
Senyum lebar tersungging dengan sempurna di bibir Raya, saat dari jarak kurang dari lima meter, ia mendapati sang kekasih melambaikan tangan ke arahnya. Kacamata hitam yang bertengger manis di hidung lelaki keturunan Jepang itu, tak menjadi penghalang bagi Raya untuk mengetahui jika lelakinya itu hanya menatap ke arah Raya seorang.
Yuji Raiden Ananta namanya. Ayahnya asli keturunan Jepang, sedangkan ibunya merupakan orang Indonesia kelahiran Jakarta. Raya mengenalnya sejak duduk di bangku SMA. Kebetulan Yuji merupakan seniornya, satu tingkat di atas Raya.
Meski saling mengenal dan berhubungan cukup dekat, Yuji dan Raya tak lantas berpacaran. Lulus SMA, Yuji melanjutkan studi ke Jepang, menuruti kemauan sang ayah. Meski berjauhan, Yuji tak pernah memutus komunikasinya dengan Raya.
Saat libur semester tiba, Yuji pulang ke Indonesia dan menemui Raya. Menyampaikan perasaan tak terucapnya pada Raya kemudian meminta gadis itu menjadi kekasihnya.
"Koishii." Yuji segera memeluk tubuh kekasihnya itu.
Raya tersenyum dan membalas pelukan Yuji. "Aku juga."
Larut dalam rasa rindu sebab sudah nyaris setengah tahun tak bersua, keduanya seolah lupa tengah berada di tempat umum.
"Mau tetap seperti ini? Orang-orang bisa ngenalin kamu kalau kita kayak gini terus, Ray."
Raya tertawa kecil lalu melepas pelukan mereka. Kemudian memperbaiki letak kacamata hitam, masker serta hijab yang ia pakai sebagai alat penyamaran. "Aku juga nggak nyaman pake beginian."
"Jadi mau makan dulu atau ke apartemen aku? Aku lapar banget, Ray. Aku nggak selera makan selama di pesawat."
"Nggak sabar ketemu aku pasti."
Tebakan Raya tepat sasaran. Yuji pun tak berniat menampiknya. Ia sudah sangat lama menantikan momen ini. Bertemu dan melepas rindu dengan gadis pertama yang membuatnya jatuh cinta.
***
"Kamu duduk aja di sana. Pasti masih capek kan?"
"Aku nggak ketemu kamu lima bulan lebih, Love. Dari masih pacar aku, sampe jadi istri orang."
"Iya, aku tahu," jawab Raya singkat. "Yuji, please .... Kamu tahu kan, aku nggak suka dilihatin orang kalau lagi kerja."
Yuji ingin tertawa. Raya memang juara jika berakting di depan kamera, tetapi tak cakap membuat alasan untuk mengusir Yuji dari dapur rumahnya sendiri. Raya seorang aktris. Setiap kali wanita itu bekerja, sudah pasti ada banyak pasang mata yang melihat. "Aku cuma duduk manis di sini, Love. Nggak akan ganggu kamu masak kok."
Raya hanya melirik sekilas, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Menyiapkan makan siang untuk bayi besar manjanya yang sudah menunggu dengan perut lapar.
Sesuai dengan janjinya pada Raya, Yuji hanya duduk diam memperhatikan gerak gerik sang kekasih. Matanya tak luput sedetik pun dari wanita kesayangannya tersebut. Sesekali tawanya lepas, saat melihat ekspresi lucu Raya menyicipi masakannya, saat Raya menumpahkan saus, saat Raya menata masakannya di piring dan lainnya.
Namun, senyum itu perlahan redup, saat Yuji teringat ada sosok lelaki lain yang sudah mengklaim Raya sebagai miliknya di depan umum. Sesuatu yang tak bisa Yuji lakukan hingga kini.
Pernikahan itu ..., Yuji memang mengetahuinya. Bahkan bisa dibilang jika ia yang mengusulkan ide tersebut. Bukan karena tak sungguh-sungguh mencintai Raya. Justru karena terlalu besar rasa cintanya pada wanita itu, hingga Yuji tak rela bila wanitanya dinikahkan dengan pria asing yang tak ia ketahui identitasnya.
Meski belum pernah bertemu Catra, Yuji sudah beberapa kali mendengar cerita tentang pria itu dari Raya. Dari cerita Raya tersebut Yuji yakin ia bisa menitipkan kekasihnya sebentar pada pria itu. Dan tiga tahun adalah waktu yang Yuji anggap paling tepat.
Kurang lebih lima belas menit kemudian, Raya sudah menyelesaikan masakannya. Meletakkan dua piring spaghetti bolognese di atas meja. Yuji harus menahan tawa melihat cara Raya menata makanan. Siapa pun yang melihat, Yuji yakin akan memberi nilai kurang baik untuk masakan Raya.
"Jangan diketawain. Penampilannya boleh jelek, yang penting rasanya."
Yuji hanya manggut-manggut menanggapi. Segera mengambil sendok dan mencicipi masakan Raya yang memang berbanding terbalik dengan penampilannya.
"Gimana? Enak kan?"
"Oishi," jawab Yuji seraya mengangkat kedua jempolnya ke udara. "Ini untuk aku juga ya." Yuji menuangkan spaghetti milik Raya ke piringnya.
"Terus aku makannya apa dong?" protes Raya.
"Kamu makannya aku suapin."
"Apaan sih? Nggak mau ah. Aku bukan anak kecil."
Namun, Yuji seolah tak peduli. Raya yang duduk di seberangnya, ia minta pindah ke sebelah kanan Yuji. Meski awalnya menolak, Raya tetap menurut. Berpindah kemudian membiarkan Yuji menyuapkan spaghetti masakannya beberapa kali.
"Gimana suamimu, Love?"
"Sehat," jawab Raya santai.
"Aku nggak nanya kabarnya. Yang aku maksud, gimana dia sebagai suami kamu. Sikapnya, cara dia memperlakukan kamu."
"Kak Catra baik."
"Cuma baik?"
Raya mengangguk. "Aku nggak tahu harus bilang apa lagi. Karena yang aku tahu, Kak Catra itu baik. Udah, itu aja."
"Kalau aku?" tanya Yuji mulai jahil.
"Kalau kamu ...." Raya menangkup kedua pipi Yuji dan mengecup bibirnya cepat. "My special one."
Yuji seolah tak puas dengan kecupan singkat Raya. Menginginkan lebih, tetapi Raya segera menolaknya. "Aku lapar, Kak. Nggak usah aneh-aneh dulu deh."
Tertawa, Yuji bermaksud mengacak rambut Raya, tetapi segera ditepis gadis itu. "Masih laper, Kak ...," rengeknya. "Atau aku makan sendiri aja deh."
"Iya ..., iya .... Sini, aku suapin lagi."
Raya menyeringai puas, menggeser kursi supaya lebih dekat dengan Yuji.
"Tadi nggak mau disuapin, katanya bukan anak kecil."
"Kamu tahu teori tentang jika perempuan mengatakan tidak, artinya adalah iya."
"Pinter banget ngelesnya kamu ya."
Tawa Raya terdengar mengudara. Sungguh, bersama dengan Yuji selalu membuatnya bahagia. Pemilik hatinya itu, memiliki banyak cara untuk selalu membuatnya tertawa. Bersama Yuji, Raya hanya bisa merasakan dua hal. Bahagia ... dan cinta.
***
"Beneran sekarang?" tanya Raya mencoba meyakinkan Yuji.
Pria itu tak langsung menjawab. Memandang bangunan satu lantai yang ada di depannya. Pagar rumah yang dipasang mengelilingi rumah, tak menghalangi pandangannya. Di rumah itulah, kekasihnya tinggal selama satu bulan terakhir. Tak tinggal sendiri, melainkan dengan seorang pria berstatus suami serta seorang anak perempuan yang merupakan putri pria tersebut.
"Kak Yuji .... Masih ada hari lain kok. Aku tahu kamu juga pasti masih capek."
"Memang masih ada hari lain, Love. Tapi aku nggak mau ganggu jadwal kamu."
"Kalau kamu nggak keberatan ketemu Kak Catranya malam selesai aku syuting sih, bisa-bisa aja."
"Aku nggak mau ganggu waktu istirahatnya, Love. Cukup aku ganggu istrinya aja."
"Tuh kan ..., mulai lagi deh. Udah aku bilang, aku nggak suka kamu gitu. Aku jadi merasa kayak istri yang lagi main api di belakang suaminya."
"Kan memang iya." Yuji tertawa cukup keras, membuat Raya gemas dan mencubiti paha Yuji.
"Jadi mau masuk nggak? Atau mau diam di mobil aja kayak gini sampe besok subuh?"
"Sebentar, Love. Aku mendadak gugup ini. Berasa kayak mau ketemu orang tua kamu."
Mendengar kata orang tua, Raya mendadak murung.
Orang tua.
Ibu dan ayah yang seharusnya mendukung kebahagiaan anak-anaknya. Namun, hal tersebut tak berlaku untuk Raya. Justru orang tua yang menjadi alasan Raya tak bisa bersatu dengan Yuji. Hingga membuatnya nekat menikah dengan Catra.
"Sorry, Love. Aku nggak bermaksud bikin kamu sedih." Yuji jadi merasa bersalah melihat perubahan raut wajah Raya. "Aku janji, Love. Tiga tahun dari sekarang, setelah kamu dan Catra berpisah, orang tua kamu nggak akan punya alasan untuk menolak aku. Kamu cuma perlu sabar, Love."
"Bisa nego nggak sih, Kak? Tiga tahun terlalu lama. Dua tahun deh. Atau kalau bisa setahun aja."
"Aku akan usahain jemput kamu lebih cepat ya, Love. Sekarang, temani aku ketemu Catra dulu ya."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
