
Bagi Anjani, tidak pernah ada yang namanya kesempatan kedua. Karena baginya,tidak akan pernah ada jalan kembali untuk seseorang yang sudah memilih pergi meninggalkannya. Walaupun dia harus menangis darah karena memendan rasa pada Dewa, dia lebih memilih tidak terjatuh pada lubang yang sama untuk kedua kali. Namun, bagaimana kalau Dewa yang justru tidak ingin pergi. Satu kali lagi, Dewa ingin mencoba meraih gadis itu dalam hidupnya. Bagaimanapun caranya
Kantor Carawala Gravansa terletak di tengah perumahan elit di kota Malang. Bangunan dua lantai ini awalnya adalah rumah kosong milik orang tua Cakrawala, yang kemudian dia renovasi sedikit agar bisa digunakan sebagai kantor.
Karena itu, meskipun memiliki banyak ruangan dan fasilitas seperti kantor pada umumnya, tetap ada sentuhan konsep hunian di sana. Hal paling nyentrik adalah, adanya kolam renang outdoor di bagian samping. Di belakang kolam juga ada, bar dan meja makan panjang. Cakrawala sengaja tidak meronevasi bagian itu, tujuannya supaya kantor ini tetap terasa sebagai rumah bagi seluruh karyawannya. Dan lagi, kolam renang bisa jadi salah satu sarana olahraga dan melepas penat saat banyak deadline pekerjaan menumpuk.
Jadi jangan heran, saat menjelang akhir tahun dan karyawan Cakrawala Gravansa sering harus lembur sampai pagi untuk menggarap laporan, kecipak air pada pukul 2 pagi juga akan mengiringi kesibukan mereka. Freezing otak kalau mereka bilang.
" Uda sehat,Jan?" Tanya Pak Igor, saat Anjani masuk ke pantry untuk membuat secangkir energen.
"Sehat, pak", jawabnya sambil tersenyum.
"Baguslah, jangan sering sakit kau, susahlah aku jadinya kalau kau tak ada. Aku tak cocok dengan si centil Siska itu. Sibuk mulu dia dengan bedaknya, tapi kerjaan tak pernah ada yang beres". Adu Igor dengan wajah bersungut sungut.
"Ngga juga ah Pak, Siska pinter kok, dia detail juga. Dia juga lebih senior dari saya", belanya tak enak. Gadis itu menoleh keluar, takut sang pemilik nama mendengar omongan Pak Igor. Bukannya apa, sebagai batak asli tulen, Pak Igor jarang sekali bisa memelankan suaranya. Ditambah nada bicaranya yang seperti orang mengajak ribut.
"Emang pintar dia. Asal otaknya tak ke distrak terus sama batangan. Susah fokus dia kalau sudah kena urusan laki. Apalagi kalau sudah tengkar dengan pacarnya. Hedee....kerjaan tak ada yang beres, alasannya badmood. Ingin ku getok saja itu kepala".
Anjani meringis. Dengan berat hati Anjani harus mengakui, begitulah sifat Siska. Suasana hatinya mudah sekali terpengaruh, dan berimbas pada pekerjaan di kantor. Tipe orang yang mudah jatuh cinta, sampai bucin tingkat dewa dan melupakan segalanya, mudah patah hati lalu jatuh cinta lagi seperti tidak ada apa apa. Anjani sendiri sebagai perempuan kadang heran dengan kelakuan ajaibnya.
Pintu pantry terbuka. Della masuk dengan tiga tap rantang di tangan kanan. "Eh, udah sembuh, Jani?" ,tanyanya sambil lalu meletakkan rantang di meja makan, lalu mencuci tangan di sink.
"Ayo makan sama sama. Loe pasti belum makan".
Della mengambil dua piring dan sendok, lalu di letakkan di meja makan, untuk dirinya dan Anjani. "Duduk,Jan. Makan itu nasi, bukan energen. Kita butuh tenaga untuk menghadapi dunia fana ini." Kemudian dia terkekeh sendiri mendengar ucapannya.
Menggeser gelas di hadapan Anjani, dia menggantinya dengan piring kosong. Della memang hampir setiap hari membawa bekal dari rumah. Karena paksaan mamanya yang hobi masak, dan takut anaknya makan sembarangan di luar. Bukti kasih sayang katanya, dan sebagai bukti kasih sayang Della juga dengan senang hati selalu memakannya sampai habis. Kerena bekal yang di bawa selalu banyak, Della selalu membaginya untuk orang kantor, terutama Anjani, anak paling bontot di Cakrawala Gravansa.
"Makanlah kau, Jani. Anak kos seperti kau ini memang harus di subsidi makanan. Supaya tak makin malas makan".
Anjani tak banyak bicara, dia ambil piring di hadapannya dan mulai makan bersama Della. Sementara Pak Igor duduk sambil menyesap kopi.
"Ngomong ngomong, kamu udah ketemu sama klien yang punya proyek resort di Bedugul,Jan? Mereka dateng Kamis, kamu sempet ketemu nggak?", tanya mba Della antusias. "Cakep cakep tahu, Jan".
Anjani tersenyum tipis. Terong balado di tenggorokannya seperti tersangkut.
"Halah, dasar cewe. Liat ada yang bening sedikit aja sudah heboh".
"Emang kalo cowok liat cewek bening nggak heboh?", balas Della.
"Kalau nggak lebih cantik dari Anjani, aku sekarang sudah nggak heboh."
Della mendengus.
Anjani mencibir.
"Tapi beneran, Jan. Keren banget, apalagi yang tinggi banget itu. Selain bule, dia orang Indonesia paling tinggi yang pernah gue lihat. Sapa namanya, Pagor?" . Pagor adalah singkatan dari Pak Igor. Orang orang Cakrawala Gravansa biasa melakukannya, menyingkat nama orang. Supaya lebih efektif dan efisien katanya. Bahkan, Pak Cakra, yang notabene owner di sini, juga punya nama panggilan, Pacak.
"Dewa".
"Ya ampun, namanya aja bikin deg degan ya", Della cekikikan.
Pintu pantry kembali terbuka. Kali ini Siska yang datang, dengan berlari tergopoh. "Orang dari Jakarta itu dateeng mbaaaa", gadis itu menjerit tertahan sambil mengguncang lengan Della. Wajah Siska bersemu merah, senyumnya lebar sekali.
"Ya Allah mba, liat dia jalan aja ovarium gue rasanya anget".
Uhuk uhuk uhuk.
Anjani tersedak terong balado. Hidungnya perih sekali. Dadanya panas. Mbak Della memeberinya air, dan Igor menepuk punggungnya.
Anjani terus terbatuk sambil memukul dada. Tubuhunya sampai membungkuk hampir selurus kursi. Dadanya perih sekali. "Kau ini, kalau tak buat orang susah memang tak bisa ya?"Pak Igor melotot membentak Siska. "Kagetin orang tau kau? Kau tak liat ada orang makan?"
"Mana saya tahu pak?"Siska menjawab lirih.
"Ini pantry, kau masuk sini saja harusnya kau tahu ini tempat makan!", kekesalan Igor selama beberapa hari ini, meluber sudah.
Tak tahan menahan nyeri di dada, Anjani berlari ke sink, berusaha muntah. Della dan Igor membantu menepuk dan mengurut bagian belakang lehernya.
Sejumput terong berhasil keluar. Rasa sesaknya berangsur berkurang, menyisakan perih di ujung hidung dan tenggorokan.
"Ada apa?" Sebuah suara mengalihkan perhatian mereka. Dewa berdiri di depan pintu pantry. Dahinya berkerut dalam memperhatikan punggung kurus Anjani membungkuk di sink.
Semua orang dalam ruangan membisu. Terkejut mendapati Dewa sudah ada di hadapan mereka. Sepertinya suara Igor memang sangat nyaring, sampai terdengar keluar.
"Anjani tersedak, Pak". Jawab Siska lembut mendayu. Membuat Igor makin keki. Bahkan di saat seperti ini, gadis itu masih berusaha cari perhatian. "Gara gara kau nerobos seperti banteng salah kandang!"
"Kan, nggak sengaja, Pak,"
"Anak baru sembuh sakit, kau buat lebih sakit. Emang dasar kau".
Makian Igor makin menjadi.
"Saya ngga apa apa kok, Pak", jelasnya menenangkan. Dia turut sungkan mendengar Siska terus di bentak oleh Pak Igor. "Mba Siska ga salah. Saya aja, nelennya salah timing. Hehe".
Masih menghadap sink, sesekali Anjani masih terbatuk.
"Kamu nggak apa apa?" Dewa melangkah masuk.
Anjani menegang. Suara Dewa terasa terlalu dekat, dia yakin Dewa ada di belakangnya. Anjani enggan menoleh. Enggan juga menjawab. Mencipta hening yang membuat semua orang di ruangan merasa sungkan karena Anjani seakan mengabaikan pertanyaan Dewa.
Apa Anjani tidak mendengar?
"Sudah enakan,Jan?" Tanya Della.
Kali ini Anjani mengangguk, walau sesekali masih terbatuk.
Bergerak lebih dekat,Dewa menarik lembut lengan Anjani, agar menghadap kepadanya. "Ngga apa apa?", tanyanya lagi. Kali ini Anjani merasakan remasan di lengannya. Dewa menuntut jawaban. Darinya untuk lelaki itu. Dia tidak akan puas sebelum mendapat jawaban. Pemaksa.
Namun Anjani tidak ingin jadi tontonan. Dia tidak suka. Memilih mengalah, akhirnya Anjani mengangguk, lalu menggoyangkan lengan melepaskan cengkraman Dewa di tangannya.
Igor, Dela dan juga Siska saling lirik, namun tidak ada yang bersuara. Sedangkan Anjani kembali duduk, melanjutkan makannya yang tertunda, seolah tidak ada apa apa.
"Oke, saya ke atas dulu". Pamit Dewa, yang di balas ramah oleh semua orang di ruangan, kecuali Anjani.
"Duh, Jani di pegang gitu aja sampai susah ngomong dong. Gemeteran ya, Jan?"tanya Siska konyol. Matanya masih seberbinar tadi. Mungkin lebih bercahaya. Tapi yang jelas, perempuan itu salah kaprah.
Apa tampangnya tadi menunjukkan dirinya sedang salah tingkah?
"Orangnya perhatian juga, besok besok bolehlah gue coba cara Anjani".
Maksudnya?
Dan cemoohan Pak Igor kembali membahana di ruangan pantry.
***
Seharian ini suasana hati Anjani tidak terlalu baik. Anjani yang pada dasarnya memang pendiam, terlihat semakin menarik diri.
Sebenarnya Anjani tidak ingin seperti ini, dulu dia juga tak seperti ini. Walaupun dirinya bukan seorang social butterfly , dia tidak pernah kesulitan untuk berteman dan cukup supel bila dia mau. Anjani termasuk orang yang selektif memilih pergaulan, namun dia tidak membatasi siapapun yang ingin berkawan. Hanya saja untuk bisa benar benar dekat dengannya, tidak semua orang bisa.
Dan sekarang, setelah semua perjalanan hidup yang dia alami, Anjani menjadi gadis tertutup.
Anjani pernah meletakkan kepercayaannya pada orang yang salah. Dan cukup hanya satu kesalahan mampu membuatnya menanggung sakit berkepanjangan. Mengharuskannya hidup sendirian.
Dibuang keluarga di usia belia, saat seharusnya dia masih bisa bersandar dan bermanja manja, bukan hal yang mudah untuk di hadapi. Menghadapi kerasnya dunia seorang diri sempat membuat Anjani ketakutan. Tapi mau tak mau dia harus bertahan.
Biar saja keluarganya membuangnya, berhenti menyayanginya, yang pasti dia tidak akan berhenti menyayangi mereka. Anjani tahu, mereka bukan tak menyayanginya, tapi mungkin kesalahan yang telah dilakukannya menoreh luka terlalu dalam pada hati mereka. Membuat mereka kecewa. Sedangkan Anjani sudah terlanjur tidak punya muka, bahkan untuk sekedar memohon ampunan mereka.
Menjadi anak bungsu yang paling di sayang dan di banggakan, membuat Anjani merasa memiliki tanggung jawab untuk nemenuhi semua harapan keluarga, terutama kedua orang tuanya. Saat ternyata Anjani justru mengecewakan mereka, bisa di bayangkan bagaimana rasa kecewa itu juga menyakiti dirinya. Bahkan, mungkin lebih besar dari rasa sakit mereka.
Namun berkubang dalam penyesalan takkan pernah ada habisnya. Sudah lama Anjani berhenti meratapi nasibnya. Anjani bertekad untuk bangkit, dia tidak ingin terpuruk pada kesalahan yang telah terjadi di masa lalu. Dia ingin membuktikan pada keluarganya. Dia akan menebus semuanya. Memperbaiki hidup, dan membuktikan walau satu kesalahan sudah dia lakukan, dia tetap mampu membanggakan mereka.
Sedikit lagi.
Sedikit lagi Anjani yakin dirinya pasti berhasil. Dia sudah bekerja, tak lama lagi kuliahnya juga akan tamat. Nanti, saat tiba waktunya wisuda, Anjani berencana untuk mengirim undangan wisuda itu pada keluarganya di Surabaya.
Ayah dan mamanya pasti akan bangga. Kemudian mereka akan memaafkan Anjani, menerima Anjani kembali. Itulah harapan sederhana Anjani. Itulah tujuan hidupnya kini.
Namun kehadiran Dewa menghempas asa Anjani seketika.
Kehadiran Dewa menampar kesadaran Anjani, tentang betapa besar kesalahan yang dia lakukan sebagai seorang anak. Dan seorang wanita. Dan ketakutan itu datang lagi, perasaan sendirian itu kembali menyergap tanpa ampun.
Keluarganya membencinya. Keluarganya tidak akan mau memaafkannya. Dia akan sendirian seumur hidupnya. Pikiran pikiran gelap itu terus menggerogoti kepala dan hatinya.
"Jan, malam ini ada acara?" Anjani terkesiap mendapati Della sudah berada di dekatnya. Berkedip bingung, Anjani bergeming menatap Della kosong.
"Oh? Gimana, mbak?"
Della tersenyum. "Udah sore, jangan bengong ntar kesurupan lho"
Anjani tersenyum tipis.
"Abis ini ada acara nggak?", Tanya Della sekali lagi, yang dijwab Anjani dengan gelengan.
"Ikut mbak, yuk? Kemaren Pascal ultah, hari ini dia ngajakin mbak makan makan. Ikutan yuk?" Pascal adalah sahabat mbak Della. Mereka berteman sejak kecil, bersekolah di sekolah yang sama sejak SD hingga SMA, namun berpisah saat kuliah karena Pascal mengambil jurusan kedokteran sedangkan Della di jurusan sipil. Hubungan mereka dekat bagai saudara, apalagi rumah mereka berdekatan. Pascal sering mengantar Della ke kantor atau kemanapun, dari sana akhirnya Anjani mengenal Pascal. Kak Pascal, Anjani biasa memanggilnya.
"Nggak ah mbak, mbak yang di ajak masa mbak bawa bawa buntut lagi. Nanti tekor dong yang punya hajat." Anjani kembali fokus pada draft tagihan proyek di layar komputernya, karena termin harus masuk besok.
"Pascal banyak duit. Dia ga bakal kere cuma gara gara traktir kita makan enak sekali. Tiap hari juga dia gak bakal kere, mbak jamin. Lagian mau dikemanai duit dia, kalau bukan buat nyenengin temen temennya seperti kita. Ayolah... ini juga Pascal yang minta mbak ajak kamu. Mau ya?" Wajah Dela yang begitu bersemangat membuat Anjani tidak tega menolak. Sebenarnya dia sedang malas pergi. Malas bertemu orang. Energinya seperti terserap habis hari ini. Dia merasa lelah, lahir batin. Yang dia inginkan saat ini hanya tidur dalam kegelapan malam, dengan jendela terbuka lebar, menampilkan langit malam, yang semoga berbintang.
"Makan dimana Mbak?" Akhirnya Anjani memilih mengalah. Della dan Pascal adalah segelintir orang yang dikenalnya dengan cukup baik di kota ini. Anjani tidak ingin mengecewakan mereka.
"Di restoran temen Pascal daerah Batu. Tempatnya enak kok, kamu pasti suka". Ucap Della, yang akhirnya Anjani angguki setengah hati.
Dan tepat pukul empat, Della langsung menyeret Anjani keluar kantor. Membawanya ke mall untuk mengambil kado Pascal, sebelum meluncur ke arah bedugul.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
