

Ramadhan, Agustus 2011
Ramadhan kala itu, bintang tak lebih terang, dari kilauan minyak yang melekat dalam untaian-untaian Indomie goreng yang menggantung di atas garpu silver yang bening. Sambal cabai berwarna jingga yang melekat menjadi penggugah rasa di kala aku menikmati mendungnya malam. Aku merenung di dapur hotel, ditemani kawanku Banyu Angga (17),dan cicak-cicak lapar yang merayap di dinding. Gerimis nakal di kota Bandung yang berawan, melukiskan rinduku yang tertuju pada Shella Noviandra (17). Gadis manis berkulit putih dari Soreang, yang selalu tampil elegan, tetapi sudi untuk diajak lesehan bareng di warmindo. Sangat kontras dengan Raden, si berandal angkuh yang selalu tampil kumuh.

"Den, lo udah nembak Shella?" ucap Banyu dengan logat Solo yang medok. "Waktu kita PKL cuma tiga mingguan lagi lho, Den." Banyu tersenyum ramah seraya mengoyak dua bungkus Indomie kuah rasa ayam bawang.
Aku menggeleng.
Matanya menyipit, meledekku tepat di muka. "Hari gini, masih makan Indomie goreng. Yang kuah dong, biar lebih meriah!"
"Seleraku gak bisa diganggu gugat!” Tanganku menaburkan kepingan-kepingan bawang goreng cokelat yang renyah di atasnya. Kukunyah pelan seraya menasehati, "Rasaku pada Shella, bisa ditunda. Namun, perihal lapar, seleraku eklusif Indomie goreng.”
"Mie merk sebelah gak mau?" Dengan nyinyir berkata, "ngakunya sih lebih berasa sedapnya."
Seraya menyuapkan lembaran mie kenyal pada bibir tipisku, aku mengelak, "Perihal rasa, aku ini agamis dan demokratis. Bagiku seleraku, seleraku. Dan seleramu, seleramu."
Banyu tertawa cerah. "Sorry, Den. Perihal rasa gue ini komunis, karena itu bantu gue menghabiskannya." Banyu menyodorkan dua bungkus Indomie kuah yang telah matang. Dengan sepotong garpu, kita bucatkan sepotong telur mata sapi yang menantang.
"Suka-suka lo deh, Den. Yang penting, lo bukan diktator rasa yang suka menghakimi selera orang lain."
Kita berdua berjongkok di lantai porselen yang bening, menikmati demokrasi rasa yang mengenyangkan. Suap demi suap, kunyah demi kunyah, sampai semuanya berakhir dengan ucapan Alhamdulilah. Tak masalah, minumnya apa. Mau cokelat hangat atau secangkir es teh manis dingin, tetap saja mantra: mantap terasa.
Banyu menyesap sebatang rokok kretek di tangannya. Sesak hinggap di dadanya, mengisi paru-paru nya yang hitam dan mulai kopong. Banyu teringat setiap jengkal kenangan di hotel tempatnya PKL. Bagaiaman dia bekerja dengan giat, menjadi calon budak korporat, hingga menaklukan gadis-gadis Sunda dengan gombalan mautnya.
"Wis ngemie, ora udud. Sumpek!" gerutunya.

Temaram terlukis di wajahku. Mengingat sesosok Bunda yang kurindu, memikirkan masa depanku yang ingin kuukir dalam lantunan melodi (menjadi musisi). "Nyu, bentar lagi kita balik Tasik, aku pasti rindu Bandung, entahlah dengannya. Akankah Shella merindukanku?"
Dengan perkasa, Banyu berkata, "Cinta itu nikmati saja selagi muda, gak perlu lo tunda-tunda. Nanti lembek!"
Banyu kembali tertutur, “Gue juga bakalan rindu. Rindu masa di mana kumpul bareng di kosan, makan Indomie sepiring rame-rame, lalu berkhayal seolah-olah kita anak sultan yang bakalan menaklukkan dunia.”
Suara Imsak menghapus sesak yang bergemuruh di jiwa. Lantunan adzan Subuh menuntun kita untuk pergi sholat berjamaah di mushola. Melantunkan doa-doa terindah supaya Shella menerima rasaku. Pagi itu aku berkata, "Nyu, nanti sore, Raden bakalan ungkapin semuanya ke Shella. Doain supaya diterima, ya?"
“Aamiin.”
"Lidah memang gak bertulang, bisa berdusta. Mata memang terbuka, tetapi bisa tertutup. Begitu pun dengan hidung. Namun, rasa, rasa takkan mampu berdusta. Rasa akan selalu ada, dan akan selalu jujur. Semoga rasamu sampai padanya."

Sore harinya
Burung-burung terbang mengepak sayap, ikan-ikan berenang melawan arus, sedangkan aku yang kurus, duduk di luar kosan berdinding putih dngan corak yang meneduhkan. Duduk manis, merangkuk harapan seraya menunggu pintu hati Shella terbuka. Sepucuk teka-teki cinta untuknya, kusimpan rapat-rapat di saku celana hitamku yang ketat. Bersama kawanku Banyu, dan Iqbaal (17) sore itu aku ngabuburit dengan cara memproklamasikkan cintaku pada Shella.

Aku masuk ke dalam, berharap mengeluarkan semua rasaku yang terlanjur tumpah. Shella bersama roommate-nya Honey, dan Shinta, menyambutku dengan senyum yang terang. Kita masuk ke dalam. Tepatnya, dekat boneka beruang cokelat yang menatap cemburu padaku. Dengan sungguh, kuberikan selembar teka-teki untuknya. "La, maukah kamu jadi seleraku?"
Shella membaca teka-teki cintaku.

“Kamu udah tahu jawabannya?”
Shella menggeleng. “Intinya, abang juga suka ama Shella, kan?”
“Betul.”

"Bolehkah, kusimpan surat ini?" Shella memohon.
"Boleh, asal jangan digadaikan. Surat itu eklusif buatmu."
Shella tersenyum.
Aku mengangguk. "Sekarang atau tidak sama sekali."
Shella malu-malu kucing. Sesekali dia melihat ke arah Shinta, gadis semok yang teramat cinta dengan band Paramore. The Only Exception—Paramore terputar di ponselnya. Dan Shella you're the only exception.
"Aa kapan waktu beres PKLnya?" Suaranya terdengar sendu.
"Tiga minggu lagi."
Shella menggigit bibir bawahnya, "Nanti kita pacarannya gimana dong? Kan kita teh jauh, Aa di Tasik, Eneng di Bandung."
"Demi kamu, abang rela bolak-balik Bandung-Tasik. Asal kamu bahagia." Kukatakan dengan indah padanya. "Katakan sekarang, jangan biarkan aku menunggu sepuluh tahun."
"Please, nanti aja ya Shella jawabnya," Shella memelas sambil melakukan gerakkan salam."Please, bang!”
"Ayolah Shel, terima cintanya. Apa susahnya sih!" Iqbaal mengerentitkan dahinya. Dia membela, "Raden sudah seromantis ini, lho.”
"Sudah Baal, jangan paksa dia. Kasihan." Pintaku padanya.
Shella merenung. Beban menancap di pundaknya. Dia berlindung pada Shintia, dan memeluknya dari belakang. Dengan dewasa, Shintia menjawab, “Bang Shella teramat suka sama abang, tetapi banyak sekali yang harus dipertimbangkan. Seandainya berjodoh, Shella takkan kemana-mana.”
Mataku melirik ke arah Banyu yang terdiam. Dia adalah pakar cinta, dari cara dia menatapku, aku paham betul maksudnya. Pulang lah, Den, engkau itu lelaki, jangan mengemis di depan wanita.
"Baiklah Shel, kalo kau tak menginginkanku sekarang. Kutunggu jawabannya besok. Ingat, Shel aku bernyawa. Jangan buatku menunggu seribu tahun.”
Senyumnya yang merdu berubah sumbang. Shella yang tumbang, mendiamkanku tanpa sepatah kata.
Aku tersenyum angkuh, keluar dari kosnya lalu meninggalkannya dalam perih.
Tasikmalaya, 17 July 2022, 10 Years Later
Rasaku masih menggantung di Bandung. Namun, seleraku tetap satu. Sebungkus Indomie goreng klasik yang kini semakin banyak variannya. Ada si hijau dari Aceh; Ayam geprek yang hitam dan pedas; Rica-rica yang merah, merona memesona; Rendang yang rasanya nendang. Semuanya sama, nikmat saat disulap dengan aneka cara. Entah digoreng klasik ala Raden, diremas dengan perasaan ala Banyu, sedikit nyemek, dan basah seperti tawa Shella yang cerah.
Selain Bunda, Indomie adalah kawan terbaikku di kala kita dirundung kemiskinan. Wabah korona yang melanda, membuat warmindo kecilku bangkrut tiada tara. Kini, diriku mengandalkan khayalan untuk mengumpulkan pundi-pundi uang tuk membangun kehidupan. Menulis di Karyakarsa adalah salah satu jalan ninjaku.
Janda tua bergigi dua, masuk ke dalam kamar tidurku yang kumuh. Semerbak aroma mie goreng menusuk hidung Arabku yang mancung. Mencaplok gairahku, melelehkan otakku yang beku karena begadang semalaman.
Bunda menasehati, "Nak, istirahat lah sejenak. Jangan sampai kamu tamat, gara-gara begadang sampai sekarat." Dia mengusap kepalaku tiga kali seolah lampu ajaib. "Sedang nulis apa, Nak?"
"Cita, cinta, dan rasa."
“Pasti, tentang Mamah, ya?"
Aku tersenyum keruh. Meletakkan telunjuk ku di depan bibir tipisku yang lembut.
Jemariku yang lentik, mengetikkan diksi-diksi menawan tentang cinta, cita, dan rasa. Tentang hari di mana kita mengejar cita sambil belajar dewasa di Bandung. Di mana semangkuk Indomie selalu menemani kita di kala (tanggal) tua atau pun (tanggal) muda. Hari di mana Shella menjadi sejarah yang membekas sepanjang zaman.

Bersama Bunda, dan seekor kucing kecil bermata satu yang kunamai Zoro, kuhapus gulita malam yang mencekikku perlahan dengan menyantap indomie hangat, dan secangkir kebersamaan.

Bundaku memang surgaku, tetapi Indomie selalu jadi seleraku. "La, bilamana kau membaca tulisan ini di Karyakarsa. Aku hanya ingin berkata, kamu mungkin sempat menjadi seleraku, tetapi seleraku—sekarang, dan seterusnya— hanyalah Indomie goreng semata
BTS:


Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
