
Kisah hidupku, menikah karena dijodohkan, demi membayar hutang.
"Sani tidak bisa, Pak, Bu. Sani masih ingin menyelesaikan kuliah Sani," ucapku menolak permintaan bapak dan ibuku untuk menikah dengan orang pilihan mereka.
Namaku Sanila Rafa, anak pertama dari keluarga sederhana. Orang tuaku bekerja sebagai petani dengan penghasilan yang pas-pasan. Ladang yang mereka garap juga milik orang, bukan milik pribadi, mereka hanya bekerja untuk orang.
Aku masih kuliah semester 6 dan masih berusia 21 tahun.
Umur yang kurasa kurang bagiku untuk menjalin hubungan rumah tangga.
Selama ini pun aku tidak pernah bermimpi untuk menikah muda.
Impianku adalah lulus kuliah tepat waktu dan mencari pengalaman kerja terlebih dahulu.
Bahkan aku ingin memiliki gaji yang cukup sebelum akhirnya aku dipinang orang.
Atau setidaknya aku ingin mencari pengalaman kerja terlebih dahulu sebelum sibuk menjadi ibu rumah tangga.
Aku sendiri tidak pernah pacaran karena didikan orang tuaku.
Orang tuaku memang memberikan ilmu pengetahuan agama yang cukup untukku.
Itu sebabnya aku memilih untuk tidak menjalin hubungan yang dilarang di agamaku.
Dari dulu, aku sudah mempersiapkan diri untuk menikah dengan laki-laki pilihan orang tuaku.
Tentu saja karena aku tidak pernah pacaran dan aku ingin berbakti kepada orang tuaku.
Namun bukan berarti aku bisa menikah sekarang, saat aku masih sibuk mengurusi kuliahku.
"Kamu kan sudah semester 6, sebentar lagi juga lulus. Nggak ada salahnya kamu menikah sekarang, nak," ucap ibu dengan penuh kasih sayang.
"Tapi Bu, kenapa harus mendadak seperti ini? Sani nggak akan menolak kalau Sani sudah lulus nanti. Tapi kenapa harus sekarang?" ucapku dengan sedikit gemetar, aku masih tidak percaya kalau di usiaku yang masih 21 tahun ini harus menjalani pernikahan. Apalagi itu karena perjodohan.
"Ayah kamu punya hutang kepada Bapak Bima. Pemilik kebun yang ayahmu kelola selama ini," ucap ibu pelan.
"Apa aku dijual karena hutang bapak itu?" tanyaku, aku ingin sekali menangis saat ini juga mendengar kalimat ibu barusan. Aku sadar, perjodohan ini karena tuntutan hutang, bukan karena ada alasan yang lebih bisa aku terima dengan hati senang.
"Ayah kamu berhutang untuk operasi Sena. Bapak Bima bilang kalau kami tidak perlu membayar dengan uang, namun dengan janji. Janji menikahkan kamu dengan anak Pak Bima," jawab ibu yang semakin mengoyak hatiku.
Sena adalah adik kandungku yang masih duduk di bangku SD. Ya, Sani dan Sena, kakak beradik yang memiliki nama yang mirip, tapi dengan nasib yang sangat berbeda.
3 tahun lalu Sena mengalami kecelakaan yang membuatnya harus dioperasi.
Biaya rumah sakit yang begitu besar mengharuskan bapak untuk meminjam uang kepada bosnya, Pak Bima.
Aku tahu betul kalau saat itu bapak tidak punya pilihan lain.
Hanya Bapak Bima yang mampu membantu keluarga kami.
Namun aku tidak menyangka kalau bapak menjanjikan aku akan menikah dengan anak bosnya.
"Bapak Bima kemarin datang kesini, menagih janji bapakmu," ucap ibu, kulihat dari tadi bapak hanya terdiam setelah memintaku menikah dengan anak bosnya.
"Bapak Bima juga akan membiayai operasi Sena lagi biar Sena bisa berjalan lagi tanpa harus memakai tongkat. Asalkan kamu mau menikah dengan anaknya sekarang."
Ibu menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tahu ibu tak punya pilihan lain selain memintaku menikah dengan anak bosnya bapak.
Dengan begitu hutang keluarga kami juga lunas, serta Sena juga dapat berjalan kembali layaknya orang normal.
Kecelakaan yang terjadi pada Sena membuatnya harus berjalan menggunakan tongkat.
Sebenarnya operasi bisa dilakukan untuk menyembuhkan Sena, hanya saja membutuhkan biaya yang tidak kecil.
"Apa nggak bisa menikahnya nunggu Sani lulus, Bu?" tanyaku ke ibu yang sudah tak mampu membendung air matanya.
Ibu tampak mengusap pipinya berkali-kali, membuatku tak tega melihatnya.
"Bapak Bima minta secepatnya, Nak. Beliau ingin segera menimang cucu," lanjut ibu di sela-sela tangisnya.
"Apa anaknya sudah tua, Bu?"
"Anaknya Bapak Bima berumur 30 tahun bulan ini. Namun karena anaknya sibuk bekerja, dia tak pernah memiliki waktu untuk memiliki kekasih. Itu sebabnya Pak Bima menjodohkannya, dengan kamu," papar ibu.
Aku terdiam, menatap kembali wajah bapak yang sudah keriput itu dengan wajahnya yang penuh sesal.
Aku menyadari kalau bapak juga tidak ingin memaksaku menikah. Namun bapak juga harus membayar janji yang sudah bapak berikan ke Pak Bima, bos bapak.
Aku merasa kasihan melihat kedua orang tuaku.
Namun aku juga ingin melihat adikku, Sena, berjalan lagi seperti orang normal.
Aku sudah sering melihat Sena yang malu karena kondisinya sekarang.
Tidak sedikit teman-temannya yang menggunjingnya sehingga dia pulang ke rumah dengan membawa air mata.
"Baiklah, Bu, Sani akan menikah dengan anaknya Pak Bima. Asalkan Sani masih bisa melanjutkan kuliah Sani," ucapku kepada ibu, kutatap wajah wanita yang sudah mengandungku dan membesarkanku itu.
Tampak hangat, kasih sayang yang ia berikan mampu membuatku menjadi wanita tangguh.
Kutatap pula wajah bapak, wajah orang yang rela bekerja siang dan malam demi untuk mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya.
Keputusan ini aku ambil bukan semata-mata aku adalah anak yang berbakti, hanya saja aku bukanlah orang yang memiliki pilihan lain yang bisa aku ambil.
Aku terima saja, apa pun yang terjadi, aku akan mencoba menghadapinya dengan lapang dada.
Aku sendiri bukanlah termasuk mahasiswa yang cerdas, sulit bagiku mencari beasiswa.
Namun aku memilih bekerja di rumah makan di dekat kampus demi mencukupi kebutuhanku sehari-hari.
Sehingga orang tuaku hanya perlu membayar biaya kuliahku saja, sedikit membantu tentu lebih baik.
"Terima kasih, Nak," ucap ibu dan ayah serentak, mereka berdua lalu memelukku dengan erat.
Kulirik Sena berdiri di balik pintu, tampak senyum dan air mata di wajahnya.
Semoga pilihanku ini tidak salah, semoga aku bisa meringankan beban bapak dan keluargaku.
***
Hingga tiba hari di mana aku harus melakukan ijab kabul.
Aku sudah memakai kebaya putih dan didandani oleh MUA yang dikirim Pak Bima ke rumah.
Acara pernikahanku hanya sederhana, hanya dihadiri oleh keluarga inti saja.
Aku meneteskan air mata, tak bisa kupungkiri hatiku terasa sakit karena perjodohan ini. Bukan karena memang sudah waktunya aku menikah, tapi karena hutang.
Hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, rasa sakit yang tak bisa kupendam.
"Mbak, jangan menangis lagi. Makeup-nya bisa luntur," ucap seorang yang sedang merias wajahku.
Aku tersenyum kepadanya, aku tak bermaksud menyusahkannya.
"Mbak Sani cantik, jangan menangis lagi," ucap Sena yang tiba-tiba muncul dari pintu, aku beranjak lalu memeluknya erat.
"Maafin Sena ya Mbak, karena Sena, Mbak jadi terpaksa menikah," ucap Sena yang menepuk punggungku pelan, aku semakin ingin menangis mendengar kata-katanya.
"Nggak, mbak ikhlas menikah. Doakan mbak ya, semoga keluarga yang hendak mbak bangun ini akan menjadi keluarga sakinah," ucapku, kulepas pelukanku lalu kutatap wajah adikku, Sena.
Hingga kemudian ibu memanggilku untuk keluar karena acara ijab kabul akan segera dilaksanakan.
Aku keluar dari kamar, melihat rumahku sudah dipenuhi banyak orang. Ya, walau tak sebanding dengan banyaknya orang yang hadir di acara pernikahan orang lain.
Orang-orang yang hadir hanya keluarga besarku dan mungkin sebagian lainnya adalah keluarga Pak Bima.
Aku menoleh pada sosok lelaki tampan yang duduk di depan meja.
Tampan? Ya, aku tak menampik hal itu.
Dialah calon suamiku, calon imam keluargaku.
Orang yang tak pernah aku temui, orang yang lebih tua 9 tahun dariku.
Orang itu masih tampak muda, tampan dan juga gagah. Lantas kenapa dia harus menikah dengan orang sepertiku?
Kenapa dia tak menikah dengan wanita yang satu level dengannya.
Aku hanya anak bawahan ayahnya, kenapa dia mau dijodohkan denganku?
Aku kemudian melangkahkan kakiku menuju ke tempat yang sudah disediakan.
Orang yang disebut sebagai calon suamiku bahkan tak menolehku barang sedetik.
Aku bertanya-tanya, apakah ia juga terpaksa menikahiku?
Sepertinya dia juga terpaksa dengan pernikahan ini. Aku dapat melihatnya dadi mimik wajahnya yang sama sekali tak menunjukkan rasa bahagianya.
Apakah pernikahan ini akan bertahan kalau kami saling tidak menginginkannya seperti ini?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
