
Di Komunitas Sastra Athena, Amber bersahabat dengan Lana. Dia lembut, dewasa, dan seorang pendengar yang baik. Tapi, Lana juga sering merasa rendah diri, pasif, dan cenderung memendam apa yang dia rasakan dan pikirkan. Lana sering membandingkan dirinya dengan Amber, sehingga Amber kecewa.
Amber dibonceng Zavian pergi ke sanggar pada malam hari. Amber turun, lalu mengacak-acak rambut Zavian dan mencubit pipinya. Tapi Zavian menepis tangan Amber dengan pelan dan langsung pergi. Amber mengatupkan bibir dan menghela nafas, lalu berjalan ke dalam sanggar sambil mengusap-usap wajahnya.
Di dalam sanggar, Amber menyalami Bang Ranu dan senior-seniornya. Amber ikut duduk melingkar di lantai. Mereka mengobrol, tapi Amber malah sibuk dengan telepon genggamnya. “Hai,” sapa seseorang yang duduk di sebelahnya, sambil meletakkan secangkir kopi di depannya. Dia adalah Lana.
Gadis itu lebih tua setahun dari Amber. Tinggi badannya hampir sama dengan Amber dan wajahnya manis. Tapi wataknya berbeda jauh dari Vlora. Lana adalah gadis yang lembut, mudah bergaul, dan pendengar yang baik. Di antara anggota Komunitas Sastra Athena yang masih muda dan baru, hanya Lana dan Amber yang perempuan. Jadi, mereka cepat akrab. “Lagi nonton apa?”
“Video masak-masak doang, kok,” Amber mematikan telepon genggamnya dan meletakkannya terbalik.
“Oh…”
“Amber… Lana… dipanggil Mbak Dita ke dapur,” panggil salah satu senior mereka.
Mereka berdua pergi ke dapur dan bertemu dengan istri Bang Ranu. “Nah, Amber sama Lana, boleh minta tolong, ya. Rebusin jagung buat konsumsi.”
“Oke, Mbak. Berapa banyak?” tanya Lana.
“Ya, semuain aja, deh,” kata Mbak Dita sambil membuka plastik berisi jagung.
“Oke, Mbak.”
“Minta tolong, ya. Makasih,” Mbak Dita pergi dari dapur, meninggalkan Amber dan Lana berdua.
“Amber bisa masak?” tanya Lana yang dibalas dengan gelengan Amber. Lana hanya tersenyum dan berkata, “Kalau gitu, minta tolong cuci piring aja, ya. Biar aku motong-motong sama rebus jagung,” sambil menyari panci di kolong meja. Amber mencuci piring dekat Lana. “Amber di rumah biasa cuci piring, kan?” Lana bertanya sambil mengupas jagung.
“Iya, biasa cuci piring, kok, di rumah,” Amber menengok ke Lana. Dia sama sekali tidak kesulitan mengupas jagung dan Amber takjub. Kalau dia yang mengupas jagung, teman-temannya mungkin akan menunggu sejam.
“Amber jarang masak, ya?”
Amber masih kagum karena multi-tasking Lana; dia mengobrol sambil mengupas jagung. “Jarang, Na. Biasanya beres-beres rumah.”
Lana melihat Amber dan bagaimana Amber menyusun piring-piring bersih. Dia tersenyum. “Kelihatan. Kamu nyusun piring rapi banget. Kalau aku nggak bisa serapi itu. Aku orangnya sat set sat set.”
Salah satu senior mereka masuk ke dapur untuk mengambil air minum. “Ih, rajin banget, sih, kalian,” komentarnya.
“Iya, dong,” balas Lana.
Senior mereka menghampiri Lana, “Memangnya disuruh potong segitu, ya?”
“Kenapa? Kegedean, ya?”
“Dipotong lagi, Lan. Orangnya, kan, banyak.”
“Oh… ya udah, deh.” Senior mereka pun pergi. Amber dibuat kagum lagi dengan cara Lana bergaul. Amber tidak bisa cepat akrab dengan orang lain seperti Lana. “Mber.”
“Ya?”
“Teman-teman, tuh, pada penasaran, loh. Kamu punya pacar atau nggak?”
Amber tersenyum sambil mengerutkan dahi. “Memangnya kenapa?”
“Nggak apa-apa. Siapa tahu mau dijodohin.”
“Aku lagi naksir sama teman sekelas.”
“Siapa namanya?”
“Noah.”
“Cie… Nanti lihat fotonya, sih.”
“Boleh. Memangnya kamu punya pacar?”
“Dulu SMP. Tapi putus waktu mau UN. Sebenarnya ada teman beda kelas yang naksir aku sekarang. Tapi nggak tahu kenapa aku nggak tertarik sama dia. Kalau aku ngobrol sama dia, ngerasa beda frekuensi aja gitu.”
“Memangnya, orangnya gimana?”
“Baik, sih, orangnya. Tapi dari selera lagu sama film aja udah beda. Dia dengar lagu-lagu Jepang dan dia suka anime. Kalau aku suka lagu-lagu lawas, kayak John Lennon sama Frank Sinatra. Jadi, aku ragu mau nerima dia.”
“Tapi, kan, saling melengkapi. Bisa tahu selera dia kayak gimana, terus dia juga tahu selera kamu. Jadi, ya… saling memahami gitu, lah.”
“Iya, sih.”
Sekarang Amber dibuat kagum lagi karena ada laki-laki baik yang menyukai Lana. Seketika dia mengingat Bastian dan merasa kehidupan asmaranya kurang beruntung. “Nanti aku kasih lihat, deh, foto Noah,” kata Amber.
Menurut Amber, Lana itu istri idaman. Dia dewasa, bisa memasak, mudah bergaul, dan entah bagaimana ceritanya, selalu ada laki-laki baik yang jatuh cinta padanya. Kadang-kadang, Amber iri dengan kelebihan Lana.
Beberapa hari kemudian, Lana menyerahkan tugas menulisnya kepada Bang Ranu. Dia membawa flashdisk untuk dipinjamkan kepada Bang Ranu. Ketika Bang Ranu yang sedang sibuk dengan laptop-nya melihat flashdisk warna biru itu, Bang Ranu mengambilnya, menghidunya, lalu meletakkannya lagi. “Jelek,” kata Bang Ranu dan berkutat dengan laptop-nya lagi. Amber membeku dan raut wajah Lana sangat mendung. Maka selama belajar di sanggar, Amber tidak diajak mengobrol oleh Lana. Amber sendiri pun tidak berani menghibur Lana.
Maka saat Zavian menjemput Amber, dia berbisik kepada Zavian, “Zav, ikutin kakak itu, ya.” Zavian menengok ke Lana yang masih merengut. Amber menghampiri Lana, “Lan, kita berdua temenin kamu pulang, ya. Rumah kamu, kan, jauh.” Tapi Lana tetap diam dan menggantung tasnya di gantungan motor.
Amber dibuat sakit hati dan kembali kepada Zavian. “Kak, aku nggak mau temenin orang itu, lah. Kok, dia ketus gitu, sih?” ujar Zavian dengan jengkel.
“Mood-nya lagi nggak bagus.”
“Terus kenapa dia lampiasin ke Kak Amber?”
“Temenin, nggak? Sekarang juga.”
Zavian berdecak, “Terserah Kak Amber, deh.”
Zavian dan Amber mengikuti Lana dari belakang dalam perjalanan pulangnya. Di tengah jalan, Lana berhenti di pinggir jalan. Jadi Zavian dan Amber berhenti tak jauh dari belakangnya. Amber menghampiri Lana dan dia hanya diam. Sorot matanya membuat Amber takut dan air matanya berlinang. “Lan…” Tanpa berkata-kata, Lana memeluk Amber.
Besok sore, setelah pulang sekolah, Amber pergi ke rumah Lana. Di atas karpet, Amber rebah di bantal empuk, sambil makan camilan yang dibelinya. Di sampingnya, Lana sedang memperbaiki tulisannya. “Bang Ranu ngomong apa aja di WA tadi?”
“Aku ketahuan Bang Ranu kalau aku nulis ini mepet deadline. Makanya, tulisanku acak-acakan. Gimana, lah, ya? Aku juga banyak tugas sekolah. Tapi, nggak apa-apa, deh. Semester dua nanti, Bang Ranu nggak ngasih tugas apa-apa lagi, kok. Biar aku bisa fokus UN.”
Amber hanya menyimak sambil mengunyah karena dia tidak tahu dia harus membalas apa. “Nih, aku beli biskuit,” Amber mengeluarkan biskuit dari plastik dan meletakkannya di sebelah laptop Lana.
Lana senyum, “Iya, Mber.”
Kemudian suasana menjadi hening. Amber rebah dan menatap ke atas. Amber tiba-tiba bertanya, “Lan, kamu sadar, nggak, sih, kalau kita kayak anak kembar?”
“Aku nggak ngerasa gitu, kok. Aku, kan, jelek. Amber cantik."
Amber langsung menengok ke arah Lana dan berkata, “Ih, jangan ngomong gitu!”
Lana tersenyum dengan reaksi Amber. “Entahlah, kalau aku lihat kamu, kamu lebih beruntung dari aku. Kamu cantik, badannya bagus, bisa nulis, bisa nyanyi, didukung orang tua berkesenian, keluarga kamu intelektual, dan kamu juga belajar cepat.”
“Tapi, kamu, kan, bisa masak sama gampang dekat sama orang lain. Yang naksir kamu cowok baik-baik. Sedangkan aku cuman pernah digodain. Belum ada yang mau serius sama aku. Aku juga nggak tahu kalau Noah suka sama aku atau nggak.”
“Iya, sih…” Amber tidak mengajak Lana berbicara lagi agar dia bisa fokus pada pekerjaannya. Tapi, Amber ingin sekali memberi tahunya bahwa hidup yang dia jalani berbeda dari bayangan Lana.
Di hari lain dalam dapur sanggar, Amber merendam tempe ke dalam bumbu dan Lana menggorengnya. Amber menekan tempe di piring sambil bertopang dagu. “Lan,” panggil Amber.
“Ya?”
“Hm… aku mau curhat.”
“Boleh, curhat apa?”
“Akhir-akhir ini, aku gampang capek.”
“Kenapa?”
Amber mengangkat bahunya, “Entahlah. Aku juga susah tidur, walaupun aku ngantuk.”
“Udah coba minum susu?” Lana menyaring tempe dan menuangnya di piring bersih. “Eh, nanti minta tolong potong bawang putih sama bawang merah, ya. Sama cabai. Biar aku yang metik kangkung. Terus, terus?”
“Aku belum pernah nyoba minum susu, sih.”
“Coba aja. Siapa tahu bisa tidur. Atau makan seledri.”
“Boleh, lah. Nanti aku coba.”
Amber menekan tempe terakhir dan menyerahkan piring itu kepada Lana. Lana mengambil piring itu dan melihat raut wajah Amber. “Kamu kenapa, Mber? Kamu sakit?” Lana bertanya sambil meletakkan tempe satu per satu.
Amber menggeleng. “Aku mau curhat yang lain, boleh, ya?”
“Boleh.”
“Akhir-akhir ini, bapakku sering mukul ibuku.”
Gerakan tangan Lana terhenti. Beberapa detik kemudian, dia lanjut meletakkan tempe yang sudah dia pegang dan berdecak. “Bapakku nggak pernah gitu.”
“Nggak pernah? Seriusan?”
“Serius. Dia nggak pernah bikin ribut di rumah. Dulu kecil, aku diajak nonton bola sampai tengah malam. Aku manjat pohon, nggak dimarahin. Bahkan waktu aku bolos, dia ngasih tahu baik-baik, supaya aku nggak bolos. Kalau marah, ya, pernah, Mber. Tapi sama tetangga, bukan sama keluarga. Terus, dia dukung aku berkesenian. Dia bilang, ‘Pokoknya, kalau kamu udah pilih sesuatu, dilakoni sampai selesai. Jangan berhenti di tengah jalan.’ Jadi, aku ingat-ingat terus kata-kata dia.”
Amber mendengar sambil mengupas bawang putih dan meletakkannya di mangkuk berisi air. “Kalau ibu kamu gimana?”
“Ibu aku itu lebih ke… ngebiarin gitu. Ngelarang nggak, tapi dukung juga nggak. Tapi orang yang paling dukung aku berkesenian itu bapakku.”
“Memangnya, sejak kapan kamu mau jadi penyair, Lan?”
“Dari SMP. Jadi, guru Bahasa Indonesiaku bilang, aku punya bakat nulis. Jadi aku ikut lomba nulis puisi. Memang nggak pernah menang, sih. Tapi, itu yang bikin aku mau belajar lagi. Makanya aku searching di Internet, komunitas sastra di Lampung. Terus aku ketemu Komunitas Sastra Athena. Aku langsung hubungi Kak Jo dan ikut belajar di sini. Kalau kamu gimana?”
“Aku, kan, ke sini sama Pak Radhitya.”
“Oh, iya. Sama Kak Radhit. Iya, iya. Tempo hari kamu menang lomba nulis cerpen, kan? Juara harapan dua, se-nasional. Iya, deh. Aku lupa. Dia guru Bahasa Indonesia kamu, ya?”
“Iya.”
“Kamu enak, ya. Pernah menang lomba nulis. Jadi, belajar di sini, bisa nangkep cepat. Aku harus berjuang dulu, baru pintar.” Mereka berdua terdiam sebentar, sambil mengupas bawang putih dan bawang merah. “Mber.”
“Ya?”
“Kalau ada masalah apa, langsung bilang aku, ya."
“Aku juga punya masalah sama temanku di sekolah, namanya Vlora.”
Amber rebah di atas karpet dan bantal empuk milik Lana ketika dia sedang sibuk berkutat dengan laptop-nya. Amber bercermin dengan kamera depan teleponnya dan bertanya, “Lan, kalau aku cat rambut warna merah, pantas, nggak?”
Lana melihat wajah Amber dan Amber menatap Lana untuk menunggu jawaban. “Pantas, kok. Tapi bukan merah nge-jreng.”
Amber memainkan rambut pendeknya dan melihat Lana sebentar. “Kita nanti beres-beres sanggar, kan?”
“Iya, Mbak Dita tadi WA aku. Paling kamu nyapu, aku yang masak.” Setelah itu, kamar Lana menjadi hening kembali. “Eh, Mber. Mumpung aku masih ingat, nih. Mau, nggak, kalau kita kolaborasi bareng? Kamu nulis cerpen, tapi cerpennya itu ada puisinya gitu.”
Amber memoncongkan bibirnya ke kanan. “Hm… entahlah. Menurut kamu, style kita beda, nggak, sih? Aku lebih dark, kamu lebih puitis. Takutnya, kita nggak nyambung gitu.”
Lana cemberut, tapi dia paham maksud Amber. “Iya, sih. Ya udah, deh. Aku mau lanjut ngetik dulu.”
Amber mengatupkan bibirnya dan tidak mengajaknya berbicara lagi. Untuk menghilangkan rasa bosannya, Amber mengeluarkan buku hariannya. Dia melirik Lana agak lama dan mulai menulis.
“Jumat, 31 Mei 2019
Noah, kamu masih ingat, tidak, temanku yang menangis karena flashdisk-nya dihidu Bang Ranu? Sepertinya aku harus menceritakan temanku ini kepadamu. Namanya Lana. Aku menemukan kembaranku yang lain, selain Vlora. Walaupun penampilan fisik Lana dan Vlora beda, tapi mereka sama-sama manis dan banyak yang jatuh cinta dengan mereka.
Waktu aku pertama kali kenal dengan Lana, aku langsung menyukainya. Lana itu lembut, mudah bergaul, dan dia pendengar yang baik. Kalau aku ada masalah, orang pertama yang aku cari adalah Lana. Kalau Bang Ranu pernah bilang, Lana mudah dapat jodoh karena banyak laki-laki yang mau serius dengannya. Dia juga lebih dewasa dari aku. Lana bisa masak, sering beres-beres rumah, dan dapat diandalkan. Sedangkan aku hanya bisa berberes rumah. Aku juga belajar masak dan belanja di pasar dari dia. Ya, lumayan, lah. Aku paham sedikit tentang kegiatan prosaik begini. Entahlah, mungkin hanya 10% paham. Aku belum bisa membedakan kangkung dan bayam, atau lengkuas dan jahe. Tapi aku mulai bisa memasak nasi goreng.
Semua orang punya kekurangan dan itu wajar, tak terkecuali Lana. Walaupun begitu, kekurangan perlu kita ubah. Lana dewasa, tapi dia sensitif, mudah marah, pasif, tidak percaya diri, serta suka memendam apa pun yang dia rasakan dan pikirkan. Lana sering membandingkan dirinya denganku. Tindakannya membuatku kecewa karena aku tidak sesempurna yang dia pikirkan. Dia bilang aku lebih multitalenta, cantik, langsing, dan cerdas darinya. Dia pikir aku lebih beruntung darinya karena flashdisk-ku tidak pernah dihidu Bang Ranu.
Padahal, Lana tahu masalah-masalahku. Masa dia tidak punya pemikiran, “Ternyata, di balik Amber yang cantik dan cerdas, dia menghadapi masalah yang berat. Hidup orang lain tidak segemilang yang aku bayangkan.” Hidupku tidak pernah sempurna sejak kecil, Noah. Ada resikonya menjadi perempuan cantik. Beberapa laki-laki mendekatiku, tapi belum ada laki-laki baik tertarik denganku. Aku pernah digoda oleh seorang laki-laki tidak dikenal di pinggir jalan. Dia bilang padaku bahwa payudaraku bagus dan besar. Maka aku langsung membentaknya. Menjadi perempuan cerdas pun ada tantangannya juga. Aku pernah berkenalan dengan seorang laki-laki di Instagram waktu aku SMP. Aku bilang kepadanya kalau aku mungkin akan kuliah di luar negeri. Lalu, dia membalas, “Jadi perempuan jangan cerdas-cerdas amat, lah. Nanti laki-laki pada minder.” Jadi, aku membalas, “Lo minder ketemu gua? Memang di situlah tempat dan derajat lo. Di bawah gua,” dan memblok akunnya. Aku juga tahu bahwa aku mungkin susah mendapat pasangan karena kecerdasanku. Noah, aku bangga menjadi cantik dan cerdas. Tapi bukan berarti kecantikan dan kecerdasan menjadi jaminan kalau hidupku akan nyaman, aman, dan bahagia. Itu yang harus disadari Lana.
Noah, kamu berbahagia, kan? Aku menceritakan tentang Lana karena aku ingin kamu bersyukur dengan hidupmu yang sekarang. Seminggu ini, aku memang belum menemukan pekerjaan sampingan, tapi aku terus mencoba mencari. Aku bersyukur, walaupun hidupku kelam, namun aku masih bisa makan tiga kali sehari, masih mendengar lagu-lagu bagus, dan punya teman-teman baik. Aku masih punya harapan dan mimpi, sehingga aku masih percaya akan masa depan yang gemilang. Aku masih beragama, jadi aku tahu Tuhan memberikan rencana terbaikNya untukku. Aku juga berharap kamu bersyukur dengan hal-hal kecil di sekitarmu.
Aku mencintaimu, Noah. Tetaplah berbahagia.
Bersambung…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
