Jebakan Masa Lalu (Bab 1-4) Free

20
11
Deskripsi

Warning content: Berisi konten dewasa, 21+

Blurb:

Hidup Kirana Pramadhana berubah drastis dari kesempurnaan menjadi serba kekurangan setelah kehilangan segalanya. Bersama sang mama, Kirana harus bertahan hidup di tengah segala keterbatasan. Menjadi kekasih anak seorang miliarder pun ternyata hanya menambah luka dalam hidupnya. Harga dirinya direnggut dan ia terjebak dalam pusaran ancaman yang membahayakan dirinya serta sang mama.

Di tengah keterpurukan, muncullah Gala Aryaka, pria yang paling dibenci...

1. Bertemu Masa Lalu

“Halo, Cantik!”

Sapaan itu membuat langkah Kirana terhenti. Dengan refleks, ia menoleh ke arah tangga. Suara itu terlalu dikenalnya, begitu pula senyum menggoda yang menyertainya. Di anak tangga, Arsenio tampak turun perlahan. Satu tangannya terkubur di saku celana dan tangan lainnya memegang susuran. Setelan jas abu-abu yang ia kenakan melekat sempurna, kontras dengan sikap santainya.

Kirana mendengus pelan dan berusaha tetap profesional. Namun, Arsenio sepertinya tak punya rencana membiarkan gadis itu lewat begitu saja.

“Butuh bantuan?” tanyanya sambil memiringkan kepala sedikit, senyumnya lebar.

“Tidak. Terima kasih,” jawab Kirana cepat. Ia memalingkan wajah, lalu mendorong troli berisi piring-piring canape dan botol wine ke arah ruang makan.

Namun, pria itu tiba-tiba sudah berada di samping Kirana. Ia berjalan dengan langkah santai yang terasa terlalu akrab. Lebih dari itu, tangan kirinya terulur dan ikut memegang handle troli tanpa permisi.

“Arsen, gue lagi kerja,” ujar Kirana tajam.

“Gue tahu. Gue lagi bantu cewek gue kerja.” Kalimat itu diiringi cengiran khas Arsenio yang langsung membuat kepala Kirana pening.

“Jangan bercanda, Sen,” balas Kirana sambil melirik tajam. “Kita lagi nggak di kampus dan gue jelas bukan cewek lo.”

Ucapan itu seharusnya cukup untuk membuat Arsenio mundur. Tapi tidak. Senyumannya justru melebar. Kirana menarik napas. Ia menahan diri untuk tidak menendang troli atau lebih buruk lagi, menendang Arsenio. Seandainya ia tahu pekerjaan sampingan ini akan mempertemukannya dengan putra keluarga pemilik rumah, ia pasti akan mencari pekerjaan lain, berapa pun bayarannya.

Namun, uang untuk membayar biaya kuliah dan kebutuhan harian tidak datang begitu saja. Tiga dari lima asisten rumah tangga keluarga Arsenio sedang mudik. Restoran tempat Kirana bekerja diminta menyediakan pelayan tambahan untuk acara makan malam ini. Tawaran itu terdengar seperti rejeki nomplok hingga Arsenio muncul.

Santi, teman sekampus mereka dan sekaligus rekan kerja Kirana, terlihat sedang menata beberapa piring di atas meja di ruang makan. Melihat Kirana muncul, gadis itu menyambutnya dengan senyum kecil. Namun, saat menyadari kehadiran Arsenio di belakang Kirana, senyumnya berubah menjadi seringai penuh arti.

“Bapak Arsenio Fajrial, sebaiknya Anda menunggu di ruang tamu. Kawasan ini khusus untuk para pekerja kasar seperti kami,” ucap Santi bercanda, tapi dengan tatapan menyindir.

“Ngomong apa sih, San?” Arsenio membalas sambil mendelik santai. Ia langsung meraih salah satu piring dari troli dan meletakkannya di meja makan tanpa meminta izin. “Tamu itu yang harus nunggu di ruang tamu. Gue kan bukan tamu.”

“Arsen, gue bilang, jangan ikut-ikutan,” kata Kirana, kali ini nadanya lebih tegas. “Biar gue aja yang menata semua ini.”

“Iya, Sen,” tambah Santi. “Nggak enak dilihat ART lo. Nanti mereka pikir kita ini cewek-cewek perayu anak juragan.”

Arsenio memutar mata, ekspresi wajahnya tampak seolah ia benar-benar tersinggung. “ART gue nggak bakal mikir yang aneh-aneh. Lagian, kenapa gue enggak boleh bantu orang yang gue kenal?”

“Karena bantuannya bikin ribet,” jawab Kirana cepat. Tapi, dalam hati, ia tahu Arsenio tidak benar-benar mendengarkan. Ia hanya menikmati momen ini, sama seperti biasanya.

Santi akhirnya menyelesaikan tatanan meja. “Akhirnya beres,” katanya sambil mengusap peluh yang tak ada di dahinya. “Tinggal menunggu tamu masuk.”

“Kalau begitu, gue balik ke dapur,” ujar Kirana sambil memutar troli kosong.

Tapi lagi-lagi, Arsenio dengan gesit melangkah mendahului, meraih handle troli lebih dulu. “Gue ikut.”

Kirana mengerutkan kening. “Ngapain sih ikut-ikut terus?”

“Pokoknya ikut,” jawab Arsenio dengan senyum manis yang membuat Kirana ingin mendorong troli itu ke arah lain, tanpa dia.

“Terserah lo,” jawab Kirana yang akhirnya menyerah.

Untungnya, seorang pria berbaju batik memasuki ruangan sebelum Arsenio sempat melangkah lebih jauh. Pria itu adalah petugas keamanan dan wajahnya yang serius cukup untuk menghentikan langkah Arsenio. Namun, ekspresi pria itu seketika berubah ramah ketika berhadapan dengan Arsenio. 

“Mas Arsenio, dimohon ke ruang tamu. Bapak menunggu Anda.”

Kirana tidak bisa menahan senyum kecil. Akhirnya, ada yang cukup berani menghentikan Arsenio meskipun hanya untuk sementara.

Kekecewaan terpampang jelas di wajah oriental Arsenio. Alisnya sedikit berkerut, dan sebuah desahan kesal lolos dari bibirnya. “Bilang sama Papa, saya sedang sibuk.”

“Kata Bapak, ini penting, Mas.”

Arsenio memutar mata sebelum berdecak. Dengan nada enggan, ia akhirnya menoleh pada Kirana. “Gue cabut dulu, ya.”

“Iya. Good luck!” Kirana melontarkan sindiran halus dengan senyum tipis di wajahnya.

Begitu Arsenio pergi, Kirana mengembuskan napas lega. Akhirnya ia bisa bebas dari gangguan pria itu, meski mungkin hanya untuk sementara waktu. Kirana segera mengeluarkan troli makanan dari ruang makan. Langkahnya sedikit tergesa-gesa. Meskipun roda belakang troli terasa agak tersendat, tapi Kirana tak peduli. Fokusnya hanya satu, sampai ke dapur secepat mungkin.

Ruang makan yang luas dengan mini bar di sampingnya membuat jarak ke dapur terasa jauh. Kirana terus mendorong troli dengan sedikit terburu-buru, tanpa benar-benar memperhatikan sekitar. Lalu tiba-tiba ….

Braaak!

Troli menabrak sesuatu. Atau seseorang.

“Ough!”Suara maskulin itu menggema dan membuat langkah Kirana terhenti mendadak. 

Kirana panik. Ia buru-buru mendongak untuk melihat siapa yang tertabrak trolinya. Dan saat tatapan mereka bertemu, tubuh Kirana seperti dihantam beban yang beratnya ratusan kilo.

Oh, tidak! Pria itu.

Selama beberapa detik yang terasa seperti seabad, mereka hanya saling menatap dalam diam. Wajah itu, meskipun tampak lebih dewasa, tidak berubah sedikit pun sejak delapan tahun lalu. Rahangnya masih tegas sempurna. Mata cokelat keemasan yang memancarkan sorot dingin serta angkuhnya masih sama. Tiba-tiba Kirana merasa waktu berhenti berputar dan pandangannya hanya terpatri kepada pria berjas hitam itu.

“Pak Gala, Bapak sudah ditunggu di ruang makan,” suara seorang pria berkemeja hitam memecah keheningan.

Pria yang ditabrak Kirana, Gala, mengangguk perlahan, tapi ia tidak langsung pergi. Pandangannya tetap terarah pada Kirana, seolah ingin memastikan sesuatu yang tidak diungkapkan dengan kata-kata. Lalu, tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan berjalan menjauh bersama pria yang memanggilnya.

Kirana berdiri terpaku, merasakan lagi udara di sekitarnya lenyap. Tangannya yang memegang handle troli bergetar, tapi cukup kuat untuk mencegahnya jatuh. Jantungnya berdetak kencang, rasa sakit dan kecewa mendadak menguasai tubuhnya.

Dia ada di sini. Di rumah ini.

Kirana segera mendorong troli ke dapur. Kepalanya tertunduk berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Tapi usaha itu sia-sia. Begitu sampai di dapur, butiran air mata itu akhirnya tumpah dan mengalir di pipinya tanpa bisa ia tahan lagi.

“Kok mukanya ditekuk begitu, Na?” suara Yan, staf katering dari restoran tempat Kirana bekerja, menyadarkannya.

Kirana buru-buru menyeka pipinya dan memaksakan senyum. “Nggak apa-apa, Mas. Cuma kesel sama roda troli. Tadi salah ambil, jadi macet terus.”

Yan tertawa kecil. “Oh, kirain kenapa. Sudah beres semua?”

“Sudah. Tinggal tunggu tamunya makan, Mas,” jawab Kirana sambil meletakkan troli ke sudut ruangan agar tidak menghalangi jalan. Setelah itu, ia menoleh pada Yan. “Ngomong-ngomong, boleh nggak Rana istirahat sebentar? Pengen menghirup udara luar.”

Yan mengangguk. “Boleh, tapi jangan jauh-jauh, ya. Takut Santi butuh bantuan.”

“Iya, Mas. Cuma mau duduk di bangku taman.”

Kirana meninggalkan dapur dan keluar melalui pintu yang terhubung ke taman belakang. Langkahnya pelan saat ia menuju bangku taman di bawah cahaya lampu taman. Bunga-bunga yang bermekaran seharusnya mampu memberinya rasa tenang, tapi pikirannya kembali terlempar ke pertemuannya dengan Gala.

Rasa sakit itu kembali datang, menyengat setiap sudut hatinya. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, tapi rasa sesak itu tak kunjung hilang. Kirana menggenggam erat ujung bangku taman, berusaha keras menenangkan diri.

 

2. Betapa Ironis

Kenapa dia harus ada di sini? Kenapa sekarang?

Kirana memejamkan mata, berharap rasa kacau di dadanya segera mereda. Tapi semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas bayangan wajah angkuh itu terpatri di pikirannya.

"Woiii!"
Tepukan di bahu Kirana membuatnya tersentak dari lamunannya. Kirana menoleh, mendapati Arsenio berdiri di belakang bangku dengan senyuman lebar yang membuat Kirana kesal. Tanpa menunggu persetujuan, Arsenio mengitari bangku dan duduk di samping Kirana.

"Sedang apa di sini?" tanya Arsenio sambil bersandar santai seakan-akan taman itu adalah wilayah kekuasaannya.

"Elo yang ngapain datang ke sini? Bukannya seharusnya lo ada di dalam, ngobrol sama tamu-tamu dan keluarga lo?"

Arsenio mengangkat bahu, sikapnya cuek. "Males, ah. Obrolan mereka nggak nyambung sama gue. Terlalu retro. Orang-orang tua yang ngomongin bisnis masa lalu."

Kirana memutar mata, tapi hatinya tak bisa sepenuhnya menyangkal tawa kecil. Arsenio memang selalu tahu bagaimana membuat suasana terasa lebih ringan, sesuatu yang sangat ia butuhkan saat ini. Namun, satu pertanyaan muncul dan mengusik rasa ingin tahunya.

"Ngomong-ngomong," Kirana memulai dengan hati-hati. "Boleh nggak kalau gue kepo sedikit?"

Arsenio menggerakkan alisnya ke atas beberapa kali dengan gaya menggoda. "Kalau ngepo-in gue sih boleh banget."

Kirana mendengus. "Elo pede banget, nggak penting juga ngepo-in elo. Tapi gue mau nanya sesuatu."

"Apa? Gue siap jawab," sahut Arsenio dengan nada menantang, sambil merentangkan satu tangan ke sandaran bangku di belakang Kirana.

"Acara makan malam ini sebenarnya untuk apa sih?"

Arsenio menghela napas, matanya memandang lurus ke depan sebelum akhirnya menjawab. "Rencananya Papa mau membahas pernikahan Mbak Lula sama Mas Gala dengan Om Hariz."

Nama itu menghantam Kirana seperti pukulan. Om Hariz. Dada Kirana terasa sesak lagi, tapi ia mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Bibirnya mengulas senyum tenang yang hampir terlalu sempurna. "Terus?" tanyanya mencoba terlihat biasa saja.

"Kayaknya nggak jadi. Mas Gala bilang dia punya urusan penting yang harus diselesaikan. Mendadak aja keputusannya berubah. Padahal, sebelumnya dia yakin banget mau nikah sama Mbak Lula dalam waktu dekat," jelas Arsenio. Ia lalu menyandarkan tubuhnya lebih santai. "Maklumlah, pengusaha sukses kayak dia kadang lebih mementingkan kerjaan daripada kehidupan pribadi."

Pengusaha sukses. Galaxy Aryaka. Pria itu rupanya tunangan kakak Arsenio. Kirana merasakan dadanya semakin berat. Pikirannya melayang ke berbagai spekulasi. Wanita mana yang tidak ingin bersanding dengan pria seperti Gala—tampan, cerdas, dan sangat berprestasi? Tapi pikiran itu segera ditenggelamkan oleh rasa sakit yang menancap di hatinya.

"Hei, kok ngelamun lagi?" Arsenio menjentikkan jarinya di depan wajah Kirana, membuyarkan lamunannya.

"Siapa yang ngelamun?" balas Kirana sambi berusaha menghindari sorot mata tajam Arsenio.

Tiba-tiba, suara lantang terdengar dari arah rumah. "Mas Arsen! Mas Arsen di mana?" Teriakan itu berasal dari satpam, membuat Arsenio mendesah panjang.

"Tuh, kan. Elo dicari lagi. Cepetan balik ke sana!" Kirana menoleh ke arahnya, kali ini dengan senyum puas.

Arsenio menyugar rambut hitamnya, jelas kesal. "Ya ampun! Baru keluar sebentar, udah dicari lagi."

Satpam akhirnya menemukan mereka, berlari kecil ke arah Arsenio sambil terengah-engah. "Mas, Bapak minta Mas segera kembali."

"Iya, iya," jawab Arsenio dengan nada geram. Ia bangkit berdiri, lalu menoleh ke Kirana. "Gue balik dulu, ya."

Kirana mengangguk singkat. "Iya."

Namun, beberapa menit setelah Arsenio pergi, seorang lagi mendatangi Kirana. Bukan Arsenio kali ini. Langkahnya tenang, tapi penuh dominasi. Ketika Kirana menoleh, ia terkejut hingga jantungnya terasa berhenti berdetak.

"Mas Gala."

Gala berdiri tegap di depannya, tinggi dan penuh wibawa. Sorot matanya menyiratkan intensi yang lebih pribadi. Aura dominasi yang terpancar dari dalam dirinya membuat Kirana menegang dan segera berdiri.

"Kirana, kita perlu bicara," katanya dengan nada dalam dan tegas.

"Tidak." Kirana langsung menggeleng. Ia mencoba melangkah pergi, tapi Gala dengan cepat meraih tangannya dan menahan.

"Apa lagi?!" Tatapan Kirana penuh amarah. "Apa Mas belum puas mengambil semuanya dariku dan Mas Altair? Kematian Papa dan Mas Altair belum cukup? Aku tidak mau bicara, sekarang atau kapan pun!"

Gala tetap tak melepaskannya. Suaranya tenang tapi sarat tekanan. "Aku tidak datang untuk meminta maaf, Kirana. Aku hanya ingin memenuhi janji pada Altair."

Kirana memandangnya dengan curiga. "Janji apa?"

Gala menatap lurus ke matanya. "Menjadikanmu istriku."

Kata-kata Gala menggema dalam pikiran Kirana dan langsung menyesakkan dadanya.

"Sinting! Janji macam apa itu? Nggak masuk akal. Aku nggak sudi menikah dengan pria yang sudah merenggut semua kebahagiaanku," tegas Kirana dengan bergetar penuh amarah.

Namun, respons Gala justru membuat darah Kirana mendidih. Sebelah sudut bibir pria itu terangkat, membentuk senyum tipis yang sarat dengan nada cemooh. "Kamu terlalu naif, Na," katanya dingin.

Naif? Kirana mengerutkan alisnya. Menolak pria yang telah menghancurkan keluarganya disebut naif? Di mana letak logikanya? Ia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Gala, pria yang menjadi alasan keluarganya hancur, bisa mengatakan hal seperti itu? Lagi pula, mereka baru saja bertemu kembali setelah delapan tahun. Gala yang kini menjadi pria dewasa, mapan, dan sukses, datang ke rumah keluarga Fajrial sebagai kekasih sekaligus calon suami anak sulung keluarga itu. Dan sekarang, Gala meminta Kirana menjadi istrinya? Betapa ironis.

Suara seorang wanita tiba-tiba memanggil dari kejauhan, memecah ketegangan di antara mereka. "Galaxy!"

Kirana segera menoleh, mengarahkan pandangannya ke ujung jalan setapak berbatu kerikil yang membelah taman. Seorang wanita bergaun merah model off-shoulder tengah melambaikan tangan ke arah mereka. Meski wajahnya tidak terlihat jelas, Kirana tahu siapa wanita itu. Hanya satu orang yang memanggil Gala dengan nada sedekat itu, Lula, kakak Arsenio.

Melihat kehadiran Lula, Kirana buru-buru menepis tangan Gala yang masih mencengkram pergelangan tangannya. Gala tidak melawan, hanya melirik Lula sekilas dengan ekspresi setengah enggan sebelum kembali menatap Kirana. Pandangan Gala terasa seperti beban yang memintanya untuk tetap diam.

Namun, Lula tidak menunggu lebih lama. Dengan langkah tegas, ia menghampiri mereka. Mata tajamnya menyapu keduanya seperti sedang menginterogasi. "Kamu sedang apa di sini? Kami semua mencarimu," tegurnya pada Gala, tapi tatapannya sekilas juga mengarah pada Kirana.

Kirana merasa canggung. Ia mundur selangkah mencoba membuat jarak. Otaknya sibuk mencari alasan mengapa Gala ada di sini bersamanya. Tetapi sebelum ia menemukan jawaban, Arsenio muncul dari arah yang berlawanan dan menyelamatkan suasana.

"Mas Gala mencariku, ya?" Arsenio bertanya dengan santai sambil menghampiri mereka. Ia berdiri di samping Kirana, lalu memasang senyum percaya diri. "Om Hariz tadi bilang, Mas Gala keluar mencariku."

Gala mengangguk kecil. Memang, itu alasan yang diberikan Gala pada pamannya sebelum keluar. Namun, tujuan utamanya keluar tadi adalah untuk menemui Kirana, meski sekarang rencananya berantakan.

"Ada apa, Mas? Mau curhat soal Mbak Lula, ya?" seloroh Arsenio sambil melirik kakaknya yang berdiri di samping Gala.

"Nggak," jawab Gala singkat. "Mau ngomongin kerjaan, tapi nanti saja."

Lula yang sejak tadi diam akhirnya membuka suara. Dengan nada lembut, ia bertanya, "Kerjaan apa sih, Sayang?" Wanita itu mengaitkan tangannya ke lengan Gala dengan gerakan manja dan menatapnya dengan penuh keintiman.

"Aku bilang nanti saja," jawab Gala. Kali ini nada suaranya sedikit tegas.

Sementara itu, Arsenio mencondongkan tubuhnya ke arah Kirana dan berbisik pelan, "Pulangnya nanti gue antar, ya."

Kirana menoleh, ragu sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. Ia tahu, ia tak punya pilihan lain.

"Ehm." Dehaman pura-pura Lula menginterupsi percakapan mereka. Tatapannya yang tajam kini sepenuhnya tertuju pada Kirana dan Arsenio. Namun, Arsenio hanya cengengesan sambil menggaruk tengkuknya.

"Kenalin, dong!" pinta Lula dengan nada yang sedikit bercanda.

Arsenio menyikut pelan lengan Kirana, lalu berkata, "Na, kenalin. Ini kakak gue, Mbak Lula."

Kirana yang merasa tangannya mulai berkeringat dingin, buru-buru menggosokkannya ke rok sebelum bersalaman. "Sa-saya Kirana. Teman sekampus Arsen."

"Lula," jawab Lula singkat, lalu dengan nada menggoda, ia menambahkan, "Teman apa teman, nih?"

"Te-teman, Mbak," jawab Kirana gugup.

"OTW cewek gue, Mbak," sambung Arsenio dengan nada bercanda dan langsung membuat Kirana melotot kesal ke arahnya.

Lula tertawa kecil sebelum menatap Gala. "Kenalin juga cowoknya Mbak Lula. Mas Gala."

Kirana ingin menolak. Ia tidak ingin berjabat tangan dengan pria itu lagi. Tapi ia tahu, jika ia menolak, itu hanya akan memunculkan kecurigaan. Dengan enggan, ia mengulurkan tangan.

Ketika tangan Gala menyentuhnya, gelombang kenangan dari delapan tahun lalu menyerbu pikirannya. Ia teringat saat-saat ia, Gala, dan almarhum Altair tumbuh bersama. Gala seperti kakak baginya. Dulu. Tapi kini, semua itu tinggal kenangan pahit. Kekuasaan dan keserakahan telah menghancurkan segalanya.

"K-Kirana," ucapnya dengan suara tertahan di tenggorokan.

Gala tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Kirana dengan sorot mata tajam yang sulit diartikan, sebelum perlahan melepaskan jabat tangan mereka.

"Aku masuk dulu," katanya pada Arsenio sambil menggandeng Lula pergi. Namun sebelum pergi, Gala kembali menatap Kirana. Tatapan itu, meski singkat, seakan berkata, “Kita belum selesai.”

 

3. Kejutan Gala

Arsenio menepati janjinya untuk mengantar Kirana pulang malam itu. Pria dengan senyum hangat itu merasa senang setiap kali ada kesempatan untuk lebih dekat dengannya. Namun, bagi Kirana, semua ini hanya menegaskan satu hal, ia tidak pantas berada di lingkaran kehidupan Arsenio. Perbedaan kelas sosial di antara mereka terasa seperti jurang yang mustahil dijembatani.

Setelah mengikuti petunjuk Kirana, mobil Arsenio berbelok ke sebuah gang sempit di pemukiman padat penduduk. Jalannya sedikit bergelombang dan membuat mobil mewah itu terasa aneh di tengah pemandangan rumah-rumah yang berdempetan. Akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah warteg yang sudah tutup.

Arsenio mencondongkan tubuhnya ke depan, wajahnya sengaja dimiringkan sampai pipinya hampir menyentuh setir. Matanya memandang lekat ke luar jendela di sisi Kirana.

“Yang mana rumah lo?” tanyanya, nada suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.

Tanpa canggung, Kirana menunjuk ke rumah kontrakan bercat kuning yang berada persis di samping warteg. “Gue sama Mama tinggal di rumah petak itu. Makasih, ya, udah nganterin gue pulang.”

Arsenio mengangguk pelan. Pikirannya bergulir. Sekarang ia mengerti mengapa Kirana kerap menjauh darinya, menghindari semua perhatian yang coba ia berikan. Mungkin karena ini. Namun, bagi Arsenio, itu bukan masalah.

“Na,” panggil Arsenio, menghentikan tangan Kirana yang hendak membuka pintu mobil.

Kirana menoleh. “Apa?”

Bibir Arsenio melengkung membentuk senyuman kecil. “Besok gue jemput, ya.”

Kirana menggeleng cepat. “Jangan. Nggak usah, Sen. Tapi terima kasih, ya.”

Arsenio menatapnya sebentar sebelum mengangguk. “Sama-sama.”

Setelah melepas kepergian Arsenio, Kirana melangkah menuju rumahnya. Beberapa tetangga yang masih terjaga menyapanya dengan ramah. Ia membalas senyum mereka, meski lelah terasa menggerogoti tubuhnya. Sesampainya di depan pintu, ia mendapati pintu itu tidak terkunci, pertanda bahwa mamanya belum tidur. Padahal, waktu hampir menunjukkan pukul sebelas malam.

“Assalamualaikum,” ucap Kirana sambil menutup pintu.

“Waalaikumsalam,” sahut Rosi, mamanya Kirana, dari ruang depan.

Kirana melangkah masuk. Di atas karpet plastik yang sudah mulai usang, Rosi duduk dengan kaki lurus sambil memijat betisnya. Wajahnya yang tampak muram dihiasi garis-garis lelah yang semakin jelas.

“Mama kok belum tidur?” Kirana bertanya sambil mendekat dan membungkuk untuk menyalami tangan ibunya.

“Kaki Mama sakit lagi, Na,” jawab Rosi sambil tersenyum tipis. “Tadi sore Mama minta upah cuci gosok ke Bu Ami, tapi katanya besok aja. Dia belum ambil uang dari ATM. Jadi Mama belum bisa beli obat.”

Kirana meletakkan tas di atas meja satu-satunya di ruangan itu sebelum duduk di samping ibunya. Ia menghadap ke arah Rosi, sorot matanya dipenuhi kekhawatiran. “Rana kan sudah bilang, Ma, Mama nggak usah ambil cucian dan gosok baju lagi. Biar Rana aja yang cari uang untuk kita.”

Rosi menggeleng pelan, tangannya mengusap lembut rambut Kirana yang tergerai di samping wajah. “Kamu kan harus kuliah, Na. Mama nggak bisa ngebiarin kamu banting tulang sendirian. Apalagi, beasiswa kamu itu menuntut kamu punya indeks prestasi tinggi. Jangan sampai kamu kehilangan kesempatan ini. Mama cuma punya kamu. Mama mau kamu jadi orang yang dihormati dan nggak direndahkan.”

Kirana menghela napas panjang, menahan keinginannya untuk membantah. “Iya, Ma. Tapi Mama juga jangan lupa kesehatan Mama. Rana cuma punya Mama.” Ia menggenggam kaki ibunya dengan lembut dan mulai memijat betis yang sejak tadi dipijat Rosi sendiri. “Rana pijitin, ya.”

“Rana, kamu udah capek. Baru pulang kerja, langsung ngurus Mama lagi,” kata Rosi dengan nada lembut.

“Nggak apa-apa, Ma. Biar Rana pijitin Mama dulu, baru Rana tidur.”

“Gimana kerjaan kamu tadi?” tanya Rosi, mencoba mengalihkan perhatian.

Kirana terdiam sejenak. Bayangan Gala kembali terlintas di benaknya dan membuat napasnya terasa sesak. Namun, ia memaksa diri untuk tersenyum. Mamanya tidak boleh tahu apa yang terjadi. “Baik, Ma. Sama aja seperti biasa.”

Rosi mengangguk kecil. “Ya sudah, istirahat dulu sana. Besok kamu kuliah pagi, ‘kan?”

“Iya, Ma,” jawab Kirana sebelum masuk ke kamar tanpa pintu untuk berganti pakaian.

Kamar itu seperti ruangan lainnya di rumah kontrakan tersebut, kecil dan sederhana. Hanya ada kasur tipis berukuran 120x200 cm yang digelar di atas lantai beralaskan karpet. Dinding kamar yang mulai mengelupas dan lemari plastik di sudut ruangan menjadi saksi perjalanan pahit mereka sejak lima tahun lalu, ketika mereka harus pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain karena kesulitan membayar sewa.

Kirana berbaring di kasurnya, tubuhnya terasa lelah. Namun, lebih dari kelelahan fisik. Ia merasa hatinya penuh dengan luka yang belum sembuh. Gala. Nama itu terus berputar di pikirannya. Ingatan tentang bagaimana ia, Gala, dan almarhum Altair tumbuh bersama, tentang apa yang telah terjadi hingga ia harus hidup seperti ini.

Kirana menatap langit-langit yang kusam, menggigit bibir bawahnya untuk menahan air mata. Ia tidak akan pernah mengeluh tentang rasa lelah atau kemiskinan. Tapi ia juga tidak akan pernah memaafkan orang yang menyebabkan semua ini.

 

***

Keesokan paginya di kampus

Dering ponsel menghentikan langkah Kirana yang tengah menuju kelas. Ia segera merogoh tote bag hitam yang menggantung di pundaknya untuk mengeluarkan ponsel. Tanpa berhenti, ia menerima panggilan itu sambil melanjutkan langkahnya.

“Iya, Bu Mel. Saya pulang sekitar jam tiga. Nanti saya langsung ke resto,” katanya singkat sebelum menutup panggilan.

Dari ujung koridor, Arsenio memperhatikan Kirana yang berjalan cepat ke arah kelas mereka. Tanpa membuang waktu, ia berlari kecil mengejarnya. Begitu berhasil menyusul, pria itu dengan santai menyampirkan lengannya ke pundak Kirana.

“Halo, Beb!” serunya ceria.

Kirana menepis tangannya. “Beb, beb, bebek maksud lo?” Dengan nada kesal, ia menurunkan tangan Arsenio dari pundaknya. “Sen, jangan begini, ah.”

Arsenio memasang tampang tidak bersalah. “Terus, elo maunya gue gimana?”

“Ya, jangan begini. Kita di kampus, Sen. Nggak enak dilihat orang,” jawab Kirana sambil melirik sekeliling.

“Oke, sorry,” ujar Arsenio sambil melangkah mendahului, tapi kemudian berbalik menghadap Kirana, lalu berjalan mundur sambil tetap mengimbangi langkah Kirana. Wajahnya tampak penuh semangat. “Nanti sore kita nonton, yuk! Ada film Marvel baru.”

Kirana menarik napas dalam-dalam. “Gue kerja, Sen. Gue harus nganter pesanan dari restoran Bu Mel.”

“Gue antar, ya?” tawar Arsenio.

“Nggak usah. Di resto ada motor kok.”

Arsenio mengangkat bahu mengisyaratkan menyerah. “Oke, deh. Kalau gitu besok kita nonton. Tidak ada protes!”

“Gue usahain, ya,” jawab Kirana pelan.

“Harus,” ujar Arsenio sambil tersenyum penuh keyakinan.

 

***

Sore harinya di restoran

Begitu jam kuliah selesai, Kirana segera menuju restoran tempatnya bekerja. Restoran mewah bernuansa pulau dewata itu sedang ramai pengunjung, seperti biasanya. Kirana masuk melalui pintu samping khusus karyawan dan langsung menuju dapur.

“Nah, ojol spesial kita sudah datang,” sapa Melvi, pemilik restoran, sambil tersenyum lebar.

“Tumben telat, Na,” seloroh salah satu pelayan yang sedang menata minuman di atas baki.

“Iya, Mbak. Jalanan macet,” jawab Kirana dengan sopan. Ia kemudian menatap Melvi sembari menunduk sedikit. “Maaf ya, Bu Mel.”

“Nggak apa-apa,” balas Melvi sambil menyerahkan sebuah kotak makanan berukuran sedang. “Ini pesanannya. Hati-hati, ya. Jangan sampai rusak. Ini pesanan orang penting.”

“Iya, siap, Bu,” jawab Kirana sambil membaca alamat yang tertera di atas kotak. “Di Sun And Star, ya, Bu?”

Melvi mengangguk. “Betul.”

Restoran ini memang melayani pengiriman makanan eksklusif menggunakan kurir mereka sendiri. Pesanan seperti ini biasanya untuk konsumen tertentu yang menginginkan layanan lebih personal. Kirana tahu betul, tugas sore ini cukup penting.

Dengan motor matic milik restoran, Kirana melaju menembus jalanan sore Jakarta. Udara panas dan lalu lintas yang padat membuat perjalanannya terasa lebih panjang, tetapi akhirnya ia tiba di gedung apartemen mewah itu.

Di lobi, seorang satpam berseragam hitam menyambutnya sebelum ia sempat bicara.

“Dari AB Resto?” tanya satpam itu.

Kirana mengernyit, bingung bagaimana ia bisa tahu. Tapi ia segera menyadari jaket putih yang ia kenakan, dengan logo restoran di dada, mungkin cukup memberikan petunjuk.

“Iya, Pak,” jawabnya singkat.

“Mari, ikut saya,” ujar satpam itu sambil mengarahkan Kirana ke lift.

Setelah menempelkan kartu akses ke alat sensor, satpam itu keluar, meninggalkan Kirana sendirian di lift yang mulai bergerak naik. Kirana menatap angka di layar lift yang naik hingga berhenti di lantai delapan. Saat pintu terbuka, ia menyadari bahwa lift ini adalah private lift, tak ada ruangan lain selain foyer kecil dengan desain yang sangat mewah.

Dinding pastel, meja konsol, dan cermin besar di setiap sisi membuat ruangan itu terlihat seperti studio foto atau ruang ganti eksklusif. Kirana merasa seperti orang luar yang tersasar di tempat yang salah.

Ia menemukan pintu di ujung foyer dan menekan bel dengan hati-hati. Beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka, dan sosok yang berdiri di depannya membuat jantung Kirana nyaris melompat keluar.

“Mas Gala?”

 

4. Tawaran Atau Paksaan?

Kirana masih terpaku. Napasnya tercekat melihat Gala berdiri di depannya. Pria itu membuka pintu lebih lebar, memperlihatkan tubuh atletisnya yang terbalut kaus polo hitam dan celana jeans biru. Penampilan Gala masih terlihat memukau, sama seperti dulu. Tapi Kirana buru-buru mengusir pikiran itu. Kekaguman masa remajanya terhadap Gala sudah lama terkubur, bersama kenyataan pahit tentang betapa piciknya pria dengan wajah bak jelmaan dewa itu.

“Silakan masuk.” Suara Gala membuyarkan lamunan Kirana.

“Tidak,” tolak Kirana cepat. “Aku hanya mengantarkan pesanan Mas.”

“Masuk.” Kali ini suara Gala terdengar lebih tegas bagai perintah yang tak terbantah.

Kirana melangkah mundur, mencoba mencari alasan untuk menghindar. Namun, sebelum sempat berkata apa-apa, Gala bergerak dengan cepat. Ia mencengkeram tangan Kirana dan menariknya masuk. Tarikan itu membuat tubuh Kirana kehilangan keseimbangan dan kotak makanan di tangannya terlepas, jatuh ke lantai.

“Ya, ampun!” Kirana memekik panik. Matanya tertuju pada kotak yang kini terbuka dan  isinya berantakan di lantai foyer yang bersih.

“Sudahlah, biarkan saja,” kata Gala tanpa sedikit pun rasa peduli. Ia kembali menarik tangan Kirana, lalu membawanya ke ruang tamu.

Gala mendorong pundak Kirana hingga gadis itu jatuh terduduk di sofa.

“Duduk!” perintah Gala tajam.

Kirana segera berusaha bangkit, tetapi sekali lagi Gala mendorongnya ke sofa. Kali ini lebih keras. Punggung Kirana membentur sandaran sofa dengan kasar.

“Kalau kamu tidak mau duduk, aku akan mengikatmu di kursi,” ancam Gala dengan nada serius.

Kirana menatap Gala dengan marah. “Aku bukan adik kecil penurut lagi,” balasnya. “Ingat, Mas. Aku bukan adikmu dan aku bukan siapa-siapamu. Mas tidak berhak mengaturku!”

Rahang Gala mengeras, matanya menyipit, tetapi tidak ada kemarahan yang keluar dari bibirnya. Hanya sebuah pengakuan dingin. “Aku pun tidak pernah berharap kamu menjadi adikku. Tidak sama sekali.” Tatapannya menggelap. “Aku hanya ingin bicara denganmu.”

Kirana merasakan hawa dingin menyelimuti ruangan itu, tapi ia tahu suhu itu bukan berasal dari pendingin ruangan. Ini adalah aura Gala yang dingin, menekan, dan penuh dominasi. Tubuh Kirana menggigil sementara matanya terasa panas, seakan terbakar oleh jilatan api sakit hati yang ia pendam selama bertahun-tahun. Kabut bening memenuhi pandangannya, tetapi ia menolak menangis.

“Mau bicara apa?” tanyanya dengan suara gemetar. Sebisanya, Kirana berusaha mempertahankan kendali atas dirinya sendiri

Gala mengambil tempat duduk di seberang Kirana dan berhadapan dengannya. Tubuhnya terlihat santai, tapi sorot matanya tajam. “Aku mau kamu bekerja di perusahaanku.”

Kirana terperangah. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh. “Itu perusahaan papaku.”

Gala menghela napas panjang, rahangnya kembali menegang. Umpatan kecil keluar dari bibirnya. “Goddamnit.” Ia memejamkan mata sesaat berusaha mengendalikan emosinya.

“Terserah kamu mau bilang apa,” lanjutnya dengan nada yang lebih datar, hampir dingin. “Aku tahu kamu dan Mama hidup serba kekurangan.”

“Mas yang membuat kami seperti itu!” sambar Kirana cepat.

“Kalian sendiri yang membuat pilihan itu,” balas Gala. Tatapannya tidak goyah ketika melihat Kirana.

Kirana menatapnya dengan amarah yang tampak membakar di matanya. “Apa aku dan Mama punya pilihan saat pengacara Mas dan orang-orang Mas mengusir kami dari rumah kami sendiri? Apa kami diberi sedikit saja bagian dari perusahaan yang Papa kelola selama belasan tahun? Tidak, ‘kan?!”

Tangis Kirana akhirnya pecah oleh rasa sakit dan keputusasaan. “Mas juga memanfaatkan kematian Mas Altair. Kalau Mas Altair masih hidup, dia pasti bisa menghentikan niat buruk Mas!”

Gala terdiam. Ia hanya menatap Kirana yang menangis dengan ekspresi tak terbaca. Namun, mata cokelat keemasannya menunjukkan perasaan yang kompleks: penyesalan,  kemarahan, dan  perasaan lain yang ia sendiri sulit mengartikannya.

Gala akhirnya bersandar ke sofa, lalu menarik napas panjang yang terdengar berat. “Kirana,” katanya, suaranya kali ini lebih pelan, hampir seperti bisikan. “Aku tidak pernah ingin semua ini terjadi. Tapi hidup tidak selalu memberi kita apa yang kita inginkan.”

Kirana menggeleng keras, matanya yang basah menatap Gala dengan tajam. “Tidak, Mas. Hidup tidak memberi kita pilihan karena Mas yang mengambil semuanya. Semua hakku. Semua hak Mama. Semua hak Mas Altair!”

Gala hanya diam. Tangannya terkepal di atas pahanya yang terbalut celana jeans sementara rahangnya menegang seperti menahan sesuatu yang sulit dikatakan. Ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan, tetapi ia tahu, apa pun yang ia katakan tidak akan mengubah apa yang telah terjadi.

Dan di sana, di tengah ruangan yang dingin itu, dua orang yang pernah dekat seperti keluarga kini terjebak dalam jurang yang lebar, penuh dendam, dan luka yang belum tersembuhkan.

Gala menatap Kirana dengan wajah dingin, tapi pikirannya penuh gejolak. Ia tahu tidak ada gunanya membela diri sekarang. Namun, ia juga tidak akan membiarkan Kirana terus-menerus menolak tawarannya. Janjinya pada Altair, sahabat yang sudah ia anggap  saudara, tidak akan ia khianati. Delapan tahun ia mencari keberadaan Kirana dan ibunya, dan sekarang setelah akhirnya bertemu, Gala tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Altair adalah sahabatku. Dia sudah seperti saudaraku sendiri. Aku tidak akan pernah memanfaatkan dia, apalagi kematiannya," ucap Gala dengan nada berat. "Kalau kamu menolak bekerja di perusahaanku, aku tidak punya pilihan selain mempercepat pernikahan kita."

Mata Kirana membulat seketika. Pandangannya yang tajam dan basah oleh air mata mengarah langsung ke Gala. Ia bangkit dari sofa dengan gerakan penuh emosi.

"Duduk!" Perintah Gala meluncur tajam, kali ini lebih kasar.

"Aku tidak mau. Aku mau pulang."

Tanpa memedulikan Gala, Kirana melangkah meninggalkan ruang tamu. Namun, langkahnya terhenti begitu sampai di depan pintu. Ia seharusnya tahu, Gala tidak akan membiarkannya pergi dengan mudah sebelum mendapatkan jawaban yang diinginkannya.

"Aku hanya berniat baik," suara Gala terdengar lebih dekat sekarang.

Tanpa menoleh, Kirana tetap memandangi pintu di depannya. Ia tahu Gala pasti sudah berdiri tepat di belakang. Tubuh KIrana mendadak menegang, tapi ia tetap mencoba bersikap tegas. "Aku tidak membutuhkan niat baik Mas. Ide gila dari mana Mas mendapatkan gagasan untuk menikah denganku? Mas punya kekasih. Apa Mas tega mengecewakannya?"

Gala menyahut tanpa ragu. Nada suaranya rendah tapi penuh ketegasan. "Tidak ada seorang pun yang bisa mengubah keputusanku. Tidak juga kakak pacarmu itu."

Pernyataan itu membuat Kirana tertegun. Ia tidak terkejut Gala memiliki asumsi salah tentang hubungannya dengan Arsenio, tetapi itu bukan fokusnya sekarang. Ia harus segera keluar dari tempat mewah tersebut. "Buka pintunya, Mas. Tolong."

"Aku tidak akan membuka pintu sebelum kamu memberi keputusan," jawab Gala tegas.

"Keputusanku sudah jelas. Aku tidak tertarik menerima tawaran Mas. Apa pun itu."

"Kalau begitu, kamu akan tetap di sini sampai kamu memberi keputusan."

Kirana berbalik dengan kemarahan yang berkobar di matanya. "Mas pikir Mas itu siapa? Buka pintunya atau ...." Ia menggantung ucapannya lantaran menyadari bahwa ia tidak memiliki ancaman yang cukup kuat untuk menghadapi Gala.

"Atau apa?" Gala mengangkat sebelah alisnya, menantang Kirana. Ia melangkah lebih dekat hingga jarak mereka hanya sekitar dua puluh sentimeter. Suasana mendadak mencekam, canggung tapi sarat ketegangan. "Bekerja untukku di perusahaanku atau menjadi istriku?"

Ketegangan itu akhirnya terurai ketika bunyi bel memenuhi ruangan. Kirana segera menyeka air matanya dengan lengan jaket dan bergeser, berdiri merapat di dinding di samping pintu.

Air muka Gala berubah, kini lebih tenang. Ia melirik Kirana sejenak sebelum membuka pintu.

"Halo, Say ...." Salam Lula terputus begitu matanya menangkap sosok Kirana yang berdiri di samping pintu. Ia menatap Kirana penuh selidik. "Kirana?"

Kirana mengangguk, mencoba menjaga wajahnya tetap netral meski tubuhnya masih bergetar.

"Sedang apa kamu di sini?" selidik Lula.

Beruntung, Kirana berpikir cepat. Ia melirik ke arah dus makanan yang berserakan di lantai. "Mengirim pesanan Pak Gala, tapi pesanannya jatuh, Mbak."

Alis Lula terangkat, membentuk lengkung sempurna. "Kok bisa sih?"

"Saya yang kurang hati-hati, Mbak," jawab Kirana, suaranya nyaris berbisik.

"Lain kali hati-hati kalau membawa pesanan, ya."

"Iya, Mbak," ucap Kirana dengan anggukan. Ia kemudian berjongkok untuk memunguti dus dan sisa makanan yang tercecer di lantai.

"Kamu sebaiknya menunggu di dalam," ujar Gala pada Lula, mengarahkan wanita itu ke ruang tamu.

"Oke." Lula berjalan pergi, meninggalkan mereka berdua.

Setelah memastikan Lula sudah cukup jauh, Gala kembali menatap Kirana. Suaranya kembali dingin, penuh tekanan. "Kutunggu keputusanmu besok."

Kirana mendongak. Tatapannya penuh perlawanan. Ia tidak berkata apa-apa, tapi sikapnya jelas menunjukkan penolakan.

"Tinggalkan itu di sana," ujar Gala, merujuk pada sisa makanan yang berantakan.

Kirana berdiri, menyeka tangannya yang kotor di jaketnya. Tanpa berkata apa-apa, ia segera melangkah keluar dari ruangan itu.

Thanks to Lula, pikirnya. Setidaknya kedatangan wanita itu memberinya celah untuk keluar dari cengkeraman Gala. Tapi ia tahu ini belum selesai. Jauh dari selesai.

======

Alice Gio

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Jebakan Masa Lalu (Bab 5&6)
13
2
Cuplikan:“Mas pikir Mas itu siapa? Buka pintunya atau ....” Ah, sial. Kirana tidak punya sesuatu untuk mengancam balik Gala.“Atau apa?” Gala mengangkat sebelah alisnya seraya menantang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan