Dear, Nona Penulis

0
0
Deskripsi

Hari-hari berlalu, dan dia mulai menyadari ada yang berbeda di hatinya jika ia menatap gadis yang menjadi salah satu penghuni rumah kos milik ibunya. 

Nava kembali masuk ke kamarnya dengan perasaan tak karuan. "Kenapa aku jadi serba salah begini? Dia tahu aku ketemu Raka begitu aja udah marah. Gimana kalo dia tahu Raka pernah cium aku?"

Malam itu, Nava memilih begadang hingga pagi menjelang, ia menulis banyak naskah. Gadis itu tak berencana bangun lebih cepat untuk lari pagi seperti biasanya karena percaya Emi masih marah padanya. Namun, Emi tetap membangunkan teman satu kosnya itu.

 

"Mbak, kamu nggak marah sama aku, kan? Aku minta maaf." Emi menggedor pintu kamar Nava beberapa kali. Tak ada sahutan karena pemilik kamar memang sedang tidur pulas.

Namun, Emi tak menyerah begitu saja dan terus menggedor pintu kamar itu hingga ada sahutan dari dalam.

Nava membuka pintu kamarnya dengan mata yang sulit terbuka sempurna. "Apa, Mi? Aku baru tidur."

Suara Nava terdengar serak, Emi tiba-tiba memeluk teman kosnya itu. "Maafin aku. Semalem aku ngomong ngawur, mbak nggak dendam kan sama aku?"

 

Nava tersenyum. "Aku nggak marah, Mi. Aku baru tidur, semalem lembur nulis lagi. Aku nggak ikut lari, ya. Aku mau tidur."

Emi menggeleng. "Kamu bilang kalo aku nggak pindah kos, kamu mau temenin aku lari pagi terus. Kalo kamu nggak mau temenin aku lari pagi, aku pindah kos sekarang juga, nih."

Emi mengira Nava marah padanya karena sikap kasarnya semalam, padahal Nava benar-benar mengantuk.

Nava melirik Emi dengan kesal, demi menjaga perasaan temannya itu, ia akhirnya setuju untuk lari pagi walaupun sedang mengantuk berat.

 

Nava dan Emi lari pagi seperti biasa, melewati rute yang biasa mereka lewati.

"Maafin aku, ya, Mbak."

"Karena udah maksa aku lari pagi tiap hari?" tanya Nava dengan nada bercanda.

"Itu juga, tapi aku mau minta maaf karena semalem nuduh Mbak yang macem-macem."

Nava diam, tak menyahut.

"Aku suka sama Raka, selama ini dia nggak pernah deket sama cewek lain. Entah kenapa aku jadi cemburu waktu aku tahu Mbak deket sama dia. Aku sadar, aku nggak seharusnya marah sama Mbak, aku percaya Mbak nggak bermaksud deketin Raka. Iya, kan?" tanya Emi yang memiliki maksud terselubung.

 

Nava terlihat kaku, mengangguk dengan ragu. "Semalem aku buat energen, terus dia mau buat kopi juga."

Emi mengangguk. "Nanti aku anterin beli pemanas air, biar nggak perlu turun ke dapur lagi."

Nava mengangguk, terlihat ada yang mengganjal dari ekspresi wajahnya, tetapi ia memilih tersenyum demi menjaga perasaan temannya.

 

Di tempat lain, ada Raka yang tengah bersandar di daun pintu dapur, seperti yang ia lakukan semalam.

"Kamu kenapa? Nggak lari pagi?" tanya Dahlia pada anak bujangnya.

"Aku minta maaf," ucap Raka pelan.

Dahlia tersenyum. "Kamu udah minta maaf dari tadi. Ibu nggak marah, kok. Udah sana kalo mau lari pagi, ibu masih masak."

Raka memainkan kakinya di lantai, menatapnya dengan bibir yang mencebik. Ia memang sudah meminta maaf pada sang ibu tadi, pagi-pagi sekali. Namun, ia masih merasa bersalah pada sang ibu karena sudah bersikap kasar semalam.

 

"Hapenya aku bawa aja," ucap Raka pelan.

Dahlia kecewa, tetapi ia masih tersenyum demi memperlihatkan pada anaknya kalau ia baik-baik saja. Ia merasa tenang karena Fanya berjanji akan membelikan ponsel yang baru jika ponselnya disita Raka.

"Ya udah, bawa aja hape ibu."

Raka cukup terkejut melihat ekspresi sang ibu. "Ibu marah?"

"Nggak. Kalau kamu nggak mau ibu punya hape, ya nggak apa-apa. Nanti ibu bilang ke temen-temen ibu kalo hape ibu hilang."

Raka mengembuskan napas panjang, meninggalkan dapur begitu saja dan menuju ke kamarnya. Pemuda itu mengambil ponsel sang ibu dan lalu menyerahkannya ke sang ibu di dapur. "Nih."

 

Raka pergi begitu saja setelah menyerahkan ponsel ibunya. Dahlia hanya tersenyum melihat sikap anak laki-lakinya itu.

Tak lama kemudian Raka kembali ke dapur. "Raka bener-bener minta tolong sama Ibu, jangan nangis-nangis lagi. Raka nggak akan ngelarang Ibu baca novel kalo Ibu nggak nangis-nangis begitu." Raka berbicara dengan raut wajah frustrasi. Ia ingin bersikap tegas pada sang ibu, tetapi tak ingin melukai perasaan ibunya.

 

Dahlia tersenyum.

Raka pergi, tetapi ia tak kembali ke kamar dan malah menuju ke pekarangan depan rumahnya untuk berolah raga. Beberapa saat kemudian, Nava dan Emi kembali dari lari pagi, mereka saling bertatapan.

Emi tersenyum pada Raka, sementara Nava hanya memasang ekspresi datar dan langsung pergi meninggalkan pemuda itu. Emi sendiri berhenti untuk menyapa Raka.

"Kamu nggak lari pagi? Atau udah pulang?"

"Nggak, aku nggak lari pagi." Raka menyahut dengan ekspresi datar.

"Oh." Emi merasa kecewa untuk yang ke sekian kali ketika melihat Raka melihat kepergian Nava dengan tatapan berbeda.

"Ada tugas akuntansi lagi, kamu bisa? Kok nggak minta aku buat bantuin?" tanya Emi lagi.

"Aku lupa, lagi sibuk banget. Nanti kirimin lewat WA, ya?"

"Nggak gratis."

"Iya, nanti aku traktir lagi."

"Aku yang milih tempatnya."

"Oke."

Emi kemudian menyusul Nava, masuk ke dalam rumah. Ketika ia sampai di lantai 2, ia sudah melihat Nava sudah berbaring di atas ranjang di kamarnya sendiri, dengan pintu yang terbuka lebar.

"Kamu mau langsung tidur, Mbak?" tanya Emi yang kini berdiri di ambang pintu.

"Heem. Aku ngantuk banget."

"Ya udah. Nanti siang aku pulang, ada kuliah pagi sama sore aja. Nanti aku anterin beli pemanas air, ya."

"Siap, Bos." Nava mengangkat tangannya, membuat huruf o dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.

 

Emi ke kamarnya, mandi dan bersiap untuk ke kampus.

Ketika ia mengeluarkan sepeda motornya dari garasi, Raka pun berniat mengeluarkan sepeda motornya. Emi tiba-tiba saja memiliki ide untuk bisa bersama anak induk semangnya itu.

"Ka, aku nebeng, ya?" Gadis itu begitu iri pada Nava karena selama ini saja ia tak pernah bisa duduk di bangku jok sepeda motor Raka.

Raka mengernyit. "Motor kamu kenapa?"

"Tanganku dari tadi kebas," sahut Emi, tentu saja hanya berbohong.

Raka masih mengernyit. "Oke, aku bonceng kamu, tapi nggak gratis."

"Kok gitu?"

"Ya kamu aja gitu, selalu minta imbalan dari aku. Sama, dong, aku mau imbalan dari kamu."

"Ya udah. Apaan? Kamu nggak minta aku buat kerjain tugas akuntansi selama satu semester penuh, kan?"

Raka terkekeh. "Bukan. Bagi nomornya Nava, dong."

Bak disambar petir di siang bolong, Emi begitu terkejut mendengar permintaan Raka. "Apa? Nomornya Mbak Nava?"

"Iya."

"Kenapa? Kamu suka sama Mbak Nava?" tanya Emi yang ingin tahu perasaan Raka yang sebenarnya. Walaupun sebenarnya ia tak sanggup jika harus mendengar kalau pria itu menyukai wanita lain.

Raka menyipitkan matanya, mengerucutkan bibirnya dan lalu memutar bola matanya. "Apa aku harus suka sama dia buat bisa simpen nomor dia?" tanya Raka yang malah memutar kata, membuat Emi merasa bingung.

 

Sakit hati? Tentu saja, Emi tak ingin Raka dan Nava semakin dekat. Namun, ia merasa bingung karena Raka malah berkata seperti itu. "Terus, kenapa kamu minta nomornya Mbak Nava?"

"Oh, itu ... aku mau nawarin kerjaan sama dia. Temenku ada yang nyari kerja, biar nanti aku kasih nomornya Nava ke temenku." Raka berbohong. Tujuan utamanya adalah ingin menyimpan nomor Nava, ia ingin mengganggu penulis novel daring itu.

 

Emi percaya begitu saja, rasa cemburu di hatinya perlahan luntur. Senyumnya mulai mengembang. "Nanti aku bagi ke kamu, sekarang aku nebeng kamu, ya?"

Raka mengangguk. "Oke."

Emi akhirnya pergi ke kampus dengan Raka, menggunakan sepeda motor Raka. Kedatangan mereka berdua ke kampus seperti itu membuat banyak orang berasumsi kalau keduanya tengah menjalin hubungan asmara. Selama ini, keduanya memang terlihat dekat karena hanya Emi yang bisa berteman dekat dengan Raka. Namun, hubungan mereka hanya sebatas teman karena Raka pernah menolak perasaan Emi, bahkan hingga sekarang pemuda tampan itu tak memiliki perasaan apa pun pada salah satu penghuni kos ibunya.

 

"Kalian pacaran?" tanya Ika, teman terdekat Emi di kampus.

"Aku maunya kami pacaran." Emi menjawab dengan senyum penuh harap.

"Kok bisa kalian berangkat bareng?" tanya Ika lagi.

"Bisa, dong."

Tak hanya Ika, teman-teman kuliah Emi dan Raka merasa penasaran karena itu adalah kali pertama mereka melihat Raka membonceng wanita menggunakan sepeda motornya. Nama Raka Suherman sendiri semakin melambung tinggi, setelah kemarin malam ia resmi mengunggah konten tentang dirinya yang bernyanyi. Apa lagi anak buang Dahlia itu menggaet sang sepupu yang juga merupakan penulis novel daring terkenal, kolaborasi keduanya sukses menyita perhatian banyak orang.

 

Nava sendiri masih tertidur pulas di kamarnya, dengan pintu yang sudah ditutup oleh Emi. Gadis itu terbangun ketika Dahlia mengetuk pintu kamarnya.

Nava membuka pintu kamarnya, melihat induk semangnya yang sudah berdiri di depan kamarnya. "Ibu?"

"Udah makan pagi belum? Ayo makan sama ibu." Dahlia tersenyum ramah.

Nava mengangguk. "Aku nggak akan nolak, Bu. Aku laper. Tapi aku mau mandi dulu," ucap Nava dengan mata yang masih sulit untuk dibuka lebar.

Dahlia mengangguk. "Kalau begitu, ibu tunggu di bawah." Senyum wanita itu mampu meneduhkan siapa saja yang melihat.

 

Dahlia kemudian turun, kembali ke dapur. Sementara Nava, gadis itu langsung membersihkan tubuhnya.

Selesai mandi, Nava turun ke bawah, tepat ketika Raka pulang ke rumah. "Kamu baru bangun?" tanya Raka yang sudah bisa menebak karena mata Nava terlihat sedikit sembab. Keduanya bertemu di ruang keluarga, ketika Raka hendak masuk ke kamarnya dan Nava tengah menuju ke dapur.

 

Nava menyeringai. "Bukan urusanmu!"

Raka menyeringai, lalu masuk ke dalam kamarnya untuk meletakkan tas. Nava sendiri langsung ke dapur, di sana sudah ada Dahlia yang sedang menghangatkan sayur.

"Ayo, buruan makan. Ini sayurnya udah ibu angetin."

Nava duduk sembari melihat makanan di atas meja makan itu, semuanya terlihat enak. "Kayaknya cuma aku yang sering makan di sini," celetuk gadis itu.

 

"Nggak, yang lain juga sering makan di sini. Kamu juga baru dua kali ini, kan? Tadi ibu ajak yang lain, tapi pada masih tidur, ada yang kuliah juga. Adanya cuma kamu." Dahlia mengambilkan piring untuk Nava.

"Kok cuma satu? Ibu nggak makan?" tanya Nava bingung.

Dahlia tersenyum. "Udah, ibu udah makan sama Fanya tadi. Lauknya masih banyak, makanya ibu panggil kamu ke sini."

 

Raka masuk ke dapur, berniat mengambil air minum.

"Kok udah pulang?" tanya Dahlia ketika melihat anak bujangnya sudah di rumah.

"Dosennya nggak ada, jadi pulang aja. Ada kuliah lagi nanti sore." Raka menjawab dengan ekspresi datar. Mengambil air minum di dalam lemari pendingin dan lalu duduk di bangku yang ada di samping Nava. Pemuda itu minum dengan tenang, sementara Nava sudah berolah raga jantung karena di sana ada Dahlia.

"Kenapa duduk di sini, sih?" tanya Nava dalam hati.

Nava menyeringai.

 

"Kamu juga mau makan, Ka?" tanya Dahlia pada anak bujangnya.

"Heem." Raka menyahut dengan singkat.

Dahlia kemudian mengambil piring satu lagi untuk anaknya, ia tersenyum senang melihat anaknya terlihat santai di samping salah satu penghuni kos. Karena, selama ini Raka selalu bersikap dingin pada penghuni kos lainnya.

 

Setelah mengambil piring untuk Raka, Dahlia sengaja ingin meninggalkan Raka dan Nava di meja makan, berdua saja. "Ibu lupa matiin TV." Wanita itu pergi begitu saja.

Nava terlihat salah tingkah ketika Dahlia pergi, lalu menatap Raka yang sudah mulai melahap makanannya.

"Makan lah, aku nggak akan cium kamu di sini," celetuk Raka yang berhasil membuat Nava menyeringai kesal.

"Kamu beraninya kalo nggak ada orang. Aku beneran akan bilang sama Bu Lia kalo kamu udah kurang ajar sama aku kalo kamu berani cium-cium aku lagi."

 

Raka berdiri, lalu membungkuk menghadap Nava, dalam sekejap pria itu sudah berhasil mengecup bibir Nava. Kedua tangannya memegang kepala gadis itu sehingga memudahkannya untuk mengecup bibir gadis yang ia suka. Namun, itu benar-benar kecupan, bukan ciuman seperti kemarin malam.

Raka buru-buru kembali duduk di tempatnya semula sembari menyeringai.

Nava menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya, matanya membulat sempurna. "Kamu gila?!"

"Aku kan udah bilang, makan lah. Siapa suruh kamu bawel, kalo kamu bawel lagi, aku cium kamu lagi." Raka memasukkan sesendok penuh makanan dan lalu mengunyahnya dengan santai, tetapi matanya tertuju pada sosok gadis cantik yang kini melotot padanya.

 

Dahlia yang tak tahu apa-apa, kembali ke dapur, mendapati suasana canggung, membuatnya bingung. Ia melihat kemarahan di mata Nava, tetapi ketika ia melihat anaknya, ia tak melihat ada yang salah.

"Kenapa, Nava? Makanannya nggak enak? Kok nggak jadi makan?" tanya Dahlia ketika melihat tangan Nava masih menutupi mulutnya.

Nava bingung, ia ingin mengadu sikap Raka pada ibunya, tetapi merasa malu. "Kalo aku diem aja, dia pasti mikir aku beneran suka sama dia. Dia juga akan cium-cium aku lagi nanti. Dia cuma mainin aku. Tapi kalo aku ngadu ke Bu Lia, gimana aku bilangnya? Argh, nyebelin banget!"

 

Dalam diamnya, Raka sendiri merasa gugup, menunggu apa yang akan dilakukan Nava. Diam saja? Atau mengadu ke Dahlia?

 

"Bu, saya mau bilang ke Ibu."

Raka melotot, merasa takut dan gugup.

"Bilang apa, Nava?" Dahlia kembali duduk, di depan Nava yang sudah menatapnya tajam.

Raka meneguk air putih, buru-buru dan bersiap akan menerima kemarahan ibunya jika Nava benar-benar mengadukannya.

 

"Sepertinya Raka punya kelainan." Nava melirik Raka dengan licik. Ia memiliki rencana yang tak diduga Raka sebelumnya, rencana sederhana untuk menyerang pemuda tampan itu.

"Maksudnya?" tanya Dahlia yang ikut gugup, menatap anaknya dengan cemas.

"Kemarin malem, waktu Ibu sama Kak Fanya pergi kondangan, aku lihat Raka nyuri celana dalam di deket kamar mandi." Nava menyeringai puas.

"Apa?!" Dahlia dan Raka sama-sama terkejut dengan pengakuan palsu Nava itu.

 

Raka tak menyangka Nava akan mengarang cerita memalukan seperti itu. "Kamu ngomong apa, sih?!"

"Iya, Bu. Kemarin malem kan aku di rumah, anak-anak yang lain belum pulang. Dan aku lihat Raka ke atas, buat ambil salah satu celana dalam."

Dahlia begitu terkejut mendengar ucapan Nava. "Raka? Untuk apa kamu ambil celana dalam? Kamu ambil celana dalam siapa? Ibu nggak nyangka kamu seperti itu." Dahlia percaya begitu saja dengan ucapan Nava.

Raka tergagap, bingung harus menjawab apa. Ia begitu terkejut dengan serangan Nava yang berhasil membuatnya malu setengah mati di depan ibunya sendiri.

 

"Na-Nava bohong, Bu." Raka terlihat gugup, ia bahkan berbicara dengan gagap dan hal itu membuat Dahlia berpikir anaknya benar-benar memiliki kelainan. Jika itu benar terjadi, ia berniat untuk menikahkan anak bujangnya atau membawanya ke dokter untuk menyembuhkannya.

"Kamu jujur aja, Raka. Kamu sembunyiin di mana celana dalam warna merah itu? Aku nggak nyangka kamu secabul itu." Nava semakin bersemangat mengarang cerita.

 

Raka mengepalkan kedua tangannya, menggigit bibirnya sembari menatap Nava dengan melotot tajam.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Dear, Nona Penulis
1
0
Hari-hari berlalu, dan dia mulai menyadari ada yang berbeda di hatinya jika ia menatap gadis yang menjadi salah satu penghuni rumah kos milik ibunya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan