The Forbidden - Dua

13
0
Deskripsi

 

Javier masih bergumul dengan rasa terkejut. Keberadaan Adel di hadapannya, kaca mobil yang pecah, serta tongkat golf yang tergeletak begitu saja, semua itu membuat Javier memikirkan hal yang jika benar Adel lakukan, itu berarti gadis itu benar-benar tidak waras.

"Hei," Adel menjentikan jari di depan wajah Javier hingga lelaki itu mengerjap cepat. "apa pekerja di tempat ini terbiasa mengabaikan customer?" Adel menggeleng dan berdecak-decak sinis.

Baiklah. Sekarang Javier tahu apa yang diinginkan gadis...

Mobil Adel tiba di salah satu perkampungan. Hari ini dia memiliki jadwal kunjungan ke perkampungan itu setelah mendapat laporan dari warga yang menolak pembangunan Sutet di kawasan perkampungan itu.

Hani membukakan pintu mobil, namun Adel masih belum beranjak turun. Hingga empat orang lelaki berpakaian serba hitam datang menghampiri mobilnya. Empat orang yang Adel pekerjakan untuk melindungi dirinya jika dia harus bekerja di luar kantor.

Kemudian Adel melirik ke langit yang hari ini tampak cerah dengan sinar mata hari yang menyengat.

Tahu kalau sebentar lagi dia akan kepanasan, Adel menguncir rambut ke belakang, memakai kacamata, lalu keluar dari mobil.

Kedatangan Adel disambut baik oleh kelurahan, RT dan RW bahkan pihak PLN itu sendiri. Adel di bawa mendekati tempat di mana proyek itu di langsungkan. Sudah banyak orang berkumpul di sana, sebagian dari warga dan sebagiannya lagi tampak tak asing. Apa lagi seorang lelaki yang berdiri di barisan pertama, yang dari tatapan matanya, Adel bisa menebak kalau dia tampak terkejut melihat kedatangan Adel di sana.

Meski hanya melirik sekilas, namun Adel sudah bisa mengenali lelaki itu.

Mula-mula Adel melepaskan kacamatanya lebih dulu sebelum menyapa seluruh orang yang ada di sana. Jangan mengira dia melakukannya dengan ramah, meski bibirnya tersenyum namun wajahnya tetap saja terlihat datar.

Namun Ice Princess keluarga Hamizan ini tidak membuat orang-orang di sekelilingnya terganggu dengan ekspresi wajahnya. Justru sebaliknya, banyak sekali pasang mata yang terperangah melihat paras wajahnya.

Padahal Adel hanya mengenakan jeans biru dan kemeja putih berlengan panjang, busana yang terlihat normal dan tidak mencolok di keramaian itu.

Namun aura Adel memang sudah dikesampingkan. Dia berdiri diam saja, dengan ekspresi wajahnya yang datar dan tidak bersahabat, telah berhasil membuat semua mata terpaku padanya.

Adel mulai menjelaskan tujuannya datang ke sana, yaitu menyampaikan aspirasi warga yang telah melaporkan pembangunan Sutet di mana proyek pembangunan itu tidak disetujui oleh warga. Tapi protes warga selama ini tidak pernah di dengar oleh pihak mana pun, maka Adel menjembatani aspirasi mereka dengan mengutarakan aspirasi itu pada pihak-pihak yang terkait.

Pertemuan itu berjalan lancar dengan sangat baik. Adel telah menyampaikan semua aspirasi warga, memberikan beberapa perwakilan warga untuk mengutarakan pendapat, memberi pihak-pihak terkait kesempatan untuk melakukan hal serupa.

Saat pertemuan itu selesai pun, Adel kembali berdialog dengan warga, dia memberitahu kalau ke depannya akan banyak proses yang dilakukan agar semua keinginan dan tuntutan bisa direlisasikan tanpa merugikan warga setempat.

Adel terlihat sangat vokal, tegas dan juga berwibawa setiap kali dia bicara menyampaikan pendapat. Semua orang seperti terpesona terhadap karakter Adel. Bahkan tak terkecuali Javier yang justru tak berkedip memandangnya.

Meski hari sangat panas, bahkan Adel tampak berkali-kali menyeka keringat dengan tisu yang Hani persiapkan untuknya, namun hal itu tidak mengganggu konsentrasi Adel. Adel tampak sangat berkarakter jika di amati. Diam ketika ada yang bicara, lalu bicara ketika dipersilahkan. Dia tidak sembarangan memotong ucapan orang, tidak terdengar angkuh namun tidak juga ramah dan lemah lembut. Tegas, sesuai dengan porsinya.

Jarang sekali Javier menemukan perempuan berparas cantik yang nyaris menyentuh kata sempurna namun memiliki otak yang pintar.

Ini kali pertama Javier bertemu langsung dengan sosok yang selama ini hanya bisa dia amati melalui media. Dan ternyata, berita di media tentang sosok Adel tidak dilebih-lebihkan. Adel memang mengagumkan.

Dia berasal dari keluarga Hamizan. Tentu saja.

Javier tersenyum malas menyadari hal itu.

Setelah merasa selesai dengan pekerjaannya, Adel mulai berpamitan dan bersalaman dengan beberapa perwakilan. Namun tiba-tiba saja, Javier bicara dengan suara lantang.

"Apa ada jaminan, kalau aspirasi warga benar-benar didengar dan dipertimbangkan? Dari kejadian yang sudah-sudah, sebanyak apa pun perwakilan rakyat yang datang dan memperlihatkan batang hidung mereka agar terlihat bekerja di media, pada akhirnya proyek-proyek pro pemerintah tapi nggak mempedulikan warga seperti ini tetap berjalan."

Semua orang menoleh serentak pada Javier yang berdiri bersama teman-temannya. Beberapa temannya juga berpendapat serupa, mendukung apa yang Javier katakan. Mereka juga memberi contoh pada beberapa kasus yang pada akhirnya merugikan warga.

Mendengar apa yang Javier dan teman-teman LSM itu katakan, beberapa warga mulai meragu dan membenarkan apa yang mereka katakan. Adel di desak untuk menjamin janjinya atau mereka akan meminta pertanggung jawaban pada Adel.

Ekspresi Adel berubah kelam, dan hal itu terbaca jelas di mata Javier. Kini mata mereka saling bertemu. Javier dengan seringai miring dan Adel dengan bibir menipis tajam. Jelas sekali di mata Adel kalau Javier memang ingin bersenang-senang dengan cara murahan seperti ini.

"Seperti yang saya katakan sebelumnya, setelah ini akan ada proses demi proses yang kami lakukan untuk mewujudkan keinginan warga di sini. Saya akan berusaha keras, sesuai dengan tanggung jawab saya agar mendapatkan hasil yang kita semua inginkan. Tapi untuk menjamin hasilnya akan seperti apa, maaf, saya bukan peramal atau pun Tuhan. Saya hanya bisa bekerja dan berusaha." Jelas Adel di hadapan semua orang.

"Kami sudah sering mendengar kalimat yang sama dengan hasil yang juga sama." Balas Javier.

Kedua tangan Adel mengepal kuat, matanya menggelap tajam. Dia benci sekali pengganggu seperti Javier. Hani yang menyadari hal itu, mulai bergerak gelisah di tempatnya. Tidak masalah kalau Adel meluapkan emosi di ruang rapat, tapi jika dia melakukannya di hadapan warga, maka itu hanya akan mencoreng nama baiknya.

"Mbak Adel, jangan mau terpancing." Bisik Hani mengingatkan.

Iya. Adel tahu. Tapi masalahnya, keinginan terbesar Adel saat ini adalah menghampiri Javier dan membungkam mulut berisiknya.

Untungnya ketua RT setempat membela Adel dan meminta mereka semua mempercayai Adel serta memberi dukungan. Perdebatan sempat terjadi beberapa saat, namun akhirnya mereka semua sepakat untuk mempercayai Adel.

Setelah berpamitan, Adel bergegas kembali ke dalam mobil. Namun sebelum dia benar-benar pergi, matanya tak berhenti menatap Javier dan senyuman menyebalkan lelaki itu. Begitu pula sebaliknya, Javier pun tidak melepaskan tatapan matanya dari Adel.

Seperti ada atmosfir aneh yang menyelimuti mereka berdua ketika mereka saling bersitatap. Adel tidak pernah benar-benar menyukai siapa pun selain keluarga dan orang-orang terdekat. Dan Adel tidak pernah benar-benar membenci siapa pun. Tapi hari ini, untuk pertama kali dalam hidupnya, Adel sangat membenci seseorang.

Seseorang yang terus menerus mengusiknya, membuat Adel jengah hingga kesabarannya nyaris habis. Orang itu adalah Javier. Maka Adel bersumpah, jangan panggil dia Adelia Putri Hamizan jika dia tidak bisa membalas sikap sialan Javier hari ini padanya.

"Jalan!" ketus Adel pada supir ketika dia sudah berada di dalam mobil. Wajahnya tampak keruh hingga Hani yang duduk di sampingnya tidak berani bersuara.

***

Tangan Javier mendorong bahu Charissa lembut hingga ciuman mereka yang telah berlangsung selama beberapa menit itu terhenti. Mereka sedang duduk di sofa, tubuh Charissa nyaris berada di pangkuan Javier sementara tangannya telah berhasil membuka dua kancing kemeja Javier.

Gadis yang berprofesi sebagai seorang model itu mengernyit ketika Javier berdeham dan sedikit membungkuk untuk meraih gelas tinggi berisi wine di atas meja. Saat meneguknya, Javier sama sekali tidak memandang kekasihnya.

"Mau sampai kapan kamu begini?" Charissa bertanya dengan nada putus asa.

Javier menoleh, berpura-pura mengernyit meski dia tahu ke mana arah pertanyaan itu.

"Ini bukan pertama kalinya kamu tolak aku, Jav." Charissa beringsut menjauh, mengurai rambutnya yang tergerai ke belakang, meremas pelan di belakang kepala dengan gestur putus asa. "Kalau memang kamu nggak bisa maafin aku, harusnya jangan kasih aku kesempatan apa lagi harapan."

Javier termangu. Matanya terpaku memandang bahu Charissa yang mulai bergetar, bahkan isak tangisnya pun mulai terdengar. Dia tahu apa yang baru saja dia lakukan telah membuat Charissa terluka. Kemarin malam, ketika mereka kembali bertemu setelah berpisah selama tiga minggu, di saat Charissa berkali-kali mengatakan kalau dia sangat merindu, Javier malah menolak ajakan Charissa untuk bercinta.

Enam tahun sudah mereka menjalin hubungan. Di tahun kedua, mereka mulai aktif melakukan hubungan seks. Javier adalah lelaki pertama bagi Charissa, begitu pula sebaliknya. Saat memutuskan untuk melakukan hal tabu itu, Javier sudah berjanji pada Charissa dan dirinya sendiri kalau dia akan menikahi Charissa. Javier tidak akan lepas dari tanggung jawabnya. Toh dia sangat mencintai Charissa.

Tapi semuanya berubah sejak tujuh bulan lalu, ketika Javier tahu kalau kekasihnya telah berselingkuh dengan seorang fotografer bernama Arman. Dua tahun belakangan ini, hubungan mereka memang mulai sedikit renggang.

Kesibukan modeling Charissa membuat mereka mulai kehilangan banyak waktu untuk bersama. Belum lagi kegiatan Javier di LSM yang memang tidak Charissa sukai. Percekcokan sering kali terjadi, namun tidak sekalipun Javier berniat mengakhiri hubungan mereka.

Javier sangat mencintai Charissa, gadis itu adalah cinta pertamanya.

Bahkan sebelum ini, jika saja bisa, Javier rela menyembah di kaki Charissa. Tapi cinta, kepercayaan dan ketulusannya dirusak oleh Charissa. Dengan alasan hubungan mereka yang mulai merenggang, Charissa mengaku menjadikan Arman sebagai pelarian. Tidak ada cinta dalam perselingkuhan itu.

Tapi Javier sudah lebih dulu terluka hingga sulit sekali rasanya untuk percaya.

Charissa menangis terisak-isak, meminta maaf dan meminta satu kesempatan. Sejujurnya Javier tidak mau memberikan kesempatan apa pun. Hatinya sudah dipatahkan, dia tak lagi bisa mempercayai Charissa, namun Javier teringat akan janjinya.

Bagaimana pun, dia lah yang merusak Charissa. Jika Javier pergi meninggalkannya, lalu bagaimana Charissa menghadapi masa depannya kelak? Hidupnya pasti akan kesulitan, dan Javier akan merasa bersalah di sisa umurnya.

Maka itu akhirnya Javier memilih memberikan kesempatan itu. Javier berusaha membangun semuanya dari awal. Tapi ternyata, semua itu tidak semudah bayangannya.

Karena setiap kali bayang perselingkuhan itu terlintas dibenaknya, Javier merasa sedikit jijik dan tak terima. Itu mengapa dia selalu menolak ajakan bercinta Charissa dengan seribu alasan.

"Cha," Javier menjangkau siku Charissa, namun gadis itu menepis pelan. "nggak gitu, Cha."

"Bohong. Aku tahu gimana kamu, Jav. Kamu udah nggak cinta lagi, kan, sama aku. Kamu benci aku, atau bahkan... jijik sama aku." isak tangis Charissa semakin kuat.

Javier menghela napas berat, kepalanya sedikit menunduk dalam. Pusing sekali memikirkan hubungan mereka. Setelah meletakkan gelas itu kembali ke atas meja, Javier beringsut mendekati Charissa. Dia dekap Charissa lembut, mengusap lengannya, berusaha memberi ketenangan.

Diperlakukan seperti itu, tangis Charissa semakin menjadi. Dia membenamkan wajah di atas dada Javier, menangis terisak-isak. "Aku cinta kamu, Jav. Tolong jangan tinggalin aku. Maafin aku..."

"Iya..."

"Jangan benci aku."

"Nggak. Aku nggak benci kamu."

Charissa memeluk Javier semakin erat, sedang Javier menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.

Benar memang, Javier tidak membenci Charissa. Namun, dia sudah tidak lagi bisa mencintai Charissa. Dan Javier tidak tahu harus melakukan apa untuk hubungan mereka.

***

Bunyi pecahan kaca terdengar. Hani, dan supir Adel yang bernama Rizal berdiri menyaksikan apa yang baru saja Adel lakukan pada mobilnya dengan mata melotot tak percaya. Adel berdiri di samping mobil Alphard miliknya, ada sebuah tongkat golf di tangannya. Tongkat yang baru saja dia gunakan untuk memecahkan jendela mobil itu.

"Telepon Dodi." ujar Adel pada Rizal, menyebut salah satu supir yang bekerja di rumahnya. "tanya di mana dia sekarang. Saya mau pulang sebentar lagi."

"Si—siap, Non Adel." Jawab Rizal terbata-bata.

"Mbak Adel," tegur Hani dengan lutut gemetar. Adel yang masih berdiri di samping mobil dengan mengenakan pakaian golf menoleh padanya dengan satu alis terangkat. "ke—kenapa mobilnya..."

"Oh, ini?" telunjuk Adel mengarah ringan pada kerusakan mobil yang dia lakukan. Hani mengangguk kuat, Adel menanggapinya dengan senyum miring yang terlihat menyerupai Papinya. Kejam dan juga tenang. Senyuman itu muncul karena Adel melihat beberapa orang yang muncul dari dalam bengkel yang berada tepat di hadapannya.

Sepertinya suara berisik yang Adel ciptakan di sana membuat orang-orang di bengkel itu merasa penasaran.

Adel mulai berhitung di dalam hati, mengabsen wajah para lelaki yang muncul satu persatu.

Satu, dua tiga, empat, lima.

Hanya lima?

Satu alisnya terangkat tak senang. Ke mana si berengsek itu, rutuk Adel kesal di dalam hati.

"Oh, bukannya orang ini..." Putra menggantung kalimatnya, berusaha mengingat-ingat seraya menunjuk ke arah Adel.

"Ada apaan sih?"

Sebuah suara yang familiar terdengar. Adel memusatkan perhatiannya ke depan, bahkan matanya tampak sedikit menyipit. Lalu sosok yang sejak tadi Adel nantikan kehadirannya akhirnya muncul. Lengkap dengan kernyitan hebat di dahinya saat menemukan Adel dan mobil di sampingnya.

Adel tersenyum kecil, namun terlihat sinis. Kemudian Adel melempar tongkat golf dari tangannya, lalu melangkah sedikit mendekat dengan langkah yang sangat elegan. "Bengkel ini menerima kerusakan mobil seperti itu, kan?" ibu jari Adel mengarah ke belakang tubuhnya.

Javier masih bergumul dengan rasa terkejut. Keberadaan Adel di hadapannya, kaca mobil yang pecah, serta tongkat golf yang tergeletak begitu saja, semua itu membuat Javier memikirkan hal yang jika benar Adel lakukan, itu berarti gadis itu benar-benar tidak waras.

"Hei," Adel menjentikan jari di depan wajah Javier hingga lelaki itu mengerjap cepat. "apa pekerja di tempat ini terbiasa mengabaikan customer?" Adel menggeleng dan berdecak-decak sinis.

Baiklah. Sekarang Javier tahu apa yang diinginkan gadis itu. "Mobil mahal milik anggota Dewan yang terhormat seperti kamu nggak seharusnya diperbaiki di bengkel kecil seperti ini." balas Javier santai sambil bersedekap. Adel mengajak Javier bermain bukan?

"Anggota Dewan terhormat seperti aku harus sesekali beramal dengan pekerja yang gajinya pas-pasan seperti kamu." garis senyum di bibir Adel terlihat sangat licik. Apa lagi raut wajah Javier tampak berubah tak senang. Hatinya tertawa sangat puas saat ini. Ucapan Adel terdengar sangat kasar, bahkan teman-teman Javier yang bekerja di bengkel itu pun sampai terperangah.

"Biayanya pasti mahal. Lumayan, kan? Bisa buat kamu makan enak selama beberapa minggu. Jadi, kamu nggak perlu teriak-teriak ke Politikus mana pun dengan omong kosong murahan kamu agar bisa mendapatkan uang untuk mengisi perut kelaparan kamu."

Putra mengeluarkan ponsel diam-diam, hendak merekam agar memiliki bukti atas sikap tak bermoral Adel sebagai anggota Dewan.

Tapi Hani yang menyadari itu bergegas menghampiri dan menahan tangannya. Seketika Putra tersenyum kaku dan menyimpan ponselnya lagi.

"Gimana nggak kelaparan kalau uang rakyat habis dipakai sama kamu. Tas, pakaian, sepatu, hm... parfum? Waw, kamu pasti cukup kenyang dengan semua itu." Jika Adel pikir, Javier akan tumbang dengan hinaan seperti itu, maka dia salah besar.

Si berengsek ini... Adel menggeram di dalam hati.

Sorot mata Adel yang dingin dan tak terbaca memindai tubuh Javier dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sementara otaknya melalukan proses penilaian dalam hitungan cepat.

Tubuhnya lumayan tinggi. Seratus delapan puluh senti meter mungkin? Kulitnya terlihat sedikit kecokelatan, sepertinya terlalu sering melakukan aksi demo membuat kulitnya tersengat terik matahari. Adel mengulum senyum mencemooh karena pikirannya sendiri.

Bentuk tubuhnya lumayan. Javier memiliki otot mengesankan di kedua lengannya. Bahunya juga lebar dan tampak kekar.

Lalu wajahnya...

Adel menyelami wajah Javier lekat. Sedang lelaki itu masih betah bersedekap memandangnya dengan sorot mata yang seperti sedang mengolok-olok Adel.

"Kenapa?" Pada akhirnya Javier bersuara. "Kamu tertarik sama aku?" Javier tersenyum miring.

Adel mengernyit, kemudian tersenyum geli dengan cara yang menjengkelkan. "Maaf. Tapi apa kamu pernah ngaca sebelumnya? " mata Adel kembali memindai tubuh Javier dengan sorot mengejek. "Tertarik sama laki-laki kaya kamu?" Adel menggeleng pelan.

Laki-laki kaya kamu yang baru saja Adel katakan benar-benar terdengar seperti merendahkan. Bahkan Adel bisa melihat perubahan ekspresi di wajah Javier yang semakin membuatnya merasa puas.

Adel melangkah lambat, berdiri tepat di depan Javier. Kepalanya bergerak miring, seperti senyumannya. Wajah cantik dengan ekspresi dingin itu benar-benar lihai mempermainkan emosi Javier.

"Namaku Adelia Putri Hamizan. Pernah mendengar nama Hamizan sebelumnya?" Adel menarik garis senyumnya semakin tinggi. Membuatnya semakin menawan sekaligus berbahaya dalam satu waktu.

"Kalau telinga kamu asing dengan nama keluarga Papiku, ya... mungkin karena terlalu sibuk melakukan hal tolol di jalanan, kamu nggak pernah tahu perkembangan apa-apa soal bisnis. Gimana dengan yang satu ini." Bulu mata lentik Adel bergerak ketika dia mengerjap lambat. "Barata. Aku adalah cucu dari Adrian Barata."

Javier mendengus. "Mau pamer, hm?"

"Oh, bukan. Aku cuma mau membuat otak kecil kamu yang kosong itu diisi dengan sedikit informasi kalau untuk pergi berlibur dan membeli barang-barang mahal, aku nggak harus menunggu uang dari pekerjaanku. Jadi, tuan Javier Naraya..." mata Adel menyipit tajam. "Kalau hidup kamu ternyata menyedihkan, tolong jangan menyamaratakan hidup kamu dengan orang lain. Karena nggak semua orang harus hidup miskin seperti kamu."

Ucapan yang sungguh kejam. Bahkan mekanik bengkel yang lain pun sampai termangu tak percaya mendengar kalimat sekejam itu terdengar dari gadis seperti Adel. Jangankan mereka, supir yang sejak tadi ada bersama Adel pun sampai menelan ludah khawatir.

Tapi Adel sama sekali tidak merasa bersalah, dia justru tersenyum penuh kemenangan saat melihat wajah Javier yang tak lagi berekspresi.

"Mobilnya sudah datang?" Adel menoleh pada supir di belakangnya.

"Su—Sudah, Non Adel." Jawabnya. "Mau pulang sekarang?"

"Hm. Tolong urus pembayarannya." Adel menatap Javier sekali lagi, seperti sedang memberi peringatan sebelum beranjak pergi dari sana, naik ke mobil lainnya yang baru saja tiba untuk menjemput.

Putra bergegas menghampiri Javier yang masih berdiri diam di tempatnya. "Lo nggak apa-apa?" Ditepuknya pundak Javier pelan.

Javier tersenyum tipis. "Santai aja. Gue nggak apa-apa."

Javier melirik mobil Alphard milik Adel yang berada di dalam bengkel. Sorot matanya sedikit berubah kala memandangnya. "Mobil itu lo sama yang lain aja yang urus. Hari ini gue cuma masuk setengah hari."

Putra mengernyit. Tapi melihat raut wajah Javier yang tak biasa, dia cepat-cepat mengangguk.

"Oi, Bang. Gue cabut dulu!" Teriak Javier pada relan kerjanya yang lain setelah memakai jaket dan memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel kemudian memakai helm.

Pertanyaan dari beberapa orang hanya Javier balas dengan senyuman serta lambaian tangan. Lalu Javier naik ke atas motor matic miliknya, mengendarainya dengan kecepatan standart.

Javier bersenandung di sepanjang jalan. Tampak menikmati perjalanannya. Setengah jam berkendara, kini motor itu berbelok ke sebuah komplek perumahan mewah.

Javier tersenyum ramah pada security yang berjaga di pos ketika dia diberikan akses untuk masuk. Komplek itu tidak begitu ramai, namun setiap rumah di sana tampak begitu besar dengan halaman yang luas.

Motor Javier berhenti di depan sebuah rumah paling besar di sana. Kemudian dia bersiul sambil membuka helm, beranjak turun, lalu melempar kunci motor pada salah satu di antara dua lelaki yang biasanya selalu berjaga di depan rumah, yang begitu Javier muncul langsung bergegas menghampiri.

Javier melenggang masuk ke dalam rumah, mengangguk sekedar dan tersenyum kecil pada pelayan yang menyapa saat Javier melintas di depan mereka. Saat sudah berada di dalam kamar, Javier melepas jaket serta kausnya dan membiarkan pakaiannya tergeletak di atas lantai. Kemudian sambil bertelanjang dada, Javier beranjak masuk ke kamar mandi.

Shower menyala, air mengguyur kepala hingga tubuhnya. Javier membiarkan tubuhnya basah. Sepertinya hari ini terasa begitu panas hingga Javier butuh mendinginkan tubuhnya. Atau... justru hati Javier yang terasa panas sejak gadis itu muncul di hadapannya.

Adelia Putri Hamizan...

Mata Javier terbuka cepat setelah dia menggumamkan nama itu di dalam hati. Tak ada lagi sorot dan ekspresi ramah. Matanya menggelap tajam sedang wajahnya mengeras hebat.

"Kalau hidup kamu ternyata menyedihkan, tolong jangan menyamaratakan hidup kamu dengan orang lain."

Javier menyimpan semua itu di kepalanya. Ucapan Adel, ekspresinya, bahkan tawa mengejek yang terdengar merendahkan itu pun Javier ingat baik-baik di kepalanya dan dia bersumpah tidak akan pernah melupakannya.

Perempuan itu benar-benar angkuh, pikir Javier menahan marah. Kemudian sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk segaris senyuman dingin. "Menyedihkan? Kita lihat aja, setelah ini... kehidupan siapa yang akan terlihat menyedihkan. Aku, atau... kamu, Adelia."

***

 

Cerita ini mainstream sih menurutku hahaha. Balas dendam, jatuh cinta, udah... hahaha. Kalian juga udah tau kan endingnya mereka gimana di cerita adiknya Adel. Jadi kalian jangan takut baca cerita ini. Nggak ada ranjaunya koook ^^


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
The Forbidden
Selanjutnya The Forbidden - Tiga
8
1
Aku nggak tahu laki-laki seperti kamu bisa ada di tempat ini. ucap Adel setelah menjauhkan gelas dari bibirnya dan berhenti mengamati Javier. Adel akui, dia tidak memiliki hati sebaik malaikat seperti Maminya. Karena bisa menyakiti orang yang dia benci dengan kalimat kejam yang keluar dari bibirnya, bisa menimbulkan rasa puas dalam dirinya.                  Senyum tipis Javier kembali muncul. Aku cuma sedikit beruntung karena ada seseorang yang mengajak ke tempat ini.                 Di mana kamu mendapatkannya? telunjuk Adel mengarah tak sopan, bergerak dari bawah ke atas, menunjuk tuxedo Javier. Caranya bertanya masih terlihat sama, berusaha mencemooh. Lihat saja kedut samar di ujung bibir serta matanya yang menyipit geli.                  Aku pinjam dari teman, Javier merapikan tuxedo tanpa melepas pandangannya dari Adel. gimana menurut kamu? Pakaian mahal ini cocok kalau aku pakai? Javier tetap tersenyum. Dia tahu apa yang Adel inginkan, itu mengapa dia tidak mau memberi makan mulut tajam gadis itu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan