupnya. Sebagian karena Adel memang tidak suka melakukannya, tapi sebagian lagi, karena Papinya yang melarang Adel melakukannya. Adel mendesah berat. "Tapi kalau aku melakukan semua itu, Papi pasti marah."
[Memangnya kalau Papi lo marah, lo bakal ditendang dari rumah? Mustahil banget Om Leo melakukan itu ke anak kesayangannya. Paling juga cuma diomelin, santai, Del. Gue aja yang dulu pernah nggak sengaja nabrak pagar tetangga gara-gara bawa kabur mobil Papa cuma di kurung satu minggu di rumah sama si Gisa. Mana itu mobil baru lagi.]
Adel tidak bisa menahan senyum geli. Dia ingat kejadian itu. Gisa dan Abi sampai mengeluh dengan wajah putus asa pada Leo dan Rere karena ulah nakal Alma. "Jadi aku harus gitu?"
[Apa? Nabrak pagar tetangga?]
"Bukan... tapi melakukan semua yang kamu bilang tadi, Al."
[Iya, dong.]
"Tapi, Al—"
[Ck, apaan sih, Del! Mulut gue udah sampe berbusa gini, masih aja lo ragu. Udah, percaya sama gue, lakuin aja semua yang mau lo lakuin. Kalau sampe kenapa-napa, biar gue yang tanggung jawab.]
"Hm," Adel meringis sangsi. "sebenarnya aku nggak yakin kamu bisa bertanggung jawab sama masalah orang lain kalau bertanggung jawab sama masalah sendiri pun, kamu masih sering kabur-kaburan."
[Lo lagi ngomongin saudara lo, ya? Sialan!]
Adel tertawa pelan. "Ya udah."
[Hah?]
"Aku mau coba semuanya." Adel menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. "Aku cuma punya waktu satu bulan untuk melakukan semua itu. Menurut kamu... cukup nggak?"
[Cukup! Cukup banget lah.] Kekeh girang Alma terdengar di ujung sana, membuat Adel tersenyum kecil dan mengucapkan terima kasih padanya.
Alma benar, Adel memang harus melakukan banyak hal di hidupnya selain belajar dan menjadi anak kebanggaan Papinya.
Entah ini benar atau tidak, tapi yang pasti Adel merasa harus melakukannya. Paling tidak... sebelum dia menikah dan menyerahkan hidupnya pada sosok lelaki asing yang akan menjadi suaminya.
***
Javier tidak salah lihat, kan?
Dia baru saja melihat Adel sedang duduk bersama beberapa orang lainnya di salah satu meja yang ada di kelab malam di mana Javier juga berada di sana. "Beneran dia." gumam Javier setelah menyipitkan mata sebanyak dua kali untuk memastikan, meski masih dengan nada tak percaya.
"Siapa?" sahut Teddy. Dia mendengar gumam Javier yang berada tepat di sampingnya. Malam ini penghuni kost memang sedang ingin bersenang-senang di sana. Maklum, tanggal muda. Jadi sebagian gaji mereka sudah selayaknya dihabiskan untuk menyenangkan diri.
Arsen dan Putra yang sedang membicarakan sesuatu pun turut menatap pada Javier.
Lalu kepala Javier mengangguk ke satu arah, membuat ketiga temannya menoleh serentak. "Oh, itu Adel, kan." Gumam Arsen.
"Ada gebetan lo, Jav." Kekeh Putra.
Gebetan Javier, begitu lah ketiga teman Javier menyebut Adel semenjak Javier mengatakan omong kosong tentang dia yang menyukai Adel saat meminta bantuan mereka beberapa waktu lalu.
Waktu itu, Putra yang paling terkejut. pasalnya, dia sempat melihat Javier dan Adel bersitegang di depan bengkel. Belum lagi yang Putra ketahui, Javier sudah punya kekasih. Itu mengapa dia sangat terkejut.
Tapi Javier memberi alasan kalau dia dan kekasihnya sudah putus, Javier juga mengatakan dia sangat tertarik pada Adel sejak tahu kalau sebenarnya Adel tidak seperti yang dia bayangkan setelah pertemuan mereka di Panti Asuhan.
Javier sengaja berbohong, karena dia tidak mungkin memberitahu mereka semua tentang rencana balas dendam yang dia persiapkan.
"Lo yakin, Jav?" tanya Teddy. Lelaki itu menatap Javier sangsi. "Itu cewek kelasnya beda jauh sama lo. Iya sih, tampang lo lumayan. Dari tadi aja, di antara kita berempat, cuma lo yang dilirik cewek-cewek."
"Apaan," Putra protes tak terima. "gue juga dilirik sama cewek-cewek dari tadi. Tapi ini nih, si Arsen rese banget. Tangan gue dipegang terus sama dia." mata Putra menatap sebal pada salah satu lengannya yang dipegang erat oleh Arsen.
Tujuannya tentu saja agar Putra tidak beranjak ke mana-mana. Meski mereka membiarkan Putra minum, tapi untuk urusan seks, mereka masih melarang Putra melakukannya. Bukan apa-apa, Putra masih berusia dua puluh tiga tahun. Terlalu cepat rasanya membiarkan bocah menyebalkan itu mencoba melakukan hubungan seks dengan seseorang.
"Kalau nggak gue pegangin, bulan depan bakal ada yang datang ke kost sambil nangis-nangis gara-gara lo buntingin." Omel Arsen.
"Heh, Sen, lo pikir gue nggak ngerti caranya pake kondom!"
"Lo kencing aja belum bener udah belagu ngomongin kondom." Javier menoyor kepala Putra, membuat Teddy dan Arsen tertawa.
"Gue nggak ngerti, deh. Lo bertiga jelas-jelas udah sering tidur sama cewek. Elo, Jav, kalau nggak pulang ke kost pasti lagi tidur sama cewek lo, kan? Lo Juga, Ted, Sen, kuping gue masih normal kalau cuma buat dengar desahan cewek-cewek yang lo berdua bawa ke kost. Masa kalau kalian boleh, gue nggak."
"Soalnya lo masih kecil, Put." Jawab Teddy dengan helaan napas penuh kesabaran. Di antara yang lain, memang hanya Teddy yang punya kesabaran ekstra menghadapi mulut kematian milik Putra.
"Gue udah dua tiga." Sanggah Putra.
Arsen menepuk-nepuk puncak kepala Putra pelan. "Iya, tunggu sampe dua lima, ya, anak kecil."
Wajah Putra berubah datar, "Anjing, lo."
Tapi bukannya marah karena mendengar umpatan dari mulut anak kecil seperti Putra, Arsen justru tertawa geli. Bagaimana pun, mereka semua sudah menganggap Putra seperti adik mereka sendiri.
"Tapi, Jav," Arsen kembali bicara. "yang Teddy bilang barusan itu benar juga. Lo nggak merasa kelewat halu sampe mikir si Adel mau sama lo?"
"Dia bukan orang sembarangan. Lo tahu siapa keluarganya, kan?" sambung Teddy.
Javier tersenyum. "Mana mungkin gue nggak tahu siapa keluarganya," saat menggumam kalimat itu, sorot mata Javier tampak seperti menyimpan sebuah makna. "lagian," Javier terkekeh pelan. "gue cuma naksir, bukan mau lamar dia di depan keluarganya."
"Awalnya emang naksir, Jav. Terus tahu-tahu lo cinta mati, tapi Bokap si Non malah nggak kasih restu." Sahut Putra.
Arsen menambahkan. "Bokap Kakek dari Nyokapnya aja mantan Menteri, Kakeknya pemilik Perusahaan nomer satu di Indonesia, yang dilanjutin sama Bokapnya. Belum lagi silsilah dari keluarga Bokapnya yang juga bukan orang sembarangan. Duh, Jav, bayangin reaksi mereka kalau tahu lo yang remahan kerupuk begini naksir anaknya aja gue nggak berani. Iya sih, tampang lo oke, tapi nasib sama duit lo yang nggak oke."
Putra dan Teddy mengangguk-angguk setuju. Berharap setelah ini Javier bisa sedikit sadar diri.
Kini Javier memalingkan wajah, kembali memandang Adel yang sedang tersenyum sekedar pada lelaki yang sedang mengobrol di sampingnya.
Reaksi...
Justru itu yang Javier nantikan. Melihat reaksi seorang Leo Hamizan saat menyaksikan kehancuran putri tercinta. Dan juga melihat bagaimana kesombongan Adel luluh lantak saat Javier berhasil menghancurkan hidupnya.
Paling tidak... salah satu dari keluarga Hamizan itu harus merasakan apa yang pernah dirasakan oleh Mamanya. Atau, harus memilih cara yang serupa seperti yang Mamanya pilih untuk mengakhiri penderitaannya.
Javier tersenyum, "Gue jadi nggak sabar..."
"Hah?" sahut Putra.
"Nggak sabar lihat reaksi Bokapnya." Lengkungan bibir Javier semakin tertarik ke atas, membentuk seringai miring. Lalu kemudian dia berdiri dan menatap ketiga temannya. "Gue cabut duluan, ya."
"Mau ke mana?" tanya Putra.
Javier tidak mengatakan apa pun, dia hanya mengedipkan sebelah mata sebelum pergi menuju Bar dan tampak sedang memesan sesuatu. Lalu tak lama berselang, seorang waiters membawakan segelas minuman ke meja di mana Adel berada.
Melihat itu, Arsen dan Putra tertawa geli seraya mengumpat tingkah berengsek Javier yang terlalu berani. Namun hal berbeda terlihat dari Teddy.
Entah mengapa, saat tadi melihat Javier tersenyum setelah memandangi Adel dari kejauhan, Teddy merasakan sesuatu yang aneh. Dia menemukan kejanggalan dari cara Javier menatap Adel.
Sejauh ini, selama mereka tinggal satu atap dan saling berteman, yang Teddy tahu, Javier adalah manusia paling tulus yang pernah dia kenal. Tapi tadi, ketika Javier memandang Adel, Teddy tidak merasakan ketulusan seperti biasanya. Padahal... Javier bilang kalau dia merasa tertarik. Bukankah itu sedikit aneh?
***
"Ini dari Mas Javier, untuk Nona Adelia, katanya."
Mendengar jawaban dari seorang waiters laki-laki setelah Adel mengatakan tidak memesan minuman yang baru saja dihidangkan untuknya, Adel langsung memalingkan wajah, mencari di mana keberadaan Javier. Satu alisnya terangkat malas ke atas manakala menemukan Javier yang sedang duduk di depan meja Bar, tersenyum tengil seraya mengangkat gelasnya ke atas sebelum meneguk isinya.
"Dia siapa, Del?" tanya Bimo, seorang lelaki yang baru saja dikenalkan oleh Melisa, temannya yang juga berada di meja itu bersama mereka, yang sedang bermesraan bersama kekasihnya.
"Bukan siapa-siapa." Jawab Adel. Kemudian dia menatap waiters itu lagi. "Mas, tolong balikin minumannya ke orang itu lagi, ya."
Meski sempat merasa bingung, namun waiters itu menuruti apa yang Adel katakan. Dan kini, Adel kembali memandang Javier yang baru saja mengetahui kalau minuman darinya telah Adel tolak.
Dari tempat masing-masing, mereka saling bertatapan satu sama lain. Adel dengan senyuman malasnya yang mencemooh, sedang Javier dengan dengus geli di sela-sela kegiatan minumnya.
"Kamu kenal, ya?" lagi-lagi Bimo kembali bertanya. Bahkan dia terdengar sedikit kesal kali ini. Mungkin karena tadi Adel terlampau sibuk saling menatap bersama Javier, atau mungkin karena sejak tadi Adel tampak sama sekali tidak tertarik, entah dengan obrolan, atau dengan sosok Bimo. Karena sejak tadi, Adel hanya menanggapi obrolan Bimo dengan deham atau pun senyum sekedar.
"Bimo," Adel menghela napas samar. "sorry, kalau kamu pikir malam ini aku berencana mencari teman kencan atau sejenisnya, lebih baik kamu cari kenalan lain di sini. Aku cuma mau bersenang-senang, dan sekarang aku harus pulang. Selamat malam."
Adel meraih tas di sampingnya, kemudian beranjak dari sana setelah berpamitan dengan Melisa yang membalasnya dengan sebuah teriakan yang menanyakan ke mana Adel akan pergi.
Namun Adel mengabaikan dan hanya terus berjalan santai, melintasi keramaian di sekitarnya. Ekspresi dingin di wajah cantiknya sering kali membuat para lelaki yang dia lewati menatap lekat penuh ketertarikan padanya. Apa lagi gaun slip bodycon asimetris berwarna hitam serta sepatu hak bertali yang dia kenakan berhasil membuat mata para lelaki menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Namun tak ada satu pun yang Adel lirik dari mereka semua.
Hanya ketika Javier tiba-tiba menghampiri dan berjalan beriringan bersamanya saja, baru lah Adel melirik lelaki itu dengan lirikan malas.
"Mau ke mana?" tanya Javier.
"Pulang." Jawab Adel ketus.
Javier melirik jam di pergelangan tangan. "Masih jam dua belas. Cepat banget mau pulang."
Adel memilih diam, sama sekali tidak tertarik meladeni obrolan yang berusaha Javier ciptakan. Bahkan ketika mereka sudah keluar dari kelab pun, Adel tetap mengabaikan Javier.
"Kenapa minuman dari aku ditolak?"
"Kenapa harus aku terima?"
"Karena minumannya dari aku mungkin."
"Justru karena dari kamu, makanya aku tolak."
"Ugh..." Javier sengaja meringis dengan nada terluka. "Kamu terdengar kejam, Adelia."
Adel hanya mendengus malas, namun matanya melirik wajah Javier sebentar. "Udah, berhenti ngikutin. Aku mau pulang." Adel mengeluarkan kunci mobil dari dalam tas, kemudian berjalan mendahului Javier.
"Buru-buru banget. Ditungguin Bokap sama Nyokap kamu di rumah, ya?"
"Mereka nggak ada di rumah."
"Wah, bagus kalau gitu."
Tadinya Adel hampir saja membuka pintu mobil, namun mendengar apa yang Javier katakan, dia menoleh ke belakang dengan kernyitan malas di dahi saat memandang Javier yang tersenyum tengil. Senyuman yang sering kali membuat Adel naik darah saat melihatnya.
Adel melipat kedua tangan di depan dada, lalu punggungnya menyandar di pintu mobil. "Cepat katakan, kamu mau apa?" sepertinya dia mulai terbiasa menghadapi Javier, itu mengapa Adel tahu Javier pasti menginginkan sesuatu dari Adel sampai rela mengikuti Adel sampai di parkiran.
Javier mengulum senyum. Lalu dia mendekat, berdiri persis di hadapan Adel. Tubuh Adel yang sedikit lebih pendek darinya membuat Javier harus sedikit merunduk agar mereka bisa bersitatap.
Sejenak, Javier hanya diam terpaku memandangi dua bola mata tajam yang menyimpan sorot dingin itu. Harus Javier akui, meski paras wajah Adel sangat cantik, namun justru kedua mata tajam miliknya itu lah yang membuat kecantikan Adel semakin sempurna.
"Cantik." Gumam Javier tanpa dia sadari.
Adel mengernyit. "Apa?"
Sadar dengan apa yang baru saja dia katakan, Javier mengerjap cepat. "H-Hah?"
"Kamu baru aja bilang..."
"Oh, nggak!" Javier bergerak mundur, mengambil jarak agar bisa menarik napasnya yang sempat tercekat. Apa-apaan barusan? Mengapa dia bisa mengatakan omong kosong itu?! "Maksud aku... hm... aku lapar." Javier tersenyum kaku.
Adel hanya diam, meski dengan ekspresi tak mengerti di wajahnya. Jelas-jelas Javier mengatakan hal yang berbeda sebelumnya.
"Kamu lapar nggak?" tanya Javier lagi. "Aku bisa traktir kamu kalau mau."
Apa-apaan sih, lelaki ini, batin Adel kesal.
***
Kira-kira gimana hidup Adel setelah ngikutin saran menyesatkan dari Alma? 😅
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
