Gxg
Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang ketika Ling akhirnya memutuskan untuk bangun. Dengan langkah pelan, ia mengecek suhu tubuh Orm. Kali ini tidak sepanas tadi malam. Ling mengambil termometer dan melihat angka 37,9 derajat—masih sedikit demam, tapi jauh lebih baik dari sebelumnya.
Setelah memastikan Orm masih dalam keadaan tidur pulas, perhatian Ling tiba-tiba tertuju pada ponsel milik Orm yang menyala karena pesan masuk. Dengan rasa penasaran, Ling mengambil ponsel itu dan sengaja membaca nama pengirim yang tertera dengan jelas di layar:
Miss Lea – Dosen Ekonomi.
Satu baris pesan pendek tertulis:
“Jangan lupa semalam.”
“Jangan lupa semalam.”
Kening Ling langsung berkerut. "Semalam apa?" gumamnya. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengingat bahwa semalam Orm memang ada tugas kuliah yang harus dikumpulkan. Sepertinya Orm mengerjakan tugas itu di rumah temannya sampai akhirnya ketiduran di sana.
Ling menghela napas pelan. Ia tak ambil pusing lebih jauh. Setelah meletakkan kembali ponsel itu, ia beranjak keluar dari kamar Orm dan menuju kamarnya sendiri. Hari ini ada pertemuan penting dengan klien dari Jepang pukul dua siang, jadi ia harus bersiap ke kantor.
Sebelum benar-benar pergi, Ling kembali melangkah ke sisi ranjang Orm. Ia menunduk pelan dan mengecup kening gadis itu.
"Cepat sembuh, taerakkkk," bisiknya lembut sebelum melangkah pergi.
__
Setelah keluar dari kamar Orm, Ling menuju kamarnya sendiri. Ia segera membersihkan diri, lalu berdiri di depan lemari, menatap deretan pakaian kerjanya. Pilihannya jatuh pada blazer biru tua yang terlihat elegan namun tetap tegas. Saat dikenakan, pakaian itu begitu pas di tubuhnya—menonjolkan postur tegap dan aura dominan yang memang sudah jadi ciri khasnya. Meskipun ia seorang perempuan, penampilannya sangat tampan dan memancarkan wibawa yang tak bisa diabaikan.
Setelah selesai berdandan, Ling turun ke lantai bawah. Di meja makan, hanya ada satu orang yang sedang duduk—Mae. Suaminya sedang di kantor, dan Orm masih sakit, jadi siang hari seperti ini Mae biasanya makan sendiri.
Ling menghampirinya dengan langkah tenang.
“Mae...”
Mae menoleh dan tersenyum hangat. “Ling, sini duduk. Tadi pagi kamu belum sempat makan, kan?”
"Iya, aku ketiduran di kamar Orm," jawab Ling sambil menarik kursi.
"Bagaimana keadaan Orm?" tanya Mae sambil menuangkan air ke gelas.
“Udah lebih baik, Mae. Demamnya turun sedikit.”
"Syukurlah..." Mae mengangguk lega. “Ayo makan. Ini aku masakkan untuk kamu, dan ini ada bubur untuk Orm kalau nanti dia bangun.”
Ling mengangguk dan mulai menyantap makanan buatan Mae. Meski sibuk, ia selalu menghargai perhatian kecil seperti ini.
Setelah selesai makan, Ling berdiri sambil merapikan jasnya. “Aku berangkat ke kantor, ya.”
"Hati-hati, Ling. Semoga lancar diperusahanmu," kata Mae sambil tersenyum.
Ling membalas senyum itu, lalu melangkah keluar rumah dengan langkah pasti. Siap menghadapi pertemuan penting di siang hari itu.
Ling membawa mobilnya sendiri. Sejak Orm meyetir mobil miliknya sendiri , Ling kembali memakai mobil berwarna hitam dengan desain sederhana namun elegan. Ia memasuki mobil dengan gerakan tenang, menyalakan mesin, dan melaju menuju kantor.
Di sepanjang perjalanan, matanya fokus pada jalan, tapi pikirannya melayang ke satu hal—pertunangannya yang akan diadakan besok.
Hatinya terasa hangat hanya dengan membayangkannya. Sebuah senyum pelan muncul di sudut bibirnya, tanpa ia sadari. Senyum itu tidak dibuat-buat—senyum yang muncul karena antusiasme yang tak bisa disembunyikan.
Besok adalah hari yang penting. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ling merasa benar-benar menanti sebuah momen dalam hidupnya.
Tanpa bukti apa pun, hanya perasaan… tapi itu cukup.
____
Di sisi lain, Orm perlahan membuka matanya. Pandangannya masih sedikit buram, tubuhnya terasa berat. Ia menoleh ke kanan—kosong. Tidak ada Ling di sampingnya.
Detak jantung Orm seketika terasa tidak karuan.
“phi Ling…?” bisiknya pelan. Ia mencoba bangkit, meski kepalanya masih sedikit pusing.
Pikiran-pikiran buruk mulai menguasai benaknya. Apakah Ling pergi? Apakah Ling marah karena semalam Orm tidak cerita apa-apa?
Ketakutan itu hampir menelannya, hingga suara lembut menyela dari arah pintu.
"Sayang, ada apa?" suara itu... suara mae ibunya.
Orm menoleh cepat. "Mae... Phi Ling di mana?" suaranya gemetar, mata berkaca-kaca.
Ibunya tersenyum menenangkan. “Dia ke kantor, sayang. Katanya ada pertemuan penting siang ini.”
Orm mengembuskan napas pelan, perasaan lega menyapu seluruh tubuhnya. Jadi Ling tidak pergi... bukan karena marah... hanya bekerja.
Sang ibu mendekat, membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat dan segelas air putih. “Sayang, ayo makan dulu, ya. Habis itu minum obat biar cepat sembuh.”
Orm hanya mengangguk pelan. Ia tidak membantah, hanya menuruti. Ia menerima sendok dari sang ibu, lalu mulai makan perlahan.
Di hatinya, rasa takut tadi perlahan terganti oleh rasa rindu. Ia ingin Ling pulang cepat… dan ingin memastikan bahwa semuanya masih baik-baik saja.
Selepas selesai makan, ibunya keluar kamar dan Orm langsung menenggak obatnya tanpa pikir panjang. Rasa pahit masih menyisa di lidah saat tubuhnya kembali terbaring di atas kasur. Ia menarik selimut seadanya, lalu meraih ponselnya di meja samping. Layarnya menyala, dan sebuah pesan dari seseorang yang paling ia benci muncul di bagian paling atas.
Dosen Lea:
“Jangan lupa semalam.”
Orm terdiam. Matanya menatap kata-kata singkat itu dengan napas tertahan. Jari-jarinya mengepal di atas selimut, dan rahangnya mengeras.
Besok adalah hari pertunangannya. Hari yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan dan senyuman. Tapi entah kenapa, masalah ini belum juga selesai. Masih menggantung, masih menghantui.
Orm yang tadinya berbaring sekarang duduk di ujung ranjang, tangan memegangi kepala, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Tapi detik berikutnya, dering ponsel membuyarkan semuanya.
Drrt... drrt…
Nama yang terpampang di layar membuat jantungnya seketika berdegup kencang—Miss Lea.
Dengan ragu, ia mengangkatnya.
"Apa kau tak sabar menghancurkan aku, hah?" gumam Orm pelan sebelum menekan tombol jawab.
"Hai Orm, apa kabar?" suara Lea terdengar lembut namun menyimpan nada menggoda yang membuat bulu kuduk Orm meremang.
"Buat apa kau menelponku?" balas Orm dingin.
"Jangan galak-galak begitu, atau aku kirimkan foto kita semalam, saat kau berpelukan denganku... kepada kekasihmu itu. Katanya besok kau bertunangan, tapi kau tak mengundangku?" tawa lirih Lea mengalun lembut namun menakutkan. “Jangan sekali-kali mengabaikanku, Orm.”
Orm mengatup bibir rapat. Tubuhnya mulai gemetar. “Aku mohon, Miss... jangan ganggu hari kebahagiaanku. Aku—aku hanya ingin ini berakhir...”
Hening sejenak. Lalu suara Lea terdengar lagi, kali ini lebih tajam.
“Uhhh... hari kebahagiaanmu, ya? Baiklah...”
Tut
Telepon diputus.
Orm terpaku. Pandangannya kosong, ponsel tergenggam erat di tangan. Napasnya memburu. Jantungnya terasa berat. Ada firasat buruk yang tiba-tiba merayap dalam dadanya.
Lea tidak akan diam.
Dia pasti merencanakan sesuatu.
Dan jika benar... maka besok, hari yang seharusnya jadi hari pertunangan, bisa saja berubah menjadi hari kehancuran.