01. Huru-Hara Leon di Sekolah

56
3
Deskripsi

Huru-Hara keseharian Leon di SMAN 188 Jakarta

“Tempat pensil gue di mana, Woy! Kelas ini punya tukang nyolong, ya! Anjir dah, meleng dikit, langsung ilang. Heran!”

Di barisan pojok paling belakang, Leon hanya tersenyum miring sambil menggaruk hidungnya. Diam-diam, dia melirik kolong mejanya, menatap tempat pensil merah jambu yang sejak tadi dia sembunyikan.

“Ini seriusan! Tempat pensil segede gaban kagak ada yang liat!”

Suara cempreng Denis saat jam kosong adalah hiburan bagi Leon. Gadis manja berjilbab putih, si tukang ngomel itu memang paling rempong di kelas. Makanya, Denis selalu menjadi sasaran empuk kejahilan seorang Leon Jovandiro.

Sambil mendengarkan bagaimana Denis terus menggerutu mencari kotak pensil, Leon menatap lapangan sekolah melalui jendela samping mejanya. Sekarang belum waktunya istirahat memang, jadi di luar cukup sepi, kecuali kelas yang memiliki jadwal olahraga.

SMA Negeri 188 Jakarta menjadi sekolah yang Leon pilih. Tak ada yang spesial dari sekolah itu, kecuali jaraknya yang cukup jauh dari rumah. Daripada sekolah di swasta yang menguras otak dan kantong Ayah, Leon lebih memilih sekolah negeri.

“Biar Noel aja yang habisin duit ayah.”

Itu candaan Leon saat meminta izin dari ayah dan bunda agar bisa sekolah di sekolah negeri. Ya, berbeda dengan adiknya, Noel, yang sekolah di sekolah mahal dari TK hingga SMA, Leon memang tidak cocok sekolah di sekolah elit. Apalagi dengan bahasa Inggris dan Mandarin yang menjadi bahasa sehari-hari di sekolah. Belum lagi dengan persaingan dan kurikulum yang tinggi. Mendapat nilai 85 di ulangan Bahasa Inggris saja sudah membuat Leon sangat bersyukur.

Ah, pada intinya, jangan paksa Leon untuk mengikuti jejak adiknya menghabiskan uang ayah. Leon sudah sangat menikmati kehidupan sekolahnya, terutama saat jam kosong dan keseruan menjahili Denis.

Setelah puas mendengarkan suara cempreng Denis, Leon kembali memutus pandangannya dari lapangan sekolah. Dia menatap Denis yang masih sibuk mencari kotak pensil dari meja ke meja.

“Betina, cari ini?!”

Leon mengangkat kotak pensil merah jambu bergambar idol K-pop di tangannya. Bujang bermata sipit itu tertawa puas sambil mengolok-olok wajah masam Denis.

“Anjing, Leon! Emang selalu lo biang keroknya.”

Denis berjalan dari bangku barisan depan, mendekati Leon yang sekarang menumpang kaki sambil membolak-balikan tempat pensil itu. Denis rebut kotak pensil itu dengan kasar.

“Dan satu lagi, nama gue Denis bukan betina.”

Leon menaikkan kedua alis tebalnya. “Tapi lo betina, ‘kan?”

“Nama gue Denis.”

“Nih, masalahnya kalo gue manggil lo Denis, Si Denis juga nengok.” Leon menatap temannya yang sibuk main game di bangku depan. Anak itu juga bernama Denis, beda kelamin aja kalau kata Leon. “Gue sih gak suka buat orang salah paham, ribet.”

“Ya, lo bisa panggil gue Nisa, Denisa.”

Leon mengulum senyuman. “Pengen banget dipanggil Nisa. Buka cadarmu Nisa.”

Ucapan Leon disambut gelak tawa oleh semua anak di kelas, termasuk Ipong, teman sebangku Leon.

“Anjir, Leon. Aisyah bukan Nisa!” sahut Ipong sambil menepuk pundak Leon.

“Oh udah ganti?” tanya Leon asal.

“Dari dulu juga Aisyah!”

Leon kembali tertawa dan kembali menatap  Denis.

“Gue benci sama lo, Leon!” Denis melengos, meninggalkan Leon dan tempat duduknya.

“Bagus! Setidaknya, perasaan lo gak bertepuk sebelah tangan,” sahut Leon.

Denis menoleh sambil mendelik, kemudian mengangkat kedua jari tengahnya, tapi dibalas finger love oleh Leon.

Denisa Putri dan Leon Jovandiro dikenal sebagai Kucing dan Anjing di kelas XI IPA 2. Tiada hari tanpa percekcokan dua bocah beda kelamin itu. Entah apa yang melatarbelakangi kedua anak itu terus bertengkar, semua orang hanya berharap keduanya berakhir dengan jatuh cinta. Meskipun, Leon dan Denis dengan kompak menjawab, “Amit-amit jabang bayi!”

“OSIS kumpul di Aula sekarang!”

Tiba-tiba, seseorang berteriak di ambang pintu kelas. Dia Nuca, ketua kelas dari kelas kelas sebelah.

“Leon, Reonalpant, dan Denis Kuadrat,” kata Nuca, mengabsen setiap anggota OSIS di kelas Leon.

Leon dan Ipong alias Reonalpant langsung bergegas keluar kelas dan diikuti oleh kedua Denis jantan dan betina.

Oh ya, tentang OSIS. Sebetulnya, Leon tidak terlalu niat untuk gabung di organisasi yang kata si Ipong lebih mirip babu sekolah. Tapi, berhubung Leon punya aspirasi untuk membentuk ekstrakurikuler band di sekolah, jadi dia dan geng-gongnya masuk ke OSIS, termasuk Ipong dan Nuca.

Namun, setelah hampir satu tahun menjabat di divisi masing-masing, ektrakurikuler band itu masih saja menjadi wacana tanpa wujud. Makanya, jangan tanya seogah apa Leon saat ikut perkumpulan OSIS. Dia bahkan menyeret langkahnya sepanjang koridor kelas.

Dan, bukannya langsung ke aula, Leon dan Ipong malah melipir ke kantin. Mereka berdua sengaja mengulur waktu sampai kumpulan OSIS itu selesai dan akan datang di akhir, kira-kira 10 menit sebelum selesai.

Begitulah rencananya.

Namun, saat Leon dan Ipong sampai di aula dengan minuman Power F berwarna ungu di tangan mereka masing-masing, perkumpulan para babu sekolah itu malah belum dimulai.

“Nah, yang ditunggu akhirnya datang,” ucap Nuca.

“Siapa? Gue?” tanya Leon.

Nuca mencebik. “Iye! Ini loh rencana pensi yang lo ajuin waktu itu, di-ACC sama Kepala Sekolah. Kita sekarang mau rembukin gimana acaranya. Kepala Sekolah minta acaranya minggu ini.”

“Minggu ini? Yang bener aja—”

“Rugi dong!” Itu Minu yang menimpali, masih termasuk geng-gong Leon juga.

“Anjir, Minu. Diam dulu lo!” Leon langsung ikut duduk lesehan di lantai, mendekati Nuca yang masih belum selesai bicara.

“Iya, pokoknya gitu sih keputusannya. Kepala sekolah sangat berharap acara pensi ini berjalan lancar dan meriah.”

Leon menggaruk kepalanya. Setelah menyeruput habis minuman di tangannya, dia menatap Nuca dengan serius. Jujur, Leon juga ngasal mengajukan acara pensi itu. Proposal aja dia download dari scribe. Tadinya, hanya untuk formalitas persyaratan gabung dengan OSIS.

Leon mendekatkan wajahnya ke telinga Nuca. “Gue gak ngerti soal acara,” bisiknya.

Diskusi panjang tanpa solusi pun berlangsung lama hingga pulang sekolah. Bahkan, saat semua anak sudah berhamburan keluar, mereka masih berputar-putar memilih siapa yang bertanggung jawab dan menjadi ketua pelaksana.

Leon yang sejak tadi duduk gelisah mulai merasakan getar ponsel di saku celananya. Hari ini, dia janji pulang tepat waktu pada ayah. Makanya, sejak jam 4, pria tua terus menelepon Leon.

“Ekhem.” Leon berdeham sambil mengubah posisi duduknya. “Gue cabut duluan, ya.”

“Lah,” sahut Ipong tak terima. “Lo yang punya ide, masa lo yang cabut duluan.”

“Terserah kalian dah, gue ngikut aja.”

“Gak bisa gitu dong. Masa lo mau lepas tangan gitu aja.” Denis betina ikut menimpali.

“Iya anjir, lo gak tanggung jawab,” tambah Minu.

“Terserah dah itu acara mau dibuat apa. Intinya gue cabut, bye!”

Leon terbirit dengan tas punggung yang tersangkut di salah satu pundaknya. Bujang bermata sipit itu berlari ke parkiran sekolah. Namun, baru saja kakinya sampai di area parkir, dia kembali putar arah ke area kelas yang jaraknya lumayan jauh dari parkiran.

Tupperware bunda ketinggalan!” teriaknya.

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya AU Abang Leon | Part 28
26
1
Moment Noel datang ke basecamp Kemaren Sore demi ketemu Abang Leon.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan