
Blurb:
"Jangan menatapku seperti itu, Dan," pinta Ayu.
"Apa itu mengganggumu? Dulu kau suka saat aku menatapmu seperti itu," tutur Danial dengan nada mencemooh.
"Danial, semua sudah berbeda sekarang. Aku istri Papamu." Ayu melangkah melewati tubuh atletis Danial.
Danial meraih lengan Ayu. Ia mendorongnya dengan kasar ke dinding kamar dan mengunci gerak wanita itu. Kini, tubuh Ayu sudah berada di antara tangan kuat Danial.
***
Ayudia Mustafa, 26 tahun, tidak menduga jika anak dari suaminya yang ia cari...
Kedatangan Danial
Waktu sudah menunjukkan jam 00.30 ketika Joko, supir setia keluarga Narendra, mengeluarkan sebuah koper berwarna merah besar dari bagasi mobil berjenis hatchback yang baru dikendarainya untuk menjemput seseorang dari bandara. Joko meletakkan koper itu di atas lantai carport yang berlapis batu alam dengan hati-hati. Ia kemudian sedikit membungkuk sambil wajahnya ia dekatkan ke kaca jendela mobil yang terbuka.
"Mas Danial, saya akan membawakan koper Anda ke dalam," tutur Joko dengan sopan kepada pria yang masih duduk di jok penumpang belakang.
Pria bernama Danial itu hanya diam. Pandangannya menjelajahi rumah besar bercat kuning gading dan berdesain neo klasik yang berdiri kokoh di hadapannya dengan pandangan muram. Ia berpikir cukup lama sampai akhirnya ia memutuskan untuk menurunkan kaki menginjak lantai carport rumah tersebut. Lembaran-lembaran kenangan itu kembali diputar otaknya seperti sebuah film. Pria itu dipaksa untuk melihat kembali memori yang sangat ingin ia lupakan. Kenangan pahit yang ingin ia kubur dalam-dalam hingga ia tak bisa lagi menemukannya.
Danial mengatur napasnya yang mulai memburu. Ia harus bersiap-siap menghadapi kenyataan yang menantinya di dalam sana. Semampunya ia akan membutakan mata hati pada semua hal yang akan dan bisa saja menyakiti hati. Danial mengikuti langkah Joko. Ia berjalan dengan tegak dan berusaha untuk tetap tenang. Wajahnya yang memesona hasil perpaduan tiga bangsa: Cina, Jawa, dan Belgia, memancarkan rona gundah. Dan untuk menyembunyikan perasaan gugup, ia mengubur kedua tangan di dalam saku celana jeans birunya.
Danial terus berjalan di belakang Joko melintasi foyer lalu memasuki ruang tengah yang mewah, elegan, dan mengagumkan. Seluruh perabotan terlihat sederhana tapi peletakkannya simetris. Furnitur kayu berwarna gelap, ornamen-ornamen indah khas Bali yang menghiasi dinding, dan lantai marmer berlapis karpet Persia masih terlihat sama seperti tujuh tahun yang lalu. Tidak ada yang berubah dari ruangan itu seperti sebelum Danial meninggalkan rumah dan tinggal San Francisco, Amerika Serikat.
Langkah Danial terhenti saat ekor matanya menangkap sosok yang tidak ingin dilihat, dibenci, tapi sekaligus sangat dirindukannya. Wanita itu terlihat sangat cantik dan anggun. Ia terlihat dewasa dengan pulasan make up natural dan midi dress bermotif bunga yang membalut tubuh rampingnya. Kelip anting-anting cantik yang menghias telinganya membuat wanita itu terlihat sempurna.
"Pak Joko, biar saya saja yang membawa kopernya. Pak Joko bisa meninggalkan saya," pinta Danial.
Joko menghentikan langkahnya lalu berbalik menghadap Danial. "Baik, Mas. Tapi—"
"Tidak apa-apa, Pak," potong Danial meyakinkan Joko.
"Baik, Mas. Kalau begitu saya permisi." Pandangan Joko kemudian beralih pada wanita cantik yang tengah berdiri mematung di samping kursi ruang tamu. "Bu, saya permisi dulu."
Wanita itu mengembangkan senyuman lalu mengangguk mengizinkan. Senyuman di wajah wanita itu membuat hati Danial teriris dan terasa sangat perih. Senyuman yang seharusnya menjadi miliknya, hanya miliknya. Kini, senyuman itu harus dimiliki orang lain yang tak bukan adalah papanya sendiri.
Joko sedikit membungkuk memberi hormat lalu meninggalkan mereka berdua dalam keheningan.
"Semua ini idemu atau ide si tua bangka itu?" Pertanyaan bernada sinis yang terlontar dari mulut Danial memecah kesunyian.
"Dia papamu, Dan. Kau tidak boleh berkata seperti itu padanya." Suara lembut yang keluar dari mulut wanita itu seketika menggetarkan jiwa Danial dan menggoyahkan sisi batin yang sangat mendambakannya.
"Persetan dengannya!" Danial mencoba mengantisipasi dengan bersikap sedikit kasar agar tidak larut dalam hasrat terbesarnya.
"Ini semua keinginan papamu. Papamu ingin bertemu denganmu sebelum ajal menjemputnya," jelas wanita itu.
Tatapan mencela Danial menjelajahi wajah wanita itu. "Jadi, hanya untuk bertemu denganku kalian sampai harus menyewa detektif swasta dan menghabiskan uang ratusan juta?"
"Danial, papamu sekarat. Dia sedang berjuang melawan maut. Bisakah kau melembutkan hatimu untuknya barang sedikit. Kuakui aku menghabiskan uang ratusan juta hanya untuk menemukan keberadaanmu di San Francisco. Aku tidak punya cara lain untuk mengabulkan keinginan papamu. Bisa jadi ini keinginan terakhirnya." Mata wanita itu tampak berkaca-kaca.
Danial mengangkat kedua ujung bibirnya tersenyum getir. "Ayu, Ayu. Namamu belum berubah, 'kan?"
Wanita itu menggeleng. "Aku tidak pernah merubah namaku. Merubah namaku tidak akan bisa menghapus siapa diriku dan masa laluku. Biarkan saja seperti ini. Seperti namaku yang tidak akan pernah berubah, Ayudia Mustafa. Mungkin kau masih mengingatnya."
Ucapan Ayu langsung menikam relung hati Danial. Ingatan Danial kembali ke tujuh tahun silam saat pertama kali ia bertemu dengan Ayu di sebuah desa nelayan di ujung barat atau kulon pulau Jawa.
Gadis lugu berseragam putih abu-abu itu telah menarik perhatiannya sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di desa tersebut.
"Silahkan diminum tehnya, A, Teteh." Gadis itu meletakkan nampan plastik dengan beberapa cangkir teh di atas meja kayu. Wajahnya sangat polos dengan rambut di ikat ke belakang membentuk ekor kuda, tak henti-hentinya ia menebar senyuman manis kepada seluruh peserta kegiatan KKN yang akan dilaksanakan di desanya.
Gadis itu tak bisa membuat tatapan Danial berpaling. Sambil menikmati angin laut yang berhembus menerpa atap rumah sederhana milik orang tua gadis itu dan balai-balai tempat para peserta KKN duduk, Danial terus memandangi wajahnya. Ada getaran aneh yang dirasakan Danial saat melihat wajah polos gadis tersebut. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat wajah cantik tanpa pulasan make up sama sekali. Keramahan dan senyumannya begitu alami dan tidak ada kepura-puraan di dalamnya.
"Siapa namamu?" Danial memberanikan diri bertanya.
"Saya Ayu, A. Ayudia Mustafa. Anaknya Pak RT di sini, Pak Mustafa. Sabar ya, A. Sebentar lagi Bapak pulang. Ayo atuh diminum dulu tehnya," balas Ayu dengan aksen Sundanya yang kental.
Danial mengerjapkan matanya. Bagaimana mungkin ia akan melupakan hari itu? Bagaimana mungkin ia bisa melupakan wajah polos yang sudah menarik jiwa dan raganya ke dalam kobaran cinta yang membara dan berujung pada sebuah kenistaan?
"Papamu masih dirawat di rumah sakit. Besok kau harus menemuinya di sana," tutur Ayu.
Danial mengeluarkan tangan dari saku celana jeansnnya lalu bersedekap. Tangannya yang terlipat di depan dada dan memperlihatkan otot-otot yang menghias lengan kuatnya membuat Ayu menelan ludah.
Ayu menatap wajah Danial beberapa saat dan menjelajahi seluruh bagian wajah pria itu. Wajah yang sama yang sudah menghancurkan masa mudanya. Wajah yang membuatnya terperosok ke dalam jurang nestapa.
"Kamarmu masih yang dulu." Ayu kemudian berbalik lalu melangkah pergi.
"Jadi, sekarang kau yang mengatur di rumah ini?" Danial masih bersikap sedikit kasar.
Ayu menghentikan langkah lalu berbalik kembali menghadap Danial. "Aku istri pemilik rumah ini. Sudah menjadi tanggung jawabku mengatur rumah ini."
"Kedengarannya kau sangat bangga menjadi nyonya rumah ini," sahut Danial dengan nada merendahkan.
Tak ada gunanya bagi Ayu menanggapi semua ucapan Danial. Tidak ada tanda-tanda penyesalan sedikit pun dalam setiap nada bicara dan tatapan pria itu. Ayu kembali berbalik dan tak lagi memedulikan semua ucapan Danial. Hati pria itu sekeras gunung batu. Sepertinya, penyesalan tidak pernah masuk dalam kamus hidupnya, pikir Ayu.
Ayu mengganti pakaiannya dengan piama tidur. Ia berjalan beberapa langkah ke samping tempat tidur, lalu menempatkan bokongnya di atas bantalan empuk kursi malas. Saraf-sarafnya yang sempat menegang akibat pertemuannya dengan Danial tadi membuat Ayu merasa pusing. Ia menyandarkan kepala ke punggung kursi sambil memejam.
Seandainya aku tahu Danial putra Mas Anthony, aku tidak akan pernah menerima tawaran Mas Anthony untuk menikah dengannya. Pikiran Ayu kembali melayang dan berputar-putar ke masa lalu.
Derit suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunan Ayu. Wanita itu segera membuka lebar-lebar mata gelapnya. Selain Anthony, tidak ada yang diizinkan masuk ke kamarnya meskipun putri Anthony sendiri, Rachel, adik perempuan Danial.
Ya, Allah! Ayu menangkap sosok Danial tengah berdiri di hadapannya. Ia terperanjat hingga tanpa disadarinya, ia telah memegang erat-erat tangan kursi malas itu. "Danial, mau apa kau ke sini?"
"Dulu, ini kamar ibuku. Aku hanya ingin melihat kamar ini. Ternyata kau sudah menggantikan posisi ibuku di rumah ini. Kau menguasai semuanya." Danial menatap Ayu dengan geram.
Danial mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Ia menyatukan giginya dan mengeraskan rahang seksinya menahan sengatan emosi yang mulai tercipta. Danial tidak bisa membayangkan Ayu dan papanya memadu kasih di kamar ini, di kamar ibunya.
Danial melangkah mendekat. Ujung kakinya hampir menyentuh ujung kaki kursi yang diduduki Ayu. Ia mencondongkan tubuhnya dan menempatkan tangannya di punggung kursi tepat di samping pundak Ayu. Wajahnya kini hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah wanita itu. Ayu bahkan bisa merasakan hangat napas pria itu dan mencium aroma maskulin dari tubuhnya.
"Danial, aku istri papamu. Kau tidak boleh berada di kamarku," ucap Ayu gugup.
"Kamarmu?" Danial menatap tajam Ayu beberapa saat. "Apa tujuanmu menikah dengan pria tua itu?"
Ayu terdiam dan menatap Danial dengan tatapan tajam. Ia merasa sangat terhina dengan pertanyaan Danial. Matanya mulai panas dan berair. Pria di hadapannya ini benar-benar dibutakan oleh keadaan. Ia tidak menyadari jika ia sudah sangat meyakiti Ayu dan membuatnya menderita selama ini.
"Aku mencari perlindungan, kehormatan, dan sekaligus kesenangan. Puas?!" air mata Ayu jatuh membasahi pipi mulusnya. Ia mengucapkan apa yang ingin didengar oleh Danial, meskipun itu membuat hatinya terasa diremas-remas.
Danial menyeringai menampakkan deretan gigi putihnya dengan sangat tidak ramah. "Sudah kuduga."
Sinis
Ayu memulas lipstick berwarna merah muda ke bibir tipisnya. Ia menatap dirinya beberapa saat di depan cermin. Ayu yang ia lihat sekarang sangat berbeda dengan Ayu tujuh tahun lalu saat kebahagiaan masih menjadi miliknya dan sebelum kenistaan serta penderitaan itu mendera. Ia meletakkan jari-jari lentiknya di cermin meraba bayangan wajahnya sendiri. Wajah yang pernah dikagumi seseorang yang kini sangat membencinya. Angannya melayang kembali pada sebuah kenangan yang terpatri abadi di hatinya.
Danial mengarahkan kamera dalam genggamannya ke Ayu remaja dan beberapa teman sebayanya yang sedang bermain pasir sambil mengumpulkan cangkang kerang untuk mereka jual ke pengrajin hiasan. Tanpa memedulikan teman perempuannya yang sejak tadi mengikutinya, Danial kian asyik memotret kegiatan gadis pantai tersebut.
"Ayu, Indah!" seru Danial pada dua gadis remaja yang sedang duduk berhadapan sambil mengeruk pasir.
Kedua gadis itu menoleh. Danial tersenyum sangat manis—senyuman yang tidak akan pernah Ayu lupakan—lalu mengambil potret mereka berdua.
"Ayu, kau bisa bergeser sedikit. Boleh aku mengambil fotomu sendirian?" pinta Danial.
Ayu tersenyum malu-malu. Ia menyembunyikan pandangannya dengan menunduk.
Indah menyenggol pelan lengan Ayu dengan sikunya. "Ayu, si Aa ganteng itu mau memfotomu. Ayo, jangan malu-malu! Senyum yang manis ya."
Ayu bergeser beberapa langkah dari Indah. Ia mengangkat wajahnya lalu tersenyum. Tanpa mengarahkan gaya, Danial langsung mengambil potret Ayu. Potret yang sangat alami. Tak puas mengambil gambar wajah Ayu dari jarak beberapa meter, Danial mendekat. Lebih dekat lagi hingga jarak mereka hanya sekitar satu meter saja.
"Kau tahu, Yu. Kau gadis pertama yang aku potret tanpa riasan sedikit pun. Kau sangat alami dan kau sangat...." Danial menatap dalam ke mata gelap Ayu. "Cantik."
Kalimat itu masih terngiang di telinga Ayu sampai sekarang. "Wajah polos itu sudah tidak ada lagi, Dan. Kau yang menghancurkan semuanya."
Ayu mengerjap-ngerjapkan mata menahan air mata yang menggenang agar tidak terjatuh dan menghapus riasan yang baru saja dipulaskan ke wajahnya. Ayu kemudian beranjak dari kursi rias dan berjalan ke ruang makan. Disertai perasaan was-was yang menyelimuti diri, Ayu melangkah dengan hati-hati menuruni anak tangga.
Seorang wanita berusia lima puluhan yang mengenakan gamis berwarna hijau daun dan menutupi rambutnya dengan hijab berwarna senada sudah menantinya di sana. Wanita itu sedang menata piring-piring di atas meja makan.
"Pagi, Bu Ayu," ucap wanita itu dengan ramah lalu melemparkan senyumannya ke arah Ayu.
Ayu mendekat pada wanita itu lalu melingkarkan tangannya ke pundak wanita itu dan menggelendot dengan manja. "Bi Dedeh jangan panggil Ayu ibu, ah. Ayu yang harus panggil Bi Dedeh ibu. "
"Mungkin Nyonya Rumah ini hanya ingin dipanggil nyonya, Bi, agar strata sosialnya terlihat lebih jelas." Sebuah sindiran tajam terlontar dari mulut Danial yang tiba-tiba masuk ke ruang makan dan sukses membuat Ayu meradang.
Ayu segera menurunkan tangannya dari pundak Dedeh dan menatap kesal pada Danial.
Dedeh terkejut mendengar sindiran yang menyengat itu. Wanita paruh baya itu menoleh ke arah tangga dan menatap Danial selama beberapa saat. Ia melebarkan mata selama beberapa detik. ART senior itu masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Den Danial? Ya Allah, ini beneran Den Danial?"
Danial tersenyum manis pada wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya itu. Hati Ayu terenyuh melihat transformasi sikap Danial pada Dedeh. Dedeh berjalan menghampiri Danial lalu memeluk tuan mudanya dengan penuh kasih sayang.
"Den Danial ke mana saja? Bibi sangat rindu. Kapan tiba? Kok Bibi tidak dikasih tahu? Kalau Bibi tahu, Bibi kan bisa menyambut kedatangan Aden." Dedeh memandang Danial dari atas ke bawah. Semuanya tidak berubah hanya saja Danial terlihat lebih dewasa saat ini.
"Semalam, Bi. Bibi tidak perlu menyambut kedatangan Danial. Sudah ada Nyonya Rumah yang menyambut Danial, Bi." Danial melirik Ayu dengan sinis dan membuat Ayu sedikit salah tingkah. Pria itu berhasil mengacam posisinya di dalam rumahnya sendiri.
"Oh, bagus kalau begitu. Sekarang kita sarapan bersama ya. Kalian kan sudah berkenalan semalam." Dedeh menarik punggung kursi makan untuk Danial duduki. Wanita itu masih saja memperlakukan Danial seperti anak kecil yang perlu dimanja.
"Terima kasih, Bi." Danial duduk sambil melirik Ayu sekilas.
Ayu tak bisa menolak untuk sarapan bersama dengan Danial. Semua penghuni rumah itu tidak ada yang mengetahui cerita masa lalu mereka berdua. Ayu yakin akan hal itu. Ia duduk dengan anggun di kursi yang biasa ia duduki tepat di seberang Danial. Ia tidak punya pilihan untuk memilih kursi
Meskipun Dedeh hanya seorang kepala ART sekaligus pengasuh Danial dan Rachel saat mereka masih kecil, Anthony dan Maria, mendiang istri Athony, selalu menganggap Dedeh seperti keluarga mereka sendiri. Mereka selalu mengajak Dedeh untuk makan di meja yang sama dengan mereka.
Danial melahap roti lapis selai kacang yang sudah dibuatkan oleh Dedeh. Seperti sedang menyiksa perlahan ibu tirinya, Danial sesekali mengarahkan tatapan sinisnya pada Ayu. Ayu hanya bisa menahan sesak di dada dengan sikap arogan yang Danial tunjukkan.
"Di mana Rachel, Bi?" Danial memecah keheningan di antara mereka.
"Dia sedang berdandan. Sebentar lagi teman-teman si Non akan menjemputnya untuk berangkat sekolah bersama," balas Dedeh.
Danial menyipitkan mata. Sejumput perasaan heran tersirat dalam tatapannya. "Teman-teman? Sejak kapan Rachel punya teman?"
"Sejak masuk SMP," sela Ayu. "Rachel sudah remaja. Dia bukan gadis intovert dan rapuh lagi. Dia lebih kuat sekarang. Hanya saja emosinya masih sedikit labil. Dia masih belum bisa menerima kesakitan luar biasa seperti saat ibumu meninggal. Tapi, siapa pun yang ditinggalkan akan sangat merasa tersakiti. Hal itu tidak akan mudah dilupakan bahkan cenderung tidak bisa untuk dilupakan."
Danial menatap tajam Ayu sambil mengelap bibirnya dengan tisu. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Ayu. Danial melempar tisu bekas itu ke piringnya. "Apa maksud ucapanmu?!"
"Den Danial, jangan berlaku tidak sopan begitu. Bibi dan Mama Aden tidak pernah mengajarkan hal yang tidak baik begitu. Bagaimanapun, Bu Ayu itu istri papa Aden." Dedeh terkejut melihat sikap bermusuhan Danial terhadap Ayu.
Dedeh mendorong tubuhnya jauh ke belakang agar bisa melongok ke arah tangga. Pandangannya mendapati seorang gadis remaja berambut cokelat sebahu dengan seragam putih abu-abu sedang menuruni anak tangga.
"Den, Non Rachel turun. Tolong, jangan buat keributan. Bibi tidak pernah melihat Non Rachel sebahagia sekarang ini sejak Mama Aden meninggal." Dedeh memberi peringatan pada Danial.
Rachel tiba di ruang makan. Gadis remaja berusia 17 tahun itu terdiam beberapa saat mengamati suasana yang berbeda di sana. Lalu, gadis itu tersenyum lebar dan matanya berbinar terang memancarkan sinar kebahagiaan.
"Kakak!" teriak Rachel
Danial berdiri lalu menangkap hamburan Rachel ke dalam pelukannya.
"Kakak, Kakak ke mana saja? Kenapa Kakak baru pulang sekarang? Rachel tidak mau Kakak pergi lagi," rengek Rachel dengan manja.
"Kakak tidak akan pergi lagi. Kakak janji." Danial mengusap kepala adiknya dengan lembut.
Pembicaraan kakak beradik itu tidak berlangsung lama karena teman-teman Rachel keburu menjemputnya. Seperti biasanya, Rachel selalu memberi kecupan sayangnya di pipi Ayu sebelum berangkat. Remaja itu tampak bahagia seakan tidak pernah kehilangan ibu.
Danial melihat keakraban Rachel dan Ayu. Jauh di dalam hatinya, Danial memuji Ayu bahwa wanita itu wanita yang hebat. Dia mampu menghipnotis seluruh anggota keluarganya. Emosinya semakin menggulung menjadi kumparan kebencian yang semakin dalam pada Ayu.
"Dan, bisa kah kau menemui papamu hari ini di rumah sakit?" tanya Ayu hati-hati. Wanita itu tidak ingin berselisih paham lagi dengan Danial.
Danial hanya menatap tajam Ayu sesaat. Tanpa menjawab, ia berlalu begitu saja meninggalkan Ayu. Ayu kembali ke kamarnya dengan goresan luka baru yang disematkan Danial. Tergesa-gesa ia menuju kamar mandi. Setelah bertahan beberapa puluh menit di bawah tadi, akhirnya tangisnya meledak.
Puas menangis, Ayu membasuh wajahnya dengan air dingin. Dia harus segera memulas make up lagi sebelum pergi ke rumah sakit untuk menemui Anthony. Ayu membuka pintu kamar mandi dan dibuat terkejut setengah mati oleh Danial yang sudah berada di hadapannya.
"Sejak kapan kau di sini, Dan?" tanya Ayu dengan suara serak.
Danial melirik arlojinya. "Beberapa menit."
Tatapan Danial tak lepas dari Ayu. Pandangan pria itu menjelajahi wajah cantik Ayu selama beberapa detik dan berakhir di bibir wanita itu. Ada dorongan yang sangat kuat saat Danial menatap bibir yang pernah dan selalu membuatnya bergairah, begitupun dengan Ayu.
Ayu tidak bisa membohongi dirinya jika tatapan Danial selalu bisa membangkitkan hasrat liarnya. Detak jantungnya mulai kencang. Andaikan Danial berdiri lebih mendekat pada Ayu, dia pasti bisa dengan jelas mendengar debaran jantung wanita itu.
"Jangan menatapku seperti itu, Dan," pinta Ayu.
"Apa itu mengganggumu? Dulu kau suka saat aku menatapmu seperti itu," tutur Danial dengan nada mengejek.
"Danial, semua sudah berbeda sekarang. Aku istri papamu. Jangan membuat hidupku menderita lagi." Ayu melangkah melewati tubuh atletis Danial.
Danial meraih lengan Ayu. Ia mendorongnya dengan kasar ke dinding kamar dan mengunci gerak wanita itu. Kini, tubuh Ayu sudah berada di antara tangan kuat Danial.
"Kau pikir selama tujuh tahun ini hidupku senang?! Aku bahagia?! Aku bahkan sulit memejamkan mata setiap kali aku ingin tidur nyenyak, melupakan semuanya. Semua tentang kita!" Danial menyurukkan wajahnya ke leher Ayu.
Ayu mendorong kuat tubuh Danial. Tangisan Ayu kembali meledak. "Kau yang meninggalkanku! Kau yang mengkhianatiku, Dan. Keluar dari kamarku. Keluar!"
Danial kembali merapatkan tubuhnya ke tubuh Ayu. Ia menangkup kedua sisi wajah Ayu lalu melumat bibir Ayu dengan kasar. Ayu merasa sangat dilecehkan oleh Danial, meskipun sebagian dirinya sangat mendamba sentuhan itu. Wanita itu kembali meronta dan mencoba mendorong kembali tubuh Danial. Namun, Danial terlalu kuat untuknya. Untuk beberapa saat Danial berhasil menikmati bibir ibu tirinya lalu melepaskan ciuman dengan mendadak. Ia menatap Ayu dengan tatapan mencemooh.
Refleks, Ayu melayangkan tamparannya ke wajah tampan Danial. Danial mengusap pipinya yang terasa panas dan sedikit perih. Tatapan penuh amarah dan bencinya terarah pada Ayu.
"Kalau kau berani menamparku lagi, aku akan membalas semua perbuatanmu." Danial mengancam.
"Apa yang akan kau lakukan? Balas menamparku?" tantang Ayu.
Danial tersenyum sinis. "Menampar perempuan bukan gayaku."
Danial berjalan ke luar dari kamar Ayu dengan kemarahan yang menyesakkan dada dan memenuhi isi kepalanya. Dari kamarnya, Ayu hanya bisa menatap punggung Danial yang semakin menjauh dan menghilang di balik pintu. Tubuh Ayu melorot sesaat kemudian. Wanita itu duduk sambil memeluk lututnya dan menangis. Sepertinya penderitaan masih enggan menjauh darinya.
Apa Yang Sudah Kulakukan?
Ayu melangkah dengan anggun menyusuri koridor rumah sakit. Ditemani dr. Arsyad, Ayu masuk ke ruang perawatan VVIP Anthony. Ayu melihat pria itu terbaring lemah dengan selang infus di tangan dan nasal kanula di hidungnya. Parameter yang terdapat pada monitor pasien masih memberikan informasi kondisi kesehatan Anthony yang sama dengan hari kemarin.
Ayu duduk di samping Anthony. Jari-jari lentiknya menggenggam tangan pria itu. "Bagaimana keadaan Mas hari ini?"
Pria berusia 57 tahun itu hanya tersenyum. Wajah pucatnya memperlihatkan rona bahagia saat Ayu membelai lembut punggung tangannya.
"Danial. Apa dia sudah kembali?" Suara bas Anthony bergetar dan hampir tak terdengar.
Ayu menelan ludah berusaha mengatur perasaannya yang berkecamuk setiap kali mengingat nama yang disebutkan suaminya. "Dia sudah kembali, Mas. Dia masih beristirahat. Mungkin dia masih lelah setelah perjalanan jauh."
"Aku hanya ingin yang terbaik untuk anak itu, tapi dia sangat keras kepala. Dia tidak pernah mau mendengarkan aku, Yu." Kilat mata Anthony memancarkan keprihatinan yang mendalam.
Ayu kembali membelai tangan pria baya itu. "Mas, Mas Antony sudah berusaha sangat keras untuk itu. Ayu yakin suatu saat nanti dia pasti akan mengerti."
"Tapi umurku tidak akan lama lagi, Yu. Jika dia tetap bersikap seperti sekarang ini, keras kepala dan tidak mau mendengarkan aku, aku pasti akan mati dengan menyimpan banyak penyesalan. Siapa nanti yang akan menjaga kau dan Rachel? Kau tahu alasanku menikah denganmu kan, Yu?"
Ayu mengangguk. Tatapan khawatir bercampur prihatin terpancar dari sorot mata gelapnya. Bagi Ayu, Anthony adalah dewa pelindung dan penyelamat. Pria itu yang telah mengobarkan kembali gairah hidupnya yang hampir padam dan putus asa. "Mas, tidak boleh bicara begitu. Mas harus yakin bisa kembali sehat dan bisa menjaga Ayu serta Rachel."
"Kau tidak perlu memberi harapan palsu padaku, Yu. Aku tahu kanker paru-paru yang menggerogotiku membuat harapan hidupku semakin tipis. Aku mengkhawatirkan nasibmu dan Rachel setelah kepergianku nanti jika Danial masih tidak bisa bersikap lebih dewasa." Suara bas Anthony kembali terdengar bergetar, membuat Ayu trenyuh.
Mata Ayu mulai berair. Wanita itu meletakkan punggung tangan Anthony di pipinya.
"Mas jangan bicara seperti itu lagi. Apa Mas tidak mau menjaga Ayu dan Rachel untuk beberapa tahun lagi sampai Rachel lebih dewasa, Mas? Mas harus semangat. Mas enggak boleh menyerah. Mas selalu memberi semangat saat Ayu kehilangan bayi ...." Ayu menggantung kalimatnya lalu menyeka air mata dengan jemarinya. "Mas juga harus semangat sekarang."
Anthony mengangkat tangannya dari pipi Ayu ke kepala Ayu lalu mengusap lembut rambut wanita itu. “Jangan menangis, Yu. Kamu itu wanita hebat dan kuat. Aku hanya mengkhawatirkanmu dan Rachel.”
¤¤¤
Danial memandang lampu-lampu yang berkelip menghias taman belakang rumah mewah keluarganya. Pria itu duduk di birai jendela dengan sebotol vodka dalam genggamannya. Perbincangan Ayu dengan papanya tadi siang di rumah sakit masih terngiang di telinganya. Pria itu mendengar semua ucapan Ayu yang membuatnya mengurungkan niat untuk masuk ke ruang perawatan papanya dan memilih kembali pulang.
Jadi, kau sudah benar-benar melupakan masa lalu kita, Yu? Kau menikah dengan pria yang lebih pantas jadi ayahmu hanya demi bisa hidup mewah. Danial melempar botol vodka dalam genggamannya ke arah taman.
Danial memukul kayu bingkai jendela dengan tinjunya. "Sialan kau, Yu! Kau berani menjebak Papa dengan seorang bayi hingga papa mau menikahimu. Berengsek! Dasar jalang!!!"
Danial mengusap wajahnya. Angannya melayang jauh. Pandangannya kembali menatap wajah polos Ayu tujuh tahun silam saat mereka berbaring bersama beralas pasir dan berselimut embusan angin sambil menatap bulan dan bintang-bintang di langit yang pekat.
"Kalau ada bintang jatuh, kau mau membuat permohonan apa. Yu?" Danial menjatuhkan pandangannya ke kiri menatap wajah Ayu dari samping.
"Ayu tidak akan membuat permohonan apa-apa, A. Kebahagiaan Ayu sudah ada di sini. Ayu hanya mau bersyukur saja pada Yang Maha Kuasa karena sudah memberikan semua kebahagiaan ini pada Ayu." Ayu memalingkan wajahnya ke kanan hingga pandangannya saling mengunci dengan pandangan Danial.
"Apa pertemuan kita menjadi salah satu kebahagiaanmu juga?" Danial mengunci pandangannya pada Ayu.
Ayu tersenyum mengiakan. Danial memiringkan tubuhnya. Tangannya membelai pipi Ayu dengan lembut. Ia mengangkat wajahnya mendekat ke wajah Ayu, menempelkan bibirnya ke bibir Ayu, lalu menyapunya dengan lembut. Tubuh Ayu sedikit gemetar saat bibir Danial mulai menjelajahi bibirnya.
"Kau pernah dicium sebelumya?" bisik Danial.
Ayu menggeleng. Wajah Ayu merona karena malu. Terpaan sinar bulan purnama malam itu memperjelas perubahan warna kulit wajah gadis belia itu. Danial tidak ingin terlalu lama membuat gadis itu merasa malu. Dia kembali menyentuh pipi Ayu dengan bibirnya merasakan lembutnya kulit gadis itu saat tangannya mulai menyelinap ke balik kaus lusuh yang membalut tubuh ramping Ayu.
"Anji**!!!" Danial kembali meninju bingkai jendela hingga hampir meremukannya saat angan dan logika kembali merasuk ke dalam tubuhnya.
Ingatan itu kembali menghujam relung hatinya. Mengiris-iris rasa perih yang lama tersimpan. Tak pernah secuil pun terlintas dalam benaknnya bahwa ia akan berbagi semua tentang Ayu dengan pria mana pun termasuk papanya sendiri.
Danial keluar dari kamarnya lalu menemui Joko di dapur.
"Pak Joko, aku mau ke luar. Mobil mana yang bisa kupakai?" tanya Danial dari ambang pintu dapur.
Joko yang sedang duduk bersantai dengan Dedeh dan para asisten yang lainnya langsung berdiri lalu segera mendekat pada Danial. "Mas Danial, mau pakai yang mana?"
"Yang mana saja yang penting bisa jalan," balas Danial sedikit ketus.
Melihat gelagat tuan mudanya yang kurang bersahabat, Joko langsung memberikan kunci mobil yang tergantung di atas nakas di samping pintu menuju dapur tersebut. "Ini, Mas. SUV hitam."
Tanpa mengucapkan terima kasih pada Joko, Danial langsung menyambar kunci mobil dari tangan Joko.
Danial melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi menuju sebuah kelab malam ternama dipusat kota. Kelab malam tempatnya berkumpul bersama sahabatnya tujuh tahun silam itu tidak banyak berubah. Danial duduk di depan meja bar. Dia memesan minuman dengan kadar alkohol yang cukup tinggi. Malam itu Danial ingin mabuk. Semabuk-mabuknya.
Danial sudah menenggak beberapa gelas wiski, tapi ingatannya akan wanita bernama Ayu masih berputar-putar di kepalanya. Bayangan Ayu dan semua kenangan itu sepertinya enggan berlari menjauh dari pikirannya.
"Dan? Kau Danial, ‘kan?" seorang wanita cantik dengan mini dress hitam dan berambut coklat terang hasil pulasan cat rambut mahal menepuk pelan pundak Danial dan mengejutkan pria itu.
Danial mengerutkan dahinya. Berpikir sejenak. "Anna? Kau Anna, ‘kan? Anaknya Tante Rosa."
"Iya, betul. Kau masih ingat rupanya. Dari kabar yang aku dengar, kau tinggal di San Francisco ya sekarang?" tanya wanita bernama Anna itu sambil menarik kursi lalu duduk di samping Danial.
"Tahu dari mana?"
"Alif. Kau masih ingat Alif kan teman sekampus kita dulu? Dia tinggal di sana juga. Katanya, dia pernah bertemu denganmu beberapa kali. Katanya juga, sekarang kau sukses di sana. Kau bekerja di sebuah perusahaan konsultan raksasa sebagai seorang arsitek." Anna menunjuk pada bartender meminta segelas scotch sesaat kemudian.
"Ya. Aku pernah bertemu beberapa kali dengan Alif. Dia pria yang hebat dan teman yang baik." Danial meneguk kembali wiskinya.
"Dan, Dan, kau ini. Kau bekerja untuk perusahaan orang lain, sementara perusahaan papamu sendiri dikuasai orang lain," tutur Anna.
Danial mengerutkan dahinya, menatap penuh selidik pada Anna. "Maksudmu, Na?"
"Setelah kau pergi tanpa kabar berita, Mama sering membantu papamu mengurus perusahaan. Wajarlah, Mamaku itu kan adik papamu. Awalnya sih lancar-lancar saja. Tapi, setelah papamu menikah dengan asisten rumah tangga itu semuanya berubah. Apalagi papamu itu sepertinya cinta mati sama dia. Sampai bela-belain nguliahin dia segala. Sekarang, mantan upik abu itu yang pegang kendali di perusahaan selama papamu sakit," jelas Anna.
Danial menyipitkan matanya. "Papa menikah dengan asisten rumah tangga? Jadi Ayu pernah bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumahku?"
"Ya. Seperti itu kenyataannya. Om Antony sudah kepelet babu itu sampai-sampai dia lupa punya saudara," tukas Anna.
Danial berdiri lalu menarik dompet dari saku celananya. Ia kemudian meletakkan beberapa lembar uang seratus ribuan di samping gelas wiskinya. "Anna, senang bertemu denganmu lagi. Maaf, ada yang harus kulakukan. See you later."
Danial meninggalkan Anna. Ia meninggalkan kelab itu dengan perasaan gundah. Sekelumit cerita dari Anna tentang Ayu membuat pria itu ingin mengetahui lebih banyak sejarah pernikahan Ayu dengan papanya. Danial melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi untuk kembali ke rumah.
Danial berlari menuju kamar Dedeh. Danial mengetuk pintu kamar Dedeh beberapa kali sampai akhirnya si pemilik kamar membukakan pintu.
"Den Danial? Aden dari mana malam-malam begini? Aduh! Bau alkohol lagi. Aden habis minum-minum ya?!" Dedeh mulai mengomel mengetahui tuan mudanya yang sudah dianggap anaknya sendiri itu beraroma alkohol.
Danial meraih tangan Dedeh lalu membawanya masuk ke kamar Dedeh dan tak memedulikan omelan wanita itu.
"Bi, tolong Bibi jelaskan pada Dani. Bagaimana Ayu bisa sampai di rumah ini?" pertanyaan Danial mengindikasikan sebuah pertanyaan yang butuh jawaban mendesak dari Dedeh.
Dedeh menatap heran anak asuhnya. "Ada apa sih, Den? Kenapa Aden tiba-tiba ingin tahu soal itu?"
"Bi, tolong jawab saja!" Danial sedikit memaksa.
"Kejadiannya sudah sangat lama, Den Danial. Tapi, Bibi masih ingat betul saat pertama kali bertemu dengan Bu Ayu. Waktu itu Bibi diantar Pak Joko ke pasar untuk belanja seperti biasa. Bibi belanja sayuran, sedangkan Pak Joko menunggu di mobil. Saat bibi kembali, Pak Joko mengatakan pada Bibi bahwa dia melihat seorang gadis muda yang tidur beralas kardus bekas sambil menggigil di pinggir toko yang masih tutup. Sepertinya gadis itu sedang sakit. Pak joko membawa Bibi pada gadis itu. Keadaan Bu Ayu waktu itu sangat mengenaskan. Dia mengalami demam tinggi dan hampir tidak sadarkan diri. Saat itu, orang-orang di sekitarnya hanya berlalu lalang dengan lirikan prihatin tanpa ada yang mau membantunya. Bibi dan Pak Joko merasa iba. Kami membawanya ke rumah ini. Bibi tahu papa Aden tidak pernah mengizinkan orang lain masuk tanpa seizinnya. Bibi dan Pak Joko, saat itu, berani mengambil risiko dipecat papa Aden karena ingin menolong Bu Ayu. Alhamdulillah, setelah bertemu Bu Ayu, papa Aden mengizin dia tinggal di sini. Awalnya hanya untuk menemani Non Rachel, tapi lama-lama Bu Ayu semakin akrab sama Non Rachel. Bu Ayu juga—"
"Apa Ayu pernah hamil?" sela Danial.
"Iya, Den. Bahkan, Papa Aden—"
"Cukup, Bi,” potong Danial, “terima kasih informasinya."
Danial beranjak dari kamar Dedeh. Ia melangkah masuk ke kamarnya dengan langkah limbung. Bukan karena pengaruh alkohol dari minuman yang teguknya beberapa puluh menit yang lalu, melainkan karena perasaannya yang mulai jungkir balik dan terombang ambing masa lalunya. Ia menjatuhkan diri ke atas tempat tidur lalu memejamkan matanya yang terasa sangat panas dengan perlahan. "Apa yang sudah aku lakukan pada Ayu?"
Serpihan Masa Lalu
Praaanngg!!! Gelas kaca yang masih berisi kopi hitam itu sengaja dibanting penikmatnya. Pria paruh baya itu geram dan marah. Sebuah pengakuan yang baru keluar dari mulut anak gadis yang menjadi kebanggaannya membuat hatinya hancur seketika. Harapan yang menggunung, asa yang melambung, kini menciut, dan terkungkung. Semua cita-citanya musnah. Hanya pedih dan sesal yang tertinggal menggerogoti raga.
"Maafkan Ayu, Pak. Ayu tidak bisa menjaga amanah dari Bapak," ucap Ayu sambil terisak. Mata gadis belia itu terlihat sembap dan memerah.
Pria yang terlihat lebih tua dari usianya itu berdiri. Ia menyimpan satu tangannya di pinggang dan yang lain memijat dahi berkerutnya. "Ayu, Bapak menyimpan banyak harapan. Bapak mau kau jadi seseorang yang bisa Bapak banggakan yang akan membangun dan membawa kemajuan untuk desa ini kelak. Bapak mau kau punya pendidikan tinggi supaya kau jadi orang, Yu. Tidak seperti Bapak yang hanya tahu perahu nelayan dan jala. Setiap malam Bapak melaut, meninggalkan kalian, agar Bapak bisa menyekolahkan kau. Biar kau tidak hidup kayak Bapak dan Ibu. Biar kau tidak bodoh seperti kami. Kau sudah membuat Bapak dan Ibu sangat kecewa, Yu."
Ayu bersimpuh dan memeluk kaki sang Bapak. "Maafkan Ayu, Pak. Ayu terlalu bodoh karena sudah termakan rayuan dia."
"Sudah tiga bulan lamanya pemuda kota itu pergi meninggalkan desa ini. Anak yang kau kandung tidak akan punya ayah, Yu. Kecuali, kau mau menerima tawaran juragan Hendra untuk menjadi istri ketiganya." Nada bicara Bapak terdengar frustrasi.
Ayu kembali terisak. "Ayu tidak mau jadi istri ketiga juragan Hendra, Pak. A Danial janji akan kembali menjemput Ayu di sini."
Bapak murka. Ia mengangkat kaki dan membiarkan Ayu terjengkang. Seorang wanita berusia tak jauh berbeda dengan Bapak datang menangkap tubuh Ayu dan membawa Ayu ke dalam pelukannya. "Sudah, Pak. Jangan paksa Ayu lagi. Kasihan Ayu, Pak. Kita tunggu saja pemuda kota itu."
Bapak berkacak pinggang. Suaranya terdengar bergetar ketika ia menanggapi ucapan Ibu. "Tunggu sampai kapan, Bu?! Sampai perut anak kita besar dan melahirkan?! Pokoknya Bapak tidak mau menanggung malu lagi. Ayu harus menikah dengan juragan Hendra!"
Tangisan Ayu meledak. "Ayu tidak mau menikah dengan kakek-kakek itu, Pak. Ayu tidak mau!"
Bapak yang sudah terbakar emosi pergi meninggalkan Ayu dan ibunya. Pria itu pergi dengan kekecewaan yang sangat dalam.
"Sabar, ya, Neng. Bapak memang keras. Tapi, semua demi kebaikan Neng sendiri dan bayi Neng nanti." Ibu mencoba menenangkan Ayu dalam dekapannya.
Malam itu Ayu memutuskan untuk pergi dari rumahnya diam-diam. Ayu berniat mencari pemuda yang sudah menghamilinya ke Jakarta. Dengan bekal seadanya dan tanpa membawa banyak pakaian dalam tas bututnya, Ayu berjalan kaki melintasi jalanan tandus dan dinginnya malam menuju stasiun kereta api dari rumah sederhananya yang terletak di bibir pantai. Azan subuh berkumandang. Ayu yang sudah lelah berjalan duduk di atas tumpukan bebatuan di pinggir jalan yang sangat sepi. Beberapa kendaraan seperti sepeda dan sepeda motor hanya melintas sesekali saja.
"Ya Allah, mungkin ini hukuman dariMu karena aku sudah melanggar laranganMu. Aku sudah berzina dengannya dan mengecewakan semua orang yang menyayangiku." Air mata Ayu terus mengalir. Gadis itu tak henti-henti menyesali semua perbuatannya.
Ayu menyapu air mata dengan pugung tangan. Bibirnya gemetar, begitupun dengan seluruh tubuhnya. Tiba-tiba suasana menjadi hening. Sunyi senyap seakan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Pendengaran Ayu menangkap suara gemuruh. Ayu memeluk dirinya sendiri. Suara gemuruh itu semakin kencang dibarengi suara teriakan-teriakan manusia. Tubuh Ayu menggigil. Rasa takut mulai menyelimuti dirinya. Beberapa detik kemudian Ayu melihat banyak orang; pria, wanita dan anak-anak; berlarian melintas di hadapannya. Belum sempat Ayu bertanya apa yang sedang terjadi pada orang-orang itu, sebuah ombak besar dari arah pantai menghantam tubuhnya.
"Bapak! Ibu!" keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Air matanya pun tak terasa sudah membasahi pipi mulusnya.
Ayu menangis beberapa saat sebelum dia turun dari tempat tidurnya menuju wastafel di samping pintu kamar mandi. Ia membasuh wajahnya. Ingatan tentang bencana itu kembali merasuki benaknya. Masih teringat jelas kekecewaan Bapak dan Ibu kepadanya. Semua meninggalkan dirinya dengan kekecewaan. Bahkan, Ayu tidak sempat mengucapkan penyesalannya kepada mereka.
Ayu kembali membasuh wajah dengan air dingin yang terus mengalir dari kran wastafel. Namun, air matanya terus menerus memaksa untuk keluar dan mengalir. Rasa perih itu masih ada dan meninggalkan bekas seperti keloid. Meski tampak sembuh, namun bekasnya lebih lebar dari luka itu sendiri dan menyisakan perih.
Ayu menyandarkan punggungnya ke dinding kamar mandi. Perlahan tubuh rampingnya melorot. Ayu duduk sambil memeluk lutut sementara aliran air bening dari kedua ujung matanya terus membasahi wajah.
***
Hahaha! Suara tawa Rachel menghangatkan suasana pagi yang mendung dan gerimis. Rachel, Danial, dan Bi Dedeh terlihat sedang asyik berbincang di ruang makan.
"Iya, benar. Kadang aku juga merasa aneh sama Pak Joko dan Bi Dedeh. Pak Joko manggil Kakak mas, sedangkan Bi Dedeh manggil Kakak aden. Kenapa Bi Dedeh dan Pak Joko tidak memutuskan satu panggilan saja buat Kak Danial?" saran Rachel dengan nada jenaka.
"Biarkan sajalah, Rachel. Aku tidak keberatan dipanggil apa saja." Danial menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.
"Tumben Bu Ayu belum turun. Apa Bu Ayu sakit ya?" Pandangan Dedeh terus mengawasi anak tangga di ujung lorong.
Mendengar ucapan Dedeh, Danial langsung berhenti mengunyah. Dia mengambil tisu dan mengelap bibirnya. Danial berdiri.
Rachel menatap heran kakaknya. "Kakak mau ke mana?"
"Mau ke perusahaan Papa."
Rachel tersenyum takjub. "Akhirnya, Kakak mau membantu Tante Ayu. Kasihan Tante Ayu harus mengurus perusahaan papa sendirian."
Danial tersenyum tipis. Pria itu tidak bisa memberikan jawaban yang diinginkan adiknya.
***
Ayu melangkah dengan sedikit lunglai. Lingkaran matanya memperlihat dengan jelas kalau wanita itu kurang tidur. Meski sudah dilapisi concealer, tapi mata lelahnya tidak bisa berbohong jika wanita itu masih membutuhkan waktu beberapa jam lagi untuk terlelap.
Ayu membuka ruang kerjanya. Mata Ayu terbuka lebar melihat sosok Danial di balik meja kerjanya. Pria itu tampak menawan dengan kemeja biru tua yang digulung sampai sebatas siku dan dasi hitam bermotif garis-garis putih yang cocok dengan kemejanya. Selama sedetik Ayu ingin melangkah mundur, tetapi entah kenapa kakinya justru melangkah maju.
"Pagi, Nyonya Narendra," sapa Danial.
Ayu terus melangkah mendekat menuju meja kerjanya. "Danial, sedang apa kau di sini?"
Danial menyipitkan mata lalu tersenyum sinis. "Sedang apa? Harusnya aku yang bertanya padamu. Sedang apa kau di perusahaan papaku? Apa yang kau cari dengan semua kepura-puraanmu ini?"
Ayu menatap kesal Danial. Wanita itu sudah berjuang keras dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengurus perusahaan suaminya. Tak ada sedikit pun maksud tersembunyi dari Ayu, selain untuk membantu Anthony dalam menjalankan perusahaannya. "Dan, aku berhak membantu suamiku mengurus perusahaan di saat suamiku sedang sakit."
"Aku rasa aku yang lebih berhak berada di sini. Aku anaknya." Tatapan Danial mengunci tatapan Ayu.
Ayu membasahi bibirnya dengan saliva. Tiba-tiba saja bibir dan tenggorokannya terasa begitu kering. "Aku tidak keberatan berbagi tugas denganmu."
Danial berdiri. Tatapannya tak lepas dari wajah Ayu. Harus Ayu akui bahwa tatapan itu selalu menghantarkan getaran aneh ke seluruh tubuh dan membuatnya merinding.
Danial mendekat, sangat dekat. Ayu ingin menghindar, tetapi tubuhnya terasa kaku. Ayu hanya mematung saat Danial mendekatkan wajah ke telinganya. "Aku tidak ingin berbagi."
Danial mendorong kembali wajah tampannya menjauh dari Ayu. "Sejak kapan kau tahu aku anak si tua bangka itu?"
Ayu menatap geram Danial. Mulut pria itu selalu menyebut suaminya dengan sebutan tua bangka dan itu membuat Ayu kesal. Betapa tak berbudinya Danial di hadapan Ayu.
"Sejak dua tahun yang lalu," balas Ayu.
"Kau sudah tahu aku anak suamimu sejak dua tahun yang lalu dan kau tidak melakukan apa-apa? Apa yang sebenarnya menjadi motifmu bertahan dengan si tua bangka itu?" pertanyaan sinis itu meluncur begitu saja dari mulut Danial.
Emosi Ayu naik Amarahnya mulai naik ke level tertinggi. Pertanyaan Danial sedikitnya mengindikasi pada sebuah pelecehan verbal.
"Berhenti menyebut suamiku si tua bangka atau—"
"Atau apa?!” Danial memotong dengan nada geram. “Kau akan membujuk si tua bangka itu untuk mengeluarkan aku dari nama pewaris kekayaannya, dan dengan begitu kau bisa bebas menguasai semua ini?" sergah Danial.
"Dan!" seru Ayu. Napasnya terengah-engah menahan emosi yang ingin segera diluapkan.
"Apa?! Kau mau menamparku lagi?! Ayu ... Ayu ... Aku tidak menginginkan uang si tua bangka itu karena aku sendiri sudah punya banyak. Namun, di sini masih ada hak Rachel. Kau gagal melahirkan pewaris ketiga makanya kau mati-matian ingin menguasai semua ini."
Plaaak! Tamparan Ayu melayang ke pipi Danial. Semua ucapan Danial sudah sangat melecehkannya. "Berhenti merendahkanku dan berhenti menyebut Papamu tua bangka!!!"
Danial melingkarkan tangannya ke pinggang Ayu lalu menariknya hingga tubuh mereka tidak menyisakan jarak. "Apa hebatnya si tua itu hingga kau terus membelanya?!! Jika uang yang kau cari, aku punya banyak!"
"Jelas Papamu jauh lebih hebat dan lebih baik darimu. Dia tahu cara menghormati seorang wanita. Tidak sepertimu yang habis manis sepah dibuang. Lepaskan aku, Dan!" Ayu melepaskan dirinya dari rengkuhan Danial.
Ayu mundur beberapa langkah. Mata berairnya memancarkan kilat amarah yang meledak-ledak. "Asal kau tahu, aku tidak pernah mengandung anak Papamu. Papamu tahu cara menghargai dan menghormatiku!"
Anakmu!
Ayu keluar dari ruang kerjanya tergesa-gesa. Wanita itu tidak mau seorang pun melihat kecemasan dan kegundahan hatinya. Ia memilih mengalah meninggalkan Danial dengan perasaan dan hati yang kembali terluka.
Danial menatap mobil-mobil yang memenuhi jalanan ibu kota dari jendela ruang kerja Ayu yang berada di lantai 8 gedung perusahaan milik papanya. Pikirannya jauh menerawang ke masa tujuh tahun silam saat semua kerumitan bermula.
"Pa, izinkan Danial menikahi gadis itu. Danial sudah melakukan kesalahan. Danial hanya ingin bertanggung jawab untuk semua yang Danial lakukan padanya," Danial muda memohon pada Papanya.
Pria bertubuh tinggi dan sedikit berisi dengan gelas anggur di tangannya memperlihatkan raut wajah murka. Tatapan tajam dan garis bibirnya yang melengkung ke bawah dengan tegas menolak permintaan anak laki-lakinya. "Papa kuliahin kau biar kau jadi orang berguna. Supaya kau bisa meneruskan usaha Papa dan menjaga adikmu nanti. Bukan untuk bersenang-senang dan merusak hidup anak gadis orang. Kalau kau mau bermain-main kenapa enggak pilih gadis-gadis kota yang sudah biasa bersenang-senang dengan gaya baratnya itu, sih? Cukup semalam dan paginya sudah kelar. Kenapa harus pilih gadis kampung yang tidak jelas. Yang jelas-jelas bisa merusak masa depanmu?!"
"Pa, dia beda dengan gadis-gadis yang Danial kenal di sini. Dia gadis yang baik," bantah Danial.
"Kalau dia baik, dia tidak mungkin dengan gampangnya bisa kau tiduri. Papa tidak melaranmu bergaul. Papa tahu pergaulan anak sekarang tuh kayak apa. Tapi, kau salah pilih teman tidur. Gadis kampung itu justru yang nantinya bikin kau repot." Anthony berjalan menuju brankas lalu memutar kunci pembukanya dengan nomer-nomer yang merupakan sandi pembuka. Dia mengambil beberapa gepok uang dengan nominal seratus ribuan lalu kembali ke kursi kerjanya. Pria itu hampir melempar uang dalam genggaman ke atas meja di hadapan Danial yang duduk di seberangnya.
Danial menatap tumpukan uang itu dengan prihatin. Ayahnya menilai begitu murah harga cintanya pada gadis kampung yang sudah menjerat hatinya.
"Berapa lama kau sudah meninggalkannya?" tanya Ayahnya.
"Baru satu bulan, Pa. Danial janji sama dia, Danial akan kembali dan menikah dengannya, Pa,"
"Kasih dia uang itu. Dia dan keluarganya pasti senang dapat uang banyak. Kau tidak perlu repot-repot menikah dengannya. Bikin malu keluarga saja!" tandas Anthony.
Danial melebarkan mata. Pria muda itu tidak menduga papanya akan berpikiran dangkal dan sempit. Danial berdiri dan memanatap tajam Anthony. Tatapan tegas dan menantang dia arahkan kepada pria itu tanpa rasa takut.
"Danial mencintai dia, Pa. Dengan persetujuan Papa atau tidak, Danial tetap akan menikah dengannya," tandas Danial.
Papanya kembali murka. Dahinya berkerut dan kilat matanya memancarkan gejolak emosi yang menggunung. "Kalau kau berani melangkah ke luar dari rumah ini untuk menemuinya, selangkah saja, kau akan Papa coret dari daftar nama pewaris. Papa akan lupakan pernah punya anak kau, Danial!"
"Danial mencintainya, Pa. Danial tidak peduli dengan warisan papa! Danial hanya ingin bertanggung jawab dengan perbuatan Danial. Bukankah Papa yang mengajarkan Danial agar jadi lelaki yang bertanggung jawab?" sanggah Danial.
"Jika kau pergi, jangan harap pintu rumah ini akan terbuka lagi untukmu!" murka Anthony.
Danial mengusap wajahnya. Setelah pertengkaran tujuh tahun silam itu Danial tak pernah lagi menunjukkan wajah di hadapan Anthony. Danial berjuang sendiri untuk hidupnya. Danial sama sekali tidak mendendam pada Anthony, hanya saja sikap Anthony tujuh tahun lalu telah membuatnya terpisah dari gadis yang sangat dicintainya. Hatinya kembali hancur saat mengetahui istri Anthony adalah gadis yang seharusnya menjadi istrinya tujuh tahun lalu. Danial mengetahui hal itu beberapa bulan yang lalu sebelum dia memutuskan untuk pulang. Orang suruhan Ayu yang mencarinya di San Francisco yang memberitahukannya.
"Selamat pagi Bu—eh, Pak ...." Sapaan itu terhenti saat pandangan si pemilik suara menatap Danial dengan mata membulat dan penuh keterkejutan.
"Pak Aziz?!" ucap Danial spontan menyebutkan nama pria paruh baya berkumis tebal yang tiba-tiba masuk ke ruangan Ayu.
"Mas Danial?! Ya ampun, enggak nyangka Mas Danial ada di sini. Kapan pulang?" Pria bernama Aziz itu langsung mendekat pada Danial dan menyalaminya.
"Baru dua hari kemarin, Pak."
Aziz menatap takjub Danial. "Bagaimana kabarnya, Mas? Mas atau Bapak nih sekarang saya manggilnya?"
Danial tersenyum. "Terserah Pak Aziz saja."
"Sepertinya Bapak lebih cocok ya? Bagaimana San Francisco?" Aziz berusaha beramah tamah.
"San Francisco masih menjadi kota yang sibuk. Tidak ada siang dan malam. Setiap waktu ramai orang wara-wiri. Bagaimana kabar Iwan, Pak?" tiba-tiba Danial mengingat sahabatnya ketika mereka masih duduk di bangku kuliah dulu.
"Keponakan saya itu sekarang tinggal di Bekasi bersama istrinya. Dia dapat istri orang sana," balas Aziz.
"Bisa saya minta no telepon atau alamatnya? Saya ingin bertemu," tutur Danial.
Aziz dengan cepat memberikan kedua hal yang diminta Danial.
○○○
Ayu masih mencoba mengatur napasnya untuk membuat dirinya lebih tenang. Wanita itu lama termenung di dalam mobilnya di area parkir basemen gedung perusahaan Anthony. Beruntung, pagi ini dia tidak diantar Joko hingga dia tidak perlu menyembunyikan kegundahan hatinya. Ayu menyandarkan kepala ke punggung jok dan memejamkan mata. Wanita itu tak menduga Danial yang begitu lembut di masa lalu kini bersikap sangat kasar padanya. Danial telah menuduhnya sebagai wanita materialistis dan yang terparah, pria yang pernah singgah di hatinya itu menuduhnya telah mengandung anak papanya. Ayu ingin menjerit, berteriak di telinganya, mengatakan bahwa janin yang pernah tumbuh di rahimnya adalah miliknya, milik Danial.
Tuduhan Danial membuat hatinya hancur. Pria itu sudah mengecilkan arti dirinya. Bahkan, menghilangkannya. Ayu membuka mata. Sebisa mungkin ia menyimpan semua pedihnya. Ayu memulas bedak untuk menutupi mata sembapnya. Ia ingin melupakan sejenak perseteruan yang baru saja terjadi dengan anak tirinya.
Ayu melajukan mobilnya ke rumah sakit. Meski bukan jam besuk, Ayu mendapat perlakuan istimewa sebagai istri pemilik saham terbesar rumah sakit tersebut. Ayu menemui Athony. Ia berusaha menghibur suaminya itu, lebih tepatnya menghibur dirinya sendiri. Lalu, ia mengarang kisah palsu kenapa Danial sampai saat ini masih tidak mau menemuinya.
"Mas yang sabar, ya. Danial mungkin masih ada urusan." Ayu mengelus lengan Anthony berusaha menenangkannya.
"Sampai kapan dia akan mengabaikanku, Yu? Aku ini papanya. Apa salah jika aku ingin yang terbaik untuknya? Mungkin dia masih marah padaku, Yu." Sorot mata Anthony meredup. Tatapannya menggelap karena sedih yang kian merasuk ke dalam sukma.
"Mas, meski Ayu tidak tahu apa permasalahan antara Mas dan Danial, tapi Ayu yakin kalau Danial pria yang baik. Mungkin dia tidak sedang mengabaikan Mas saat ini. Mungkin dia ada urusan urgent yang tidak bisa dia tinggalkan." Ayu terus menghibur suaminya walaupun hatinya ingin menangis setiap kali dia menyebut nama Danial.
"Ehm." Dehaman itu mengejutkan Ayu dan Anthony.
Danial melangkah masuk ke ruang perawatan Anthony. Kehadiran Danial di ruangan itu membuat seluruh saraf di tubuh Ayu tidak berfungsi hingga membuatnya lemas. Aliran kepedihan itu kembali menyengat menjadi sebuah kumparan yang tak berujung. Rona antagonis terpancar dari tatapan Danial saat pria itu dengan langkah arogannya mendekat pada Ayu dan Anthony.
"Bisa aku bicara dengan papaku?" pertanyaan dengan nada pedas itu keluar dari mulut Danial.
Ayu mengerti. Ayu menyembunyikan perasaannya pada Danial sebisa mungkin dari Anthony. Ia meminta izin pada Anthony untuk menunggu di luar sementara Anthony berbincang dengan Danial.
Ayu menunggu dengan gelisah. Duduk berpindah dari satu kursi ke kursi yang lain di ruang tunggu. Ayu berharap Danial tidak mengatakan hal yang akan membuat Anthony terluka dengan mengatakan kebenaran tentang mereka. Beberapa menit berlalu. Ayu melihat Danial keluar dari ruang perawatan Anthony. Tatapan Danial seperti singa yang ingin menerkam mangsanya. Danial berjalan ke arah Ayu, meraih tangan wanita itu lalu menariknya dengan paksa untuk mengikuti langkahnya.
Tak memedulikan penolakan Ayu Danial terus menarik lengan Ayu. Ayu yang tidak ingin menimbulkan keributan berusaha mengimbangi langkah panjang Danial. Danial membawa Ayu ke area parkir basemen. Keluar dari lift Danial masih terus menarik kasar lengan Ayu lalu mendorong tubuh Ayu ke pilar beton penyangga bangunan. Kedua tangannya mengunci gerak Ayu. Napasnya memburu dan matanya semakin menggelap. "Katakan padaku, anak siapa yang kau kandung saat bertemu papaku?!"
"Lepaskan aku, Dan! Kita tidak pantas berada di sini." Pandangan Ayu menyisir lantai area parkir yang sepi.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Ayu! Katakan anak siapa yang kau kandung saat kau bertemu Papa? Apakah anak juragan Hendra?!"
Untuk sesaat Ayu membeku, mulutnya sedikit terbuka, dan matanya melebar karena syok dengan pertanyaan konyol Danial. "Apa maksudmu?! Apa hubungan juragan Hendra dengan kehamilanku?!"
Danial menyeringai lalu melontarkan kalimat-kalimat pedas. "Harusnya aku tahu dari dulu kau memang hanya mencari uang dan kehormatan. Kau menggaet lelaki tua untuk kau jadikan pemuas kebutuhanmu. Kau menikah dengan juragan Hendra dan melupakan janji kita."
Kali ini Danial sudah menginjak-injak harga diri Ayu. Ayu hendak melayangkan tamparannya, tetapi Danial berhasil menangkap tangan Ayu, memelintirnya ke belakang lalu menghimpit tubuhnya. "Kau tidak bisa selalu memberikan jawaban dengan tamparan, Ayu. Beri aku jawaban yang membuatmu lebih terhormat di mataku."
Tangis Ayu meledak. "Aku tidak pernah menikah dengan juragan Hendra. Aku menantimu selama tiga bulan. Kau yang berbohong padaku. Kau yang mengingkari janjimu padaku, Danial. Kau tidak pernah kembali untukku. Saat itu aku mengandung anakmu. Anakmu, Danial!"
Ucapan Ayu meruntuhkan dinding ego dan amarah Danial. Danial mulai melembut dan tubuhnya yang menghimpit tubuh Ayu mulai lemas. "Aku kembali, Yu. Aku mencarimu sebulan setelah KKN-ku selesai. Tapi, kabar yang kudapat saat kembali ke desamu membuat aku sakit hati dan kecewa. Anak buah juragan Hendra dan tetanggamu bilang kau sudah dipinang juragan Hendra. Aku benar-benar sedih dan kecewa, Yu."
Bagaikan air terjun Niagara, air mata Ayu kian deras mengalir. Hatinya meragu mendengar penjelasan Danial. Jika dia benar datang mencarinya saat itu, kenapa pria itu tidak menemui dia dan Ayahnya. Pintar sekali pria ini mengarang cerita, pikir Ayu.
Mulai Terbakar
Ayu berlari kecil menuju lift. Meski dia tahu Danial tidak lagi mengejarnya, tapi hatinya tetap was-was. Ayu bersandar ke dinding lift dan mendongak untuk menahan air matanya agar tidak menetes lagi. Namun, ketika wajah Danial kembali melintas di benaknya, air mata itu lolos begitu saja mengalir dari sudut matanya. Ayu tidak ingin menjadi lemah, tetapi Danial dengan segala tingkah serta ucapannya selalu membuat Ayu tak mampu bertahan. Setiap kali memandang Danial, setiap kali itu pula semua kenangan yang menyedihkan akan masa lalu kembali tergambar dan menusuk-nusuk hatinya.
Saat pintu lift terbuka Ayu bergegas melangkah menuju ruang perawatan Anthony. Saking tergesanya, Ayu sampai melupakan bahwa ia baru saja menangis. Mata serta pipinya masih terlihat sembap dan basah.
Ayu duduk di tepi ranjang Anthony. Ia menggenggam tangan Anthony dengan erat. "Mas, maaf—"
Anthony menatap wajah muram dan sedih Ayu dengan heran. Ia menarik tangannya dari genggaman tangan Ayu lalu menyapu pipi basah Ayu dengan ujung jemarinya. "Kenapa kau menangis, Yu?"
Ayu tersentak, matanya melebar. Wanita itu baru menyadari dia baru saja menangis. "Ayu tidak apa-apa, Mas,"
"Jangan bohong padaku, Yu. Ada apa sampai tanganmu gemetaran kayak gini?" Anthony kembali bertanya penuh selidik.
Sial. Ayu bahkan tidak menyadari tangannya gemetar. Tanpa dikomando dan tanpa diundang bayangan wajah Danial kembali melintas. Hati Ayu kembali nyeri dan perih. Ayu terisak dan berkata dengan suara sedikit serak dan tertahan. "Ayu tidak apa-apa, Mas. Sungguh."
"Kalau kau tidak apa-apa kau tidak akan menangis seperti ini. Katakan padaku ada apa?" Anthony memaksa.
"Ayu benci sama dia, Mas. Ayu benci. Kenapa harus bertemu dengannya sekarang? Kenapa harus saat ini? Saat semua janji dan ucapannya sudah tidak ada gunanya lagi." Semua ucapan itu lolos dari mulut Ayu disertai isak tangisnya. Ayu tidak menyadari semua ucapannya mengarah pada rahasia yang selama ini ia coba tutupi. Perasaan marah dan benci yang menjadi-jadi pada Danial membuatnya melupakan siapa Anthony.
Anthony mengangkat tubuhnya, merubah posisinya untuk duduk bersandar ke punggung tempat tidur. Pria itu tampak sangat mengkhawatirkan Ayu. "Kau ketemu laki-laki bejat yang menghamilimu? Di mana? Apa dia ada di rumah sakit ini?"
Selama ini Ayu tidak punya seseorang untuknya berbagi cerita, baik kesedihan maupun kebahagiaannya. Semuanya ia telan sendiri. Kali ini, bagai burung yang lepas dari sangkarnya, Ayu hampir meluapkan semua sesak yang mengganjal di dadanya. Beruntung, dia tidak mengucapkan nama Danial hingga Anthony tidak tahu siapa pria yang pernah datang dan membuat hidupnya menderita.
Ayu memutar otaknya mencari alasan. Bagaimanapun, suaminya tidak boleh tahu bahwa pria yang dulu menghamilinya adalah putra yang ia banggakan dan harapkan. Kondisi kesehatan Anthony menjadi alasan utama Ayu untuk tetap bungkam.
"Ayu tidak tahu, Mas. Ayu hanya melihat dia berada di jalanan dari jendela kantin rumah sakit." Ayu berbohong.
"Jangan pikirkan dia lagi. Kau punya kehidupan berbeda sekarang. Dia tidak pantas mendapatkanmu, Yu. Pria tidak bertanggung jawab seperti itu tidak pantas mendapatkan wanita sebaik kau." Anthony berbicara dengan nada geram. "Aku akan selalu menjagamu. Meski kondisiku seperti ini, tapi aku masih punya banyak tangan, kaki, dan mata untuk membuatmu selalu aman. Kau sudah menjaga Rachel, membantu menjalankan perusahaanku, dan mengusir para predator yang mengincar keuntungan dariku. Aku sangat berterima kasih padamu."
Ayu memaksakan diri tersenyum. "Itu sudah menjadi kewajiban Ayu, Mas."
Ayu tidak kembali ke perusahaan maupun ke rumah. Sampai menjelang malam Ayu menemani Anthony di rumah sakit. Wanita itu dengan tulus menyuapinya makan, menceritakan keadaan perusahaan, dan mendengar semua keluh kesah pria itu.
Tak pernah ada kata lelah untuk Ayu menemani dan merawat Anthony. Kebaikan Anthony terhadap dirinya tidak bisa ia sangkal begitu saja. Pria itu sudah memberikan semua yang Ayu butuhkan, bahkan yang tidak dibutuhkannya sekalipun.
Deru mobil Ayu terdengar memenuhi garasi yang luasnya mencapai 24meter persegi. Waktu sudah menunjukkan jam 22.30. Rumah besar menyerupai istana itu sudah terlihat sepi. Kemungkinan besar Rachel sudah terlelap di kamarnya. Jika pun belum, pada jam-jam seperti ini dia pasti sedang bercengkrama dengan ponselnya. Ayu menaiki anak tangga dengan tenang. Tiba di lantai atas, Ayu melintasi kamarnya langsung menuju kamar Rachel. Ayu memutar kenop pintu lalu membukanya. Anak tirinya sudah tertidur pulas. Ayu mendekat ke ranjang Rachel lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh gadis remaja itu. Kemudian, ia meraih remote AC yang berada di atas nakas—di samping ranjang—untuk mengatur suhu ruangan agar tidak terlalu dingin dan membuat tidur Rachel tidak nyaman. Hal terakhir yang menjadi kebiasaan Ayu sebelum meninggalkan kamar anak tirinya itu adalah mengusap lembut kepala Rachel lalu mengucapkan selamat malam. Ayu menatap wajah polos Rachel beberapa saat sebelum berbalik.
"Astagfirullah!" Ayu tersentak, tubuhnya lemas, dan jantungnya hampir berhenti berdetak saat dia melihat sosok pria yang berdiri di ambang pintu. "Danial, sedang apa kau di situ?"
Tidak ingin membuat kegaduhan yang bisa membangunkan Rachel, Ayu berjalan dengan tenang dan sedikit pelan menuju pintu. Ayu berdiri di hadapan Danial memberi isyarat padanya agar melangkah mundur sebelum Ayu keluar dari kamar Rachel dan menutup pintunya.
Danial menangkap sinyal itu. Pria berperawakan tinggi dan berkulit putih itu mundur dua langkah. Ayu menutup pintu kamar Rachel pelan-pelan.
"Danial, mau apa kau di sini?" tanya Ayu pelan.
"Ini kamar adikku. Aku hanya sedang mengawasi dan memastikan tidak akan ada orang yang menyakitinya," sindir Danial.
Ayu mengerutkan dahi dan menyipitkan mata. Sindiran Danial menghujam langsung ke hatinya dan menciptakan rasa sakit seketika. "Kau pikir aku manusia macam apa, Dan? Kau terlalu picik jika berpikir aku bisa menyakiti Rachel. Jika aku mau, aku bisa melakukannya sejak dulu. Tidak perlu menunggu kau kembali."
Ayu berjalan melintas ke hadapan Danial untuk kembali ke kamarnya. Namun, Danial menahannya. Pria itu mencekal lengan Ayu. Ada getaran yang begitu saja dirasakan mereka berdua saat kulit mereka bersentuhan. Ayu mencoba menepis tangan Danial. Ia tidak mau merasakan hal-hal yang bisa dengan mudah meruntuhkan segala pertahannya dari pria itu. Namun, lagi-lagi tangan kuat Danial tak membiarkan semua usaha Ayu berhasil. Pria itu masih mencekal lengan Ayu, bahkan lebih kuat lagi hingga Ayu sedikit mengerang.
"Urusan kita belum selesai!" tegas Danial. Ia mengatupkan sedikit bibir dan menekan giginya kuat-kuat saat penegasan itu keluar dari mulutnya.
Danial menyeret Ayu dan memaksa Ayu masuk ke kamarnya. Ia mengunci pintu lalu melempar sembarang kunci tersebut.
Ayu panik. Pandangannya menyisir ke arah Danial melempar kunci kamarnya. "Dan, apa yang kau lakukan?! Danial, biarkan aku keluar!"
Danial meraih tubuh ramping Ayu dan menariknya mendekat hingga tak menyisakan jarak. Ia terus menekan dan menghimpit tubuh Ayu.
"Dan, lepaskan Aku! Kalau tidak, aku akan teriak," ucap Ayu mengancam.
"Teriak saja dan semua orang akan menemukan seorang ibu tiri yang tidak berhasil merayu anak tirinya, lalu bermain sebagai korban. Kau lupa jika ini kamarku?" tantang Danial.
Ayu melebarkan mata. Iris cokelat gelapnya tampak berapi-api dan diselimuti kabut amarah yang diciptakan Danial. Ayu tidak ingin bermain sebagai korban tapi menurutnya, dialah korban yang sesungguhnya.
"Dan, kau sudah keterlaluan. Kau tidak berhak memperlakukan aku seperti ini." Ayu menahan kedua telapak tangannya ke dada bidang Danial, berharap pria itu tak menemukan degup jantungnya yang mungkin saja terdengar sangat kencang.
"Seperti apa aku harus memperlakukanmu? Apa aku harus memujamu seperti papaku? Mendewikanmu layaknya kau perempuan paling suci? Begitu maumu?" Danial mengeratkan lingkaran tangannya di punggung Ayu hingga tubuh Ayu merasakan sesak napas. Ujung hidung Danial yang hampir menyentuh ujung hidungnya menambah derita Ayu. Sakit hati dan rasa mendamba yang mendadak terpatri berkecamuk menghantam ketegaran Ayu.
Mata Ayu mulai berkabut. Gelombang air mata yang sangat hebat menerjang bulu mata lentik dan langsung terjun bebas ke pipinya. Napas Ayu tersekat. Jantungnya berdentam kencang menghadapi kenyataan yang terus meyiksa. Wanita itu ingin mengucapkan pembelaan dengan beribu-ribu kata agar Danial tidak lagi menganggapnya begitu rendah, tetapi rasa perih yang terselip menahan bibirnya untuk terbuka dan bersuara.
Kebisuan Ayu semakin membuat Danial kesal. Ia kesal pada Ayu yang seolah membenarkan semua ucapannya dan terutama kesal pada dirinya sendiri yang tidak bisa menahan diri untuk tidak menyakiti perasaan wanita yang masih menjadi ratu di hatinya itu.
Tubuh Ayu gemetar dan tulang-tulangnya menjadi lemas. Pembelaan seperti apa pun yang akan ia berikan pada Danial, pria itu akan tetap menyangkalnya. Ia selalu menuduh Ayu sebagai penyebab kehancurannya kini dan menganggap wanita itu sebagai pengkhianat. Ayu menunduk. Dahinya beradu dengan dada bidang Danial. Ayu terisak, sedikit mengerang.
"Bapak dan ibuku meninggal saat bencana itu melanda. Aku pun hampir kehilangan nyawaku saat itu. Saat itu aku sedang hamil anakmu, Danial. Anakmu!" Ayu memukulkan kepalan tangannya ke dada Danial. "Aku memang dibawa ke kota oleh juragan Hendra, tetapi dia tidak menjadikan aku istrinya. Si tua berengsek itu menjualku ke rumah bordil. Aku tidak mau jadi pelacur. Aku kabur dari rumah bordil itu. Aku—" Ayu menghentikan ucapannya. Wanita itu menghela napas menahan luapan emosi yang berkecamuk dan menguatkan diri untuk melanjutkan pembelaannya. "Aku hidup menggelandang selama beberapa hari di kota ini sampai Pak Joko dan Bi Dedeh menemukanku dan membawaku ke rumah ini. Aku tidak pernah menikah dengan juragan Hendra. Satu-satunya pria yang menikah denganku adalah papamu."
Danial mengelus tangan Ayu yang masih mengepal di dadanya lalu memeluk Ayu. Terlepas ia percaya atau tidak dengan semua cerita Ayu, Danial hanya tidak ingin melihat Ayu menangis seperti ini lagi. Tangisan dan semua ucapan Ayu sepertinya tulus tanpa kebohongan, namun Danial masih menahan dirinya untuk tidak begitu saja percaya sampai ia mendapatkan cukup bukti yang membenarkan ucapan Ayu.
Ayu merasakan tubuhnya mulai rileks terbungkus tangan kuat Danial. Temperatur udara di sekitarnya mulai menghangat. Danial membingkai wajah Ayu, menyapu air mata Ayu dengan ibu jarinya, dan merasakan kembali kelembutan kulit pipi Ayu yang terasa selembut sutra. Kilat matanya menembus mata berair Ayu lalu turun ke bibir Ayu yang merekah dan sedikit terbuka. Sengatan gairah itu datang tanpa diundang. Danial berusaha kuat untuk tidak terperangkap dalam gairah yang mulai membakar tapi tubuhnya bertindak sebaliknya. Persetan dengan semua pertahanan diri. Danial tidak sanggup lagi bertahan. Pria itu mengecup bibir Ayu lalu melumatnya dengan lembut.
Ayu mengutuki dirinya sendiri yang tanpa penolakan menerima semua sentuhan Danial. Tubuhnya merespon percikan hasrat yang disulut oleh pria itu. Ciuman penuh tuntutan Danial begitu menggodanya. Wanita ini kembali merasakan gairah yang telah padam selama hampir tujuh tahun.
=======
Bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
