
Siapa yang bikin masalah?
Kebetulan sekali Ernand belum muncul. Samuel buru-buru menarik tangan Gladys begitu gadis itu keluar ruangan.
“Eh, eh, Sam, mau kemana?” tanya Gladys bingung.
“Aku anterin kamu pulang. Aku juga pengen jalan-jalan sebentar sama kamu. Kita ke Mall. Mau, ‘kan?” kata Samuel tanpa menghentikan langkahnya.
Gladys terengah-engah mengikuti langkah Samuel. Setengah berlari pula dia mengimbangi langkah pria itu yang lebar-lebar. Dia tidak fokus untuk menjawab ajakan Samuel. Fokusnya lebih kepada lorong kampus yang mereka lewati dan bagaimana dia harus menggerakkan kedua kaki agar tidak tersandung.
“Aku nggak akan antar kamu pulang terlalu malam. Kakak kamu pasti nggak akan marah. Kita ke Mall yang deket dan searah sama rumah kamu aja.”
“Sam, Sam, tunggu bentar. Jangan jalan cepet-cepet....”
“Kamu bilang rumah kamu jauh, ‘kan? Jadi kita pergi secepatnya biar bisa pulang tepat waktu,” kata Samuel.
Gladys tidak mengerti dengan Samuel. Dia menurut saja digelandang seperti itu. Menyesal juga dia memakai sepatu yang agak tinggi. Dia jadi kesulitan mengimbangi langkah Samuel. Dan hingga tangga menuju lantai bawah, Gladys tidak bisa menguasai diri lagi.
Tangannya dipegang kuat oleh Samuel dan langkahnya cepat sekali. Gladys tidak bisa menjaga keseimbangan ketika tak sengaja melangkah terlalu jauh hingga 2 tangga sekaligus. Tak terelakkan lagi, kakinya terpeleset dan karena sepatu boot yang memiliki hak tinggi itu menyulitkannya menahan tubuh.
“AAHHH!” teriak Gladys seiring dengan badannya yang berdebam jatuh.
“Gladys!” seru Samuel panik.
Samuel berusaha menahan Gladys namun gadis itu tetap terjatuh. Gadis itu menggelincir turun hingga 3 anak tangga sekaligus dengan tangan yang masih erat berpegangan pada Samuel.
Samuel buru-buru menghampiri gadis itu. Gladys tengkurap berusaha mengumpulkan kesadarannya. Seluruh badannya sakit dan kakinya terasa terkilir.
“Gladys. Kamu nggak apa-apa?” tanya Samuel khawatir.
Samuel membantu Gladys untuk berbalik, namun Gladys menjerit kesakitan. Pinggangnya sakit sekali saat Samuel tak sengaja menyentuh area yang sakit.
“Sakit banget, Sam,” keluh Gladys.
Dia menoleh pada Samuel. Matanya berkaca-kaca membuat iba. Beberapa orang yang lewat mengerumuni Gladys.
“Lo nggak apa-apa? Kita bantu bangun,” kata seorang mahasiswi perempuan lalu menjawil temannya untuk ikut membantu.
“Hati-hati,” kata Samuel. Dia memegangi tangan Gladys untuk membalikkan badannya.
“Tunggu, tunggu! Jangan langsung diangkat!” seru seseorang dari atas tangga.
Mereka semua menoleh. Samuel mendengus kesal melihat Ernand yang tergesa-gesa turun dari tangga.
“Ernand, gue jatuh,” isak Gladys. Air matanya mulai berlelehan keluar, padahal tadinya hanya berkaca-kaca saja.
“Iya. Tunggu, jangan langsung bangun. Kalau ada bagian yang patah, nggak boleh diangkat karena khawatir ada tulang yang geser,” kata Ernand.
Semua menurut untuk memberi ruang bagi Ernand. Laki-laki itu memegangi punggung hingga tulang ekor Gladys dengan sedikit menekan. Samuel menepis tangan Ernand tiba-tiba. Aura marah jelas sekali terpancar di wajahnya.
“Jangan kurang ajar lo sama dia!” bentak Samuel. Ernand melirik pria itu sambil tersenyum sinis.
“Kalau mau mesum, di tempat tidur. Bukan di ruang terbuka gini,” sahutnya sinis. “Sakit, nggak, Dys?”
“Yang disitu enggak, tapi pinggang gue sakit banget. Kaki gue juga sakit.”
Ernand beralih mengecek bagian yang sakit lainnya. Sepertinya tidak ada yang serius. Gladys luka memar karena menghantam pilar dan kaki yang sepertinya terkilir. Ernand memegangi punggung Gladys lalu melepaskan tas di bahu kanannya. Dia memberikan tas itu pada Samuel lalu menahan pundak gadis itu.
“Pelan-pelan, ya,” kata Ernand.
Dia menarik pundak Gladys hati-hati agar berbalik. Tangannya yang lain menahan punggung Gladys agar gadis itu bisa jatuh di tangannya.
“Sakit banget, Nand,” keluh Gladys.
“Iya, gue tahu. Kita ke klinik aja, ya,” kata Ernand lalu menoleh pada dua orang gadis yang menolong mereka juga beberapa orang yang berkerumun di sana. “Udah nggak apa-apa. Makasih kalian udah bantu, ya.”
“Sama-sama. Mau dibantu bawa dia ke klinik?” tawar gadis itu.
“Nggak apa-apa. Gue bisa sendiri,” jawab Ernand lalu mengangkat Gladys dengan kedua tangannya. “Walaupun dia agak gendut, tapi masih cukup ringan, kok.”
“Lo jahat, Nand,” ucap Gladys sambil terisak.
Ernand terkekeh saja. Dalam keadaan sakit, Gladys tidak mungkin memukulinya. Jadi Ernand bisa leluasa menggodanya. Dia hati-hati menuruni tangga untuk menuju klinik.
“Nggak apa-apa. Nanti gue minta nyokab buat belanja obat diet lagi. Lo boleh makan panacota atau crepes sebanyak yang lo mau. Emang agak susah, sih, ngurusin sapi yang doyan makan begini,” kata Ernand.
“Gue sakit hati! Pokoknya gue sakit hati!” tukas Gladys.
“Sakit hati juga bisa bikin kurus. Sengaja mau sakit hati aja biar cepet kurus? Gue bisa bantu,” goda Ernand lagi.
“Dasar Udang Timbuktu! Elo aja yang sakit hati biar kurus. Lo kira badan lo udah oke?” geram Gladys. Ernand tertawa lebar menyambutnya.
“Badan gue oke. Gue nggak gendut bukan karena obat diet, tapi karena rajin gym.”
“Lo ngeselin banget!” seru Gladys kesal sambil meronta. Kakinya terayun-ayun karena jengkel. Ernand sibuk membenahi pegangannya agar gadis itu tidak jatuh dari gendongannya.
“Bisa diem, nggak? Lo mau jatuh kedua kali dan patah tulang? Kalau lo jatuh lagi, gue bakal ketawa bukannya nolongin,” kata Ernand memperingati.
Kontan saja Gladys diam lalu melingkarkan tangan di leher Ernand lagi. Meski bibirnya maju beberapa mili, dia tidak menggerutu lagi. Ernand tersenyum puas melihatnya.
“Kalau diem begini, lo kelihatan agak kurus sedikit. Sedikit aja, sih,” goda Ernand lagi.
Gladys mengacuhkannya. Kesal sekali hingga di ubun-ubun namun tidak berani lebih marah karena lelaki itu sudah menolongnya. Bahkan dia sudah lupa sama sekali dengan Samuel yang masih berdiri di tengah tangga dengan membawa tasnya. Laki-laki itu tidak pernah tahu bagaimana harus menerobos obrolan keduanya.
“By the way, Nand,” kata Gladys pelan lalu menoleh ke kanan dan kiri.
Ernand mengernyit ketika Gladys melongok dari balik pundaknya. Dia menoleh ke kiri dan kanan seperti mencari sesuatu. Hingga akhirnya gadis itu berbisik di dekat telinga Ernand membuat tersenyum geli.
“Gue pake rok. Ada yang ngeliatin nggak, ya, waktu gue jatuh tadi? Gue malu banget.”
“Nggak ada, kok. Cuman gue aja yang lihat. Lo pake pink, ‘kan?”
“Ernand!” sentak Gladys malu lalu menyembunyikan wajah merah dengan kedua tangannya.
***
Ramon membuka pintu kamar adiknya dengan siku karena kedua tangannya penuh membawa peralatan luka. Gladys menoleh sebentar ke arah pintu lalu kembali memejamkan mata. Air matanya masih tertinggal di pipi yang dihapus dengan selimut untuk kesekian kali.
"Ernand lagi beli obat nyerinya," kata Ramon.
Gladys mengangguk saja. Pria itu tidak menunjukkan ekspresi apapun, hanya meletakkan obat-obatannya di sisi tempat tidur lalu menarik selimut Gladys. Gladys menggeram tertahan lalu menarik lagi selimut hingga lehernya.
"Sakit, Kak," isak Gladys.
“Makanya, sini gue obatin dulu," kata Ramon tegas.
Bukannya menurut untuk bangun, Gladys justru semakin rapat bersembunyi di balik selimutnya. Bahkan kini disertai isakan lirih.
"Harusnya lo bilang dari tadi kalau lo sakit sampai kayak gini. Gue bisa langsung pulang dari kantor nggak pake lembur segala," kata Ramon sambil menyingkap lengan kemejanya. “Kenapa bisa gini? Berantem sama Ernand?”
“Bukan sama Ernand. Aku lagi sama temen trus jatuh dari tangga.”
“Di-bully?”
Gladys menggeleng lagi tanpa jawaban pasti. Ramon mendesah karenanya.
“Kalau nggak mau diobatin, kita makan aja. Gue pesenin nasi goreng Mang Yayat, ya? Biar dia nganter kesini.”
Gladys menggeleng lagi. Dia bergeming di dalam selimut sambil terisak. Ramon tak mengerti dengan kelakuan adiknya. Meski sakit, jarang sekali gadis itu diam seperti ini. Biasanya merengek mengatakan apapun membuat gendang telinga Ramon hampir pecah.
Sesaat kemudian Ernand muncul dengan membawa kantong plastik berisi obat. Ramon menerimanya namun juga mengusirnya lagi.
"Beliin nasi goreng, ya," pinta Ramon sambil merogoh saku untuk mengambil dompet.
"Dih," tukas Ernand membuat Ramon melotot.
“Nggak mau? Lo udah bawa pulang anak orang sampai sakit begini. Katanya jagain?”
"Salah dia sendiri, Kak. Jalan aja nggak bener," dengus Ernand.
"Jadi lo nolak, nih?" tanya Ramon.
Keningnya sudah berkerut dan matanya meruncing. Jika seperti ini, biasanya dia siap melakukan apapun untuk membuat Ernand menuruti perintahnya. Salah satunya mungkin dengan hukuman makan brokoli rebus.
Ernand menghela napas kesal lalu mengulurkan tangan. “Berapa?”
“Dua aja. Buat lo sama Gladys.”
“Buat gue karedok sama seblak, ya.”
“Dasar ngelunjak!”
Ernand terkekeh saja. Dia menerima uang dari Ramon lalu berlalu keluar dari rumah. Ramon melirik Gladys yang masih diam tak bersuara. Beruntungnya sekarang dia sudah tidak menangis. Ramon tidak tahu apakah dia sudah tertidur. Melihat obat yang dibawakan Ernand adalah obat yang dikonsumsi setelah makan, Ramon berpikir untuk mandi dan berganti baju dulu sebelum memaksa Gladys makan nantinya.
"Kak Ramon," panggil Gladys tepat saat Ramon beranjak dari duduknya.
“Apa? Udah mau diobatin?”
Gladys diam sejenak. Ramon juga menunggu jawabannya. Hingga akhirnya dia membuka selimutnya menampakkan wajah sembabnya.
“Sebenernya nggak terlalu sakit, kok. Aku mau tidur aja. Aku nggak mau makan juga.”
“Gue begini bukan mau nyembuhin lo. Cuman biar nggak dosa aja karena ngebiarin lo mati kelaparan,” jawab Ramon datar. Gladys merengut semakin kesal.
“Pokoknya aku mau tidur aja!” tukasnya lalu menutup selimut lagi.
“Lo lagi ada masalah? Bener ini bukan karena lo di-bully?” terka Ramon.
“Aku nggak di-bully. Tanya aja sama Ernand. Aku jatuh bener-bener karena jatuh yang nggak disengaja. Aku nggak mau makan karena aku nggak laper. Itu dua hal berbeda!”
“Kita lihat nanti lo masih laper atau enggak. Gue mau mandi dulu. Gue pake kamar mandi lo.”
“Nggak boleh!” tolak Gladys cepat. Jika Ramon memakai kamar mandinya, Gladys tidak punya kesempatan untuk mengurung diri di dalam kamar dan menolak makan.
Ramon tidak menggubrisnya. Dia membuka lemari kecil di samping kamar mandi untuk mengambil handuk bersih. Meski Gladys melarang, dia tetap masuk kamar mandi diikuti tatapan nyalang dari adiknya.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, Gladys menghembuskan napas panjang sambil membuka selimut seutuhnya. Tangannya beralih meraih ponsel di samping bantalnya lalu menatapnya dengan sendu. Sesaat kemudian isakannya kembali terdengar. Dia menepuk dadanya berkali-kali demi meringankan rasa sakit. Memang sakit sekali.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
