No Risk, No Story (Prolog-Bab 1)

162
5
Deskripsi

“Rin, Abah punya utang lumayan besar sama Pak Suryo. Rasanya Abah nggak sanggup untuk membayarnya. Pak Suryo bilang, akan memberi Abah waktu, asal Abah bisa mencarikan perempuan yang siap menikah.”

 

            Selama ini Airin merasa hidupnya bahagia. Ia tidak terlalu memikirkan masalah jodoh meski usianya sudah lebih dari seperempat abad. Apalagi banyak rekan kerjanya yang juga masih single, padahal usianya jauh di atas Airin. Namun, ternyata ketenangannya itu...

Prolog

Aku berjalan memasuki wahana permainan yang mirip Timezone, tidak banyak orang yang ada di tempat ini. Dua orang yang sedang berdiri di depan, membuatku menarik kedua sudut bibir membentuk senyuman. “Teh Kara, Teh Sirly,” panggilku.

Kedua perempuan itu menoleh. Aku ternyata tidak salah lihat, itu memang kedua rekan kerjaku dulu. Sudah cukup lama kami tidak bertemu karena keduanya sibuk dengan kehidupan rumah tangga masing-masing.

“Eh, Airin. Cobain alat ini, Rin,” kata Teh Kara, sambil menarik tanganku.

“Iya, cobain, Rin. Kan kamu doang yang belum ketemu jodoh,” tambah Teh Sirly.

Aku mengerutkan kening, karena bingung. Kemudian mataku menatap mesin mainan di depanku. Sekilas bentuknya seperti mesin mainan biasa. Itu lho, seperti mesin permainan yang ketika dipukul dengan palu, akan mengeluarkan skor angka dan nantinya akan mengeluarkan tiket yang bisa ditukarkan dengan pernak-pernik yang ada di dekat kasir. “Aku disuruh mukul tombolnya pake palu?” tanyaku.

Teh Kara mengangguk. “Nanti keluar nama jodoh kamu siapa.”

“Hah?!” Refleks aku langsung kaget mendengar ucapannya. “Serius?”

“Iya, cobain deh,” timpal Teh Sirly.

“Ini beneran? Teteh berdua udah nyoba?” tanyaku sambil menatap mereka berdua, kemudian mataku memandangi mesin di depanku ini. Di layarnya masih tidak menampilkan apapun, kosong. Hanya layar hitam. Apa mereka berdua, sedang mempermainkanku.

“Ih nggak percaya banget. Aku udah nyoba, terus keluar nama Renza. Kara juga udah nyoba dan keluar nama Gamma,” jawab Teh Sirly.

Aku jadi penasaran, apa memang mesin ini bisa mendeteksi jodohku? Aku mengembuskan napas kemudian mengambil palu itu, lalu memukul tombol besar yang ada di tengah-tengah mesin ini sambil memejamkan mata.

Aku mendengar suara mesin, seketika mataku langsung membuka. Layarnya yang tadinya hitam, sekarang menyala, dan ada tulisan berwarna merah yang tertulis di sana.

Tidak Terdeteksi.

Aku semakin shock, ini maksudnya apa? Aku langsung memandang Teh Kara dan Teh Sirly bergantian. “Teh, ini mesinnya error?”

“Eh, nggak kok. Tadi aku sama Sirly bisa kok, coba lagi aja.”

“Iya, coba lagi aja.”

Aku akhirnya mencoba memukul tombol itu kembali, tetapi tetap saja yang keluar adalah kata “Tidak Terdeteksi.” Aku memukul tombol itu berkali-kali, bahkan saking kesalnya aku tidak lagi menggunakan palu, tetapi menggunakan tangan kosong. Dan tetap saja yang tertulis di layar itu adalah ; Tidak Terdeteksi.

“Wah, Airin, kayaknya kamu bakalan sendirian terus seumur hidup,” ucap Teh Kara.

“Ya ampun Airin, aku ikut sedih dengan takdir kamu ini, yang tabah ya,” lanjut Teh Sirly.

Aku merasa dadaku terasa sesak, air mata perlahan turun membasahi pipiku. Tidak mungkin, aku tidak mau hidup sendiri seumur hidup. Aku tidak mauuuuuuu.....

*****


Bab 1

Aku membuka mata dengan cepat, kemudian pandanganku langsung terarah pada bagian plafon kamarku yang bolong, karena sudah tak kuat menahan air yang bocor dari genting. Untuk pertama kalinya aku merasa bersyukur ada di kamarku yang sempit ini. Tetapi mataku tetap mencari-cari mesin sialan itu. Tentu saja tidak ada mesin itu, yang ada hanyalah lemari pakaianku. Aku langsung terduduk di atas ranjang, napasku masih terengah karena mimpi buruk itu.

Setelah menenangkan diri, aku mengambil ponsel yang semalam ku-charge. Tidak ada pesan apapun di sana. Apa yang kuharapkan? Ucapan selamat pagi dari pangeran tampan seperti Seongnam? Bahkan dalam mimpi pun aku tidak pernah bertemu pangeran. Lebih lengkapnya, dalam mimpi pun jodohku tidak terdeteksi. Apalagi di dunia nyata.

Aku menghela napas, kemudian merasakan perutku terasa lapar. Dengan langkah malas, aku keluar dari kamar dan berjalan ke dapur. Ternyata di meja makan sudah ada A’ Fahmi—kakak pertamaku— dan juga Sintia—istrinya. “Eh, makan sini, Rin,” ajak A’ Fahmi.

Mataku memandang mangkuk besar yang tadinya pasti berisi tumpukan nasi goreng, tetapi saat ini yang kulihat hanya sisa-sisa nasi goreng yang kalau disendoki paling hanya dapat tiga sendok. “Apa yang mau dimakan, A?” tanyaku.

“Oh, ini. hm... kamu sih, bangunnya kesiangan. Makanya rezekinya dipatok ayam,” jawabnya. Kemudian aku mendengar istrinya cekikikan.

“Ini mah, dipatok Aa bukannya ayam,” jawabku kesal.

“Ya udah, kamu kan bisa beli makan. Gini aja diributin.”

Aku menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Masih terlalu pagi untuk ribut. Akhirnya aku berjalan ke dapur dan membuka kulkas. Tidak ada apapun di sana, kecuali sayuran yang sudah layu. Dengan cepat aku langsung menutup kulkas itu kembali. Mamah pasti sedang ke warung, membeli sayur dan lauk untuk makan siang. Itu artinya aku harus keluar rumah untuk membeli sarapanku sendiri.

“Kamu beneran nggak mau, Rin?” tanya A’ Fahmi.

“Nggak.”

“Ya udah, Aa abisin ya.”

Aku menahan perasaan jengkel dan segera pergi meninggalkan dapur. Aku tidak tahan dengan dirinya dan juga istrinya yang penuh gaya, tapi hidup masih numpang dengan orang tua. Mereka juga salah satu alasan kenapa aku ingin pergi dari rumah ini. Tetapi, dalam kondisi saat ini, aku tidak bisa melawan keadaan.

Pekerjaanku sebagai seorang wedding planner, sempat vakum karena covid. Hal itu membuatku menghabiskan tabungan yang telah aku kumpulkan bertahun-tahun untuk bertahan hidup selama menganggur. Apalagi bukan hanya aku saja yang terkena efeknya, tetapi juga usaha Abah yang sudah diujuk tanduk. Tahun 2020 adalah masa-masa kelam, Abah harus mencari pinjaman, boro-boro dibantu oleh kakak-kakakku, mereka semua bilang tidak ada uang. Padahal kalau dipikir-pikir, pekerjaan mereka, penghasilannya lebih besar dari aku. Masa iya tidak ada tabungan.

Dan karena covid ini, membuat A’ Fahmi dan istrinya yang tadinya mengontrak, memutuskan untuk tinggal di rumah ini. Katanya mereka harus berhemat, dan salah satu caranya dengan menumpang tinggal di sini. Tentu saja mereka bisa hemat, karena urusan makan juga ditanggung oleh Abah. Bahkan jatah makanku saja diembat oleh mereka.

Aku mengambil cardigan dan juga uang sepuluh ribuan dari dalam dompet. Setelah itu keluar dari rumah untuk mencari sarapan. Di dekat rumahku ada banyak penjual makanan, tetapi setelah dihantam covid, sebisa mungkin aku berhemat. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk mengembalikan uang tabunganku yang hampir ludes. Dengan kondisi keluarga yang seperti sekarang, bahaya sekali kalau aku tidak punya dana darurat.

Aku sangat bersyukur, karena pekerjaanku sudah berangsur normal kembali. Dan lebih bersyukur lagi, karena mempunyai bos seperti Teh Vio, yang banyak sekali membantuku. Di antara semua karyawannya, hanya tinggal beberapa orang yang bertahan selama covid menerjang kami. Aku, Dewa dan Tomi masih setia di Viola Wedding Planner. Itu kenapa sebulan yang lalu, Teh Vio memberikan kami bonus. Tentu saja uang itu langsung kusimpan.

“Mau ke mana, Rin?” tanya Mamah yang berpapasan denganku di jalan. Aku melihat Mamah membawa tas anyaman bambu yang berisi sayuran. “Mau beli sarapan, Mah,” jawabku.

“Lho, kan di rumah ada nasi goreng.”

“Udah diabisin Aa, Mah.”

Mamah menghela napas. “Ya udah, beli sarapan dulu sana.”

Aku mengangguk dan melanjutkan langkahku. Kadang aku merasa kesal sekali dengan Mamah dan Abah, kenapa sih mereka tidak mau tegas pada Aa. Harusnya kan mereka bisa memberi penjelasan kalau di mana-mana namanya yang sudah berumah tangga, ya harusnya mandiri. Bukannya masih numpang hidup dengan orangtua. Bahkan, kadang aku melihat Mamah yang mencucikan pakaian Aa dan istrinya. Hal yang membuat aku begitu sedih. Belum lagi kalau Teh Septi—kakak keduaku—yang datang dan membawa segudang masalah dengan mertua dan iparnya. Jujur aku jadi takut menikah kalau berkaca pada kehidupan pernikahan kedua kakakku. Tetapi aku juga tidak mau kalau harus hidup sendiri seumur hidup.

Jadi sudah kuputuskan, agar pernikahanku nanti tidak seperti kedua kakakku adalah dengan cara, aku harus menemukan laki-laki yang sudah mapan, punya perencanaan masa depan yang jelas dan juga punya pemahaman yang sama denganku, bahwa ketika memutuskan menikah, itu artinya tidak boleh lagi membebani keluarga masing-masing.

Apa laki-laki seperti itu masih eksis di dunia? Kalau melihat dari kehidupan Teh Kara dan Teh Sirly sih, laki-laki seperti itu nyata. Lihat saja Chef Gamma dan juga Dokter Renza. Iya kan?

*****

Banyak malam-malam sebelum tidur kuhabiskan untuk memikirkan hidupku kedepannya, dan kadang-kadang di tengah pikiran itu, aku sering membayangkan kehidupanku nanti diliputi oleh kebahagiaan. Apa itu artinya sekarang aku tidak bahagia? Sulit untuk tidak mengiyakannya. Terlalu banyak masalah yang hadir beberapa tahun terakhir.

Malam ini, sebelum tidur, di atas ranjang dengan mata menerawang, aku kembali mengingat-ingat apa yang telah terjadi dua tahun terakhir ini. Tahun 2019, kehidupanku baik-baik saja. Aku tinggal bertiga dengan Abah dan Mamah, hidup kami terasa begitu damai. Kami memang bukan keluarga kaya raya, tetapi bisa kukatakan hidupku berkecukupan saat itu.

Sesekali, akan ada hari di mana kakakku datang. Kak Septi misalnya, ia akan datang kemudian menangis sambil menceritakan apa yang dilakukan mertua dan iparnya kepada dia dan anaknya. Kakakku itu memang tidak tinggal serumah dengan mertua, tetapi rumahnya bertetangga dengan mertua dan juga iparnya. Kemudian, ada A’ Fahmi, biasanya datang untuk meminjam uang. Katanya gajinya kurang untuk membayar kontrakan, padahal ia dan istrinya sama-sama bekerja. Mereka juga belum punya anak, makanya aku heran kalau uang kontrakan saja harus ngutang. Semakin ke sini, aku baru tahu kalau Teh Sintia memilih untuk menyewa rumah yang ukurannya besar, yang otomatis sewa perbulannya lebih mahal. Hal yang membuatku begitu heran, mereka hanya tinggal berdua, tetapi kenapa harus menyewa rumah dengan ukuran yang besar, sih?

Hal itu terjawab saat aku membuka akun media sosialnya, tentu aku menggunakan second account, karena ternyata akun pertamaku telah diblokir olehnya. Dari media sosialnya, aku tahu, dia sering pamer rumah beserta isinya, seperti bunda-bunda home decor di Instagram. Tetapi, setelah pindah ke sini, aku jadi bertanya-tanya, ke mana, barang-barang yang ada di rumahnya dulu, ya?

Oke kembali lagi ke topik awal. Saat 2020, covid menyerang. Aku terpaksa tidak bisa bekerja, karena adanya larangan menggelar pesta pernikahan. Siapa yang mau memakai jasa kami kalau begitu? Dan ini berlangsung sampai delapan bulan. Masalahnya bukan hanya aku yang tidak bekerja, tetapi juga Abah, toko kacamata milik Abah di pasar terpaksa tutup karena sepi pengunjung. Sementara sewa ruko harus tetap dibayar. Aku dan Abah bahu-membahu agar bisa bertahan hidup, kalau saja uang yang kami keluarkan hanya untuk makan, mungkin kami tidak akan terlalu pusing. Tetapi, ada yang harus dibayar, tagihan listrik, air, internet. Belum lagi Abah juga harus mengirimi Anggini, adik bungsuku yang kuliah di Jogja. Biaya kuliah, membayar kosannya, uang makan, semua ditanggung oleh Abah.

Anggini menolak untuk pulang ke Bandung meski kuliah online. Karena ia tahu A’ Fahmi tinggal di sini. Sumpek katanya kalau harus tinggal beramai-ramai. Ya, intinya masalah hidupku begitu pelik dua tahun terakhir ini.

Kadang aku merasa iri dengan Teh Kara ataupun Teh Sirly, rasanya hidup mereka begitu sempurna. Aku yakin, walaupun merugi, Chef Gamma tidak akan sampai bangkrut. Apalagi Dokter Renza, profesinya salah satu yang tidak terdampak oleh covid. Tetapi, aku juga sadar diri, aku bukan seperti Teh Kara. Kalaupun ia tidak bertemu Chef Gamma, dan harus merasakan pahitnya di rumahkan oleh Teh Vio karena covid, kehidupannya tidak langsung jungkir balik seperti aku. Keluarga Teh Kara itu kaya. Kata Teh Vio tanah warisannya banyak. Orangtuanya juga semua pegawai negeri, yang tidak akan mungkin terkena PHK selama negara ini masih berdiri.

Begitu pula dengan Teh Sirly, meski dia tidak bertemu dokter Renza, keluarganya di Jakarta juga kaya, ibunya bekerja di bank, punya jabatan pula. Sangat berbeda denganku? Abah hanya tukang jualan kacamata, Mamah ya ibu rumah tangga biasa. Anak-anaknya juga tidak ada yang kaya, jadi ya nasib kami memang beda. Agak tidak tahu diri seandainya aku berkhayal bisa memiliki kehidupan seperti mereka.

****

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Norisknostory
Selanjutnya No Risk, No Story (Bab 2)
151
9
Baca lanjutannya di sini yaaa. Gratissss
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan