Love Letters 1-5

30
1
Deskripsi

Part revisi versi novel 1-5

Part 1

"Jinaya Edrea, bisa dipanggil Jinaya, Jin, Aya atau Jinay." Gadis dengan tinggi sebatas dada Khaezar itu menjulurkan tangan ke depan, mengajak bersalaman.

Bukannya membalas jabatan tangan gadis itu, Khaezar malah menaikkan salah satu alisnya, memandang gadis yang baru saja memperkenalkan diri itu dari atas ke bawah. Matanya memindai dengan intens, membuat Jinaya mengerutkan alisnya bingung. Apakah ada yang salah dengan dirinya?

Jinaya kenal dengan pria ini. Anak dari fakultas teknik yang berada dua tingkat di atasnya. Selain itu, beberapa kali dia melihat pria ini berbincang dengan Aca, sahabatnya. Tapi yang membuat Jinaya kenal dengan nama panjang serta angkatan pria itu adalah karena Khaezar Haga Archello merupakan salah satu pria kontroversial di kampus dengan rumor tidak pernah tertarik dengan perempuan, alias gay.

Sering sekali kabar miring tentang Khaezar beredar di menfes kampus. Padahal, Jinaya merupakan mahasiswa angkatan baru, tapi secara garis besar, dia paham dengan segala kontroversi dari seorang Khaezar Haga.

Bahkan menurut rumor yang beredar, selama dua puluh satu tahun pria itu bernafas, belum ada satu gadis pun yang berhasil memikat Khaezar. Padahal dari segi tampang dan uang, setidaknya satu wanita seharusnya sudah berada dalam jeratan seorang Khaezar. Namun sayangnya, sampai sekarang pun tidak ada tanda-tanda bahwa pria itu tertarik dengan jenis kelamin perempuan.

"Kak Khaezar mau bantu angkatin barang gue ‘kan, Ca?" Tanya Jinaya seraya menurunkan tangannya yang menggantung, ketika tidak dibalas dengan jabatan tangan oleh Khaezar.

Aca menutup mulutnya, terkejut dengan pemikiran Jinaya. Sedangkan Khaezar sudah mendengkus di tempat saat mendengar perkataan Jinaya.

Khaezar langsung menyandarkan punggungnya di tembok, dengan tangan bersedekap di dada. Matanya yang tajam itu menatap sepupu perempuannya yang kini meringis tak enak pada Khaezar.

"Bu-bukan Aya. Ja-jadi kamu bakal tinggal seapartemen dengan dia!" Empat kata terakhir terujar dengan cepat keluar dari mulut Aca, membuat Jinaya memajukan kepalanya.

"Hah? Apa Ca? Pelan-pelan kalo ngomong." Tegur Jinaya.

Kepala Aca semakin menunduk, telunjuknya saling bertaut. Ia menatap lorong apartemen yang sepi. Jaga-jaga, kalau dua orang di depannya melakukan penganiayaan tiba-tiba, maka ia bisa berteriak minta tolong.

"Aca?" Panggil Jinaya, ketika Aca malah asik celingukan.

Pasrah, Aca pada akhirnya membuat ekspresi manisnya yang berhasil membuat Khaezar merotasikan bola matanya malas.

"Kalian akan tinggal satu apartemen. Aku minta Khaezar supaya mau sharing apartemen sama kamu." Cicit Aca.

Jinaya masih terdiam. Belum bereaksi yang gimana gimana, sampai kemudian tangannya berkacak pinggang, mulutnya sebentar lagi akan menyemburkan pekikan.

"YANG BENER AJA, CA! KENAPA ADA COWOK DI APARTEMEN YANG MAU GUE TINGGALIN?!" Geramnya.

"Aya, jangan teriak teriak dulu dong." Aca mengerucutkan bibirnya kesal.

"Ya lo gila, Ca? Ini maksudnya tuh, gue tau kalo gue lagi gak pegang uang banyak, gak punya tempat tinggal untuk sementara, tapi jangan umpanin gue buat tinggal sama kak Khaezar dong!." Pungkas Jinaya dengan galak.

"Enggak ngumpanin, Aya. Kan lumayan, uang tabungan mu bisa buat bisnis baru. Kan cuman tinggal bareng. Gak apa-apa ih!" Aca masih berusaha meyakinkan Jinaya.

"Nggak apa-apa, mbah mu!" Jinaya menarik tubuh Aca supaya kian mendekat ke arahnya. "Dia gay, Aca. Gay." Tegas Jinaya dengan berbisik.

Aca tersenyum lebar, "nah, justru karena dia gay. Makanya kamu aman sama dia. Lagian Khae itu sepupu aku. Tenang aja, Aya."

Jinaya menatap kedua bola mata Aca yang menyorotkan tatapan yakin, seolah menitipkan dirinya pada Khaezar adalah keputusan yang tepat. Keduanya sempat berbisik-bisik kecil berulang kali, menimbulkan tanda tanya di benak Khaezar yang hanya jadi penonton.

Ck! Dasar wanita! Gumam Khaezar dalam hati.

Setelah diyakinkan oleh Aca, akhirnya Jinaya percaya. Toh, pria itu tidak pernah terkena skandal dengan wanita di kampus.

"Jadi gimana? Kamu mau kan? Plis.." Aca mengatupkan kedua tangannya di bawah dagu. Matanya berkedip lucu.

Jinaya menghembuskan nafas panjang. Keputusan cepat pada akhirnya ia ambil demi keberlangsungan hidup selanjutnya. "Oke," jawab Jinaya lesu.

Aca tersenyum begitu lebar. Ia langsung memeluk tubuh sahabatnya dengan erat. "Aku yakin Khae bakal jagain kamu dengan baik! Jadi, harusnya yang aku kasih hati-hati bukan kamu, tapi Khaezar!" Seru Aca dengan cengengesan.

Jinaya yang mendengar itu sontak mendelik. Sedangkan Khaezar enggan meladeni. Ia memilih untuk memutar tubuh dan mengangkat tangannya untuk menekan sandi apartemen, kemudian membuka lebar pintu.

"Masuk," ujar Khaezar dengan isyarat mata, menyiratkan Jinaya untuk segera masuk dan membawa barang-barangnya ke dalam.

Jinaya menatap Aca yang menampilkan ekspresi yakin. "Aduh, aku harus pergi! Ada urusan! Lupa banget! Dahhh Ay!" Aca mengecup pipi Jinaya dengan gesit, sebelum melesat dengan cepat, meninggalkan keduanya di lorong apartemen.

Jinaya mengeratkan cengkramannya pada koper yang ia bawa. Dua koper di belakangnya cukup membuat Khaezar takjub, dengan Jinaya yang tidak seperti cewek ribet di luaran sana ketika pindahan.

Menarik nafas panjang sekaligus memantapkan diri, akhirnya kaki Jinaya melangkah dengan yakin masuk ke dalam apartemen, dengan Khaezar yang masih berdiri di samping pintu.

Khaezar tersenyum miring melihat Jinaya masuk ke dalam apartemennya. Setelah ini, ia pastikan gadis itu akan menjadi mainannya di kala ia bosan. Tidak akan ia biarkan perempuan itu lolos dengan mudah.

Klik!

Mendengar pintu apartemen yang terkunci, Jinaya sontak memutar tubuh, menatap Khaezar yang berjalan ke arahnya dengan tatapan tajam.

"Lo mau tidur dimana? Kamar kedua banyak hantunya. Di kamar gue aja, mau?"

Dari ribuan kata sapaan yang ada, yang keluar dari mulut seorang Khaezar malah kata-kata tersebut. Apa-apaan itu?!

Jinaya menyipitkan mata. Menatap penuh selidik pada Khaezar yang dari ucapannya terselip nada godaan, meskipun suaranya tetap datar.

"Lagi modus sama gue, ya?" Tuding Jinaya.

Khaezar mendengkus, "Ck, ngapain juga modus sama lo." Sewotnya.

"Oiya ya. Lo kan nggak suka cewek." Gumam Jinaya. "Nggak apa apa deh gue tidur di kamar sana." Telunjuknya mengacung ke arah kamar yang berada di dekat balkon unit apartemen mereka.

Khaezar menghendikkan bahunya acuh, ia memilih untuk mengabaikan Jinaya yang kerepotan membawa masuk dua buah koper besar ke dalam kamarnya.

"Fyuh!" Jinaya menghembuskan nafas lelah.

"Mau beres beres dulu, jangan ganggu!" Seru Jinaya, sebelum menutup pintu kamar.

***

Tok tok tok tok!

Tok tok tok tok!

"Permisi, Kak Khae,"

"Misi Kak.."

Khaezar menggeram kesal, ketika tidur siangnya terganggu akibat ketukan pintu yang diiringi suara menjengkelkan.

"Misi, kak!" Jinaya sengaja mengeraskan suaranya dengan sengaja, agar Khaezar segera membukakan pintu untuknya.

Dengan kesal Khaezar bangun dari tidurnya. Ia menyibakkan selimut dan langsung berjalan gontai untuk membuka pintu kamar. "Apa?!" Sentak Khaezar kesal.

Tubuhnya benar benar butuh istirahat karena semalaman begadang. Tapi gadis di depannya ini malah dengan begitu mudah membangunkan tidurnya.

"Mau izin pakek kamar mandi, kak."

Khaezar dibuat melongo dengan ucapan gadis itu. Demi Tuhan! Dia bahkan bisa pakai kamar mandi sehari seratus kali! Khaezar tidak akan peduli!

"Lo punya mata, kan? Kamar mandi ada di depan! Dan lo bisa pakek sepuas lo!" Geram Khaezar.

Jinaya tersenyum, "terimakasih kak!" Ujarnya.

"Tunggu!” Khaezar berseru, membuat Jinaya mengurungkan niatnya untuk pergi. “Panggil gue Khaezar. Hilangin embel-embel kak, di depan! Gue gak suka." Cetus Khaezar, sebelum membanting pintu hingga menimbulkan bunyi debam.

"Galak! Ketus! Dasar gay!" Ejek Jinaya dengan suara kecilnya.

***

Setelah selesai dengan urusannya di kamar mandi, Jinaya keluar dan mendapati Khaezar sudah duduk di sofa tengah sembari memejamkan matanya.

Dengan pelan kaki Jinaya melangkah menuju kamar, tak ingin membangunkan pria itu. Tapi interupsi yang keluar dari mulut Khaezar berhasil membuat tubuh Jinaya menegang.

"Sini, lo."

Jinaya menelan salivanya berat. Kepalanya menoleh, dan ia mendapati Khaezar sudah membuka mata sembari memegang selembar kertas.

"Okey." Jinaya menjawab singkat. Ia berjalan menuju sofa, dan duduk tepat di sebelah Khaezar.

Khaezar sedikit terkejut dengan Jinaya yang tiba-tiba saja duduk di sebelahnya tanpa aba-aba. Jarak keduanya terlalu dekat.

"Kenapa?" Tanya Jinaya, ketika Khaezar menatapnya dengan sinis.

"Lo bisa duduk disana," Telunjuk Khaezar mengacung ke arah sofa satunya.

"Emang nggak boleh duduk sini?" Tanya Jinaya heran. Kan sama sama sofa.

Tak ingin menanggapi lebih lanjut, Khaezar memilih untuk fokus pada tujuan awalnya. Surat perjanjian penghuni apartemen kamar 105.

"Ini," Khaezar memberikan sebuah lembaran pada Jinaya.

Jinaya menerima lembaran yang di sodorkan oleh Khaezar sembari mengeluh. Haduh, belum baca saja kepala Jinaya sudah pusing ini. Jinaya paling malas kalau disuruh baca tuisan ceker ayam!

"Gue, Khaezar Haga Archello." Suara Khaezar terdengar datar dan formal.

"Tau kok, nama lo kan terkenal sekampus."

"Oh. Nggak heran, gue emang terkenal." Jawab Khaezar santai.

Jinaya yang mendengar jawaban Khaezar seketika melotot. Bisa-bisanya pria itu bangga terkenal di seluruh kampus karena enggak doyan cewek!

"Baca." Perintah Khaezar.

"Apa ini?"

"Perjanjian para penghuni unit apartemen seratus lima." Jawab Khaezar.

Jinaya menggaruk kepalanya. Dia mengambil kertas tersebut dan mulai membacanya.


 

Part 2


 

Baik, poin nomor empat dan lima terlalu berlebihan.

Jangan genit sama gue— Khaezar. Hello! Sorry, ya! Sekalipun di dunia ini cuman tersisa sosok Khaezar Haga saja, Jinaya pun sepertinya lebih memilih untuk menjadi perawan tua saja!

"Yang nomer lima itu mencerminkan sosok lo yang pede banget ya ternyata, Kak." Ujar Jinaya tanpa sadar.

Khaezar menghendikkan bahunya. "Gue kan ganteng. Banyak cewek yang suka ke gue."

Seketika Jinaya tersedak ludahnya sendiri. Sumpah ya! Selain gay, ternyata sosok Khaezar ini kelebihan rasa percaya diri!

Ini pertama kalinya Jinaya berbicara dengan Khaezar. Meskipun Khaezar adalah sepupu Aca yang notabene adalah sahabatnya, tapi ia tidak pernah berbincang bincang dengan pria satu ini karena sosoknya yang misterius, tertutup dan juga dingin. Berbanding terbalik dengan Aca yang ceria dan murah senyum. Tak ingin meladeni Khaezar yang ternyata sedikit absurd, Jinaya kembali fokus dengan lembar di tangannya. Hingga kemudian matanya fokus pada paw di bagian tengah. Penghuni dua, dengan nama terang Buldog.

"Penghuni dua ini siapa?" Tanya Jinaya dengan dahi berkerut.

"Buldog."

Mata Jinaya mendelik lebar. Ia terkejut. Di apartemen kecil ini Khaezar pelihara anjing jenis bulldog?! Yang benar saja! Kalau Jinaya di gigit siapa yang tanggung jawab?!

"Lo punya anjing buldog?!" Tanya Jinaya dengan tidak santai.

"Meong meong." Panggil Khaezar.

"Sejak kapan bulldog suaranya meong?" Jinaya terheran-heran dengan tingkah laku Khaezar. Baru kali ini ia melihat sisi lain dari Khaezar, yang menurut Jinaya lebih baik dipendam saja sisi yang satu ini.

Beberapa saat kemudian suara kerincing terdengar dari kamar Khaezar yang pintunya terbuka. Hewan kecil berbulu putih dengan tubuh gemuk itu berjalan dengan ekor yang mengacung ke atas, nampak antusias menghampiri tuannya yang memanggil.

"Moww," kucing itu menggelayutkan kepalanya pada kaki Khaezar.

"Ini penghuni kedua. Panggilannya buldog. Nama panjangnya Buldogser."

Demi Tuhan! Jinaya baru tau kalau otak Khaezar termasuk dalam golongan manusia kurang waras! Nama apaan itu?! Hewan lucu dan menggemaskan ini kenapa diberi nama buldogser?!

"Cepet tanda tangan. Gue nggak mau kehadiran lo disini mengganggu gue." Tutur Khaezar sembari melangkahkan kaki ke arah balkon apartemen, meninggalkan Jinaya yang masih terkejut dengan sisi lain dari seorang Khaezar.

****


 

***
BUGH!
BRAK!
DUGH!

"What the fuck! Itu cewek lagi ngapain sih?!" Umpat Khaezar, ketika hari-harinya yang biasanya tenang berubah menjadi hancur karena terganggu dengan suara yang berasal dari dalam kamar Jinaya.

Bahkan Buldog pun turut nampak terganggu dengan suara itu. Lihat saja, kucing kecil itu ikut menggeram karena kegiatan tuannya yang sedang mengelus bulu lembutnya terganggu.

"Tunggu sini," perintah Khaezar kepada Buldog. Ia akan mengecek apa yang sedang Jinaya lakukan saat ini.

DUGH!

"Awhhh!" Ringisan suara Jinaya terdengar sampai keluar kamar. Refleks Khaezar langsung membuka pintu kamar Jinaya yang ternyata tidak di kunci dari dalam.

"Lo lagi ngapin sih?! Bisa tenang?!" Sentak Khaezar langsung. Ia benar-benar kesal sekarang. Belum ada sehari Jinaya sudah berhasil mengacaukan harinya dengan sempurna.

Jinaya tak menggubris Khaezar. Ia meringis kesakitan memegangi jari kelingking kakinya yang tidak sengaja tersandung pinggiran kursi.

"Sakit," mata Jinaya sudah berkaca-kaca. Rasanya benar-benar ngilu, ditambah di depannya ada wajah menyeramkan dari Khaezar yang seolah siap menerkamnya dalam sekali ‘hap’.

"Shhh," Jinaya menahan air matanya agar tidak jatuh.

Kenapa tinggal disini terlihat begitu mengerikan?! Seolah-olah Jinaya tidak boleh bersuara. Jinaya benar-benar takut sekarang.

Sedangkan Khaezar yang melihat hal itu langsung melunakkan raut wajahnya yang semula mengeras. Ia merasa kasihan dengan ekspresi kesakitan yang ditunjukkan oleh Jinaya saat ini.

"Kenapa?" Tanya Khaezar.

"Kesandung pinggiran kursi."

"Kukunya copot?" Tanya Khaezar, memastikan.

Jinaya seketika tidak jadi menangis. Matanya yang berkaca-kaca langsung melotot ke Khaezar yang kembali menampilkan ekspresi semula. Template wajah datar dan bodo amat pria itu.

"Amit amit! Kalo ngomong jangan asal dong!" Cetus Jinaya sembari bangun dari posisi jongkoknya. Dengan tertatih ia berjalan menuju ranjang. Lalu mengangkat kakinya. Benar saja, kelingkingnya memerah.

"Lo ngapain sih?" Khaezar memilih masuk ke dalam kamar Jinaya, menatap kelingking gadis itu. "Gitu doang nangis." Seloroh Khaezar asal, yang sontak membuat Jinaya kesal setengah mati.

"A-apa lo bilang?!” Seru Jinaya.

"Lo ngapain, tadi?" Tanya Khaezar, tak mau meladeni perkataan Jinaya.

"Beres beres baju, terus mau dorong koper ke atas lemari." Jinaya mendongak, menatap tingginya lemari yang tadi berusaha ia gapai.

Khaezar mendengkus. Ia mendorong mundur dahi Jinaya dengan telunjuknya. "Gadis bodoh. Lemari setinggi itu, emang lo sampek?" Sindirnya.

Jinaya mengerucutkan bibirnya. Ia tau kalo pendek. TAPI JANGAN JUJUR BANGET DONG!

"Ck! Belom ada sehari juga udah ngrepotin gue banget lo!" Cetus Khaezar, yang membuat Jinaya merasa sedih dan langsung terdiam.

"Lo keluar aja deh kak, gue bisa sendiri kok." Jinaya mengusir Khaezar dengan suara lesunya.

"Lo ngusir gue?" Sarkas Khaezar.

Satu lagi yang Jinaya tau, Khaezar benar-benar bawel! Berbeda 180 derajat dengan sosoknya ketika di kampus. Bahkan pria itu lebih bawel daripada Aca!

"Maksudnya keluar dari kamar ini." Ralat Jinaya dengan kesal.

Bukannya keluar, pria itu malah duduk bersila di dekat koper Jinaya yang terbuka, "Ini koper masih ada barang-barang lo. Gue bantuin." Kata Khaezar tiba-tiba, membuat Jinaya terkejut.

Bukannya apa, ini manusia yang katanya kalo ada orang pingsan di sebelahnya nggak bakal ditolong juga, eh tapi malah mau bantuin dia masukin barang barang ke dalam lemari?! Serius?!

"Eh? Gak usah, biar gue aja," tolak Jinaya dengan lembut.

"Diem." Ketus Khaezar, yang berhasil membungkam Jinaya.

"Lo kok baik sih, ternyata?— gue jadi sungkan mau umbar aib lo di menfess kampus," tentunya kalimat terakhir itu Jinaya ungkapkan dalam hati.

"Emang gue harusnya gimana?" Tangan Khaezar sudah bergerak mengeluarkan berbagai alat make up milik Jinaya yang kebetulan berada di posisi paling atas koper.

"Ini taruh mana?" Tanya Khaezar.

"Itu, rak itu." Jinaya menunjuk deretan rak kecil yang berada di atas meja rias. Kebetulan beberapa perabot yang ada di kamar ini adalah milik Aca, yang sengaja Aca taruh disini. Dan Aca mempersilahkan Jinaya untuk menggunakan perabot tersebut.

Khaezar nampak serius menaruh alat make up miliknya ke dalam rak bersekat itu. Lipstik dengan lipstik, begitu pula yang lainnya. Sedangkan Jinaya asik mengamati punggung Khaezar yang sibuk sendiri, bahkan Jinaya sampai tidak sadar ketika Khaezar memegang pakaian dalam Jinaya dengan begitu santai.

"Ini daleman lo, taruh mana?"

"SI-SINI!" Wajah Jinaya seketika memerah, ketika Khaezar memegang bra-nya. Khaezar yang melihat respon Jinaya seperti itu pun hanya menyunggingkan senyum miring. Sedangkan Jinaya langsung enggan menatap Khaezar.

"Wow, this one looks interesting in my eyes." Khaezar berkata sembari mengambil salah satu dalaman yang paling mencolok di antara yang lain.

"Lo ngomong apa?" Jinaya takut salah dengar. Jadi ia minta Khaezar mengulang.

"Ini," Khaezar mengangkat bra yang tadi ia bilang menarik. "Keliatan paling menarik di mata gue." Mata Khaezar perlahan turun menatap ke dada Jinaya. Satu kekehan meluncur dengan enteng di bibirnya.

"Kelihatannya besar juga? Di tangan gue kegedean soalnya."

"SINTING LO! KELUAR DARI KAMAR GUE, KHAEZARR!" Teriak Jinaya.

Cewek GAWL 😎

Aca
Gimana? Udah selesai beresin kamar? @you

Serana
Itu beneran ya si Jin Jin tinggal sama kak Khae? 🙊

Aca
Beneran kok

Gabriela
Jin beneran bakal aman kan sama kak Khae? Gue takut banget...

Aca
Tenang.. sepupu Aca gay kok! Jinaya pasti aman sama Khae 😉👍🏻

Jinaya
AMAN AMAN MBAH MU!
BARU SEHARI AJA UDAH KETAR KETIR GUE, ACAAA!!


 

Part 3

Cewe GAWL 😎

Jinaya
Ca, ini apartemen lo pernah ada bekas pembunuhan apa gimana ya?

Aca
Pembunuhan? Enggak kok Jin 😨😨

Jinaya
Serius? Sebelum lo beli ada yang nempatin nggak?

Serana
Kenapa emang?

Jinaya
Ini jam 11 malem dan ada bunyi duk duk duk!

Gabriela
Kak Khae kali
Apa-apa mistis. Kebanyakan nonton horor indo lo

Aca
Seriussan?! 😰😰 kok Aca jadi takut ya

Serana
🙄 Si Jinaya kali yang harusnya takut, Ca

Gabriela
Tanya si Kak Khae dulu coba, dia lagi ngapain

Jinaya membaca chat terakhir dari grub WhatsApp Cewek GAWL yang berisi tiga sahabatnya. Aca— sahabat yang membuatnya terjebak satu apartemen dengan Khaezar. Serana— gadis paling bawel dan cerewet diantara yang lain. Dan Gabriela— paling pinter dan pendiam diantara yang lain. Dan diantara semua jawaban, hanya milik Gabriela yang masuk di akal.

DUGH!

Jinaya menoleh ke arah jendela kamar, ketika bunyi itu semakin terdengar jelas. "Aduh, belum ada dua puluh empat jam tinggal disini, kenapa udah ada kejadian horor sih!" Gerutu Jinaya dengan jantung deg-deg an.

Jinaya tidak berani beranjak dari kasurnya. Tubuhnya tertutup selimut dari atas sampai bawah dengan ponsel yang berada di genggamannya. Lagipula kelingkingnya masih sakit karena tersandung kursi tadi.

"Apa gue chat kak Khaezar aja? Tapi keliatan gak tau malu banget deh gue. Tadi habis ngusir, sekarang nyuruh kesini." Ringis Jinaya.

DUGH! DUGH! DUGH!

Lagi, suara dentuman itu berhasil membuat seluruh bulu kuduk Jinaya merinding. Jinaya mengeratkan cekalan pada ponselnya, sebelum kemudian memantapkan diri untuk menghubungi Khaezar. "Kali ini aja Jinaya, turunin ego lo. Daripada lo di bawa setan!" Gumamnya.

Mungkin bisa dibilang ini pertama kalinya Jinaya mendapat pengalaman horor seperti ini. Ia tidak habis pikir, malam pertama di apartemen barunya tiba tiba berubah menjadi horor. Jinaya mencari kontak nama Khaezar yang ia dapatkan dari Aca tepat setelah gadis itu kabur meninggalkan Jinaya berdua dengan Khaezar di lorong apartemen tadi.

Cowok kamar sebelah

Jinaya
P
Tolong ya jangan berisik
Udah malem

Sembari menunggu balasan dari Khaezar, Jinaya merapal doa dalam hati.

Ting!

Satu notifikasi masuk membuat Jinaya langsung bergerak cepat membukanya. Demi apapun itu, Jinaya berharap Khaezar akan menjawab, iya maaf udah ganggu lo. Tapi nyatanya, jawaban Khaezar berhasil membuat seluruh bulu kuduk Jinaya kian merinding untuk yang kesekian kali. Keringat dingin otomatis keluar dari dahinya.

Cowok kamar sebelah 
Gue?

Jinaya
BUKAN!
Ya lo lah!
Emang siapa lagi yang ada di apartemen ini selain kita 🙂

Cowok kamar sebelah 
Gue dari tadi main hp
Kagak berisik

Jinaya
Lah?! Serius?!
Terus yang dari tadi bunyi duk duk itu siapa dong?!

Cowok kamar sebelah 
Penunggu apartemen kali
Ngajak lo kenalan

Tubuh Jinaya kembali membeku saat ia mendengar suara itu lagi. Gila! Ini beneran hantu!

Jinaya
LO DENGER NGGAK?!
PLIS YA INI MAH! BILANG AJA LO DENGER

Cowok kamar sebelah 
Sayangnya gue enggak denger

Jinaya
Bunyi sekencang ini lo nggak denger?
Gak lagi congek kan kuping lo?

Cowok kamar sebelah 
Gue nggak denger apa-apa Jinaya
Udah di bilangin, penunggu apartemen ngajak lo kenalan

Jinaya
KAK KHAEZARR! Diemmm!

Cowok kamar sebelah 
Kenapa? Takut?
Mau tidur di kamar gue?

Jinaya
NGGAK USAH MODUS!
GUE TINGGAL DISINI JUGA KEPAKSA!
GUE NGGAK TAKUT SAMA HANTU!

Cowok kamar sebelah 
Yaudah
Padal gue bisa peluk lo kalo ketakutan
A hug can calm you down, Jinaya

Jinaya
Mending di peluk setan gak sih? Dari pada di peluk lo.

"AAAA!!!!"

Tak berselang lama dari Jinaya mengirim pesan tersebut, sebuah tangan memegang kaki kanannya. Hal itu sontak membuat Jinaya berteriak histeris. "PERGI LO SETAN! PERG!" Teriaknya dengan tubuh gemetar akibat ketakutan.

"Hey, Jinaya. Ini gue." Khaezar menghalau serangan Jinaya yang berusaha menendang dirinya.

Mendengar suara berat Khaezar, Jinaya langsung menurunkan selimut dan membuka satu matanya yang terpejam untuk mengintip dan memastikan apakah itu benar Khaezar.

Oke! Ternyata benar.

Kakinya napak ke atas tanah, matanya nggak putih semua dan tentunya wajah lempeng Khaezar semakin mendukung spekulasi Jinaya bahwa itu benar-benar Khaezar.

"Suara apa?" Tanya Khaezar.

Bukannya menjawab, Jinaya malah memicingkan matanya sinis, "Lo kok bisa masuk kamar gue?"

Sebenarnya Khaezar ingin tertawa melihat wajah sok sinis Jinaya. Wajah imut gadis itu tidak pantas dibuat sinis. "Nggak dikunci."

"Kenapa nggak ketok dulu?" Tuding Jinaya ketus.

"Udah, lo diem aja, tapi bales chat gue."

"Kenapa—"

"Berhenti tanya kenapa dan kasih tau gue dimana asal suaranya." Khaezar berkata sembari menyingkap selimut yang membalut tubuh Jinaya.

"Disana! Jendela!" Telunjuk Jinaya menunjuk ke sumber suara.

Sebenarnya ia tidak tau pasti letak sumber suara itu. Tapi intinya Jinaya denger dari sana! Khaezar langsung berjalan menghampiri jendela. Ia menyingkap tirai dan tidak menemukan apapun disana.

"Meoww!"

Tiba-tiba Buldog keluar dari balik meja kecil yang terletak tepat di samping jendela. Khaezar menyunggingkan senyum kecil, melihat Buldog keluar dari tempat persembunyiannya.

"Gue cariin." Gumam Khaezar. "Kamu usilin Jinaya? Hm?" Khaezar mengangkat tubuh Buldog, menyamaratakan wajahnya dengan Buldog yang malah asik menjilati paw dan tak merespons pertanyaan Khaezar. "Ini pelakunya." Khaezar menunjuk Buldog.

Jinaya membeku di tempat. Otaknya buntu. Dia tidak dapat berkata kata. Bahkan saking takutnya ia sampai ingin kencing di tempat. Dan ternyata pelakunya adalah kucing kecil yang menggemaskan itu.

"Tidur yang nyenyak Jinaya. Hantu apartemen udah gue amanin." Cibir Khaezar meninggalkan Jinaya yang wajahnya sudah memerah karena malu.

"Ish! Mau ditaruh mana muka gue habis ini sih!" Rutuknya pada diri sendiri.

Part 4

"Bodoh Jinaya! Ini udah jam setengah delapan dan lo, baru bangun!" Jinaya merutuki dirinya sendiri karena telat bangun tidur. Gara-gara kejadian semalam, dirinya jadi telat tidur, dan bangun kesiangan. Sungguh, kucing lucu itu harus jauh-jauh dari Jinaya, supaya dirinya tidak kena sial!

"Aduh! Ini mana sih!" Jinaya mencari alat mandinya di dalam koper yang tidak kunjung ketemu. "Kok cuman sikat?! Sampo sabunnya mana ish! Ayolah!" Jinaya merengek, ketika ia mengobrak-abrik mejanya namun tak menemukan alat mandinya.

"Ish! Bodoh! Kan kak Khaezar pasti ada shampo sama sabun, Jinaya." gumam Jinaya. Akhirnya Jinaya keluar dari kamar mandi hanya dengan membawa sikat gigi beserta odol. Ia akan meminta sabun dan shampo Khaezar sedikit saja.

Masuk di kamar mandi, Jinaya segera meloloskan pakaian dan menyalakan shower. Air langsung membasahi rambut dan badannya. Setelah dirasa cukup basah, Jinaya meraba rak yang tergantung di sudut ruangan. Tangannya mengambil asal botol shampo yang ada disana. Ia menuang shampo itu ke tangan sebelum mengusapkannya ke rambut.

Begitu pula dengan sabun yang ia gunakan untuk membersihkan badannya. Dengan cepat semua Jinaya lakukan, mengingat jam yang sudah mepet. Setelah selesai, ia lanjut menggosok gigi dan meninggalkan odol beserta sikat gigi di wastafel kamar mandi. Sepertinya Aca sengaja menyiapkan gelas berwarna pink untuknya. Dan gelas berwarna hitam, yang tentunya milik Khaezar.

Setelah mengenakan bathrobe, Jinaya keluar dari kamar mandi. Ia melihat punggung Khaezar yang sibuk berkutat di dapur.

"Tunggu."

"Eh?" Jinaya menoleh ke belakang, ketika Khaezar menginterupsi. Pria itu menatapnya dari atas ke bawah, seperti memindai sesuatu.

"Kenapa, kak?" Tanya Jinaya keheranan.

"Lo— keramas?" Tanya pria itu.

Jinaya mengangguk. Memang kenapa kalau Jinaya keramas?

Mata Khaezar yang menyipit, refleks membuat Jinaya memundurkan langkahnya dengan bibir meringis. Apa Khaezar itu cowok pelit ya? Bahkan sepertinya pria itu merasa keberatan karena Jinaya sudah memakai shampo dan sabun cairnya meskipun cuman seiprit!

"Yang lo pake shampo dan sabun punya buldog. Bukan punya gue." Ujar Khaezar santai, sebelum kembali membalik badan, kembali fokus dengan kegiatannya.

Dan sekarang Jinaya yang dibuat melongo akan hal tersebut. Demi Tuhan! Jinaya tidak akan memaafkan buldog jika sesuatu terjadi pada rambut dan kulit di tubuhnya!

***

Dengan nafas ngos-ngosan Jinaya menghampiri barisan kelompok mahasiswa baru fakultasnya yang berada di tengah lapangan. Ya, dia masih dalam masa orientasi. Minggu lalu masa orientasi universitas sudah selesai dan sekarang giliran masa orientasi dari fakultasnya, Ilmu Komunikasi.

Bisa dibayangkan bukan seberantakan apa kehidupan Jinaya, jika Aca tidak memungutnya dan mengizinkannya tinggal di apartemen milik perempuan itu, meskipun harus bernafas satu ruangan bersama Khaezar Haga yang juga tinggal di unit apartemen tersebut. 

"Lo telat. Kemana aja?" Serana yang berada di sebelahnya berbisik.

Serana ini teman masa SMP Jinaya, yang pada akhirnya masuk satu universitas dan jurusan yang sama dengannya. Bocahnya begitu barbar, sasimo alias sana sini mau dan ratunya gosip.

"Gara-gara hantu kemarin, gue jadi telat." Keluh Jinaya dengan lesu.

"Sera, diem. Lo di liatin kating dari tadi." Tegur Gabriela, yang berada tepat di belakang Serana.

Yang satu lagi Gabriela, kerap disapa Gaby, gadis paling waras dan pintar di antara mereka semua. Gabriela juga merupakan satu-satunya gadis yang berstatus "milik orang lain" diantara mereka.

"Apa sih, Geb?" Decak Serana kesal. Sedangkan Aca, gadis itu dalam posisi siap dengan pandangan lurus ke depan. Tidak biasanya Aca begitu rajin.

"Aca," panggil Jinaya.

"Apa, Ay?" Kepala Aca tak menoleh sama sekali. Padahal biasanya Aca akan langsung berteriak heboh ketika sahabatnya datang.

"Gue tadi keramas pakek shampo kucing, sabunnya punya kucing juga. Kira-kira gue bakal berubah jadi kucing nggak ya?" Adu Jinaya dengan suara lemasnya.

Mata Aca sudah melotot lebar, kepalanya menoleh pelan, menatap Jinaya yang menunduk lesu.

"APA?!" Pekik Aca, di tengah barisan anak anak ilkom, yang sialnya berhasil mengundang atensi para manusia yang berada di lapangan untuk menoleh ke arah mereka secara bersamaan.

***

Khaezar masuk ke dalam kelas yang masih sepi. Seperti biasa, dia selalu sendiri. Hoodie hitam dengan topi hitam menjadi pakaian andalannya, membuat semua orang dengan mudah menandai bahwa dia adalah Khaezar, si paling ansos.

Khaezar melepas dua AirPods yang menyumpal telinganya. Ia menarik tudung hoodie yang dikenakannya hingga lepas dari kepala, sebelum melepas topi yang dikenakannya dan ditaruh ke atas meja.

"Khae, kita kurang satu orang buat tanding basket sama anak FBE. Lo ikut ya!"

Sebuah permintaan yang ditujukan untuknya langsung membuat kepala Khaezar menoleh. Jaleo, pria yang kerap disapa Jale itu adalah pria paling dekat dengannya diantara semua orang di kelas ini. Selain itu ada juga Ejan, lelaki yang kini asik mengobrol dengan beberapa perempuan di depan kelas.

"Apaan?" Tanya Khaezar setelah menaruh tasnya di atas lantai.

"Basket elah. Mayan, lo bisa cari cewek di sana. Biar gosip kalo lo homo ilang." Tambah Jaleo, diakhiri dengan kekehan.

"Bangke!" Khaezar mengumpat. Setidaknya bersama mereka, dia masih bisa mengumpat dan tertawa.

Tak lama, Ejan datang menghampiri mereka. Ejan, Khaezar dan Jaleo kenal sejak masuk ke Universitas Therin. Mereka menjadi sahabat sejak semester satu di bangku perkuliahan.

"Jan, catet nama si Khae. Dia ikut." Jale bertutur.

Ejan yang awalnya sedang duduk santai sontak menoleh dengan raut kagetnya. "Ni anak bisa basket? Yakin lo Jal?"

"Yakin elah! Si Khae mah sering gitu. Kelitannya cupu, taunya suhu. Lo lupa? Dia bisa manjat pohon nyelametin kucing, padahal kita semua kagak ada yang berani.” Ejan tertawa setelahnya. "Bener juga ya. Gue jadi inget, dia berhasil nangkep ular di belakang sekolah, padahal ularnya lagi tidur."

"Terus aja nistain gue." Gumam Khaezar pelan.

Jale dan Ejan sontak tertawa bersamaan. Mereka menepuk punggung Khaezar beberapa kali. "Ngomong ngomong, gimana? Udah berhasil gebet cewek di kampus ini? Lo gak lupa kan, sisa waktu lo cuma dua bulan, buat dapetin cewek." Peringat Ejan tiba tiba.

"Kalo gagal, Buldog kawin sama kucing jantan gue!" Lanjut Ejan sambil menaik turunkan alisnya dengan tampang tengil khasnya.

Khaezar yang mendengar itu langsung menoleh sengit. Bisa-bisanya ia lupa dengan perjanjian sialan itu! Sebuah perjanjian yang ia sesali seumur hidup, karena harus membawa Buldog ke dalam lingkaran setan mereka.

"Entar lo kalo keliatan keren pas main basket juga cewek bakal dateng Khae, tenang aja." Kata Jaleo.

"Yeee! Itu mah lo! Whatsapp lo noh, mirip asrama cewek tanpa pintu!" Sembur Ejan yang membuat Jaleo terkekeh.

"Iyalah, siapa dulu? Jale!" Jaleo tertawa.

"Jale! Dipanggil Zeya!" Sebuah interupsi dari salah satu mahasiswa di kelas membuat Jaleo langsung berdiri. "Oit! Suruh tunggu!" Pekik Jaleo, lalu menoleh kepada Khaezar dan Ejan. "Bentar bro, cewek gue lagi butuh gue!"

"Lo nggak kelas?" Tanya Khaezar.

"Kagak. Nemenin cewek gue lebih asik." Jawab Jaleo sembari melenggang santai keluar kelas.

Setelah tubuh Jaleo hilang dari pandangan Khaezar, pria itu menunduk, menatap meja kosong di depannya. Kini, otak Khaezar mulai menyusun rencana. Siapa gadis yang mau berkencan dengannya, apalagi dengan rumornya sebagai cowok gay?!

"Lo tau nggak? Di lapangan kampus ada empat cewek yang di jemur sambil misuh-misuh." Salah satu mahasiswi di kelasnya berujar.

"Hah? Serius lo?!" Balas yang lain.

Mahasiswi itu mengangguk yakin. "Yang misuh misuh namanya Serana, terus yang berdiri sambil nangis ini namanya Aca, kalo yang wajahnya lesu terus tasnya rame banget ini Jinaya—"

Khaezar tak mendengar apapun lagi setelah nama Jinaya disebutkan, karena yang jelas otaknya menuju ke satu nama dengan sebuah tujuan.

Itu dia! Jinaya, let's make you fall in love with Khaezar fucking Haga.

***

Cowo kamar sebelah
Pulang sama siapa lo?

Jinaya
?

Cowo kamar sebelah
Mau bareng gue?!

Jinaya
Kenapa harus ada tanda pentung!

Cowo kamar sebelah
Tandanya gak ada penolakan

Jinaya dibuat tertegun dengan kelakuan Khaezar. Ada gerangan apa sampai pria ini mau mengajaknya pulang bersama?

Cowo kamar sebelah
Gak usah geer

Disuruh Aca

Mulut Jinaya membulat. Oohh.. disuruh Aca.. batinnya.

Kepala Jinaya menoleh ke samping, menatap Aca yang asik menonton anime di ponselnya. Tidak Jinaya sangka, gadis polos dan bertingkah manja itulah yang paling perhatian dengannya. Sedangkan di apartemen, Khaezar menaruh ponselnya di atas meja ruang tengah. Ia bersandar nyaman pada sandaran sofa dengan ekspresi tenang.

"Semua demi Buldog." Khaezar menunduk, menatap Buldog yang tertidur nyaman di pahanya.

Semoga saja peraturan nomor lima, dilarang jatuh cinta, Khaezar tidak melanggarnya.

Part 5

Hari kedua bernafas di apartemen yang sama dengan Khaezar, Jinaya sudah diberi pemandangan Khaezar yang memasak dengan tubuh polosan. Sepertinya apa kata Aca kalau harusnya Khaezar yang berhati-hati itu lebih tepat. Karena tangan Jinaya gatal untuk mengelus-elus perut kotak-kotak itu!

Serius demi apapun! Ini tuh mirip banget sama cowok-cowok idaman Jinaya di webtoon! Tubuh kotak-kotak dengan otot kekar. Nikahin Khaezar gak rugi-rugi amat deh kayaknya, kalo ngeliat bentukan Khaezar yang begini, ya meskipunn katanya gay.

Cewek GAWL 😀

Jinaya

Ini hobinya emang ote-ote gini ya?

Ini hobinya emang ote-ote gini ya?

Aca
Khae nggak pake baju 😱

Serana
Di makan dong Jin, jangan di biarin aja 😣

Jinaya
Tapi cowoknya nggak doyan cewe ☹️

Gabriela
Rumor doang
Kelitan normal kok

Aca
Whoaaa, Gabriela percaya Khae normal?

Gabriela
Just my feeling. Hati hati aja lo Jin.

Jinaya langsung meletakkan ponselnya di atas paha. Ia jadi memikirkan ucapan Gaby yang mengatakan kalau sepertinya Khaezar itu normal. Sebenarnya Khaezar itu kelihatan normal, kalau seandainya rumor bahwa dia kepergok beberapa kali keluar dari kamar hotel bersama seorang pria itu di tepis. Ya seharusnya itu wajar, tapi yang tidak wajar ketika pria itu tidak menyangkal rumor tersebut. Dan seolah semua yang dikatakan di base Twitter kampus itu benar.

Dering dari ponsel Khaezar yang tergeletak di dekat meja tv membuat pria itu menoleh. Refleks tangannya mematikan kompor, lalu berjalan melewati Jinaya begitu saja, untuk mengambil ponselnya. Khaezar melirik Jinaya yang memandangnya tanpa henti.

"Lo bisa masak?" Tanya Khaezar.

Secara otomatis kepala Jinaya mengangguk.

"Lanjutin masak, gue angkat telfon dulu." Perintahnya dengan suara tegas, yang seketika berhasil menyihir sosok Jinaya untuk langsung bergerak.

Melihat nama yang tertera pada ponsel, Khaezar memilih untuk mengangkatnya di balkon apartemen. Khaezar menutup balkon pintu setelah mengambil rokok dan juga korek api terlebih dahulu. Sebelum benar-benar menggeser tombol hijau, Khaezar menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mendengarkan pembicaraan keduanya.

"Halo," sapa Khaezar.

"Aman?" Tanya seseorang di seberang sana.

"Aman." Balas Khaezar. Ia mengapit ponsel di telinga kanan dan bahu kanannya, tangannya bergerak mengambil sepuntung rokok dan juga korek.

"Dia berulah lagi. Kasih gue misi gila. Gue nggak bisa Khae." Suara wanita di seberang sana membuat Khaezar menghisap asap rokok dalam-dalam. "Dia Papi lo!"

"He is not my father." Suara Khaezar terdengar dalam.

"Mau sampek kapan lo ngelak? Dia tetep Papi lo. Dan gue udah muak buat nurutin semua kemauan dia." Suara wanita di seberang sana terdengar begitu emosi, membuat Khaezar menghisap rokoknya semakin dalam.

"Dia nggak di Indonesia, kan?" Tanya Khaezar, memastikan.

"Dia masih di negaranya. Dan gue harap, lo masih waras untuk enggak campur tangan seperti gue."

"Pastinya." Ucap Khaezar dengan yakin.

"Kabar lo gimana?" Tanya wanita disana, setelah terdiam beberapa saat.

"Baik, sangat baik." Jawab Khaezar, sembari memutar tubuh, menatap ke arah Jinaya yang melanjutkan masakannya. "Lucu," gumam Khaezar, dengan senyum simpul.

"Siapa? Gue." Suara di seberang sana menyahut.

"Bukan. Tapi si polos yang bakal gue jadiin mainan," kekeh Khaezar, sembari menelengkan kepala, menatap seluruh gerak gerik Jinaya hingga wanita di balik telponnya berdecih dan mematikan sambungan teleponnya.

Setelah mengakhiri telepon, Khaezar kembali masuk ke dalam apartemen. Dia meletakkan ponsel di atas meja dan masuk ke dalam kamar untuk mengambil baju.

"Kak—"

"Khaezar." Tekan Khaezar, ketika Jinaya kembali memanggilnya dengan sebutan kak.

"Sorry sorry, tapi lo keliatan lebih tua banget, jadi gak enak." Ujar Jinaya dengan jujur.

Tubuh Khaezar membeku. Dia menatap Jinaya yang mengatakan hal itu tanpa beban sedikitpun. Tunggu, apa katanya? 'Lo keliatan tua banget'
LO KELIATAN TUA BANGET. Demi Tuhan! Ini pertama kalinya Khaezar dibilang tua, ditambah kata banget di belakangnya!

"Lo lihat rambut gue." Tekan Khaezar, tatapannya mengintimidasi Jinaya yang sudah duduk manis di seberangnya. Jinaya mengangguk. Menatap lekat pada rambut Khaezar yang hari ini nampak dibiarkan acak-acak an. Hingga hampir dua menit lamanya Jinaya menatap rambut Khaezar lekat, namun tidak terjadi apapun.

"Mata gue udah panas nih, kapan ya disuruh berhenti liatin rambutnya?" Seru gadis itu sembari berusaha tetap fokus pada rambut Khaezar.

"Sampe lo nemu uban di rambut gue. Baru lo boleh liat yang lain!" Titah Khaezar, sembari memakan makanannya dengan lahap.

***

Jinaya memperhatikan lekat satu pigura yang berdiri di atas kulkas. Kemaren dia tidak sempat room tour di apartemen mini yang terdiri dari dua kamar bersebelahan, satu kamar mandi di dekat pintu masuk, dapur kecil yang berhadapan dengan ruang tengah yang berisi sofa dan televisi, serta balkon.

Terdapat tiga laki-laki yang saling merangkul berada di dalam frame tersebut. Dua diantara mereka tersenyum lebar. Sedangkan yang satu hanya menampilkan wajah datar. Siapa lagi kalau bukan Khaezar.

Tapi bukan itu masalahnya. Jinaya kenal betul dengan sosok yang tersenyum lebar dengan lesung pipit manisnya. Kak Jale, mantan pacarnya yang bisa dibilang putus dengan tidak baik-baik saja. Atau lebih tepatnya, Jinaya di selingkuhi dan bodohnya Jinaya yang belum bisa move on.

"Ngeliatin mantan sampek gitu amat?" Sindir Khaezar, ketika lewat di belakang tubuh Jinaya, mengagetkan gadis itu.

"Eh?" Jinaya kaget bukan main, ketika Khaezar mengetahui fakta tersebut.

Pria itu terlihat begitu santai dengan fakta itu. Ia menyandarkan bagian tubuh bawahnya ke meja dapur sambil meneguk air putih.

"Kok kak Khaezar tau?" Jinaya memicing curiga pada pria itu.

Khaezar sudah tidak peduli, gadis itu mau memanggilnya kak, mas, abang, atau akang sekalipun. Daripada dia pusing sendiri mendengar jawaban yang keluar dari mulut gadis itu. "Gue rasa satu angkatan juga udah tau lo mantan Jale, yang nggak bisa move on." Ledek Khaezar.

Tunggu, kenapa rumor ini bisa menyebar?! Siapa yang membocorkannya?!





 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Love Letters 6-8
25
0
Part revisi versi novel 6-8
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan