Xavier & Rachel (Chapter 1-3) Free

12
2
Deskripsi

Spin-off Prasangka.

Blurb:

Aku pengacara mapan yang punya istri dan pacar. Keren? Tidak sama sekali. Aku pusing dibuatnya. Bereksperimen dengan perasaan dan simulasi pernikahan karena sebuah wasiat membuat kehidupanku jungkir balik. Sumpah, nggak bohong!

Aku punya pacar, asisten pribadiku. Namun, aku terpaksa menikah dengan ABG bernama Rachel Narendra yang layak jadi adikku. Menyelaraskan pemikiran dengannya bukanlah hal yang mudah meskipun hanya berpura-pura. Jiwa playboy-ku bereuforia, tapi jiwa...

Chapter 1

Everyone loves a simple thing, tak terkecuali aku. Meskipun begitu, hidup dan pekerjaanku hampir tak pernah bersinggungan dengan kata simpel. Everything is complicated. Seperti saat ini, seharusnya aku beristirahat atau mengambil cuti setelah memenangkan kasus besar yang menguras tenaga dan pikiranku. Namun, sekali lagi aku harus melayani klienku, tepatnya mantan klien, hanya untuk membantunya mengejarkan tugas-tugas yang diberikan gurunya di sekolah.

Sumpah, aku ingin menolaknya. Aku pengacara kondang yang mempunyai posisi Managing Partner di firma hukum tempatku bernaung. Aku bukan babysitter, tapi sepertinya bocah itu memiliki bakat alami yang membuatku selalu pasrah untuk menjadi pengasuh sekaligus guru privatnya. Menyebalkan!

Nona muda Narendra sekarang ada di hadapanku. Ia duduk di seberang meja kerjaku. Dengan kebiasaan buruknya menumpuk dan membuka buku-buku pelajarannya di atas meja kerjaku, ia membuat meja kerjaku berantakan. Anehnya, aku selalu tidak bisa mengusirnya. Dia itu seperti lintah yang menempel dan menghisap seluruh kemampuan menolakku.

"Om, kenapa sih kadang kasus perdata bisa berakhir menjadi kasus pidana?" Si nona muda dengan santainya dan sambil menulis, entah apa yang ditulisnya di atas buku besarnya, ia bertanya tanpa memandang ke arahku.

Aku bersedekap sembari memperhatikannya. Apa begini ya kelakuan anak zaman now? Mereka bertanya tanpa melihat pada orang sedang diajaknya bicara. Menurutku sangat tidak sopan ketika seseorang berbicara, ia tidak memandang ke arah lawan bicaranya.

Selama beberapa saat aku bungkam, aku enggan menjawab. Suasana hatiku sedang tidak bagus. Aku bukan orang yang mudah tersinggung. Tetapi sikap Rachel, si nona muda, siang ini bikin aku pengen makan orang.

Ia mengangkat wajahnya. Iris cokelatnya bertaut dengan tatapanku. "Om, kok nggak jawab, sih?"

"Bisa nggak kamu tidak memanggilku Om? usiaku baru 29 tahun dan aku lebih muda dua tahun dari kakakmu," tandasku diiringi nada geram.

Ia mengangkat alis lalu tersenyum. Reaksi yang sungguh di luar dugaanku. Kupikir ia akan marah atau setidaknya tersinggung, lalu menangis seperti gadis-gadis rumahan yang hatinya selembut salju.

"Ya, udah. Rachel panggil kakak aja, ya. Biar sama kayak kak Dani." Ia kembali menampilkan lengkung senyuman yang mirip bulan sabit. "Jangan ngambek begitu. Kakak jadi kelihatan jelek," imbuhnya membuatku geram.

Aku melotot. Beraninya Rachel menyebutku jelek. Dalam pose terjelek sekali pun, aku tetap digilai cewek-cewek. Aku punya tubuh atletis, wajah setengah bule warisan Mommy, dan IQ yang cukup tinggi turunan dari gen Daddy. Satu lagi yang bikin cewek klepek-klepek, aku punya kehidupan yang mapan. Itu artinya nilaiku di atas rata-rata. Gadis ingusan ini membuatku senewen.

“Kakak belum menjawab pertanyaan Rachel.” Rachel terus mendesak seolah sedang menguji kepiawaianku dalam bidang hukum.

“Kasus perdata bisa berubah menjadi kasus pidana bila ditemukan unsur kriminalisasi di dalamnya. Contohnya dari kasus utang piutang, tapi kemudian ada unsur penipuan di dalamnya.”

Tok-tok-tok!

Yes! Syukurlah ketukan pintu mengakhiri sesi tanya-jawabku dengan si nona muda. Aku terbebas sementara.

"Maaf, Pak Xavier." Dinda asistenku yang cantik, imut, dan semok melongok dari pintu. Ia kemudian berjalan mendekat pada kami dengan baki berisi dua piring steak dan salad.

Nih, mata rasanya langsung melek kalau melihat si Dinda berjalan. Gerakan pinggulnya sudah mirip goyangan belly dancer. Bikin gereget. Rasa kesalku pada si nona muda menguap seketika.

"Pak, saya simpan di sini saja ya makan siangnya." Dinda meletakkan piring-piring itu di atas coffee table karena meja kerjaku sudah diporakporandakan bocah ingusan yang sedang sok asyik di depanku ini.

"Iya. Terima kasih, Din."

Dinda melempar senyuman manisnya padaku. Adududuh! Senyumannya langsung menghunjam jantungku dan membuat organ paling vital di tubuhku itu hampir berhenti berdetak.

"Saya permisi dulu, Pak." Dinda berbalik.

"Bu Dinda!" Suara cempreng Rachel menghentikan langkah Dinda sebelum mencapai pintu.

Dengan anggun Dinda berbalik dan dengan pandangan super ramah ia memandang ke arah Rachel. "Iya, Mbak Rachel."

"Bu Dinda sudah punya pacar?" tanya Rachel straight to the point

Dinda tersenyum lalu menggeleng. "Belum, Mbak. Emang kenapa?"

"Kak Xavier juga belum punya pacar."

Sial! Ngomong apa sih si Rachel ini? Spontan, aku mencubit ujung hidung mancungnya. "Ngomong apa, sih, kamu?"

Aku menoleh pada Dinda. "Jangan dengerin dia, Din. Makasih ya sudah bawain makan siangku ke sini."

Dinda mengangguk. Aku melihat rona kemerahan di wajah asistenku itu. "Iya, Pak. Saya permisi."

Aku memukul pelan lengan Rachel dengan salah satu bukunya yang berserakan di atas mejaku. "Rachel, kalau ngomong itu jangan sembarangan. Direm sedikit tuh mulut!"

"Yeah! Rachel hanya mencoba membantu Om, eh, Kak Xavier. Rachel lihat pandangan Kakak ke Bu Dinda itu beda banget. Kayak gemes-gemes gimana gitu?"

"Maksudnya gemes-gemes apa?" Aku mengangkat daguku sok arogan.

Kulihat Rachel mengembus napas panjang, lalu menatapku tajam, dan kemudian berkata dengan lugas, "Kayak pengen nelen dia."

"Sok tahu!"

Nih, anak sudah mulai songong. Aku berdiri lalu berjalan melintasi mejaku. Menyadari gelagatku yang siap ngajak perang, Rachel lebih dulu berdiri dan berlari ke arah pintu. Aku mengejarnya dan berhasil meraih tubuh mungilnya. Aku mendekapnya dari belakang. Takkan kubiarkan penjahat cilik ini lari. Aku harus menjitaknya, ya, minimal mencubit pipinya agar ia bisa sedikit menjaga lisannya.

"Kakak, ampun, Ka. Sorry, sorry, Rachel cuma bercanda!" teriaknya saat aku berusaha mencubit pipinya dengan sebelah tanganku, sementara tanganku yang lain masih melingkar dan menahan pinggang rampingnya.

"Nih, biar kamu nggak sembarangan ngomong lagi." Aku berhasil mencubit kecil pipinya.

Rachel meronta sambil mengusap bekas cubitanku. "Kakak, ih, sakit tahu!!!"

"Ehem!!!"

Dehaman itu mengejutkanku. Aku langsung menghentikan aktivitasku, melepas lingkaran tanganku dari pinggang Rachel. Waduh! Kok tiba-tiba ada Daddy? What the hell is he doing here?

"Jadi, begini pekerjaanmu di kantor? Pantas saja sekarang kamu enggan nengokin Daddy sama Mommy lagi," sindir Daddy.

Daddy duduk bersandar di sofa panjang. Dia menyilangkan pergelangan kaki, lalu menjulurkan kaki jauh ke depan. Menautkan jemari, menggenggam tangannya sendiri. Daddy kemudian meletakkan genggaman tangan di perut dan tampak tak acuh padaku dan Rachel.

Rachel seperti ABG yang kepergok sedang melakukan kesalahan dan menanti dihakimi. Ia hanya berdiri mematung dengan pandangan gugup. Aku merasa puas dan tertawa dalam hati melihatnya gugup dan membeku seperti itu. Rasain kamu! Aku tak percaya jadi kekanak-kanakan gara-gara dia. 

"Daddy jangan mikir yang aneh-aneh, ah. Xavier tuh lagi ngasuh. Ngasuh anak baru gede ini." Aku mengacak rambut Rachel.

Rachel hanya melirik padaku. Respons yang ia tunjukkan tidak berlebihan.

"Kamu nggak berniat ngenalin "anak asuh" kamu?" Daddy kembali melempar sindirannya.

Huft! Orang tua ini benar-benar berpikir aku ada main dengan ABG labil ini. Aku merangkul Rachel. "Dad, dia ini Rachel Narendra. Anaknya almarhum Om Anthony Narendra. Adiknya Danial Narendra. Xavier kan pernah cerita ke Daddy soal Danial dan Rachel.”

Kerasnya wajah Daddy seketika melembut. Tatapannya pada Rachel berubah tenang dan menyenangkan. "Wah, tidak sangka anak si Anthony sudah besar, cantik pula. Terakhir Om melihat kamu, saat Om menjenguk mamamu di rumah sakit. Waktu itu kamu masih sangat kecil."

Sudut bibir Rachel terangkat membentuk senyuman. Ia mengulurkan tangannya pada Daddy. "Halo, Om. Saya Rachel."

Daddy menegakkan posisi duduknya lalu menyambut uluran tangan Rachel. "Saya Syahrier Mahardika, Daddynya Xavier."

"Senang bisa mengenal Om," ucap Rahel.

Nih bocah, pinter banget nyari perhatian Daddy. Baru kenalan saja, ia langsung bisa mengubah tampang Daddy yang tadinya mirip si Thanos yang lagi ngambek menjadi tampang Captain America yang menang perang, semringah.

"Om juga senang bisa kenal lebih cepat dengan calon menantu Om." Jawaban Daddy yang antusias membuatku terpaku. Wait! Bilang apa Daddy tadi?

What?!!! Calon mantu?  "Maksud Daddy apaan, sih? Kalau bercanda lihat situasi dan kondisi dong, Dad. Jangan bikin Rachel Ge-Er. Kasihan, dia kan jombo imut."

Rachel memelototiku sambil mengerucutkan bibirnya. "Mending aku jomblo imut, daripada Kakak jomblo akut,” tutur Rachel.

Daddy bersedekap lalu menandaskan, "Daddy serius. Bahkan, duarius. Begini saja, besok kalian berdua, Danial, dan istrinya juga harus ikut sebagai saksi, kita akan membicarakan ini sambil makan malam."

Aku dan Rachel saling berpandangan dengan mulut terbuka seperti orang bego.

 

Chapter 2

Daddy kerasukan setan dari mana sih tiba-tiba ngomongin masalah calon mantu? Si Rachel pula yang jadi kandidatnya. Beneran nih Daddy sedang nggak sehat. Daddy butuh diperiksa Om Arsyad, dokter pribadi keluargaku dan juga keluarga Rachel. Siapa tahu saja ada yang tidak beres dengan kepalanya. Apa mungkin Daddy mengalami kecelakaan yang menyebabkan kepalanya terbentur sebelum datang ke sini?

"Kak...," ucap Rachel lirih setelah Daddy meninggalkan kami berdua.

"Rachel...," balasku hampir bersamaan dengan Rachel. "Kamu duluan, deh."

"Kakak aja yang duluan. Kan Kakak yang lebih tua," celetuknya.

Aku menelengkan kepala, menyipitkan mata menatapnya, lalu membalas sindirannya. "Yang tua ngalah sama yang muda."

Rachel menyilangkan kedua tangan di bawah dada ratanya lalu bersandar sok santai ke punggung sofa. "Daddy-nya Kakak serius nggak sih tadi?"

Aku mengembus napas kasar dan mengikuti gaya sok santai Rachel, bersandar ke punggung sofa. "Tentu saja Daddy bercanda. Masa iya serius? Aku menikah dengan kamu? Yang benar saja."

Aku kembali megembus napas. Aku tahu Daddy tidak pernah bercanda dengan semua ucapannya. Semoga saja tadi ia sedang melindur atau sedang khilaf.

"Jiah! siapa juga yang mau menikah dengan Kakak. Rachel juga udah punya gebetan. Dia kece dan dia juga anak basket. Pokoknya keren abis." Dengan bangganya Rachel mendeskripsikan gebetan tidak pentingnya itu padaku.

Aku menopang kepala dengan kedua tanganku di bantalan punggung sofa. "Jangan Ge-er kamu. Aku tuh nggak suka anak kecil. Aku suka cewek dewasa yang cantik, bohay, pengertian, dan nggak manja."

"Kayak Bu Dinda gitu?"

"Ya, kurang lebihnya seperti itu."

Rachel menarik punggungnya dari punggung sofa lalu menyerongkan posisi duduknya menghadap ke arahku dengan mengacungkan jempolnya tanda setuju. "Cocok. Rachel suka tuh kalau Kakak sama Bu Dinda. Bu Dinda orangnya baik."

Aku menarik sebelah ujung bibirku, tersenyum kecut. Sok tahu banget si Rachel ini. "Pokoknya, kamu jangan lupa menyampaikan undangan makan malam dari Daddy buat Danial dan Ayu."

"Siap, Bos!"

***

Perasaanku tidak karuan sejak meninggalkan rumah tadi. Sepanjang perjalanan ini aku terus memohon pada Penguasa semesta agar ucapan Daddy kemarin itu hanya kekhilafannya semata. Pasalnya, aku sangat mengenal orang yang menurunkan gen kecerdasannya itu padaku. Daddy tidak pernah bicara yang tidak penting dan selalu serius dengan semua kata-katanya. Mampus aku jika seandainya Daddy memilih Rachel menjadi calon menantu. Bukan aku tidak menyukai Rachel. Hanya laki-laki bodoh yang tidak menyukainya. Wajahnya yang imut, body-nya yang semampai, dan otaknya yang cukup encer walaupun kadang-kadang mampet, semua itu tidak bisa diabaikan dari diri Rachel. Yang jadi masalah, Rachel itu masih anak-anak dan aku tidak suka menjalin hubungan dengan gadis yang usianya terpaut jauh di bawahku. Mereka hanya akan membuat hidupku kacau. Aku lebih suka berteman dengannya seperti sekarang ini. Berhubungan layaknya kakak-adik, itu sudah cukup bagiku. Rachel tidak termasuk dalam daftar pinanganku.

Aku melihat mobil Danial sudah nongkrong di halaman rumah Daddy. Sepertinya aku datang terlambat beberapa menit.

"Akhirnya anak Mommy kembali ke pelukan Mommy setelah beberapa purnama tidak ada kabar berita." Mommy memelukku sambil mengumandangkan kalimat bermajas hiperbola yang menurutku LE-BAY.

"Mom, Mom." Aku melepas pelukan Mommy. Risi rasanya, aku sudah berusia lewat dari seperempat abad tapi masih diperlakukan seperti bayi. "Mommy jangan berlebihan, ah, baru seminggu yang lalu Xavier nengokin Mommy."

"Kasih sayang seorang ibu tidak ada batasnya, Xavier. Seminggu itu terasa seperti berbulan-bulan." Ah, Mommy mulai kumat. Kenapa sih Mommy harus bersikap seperti ini di hadapan tamu undangan makan malam. Ketauan deh aku anak mommy banget. Huft.

Aku segera menarik kursi di samping Mommy, lalu duduk dan melayangkan senyumanku pada pria berkaca mata dan berkumis tebal yang duduk di kursi paling ujung, Daddy.

"Maaf, Xavier terlambat. Terjebak macet di Tol. Ada perbaikan jalan di sana," tuturku beralasan.

"Kami juga baru beberapa menit tiba. Iya, kan, Sayang?" Danial mengelus punggung tangan Ayu.

Ayu tersenyum seraya berkata, "Iya. Kami belum lama tiba."

Sok mesra sekali mereka. Eh, Mereka kan suami-istri, wajar kalau mereka mesra. Oh, God! Aku jadi sensitif begini gara-gara kepikiran terus ucapan Daddy.

"Kak Xavier nggak nanyain Rachel?" Tiba-tiba suara bening itu membuat tegang urat sarafku.

Aku menoleh pada Rachel, kulemparkan segaris senyuman untuknya. "Eh, ada makhluk manis di pojokan. Dedek Rachel kapan datang?"

Rachel mengerucutkan bibirnya, lucu, kayak bebek. Ia tak mejawab, hanya melirik kesal padaku.

Selama beberapa menit, sesi makan malam berjalan lancar. Daddy bahkan tidak menyinggung-nyinggung ucapannya kemarin. Selamat!

"Dan, dulu waktu mamamu mengandung adikmu, Om sama papa kamu sering guyon kalau nanti papamu punya anak perempuan, kita mau jodohin mereka," papar Daddy membuka obrolan.

Ucapan Daddy langsung mengerem gerak mulutku yang sedang mengunyah daging rendang. Mendadak rasa daging rendang ini berubah seperti rasa lengkoas. Aku berhenti makan dengan teratur.

"Om baru tahu kemarin, saat Om ke kantor Xavier, ternyata anak Anthony sudah besar. Begini, Dan, karena papamu sudah tidak ada, kamulah yang mewakili dia sekarang. Om mau melamar adik kamu untuk menjadi istri anak bungsu Om, Xavier." imbuh Daddy.

Otomatis, Aku dan Rachel saling memandang dengan pandangan syok. Sial! Ucapan Daddy kemarin benar-benar serius. Aku juga mendengar Danial terbatuk-batuk. Aku yakin dia pun sama terkejutnya seperti aku dan Rachel.

"T-tapi Rachel masih belum cukup umur, Om. Dia masih belum menyelesaikan SMA-nya." Danial berusaha menolak pinangan Daddy dengan alasan yang kuat.

Teruskan penolakanmu, Dan. Selamatkan aku dan adikmu, aku mohon. Aku terus berharap dalam hati.

"Tapi, jika adikmu sudah berusia 19 tahun, adikmu bisa menikah dengan Xavier, Dan," Mommy ikut-ikutan bicara kali ini.

"Rachel belum genap sembilan belas tahun, Tante." Rachel angkat bicara.

"Mom, Dad, Xavier tidak bisa menikah dengan Rachel. Xavier sudah punya pilihan hati Xavier sendiri." Aku asal bicara demi terbebas dari ide gila Daddy dan almarhum Om Anthony yang dibangun bertahun-tahun lampau.

Wajah Daddy berubah muram. Matanya mulai berkabut dan aku tidak pernah melihat Daddy sesedih ini. "Daddy hanya ingin mewujudkan keinginan Daddy dan Anthony sebelum Daddy meninggal, Xavier. Lagi pula, Daddy mau kamu meneruskan perusahaan Daddy yang dibangun bersama papanya Rachel. Setelah kalian menikah saham akan dibagi dua. Daddy tidak bisa mengandalkan Mbakmu. Dia sendiri repot mengurus perusahaannya. Selainnya itu, Daddy sebenarnya sedang sakit. "

Daddy sakit? Sakit apa? Sepengetahuanku, Daddy selama ini baik-baik saja. Mbak Aira, kakakku, juga tidak pernah menyinggung soal Daddy yang sedang sakit. Kenapa daddy baru bilang sakit sekarang? Aku melihat Mommy sesenggukan, berarti benar dong Daddy sakit. Lalu, soal perusahaan itu? 

"Daddy sakit apa? Kenapa Daddy tidak pernah cerita sama Xavier selama ini? Apa Mbak Aira tahu soal ini?" tanyaku dengan nada menyelidik sekaligus cemas.

"Mbakmu sudah tahu. Daddy sengaja tidak memberitahumu karena Daddy tidak mau kamu cemas." Daddy mengarahkan pandangannya ke Danial yang masih tampak syok. "Danial, perusahaan yang Om dirikan dengan papamu tidak ada kaitannya dengan kewajiban Anthony terhadap orangtua kandungmu. Anthony memakai uang hasil kerja kerasnya untuk mendirikan perusahaan kami. Jika Rachel dan Xavier menikah, perusahaan bisa dijalankan dengan lebih baik lagi. Tidak akan ada pembagian kekuasaan karena perusahaan menjadi milik keluarga Xavier dan Rachel nantinya."

"Saya tidak mempermasalahkan dari mana dana Papa berasal ketika Papa mendirikan perusahaan itu bersama Om. Saya senang jika Rachel mempunyai bagian perusahaan lain selain warisan dari Papa. Saya juga tidak melarang Rachel menikah jika Rachel memang mau menikah dengan Xavier, tapi Rachel masih terlalu muda untuk menikah, Om." Danial menjelaskan keberatannya.

"Bagaimana denganmu, Rachel?" Kini pertanyaan Daddy tertuju pada Rachel.

Kebingungan yang bercampur aduk dengan kekhawatiran tampak jelas di wajah Rachel. Rachel hanya bengong dan kemudian memandang ke arahku. Pandangannya tajam dan seolah berkata, "dasar menyebalkan!"

Aku hanya bisa mengembus napas kasar sambil menghindari pandangan setajam siletnya Rachel. Mengerikan juga tuh bocah kalau sudah memandang dengan cara seperti itu. Mirip Mawarni Suwono di Pengabdi Setan.

"Lalu, bagaimana dengan kamu, Xavier?"

Tak ayal pertanyaan menyebalkan itu kembali meluncur ke arahku. Aku tidak mau jadi anak durhaka, tapi aku juga tidak mau masa depanku dipertaruhkan. "Dad, Xavier tetap tidak akan menikah dengan Rachel. Banyak sekali bahan pertimbangan untuk Xavier bisa menikah dengannya, selain dia masih di bawah umur."

"Iya, Om. Rachel juga tidak mau menikah dengan Kak Xavier. Kak Xavier itu sudah seperti Kakak Rachel sendiri," tolak Rachel blak-blakan.

Daddy menekan dada kirinya. Oh, shit! Aku tahu ada yang tidak beres dengannya. Belum sempat aku berdiri, Daddy terjatuh ke lantai sambil terus menekan dada kirinya dan mengerang. Aku dan Danial segera meraih tubuh Daddy lalu membopongnya ke dalam mobilku. 

Kami membawa Daddy ke rumah sakit. Kami menunggu di sana. Setelah beberapa jam, akhirnya dokter memperbolehkan kami melihat kondisi Daddy. Mommy dengan air matanya yang terus mengalir deras seperti air terjun Niagara masuk ke ruang rawat Daddy lebih dulu. Beberapa menit kemudian Daddy memberi mandat pada perawat untuk memanggilku, Danial, dan Rachel.

"Dan, Om hanya mau melihat adikmu dan Xavier menikah sebelum Om tutup usia. Mungkin Om tidak akan bisa bertahan lebih lama. Tolong kabulkan permintaan Om. Demi Om dan papamu yang sudah merawat kamu dari kecil, Dan." Daddy memohon pada Danial.

Aku melihat rona cemas dan bingung dalam tatapan Danial. Aku tahu Danial merasa serba salah saat ini. Aku mengambil inisiatif. Aku menarik Rachel ke sudut kamar. Mungkin saat ini aku terlihat bodoh atau apa pun sebutannya pada orang yang benar-benar memohon karena putus asa. "Rachel, aku mohon menikahlah denganku."

"Tapi, Kak—"

"Aku tahu tepat jam 00:00 WIB malam ini adalah ulang tahunmu yang ke-19. Aku mohon beri Daddy kesempatan melihat kita menikah. Kita tidak perlu benar-benar menikah. Anggap saja ini sebuah simulasi, pura-pura, atau apalah itu. Yang penting kita menikah di depan Daddy." Sial! Aku tidak percaya termakan omongan sendiri. Aku tidak suka berhubungan dengan gadis belasan tahun, tapi kini aku memohon pada gadis belasan tahun untuk menikah denganku meskipun hanya untuk berpura-pura.

Rachel terdiam selama beberapa saat. Aku menanti jawabannya penuh antisipasi. "Rachel mau menikah dengan Kakak, tapi hanya di depan Om Syahrier. Orang lain selain keluarga kita tidak boleh ada yang tahu kalau kita menikah. Syarat dan ketentuan berlaku."

"Apa pun itu aku terima, yang penting Daddy melihat kita menikah sebelum semuanya terlambat. Deal?" Aku mengulurkan tanganku.

Rachel menjabat tanganku. "Deal."

 

Chapter 3

Jika pernikahanku dengan Rachel menjadi satu-satunya hal yang membuat Daddy bahagia di hari-hari terakhir hidupnya, aku rela bersujud pada Rachel untuk memintanya menikah denganku. Terima kasih pada semesta yang sudah mendukung rencanaku untuk memberikan setitik kebahagiaan pada orang yang sangat aku sayangi. Aku membawa Rachel ke sisi tempat tidur Daddy.

"Dad, Rachel dan aku setuju untuk menikah," ucapku.

Rona bahagia terpancar dari wajah Daddy. Mata Daddy berbinar seperti ABG yang baru saja ditembak gebetannya. He's so over the moon. Namun, aku tidak melihat itu di mata Danial. Pancaran mata kakak Rachel itu mengisyaratkan kekecewaan. Tentu saja aku merasakan apa yang dirasakan Danial. Kakak mana yang akan mengizinkan adiknya menikah dengan seorang duda dan karena alasan yang menurutku aneh. Apalagi, adiknya masih sangat muda dan masih duduk di bangku SMA.

Danial memberi isyarat padaku untuk keluar dari kamar rawat inap daddy. Ia menunjuk pintu dengan dagunya.

"Om, saya permisi sebentar mau melihat istri saya dulu." Danial berkilah.

Danial keluar. Tak berapa lama aku mengikuti langkah Danial dengan menggenggam tangan Rachel. Daddy pasti curiga dengan gerak-gerik kami bertiga, tapi aku akan pastikan Daddy memperoleh yang dia inginkan sebelum penyakit sialan yang entah apa itu merenggutnya dari kehidupan.

Danial menarik lengan blazerku dengan kasar, sementara Rachel hanya terbengong-bengong ria bersama Ayu. Calon kakak iparku ini ternyata galak juga. Hah! Kakak ipar. Tentu saja dia akan jadi kakak iparku kalau aku menikah dengan Rachel. Danial menyeretku ke ujung koridor.

Danial menarik kerah blazerku. Eit, dah! Calon kakak mulai menunjukkan taringnya. "Apa kamu sudah gila mau menikahi Rachel? Rachel itu masih anak-anak. Jangan harap aku mengizinkanmu menikah dengannya!"

"Dan! Danial, ada apa ini?!" Ayu menahan teriakannya.

Kedua wanita kami, oops! Rachel masih menjadi kandidat, mereka tergopoh-gopoh mendekat pada kami. Mungkin mereka khawatir akan terjadinya penganiayaan atau perkelahian melihat reaksi Danial padaku yang sungguh di luar dugaan. Danial memalingkan wajahnya ke arah Ayu dan Rachel.

Waduh! Danial melayangkan tatapan galaknya pada Rachel. Tunggu, di sini yang harusnya diberikan tatapan galak itu aku, bukan Rachel. Aku yang meminta Rachel menikah denganku.

"Dan, kita bicara di luar saja. Bisa mengganggu pasien yang lain kalau kita berdiskusi di sini," saran Ayu.

Ucapan Ayu seperti hujan yang memadamkan kebakaran hutan, bikin adem, walaupun meninggalkan jelaga. Akhirnya, kami sepakat bicara di area parkir karena kami tidak punya pilihan dan dikejar waktu.

"Dan, aku akan menikah dengan Rachel hanya di atas kertas. Seperti pernikahanmu dengan—"

"Apa?!” Ayu memotong penjelasanku sambil memelototiku. “Kamu akan menikah dengan Rachel? Kamu serius, Xavier?" 

Pasutri ini kini mulai menyerangku. Namun, aku harus bisa meyakinkan mereka bahwa aku hanya akan menikah dengan Rachel sementara saja, hanya untuk membuat Daddy senang. "Danial, Ayu, dengerin aku dulu. Tolong, jangan memotong ucapanku dulu, ya. Aku dan Rachel sepakat untuk menikah dengan syarat dan ketentuan berlaku. Dan, aku tidak akan menyentuh Rachel sedikit pun. Aku janji. Setelah ijab kabul pun Rachel tidak akan tinggal denganku. Semua ini hanya untuk menyenangkan Daddy. Kali ini aku benar-benar butuh bantuan kalian. Please!"

"Syarat dan ketentuan bagaimana maksudmu?" Selidik Danial dengan mata berapi-api.

"Rachel akan genap berusia sembilan belas tahun tengah malam nanti. Rachel dan Kak Xavier sudah sepakat bahwa pernikahan ini hanya boleh terlihat di depan Om Syahrier, Kak. Selain keluarga kita, pokoknya semua orang tidak boleh ada yang tahu Rachel dan Kak Xavier menikah. Rachel dan Kak Xavier pun tidak akan tinggal serumah dan tidak akan ada kontak fisik. Masih ada, sih, beberapa ketentuan yang belum Rachel pikirkan lagi," imbuh Rachel.

Danial meletakkan punggung tangannya di dahi Rachel. "Kamu masih sehat, 'kan? Kakak hanya tidak mau kamu merusak masa depan kamu dengan pernikahan ini. Masa depan kamu masih panjang."

"Rachel hanya mau membantu, Kak. Lagi pula, Kak Xavier sudah banyak membantu kita. Pernikahan ini kan hanya pura-pura saja." Rachel mengingatkan Danial betapa aku sudah berjasa mempersatukan dia dengan Ayu saat mereka berada dalam suatu hubungan yang penuh dilema.

Wow! Kandidat kecilku, my cute guardian angel, membuatku tersanjung. Ia berani berdebat dengan kakaknya demi mendukungku. Eh, apa aku hanya kege-eran saja, ya, berpikir demikian? Semoga saja tidak.

"Dan, Ayu." Aku berpikir akan lebih mudah bicara dengan Ayu yang punya pengertian sedikit lebih banyak daripada Danial. Aku mengarahkan pandanganku ke Ayu. "Ayu, tolonglah. Aku hanya mau melihat Daddy bahagia. Aku nggak bakalan ngapa-ngapain Rachel. Rachel sudah seperti adikku sendiri."

Ayu bersedekap dan berbicara dengan nada skeptis. "Yang benar? Kamu kan tidak punya adik. Mana tahu rasanya punya adik."

Hm, rupanya otak Ayu sudah terkontaminasi kejulidan Danial. Ayu kok tega sih sama aku. "Ayu, aku—"

"Aku hanya bercanda, Xavier,” potong Ayu, “aku tahu kamu akan memegang kata-katamu." Ayu lalu memalingkan pandangannya ke arah suaminya. "Dan, Xavier sedang butuh bantuan. Mengalahlah sedikit."

Benar saja, jika Ibu Negara sudah bicara, Danial langsung manut. "Baiklah. Namun, aku yang akan jadi orang pertama yang menghajarmu jika Rachel sampai kenapa-napa."

"Setuju. Kamu boleh menghajarku sepuasmu kalau adikmu sampai menangis karena aku." Aku mengulurkan tanganku.

Danial dan aku berjabat tangan. Meskipun dengan setengah hati, Danial sepakat Rachel dan aku akan menikah besok pagi.

***

Sepagi ini dan hanya memakai kemeja flanel biru bergaris putih yang digulung sampai ke siku dan cenalan jeans berwarna senada aku sudah hadir di rumah sakit. Gila! Di usia 29 tahun aku akan menikah untuk yang kedua kalinya. Pernikahan keduaku ini juga akan bernasib sama dengan pernikahan pertamaku, seumur jagung. Huft! Kenapa aku harus selalu menikah dalam tekanan seperti ini? Kapan aku bisa merasakan menikah dengan seorang perempuan yang aku cintai dan mencintai aku?

Sekitar jam 10:00 WIB, Rachel bersama Danial dan Ayu tiba. Tidak berbeda denganku, Rachel pun hanya memakai kaus merah muda dan rok denim pendek khas remaja seusianya. Seperti biasa, Mommy selalu heboh sendiri. Aku dan Rachel yang akan menikah, Mommy yang sibuk mempersiapkan kue pengantin mini dan hal-hal lain yang aku anggap tidak penting.

Mommy berjalan mondar-mandir dengan raut wajah yang ketar ketir. "Aduh, kok, fotografernya belum datang juga, ya?"

Aku menyipitkan mata melihat gerak-gerik Mommy yang sepertinya over react. "Fotografer buat motret apaan sih, Mom?"

"Ya, motret pernikahan kalianlah. Masa buat motret Mommy!" balas Mommy sedikit nge-gas.

Mataku otomatis membulat dan hampir lompat ke luar. "What?! Mom, Mommy nggak kasihan sama Rachel, ya. Gimana kalau foto-foto pernikahan Xavier dan Rachel sampai tersebar? Rachel kan masih sekolah, Mom."

"Sudah, sudah. Xavier, Mommy itu hanya ingin menyimpan momen bahagia ini dalam album kenangan. Jangan dibesar-besarkan. Lagipula, foto-fotonya hanya untuk koleksi pribadi saja. Iya, kan, Mom?" Daddy menengahi.

Aku tidak tega melihat Daddy seperti sekarang ini. Wajahnya terlihat lesu, meskipun binar kebahagiaan terlihat di mata gelapnya. Selang infus yang terpasang di tangannya membuat geraknya terbatas.

"Iya, tentu saja. Mommy mau punya mantu beneran kali ini." Mommy menegaskan ucapan Daddy.

Aku berpandangan dengan Rachel. Menantu beneran? Maksudnya apa coba?

"Iya, terserah mommy saja," jawabku mengakhiri obrolan tak berfaedah ini.

Tepat jam 10:15 WIB petugas KUA dan fotografer sewaan Mommy datang hampir bersamaan. Aku duduk di samping tepat tidur Daddy berhadapan dengan Pak Penghulu, wali hakim dari KUA, dan juga Mommy. Rachel, Danial, dan Ayu duduk di sisi lain tempat tidur Daddy. Prosesi pernikahan yang sangat sederhana selesai hanya dalam waktu beberapa puluh menit, lengkap dengan pemotretan ala selebritis yang diam-diam menikah.

Sekilas aku melihat kesedihan di mata Danial. Aku tahu perasaannya yang tidak bisa menjadi wali nikah Rachel karena ia bukan kakak kandung Rachel. Namun, yang aku tahu ikatan persaudaraan mereka lebih kuat daripada ikatan saudara kandung yang pernah ada. Danial sudah menjadi bagian dari keluarga Narendra, bahkan sebelum Rachel lahir.

Danial memeluk Rachel, membelai rambut lembutnya, dan meskipun Danial tahu ini bukan pernikahan yang sesungguhnya, ia tetap mengucapkan selamat. "Selamat, ya, Dek."

Istri Danial yang dipanggil Rachel dengan panggilan Tante pun memberikan pelukan hangatnya pada Rachel. Aku seperti sedang melihat opera sabun colek menyaksikan kehangatan sikap mereka.

"Selamat ya. Semoga semuanya berjalan lancar," ucap Ayu sambil mengelus pipi Rachel.

Rachel menggelendot manja ke pundak Ayu. "Tante. Rachel jadi malu."

Mommy tak mau kalah, ia menarik Rachel ke pelukannya dan terus memeluk menantu jadi-jadiannya itu. "Selamat ya Rachel. Mommy sama Daddy sudah menyiapkan tiket dan akomodasi perjalanan bulan madu kalian keliling Eropa."

"Apa, Tante?! Bulan madu?" Rachel melepas pelukannya dari Mommy dan memperlihatkan wajah terkejutnya.

Jangankan Rachel, aku saja syok mendengarnya. "Jangan bulan madu sekarang-sekarang deh Mom. Daddy kan lagi sakit. Rachel juga sebentar lagi ujian."

"Ada baiknya bulan madu mereka ditunda saja, Tante," tambah Danial.

Yes! Semua mendukung aku dan Rachel untuk tidak berbulan madu.

Mommy menghela napas panjang, kilat matanya menunjukkan rasa kecewa, tetapi ia tetap tenang. "Baiklah. Bulan madu kalian ditunda sampai Rachel selesai ujian, ya. Berapa minggu lagi ujiannya Rachel?"

"Tiga bulan lagi, Tante." Rachel tersenyum kaku.

Hah! Ujian Rachel masih tiga bulan lagi dan Mommy pasti akan memaksa kami berbulan madu. Yang jadi masalah, apakah pernikahan kami akan bertahan selama itu? Mengerikan.

=======

Bersambung

Alice Gio

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Xavier & Rachel
Selanjutnya Bukan Cinta Pertama Bab 27
10
6
Cuplikan:“Bian, kamu pakai baju dulu dong. Aku nggak nyaman melihat kamu kayak manusia pra sejarah begini,” kata Iva memohon. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan