Secarik Puisi : Sungguh, Rasa Itu Mengusik Kalbu

1
0
Deskripsi

Rasa itu menyergap
Memaksa lutut untuk didekap
Kemudian mendikte apa yang harus diperbuat.

Pohon tua telah membusuk
Daun-daunnya terus bergugur
Tak elak mengundang kenyataan yang telah lama terkubur.

Bisik dan jerit saling bertaut
Mengambil andil dalam sandiwara klasik
Sebuah pertarungan yang mengusik.

Gagak hitam menjadi bangkai
Paru-paru dikoyak oleh sesama
Tak elak mengundang rasa getir yang terbenam dalam dada.

Dulu, sekarang, hingga nanti
Semua sama tak ada yang berganti
Termasuk kengerian yang terus menggerogoti hati.

Kerak bumi, 6 Mei 2021

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
Puisi
Sebelumnya Sebuah Cerita Pendek : Kehidupan yang Tak Hidup
1
0
 Nama?Jim.Jari-jari besar wanita gempal itu berhenti mengetuk tombol yang ada di mesin ketiknya, nama lengkap!! Matanya menatap tajam ke arahku, seakan bersiap menerkam tubuh ini.Aku menghela napas, Jimmy Dorpie.Saat malam kejadian, kau ada di mana?Sekali lagi aku menghela napas, tapi kali ini bukan jawaban yang kuberikan, melainkan palingan muka dan gelengan kepala. Bagai sistem otomatis, sebuah tangan besar seketika jatuh di belakang kepalaku. Kau mau menjawab atau tidak? Suara berat itu dibisikan ke telinga kanan, bersamaan dengan rambutku yang ditariknya ke belakang hingga bisa kutatap dengan sempurna lampu bohlam yang digantung tepat di atas meja besi ini.Aku menelan ludah.Sampai kapan? Mau sampai kapan kalian terus menanyaiku dengan pertanyaan yang sama? Sudah empat kali aku duduk di kursi ini dan harus menjawab pertanyaan yang sama dari empat mulut yang berbeda. Sebenarnya apa yang kalian cari hingga tega menyiksa orang sepertiku? Kalian mau mencari celah untuk menyerangku? Sudah kukatakan aku tidak bersalah. Di malam yang tenang itu aku sedang berada di dalam rumah, menonton acara televisi kesukaanku dengan sebungkus keripik kentang di tangan. Sebelum akhirnya belasan pria berseragam datang dan menyeretku ke sini, ke tempat di mana aku terus disiksa selama berhari-hari. Sudahlah, sebenarnya kalian sudah tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas kejadian itu, hanya saja kalian sedang mencari kambing hitam, dan kebetulan saja aku, seorang imigran tua yang hidup sebatangkara harus menebus kesalahan orang lain. Sayang sekali orang-orang seperti kalian yang sudah diberi kepercayaan oleh masyarakat ternyata harus menutup-nutupi sebuah kasus besar, karena kalian takut kepโ€” Sekali lagi, sebuah tangan besar jatuh di belakang kepala. Keras, begitu kerasnya hingga aku kehilangan kesadaran. ---Kalau musuhku yang mencela aku, aku masih dapat menanggungnya; kalau pembenciku yang membesarkan diri terhadap aku, aku masih dapat menyembunyikan diri terhadap dia. Tetapi engkau orang yang dekat dengan aku, temanku dan orang kepercayaanku: kami yang bersama-sama bergaul dengan baik, dan masuk rumah Allah di tengah-tengah keramaian. Biarlah maut menyergap mereka, biarlah mereka turun hidup-hidup ke dalam dunia orang mati! Sebab kejahatan ada di kediaman mereka, ya dalam batin mereka.Aku bukan seorang religius yang mengatasnamakan Tuhan di setiap langkahku, aku juga bukan seorang religius yang terus menyebut nama-nya dalam kegelapan, bahkan aku bukan seorang religius yang ingat kapan terakhir kali datang ke rumah-Nya. Tapi penggalan kalimat di atas akan terus tertanam dalam benak. Sebuah penggalan kalimat yang kuyakini bersumber dari salah satu kitab suci. Aku tak tahu pasti, entah dari kitab apa, ayat berapa, bahkan dari tuhan yang mana. Tapi penggalan kalimat di atas menggambarkan dengan jelas bahwa Tuhan mengasihi orang sepertiku.---Gelap. Ruangan berlapis beton seluas dua langkah pria dewasa ini tak sedikit pun membiarkan cahaya masuk untuk sekedar menyapa tubuhku yang mulai menggigil. Bahkan untuk melihat telapak tanganku sendiri, aku harus menunggu hingga segaris cahaya menerobos masuk melalui celah kecil yang biasa digunakan untuk menyodorkan tumpukan sampah yang mereka beri nama, makanan. Kasur, televisi, maupun baju ganti, seolah semua itu hanya khayalan di dalam sini. Dalam ruangan yang untuk berbaring saja aku harus menekuk lutut ini, hanya ada diriku yang berbagi tempat dengan oksigen yang sebentar lagi posisinya akan tergantikan oleh karbon dioksida. Sejatinya ruangan berlapis beton ini hanyalah tempat singgah sementara, sebuah ruangan yang mereka sulap menjadi ruang tunggu sebelum aku ditarik masuk ke tempat favorit mereka. Ruang pengakuan, kiranya begitu cara mereka menyebut sebuah ruangan yang penuh dengan noda darah dan potongan gigi yang terlepas dari akarnya.Danggg!!! Pintu besi ruangan ini dibuka dengan begitu kasarnya, menampakan dua orang berbadan raksasa berdiri tegap di mulut pintu.Keluar!!! Salah satu dari mereka membentak seraya menendang kakiku.Aku tidak langsung berdiri. Mataku masih menyipit, tak kuat menahan sinar terang yang seketika masuk ke dalam mata.Berdiri!!! Tangan besarnya menarik kaos lusuh yang kupakai hingga aku tersungkur di luar ruangan. Bagai permainan estafet, kini giliran pria besar berambut ikal yang menarik dan mendorongku hingga masuk ke tempat favoritnya, ruang pengakuan. Ruangan yang besarnya sepuluh kali ruang tungguku ini diwarna dengan cat putih, hingga sisa-sisa hasil kerja para keparat yang dilindungi negara itu tampak jelas membekas di tembok ruangan. Tak banyak perabotan yang ada di dalam sini, tepat di tengah ruangan, sebuah kursi kayu besar yang lengannya dililit dengan rantai besi tampak begitu rindu denganku yang sudah lima kali duduk di atasnya. Di sudut ruangan, peti-peti besi tampak bertumpuk menyembunyikan sesuatu yang ada di dalamnya. Sedangkan di salah satu sisi ruangan, sebuah tiang horizontal dengan tiga rantai yang menjuntai ke bawah dipasang sekitar dua meter di atas lantai.Tiba-tiba seorang pria bertubuh lebih besar dengan pelipis yang penuh luka bekas jahitan masuk ke dalam ruang pengakuan. Buka!!! Buka bajumu!!!Aku menelan ludah. Kepalaku menunduk, tak berani terlalu lama menatap rasa kebencian yang tergambar jelas di dalam bola matanya.Kau tak dengar dia?!! Pria berkulit cokelat mendekat.Tak berselang lama, tubuh kurusku yang tak segan untuk menampakan kerangka penyusunnya ini kini telah terpelanting jatuh ke lantai, tak lagi mampu menahan lengan berotot yang menghantam tubuh ini. Tak bisa melawan, aku hanya bisa merintih kesakitan seraya menanggalkan kaos lusuh yang menyembunyikan bentuk tulang rusukku dibalik cetakan kulit keriput.Celana!! Lepaskan semua!!! Aku menggeleng.Satu hal yang kupelajari selama beberapa hari berada di sini, bila aku berani menentang perintah mereka, maka aku juga harus rela mukaku disepak oleh alas sepatu. Ya, itulah yang terjadi sekarang. Sekali lagi aku tak bisa melawan, aku hanya bisa pasrah melihat celanaku dilucuti oleh mereka seraya menyeka darah segar yang mengucur dari lubang hidung.Dalam keadaan telanjang bulat, mereka menyeret tubuhku, menariknya hingga ke salah satu sisi ruangan dan menjinjing leher hingga aku berdiri bersandarkan dinding putih. Sekali lagi kepalan tangan berotot bersarang di bawah dagu, mengakibatkan kedua rahangku saling bertumbuk dengan keras, begitu kerasnya hingga pandangan mataku harus kabur sejenak. Sekejap aku meringis, menahan rasa sakit pada leher dan kedua pergelangan tangan yang dibelenggu oleh rantai yang diikat pada tiang horizontal.Pasrah, itulah satu-satunya hal yang paling mungkin kulakukan saat ini.Beberapa meter di depanku, pria dengan luka bekas jahitan di pelipis sudah berdiri tegap dengan selang pemadam kebakaran di tangannya. Sebelum aku melakukan ini, apakah ada sesuatu yang ingin kau ucapkan? Sesuatu yang bisa membuatku tersenyum lebar.Aku tak menjawab. Aku terlalu sibuk mengatur napas yang sudah tak karuan.Sejenak pria itu menyeringai, kemudian kepalanya dianggukan, seolah memberi sinyal kepada kawan yang berdiri di belakangnya. Seketika mulut selang yang mengarah tepat ke tubuhku menyemburkan air dengan begitu keras. Dingin, sangat dingin hingga aku tak bisa lagi merasakan kaki yang masih menapak pada lantai. Dengan tangan dan leher yang dililit dengan rantai, sebisa mungkin aku meringkuk, berusaha agar tubuhku tak terkena pancaran air. Tak terlalu lama, tiba-tiba air yang menyembur dari dalam selang berubah menjadi panas dengan kepulan asap yang menguap ke udara. Panas, sungguh panas sampai-sampai kakiku terus menendang ke sana kemari, tak tahan dengan panasnya air yang menyentuh kulit. Dalam sekejap, air yang keluar dari dalam selang kembali berubah. Dinginnya air kini kembali menyembur, memicu rasa perih yang begitu menyiksa permukaan kulit. Bagai gerak refleks, pita suara dalam tenggorokanku bergetar hebat, mengeluarkan suara yang begitu kencang, berharap rasa sakit ini menghilang bersama teriakan yang menggema di langit-langit ruangan. Bagai sebuah permainan, kini air panas kembali disemburkan hingga badanku harus berkejang menahan semua penderitaan. Di balik jeritanku, samar-samar suara tawa terdengar memenuhi ruangan ini.Mungkin terlihat sepele, tapi percaya padaku, rasa sakit ini membuatku sangat tersiksa. Entah berapa lama mereka melakukan ini, tapi bagiku sudah berjam-jam tubuh ini dibelengu di bawah siraman air yang suhunya terus berubah-ubah.Bagaimana rasanya? Enak? Pria dengan luka bekas jahitan di pelipis itu mendekat dan membisik tepat di depan mukaku, kalau sekarang bagaimana? Apakah ada sesuatu yang ingin kau ucapkan? Sesuatu yang bisa membuatku tersenyum lebar?Seketika aku meludahi wajahnya, bangsat!!!!Saat itu juga, sebuah tongkat kasti menghantam tulang rusukku.---Kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa.Berpuluh-puluh tahun lalu, setiap kali aku pulang dengan wajah lebam akibat perkelahian dengan anak-anak kulit putih, penggalan kalimat yang diambil dari salah satu wahyu tuhan itu terus diucap oleh Ayahku sembari menggenggam kalung salibnya.Jujur aku tak percaya dengan tuhan. Jika bukan karena turunan dari orang tua, mungkin saja kolom agama dalam kartu identitasku hanyalah sebuah garis setrip. Tapi kali ini tidak. Dalam gelapnya ruangan, pengalan kalimat itu terus menggema dalam benak.---Aku tak tahu pukul berapa sekarang. Aku juga tak tahu apakah jalanan di luar sana sedang dibakar matahari atau hanya diterangi sinar bulan. Satu hal yang kutahu, mereka sudah sangat lama tak menyeretku keluar dari ruang tunggu ini.Segaris cahaya menimpa mataku yang masih terpejam. Tepat di depan pintu, seorang pria berseragam melemparkan sesuatu ke arahku, pakai!Aku belum sepenuhnya sadar, tapi pintu besi ruangan ini sudah kembali dikunci rapat.Dalam gelap, kubungkus tubuh kurus yang penuh lebam dan luka bakar ini dengan kemeja dan celana kain. Sejenak aku diam, mengawang sesuatu yang tak pasti. Sungguh aku tak tahu siksaan apa lagi yang akan mereka hadiahkan padaku. Bagai buronan perang, hatiku tak pernah tenang selama berada di sini. Hidup bagai telah mati. Berdetak bagai telah berhenti. Bernyawa bagai telah berpulang. Satu dan hanya satu-satunya hal yang bisa kulakukan, pasrah.Sekali lagi pintu besi ruangan ini mendecit begitu di buka lebar-lebar.Keluar! Pria berseragam kembali muncul di depan pintu.Aku menelan ludah sebelum akhirnya melangkah pasrah keluar ruang tunggu. Tepat di depan perut, sebuah borgol sudah melingkar di pergelangan tanganku.Jalan! Ia mendorongku, digiringnya tubuh ini melewati satu per satu ruangan yang ada di lorong panjang.Masuk! Sebuah ruangan yang sudah tak asing bagiku terpampang tepat di depan muka.Dalam ruangan persegi, tiga pria bertubuh besar sudah berdiri di dalamnya, seakan memang menunggu kehadiranku. Tepat di bawah lampu bohlam yang menggantung di tengah ruangan, seorang wanita berambut panjang sudah duduk di balik meja besi.Tuan Dorpie. Wanita berambut panjang itu bangkit dari kursi, membiarkan senyum lebar mengembang di wajahnya.Aku melangkah pelan dengan bola mata yang mengedar ke setiap penjuru ruangan.Tuan Dorpie, saya sudah menunggu anda sejak tadi. Tangannya diulur tepat di depan dadaku.Aku tak menyalaminya. Mataku justru menatap dengan begitu tajam hingga pelupuk mataku berdenyut dibuatnya. Sungguh, aku jijik melihat senyum palsu itu.Lenggang.Silakan duduk, tuan. Ia menarik kursinya dan duduk lebih dulu di hadapanku.Langsung saja, waktu saya tidak terlalu banyak, ucapnya sambil mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam koper kecil, sebelumnya perkenalkan, saya Natasha Rice, perwakilan dari pihak yang anda lawan.Aku tak memberi respon. Aku lebih suka memandangi wajahnya hingga membuat mual perut kurus ini.Saya kira anda sudah tahu permasalahan di antara kita. Di sini saya akan memberikan penawaran terbaik. Penawaran yang menguntungkan untuk kedua belah pihak. Bagaimana? Anda tertarik? Senyuman menjijikan kembali terukir di atas bibir merahnya. Sebuah senyuman yang membuat siapa saja yang melihat ingin merobek bibir murahan itu.Aku tetap diam.Sunyi. Sangat lama kekosongan hinggap di antara mata yang saling berkontak ini.Apa benar kau hidup sebatang kara, Jim? Tubuhnya disandarkan ke belakang dengan kaki yang menyilang.Ia mendengus, berusaha menahan tawa yang hampir keluar dari mulut murahannya itu, sayang sekali. Tapi untungnya kau masih punya kerabat jauh, kan? Michella Dorpie hidup dengan dua anaknya di Whitefish; Willie Dorpie tinggal bersama istri dan Ibu mertuanya di San Bernardino; dan yang terakhir, anak emas dari keluarga Dorpie, Sammy Dorpie si pengusaha sukses dari Manhattan. ucapnya sambil membalik satu per satu lembaran kertas yang ada di atas meja, tentu kau ingin mereka semua selamat, kan?Kau sentuh mereka, kubunuh kau!!! Aku berdiri, hampir menubruk wanita itu dengan tubuh kurusku.Serentak tiga pria yang berjaga di belakang menarik tubuhku kembali duduk di atas kursi.Tenang tuan-tuan. Wanita itu mengangkat tangannya ke udara, seketika membuat tiga pria itu melangkah mundur, di sini kita bicara baik-baik, tidak perlu ada yang disakiti. Bukan begitu, tuan Dorpie?Kalian sudah menyiksaku, Bangsat!!! Kalian menyeretku ke tempat seperti ini. Membiarkan aku tidur bersama dengan kotoranku sendiri. Kalian memberikan makanan basi untukku. Kalian memukuliku!! Kalian menendangku!! Kalian mencabut satu persatu gigiku!! Kalian menyentrumku!! Kalian membenamkam wajahku ke dalam air!! Kalian memaksaku mengakui hal yang tak kuperbuat!! Bahkan aku tak mendapatkan hak bertemu dengan pengacaraku. Kalian menangkapku dengan ilegal!! Kalian bangsat!! Kalian keparat!! Aku bisa menuntut kalian!!!Sekali lagi wanita itu mendengus dengan senyum lebar terukir di wajahnya, menuntut? Mungkin kepalamu baru saja terbentur hingga lupa sedang berurusan dengan siapa. Lebih baik kau mendengar penawaranku terlebih dahulu, tuan Dorpie. Mau sampai kapan kita seperti ini terus?Tanda tangan di sini. Ia menyodorkan selembar kertas. Lusa, anda mengakui semua perbuatan itu dan anda hanya akan dikurung selama lima belas tahun. Setelah bebas, seratus ribu dolar akan ada di rekening anda.Tak sudi aku menerima uang itu!!! Aku meremas kertas dan melemparkan ke arahnya.Ia menyeringai, sepertinya anda belum benar-benar paham, tuan Dorpie. Jika anda tidak mengambilnya, maka hukuman yang lebih berat akan menimpa anda, dan uang itu akan hilang begitu saja. Selain itu ... Maaf, aku juga tak bisa menjamin keselamatan keluarga Dorpie.Aku tidak bersalah, bangsat!!! Presiden gila itu yang membunuh anaknya sendiri demi mendapat belas kasihan dari para pendukungnya!! Aku menggelengkan kepala, demi mendapat kekuasaan untuk empat tahun ke depan, ia tega menumpahkan semua kesalahan pada pria kulit hitam.Sayang sekali semua bukti tertuju kepada anda, tuan Dorpie. Lebih baik kau pikirkan dengan matang.Jika aku harus membusuk dalam kurungan, biarlah. Tapi akan kutunggu kalian membusuk di neraka.---Pemilik ladang jagung dinyatakan bersalah atas meninggalnya putra presiden yang beberapa waktu lalu ditemukan terbaring tak bernyawa dengan luka tembak di dada. Atas perbuatannya itu, mahkamah agung menjatuhkan hukuman mati bagi tersangka. Sebentar lagi kita akan tersambung dengan rekan reporter yang meliput secara langsung pernyataan presiden Ricky Ring pasca ditetapkannya hukuman bagi tersangka.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan