
This story contains mature themes, including depictions of adult relationships. Reader discretion is advised.
Novel dewasa. Bijaklah dalam memilih bacaan. Jika teman-teman pernah membaca Diversion, cerita ini adalah spin-off cerita tersebut.
Calla Stones tidak pernah menduga bahwa perjalanan hidupnya akan semenarik ini. Terlibat perjanjian dengan pria kaya yang misterius dan menyebalkan, berpacaran dengan anak mafia penguasa wilayah, dan akhirnya terlibat cinta yang rumit dengan keduanya.
Hidup Calla...
1. Calla Stones
Belmont, Bronx, New York
“Tiga puluh ribu dolar?!” Calla berteriak sambil berkacak pinggang. Wajahnya merah padam, penuh emosi. Sepasang iris birunya menatap tajam sang adik, Caleb, yang duduk di kursi dengan kepala menunduk.
“Caleb, apa yang sudah kau lakukan? Kau tahu kita sama sekali nggak punya uang sebanyak itu! Astaga, ini gila!”
“Maaf, Calla,” suara Caleb bergetar. Tangan remaja 14 tahun itu gemetar, menggenggam erat satu sama lain. “Aku nggak sengaja menabrak mobil Dante. Aku bahkan nggak tahu kalau itu mobil dia.”
Calla menekan jari-jarinya ke pelipis, mencoba mengurangi rasa pusing yang menyerang. “Aku sudah bilang berkali-kali, ‘kan? Kau itu masih terlalu muda untuk mengemudi! Sekarang lihat apa yang terjadi. Mobil satu-satunya yang kita punya rusak dan kita harus mengganti kerusakan mobil Dante. Kau tahu mobil si Dante itu bukan mobil biasa, Caleb! Itu mobil edisi terbatas! Biaya perbaikannya sudah pasti selangit.”
Caleb mengangkat wajah dan menatap Calla. Pancaran matanya sarat akan permohonan. “Aku akan mencari pekerjaan, Calla. Aku janji!”
“Sudah cukup, Caleb! Kau bahkan tidak cukup umur untuk bekerja!” Calla membentak, suaranya terdengar kelelahan.
Tok, tok, tok.
Suara ketukan di pintu membuat jantung Calla seakan berhenti berdetak. Pandangannya terarah ke pintu apartemen tua mereka. Seketika napasnya terasa tercekat.
“Itu pasti anak buah Dante. Mereka pasti mau uangnya sekarang. Apa yang harus kita lakukan?” Calla menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Tapi rasa takut itu seperti cengkeraman dingin yang menghimpit dadanya.
Keluarga Calderall memang tinggal di Riverdale, tapi pengaruh mereka menyebar sampai ke Belmont, menekan lingkungan kecil itu seperti bayangan gelap. Semua orang tahu bisnis mereka memadukan legalitas dengan kekuasan kelam.
Dengan tangan gemetar, Calla membuka pintu.
“Dante?” Ia tercekat. Laki-laki itu berdiri di sana, lebih tinggi dari yang ia ingat, dan auranya mendominasi ruang tamu kecil apartemennya. Rambut cokelat Dante yang diikat ekor kuda berkilau di bawah lampu lorong, dan mata karamelnya memancarkan tatapan tajam penuh kesombongan. Teman semasa SMA-nya itu selalu saja bersikap sok berkuasa. Tanpa menunggu undangan, Dante melangkah masuk, seolah apartemen itu adalah miliknya.
“Mana bocah yang merusak mobilku?” suaranya dalam dan dingin. Pandangannya langsung menemukan Caleb yang masih duduk kaku di kursinya.
Caleb berdiri, meski lututnya terlihat gemetar. “Maaf, Dante. Aku nggak sengaja.”
Dante melipat tangannya di depan dada, senyum mengejek muncul di bibirnya. “Aku butuh uang perbaikannya. Segera.”
“Kami akan menggantinya,” Calla menyahut, melangkah cepat mendekati Caleb seakan ingin melindunginya. Tatapannya bertemu dengan Dante, tapi Calla tak ingin mundur selangkah pun. Dia takkan biarkan Dante mengintimidasinya begitu saja, meskipun hatinya berdebar kencang oleh rasa cemas.
“Oh, bagus,” Dante mengangguk perlahan. “Mana uangnya?”
Calla menelan ludah, mencoba tetap tenang sambil berusaha mencari jawaban. Sedetik kemudian, bayangan wajah bosnya melintas. “Belum ada, tapi aku bisa dapatkannya besok. Aku akan meminjam pada Gil.”
Senyuman Dante makin melebar, penuh ejekan. “Kau yakin Gil akan kasih pinjaman sebesar itu?” Nada suaranya rendah tapi menusuk, membuat darah Calla mendidih.
Calla mengepalkan tangan, berusaha menahan marah. Dante selalu bisa menyusupkan hinaan dalam setiap kata yang diucapkannya. Menyebalkan.
“Atau kau bisa pilih cara lain,” Dante menyeringai. “Kau tidak perlu membayar sepeser pun kalau kau mau berkencan denganku. Cuma sekali saja. Bagaimana?”
Wajah Calla langsung memerah karena marah. “Aku akan bayar besok, Dante. Besok!” katanya berusaha keras menahan diri agar tidak meledak.
Dante menaikkan satu alis. Ekspresi meremehkannya tak hilang. “Baiklah, besok aku akan kembali. Jangan buat aku menunggu lebih lama.” Sebelum berbalik, dia menyentuh ujung hidung Calla dengan ujung jarinya, seperti hukuman kecil yang menyakitkan.
Begitu pintu tertutup, Calla mengusap hidungnya keras-keras, seolah ingin menghapus jejak sentuhan itu. Perasaan hina merayap di dadanya dan membuatnya muak.
“Calla—”
“Ke kamar, Caleb!” bentaknya. “Cukup sudah masalah untuk hari ini.”
Caleb menunduk dan bergegas masuk ke kamarnya, meninggalkan Calla sendirian di ruang tamu. Calla menghempaskan diri ke sofa, menatap langit-langit yang kusam. Tiga puluh ribu dolar dalam satu malam? Tidak ada solusi yang terlihat. Tapi Calla tahu satu hal, dia tidak akan membiarkan Dante mengacaukan hidupnya.
***
Dengan mengenakan jeans biru pudar dan jaket parka hitam yang melindungi tubuhnya dari angin malam, Calla melangkah di sepanjang Arthur Avenue menuju ‘Gil’s Bar & Resto’. Hampir dua tahun Calla bekerja di bar itu menjadi pelayan sekaligus staf keuangan. Setelah ayahnya dipenjara atas tuduhan peredaran narkoba, Calla mengambil alih peran kepala keluarga. Ia bekerja keras demi menghidupi dirinya dan Caleb, adik semata wayangnya. Ibu mereka? Calla sudah lama berhenti berharap. Wanita itu memilih meninggalkan mereka dan hidup dengan kekasihnya. Hidup Calla tak pernah mudah—kuliah di siang hari, bekerja di malam hari, hanya menyisakan beberapa jam untuk tidur dan mengurus Caleb.
Setelah mengganti pakaian dengan seragam bar, kaus ketat berwarna merah muda dan rok mini hitam, Calla mengikat rambut merahnya menjadi ekor kuda tinggi. Ia menarik napas panjang sebelum melangkah ke ruang bar. Gilbert, pemilik bar, duduk di belakang meja kasir dengan wajah letih. Tanpa ragu, Calla menghampirinya dan duduk di kursi bar.
“Apa?! Tiga puluh ribu dolar?!” Gilbert membelalakkan mata, ekspresinya seperti melihat mayat hidup setelah Calla mengungkapkan niatnya. “Calla, kalau aku punya uang sebanyak itu, aku tidak akan tidur di kamar sempit di belakang sana. Aku baru saja diusir dari apartemen karena tidak bisa membayar sewa. Hartaku satu-satunya, ya bar ini,” katanya, memasang wajah seolah-olah dialah yang paling menderita di dunia ini.
Calla meremas jemari berusaha menenangkan rasa panik dalam dirinya. “Lalu aku harus bagaimana, Gil? Dante tidak akan berhenti sampai aku membayar. Dia bisa saja datang ke sini dan menghancurkan tempat ini.”
Gilbert menaruh telunjuk di bibir, memikirkan sesuatu. “Hmm, tunggu sebentar,” gumamnya. Beberapa saat kemudian matanya berbinar terang. “Aku punya ide!”
“Apa?” Calla bertanya penuh harap.
Alih-alih menjawab, Gilbert memanggil Kelly, salah satu staf senior yang juga sahabat Calla. Kelly mendekat dengan senyum penasaran, duduk di seberang mereka.
“Butuh bantuan?” tanya Kelly sambil melirik Calla.
“Iya. Aku sudah memberitahu Gil, tapi Gil tidak bisa membantu,” Calla menjawab dengan suara putus asa.
Gilbert mendesah berat. “Kalian tahu aku—”
“Kami sudah tahu,” potong Kelly dan Calla serempak.
Kelly tersenyum. “Jangan khawatir, Gil. Kau bos yang baik. Kami akan tetap ada di sini untukmu.”
Calla mengalihkan pandangan ke Gilbert dan Kelly. “Tapi bagaimana dengan aku? Kalau Dante datang dan membuat kekacauan di sini, apa yang harus aku lakukan?”
Gilbert menatap Calla dengan mata berbinar. “Itu dia! Itulah kenapa aku memanggil Kelly.”
Kelly mengerutkan kening, bingung. “Apa maksudmu, Gil? Kau bikin aku deg-degan,” ucapnya sambil menekan dada dengan kedua tangan..
Gilbert menyilangkan tangan di atas perut buncitnya. “Kemarin aku melihat kau sibuk dengan aplikasi dating itu. Kau masih pakai, ‘kan? Ada hasilnya?”
Kelly mengerjap beberapa kali, menatap Gilbert dengan ekspresi tak percaya. “Kau bercanda, ‘kan? Kau mau Calla—”
“Iya,” potong Gilbert, suaranya terdengar serius. “Kurasa dia tidak punya pilihan lain.”
Kelly menatap Calla dengan sorot simpati, lalu mengangguk pelan. “Baik, Calla, ini mungkin terdengar gila, tapi berapa ukuran tubuhmu?”
Calla mengernyitkan dahi, matanya menyipit. “Kenapa kau mau tahu ukuran tubuhku? Jangan bilang kau mau menjualku.”
Kelly menghela napas panjang. “Kau punya ide lain untuk mendapatkan tiga puluh ribu dolar dalam satu malam tanpa merampok bank?”
Calla mendesah panjang, bahunya turun seolah menyerah. “Tidak.”
“Ini cuma biro jodoh, Calla. Aplikasi kencan. Siapa tahu ada seseorang yang mau bayar mahal untuk berkencan denganmu,” jelas Kelly.
“Ini sama saja dengan prostitusi online.” Calla mengerucutkan bibir, wajahnya memerah menahan malu. Tapi situasi membuatnya tak bisa menolak. “34-24-34, tinggi 170 cm. Itu ukuran tubuhku.” Calla memeluk tubuhnya sendiri, mencoba menahan rasa dingin yang tiba-tiba menyelimuti. “Sialan! Dante berhasil membuatku jadi pelacur murahan,” gumamnya dengan getir.
2. Weirdo
“Siapa bilang tiga puluh ribu dolar itu jumlah kecil? Di sini kita hanya dibayar lima belas dolar per jam. Untuk mendapatkan tiga puluh ribu dolar, kita harus bekerja berbulan-bulan,” kata Kelly sambil mengambil foto Calla dengan cepat, jari-jarinya yang lentik lincah mengetuk layar ponsel. “Selesai! Sekarang kita tinggal menunggu notifikasinya.”
Gilbert, yang berdiri di belakang meja kasir, mengembuskan napas panjang, seolah beban berat terangkat sedikit dari pundaknya. Setidaknya, ia sudah membantu Calla dengan jalan yang mungkin bisa menuntunnya mendapatkan uang sebesar itu. Soal apakah gadis itu benar-benar akan berhasil atau tidak, Gilbert hanya bisa berharap yang terbaik.
“Baiklah, Ladies, cukup main ponselnya. Kembali bekerja, pelanggan menunggu pelayanan kita,” serunya sambil bertepuk tangan.
“Siap, Bos!” sahut Calla dan Kelly hampir bersamaan, melontarkan senyum kecil sebelum bergegas ke meja-meja pengunjung. Mereka mencatat pesanan, membawa minuman, dan sesekali tersenyum sopan pada pelanggan yang mencoba berbasa-basi. Beberapa puluh menit kemudian, Kelly menarik tangan Calla yang berdiri di depan meja bar, menunggu bartender menyelesaikan pesanan.
“Ada apa?” Calla bertanya. Dahinya berkerut karena terkejut dengan tingkah Kelly..
“Kau berhasil,” bisik Kelly, suaranya nyaris tenggelam di tengah dentuman musik bar. “Ada yang mau membayarmu tiga puluh ribu dolar untuk kencan.”
“Apa?!” Mata Calla melebar, jantungnya berdentam kencang. Hanya orang gila yang rela membayar tiga puluh ribu dolar untuk kencan satu malam dengan pelayan bar, pikirnya.
“Kau serius, Kelly?”
“Kau mau atau tidak? Orangnya sudah ada di sini, di bar ini.”
Calla menoleh cepat, matanya menyisir ruangan yang redup, mencoba menebak siapa orang aneh itu. Lampu-lampu neon memantul di wajah-wajah yang sibuk mengobrol dan tertawa. Kelly kembali memeriksa ponselnya, membaca pesan dengan seksama.
“Meja nomor 16, sudut kanan,” katanya, menunjuk dengan dagunya.
Tatapan Calla mengikuti arah itu. Ketika akhirnya pandangannya bertemu dengan sosok di meja nomor 16, ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Yang benar saja!” gumamnya dengan napas tercekat. “Itu pria tua, Kelly. Dia pantas jadi kakekku.”
Kelly menahan tawa, mata gelapnya berkilat usil. “Justru itu yang menguntungkan. Kau mungkin hanya perlu mendengarkannya berbicara, dan sebelum kau tahu ….” Kelly mengangkat alisnya mengatakan tanpa kata apa yang dia maksud. “Dia sudah tertidur pulas,” lanjutnya.
“Kau gila, Kelly,” gerutu Calla, tetapi senyum tipis terpaksa terulas di bibirnya. Ia menghela napas panjang, menyerah pada realitas yang keras. “Baiklah. Demi tiga puluh ribu dolar sialan itu, aku setuju. Bawa aku padanya.”
Kelly tersenyum, mengangguk sambil menarik lengan Calla dengan pelan. Mereka berjalan menuju meja pria itu. Pria tua berambut abu-abu itu menatap mereka dengan sorot mata yang tenang, nyaris hangat. Setelah beberapa patah kata pertukaran perkenalan yang singkat, pria itu berdiri dan memberi isyarat pada Calla untuk mengikutinya keluar.
Di luar, Calla tertegun. Di depan mereka terparkir mobil mewah hitam mengkilap. Sebuah kendaraan Jerman yang lebih sering ia lihat di majalah daripada di jalanan Bronx. Astaga, pria ini jelas orang kaya, batinnya. Pantas saja ia bisa membayar sebesar itu untuk kencan singkat.
Perjalanan itu berlangsung hampir satu jam. Calla menatap keluar jendela sepanjang perjalanan, merasa semakin terasing dari dunianya yang biasa. Gedung-gedung tinggi Manhattan menjulang megah, dan ketika mereka akhirnya berhenti di depan sebuah kondominium mewah di kawasan Tribeca, Calla hampir tidak percaya. Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di area yang jadi rumah bagi para miliarder dan selebritas. Jantungnya berdetak kencang, rasa cemas mulai menyelubungi pikirannya. Apakah ia sudah melakukan kesalahan besar?
Lift privat mengantarkan mereka ke lantai teratas, dindingnya memantulkan bayangan Calla yang tampak kecil dan rapuh di samping pria itu.
“Tuan, maaf, boleh aku tahu siapa nama Anda?” tanyanya hati-hati.
Pria itu menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “James. Namaku James.”
Calla mengangguk, mencoba menenangkan dirinya. “Ke mana kau akan membawaku, James?”
Pintu lift terbuka dan James melangkah keluar tanpa menjawab. Calla mengikutinya, mulutnya sedikit terbuka saat matanya menangkap kemewahan foyer penthouse itu. Bunga kristal menghiasi setiap sudut, memantulkan cahaya lampu gantung yang berkilauan dari langit-langit. Lantai marmer putih mengkilap sempurna seakan tak pernah disentuh debu. Untuk sebuah ruang penghubung saja, pria ini pasti menghabiskan ratusan ribu dolar, pikir Calla.
“Tuan muda sudah menunggu Anda di dalam,” ujar James dengan suara datar yang tiba-tiba saja membelah keheningan.
Kalimat itu menghantam Calla seperti tamparan. Matanya melebar menatap pria berambut kelabu tersebut dengan bingung dan cemas. “Tuan? Jadi bukan Anda yang—”
“Dia menunggu Anda di dalam,” ulang James, memotong kalimat Calla tanpa ekspresi. Dengan anggukan kecil, dia membuka pintu lebar-lebar, memberi isyarat agar Calla masuk.
Langkah Calla terasa berat, ragu-ragu, seakan tiap inci lantai marmer yang ia injak bisa saja runtuh di bawah kakinya. Ia menarik napas panjang, berusaha mengendalikan detak jantung yang menghentak dada dan memekakkan telinganya. Semoga dia tidak lebih buruk daripada pria tua tadi.
Penthouse itu memukau, lebih dari yang pernah dibayangkannya. Ruangan utama yang luas dan berkilauan seakan memamerkan kemewahan tanpa batas. Di sayap kiri, satu set sofa berwarna cokelat mahal tersusun rapi, sementara di sayap kanan, sebuah meja makan persegi panjang dikelilingi delapan kursi elegan. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat koridor panjang yang mengarah ke kamar-kamar dan tangga yang melengkung menuju ke lantai dua.
“Ehm.”
Dehaman itu, singkat tapi tegas, membuat Calla tersentak. Calla tak langsung menoleh. Gadis itu berusaha mengendalikan napas yang mendadak tak beraturan. Ketegangan yang menyelubungi tubuhnya begitu pekat, tapi akhirnya, ia memberanikan diri untuk berbalik.
Ya Tuhan! Napas yang baru saja ia coba atur malah kembali tersendat. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan paras memukau. Alis tebal yang sempurna membingkai sepasang mata keemasan yang dingin, rambut cokelatnya tertata rapi, dan janggut tipis di rahangnya menambahkan pesona maskulin. Pria itu tampak familier, seolah Calla pernah melihat wajah itu, tapi entah di mana.
“Kau amatiran, ya?” Nada suaranya yang tajam seketika memecah keheningan.
“A-apa maksudmu?” Calla tergagap, mencoba memahami situasi.
“Wanita panggilan berkelas tidak akan datang mengenakan seragam kerja bar pinggiran. Pakaianmu tidak pantas untuk menarik perhatian,” komentarnya sinis, sorot matanya mengukur Calla dari ujung kepala hingga kaki. Ia tak ragu menghancurkan rasa percaya diri gadis itu. “Ikut aku!”
Tanpa bicara, Calla mengepalkan tangan, menahan kekesalan yang mendidih di dadanya. Dengan langkah berat, ia mengikuti pria itu. Calla mengira mereka akan langsung menuju kamar, tapi langkah pria itu terhenti di depan sofa ruang tamu. Dia duduk dengan gaya maskulin, lalu mempersilakan Calla duduk.
“Sebaiknya kita mulai saja,” kata Calla tidak sabar dengan basa-basi pria itu.
Pria itu menautkan kedua alisnya tampak sedikit bingung. “Mulai apa?”
“Kencan ini,” Calla menegaskan, menatap tajam ke arah pria itu. “Kau kan meminta orangmu membawaku ke sini untuk kencan dan kau akan membayarku tiga puluh ribu dolar.”
Senyum masam muncul di bibir pria itu. “Oh, jadi kau pikir aku membayar tiga puluh ribu dolar untuk tidur denganmu? Maaf, kau bukan tipeku, sama sekali bukan.”
Calla merasa pipinya panas, rasa malu dan marah bercampur jadi satu. “Jadi untuk apa? Kenapa kau membawaku ke sini lewat situs kencan dan menjanjikan bayaran sebesar itu?”
“Aku akan membayarmu lima ratus ribu dolar jika kau mau bekerja untukku,” ucap pria itu dengan santai dan sambil bertumpang kaki.
“Lima ratus ribu dolar?” Mata Calla membulat. Tanpa memedulikan etika, ia langsung duduk di sofa, menatap pria itu dengan sorot penuh tanya.
“Ya. Aku akan membayarmu di muka jika kau merasa perlu jaminan,” kata pria itu, mencoba meyakinkannya.
“Aku tidak mau terlibat dalam urusan narkoba atau kejahatan lain,” ucap Calla, menegaskan batasannya.
Pria itu tertawa kecil. Suara rendahnya bergema di ruangan yang luas. “Tenang saja. Pekerjaan ini tidak ada hubungannya dengan narkoba atau kegiatan kriminal lainnya. Kau hanya perlu mendekati dan mengawasi seseorang. Tidak perlu tidur dengannya. Ya, kecuali memang sangat diperlukan.” Tatapannya menajam, memperhatikan reaksi Calla.
Pekerjaan yang tampak mudah untuk uang sebesar itu. Calla hampir tergoda. “Siapa yang harus aku dekati?” tanyanya akhirnya, penasaran.
“Dante Xaviero Calderall.”
Dada Calla terasa dihantam palu. Napasnya tercekat dan matanya melebar. “Aku rela menjual diriku demi tiga puluh ribu dolar hanya untuk menghindari pria Italia sialan itu. Dan sekarang, kau malah memintaku mendekatinya? What the fu*k!” Emosinya meluap tanpa bisa ia kendalikan. Ia melipat tangan di dadanya, ekspresi wajahnya penuh perlawanan. “Tidak mau! Aku menolak!”
Pria itu hanya mengangkat bahu, acuh. “Terserah. Tapi kau tidak akan mendapatkan tiga puluh ribu dolarmu.”
“Lebih baik aku tidak mendapatkan apa-apa daripada harus mendekati si Calderall itu,” Calla bangkit dari duduknya. “Permisi,” ujarnya, memutuskan untuk pergi.
“Kau tahu di mana mencariku jika kau berubah pikiran!” teriak pria itu sebelum Calla mencapai pintu.
“Tidak akan pernah!” tegas Calla.
3. Edgar Harrison
Esok harinya, pagi-pagi sekali, Calla menelepon Kelly, memberitahu sahabatnya itu mengenai kegagalannya mendapatkan tiga puluh ribu dolar. Entah ke mana lagi dia akan mencari uang, yang jelas Calla tidak mempunyai cara lain dan waktu. Sebentar lagi, Dante akan datang ke apartemennya untuk menagih janji.
Hanya berselang beberapa menit, tiba-tiba saja Kelly sudah berada di ambang pintu kamar Calla. "Aku di sini! Ayo, ceritakan apa yang terjadi semalam! Kenapa si Tua renta itu tidak mau membayarmu?"
Dari atas tempat tidur, dalam posisi bersandar ke punggung ranjang, Calla mengangkat wajah dan terbengong-bengong. "Kelly, kau seperti hantu. Kita baru bicara di telepon. Kenapa kau sudah ada di sini?"
Kelly tertawa. "Aku berada dalam perjalanan ke sini saat kau meneleponku tadi. Memangnya kau tidak mendengar suara berisik jalanan di telepon tadi?"
Kelly masuk ke kamar Calla, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dengan posisi tengkurap di samping Calla. "Kenapa si Tua bangka itu tidak mau membayarmu? Ayo ceritakan padaku."
Calla turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Sesaat kemudian Calla kembali sambil membawa sekotak susu. Setelah meneguk susu langsung dari kotaknya, Calla menceritakan semua peristiwa semalam pada Kelly termasuk tawaran pekerjaan dari pria aneh itu.
"Five hundred thousand bucks?!” Kelly tercengan mendengar narasi Calla. “Seharusnya kau tidak menolaknya, Calla. Itu uang yang sangat banyak," tambah Kelly.
Calla mengerucutkan bibir sambil menatap Kelly kesal. "Kelly, kau terlihat seperti mucikari."
"Masalahnya—"
Ting tong! Suara bel memangkas penjelasan Kelly. Sementara itu, Calla langsung membulatkan mata dan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia tahu siapa yang datang ke apartemennya dan mulai panik. Tangannya meremas kain pembungkus bantal dengan erat.
"Sial! Itu pasti Dante. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Aku tidak punya uangnya, Kelly. Aku harus bilang apa?"
"Kau tenang saja, Calla. Dante itu tergila-gila padamu sejak kelas 9. Dia tidak akan mungkin macam-macam padamu."
Kelly ke luar dari kamar Calla, lalu membuka pintu. Benar dugaan Calla bahwa tamu yang datang adalah Dante. Seperti biasa, pria keturunan Italia itu masuk ke apartemen Calla tanpa izin. Ia kerap memperlihatkan kearoganan dan dominasinya pada warga di sana.
"Mana, Calla?" Dante bertanya sambil mengangkat wajah dan mencari-cari keberadaan Calla.
"Aku di sini!" Calla keluar dari kamarnya. Gadis itu masih memakai piama birunya. Tidak perlu merapikan diri hanya untuk menemui seorang Dante Calderall. Pria menjengkelkan itu layak mendapatkan penampilan terburuknya, pikir Calla.
Dante menatap Calla penuh kemenangan. Sepertinya pria itu tahu keadaan Calla yang tidak bisa membayar ganti rugi biaya perbaikan mobilnya. Ia lalu tersenyum. "Apa aku sudah bisa membawa uang biaya perbaikan mobilku?"
Calla mengembus napas panjang. Dia akhirnya berkata jujur, "Aku tidak punya uangnya."
Dante merasa terbang ke langit ke-7 mendengar jawaban Calla. Pria bermata cokelat dan bertubuh tinggi atletis itu kembali tersenyum. "Jadi, kau mau kencan denganku? Menjadi gadisku?"
"Yep!” Calla terpaksa pasrah lantaran tidak punya pilihan. “Tapi, hanya kencan biasa. Aku tidak mau tidur denganmu. Ya, setidaknya sampai—"
"Deal!" Dante memotong penjelasan Calla dan langsung merangkul pundak gadis itu. "Kau menjadi pacarku mulai sekarang,” kukuhnya, kemudian melemparkan tatapannya pada Kelly. “Kelly, kau saksinya kalau sekarang dia sudah menjadi pacarku."
Kelly tersenyum kaku. Matanya membulat seakan tidak percaya pada keputusan Calla. Kelly tahu betul bahwa Calla membenci Dante meski Dante tergila-gila pada Calla sejak lama.
"Malam ini aku akan ke bar. Kita rayakan hari jadian kita," kata Dante dengan antusias. Tanpa aba-aba, Dante mengecup bibir Calla.
"Ewww! Dante, kau benar-benar menjijikan." Calla menyapu jijik bekas ciuman Dante dengan punggung tangannya.
"You look adorable when you are upset, babe.” Bukannya marah dan tersinggung dengan tindakan Calla, Dante justru memuji gadis itu. “Sampai bertemu nanti malam, Sayang," imbuhnya sebelum keluar dari apartemen Calla.
Calla menjatuhkan diri ke sofa, lalu duduk sambil bersedekap. Semampu dirinya Calla mengatur emosi agar tidak membludak. Ia merasa hidupnya akan segera porak poranda karena telah menyetujui berpacaran dengan Dante.
"Aku tidak percaya kau akan setuju pacaran dengan Dante." Kelly menyesali keputusan yang diambil Calla.
"Aku harus bagaimana? Hidupku sudah susah. Aku tidak mau hidupku tambah merana karena berurusan dengannya. Si Gila itu bisa berbuat apa saja untuk mengacaukan hidupku. Kau ingat saat kita masih di SMA, Kel, saat si malang Tom melaporkan perundungan yang dilakukan Dante ke sekolah? Si gila itu dan keluarganya membuat Tom dikeluarkan dari sekolah. Bukan hanya itu, orang tua Tom yang malang pun mendadak kehilangan pekerjaan mereka."
"Kau akan tambah merana dengan jadi pacarnya.” Kelly ikut duduk di samping Calla. Gadis yang hobi mengenakan outfits dengan gaya retro itu hanya diam. Namun, dia berusaha mengingat sesuatu dan .... “Tunggu! Kau bilang pria kaya aneh yang kau temui semalam menawarkan pekerjaan untuk mendekati Dante. Kenapa tidak sekalian saja kau manfaatkan kedekatanmu dengan Dante untuk mendapatkan uang yang ditawarkannya? Kau bisa kabur dari sini membawa Caleb dan memulai hidup baru yang menyenangkan setelah urusanmu selesai. Kau pun bisa membiayai kuliah Caleb dan membeli rumah dengan uang itu."
“Bagaimana kalau nanti Dante tahu yang memberikan informasi tentangnya itu aku? Bagaimana kalau dia mengejarku? Kau kan tahu Dante—”
“Makanya kau harus mencari cara untuk tidak ketahuan,” potong Kelly, “sekalipun ketahuan, aku harap kau sudah tidak ada di sini.”
Mata Calla berbinar terang. Jika pada akhirnya dia harus pasrah menjadi kekasih Dante, kenapa pula ia harus menolak tawaran pria aneh itu? Well, pekerjaan yang ditawarkan pria itu kan mendekati Dante. Ide brilian.
Calla merangkul pundak Kelly. "Kau memang cerdas, Kelly.” Namun, binar di mata Calla meredup sesaat kemudian dan ia kembali lesu. “Aku tidak tahu siapa dia. Bagaimana aku bisa menghubunginya?”
Kelly menepuk dahinya. "Oh, Stupid girl!"
Gadis berwajah oriental itu kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Entah apa yang dilakukan Kelly, tapi dia berhasil mendapatkan sesuatu tentang James beberapa menit kemudian. "Aku mendapat info dari si Tua James. Nama pria kaya aneh itu Edgar Harrison, pemilik Harrison Enterprise.”
"Edgar Harrison?” Calla mengernyitkan dahi. Bola mata birunya bergerak-gerak seakan-akan sedang mengingat sesuatu. “Pantas saja wajahnya tidak asing. Aku pernah melihatnya di TV. Bukankah dia mantan tunangan anak Senator Dallas?"
"Betul, tapi anak senator itu sudah menikah dengan pengawal pribadinya. Ayo cepat hubungi dia! Ini nomernya." Kelly menunjukkan nomor telepon pria yang sedang mereka bicarakan pada Calla.
***
Sky Spire Penthouse
Calla berdiri dengan anggun dalam balutan kasual, blus katun putih dan rok pendek hijau, di tengah ruang utama. Ia masih menanti si pemilik hunian mewah itu dengan waswas.
"Akhirnya kau kembali. Uang memang tidak bisa ditolak." Edgar tersenyum. Senyuman yang bisa melelehkan pertahanan setiap wanita yang melihatnya. Dalam balutan kemeja putih yang tangannya digulung sampai ke siku dan celana katun abu-abu pria itu tampak sangat memikat..
"Betul sekali, Tuan Harrison. Tidak ada yang bisa berpaling dari uang.” Calla mengedipkan sebelah matanya dengan genit.
"Kau terlihat mulai profesional." Edgar masih mempertahankan senyumannya.
"Belajar dari pengalaman," balas Calla.
"Kau belajar dengan cepat. Silakan duduk. Kau mau minum apa, Nona Stones?"
Calla duduk di sofa di seberang Edgar. Gadis itu menghela napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan agar terlihat tenang. Ia tidak mau terlihat gugup seperti semalam. "Apa saja," jawabnya.
Edgar menuangkan anggur ke gelas kristal bertangkai, kemudian memberikannya pada Calla. Calla pun segera meneguknya. Hanya satu tegukan saja.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Calla setelah meletakkan kembali gelas anggur ke atas meja.
"Kau dekati Dante. Laporkan padaku apa saja yang dilakukan Dante termasuk aktivitas ilegalnya."
"Maksudmu, aku harus jadi mata-mata?" sambar Calla.
"Ya." Edgar bersedekap.
Seharusnya Calla tahu bahwa Edgar tidak akan memberikan pekerjaan yang mudah. Calla sadar bahwa Dante itu anak ketua kartel yang paling berkuasa bukan hanya di Belmont, tapi di seluruh Bronx. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keluarga Calderall terlibat banyak kegiatan yang melanggar hukum. Menerima pekerjaan ini sama saja masuk ke kandang macan. Menjadi pacar Dante saja bisa membahayakan jiwanya dan Caleb, apalagi ditambah pekerjaan ini. Jika ketahuan berkhianat, Calla tahu apa yang akan didapatkannya. Sungguh mengerikan.
4. Deal!
Kepercayaan diri Calla sedikit goyah oleh analisis yang baru saja berkelebat di benaknya. Kini, Calla mulai bimbang. Ia belum siap terjun ke dalam dunia spionase dan mati muda. "Mm, pekerjaan yang lumayan berat. Bagaimana kalau aku menolak pekerjaan ini?"
Edgar berdiri, lalu berjalan mengitari meja dan mendekat pada Calla. Pria itu kemudian duduk di tangan sofa tempat Calla duduk. Tanpa ragu-ragu ia meletakkan satu tangannya ke pundak Calla, sementara wajahnya ia dekatkan ke samping wajah gadis itu. Bibir Edgar hampir menyentuh telinga Calla.
Di sisi lain, jantung Calla berdegup kencang dan tubuhnya meremang. Perasaan gugup dengan cepat menghinggapi jiwa dan raganya. Atmosfer di ruangan sejuk itu pun seketika menjadi terasa hangat.
"Kau tidak bisa menolaknya, Calla Stones," ucap Edgar setengah berbisik.
"Kenapa?" Calla bertanya tanpa menoleh dan hanya memandang lurus ke depan. Ia sudah memprediksi apa yang akan terjadi apabila ia menoleh, pipinya akan langsung menemukan bibir seksi Edgar.
"Bagaimana jika dinas sosial tahu bahwa wali dari Caleb Stones tidak punya penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?" Suara Edgar terdengar pelan, tapi cukup tegas dan mengintimidasi.
Calla mencondongkan tubuhnya ke samping, menjauh dari Edgar. Ia kemudian menoleh dan menatapnya dengan geram. "Kau sedang mengancamku, Harrison?"
"Aku hanya mengingatkan." Edgar melayangkan tatapan penuh intimidasi pada Calla disertai senyuman tipis.
Calla merasa terjebak. Dia salah besar dengan datang menemui Edgar Harrison, pikirnya.
"Nasibku sial sekali. Kenapa setiap pria yang aku temui harus memberikan ancaman?" Calla mengembus napas dengan menggembungkan pipi terlebih dulu. "Lebih parah daripada menjadi pelacur kalau begini," sesalnya.
Edgar melontarkan senyuman. Pengakuan polos dan blak-blakan Calla terasa lucu baginya. Selain itu, Calla tampak sangat manis. Ia masih tidak percaya bahwa ada wanita bayaran yang sepolos Calla. Edgar melayangkan tatapan laparnya, menelanjangi Calla dengan iris keemasannya. "Aku akan memberi bonus kalau kau mau jadi teman tidurku juga. Setelah kupikir-pikir, kau lumayan juga."
"Apa?!” Calla tersentak dengan penawaran lebih Edgar. Ia beringsut lebih menjauh dari Edgar. “Aku tarik kata-kataku tadi. Aku tidak mau jadi pelacur.”
Edgar tertawa. "Semalam kau menggebu-gebu ingin tidur denganku. Kenapa sekarang menghindar?"
"Semalam aku sedang khilaf,” tandas Calla, “kau ini pengusaha atau polisi sih sebenarnya? Kenapa harus menyelidiki mafia seperti Dante segala? Memangnya—"
Edgar menempelkan telunjuknya di bibir Calla. "Ssst! Kau terima pekerjaan ini atau tidak?"
Calla mengangguk setuju dan setelah Edgar menurunkan telunjuknya, ia menegaskan kembali ketidaksetujuannya akan tawaran terakhir Edgar. "Tapi, aku tidak mau jadi teman tidurmu."
"Aku juga tidak mau debu-debu di kulitmu mengotori tempat tidurku," balas Edgar dengan kalimat pedas.
Ucapan Edgar membuat darah Calla memanas. Gadis cantik bermata biru itu menatapnya tajam. "Kau menghinaku? Dengar, aku memang berasal dari kelas bawah. Aku tidak cantik dan seksi seperti model-model yang sering menari dan menggelinjang di atas tempat tidurmu. Aku hanya seorang pelayan bar pinggiran yang bergaji minim. Duniaku berbanding terbalik dengan duniamu. Tapi—"
Tiba-tiba Edgar mendekat dan membungkam Calla dengan ciumannya. Pria itu melumat bibir Calla dengan panas dan liar. Edgar menahan tengkuk Calla hingga gadis itu tidak bisa bergerak dan hanya bisa membiarkan Edgar menjelajahi seluruh bagian bibirnya.
Calla terengah-engah setelah Edgar melepaskan ciumannya. "Kenapa kau menciumku?!"
"Untuk membungkam mulut cerewetmu itu. Ocehanmu membuat kepalaku pusing. Aku tidak bisa membekapmu dengan tanganku. Nanti kau bilang aku menganiaya." Edgar kemudian berdiri dan berjalan menuju nakas lalu meraih ponselnya.
"Lalu, kau melecehkanku dengan menciumku?" tanya Calla sedikit bernada tinggi.
"Tapi kau suka, ‘kan?" Edgar tersenyum penuh kemenangan.
Calla mengerucutkan bibirnya dan masih mencoba mengatur napas. Ia senang dicium Edgar Harrison, tapi mengakui semua itu rasanya tidak mungkin. Akhirnya dusta pun tercetus, “Tidak. Hanya perempuan bodoh yang mau dicium olehmu.”
"Whatever! Aku sudah melakukan transfer tiga ratus ribu dolar ke rekeningmu. Kau bisa cek sendiri di rekeningmu. Sisanya setelah pekerjaanmu beres. Ingat, kau hanya punya waktu tiga puluh hari untuk mendapatkan informasi tentang Dante Calderall, Nona Stones." Edgar masih berdiri di samping nakas sambil menggenggam ponselnya.
Mata Calla membulat. "Dari mana kau tahu nomor rekeningku?"
Edgar berbalik, lalu kembali ke sofa sambil membawa selembar kertas. "Jangan cerewet! Uangnya sudah masuk ke rekeningmu. Sekarang, tandatangani ini."
Calla menerima kertas yang diberikan Edgar dan meletakkan di atas meja. Namun, ia masih penasaran dengan pemberitahuan Edgar. Calla mengambil ponsel dari dalam sling bag-nya dan memeriksa aplikasi digital banking. Ia dibuat melongo oleh deretan angka dalam informasi saldo rekeningnya. “Oh, my God!”
***
"Jadi, sekarang kau pacaran dengan Dante?" Caleb memutar-mutar botol air mineral yang berada di atas meja makan.
"Iya. Thanks to you." Calla meletakkan mangkuk berisi sup jagung favorit Caleb di samping botol air mineral. Ia masih memperlihatkan air muka jutek di hadapan sang adik.
"Calla."
"Sudah jangan banyak bicara. Ayo makan supmu nanti keburu dingin!" sambar Calla.
Meski masih kesal pada Caleb, tapi Calla sangat menyayanginya. Caleb adalah keluarga satu-satunya yang Calla punya. Calla bekerja keras untuk memenuhi biaya hidup mereka. Calla tidak mau Caleb berakhir seperti Ayah mereka yang menjadi seorang kriminal.
"Sebelum berangkat latihan basket bersama teman-temanmu, bersihkan semua piring kotor yang menumpuk di wastafel. Aku tidak mau ada kata "tidak mau". Aku harus berangkat kerja lebih awal. Gil sakit, jadi dia butuh bantuanku untuk mengurus bar. Jangan keluyuran sampai malam!"
"Aku minta maaf, Cal." Tatapan menyesal Caleb membuat Calla sedikit iba.
"Aku melakukan semuanya untukmu. So, turuti semua aturanku dan jadilah anak baik. Aku tidak mau kau berakhir seperti Ayah. Kau mengerti?"
Caleb mengangguk. Remaja tanggung itu sangat menyesali semua perbuatannya. Caleb tahu Calla sangat peduli dan menyayanginya.
Calla meraih tasnya lalu pergi meninggalkan Caleb. Hari itu hari pertama dia menjadi mata-matanya Edgar Harrison dan hari kedua menjadi pacar Dante Calderall. Ia harus kuat, tekadnya dalam hati.
Suasana bar cukup ramai malam itu. Banyak turis asing yang mampir ke bar tersebut meski hanya untuk sekadar minum bir dan kopi. Beruntung, dia menerima saran Kelly untuk mengambil tenaga pelayan freelance yang mau dibayar per malam. Selama Gil terbaring di rumah sakit, semua urusan bar dia serahkan pada Calla dan Kelly.
"Helo, Cantik!" Dante tiba-tiba muncul di hadapan Calla dan menghentikan langkah Calla yang sedang membawa baki dengan dua gelas minuman di atasnya. Di belakang Dante berdiri dua orang pria dengan tubuh kekar dan berkumis tebal, para pengawalnya.
"Dante, aku sedang bekerja. Tolong ...." Calla berusaha meminta akses jalan dengan isyarat matanya.
Dante terlihat kesal. "Memang kau dibayar berapa untuk pekerjaan ini? Aku bisa memberimu lebih banyak dari yang kau dapatkan di sini."
"Ini bukan soal uang tapi soal usaha. Ini pekerjaanku. Tolong hargai usaha dan pekerjaanku!" tegas Calla.
Melihat gadisnya hampir marah, Dante mengangkat kedua tangannya di depan dada tanda menyerah. "Oke. Kau tidak perlu marah-marah begitu, Sayang. Aku akan menunggumu."
"Baiklah.” Calla berusaha sedikit bersikap lembut kepada Dante. “Kau tunggu aku di sana, ya,” lanjut Calla sambil menunjuk ke sofa khusus pengunjung VIP.
Salah satu anak buah Dante yang tidak senang bosnya diperintah Calla akhirnya menyela Calla dengan kasar. "Hei, Calla! Tidak ada yang memerintah bosku seperti itu!"
Dante berbalik, lalu menarik kerah baju pria itu. "Hei! Dia gadisku sekarang. Kalau kau masih mau hidup, jangan bicara kasar padanya!"
"Iya, Bos. Maafkan aku." Pria itu lalu mengalihkan pandangannya pada Calla. "Sorry."
Calla hanya mengangkat kedua pundak, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Hampir satu jam Dante menunggu Calla di sofa VIP bersama kedua anak buahnya. Tidak biasanya Dante mau menunggu hanya untuk seorang gadis, tapi Calla berbeda. Gadis itu punya pengaruh yang besar bagi Dante. Dante tidak akan menyia-nyiakan waktu di saat ia punya kesempatan untuk memiliki Calla.
5. First Take
Tidak mau mengabaikan Dante terlalu lama dan bermaksud mengusir Dante dengan cara halus, akhirnya Calla menemui Dante pada jam istirahat. Gadis itu duduk di samping Dante. Seperti baru menemukan mainan kesayangan, Dante terus merangkul Calla tanpa memedulikan penolakan gadis itu.
"Dante, aku tidak bisa menemanimu lama-lama. Aku harus bekerja," tutur Calla.
"Tidak apa-apa. Aku akan menunggumu di sini." Dante tiba-tiba mencium pipi Calla.
"Dante! Jangan menciumku sembarangan! Di sini tempat kerjaku. Aku tidak mau para pengunjung yang lain berpikir aku gadis murahan." Calla menurunkan tangan Dante dari pundaknya.
"Siapa yang berani berkata seperti itu? Apakah dia mau mati lebih cepat?” sergah Dante.
"Danteee! Uuh, kau menyebalkan!" Ia memandang Dante dengan geram lalu diam.
"Aku hanya mencoba membelamu, love. Kau ngambek terus. Apakah kau sedang dalam masa periode bulananmu?" canda Dante mencolek pipi Calla sambil tersenyum.
Calla mengusap pipinya. "Dante, tolong jangan seperti ini. Memang kau tidak punya kegiatan lain selain menungguku di sini?"
Dante menggeleng. "Tugasku malam ini adalah menunggumu dan memastikan kau kembali ke apartemenmu dengan aman."
"Aku akan pulang menumpang pada Kelly. Kau jangan berlebihan!" Calla mulai kesal.
Sebisanya, Calla mencari cara untuk bisa mengusir Dante dengan segera. Kehadirannya di bar sangat mengganggunya. Gadis itu mulai merasa tidak tenang dengan kehadiran Dante dan orang-orang suruhannya.
Sepertinya semesta sedang berpihak pada Calla. Ponsel Dante berdering. Pria itu membuka layar, lalu beranjak menjauh dari Calla dan kedua anak buahnya. Beberapa saat kemudian Dante kembali dan meminta anak buahnya ikut bersamanya.
"Sayang, hari ini bukan hari keberuntunganku untuk mengantarmu pulang. Aku ada urusan. Kau jangan nakal ya." Dante mengecup bibir Calla.
"Dante! Aku bilang jangan menciumku di tempat ini."
"Oke. Besok aku akan menciummu di tempat lain. Sampai jumpa besok."
Calla kesal, tapi ia masih mengingat tugasnya sebagai mata-mata. Maka dari itu, Calla tidak bisa terus-terusan bersikap defensif. Ia berusaha melembut pada Dante. “Dante, kau mau ke mana?”
“Aku ada urusan. Besok kita bertemu lagi.”
“Apakah kau akan membuatku khawatir dengan tidak memberitahu ke mana kau akan pergi?” Calla berpura-pura mencemaskan kepergian Dante.
Merasa diperhatikan gadis pujaannya, hati Dante berbunga-bunga. Wajah pria muda tampan itu tampak semringah. Ia membelai pipi Calla dengan lembut. “Aku ada urusan di Uptown. Jangan khawatir.”
“Oke. Hati-hati, ya.”
Dante tersenyum. “Iya, tentu saja. Sampai bertemu besok.”
Calla mengembus napas lega setelah kepergian Dante. Ia merasa dirinya kembali bebas dan terlepas dari cengkeraman Dante.
Jarum jam hampir menunjuk ke angka tiga. Beberapa lampu yang menerangi ruang pengunjung sudah dimatikan dan bar harusnya sudah tutup. Namun, Kelly masih mendapati seorang pengunjung yang masih duduk di sudut ruang. Pria itu duduk di tempat si tua James duduk malam itu. Cahaya minim yang menyinari membuat Kelly tak bisa melihat dengan jelas wajahnya.
"Calla, masih ada seorang pengunjung. Bisa kau memintanya pergi? Kita harus menutup bar ini. Kalau kau tidak mau, kau minta petugas keamanan di luar saja untuk mengusirnya." Kelly menyarankan. Ia terlihat sibuk membagikan upah pada para pelayan freelance yang sengaja disewa malam itu dan mungkin juga untuk besok malam.
“Oke.” Calla yang sedang meng-input data keuangan ke dalam komputer bar langsung berdiri dan menghampiri pengunjung tersebut. Calla melihat seorang pria tengah duduk di balik meja yang disebutkan Kelly. Seperti siluet, wajahnya tidak terlihat dengan jelas, tapi pria itu mengenakan trench coat berwarna gelap. Calla berjalan semakin mendekat.
"Kami sudah mau tutup." Calla melontarkan peringatan. Setelah beberapa saat mengamati, Calla membulatkan matanya. "Harrison?"
"Iya," jawab pria yang kemudian diketahui sebagai Edgar Harrison.
"Kenapa kau berada di sini?"
"Untuk meminta laporan darimu."
Calla menarik kursi yang berada di depan Edgar lalu duduk. Dia meletakkan kedua tangannya di atas meja. "Sejak kapan kau di sini?"
Edgar tidak menjawab. Ia justru mengajukan pertanyaan lain. "Ada sesuatu yang bisa kau ceritakan padaku tentang Dante?"
"Tidak banyak. Sesaat setelah dia menciumku—"
"Bisa skip bagian itu? Langsung saja ke intinya," sela Edgar.
"Tapi, intinya di situ."
"Aku tidak mau mendengarnya. Tulis dalam surel saja dan kirim padaku. Pakai ini. Alamat emailku sudah ada di dalam." Edgar memberikan sebuah ponsel pintar pada Calla. "Oh, ya, bisakah kau tidak semurahan tadi? Kau terlihat seperti pelacur bangkrut yang sedang menggoda mangsanya."
Tekanan darah Calla langsung naik dan amarahnya siap meledak mendengar ucapan Edgar. Andaikan Edgar tidak membayar mahal dirinya untuk pekerjaan itu, Calla pasti sudah meninju wajah pria itu. Calla mengepalkan tangan. Dia mencoba meredam emosi dengan menghela dan mengeluarkan napas perlahan.
"Aku—"
"Ssst! Stop!” sela Edgar sambil meletakkan telunjuk ke bibir seksinya. “Jangan bicara lagi. Suara cemprengmu membuatku pusing."
"Tapi, aku—"
"Kalau kau bicara lagi aku akan membungkammu seperti kemarin."
Calla langsung melotot. Dia ingin sekali memaki, meninju, dan menjambak rambut pria dihadapannya. Namun, dia sedang berada di bar dan semua orang tahu kalau Edgar adalah pengunjung dan dia adalah pelayan. Sekuat tenaga, Calla berusaha untuk bersabar.
Dasar kurang ajar! umpat Calla dalam hati.
Edgar berdiri. Kedua tangannya terkubur dalam saku jaket. Pria itu terlihat keren. Sangat keren. Meski dalam cahaya temaram, wajahnya masih terlihat memukau. Sejenak Calla memerhatikan penampilan Edgar yang membuat hatinya sedikit berdebar, tapi kembali lagi pada rasa kesal yang ditimbulkan oleh pria itu, Calla langsung membuang jauh-jauh perasaan tersebut.
"Dua hari lagi Thanksgiving. Kau tidak usah melaporkan apa pun padaku tentang Dante," tutur Edgar sebelum beranjak pergi.
Calla tersenyum lega. Akhirnya, dia bisa libur juga jadi mata-mata kelas teri.
"Karena kau akan merayakan Thanksgiving bersamaku," lanjut Edgar langsung memudarkan kelegaan di hati Calla.
"What?!" Calla kembali membulatkan matanya.
***
“Aku tidak mau tahu. Sore ini aku akan menjemputmu. Kau akan kembali ke rumahmu hari Sabtu. Jangan lupa beli baju bagus. Aku tidak mau kau terlihat jelek," titah Edgar dari ujung telepon.
"Heh, dengar ya, Tuan Edgar Harrison yang terhormat! Aku tidak akan merayakan Thanksgiving bersamamu! Aku akan merayakan bersama adikku. Aku sudah membeli kalkun yang besar dan aku akan menghabiskannya bersama Caleb," balas Calla.
"Jam 05:00 aku akan menjemputmu!" Edgar memutus sambungan teleponnya.
Calla menatap layar ponsel barunya dengan kesal. "Menyebalkan! Mentang-mentang dia sudah membayarku. Seenaknya saja memerintah!"
"Ponselmu baru, Cal?" Caleb mengejutkan Calla. Remaja itu masuk ke kamar Calla tanpa mengetuk pintu.
"Iya. Hadiah dari seseorang." Calla turun dari tempat tidur, lalu mengambil handuk yang tergantung pada kapstok di belakang pintu kamar.
"Dante?"
Calla tidak menjawab. Pandangan justru terfokus ke punggung Caleb yang menggendong tas ransel. Tidak biasanya Caleb pergi sekolah dengan tas ransel milik ayah mereka. "Kau mau kabur?"
"Aku mau minta izinmu. Aku mau ikut Jayden dan orang tuanya ke Woodstock. Mereka merayakan Thanksgiving di sana. Setelah pulang sekolah nanti, kami langsung berangkat," tutur Caleb.
"Kau yakin tidak akan merepotkan mereka?" Calla mengalungkan handuk ke lehernya.
"Mereka yang mengajakku. Jayden butuh teman di sana. Kami akan kembali hari Minggu."
"Oke. Tapi, kau jangan nakal dan jangan terlalu merepotkan mereka."
Caleb mengecup pipi Calla. "Kau memang kakak terbaik di dunia. Oke, aku pergi. See you on Sunday."
Calla sedikit lega Caleb akan merayakan Thanksgiving bersama keluarga teman sekelasnya. Dia tidak perlu repot meminta bantuan Nyonya Yuri, tetangga mereka, untuk mengawasi Caleb selama dia pergi. Satu lagi masalah yang harus dia selesaikan, Dante Calderall. Alasan apa yang harus dia berikan pada pria yang memujanya itu?
6. Thanksgiving
"Dante, aku akan merayakan Thanksgiving bersama Kelly. Aku sudah janji padanya jauh-jauh hari. Kami akan berangkat dari sini, dan dia akan menjemputku di sini." Calla mencoba meyakinkan Dante setelah pria itu mematikan mesin mobilnya di depan kampus mereka.
Ekspresi Dante berubah muram. Raut wajahnya jelas menunjukkan ketidakpuasan. "Memangnya tidak bisa kau batalkan?" tanyanya akhirnya dengan nada protes yang tertahan.
"Tidak bisa. Kalau aku membatalkannya, aku akan merasa sangat tidak enak dengan keluarga Kelly. Mereka sudah mengundangku jauh-jauh hari," jawab Calla, berusaha terdengar meyakinkan. Gadis itu dengan cardigan rajut yang dikenakannya di atas kaus merah muda, menyunggingkan senyum tipis. "Mungkin tahun depan kita bisa merayakannya bersama."
Tatapan iris perak Dante yang memancarkan cahaya kelembutan terpatri ke arah Calla. Pria dengan kulit kecokelatan yang memikat itu menatap Calla penuh damba. "Kau serius? Kau ingin tetap bersamaku sampai tahun depan?"
Calla terkejut dan seketika matanya membulat. Ia tak menyangka ucapannya ditanggapi seperti itu oleh Dante. Tujuannya hanya membuat alasan, tapi kini Dante menanggapinya dengan serius.
"Mmm. Aku ...." Calla menggantung kalimatnya, ragu mencari jawaban yang tepat.
"Iya, aku mengerti," sela Dante, memutus keraguan Calla. Dia merapat ke konsol tengah mobil dan tanpa ragu langsung mencium pipinya. "Kau pasti tidak ingin jauh dariku. Terima kasih, sayang."
Ya Tuhan, apa yang kulakukan? Kenapa aku bicara seperti itu? Calla mengutuk dirinya sendiri dalam hati.
"Baiklah, sampai ketemu hari Minggu. Terima kasih sudah mengantarku." Calla turun dari mobil dan berjalan menuju lobi kampus.
“Cal!” seru Dante, menghentikan langkah Calla yang baru saja beranjak beberapa meter. Gadis itu menoleh ke belakang. "I’ll miss you already!" seru Dante, menyatakan perasaannya dengan penuh percaya diri.
Calla merespons dengan senyuman terpaksa. Semua ini harus ia lakukan demi pekerjaannya sebagai mata-mata. Namun, Calla segera meralat pemikirannya sendiri. Dante tak seperti dugaannya; dia bukanlah pria brengsek seperti yang selama ini ia kira.
Dari balik kemudi supercar-nya, Dante memandangi Calla yang perlahan menghilang di kejauhan. Senyum kemenangan terpampang di wajahnya. Mimpinya menjadikan Calla sebagai kekasih semakin mendekati kenyataan.
***
Pintu lift terbuka. Edgar melangkah keluar dengan percaya diri. Kedua tangannya terkubur ke saku celana jeans dan tatapannya tertuju ke lorong yang mengarah ke unit apartemen Calla. Sementara itu, Calla tengah menantikan kedatangan Edgar di depan unit apartemennya. Gadis itu melirik arloji di tangan kirinya, lalu mengembalikan pandangannya ke lorong apartemen.
“Kau sangat tepat waktu, Harrison,” tutur Calla ketika Edgar tiba di hadapannya.
Tidak menjawab, Edgar justru menatap gadis yang mengenakan 90s mini dress bermotif bunga yang dilapisi jaket kulit cokelat tersebut. Tatapannya menjelajahi tubuh Calla dari atas ke bawah. Sejumput rasa aneh tiba-tiba saja menyeruak di dalam hatinya. Entah itu apa, tetapi Edgar merasakan getaran yang memunculkan pujian untuk Calla.
Damn! Dia sangat cantik.
“Aku terbiasa hidup dengan disiplin yang tinggi. “Ngaret” bukan nama tengahku.” Edgar menanggapi dengan serius dan tanpa basa-basi. Namun, tatapannya kembali terpatri pada penampilan Calla. Gadis itu bagai magnet yang menarik seluruh perhatiannya.
Nyaris merasakan hal yang sama, Calla menjadi sedikit gugup oleh tatapan intens Edgar yang menjelajahi dirinya. Ia bahkan merasakan serangan panik ketika Edgar melangkah lebih mendekat. Jantungnya pun berdenyut kencang seperti sedang merasakan ketakutan atau jatuh cinta yang sangat parah.
"Kenapa kau memakai baju jelek seperti ini? Aku kan memintamu untuk membeli baju yang bagus," ucap Edgar kemudian.
Kepanikan Calla seketika memudar dan tergantikan benih emosi. Calla pikir Edgar sengaja menatapnya seperti tadi hanya untuk menilai. Ia mengerucutkan bibirnya, lalu melontarkan alasan. "Aku tidak punya waktu untuk berbelanja. Memangnya kenapa dengan baju ini? Ada masalah?"
“Tidak ada.” Edgar mengatakan yang sejujurnya bahwasanya tidak ada masalah dengan pakaian yang dikenakan Calla. Ia bersikap dingin hanya untuk menutupi kekagumannya pada gadis itu. "Ayo kita pergi! Aku tidak ada waktu berdebat soal baju jelekmu." Edgar berbalik memunggungi Calla, lalu berjalan lebih dulu tanpa memedulikan Calla yang kesulitan mendorong koper besarnya.
"Jalanmu lama sekali," protes Edgar yang berada beberapa langkah di depan Calla.
"Koperku berat. Sepertinya rodanya macet." Calla sedikit terengah-engah menarik kopernya.
Edgar menghentikan langkahnya lalu berbalik lagi. Pria menawan itu mengembus napas kasar. "Huft! Punya uang ratusan ribu dolar, tapi tidak bisa membeli koper yang lebih bagus dari ini."
“Aku harus berhemat. Membeli koper baru hanya membuang-buang uang,” sanggah Calla sedikit ketus.
Tidak ingin perjalanan mereka tertunda lebih lama, Edgar kemudian mengangkat koper Calla dan menentengnya seperti tanpa beban. Ia kembali berbalik dan berjalan menuju lift.
"Hei, Harrison. Ternyata kau punya bakat terpendam juga ya." Calla tidak bisa menahan tawanya. Gadis yang berjalan Edgar itu cekikikan.
"Apa maksudmu? Kau pikir bantuanku ini seperti lawakan murahan?"
"Tidak, kau sangat baik membantuku membawakan koper. Jangan tersinggung kalau kau pun punya bakat jadi kuli panggul." Calla kembali terkekeh.
Edgar memberengut. Baru kali ini ada gadis, dari kelas bawah pula, yang berani menghinanya secara terang-terangan. Edgar hampir menurunkan koper Calla, tapi gadis itu berhasil mencegahnya.
"Aku hanya bercanda. Jangan marah. Nanti kau terlihat jelek,” tutur Calla.
“Kau tahu, Nona Stones? Kau gadis paling menyebalkan yang pernah kukenal,” tanggap Edgar.
Sore itu Edgar membawa Calla ke sebuah rumah besar di utara Queens. Rumah itu dikelilingi tembok beton yang tinggi dan Gerbang besi yang kokoh. Dua pria berseragam serba hitam tampak berjaga di depan gerbang. Tidak hanya di sana, beberapa pria berseragam hitam lainnya pun tampak berjaga di sekeliling rumah tersebut.
“Wow! Rumah yang sangat indah!” Calla mengungkapkan kekagumannya pada desain interior rumah bercat putih tulang tersebut. Pandangannya beredar ke setiap sudut ruang tamu yang didominasi warna putih dan cokelat. “Seumur hidupku, aku dan adikku hanya tinggal di apartemen murah dan jelek. Kadang-kadang, kami pun terlambat membayar sewa. Sepertinya mempunyai rumah akan sangat menyenangkan,” imbuhnya.
Dari sudut lain, Edgar menatap bangga pada Calla. Gadis itu cukup tangguh untuk menghadapi dunia. Tidak mudah bagi gadis seusianya bertahan dengan kerasnya kehidupan kota yang tidak pernah tidur dan menuntut semua warganya untuk bekerja keras, apalagi dia harus merawat adiknya sekaligus membiayai hidup mereka. Hebat!
"Helo, Edgar!"
Belum habis kekaguman Calla akan keindahan rumah tersebut, seorang wanita cantik berambut gelap sebahu tiba-tiba muncul menyambut kedatangan mereka. Wanita berpenampilan seksi dengan dress pendek berwarna hijau daun itu berjalan menghampiri Edgar dan Calla. Ia langsung memeluk Edgar.
Dari tempatnya berdiri, Calla hanya memperhatikan. Kendati demikian, hatinya langsung menciut. Ia mundur dua langkah. Calla cukup tahu diri. Edgar membawanya ke rumah itu bukan karena ingin merayakan Thanksgiving bersamanya, tapi karena alasan lain. Itulah kenapa Edgar membayarnya.
"Kau bersama siapa?" tanya wanita itu sambil memandang ke arah Calla.
"Dia yang aku ceritakan kemarin, Rina. Kau urus dia, ya. Aku tidak mau dia terlihat kumal seperti itu,” jelas Edgar pada wanita yang dipanggilnya Rina. Pria itu kemudian menjatuhkan dirinya, duduk di sofa.
"Hei, aku Sabrina. Sabrina Lawless, sepupunya Edgar." Wanita Calla dan mengulurkan tangan.
Alih-alih menjabat tangan Sabrina, Calla justru membulatkan matanya dan melompat kegirangan. Raut wajahnya seketika tampak semringah. "Sabrina Lawless? Lawless Beauty Center itu?"
Sabrina tersenyum ramah lalu mengangguk. Di luar dugaan Calla, wanita itu bersikap sangat baik dan bersahabat.
"Oh, my God! Ya Tuhan, pantas kau cantik sekali. Aku tidak percaya aku bisa bertemu denganmu." Calla masih menunjukkan euforianya dengan menatap Sabrina nyaris tanpa berkedip.
"Rina, sebaiknya kau cepat bawa gadis kampungan ini! Dia selalu membuatku pusing," titah Edgar setelah memperhatikan reaksi Calla terhadap Sabrina.
Sabrina menoleh ke arah Edgar. "Dasar kau, Edgar!"
Sabrina akhirnya membawa Calla ke kamar yang akan dipakai Calla selama menginap di rumah mewah itu. Setelah hampir satu jam, Sabrina kembali membawa Calla menemui Edgar.
Edgar hampir tak bisa berkedip menatap Calla. Ia pun kesulitan menelan ludah. Pria itu terpukau pada penampilan baru Calla. Gadis itu terlihat sangat cantik dan anggun dengan sentuhan natural make up dan balutan strapless dress berwarna silver yang mengekspos lekukan tubuh seksi dan kulitnya yang lembut. Jantung Edgar mulai berdegup kencang, tetapi ia segera menutupinya dengan sikap sok arogan yang seakan-akan tidak peduli pada penampilan baru Calla.
Nyaris sama dengan yang dirasakan Edgar, Calla pun terpesona oleh penampilan sang bos yang kini sudah mengenakan setelan jas putih plus dasi kupu-kupu. Rambut cokelat keemasan Edgar yang selaras dengan warna matanya disisir rapi ke belakang. Penampilan pria itu bagai seorang modelman untuk majalah ternama.
"Ayo kita pergi!" ajak Edgar setelah bangkit dari duduknya.
"Pergi ke mana?" Calla kebingungan. Pasalnya, Edgar tak mengatakan apa pun pada Calla tentang rencananya. Ia hanya berdiri terpaku sambil menatap penuh tanya pada Edgar.
Tidak sabar, Edgar meraih tangan Calla dan menariknya pelan. "Nanti aku jelaskan di jalan.” Ia kemudian menoleh ke arah Sabrina. “Apa kau akan pergi ke sana, Rina?
"Tidak. Ada hal yang harus aku kerjakan dan sangat mendesak. Happy thanksgiving!" Sabrina meraih clutch-nya, lalu keluar dari ruangan tersebut ke arah yang berlawanan.
"Happy thanksgiving! Thanks, Rina!” ucap Edgar setengah berteriak lantaran saudara sepupunya sudah mulai menjauh.
"No problem! Sampai bertemu lagi.” Sabrina membalas dengan nada yang sama.
Calla melongo. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan kedua saudara sepupu tersebut. Sebenarnya aku mau dibawa ke mana?
7. Hard-luck Girl
"Kita akan datang ke acara makan malam keluarga Dallas. Akan ada banyak tamu di sana. Tugasmu adalah berpura-pura jadi pacarku," jelas Edgar sambil terus memandang jalan di depannya saat mereka berkendara.
Jawaban itu mengungkapkan alasan di balik permintaan Edgar agar Sabrina mendandani Calla sedemikian rupa hingga terlihat seperti selebriti Hollywood. Semua itu semata-mata agar Edgar bisa memamerkan Calla di depan mantan tunangannya.
"Kau membayarku untuk memata-matai Dante, bukan untuk jadi pacar palsumu," Calla menggerutu sambil menyilangkan tangan di atas perut ratanya. Gerakannya membuat cardigan yang dipakainya tersingkap sedikit, mengekspos sebagian dadanya dari balik gaun bermodel dada rendah.
Edgar sekilas melirik ke arah Calla. Di dalam cahaya temaram, pandangannya tanpa sengaja terhenti pada belahan dada gadis itu. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangan kembali ke jalan. Sial! Apa yang terjadi denganku? umpat Edgar dalam hati, darahnya mengalir lebih cepat, dan ia mengeratkan genggamannya di kemudi untuk menutupi kegelisahan.
"Aku akan membayarmu lebih. Dasar materialistis!" seru Edgar, berpura-pura acuh.
"Memang sudah seharusnya. Beda pekerjaan, beda bayaran," Calla menanggapi dengan nada datar.
"Apa yang ada di kepalamu hanya uang?" Edgar bertanya ketus.
"Untuk orang-orang sepertiku, ya. Yang kupikirkan setiap hari adalah apakah aku dan Caleb bisa makan atau tidak, bagaimana caranya membayar sewa, tagihan listrik, air, gas, dan lain-lain. Itu semua yang selalu ada di pikiranku," jawab Calla dengan jujur.
"Astaga, Cal! Apa tidak ada hal lain? Teman-temanmu, misalnya?"
Calla menoleh, memandang Edgar dengan sorot tajam. "Kau sedang bertanya pada gadis yang bekerja sebagai pelayan bar untuk bertahan hidup. Hidupku sudah cukup rumit tanpa harus memikirkan hal lain. Kecuali Kelly, mungkin."
Edgar terdiam. Ia tidak menyangka hidup Calla seberat itu. "Aku tidak tahu kalau sesulit itu."
"Bohong," Calla menepis dengan nada sinis. "Kau sudah menyelidikiku. Kau bahkan tahu nomor jaminan sosial dan rekening bankku."
Edgar tak menanggapi. Diamnya menyiratkan kebenaran ucapan Calla. Atmosfer di dalam mobil itu terasa kian tegang. Dalam sunyi hampir dua puluh menit, mereka akhirnya tiba di kediaman keluarga Dallas. Pelataran luas rumah itu sudah dipenuhi deretan mobil mewah, bahkan beberapa limosin.
Edgar tampak tak sabar untuk keluar dari mobil, tapi Calla menahan tangannya. Dengan satu gerakan cepat, Calla menarik tangan Edgar, membuat tubuhnya berputar hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. Tatapan mata mereka bertaut, dan ketegangan aneh merambat di nadi Calla. Namun, ia segera menguasai diri.
"Apa yang harus kukatakan pada orang-orang di dalam? Mereka pasti orang-orang penting. Edgar, aku gugup," Calla berbisik, sedikit gemetar.
Edgar sempat salah paham dengan gerakan impulsif itu. Sesaat, pikirannya mengira Calla ingin sesuatu yang lebih—seperti menciumnya. Tapi ia segera menepis pikiran itu, tertawa kecil dalam hati. "Kita hanya perlu berakting natural. Tenang saja," cetusnya sambil tersenyum tipis.
"Oke," jawab Calla, lebih mantap kali ini.
Mereka turun dari mobil, bergandengan tangan masuk ke dalam ruang makan malam keluarga Senator Dallas. Ruangan itu bergaya modern klasik dengan dominasi warna putih, krem, dan cokelat yang membuatnya tampak elegan. Lampu gantung kristal menjuntai indah di tengah ruangan, di atas meja panjang yang dikelilingi kursi-kursi untuk para tamu. Calla mengedarkan pandangan dan segera menyadari bahwa semua yang hadir di sini bukan sembarang orang, mereka adalah para tamu eksklusif yang punya kedekatan khusus dengan keluarga Dallas.
Ya Tuhan, ini seperti mimpi. Gadis itu tersenyum-senyum sendiri.
"Ed, apakah dia Nirvana Dallas?” Calla menepuk lengan Edgar saat netranya menemukan seorang wanita berambut pirang yang mengenakan gaun berwarna silver. “Wow! Cantik sekali. Ini baru yang namanya wanita berkelas. Meskipun sedang hamil tua, kecantikannya tetap tak bisa disangkal," imbuhnya.
Edgar merangkul Calla, lalu menyurukkan wajahnya ke samping wajah gadis itu. “Kalau sudah tahu, jangan berisik.”
Calla tidak memedulikan peringatan Edgar. Gadis itu masih saja terkagum-kagum melihat wanita yang tengah hamil tua tersebut. Akhirnya, Edgar hanya bisa memeluknya.
Calla tersadar, saat ini dia berada dalam rengkuhan Edgar Harrison. Wangi maskulin tubuhnya begitu menghipnotis. Ingin rasanya dia mencium dan menyurukkan wajahnya ke leher pria tampan itu, tetapi sekali lagi dia harus berpikir rasional. Dia sedang bekerja saat ini, menjadi pacar palsu pria itu. Calla meyakinkan hatinya bahwa dia harus tetap bersikap profesional.
"Kenapa kau memelukku?" bisik Calla.
"Kau terlihat bodoh melongo seperti itu," balas Edgar pelan tapi menusuk hati.
"Edgar!" Seruan nyaring yang terdengar bening mengurai pelukan Edgar dari Calla.
Degup jantung Calla semakin kencang saat pemilik suara itu mendekat. Benar yang dilihatnya adalah Nirvana Dallas, putri senator Tyrone Dallas dan dia adalah mantan tunangan Edgar.
"Ed! Aku pikir kau tidak akan datang. Hampir dua tahun kita tidak bertemu." Nirvana langsung menghambur ke pelukan Edgar. Seperti sahabat yang telah lama berpisah, wanita itu tidak segan dan ragu untuk memeluk sang mantan tunangan. Usai melepas pelukannya dari Edgar, Nirvana menoleh pada Calla dan tersenyum manis. "Siapa gadis yang beruntung ini?"
"Hai. A-aku Calla. Calla Stones," ucap Calla gugup.
"Hai. Aku Nirvana. Nirvana Smith." Nirvana memperkenalkan dirinya pada Calla dengan nama belakang suaminya.
Aku pikir putri seorang Senator yang bergaya hidup hedon itu seorang yang arogan. Ternyata selain cantik, dia juga ramah. Calla memuji Nirvana dalam hati.
“Ed, bagaimana kabarmu?” Nirvana memandangi Edgar dari atas ke bawah. “Kau terlihat mempesona, Ed.”
Edgar tersenyum, kemudian merangkul Calla. “Kabarku baik berkat dia,” jawabnya sambil melirik Calla.
Calla hanya tersenyum menanggapi respons Edgar terhadap pertanyaan Nirvana. Beberapa saat kemudian seorang pria berjas hitam menghampiri mereka. Pria tampan bermata biru itu, lalu menyapa Edgar dengan bersalaman gaya khas pria, seperti adu panco.
“How’s your day, buddy?” tanyanya.
“Great!” Edgar kemudian meninju pelan dada pria itu sambil tersenyum. “Sialan kau, Hades! Kau akan menjadi ayah lebih dulu.”
Pria bernama Hades itu merangkul Nirvana dengan posesif, lalu mengecup pipi sang istri. Ia kemudian melayangkan tatapan bangganya pada Edgar. “Thanks to you. Kami tidak akan bisa sampai di titik ini kalau bukan karenamu.”
“Aku turut bahagia melihat kalian bahagia,” tutur Edgar.
Mendengar percakapan tiga sahabat lama tersebut, Calla dibuat penasaran akan cerita masa lalu mereka. Namun, ada satu hal yang membuat Calla merasa lebih dari sekadar bahagia, yaitu penerimaan pasangan putri senator dan mantan pengawalnya yang sangat baik. Selain bertemu Nirvana dan Hades Smith, Calla pun bertemu para petinggi kota New York termasuk senator Tyrone Dallas dan petinggi badan intelijen pemerintah federal Amerika Serikat, CIA.
Usai makan malam, entah apa yang akan dibicarakan para pria, Nirvana mengajak para wanita untuk memisahkan diri dari pasangan mereka. Para wanita diperkenankan untuk memasuki ruangan yang tak kalah cantik dan elegan dari ruang makan. Sofa-sofa berwarna pastel mengelilingi meja kopi. Lampu gantung berbentuk bola-bola cahaya tampak menghiasi pemandangan langit-langit. Di sana mereka menikmati anggur terbaik yang disajikan oleh para pelayan.
Duduk di samping sang nyonya rumah, Calla merasa sangat gugup. Mungkin ia satu-satunya wanita di sana yang berasal dari kelas paling bawah. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Tentunya, kehidupan Calla berbanding terbalik dengan kehidupan para wanita yang berada di dalam ruangan tersebut.
“Kau tidak meminum anggurmu?” Nirvana bertanya pada Calla dengan ramah.
“Aku sudah meminumnya. Sedikit. Kau sendiri tidak minum anggur?” Calla justru balik bertanya.
“Aku sedang hamil. Tidak minum minuman beralkohol.” Nirvana kemudian mengangkat gelas bertangkainya yang berisi sampanye tanpa alkohol. “Aku minum ini.”
“Maafkan aku. Kadang-kadang aku suka hilang ingatan,” canda Calla.
“Tidak apa-apa.”Nirvana tersenyum. “Kau sudah lama menjadi kekasih Edgar?”
Calla menggeleng sementara otaknya berputar mencari alasan yang masuk akal. “Aku baru saja mengenalnya dan ternyata … kami cocok.”
“Edgar pria yang baik. Hidupnya memang penuh kejutan, tapi aku yakin kau akan menyukai kejutan-kejutan itu nanti.”
“Aku tidak mengerti.” Air muka Calla kembali menampakkan kebingungan di tengah senyuman yang ia coba tunjukkan.
“Suatu saat nanti kau akan mengerti. Kau gadis yang beruntung bisa mendapatkan Edgar.”
Semua ucapan Nirvana bagai sebuah teka-teki bagi Calla. Ia dan suaminya tampak sangat berutang budi pada Edgar. Entah apa itu, tetapi Calla bisa merasakannya. Sampai tiba waktunya pulang, Calla masih memikirkan ucapan sang putri senator. Namun, Calla segera menepis ucapan Nirvana yang mengatakan, dia beruntung mendapatkan Edgar. Nirvana tidak tahu bahwa dia dan Edgar hanya bersandiwara. Keberuntungan itu bukan miliknya. Bukan milik gadis yang berasal dari kelas bawah dan hidup di apartemen butut, pikir Calla.
8. I Wanna Kiss You
Setelah acara makan malam, Edgar membawa Calla kembali ke rumah peristirahatannya di Queens. Namun, Edgar berencana mendiskusikan tugas Calla selanjutnya sebelum mereka beristirahat. Pria itu kemudian membawa Calla ke halaman belakang rumah di mana terdapat taman yang indah dan kolam renang. Keduanya duduk berhadap-hadapan di bangku jati di pingggir kolam renang. Angin yang berembus di penghujung musim gugur terasa menusuk kulit. Calla mengencangkan tali mantel, lalu menggosok-gosok telapak tangannya sendiri.
“Kalau kau kedinginan, kita bicara di dalam saja,” Edgar menawarkan pilihan pada Calla.
“Di sini lebih baik.”
“Oke. Kau mau bir?”
“Tidak. Air mineral saja.”
Edgar bangkit dari duduknya lalu berjalan masuk ke ruang penyimpanan makanan dan minuman di samping dapur. Beberapa menit kemudian ia kembali dengan membawa dua botol kecil bir dan air mineral, lalu kembali duduk di tempatnya semula.
“Setelah tugasmu selesai di sini, aku minta kau lebih mengawasi gerak-gerik Dante. Kalau bisa, kau harus lebih dekatnya supaya mengetahui apa saja yang akan dia lakukan dan ke mana dia akan pergi.” Edgar menjelaskan tugas yang harus diemban Calla nanti.
“Kau jangan khawatir soal itu. Aku dan Dante memang dekat. Bisa dibilang, kami berpacaran.”
Edgar mengernyitkan dahi sambil menatap Calla. Pengakuan Calla tidak bisa disangkal telah memunculkan sengatan keterkejutan bagi dirinya. “Kalian pacaran? Sejak kapan? Kenapa kau baru memberitahuku?”
“Sehari sebelum kau memintaku memata-matainya.”
Edgar memalis ke arah lain sambil mengembus napas, lalu kembali menatap Calla dengan sedikit tajam. “Wow! Seharusnya—”
“Bukankah itu bagus?” Calla memotong reaksi keberatan Edgar. “Dante tidak akan mencurigaiku kalau aku sedang mengawasinya,” imbuh Calla.
Edgar mengedikkan pundak, lalu melepaskan dasi kupu-kupu dari kerah kemejanya, dan membuka dua kancing atas kemeja tersebut sehingga bulu-bulu halus di dada bidangnya terekspos. Pria itu tampak seperti sedang menantang dinginnya angin di musim gugur. “Terserah kau akan melakukan apa untuk mendekati Dante. Aku hanya menginginkan laporan, apa yang dia lakukan dan ke mana saja dia pergi,” ucapnya kemudian.
“Ed.”
Panggilan Calla membuat Edgar kembali menelaah wajah gadis itu. Edgar kemudian mengangkat alis cokelat tebalnya seraya melayangkan tanya, ‘apa?’ melalui tatapannya.
“Kau ini sebenarnya siapa?” Dengan polos Calla bertanya.
Edgar tersenyum tipis. “Kau tahu siapa aku. Berita di TV dan gosip di berbagai media pasti sudah menjelaskan siapa aku.”
Calla mengerucutkan bibir, kesal lantaran pertanyaannya tidak dijawab serius oleh Edgar. “Kau terlalu percaya diri, Harrison. Tidak semua orang menonton TV dan mendengarkan gosip.”
“Aku pemilik Harrison Enterprise,” jawab Edgar.
“Iya aku tahu itu.”
“Kalau tahu, kenapa harus bertanya?”
Calla memajukan bibir bawahnya sambil mengangkat bahu. “Um, kenapa orang kaya, miliarder sepertimu tidak punya pengawal pribadi? Kulihat di sini banyak petugas keamanan, tapi kau memilih jalan sendirian tanpa pengawalan mereka.”
“Aku lebih suka jalan sendirian. Semakin banyak orang di sekitarku, aku semakin tidak punya privasi. Mereka akan tahu apa yang kulakukan, aku pergi ke mana, dan dengan siapa. You know, it sucks. Aku tidak suka privasiku terganggu, apalagi sengaja diganggu.”
Wow! Jawaban Edgar sangat mempresentasikan kemandirian dan keberanian. Tidak banyak orang yang memiliki kekayaan melimpah mau berjalan-jalan sendirian. Biasanya mereka terlalu mengkhawatirkan keselamatan diri mereka, tapi Edgar berbeda, pikir Calla.
Calla meraih botol air mineral dari atas meja lalu meminumnya. Pandangannya beralih ke arah kolam renang. Embusan angin membentuk riak-riak kecil sehingga air kolam tampak berkilauan. Calla tersenyum dalam hati. Rasa lega dan damai secara bersamaan menyelusup ke dalam dirinya. Ini pertama kali dalam hidupnya, ia tidak memikirkan harus melakukan apa besok untuk mendapatkan tips yang lebih besar di bar.
“Kenapa kau tidak minum bir?”
Pertanyaan Edgar secara otomatis memalingkan kembali wajah Calla ke hadapan pria itu. Calla menggeleng. “Tidak. Aku sudah banyak minum anggur di rumah mantanmu tadi. Ngomong-ngomong, kau dan putri Senator itu hebat, ya. Kalian masih bisa berteman meski tidak jadi menikah."
"Memangnya kalau tidak jadi menikah harus bermusuhan?" Edgar meraih botol bir di atas meja
"Kenapa kau tidak punya pacar lagi setelah putus dengannya sampai-sampai kau harus membayarku untuk jadi pacar palsumu? Kau kan punya banyak kenalan model, penyanyi, dan aktris."
"Wanita-wanita itu hanya mengincar popularitas ketika jalan denganku. Kebanyakan dari wanita cantik memang begitu."
"Yang benar? Buktinya aku tidak. Aku suka pria yang biasa-biasa saja," tepis Calla dengan santai sambil bersandar ke punggung kursi.
Edgar menyatukan alis, lalu menatap Calla selama beberapa detik sebelum mencetuskan pernyataan paling pahit untuk Calla. "Siapa yang bilang kau cantik?”
Calla melebarkan mata. Iris birunya berkilat tajam menembus mata Edgar hingga ke jantung hatinya. Edgar sudah menyinggung perasaan Calla.
"Apa kau bilang, Harrison? Meski menurutmu aku tidak cantik, mungkin aku satu-satunya gadis yang tidak mau kencan denganmu. Kencan dalam arti yang sesungguhnya, ya," tandas Calla.
"Benarkah?" Edgar mengangkat sebelah ujung bibirnya. Tatapannya mulai mengintimidasi Calla.
Calla bergidik ngeri. Gadis itu segera berdiri. Ia tidak mau terus-terusan berhadapan dengan Edgar. Pria itu memberi efeknya mengacaukan bagi dirinya. "Aku mau tidur. Sampai ketemu besok. Good night."
Belum sempat Calla berbalik, Edgar mencekal dan menarik tangan Calla dengan kuat sampai membuat gadis itu jatuh terduduk di pangkuannya. Dengan gerakan refleks Calla menyampirkan satu tangannya di pundak Edgar sebagai usaha menahan tubuh agar tidak terjengkang. Pandangan mereka berserobok, saling menyampaikan sesuatu lewat tatapan.
Getar-getar aneh mulai merayap ke seluruh tubuh Calla. Edgar sangat memesona, tetapi pria itu sangat menyebalkan. Seandainya terjadi sesuatu di antara mereka pun, itu hanyalah bisnis. Calla segera menepis dambaan lebih yang mulai mengentak-entak hatinya.
"Aku ingin menciummu." Ucapan yang lolos dari mulut Edgar menyentak dada Calla.
Antisipasi mengalir dengan cepat ke seluruh tubuh Calla dan berdenyut di setiap nadinya. Calla tidak tahu harus menjawab apa. Yang jelas, pernyataan Edgar sangat menggoda.
Ayolah Calla! Satu ciuman saja. Kau tidak akan mati karena sebuah ciuman dari Edgar Harrison. Mungkin saja dia ingin memberikan ciuman romantisnya padamu malam ini. Bukan ciuman brutal seperti malam itu. Dorongan dari dalam hati Calla semakin kuat.
Sementara itu, Edgar menunggu jawaban Calla dengan sabar sambil terus melayangkan bujukannya terhadap gadis itu melalui tatapan. Namun, pria itu tak kunjung mendapatkan jawaban setelah beberapa detik menunggu. Akhirnya inisiatif pun tercetus. Edgar menyurukkan wajah ke leher Calla, menyentuh kulit lembut gadis itu dengan bibirnya. Aroma vanila yang menyeruak dari tubuh Calla memprovokasi hasratnya dengan cepat untuk melakukan lebih. Edgar bahkan merasakan celananya mulai menyempit. Di lain sisi, jantung Calla hampir meledak karena berdegup terlalu kencang. Sentuhan seductive Edgar di lehernya membuat Calla sedikit gemetaran lantaran terlalu gugup. Namun, beberapa saat kemudian Edgar menarik wajahnya dari leher Calla, lalu mengangkat wajah dan menatap gadis itu.
“Kenapa aroma tubuhmu seperti aroma toko kue? Parfum murahan apa yang kau pakai?" tanyanya.
Pertanyaan Edgar memancing emosi Calla untuk meledak. Calla segera bangkit dari pangkuan Edgar. Seharusnya ia tahu kalau pria bernama Edgar Harrison itu tidak akan pernah memberinya ciuman romantis. Pria itu terlalu sombong menurutnya.
"Aku sengaja mengoleskan minyak bekas menggoreng donat ke tubuhku agar kau tidak mendekat!" jawab Calla dengan geram. “Dasar menyebalkan!” Calla berbalik dan meninggalkan Edgar sendirian di sana. "Dasar menyebalkan! Masa aroma vanila dari parfumku dibilang bau toko kue. Aku membelinya dengan harga mahal." Calla terus merutuk di sepanjang jalan menuju ke kamarnya.
Dari tempat duduknya, Edgar menarik kedua ujung bibir tipisnya ke atas membentuk senyuman. Pria itu menyadari sesuatu yang seharusnya tak pernah ia lakukan. Gadis itu bisa membuatku menjadi orang paling bodoh.
(Bersambung)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
