
Blurb:
Satria hanya ingin mengambil kembali lukisan karyanya yang dititipkan di galeri NI, galeri seni terbesar di Neo Jakarta. Namun, niatnya dihalangi prosedur yang ribet dan bikin mumet. Dibantu teman seprofesi dan juga adiknya, akhirnya Satria nekat mengambil mahakaryanya itu dengan caranya sendiri. Berhasilkah Satria dan tim dadakannya mengambil kembali lukisan tersebut? Ikuti petualangan mereka di sini.
Neo Jakarta, N47
Srikandi berlari kecil menyusuri trotoar jalan Pintu Besar Selatan di kawasan Kota Tua, Neo Jakarta. Beberapa seniman lukis jalanan terlihat berada di lapak mereka masing-masing yang berderet di sepanjang trotoar. Beberapa di antara mereka menyapa Srikandi dengan ramah. Namun, ada pula yang memandang sinis. Pemandangan klasik trotoar yang dikenal dengan Street Galery itu merupakan salah satu pemandangan di kawasan Kota Tua yang sengaja tidak diubah oleh pemerintah Neo Jakarta. Berbanding terbalik dengan gedung bersejarah lainnya yang telah mengalami renovasi dan modifikasi, Kota Tua dibiarkan seperti aslinya sampai saat ini, N47, Nusantara tahun 47.
“Bang Sat, kenapa telepon Sri nggak Abang angkat?” Kekesalan terdengar kental dalam nada tanya Srikandi. Gadis berusia 23 tahun yang masih mengenakan seragam kerjanya itu berdiri sambil bersedekap di samping kursi kayu yang diduduki Satria.
Satria hanya menoleh sesaat ke arah Srikandi lalu kembali memfokuskan pandangan ke kanvas yang dibentangkan pada spanram di hadapannya. Tangan Satria yang memegang kuas dengan lincah menari di atas kanvas polos tersebut hingga memenuhinya dengan coretan-coretan berwarna cokelat yang membentuk bukit tanpa pepohonan. Selama beberapa saat kakak-beradik yang memiliki darah campuran Batak, Jawa, dan Betawi itu hanya saling diam. Namun, kejengkelan Srikandi akhirnya menyeruak sesaat kemudian.
“Bang! Abang dengerin gue dulu dong.“
“Ada apa sih?” Satria meletakkan kuas ke tempatnya. Nada tanyanya masih datar dan tanpa tekanan.
“Lukisan Abang yang Abang kasih ke galeri NI dan dipamerin di sana akan dijual Pak Nana. Tadi gue nggak sengaja mendengar Pak Nana dan kolektor dari negara Flower itu bicara di gudang penyimpanan. Mereka pikir mungkin di sana nggak ada siapa-siapa. Padahal, di sana ada gue lagi beresin barang. Gue memang ada di ruang belakang gudang, tapi gue denger dengan jelas apa yang mereka omongin. Sebagai salah satu karya autentik di geleri NI, lukisan Abang punya daya tarik tersendiri bagi kolektor yang mengerti seni. Oh iya, gue juga denger mereka bakal ganti lukisan asli Abang yang ada di galeri dengan lukisan palsu,” jelas Srikandi. Ia kemudian meletakkan kedua tangan di pinggulnya.
“Apa?!!!” Mata Satria secara otomatis melebar. Pria berambut cokelat sebahu yang diikat menyerupai ekor kuda itu bangkit dari duduknya. Kedua ujung bibirnya ditarik ke atas seperti hendak tersenyum tapi tidak. Disebut menyeringai pun kurang seram lantaran ekspresinya cenderung mirip orang yang sedang tertekan menahan sesuatu. “Beneran lo?! Elo nggak salah denger, Sri? Kenapa lo nggak bilang dari tadi?” imbuhnya dengan keterkejutan yang telat dilontarkan.
“Gue yakin gue nggak salah denger, Bang.” Srikandi melempar tatapannya ke arah spanram yang bertengger di easel kayu. Ia lalu melabuhkan kembali pandangannya pada Satria dan mengamati ekspresi tak terdefinisikan yang ditunjukkan sang kakak. “Sebenarnya Abang itu sedang sedih, kesal, atau sedang nahan boker sih, Bang? Aneh banget tampangnya.”
“Di antaranya, Sista.” Satria menghela napas panjang lalu mengembuskan perlahan-lahan sebanyak dua kali sebelum melanjutkan ucapannya. Kali ini ekspresinya justru mirip ibu hamil yang sedang mengalami kontraksi. “Hal ini merupakan pencapaian luar biasa bagi seniman yang tidak diperhitungkan kayak gue. Kalau karya gue disukai kolektor seni yang beneran ngerti seni, itu kan artinya lukisan asli memang nggak sebanding nilainya dengan lukisan yang dibuat dengan AI. Namun, nggak begini konsepnya. Sembarangan aja tuh Pak Nana mau jual lukisan gue. Itu sih namanya maling. Gue ngasih lukisan gue ke galeri NI untuk dipajang di sana. Biar orang-orang se-Jakarta raya tahu kalau masih ada seniman lukis sejati yang masih eksis.”
Sejak Nusantara Innovation, perusahaan teknologi canggih, mengubah Jakarta tempo dulu, tahun 70-an, yang nyaris lumpuh total akibat krisis di berbagai bidang menjadi kota paling maju di dunia dan menjadi basis perusahaan-perusahaan IT terbesar, ruang gerak seniman murni semakin tersisih. Eksistensi seniman yang menciptakan karya seni autentik sebagai perwujudan pengkespresian diri terlibas oleh munculnya para Creators. Creators sendiri adalah orang-orang yang membuat karya dengan bantuan AI. Seiring berjalannya waktu, teknologi AI atau kecerdasan buatan ini pun semakin maju dan telah menguasai serta memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan di seluruh dunia, khususnya Neo Jakarta.
“Iya, gue tahu itu. Abang dan teman-teman Abang yang ada di sini adalah seniman sejati yang menolak digitalisasi. Makanya, Abang ngasih lukisan Abang ke galeri sebagai tanda eksistensi Abang di dunia perlukisan,” sambar Srikandi.
“Gue nggak nolak digitalisasi, tapi digitalisasi yang dilakukan si Nusantara Innovation alias NI itu keterlaluan.” Satria berdalih, “kita dibikin hidup tanpa privasi. Semua data diri dan hidup kita diambilnya. Mereka tahu semua tentang kita. Bahkan, tanda lahir di pantat gue aja mereka tahu.”
Nusantara Innovation yang dianggap sebagai dewa penyelamat Jakarta secara tidak langsung telah menjadi bagian dari pemerintahan kota. Peradaban baru yang lebih canggih dan modern menjadikan kehidupan warga Neo Jakarta semakin teratur dan terarah. Sayangnya, seluruh warga harus kehilangan privasi lantaran seluruh data diri mereka telah dipegang perusahaan teknologi raksasa tersebut.
“Ssst!” Srikandi menempelkan telujuk di bibirnya sendiri sementara tatap memperingatkannya menembus netra Satria. Gadis itu kemudian berbicara dengan suara yang sengaja dipelankan. “Abang kalau ngomong suka asal. Bagaimana kalau ada orang NI yang mendengar? Bisa diciduk kita, Bang.”
“Lo lupa kalau kawasan ini adalah kawasan yang diabaikan? Lagi pula, orang-orang di sini hampir semuanya anti NI. Mana ada Orang NI yang mau datang ke sini? Mau nyari keributan?”
“Ya, kali aja, Bang. Kalau lagi apes, siapa yang tahu? By the way, anyway, busway, pemerintah nggak mengabaikan area ini sampai sebegitunya kok. Mereka cuma menjaga keaslian tempat ini. Makanya, Kota Tua dibiarkan seperti ini.” Srikandi meralat analisis Satria tentang ketimpangan pembangunan kota oleh pemerintah Neo Jakarta. Ia kemudian memberengut seakan tidak sabar menunggu reaksi Satria selanjutnya. “Jadi, apa yang mau Abang lakukan sekarang?”
Satria meletakkan kedua tangan di pinggul. Pandangannya memindai jalanan di depan trotoar sementara otaknya travelling mencari cara untuk membatalkan proses penjualan karyanya oleh Nana, kurator seni di galeri NI.
“Mendingan Abang hubungi saja Pak Nana. Bilang sama dia, Abang mau mengambil lagi lukisan Abang. Sesimpel itu kok.” Tiba-tiba saja Jaka, sesama seniman lukis yang lapaknya bertetanggaan dengan lapak Satria, memberi saran. Pria berkulit putih dan bermata sipit itu akhirnya menghentikan kegiatan melukisnya lalu bangkit dari duduknya. “Maaf, nih. Bukannya gue mau ikut campur, tapi obrolan kalian tertangkap kuping gue. Jarak kita kan cuma sejengkal doang,” tambah Jaka.
Srikandi mengangguk membenarkan pernyataan Jaka tentang jarak lapak kakaknya dengan lapak pria itu.
“Ide lo boleh juga, Jak.” Satria menarik ke atas tangan jaket denimnya lalu menekuk siku dan mengangkat tangan hingga sebatas dada. Ia meng-on-kan ponsel berlayar OLED, Organic Light-Emitting Diode atau dioda cahaya organik, fleksibel yang melingkari tangannya seperti gelang. Sesaat kemudian hologram berbentuk layar ponsel berukuran 7,6 inci muncul di atas ponsel berbentuk gelang tersebut. Satria pun menghubungi Nana.
“Saya ingin menarik lukisan saya dari galeri NI dan menggantinya dengan lukisan saya yang lain.” Satria beralasan.
“Penarikan karya seni yang masuk ke galeri NI harus berdasarkan surat perjanjian ya, Pak Satria. Bapak sudah menandatangani surat perjanjian dan memberi izin pada pihak galeri untuk memamerkan karya Bapak selama 5 tahun.” Nana menjelaskan dari ujung telepon.
“Lho, tapi itu kan lukisan saya. Kenapa saya tidak bisa mengambilnya lagi?”
“Begini, Pak Satria. Sebaiknya Bapak datang saja ke galeri. Kita bicarakan masalah ini di galeri.”
Tanpa banyak basa-basi lagi, Satria segera mengakhiri sambungan teleponnya dengan Nana. Suatu kesalahan besar ia memercayakan hasil karyanya pada galeri seni terbesar di Jakarta milik Nusantara Innovation. Urusannya jadi ribet. Mau melaporkan Nana ke pihak berwajib pun Satria belum punya bukti kecurangan pria itu. Yang ada, justru nanti ia yang akan dituntut balik oleh pihak Nana dan Galeri atas tuduhan pencemaran nama baik.
***
Besok harinya
Satria keluar dari galeri NI dengan wajah muram. Usahanya untuk mengambil kembali lukisan itu gagal total. Dengan segudang alasan, Nana berhasil meyakinkan Satria kalau karyanya bisa diambil lagi setelah lima tahun. Satria merasa dikhianati oleh surat perjanjian yang dibuat pihak galeri. Bodohnya, ia tidak membaca secara mendetail isi surat perjanjian itu dulu lantaran terlalu senang lukisannya bisa dipamerkan di sana.
Satria berjalan dengan langkah lemas memasuki stasiun MRT Blok M yang berjarak tidak jauh dari galeri NI. Ia kemudian mengarahkan kode tiket yang sudah ia beli dengan NPay, Nusantara Payment, dari ponsel gelangnya ke alat pemindai di pintu masuk. Dengan langkah yang semakin malas dan terasa berat, Satria melangkah ke eskalator yang membawanya naik ke peron. Tiba-tiba seseorang memanggilnya ketika ia baru saja menginjakkan kaki di lantai peron.
“Bang Satria!”
Suara familier menyapa telinga Satria. Pria 25 tahun itu menoleh ke samping. “Eh, elo, Jak. Dari mana lo?”
“Jalan aja. Lagi bete gue, Bang. Abang jadi ke galeri? Gimana hasilnya?” Jaka berjalan lebih dekat ke Satria.
“Gatot. Nyesel gue udah ngasih lukisan gue ke galeri.”
“Abang udah memeriksa lukisan Abang di sana? Masih asli atau sudah jadi KW? Kalau sudah berubah, berarti lukisan asli Abang sudah dijual Pak Nana.”
“Justru itu yang gue cari tahu duluan. Tadi gue lihat, lukisan gue masih asli.”
“Abang tahu dari mana?”
Satria menoleh dan melayangkan tatap kesalnya ke Jaka. Pertanyaan Jaka kadang-kadang bikin Satria geregetan. “Gue yang melukis. Ya, gue “ngeh”lah mana lukisan gue yang asli dan mana yang palsu.”
“Kenapa nggak Abang ambil paksa aja tuh lukisan? Itu kan punya Abang. Mereka nggak punya hak menahan lukisan itu.”
“Aturannya ribet, Jak.” Satria tertegun beberapa saat. Namun, bisikan iblis kemudian menyambangi benaknya. “Ide lo boleh juga tuh. Kalau mereka menahan lukisan gue dengan alasan masa tayang di galeri belum habis, gue sendiri yang akan menghabisi masa tayang itu.”
“Gue boleh ikutan nggak, Bang? Gue pengen nyoba sesuatu yang menantang.” Jaka dengan polosnya menawarkan diri ikut serta dalam rencana yang belum dirancang.
“Ini bakal jadi perbuatan melanggar hukum. Gue nggak mau melibatkan orang lain. Jangan ikut-ikutan gue.”
“Tapi, ide itu kan dari gue. Lagi pula, Abang belum tentu bisa masuk sendirian ke galeri itu. Abang butuh gue. Lukisan itu berat kalau dibawa dengan bingkainya.” Jaka mengangkat sebelah alis sambil tersenyum penuh harap.
“Emang nyebelin lo!” Akhirnya Satria menyerah pada bujukan Jaka. “Ya udah. Lo ikut. Awas kalau berani mengacau!”
Jaka mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V. “Sumpah, Bang. Gue nggak akan mengacau.”
Satria mengajak Jaka ke apartemennya. Saat ini hampir seluruh penduduk Neo Jakarta tinggal di pemukiman vertikal. Komplek-komplek perumahan seperti sebelum tahun 70-an sudah tidak ada lagi.
“Gue boleh duduk, Bang?” Jaka duduk di satu-satunya sofa di dalam apartemen bertipe studio milik Satria. Ia merentangkan tangan ke punggung sofa berlagak santai.
Satria melihat sekilas Jaka sambil mencebik. “Terserah elo deh.”
Satria kemudian mengambil dua botol air mineral dari lemari pendingin mini yang ada di sudut ruang tamu sekaligus ruang makan dan juga kamar. Maklum, di sana tidak ada partisi apa pun yang memisahkan antar ruangan. Ia meletakkannya di atas meja.
“Gue cuma punya air mineral,” tutur Satria.
“Nggak apa-apa, Bang. Air mineral lebih sehat dari air sirup.” Satria meraih botol dari atas meja lalu meneguknya.
Sesaat kemudian Satria mengambil laptop gulung merahnya dari dalam lemari gantung yang ada di atas wastafel. Pada masa ini model laptop sudah beraneka ragam dan canggih. Model laptop milik Satria sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Namun, laptop itu adalah peninggalan mendiang ayahnya. Satria tidak ingin menggantikannya dengan yang baru.
Satria duduk di samping Jaka. Ia membuka laptop gulungnya dan mengatur layarnya sampai sejajar dengan pandangan. “Yang perlu kita lakukan adalah menembus sistem keamanan galeri supaya kita bisa masuk ke sana.”
“Bagaimana caranya, Bang? Kamera pengawas di sana ada puluhan. Ada juga sensor laser yang tak kasat mata bertebaran di mana-mana. Selain itu, satpam-satpam pasti nongkrong di sana. Bagaimana cara kita bisa melewatinya?” Satria jelas mengkhawatirkan cara mereka akan masuk ke sana.
“Kita akan meretas sistem keamanan di sana.”
“Gimana? Emang laptop jadul lo ini bisa untuk meretas?”
Satria merasa tersinggung dengan nada bicara Jaka yang seolah-olah sedang merendahkan laptop favoritnya. “Biar kata lo ini laptop jadul, tapi laptop ini sudah gue modifikasi. Laptop ini sudah gue tambahin komponen ULSI, Ultra Large Scale Integration. Laptop jadul kebanggaan gue ini juga sudah gue ubah jadi komputer yang bisa bekerja sendiri tanpa campur tangan gue sebagai programmer. Ya, pokoknya. Gue bisa mengacaukan sistem keamanan di galeri supaya kita bisa masuk ke sana dan ngambil lukisan gue.”
“Lo memodifikasi sendiri laptop ini?” Jaka mengamati laptop berlayar 14 inchi di atas meja.
“Iya. Laptop ini gue kasih nama Ali.”
Satria kemudian menghidupkan mesin laptop tersebut dan beberapa detik kemudian muncul avatar seorang pria berkumis tebal dan berkepala botak, tidak botak full karena di tengah-tengah kepalanya ada rambut panjang hitam yang dikucir. Pria itu mengenakan pakaian ala pejuang Timur Tengah abad ke-15.
“Selamat sore, Bang Bro!” sapa avatar AI yang diberi nama Ali tersebut.
“Sore. Ali, coba kamu lacak sistem keamanan di galeri Nusantara Innovation,” titah Satria.
Jaka otomatis melongo. Ia nyaris tidak percaya bisa melihat kecanggihan teknologi dari sebuah laptop jadul yang telah dimodifikasi Satria. “Ali ini elo yang bikin, Bang?”
“Iya.”
“Hebat lo bisa bikin jin Aladin yang responsif dan gaul kayak dia.”
“Pada dasarnya AI itu kan mesin learning. Misalkan: input-nya A, output-nya B atau C, itu tergantung alogaritma komputernya seperti apa dan data yang kita masukan sebanyak apa. Sistem deep learning—“
“Tunggu, Bang.” Jaka memotong penjelasan Satria. Wajah polos cenderung begonya menguntai senyuman kaku. “Lo ngomongnya pake bahasa manusia aja. Gue nggak ngerti,” imbuh Jaka.
Satria mencebik. “Lo kira gue tadi ngoceh pake bahasa saudara lo yang di Ragunan?”
Jaka tertawa pelan. “Ya, nggak gitu juga kali, Bang. Eh, lo berarti ahli IT ya, Bang?”
“Bukan. Gue seniman.” Satria menegaskan.
“Seniman kok bisa buat kayak ginian? Ngomong-ngomong, kenapa lo buat penampakan si Ali kayak jinnya si Aladin gitu sih, Bang?”
“Kalau gue buat yang cakep, ntar gue cinta sama dia. Kayak di film-film. AI jatuh cinta ma manusia dan sebaliknya. Mendingan, gue buat kayak si Ali. Lucu. Bikin gemes pengen ngejitak.” Satria mengembus napas. Sesaat kemudian ia kembali menjelaskan. “Gue bisa kayak gini karena Almarhum Bapak yang ngajarin. Kebetulan aja selain hobi melukis, gue juga hobi ngutak-ngatik komputer.”
“Bapak lo orang hebat dong, Bang.”
Satria mengedikkan pundak. Ia segera mengalihkan arah obrolan. “Ali, kamu jangan bengong. Ayo, selidiki sistem keamanan di galeri NI!” perintahnya pada Ali.
Dalam waktu singkat Ali berhasil melacak sistem keamanan galeri NI. Penampakan avatar Ali berubah menjadi denah di dalam galeri NI. Tidak hanya itu, denah tersebut menampilkan penempatan puluhan kamera pengawas dan juga arah sinar laser yang menjadi sensor keamanan di ruang pameran.
Satria membelalak. “Wow! Ketat banget pengamanannya. Kamu bisa mengacaukan sistem itu, Ali?”
“Bisa, tapi tidak lebih dari 3 menit. Sistem keamanan di sana terintegrasi dengan sistem keamanan pusat Nusantara Innovation. Ali hanya bisa menahan selama tiga menit saja, Bang Bro.” Suara Ali terdengar dari speaker laptop tersebut.
Satria menoleh ke arah Jaka. “Tiga menit. Apa lo bisa bergerak secepat itu?”
“Gue mantan atlet sprint di sekolah gue dulu. Gue bisa bantu Abang.”
“Gue pegang kata-kata lo!”
Akhirnya rencana pencurian lukisan hasil karyanya sendiri telah matang dibuat. Dua hari lagi Satria dan Jaka akan beraksi.
Setelah dua hari berlalu, tepat jam 23.00, Srikandi mendatangi apartemen Satria. Gadis itu sama sekali tidak mengetahui rencana kakaknya dan Jaka. Ia terkejut melihat Jaka ada di apartemen Satria.
“Elo ngapain ada di sini? Diusir dari emak lo?” tanya Srikandi pada Jaka yang kala itu sedang duduk di sofa dan bersiap-siap berangkat melaksaksanakan misi.
“Iya.” Jaka menjawab singkat, jelas, dan padat.
“Ngapain lo ke sini?” Satria tiba-tiba muncul dari kamar balik pintu kamar mandi. Ia sudah mengenakan setelan jaket bertudung dan celana jeans birunya. Satria sengaja bertanya dengan nada ketus supaya Srikandi tersinggung dan pulang ke apartemennya sendiri.
“Gue mau merayakan hari jadi elo, Bang. Besok kan elo ulang tahun. Tuh, gue udah bikin kue ultahnya.” Srikandi menunjuk kotak karton yang ia letakkan di atas meja dengan dagunya.
“Thanks, tapi waktu lo nggak tepat. Mendingan lo pulang deh sekarang.”
Srikandi otomatis merasa sedih. Usahanya untuk memberi kejutan pada sang kakak ditolak mentah-mentah. “Abang nggak menghargai usaha gue. Gue udah capek-capek bikin kue buat Abang“
“Bukan begitu.” Satria terenyuh. Ia paling tidak bisa melihat adiknya sedih. Satria akhirnya menceritakan semua rencananya pada Sri.
“Gue pokoknya ikut. Kalau Abang gue ketangkep, gue juga ikut. Gue udah nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Cuma elo doang, Bang,” desak Srikandi.
Satria dan Jaka saling menatap. Namun, akhirnya mereka mengiakan keikutsertaan Srikandi. Menggunakan mobil Jaka, mereka bertiga mulai beraksi. Duduk di bangku penumpang belakang, Satria membuka laptopnya dan mulai mengoperasikan Ali. Sementara itu, Jaka bersiap-siap mengemudikan mobil berjenis MPV hitamnya. Duduk di bangku penumpang di sampingnya, Srikandi mengernyitkan dahi sambil melihat Jaka.
“Elo mengemudi sendiri?” Srikandi bertanya dengan nada heran.
“Iya. Self-driving automation-nya sudah dilepas.” Jaka mulai memasukkan gigi.
Di tahun N47, semua mobil berjalan dengan kemudi otomatis alias tanpa pengemudi dan semua mesin mobil terhubung ke pusat pengaturan lalulintas. Hal ini membuat pemerintah dengan mudah mengatur laju kendaraan, bahkan mengatur pemberhentian guna menghindari kemacetan. Hanya orang-orang kaya yang mempunyai mobil dengan kemudi non otomatis dan supir pribadi.
“Jak, elo dapat dari mana nih mobil? Terdaftar atas nama siapa?” serobot Satria dari bangku belakang.
“Tenang aja, Bang. Kalau Abang bisa memodifikasi laptop jadul jadi laptop canggih, gue juga bisa memodifikasi mobil orang-orang “miss queen” kayak kita jadi mobil sultan,” jawab Jaka dengan bangga.
Satria menepuk pelan bahu Jaka. “Keren juga lo!”
Jaka melajukan mobilnya menuju galeri NI. Satu jam kemudian mereka tiba di sana, Satria segera mengintegrasikan Ali ke ponsel gelangnya. Setelah melalui diskusi setengah panjang kali lebar bersama Srikandi mengenai jalan masuk ke galeri, Satria dan Jaka akhirnya memilih pintu samping. Mengendap-endap, keduanya berusaha menghindari pengawasan petugas keamanan yang berjaga. Persis lima meter sebelum mencapai pintu masuk, Satria memberi perintah pada Ali melalui ponselnya untuk mematikan semua sistem keamanan di galeri. Begitu Ali memberi kode sistem keamanan sudah dilumpuhkan sementara waktu, Satria dan Jaka segera berlari ke pintu samping. Sayangnya, pintu samping galeri yang dituju tidak bisa dibuka.
“Ali, bagaimana sih kok pintunya nggak bisa dibuka?” Satria mendekatkan ponsel yang melingkar di pergelangan tangannya lalu memarahi sang AI.
“Pintunya macet, Bang Bro. Coba pintu lainnya,” tutur Ali.
“Ngerjain gue lo, Li!” Satria mendesah kesal. Ia kemudian menepuk bahu Jaka dan ketika Jaka menoleh, Satria memberi perintah, “Kita ke pintu sebelah sana!”
“Oke.”
Keduanya bersprint ria menuju pintu berikutnya. Beruntung, kali ini pintu bisa dibuka dengan mudah.
“Kita hanya punya waktu tiga menit dan sekarang sudah berkurang satu menit. Kita harus bergerak cepat, Jak, tapi jangan lari. Nanti suara lari terdengar satpam.” Satria memperingatkan Jaka.
“Oke, Bang Bro. Kita segera ambil lukisan Bang Bro.” Jaka mengikuti gaya Ali memanggil Satria.
Satria dan Jaka berjalan cepat menuju ruang utama galeri, tetapi mereka terpaksa menghentikan langkah mereka ketika melihat sorot senter petugas keamanan. Mereka bersembunyi selama beberapa detik di balik dinding partisi ruang pameran dengan ruang tunggu. Setelah melewati waktu yang menegangkan, Satria dan Jaka akhirnya berhasil mencapai ruang pameran atau ruang utama dan menurunkan lukisan hasil karya Satria.
“Kita buka dulu lukisannya atau langsung kita gotong aja sama bingkai, Bang?”
Satria melirik jam di ponselnya. “Waktu kita tinggal 40 detik lagi. Gotong aja sama bingkainya.”
Keduanya mengangkat lukisan itu keluar dari Galeri dengan tergopoh-gopoh. Di luar galeri, Srikandi turut membantu dan segera membukakan pintu mobil. Mereka menyimpan lukisan itu di bangku belakang. Sebelum sistem keamanan galeri kembali normal, mereka segera pergi dari sana.
“Selamat!” Satria bernapas lega. Ia kemudian membelai kaca pelapis bingkai. “Akhirnya elo kembali ke pangkuan gue.”
Tidak sabar, Satria membuka bingkai lukisan tersebut. Beberapa menit kemudian ia berhasil memisahkan kain kanvas hasil lukisan dengan bingkainya. Dengan penerangan dari senter ponselnya, Satria mengamati lukisannya.
“Sialan!” umpat Satria.
Srikandi langsung menoleh ke belakang ke arah Satria. “Ada apa, Bang?”
“Lukisan ini bukan lukisan gue. Ini palsu, Sri,” tandas Satria.
“Masa sih?”
“Ya, ampun!” Satria menepuk dahinya. “Di lukisan gue yang asli, rumput di sudut ini warnanya kuning bukan hijau.” Satria menunjukkan sudut kanan bawah lukisannya.
“Kenapa rumputnya berwarna kuning, Bang?” Srikandi penasaran.
“Kan ceritanya ini lukisan bocah-bocah yang lagi mandi di pinggir sungai di musim panas di daerah pedalaman negara berkembang. Jadi, rumputnya kepanasan, kering, dan warnanya menguning.”
Tawa Srikandi pecah. “Hahaha. Ada-ada aja lo, Bang!”
Satria mematikan senter ponselnya lalu mendesah. “Perjuangan kita sia-sia, guys. Lukisan gue ternyata sudah dijual mafia seni.”
“Sri, elo tahu kolektor mana yang membeli lukisan abang lo?” tanya Jaka.
“Namanya sih gue nggak tahu, tapi gue tahu dia berasal dari negara Flower.”
Jaka mengernyitkan dahi. Baru kali ini ia mendengar negara bernama Flower. “Negara Flower?”
“Negara berkembang,” jelas Satria, “adek gue emang suka asal kalau ngomong.”
“Bang, coba lo tanya ke si Ali siapa saja kolektor dari negara Flower yang sedang berada di Neo Jakarta sekarang,” saran Jaka.
Satria secepatnya membuka laptop dan menanyakan pada Ali siapa saja kolektor seni yang sedang berkunjung ke Neo Jakarta. Ali kemudian menampilkan data dari imigrasi dan tamu hotel yang ada di Neo Jakarta di layar latop.
“Ali, cari lebih spesifik lagi. Siapa saja kolektor seni yang berkunjung ke galeri NI selama seminggu terakhir?” perintah Satria.
“Baik, Bang Bro.” Ali pun segera mencari data pengunjung galeri. Ali menemukan tiga kolektor dan dua kurator asing yang berkunjung ke galeri Ni selama seminggu terakhir.
“Ada tiga kolektor dan dua kurator asing yang berkunjung ke sana, tapi hanya ada satu yang berasal dari negara Flower, Mark Darwin. Dia menginap di Liburan Inn, kawasan Monas.” Satria mengumumkan penemuan Ali.
Pundak Satria melorot. Ia bersandar ke jok sambil melihat ke atas ke langit-langit mobil yang diterangi cahaya temaram dari lampu jalan. Perjuangan mereka malam itu sia-sia. Hatinya tersayat-sayat merasa dikhianati keadaan. Persis di hari ulang tahunnya, Satria merasakan kecewa yang luar biasa.
***
Ting tong!
Suara bel membuyarkan lamunan Satria. Sudah dua malam sejak peristiwa pencurian lukisan yang dilakukannya bersama Jaka dan Srikandi gagal, Satria hanya bisa melamun meratapi nasib. Sudah dua hari pula kedua partner in crime-nya itu tidak muncul. Satria bangkit dari duduknya lalu membuka pintu.
Polisi? Satria terpangah melihat dua orang polisi tengah berdiri di depan pintu. “Ada apa, Pak?”
“Kami harus membawa Bapak ke kantor polisi sekarang,” tutur salah satunya.
“Saya salah apa ya, Pak?” Satria berpura-pura merasa tak bersalah, padahal ia tahu betul kedatangan polisi itu pasti berkaitan dengan peristiwa malam pencurian itu.
“Kami akan menjelaskan di kantor polisi.”
Satria akhirnya pasrah. “Baiklah.”
“Silakan.” Salah satu polisi mempersilakan Satria berjalan lebih dulu.
Satria kebingungan dengan sikap kedua polisi tersebut. “Saya nggak diborgol, Pak?”
“Tidak perlu. Bapak sudah bekerja sama dengan baik.”
“Oh.”
Satria mengikuti arahan kedua polisi itu. Ia sedikit merasa malu karena menjadi pusat perhatian para penghuni apartemen tersebut. Namun, itu konsekuensi yang harus ditanggungnya. Sekecil apa pun perbuatan kriminal, harus dipertanggungjawabkan. Rasa ketar-ketir menyelimuti dirinya hingga ia tiba di kantor polisi dan dipersilakan masuk ke ruang interogasi.
Menunggu dengan waswas, Satria berdoa sambil menunduk semoga saja Srikandi tidak ikut ditahan. Seandainya Srikandi ditahan, ia akan mencari cara untuk membebaskan adiknya itu dari tuduhan yang memberatkan.
“Selamat siang.”
Suara familier menyapa telinga Satria. Satria mengangkat wajahnya perlaha-lahan dan sesaat kemudian ia terperangah melihat sosok di hadapannya. Jaka. Pria itu tengah berdiri di seberang meja dan yang lebih mengejutkan Satria, Jaka mengenakan seragam polisi.
“Elo?” Satria tidak bisa menahan rasa terkejutnya. “Jadi, elo—“
“Iya. Saya polisi.” Kali ini Jaka memotong ucapan Satria dengan gaya bicara formal.
Satria menepuk dahinya. “Sialan lo! Lo ngejebak gue? Elo kan tahu kalau lukisan itu lukisan gue sendiri.”
“Lukisan asli Abang sudah kami temukan.” Jaka menarik kursi lalu duduk berseberangan dengan Satria. “Kami sudah menggerebek gudang penyimpanan barang-barang seni yang akan diselundupkan di pinggir kota. Kami juga sudah menangkap para mafia seni itu.”
“Terus, gue ....” Satria mengangkat pundaknya sambil memandangi Jaka.
“Bang Satria sudah melanggar hukum dengan menerobos sistem keamanan galeri dan mencuri benda seni di sana. Abang dikenakan pasal 8888NJ tentang pencurian. Namun, pasal tersebut tidak berlaku bagi kasus Abang karena Abang mencuri barang milik Abang sendiri yang sedang dikuasai orang lain. Abang dikenakan pasal 5173NJ tentang memaksa atau menerobos masuk ke gedung milik pemerintah tanpa izin,” jelas Jaka.
“Negeri yang payah!” keluh Satria pelan. Ia kemudian berdiri. “Gue melakukan ini semua karena kepengen menuntut hak gue sendiri yang ditipu oknum sialan itu. Ya, udah. Langsung penjarain aja gue. Nggak usah pakai acara sidang-sidangan. Buang-buang waktu.”
“Tunggu dulu, Bang Satria. Abang belum tahu hukuman apa yang akan Abang terima.”
“Berapa bulan?” sambar Satria.
“Dua tahun.”
Satria membelalak. “Apa?!”
“Dua tahun untuk meneruskan kuliah Abang yang terhenti di Universitas Neo Jakarta.”
Satria melongo. Kebingungan mewarnai wajahnya yang kurang tidur, kurang makan, kurang senyum, dan kurang saldo NPay. “Maksudnya apaan?”
“Kami sudah mencari tahu tentang Bang Satria. Ibu Gubernur Irma memberi peluang untuk Abang melanjutkan kuliah Abang yang terhenti. Dia memberikan beasiswa untuk Abang dengan syarat Abang bekerja untuk pemerintah sebagai white hat hacker melanjutkan pekerjaan mendiang ayah Abang. Abang tetap masih bisa melukis kok.”
“Kalau gue nolak?”
“Itu artinya iya.” Jaka berdiri lalu berjalan melintasi meja mendekati Satria. Ia kemudian berkata pelan nyaris berbisik. “Kapan lagi kita bisa ngacak-ngacak akun petinggi NI?”
Senyuman pun terkembang dari bibir Satria. Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu.
~Tamat~
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
