Mentari (tak) Ingkar Janji: Bab 4-6

5
0
Deskripsi

Peringatan! Cerita ini mengandung konten dewasa (21+). Masih gratis, ya. 

Cuplikan:

Usaha Mentari menyulut kemarahan Rakhan semakin besar. Tidak hanya kemarahan, tekad Rakhan untuk segera mengakhiri pernikahan mereka pun semakin meronta. Satu-satunya jalan untuk menghentikan pernikahan yang ia anggap lelucon paling konyol itu adalah kehadiran seorang bayi.

Rakhan menarik tubuh Mentari hingga tak menyisakan jarak dengannya. Ia melingkarkan satu tangan ke punggung Mentari dan tangan lainnya menahan tengkuk...

Tekanan Sang Mertua

Pernikahan sepatutnya memberi kebahagiaan. Namun, Mentari sama sekali tidak merasakan hal itu. Menikah dengan seorang Mahawira sama saja dengan bunuh diri. Semua terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Saran Mawar agar Mentari bekerja sama dengan Rakhan menjadi bahan pertimbangan Mentari. Ia beruntung Rakhan tidur di kamar terpisah. Semalaman Mentari memutar otak dan berusaha mencari cara agar segera terbebas dari pernikahan yang tidak diinginkannya. Jika seorang anak bisa membebaskannya dari semua belenggu, ia akan bekerja sama dengan Rakhan. Cukup satu anak dan selesai.

Mentari mengembus napas dan tersenyum kecut tidak percaya pada sosok yang balas menatapnya di cermin besar yang melekat di dinding walk in closet. Ia meyakinkan dirinya sendiri akan tetap bertahan dalam perjanjian terkutuk yang dibuat ayahnya dan ayah Rakhan sampai ia berhasil mewujudkan keinginan keluarga Mahawira. Setelah itu, ia akan pergi sejauh mungkin dan tidak akan pernah mau lagi berurusan dengan mereka. Mentari membulatkan tekad dalam hati.

Mentari menuruni anak tangga pelan-pelan. Gugup dan cemas bersatu padu mengiringi langkahnya. Pagi pertamanya di rumah keluarga Mahawira menyematkan rasa pahit yang harus ditelannya sendiri. Ia merasa sendirian meskipun di sekitarnya ada pria yang berperan sebagai suami, ayah mertua, dan seorang wanita cantik yang menjadi adik iparnya. Suasana dan pemandangan asing menyelimuti diri sekaligus mengiris hati.

Seorang wanita berbaju hitam-putih khas pelayan menyambut Mentari penuh hormat ketika wanita itu menginjakkan kaki ke karpet nilon merah bermotif bunga yang melapisi lantai. "Tuan sudah menunggu Anda di ruang makan, Nyonya Muda."

"Tuan?" Mentari menyatukan alisnya yang terukir bagai bulan sabit terbalik.

"Tuan Handoko dan Tuan Rakhan," jelas si pelayan menjawab kebingungan Mentari.

Mentari mengangguk lalu menghela napas untuk mengumpulkan keberanian. "Baik. Terima kasih."

Wanita muda itu berjalan dengan anggun menuju ruang makan. Seluruh anggota keluarga Mahawira sudah duduk mengelilingi meja kayu cokelat berbentuk oval. Penerapan etika dan kesopanan tampak kental di ruang makan tersebut. Mentari biasa sarapan sendiri dan hanya sesekali ditemani ayahnya di saat pria itu benar-benar punya waktu luang. Miris bagi Mentari melihat penampakan keluarga yang nyaris sempurna seperti keluarga Mahawira.

"Selamat pagi." Mentari menyampaikan ucapan selamat pagi sesopan yang ia bisa.

"Selamat pagi, Mentari." Bibir Handoko hampir tak terlihat dan hanya kumis tebalnya saja yang bergerak-gerak saat ia menyambut Mentari. Ayah mertuanya itu kemudian mempersilakan Mentari duduk di samping kursi Rakhan.

Mentari tertegun sesaat ketika tidak ada sambutan apa pun dari sang suami. Ia masih berdiri beberapa meter dari meja makan dan tampak gugup. Dengan alasan kesopanan dan yang terpenting adalah tidak mau mencari keributan dengan sang ayah, Rakhan bangkit lalu menarik kursi di samping kursinya. Manik cokelatnya menangkap pesimisme di mata Mentari.

"Silakan duduk." Nada bicara Rakhan terdengar seperti memerintah.

Mentari duduk dengan gugup. "Terima kasih."

"Hm." Hanya dehaman pelan yang terdengar sebagai bentuk respons dari Rakhan.

Mentari melirik Rakhan yang dibalas tatapan sinis oleh pria itu. Menyebalkan.

"Selamat pagi, Mentari," ucap Mawar yang duduk tepat di seberang Mentari, di samping ayahnya, sesaat setelah Mentari duduk.

"Selamat pagi, Mawar." Mentari tersenyum tulus pada Mawar meskipun hatinya sedang jengkel dengan perlakuan tak mengenakkan Rakhan.

"Hari ini aku akan pulang ke Surabaya. Suami dan anakku tidak bisa kutinggalkan lebih lama. Ayah juga akan ikut bersamaku. Sudah satu bulan Ayah belum bertemu cucunya di sana," papar Mawar sambil merapikan kerah blus hijau daun yang dikenakannya. Wanita itu kemudian meneguk cappucino dari cangkir keramik sebelum menyuapkan sepotong roti lapis ke mulutnya.

"Aku akan memberi keleluasaan pada kalian di sini agar bisa cepat menghadirkan cucu untukku," tambah Handoko.

Ucapan Handoko membuat tenggorokan Rakhan tiba-tiba gatal oleh kesal. Pria itu berdeham melepas umpatan untuk ayahnya yang tidak bisa ia ucapkan. Ia lalu mengendurkan dasi hitam bergaris putih yang melingkari leher kemeja biru yang dikenakannya. Ia perlu lebih banyak oksigen untuk bisa bernapas di ruangan yang penuh tekanan itu. Seandainya norma tidak lagi berlaku, ia ingin sekali meneriakkan protes sekencang yang ia bisa ke telinga pria tua yang sudah memaksanya menikah dengan wanita seperti Mentari.

Sama halnya dengan Rakhan, Mentari pun merasa terombang-ambing oleh keadaan. Ia mencemooh dirinya sendiri lantaran terlalu takut untuk mati dan justru menerima pernikahan yang pelan tapi pasti sedang menyiksanya.

"Kami akan kembali minggu depan sebelum acara resepsi pernikahan kalian digelar," cetus Mawar beberapa saat kemudian.

"Apa?!" Rakhan hampir melempar cangkir kopi yang dipegangnya jika tak segera menyadari bahwa sang penguasa Mahawira sedang menatap tajam ke arahnya. "Ayolah, Ayah! Kenapa harus ada resepsi segala? Tidak cukupkah aku menikah dengan gadis—"

"Cukup bicaramu, Rakhan!" potong Handoko dengan nada geram. "Kau putra pertamaku. Apa kata dunia jika putra pertamaku menikah tanpa perayaan? Apa kata ibumu di surga sana saat melihat anak laki-laki kebanggaannya menikah tanpa diketahui orang banyak, dan hanya mengenakan setelan jas kerja? Seandainya ibumu masih ada, ia pasti akan memarahiku habis-habisan." Handoko menggelengkan kepala dan tampak putus asa.

Syukurlah Ibu tidak harus melihat pernikahan bodoh ini. Rakhan bersyukur dalam hati.

"Valeria, maafkan aku," ucap Handoko dengan suara pelan dan syahdu seakan mendiang istrinya sedang mendengarkan. Kedua tangan pria baya berkemeja hitam itu saling menggenggam di depan dada dan kepalanya menunduk beberapa saat.

Rakhan mendesah kesal. Air muka dari wajahnya yang mencerminkan maskulinitas sejati berubah muram dan geram. Ia kemudian menatap bengis pada Mentari. Tatapannya yang menuduh Mentari sebagai penyebab kekacauan hidupnya tertangkap oleh lirikan wanita itu. Mentari menunduk menahan rasa jengkel. Tangannya menggenggam erat garpu dan pisau roti. Bukan Rakhan yang seharusnya marah-marah, tetapi Mentari-lah yang seharusnya menghajar pria itu. Rakhan adalah sumber dari segala rasa sakit dan derita yang ia rasakan sekarang, pikir Mentari.

"Aku juga tidak suka pesta, Pak Handoko. Bisakah—" Mentari mengungkapkan kekesalan dan ganjalan di hatinya.

"Tidak bisa," potong Handoko tegas. "Kalian berdua memang pasangan yang aneh. Aku tidak mau mendengar keluhan dan penolakan apa pun. Dan kau, Mentari, jangan memanggilku Bapak. Kau seorang Mahawira sekarang."

"Baik ...." Mentari mengangguk lalu menyuarakan panggilan ayah mertuanya dengan ragu sesaat kemudian. "Ayah."

Rakhan beranjak dari kursinya. Ia melirik arloji di tangan kirinya dengan wajah sedikit memberengut. "Aku harus pergi untuk memimpin meeting. Selamat pagi."

Tanpa menoleh pada yang lain dan hanya melihat sesaat ke arah Handoko, Rakhan meninggalkan ruang makan. Kekecewaan masih menggerogoti hatinya. Menikah dengan putri Lucian Sagara sudah membuatnya tidak tenang dan setiap langkahnya dibatasi. Di luar sana Rakhan masih punya kekasih—tepatnya penghangat ranjang—yang jauh lebih menarik dan memikat dari Mentari. Kini, pria itu dipaksa untuk menghadirkan seorang cucu dari wanita yang ia anggap sebagai anak kemarin sore. Apa yang bisa ia harapkan dari remaja yang sedang beranjak dewasa? Kemampuan apa yang ia punya di atas ranjang untuk memuaskan hasrat liarnya? Cinta dan kasih jenis apa yang akan dibangun bersama dengan wanita kekanak-kanakan itu? Semua pertanyaan yang menyiratkan keraguannya pada Mentari bergelimang memenuhi isi kepalanya. Sialnya, hanya dengan wanita itu ia diizinkan untuk mempunyai anak.

Rakhan mengepalkan tangan erat di sepanjang langkahnya. Suara bantingan pintu mobilnya yang cukup kencang beberapa waktu kemudian mengejutkan dua orang penjaga keamanan yang berjaga di garasi yang berisi sederet mobil mewah limited edition. Niat mereka untuk menghampiri mobil hitam berlogo empat cincin itu kandas ketika raungan mesin mulai terdengar. Tuan muda mereka terbiasa melakukan hal yang mengejutkan jika suasana hatinya sedang amburadul.

Di ruang makan, Handoko masih menahan jengkel akibat tingkah Rakhan yang seenaknya meninggalkan ruangan sebelum sarapan mereka selesai. Anak laki-lakinya itu tidak pernah mengindahkan perintahnya. Ia melihat Rakhan melakukan semuanya dengan terpaksa dan yang paling mencolok adalah penikahannya dengan Mentari. Jelas sekali Rakhan tidak menginginkan pernikahan itu, tapi ia harus menikahkan Rakhan dengan putri Lucian sebelum ia meninggal. Janji itu telah disepakati dan dibuat oleh ia dan Lucian sebelum ia menjadi seperti sekarang ini. Meskipun ia bisa saja memenjarakan Lucian dan membawa pria itu ke tiang gantung dengan mudah, tapi utang budinya pada si mantan preman tersebut tidak akan pernah bisa dibayar meskipun ia mengambil Mentari sebagai menantu dan tetap menyimpan semua bukti kejahatan Lucian.

"Mentari, aku harap kau bisa mengambil hati anakku agar kalian bisa mewujudkan kehidupan perkawinan yang indah. Kalian bisa punya anak banyak dan merawatnya dengan penuh kasih," cetus Handoko.

Tidak! Mentari menelan roti lapis di mulutnya terburu-buru sehingga memenuhi tenggorokan dan menghalangi napasnya. Ia lalu meneguk air putih dalam gelas kaca hingga hampir habis untuk mendorong semua makanan itu ke perut dan membebaskannya dari sesak napas. Pernyataan Handoko membuat perutnya mual. Bagaimana mungkin ia bisa mengambil hati Rakhan sementara ia membenci pria arogan itu?

"Mentari, aku tahu semua ini sulit bagimu dan juga Rakhan. Menyatukan dua kepala dan dua hati yang baru saja saling mengenal itu tidak mudah. Asal kau tahu, kakakku sebenarnya pria yang baik. Ia hanya butuh orang yang bisa mengakhiri petualangannya dalam dunia ...." Mawar memutar ke atas bola mata gelapnya mencari kata yang tepat untuk melanjutkan ucapannya. "Kau tahu dunia seperti apa, Mentari."

Mentari hanya diam. Ia bingung harus menunjukkan reaksi seperti apa untuk menanggapi saran ayah mertua dan adik iparnya. Pernikahannya dengan Rakhan adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Mentari terus mengingatkan dirinya sendiri kalau ia tidak mau terjebak selamanya dalam kerumitan yang sedang menghadang. Pernikahannya dengan Rakhan harus segera diakhiri.

 

Tentangmu

"Aku mencintaimu, Mentari."

Mentari tercengang mendengar kata-kata magis yang terlontar dari mulut Arya. Semburat merah muda tampak di pipinya yang seputih pualam. Ia hampir tidak memercayai indera pendengarannya yang menangkap kalimat ajaib tersebut. Sejak pertama kali Mentari duduk di bangku kuliah, Arya sudah menarik perhatian Mentari. Namun, ia sadar diri dengan statusnya sebagai putri seorang Lucian Sagara. Siapa pun tidak akan pernah mau berurusan dengannya sehingga ia hanya bisa memendam semua rasa sendirian. Akan tetapi siang itu dari seberang meja baca perpustakaan kampus, Arya dengan berani mengatakan hal yang sangat didambakan Mentari.

Arya menatap Mentari dan ketika dilihatnya Mentari tak menunjukkan reaksi apa pun, pria paling memesona di kampus itu segera meralatnya dengan gugup. "A-aku tahu aku tidak pantas mengatakan ini padamu—"

"Ucapanmu sangat indah, Arya," potong Mentari. Binar matanya seterang bintang memandang takjub Arya. "aku menyukainya."

Arya mengangkat alisnya. Pancaran kebahagiaan dari iris gelapnya berkilat-kilat menerima sambutan baik Mentari. Ia hampir putus asa mencari cara bagaimana mengungkapkan perasaan pada teman sekampusnya itu. Sekarang, dadanya mengembang lega lantaran semua beban telah tergantikan perasaan gembira.

"Kau menyukainya?"

"Iya, tentu saja. Aku suka caramu mengatakannya."

"Lalu?" Mata Arya bersinar cerah menanti Mentari mengatakan hal yang sama seperti yang sudah ia katakan.

Mentari pun mengangkat kedua alisnya menggoda Arya dengan mengulur waktu. "Lalu apa?"

"Apakah kau mempunyai perasaan yang sama—"

"Apakah sikap dan caraku memandangmu tidak cukup menjelaskan?" sekali lagi Mentari memotong ucapan Arya.

Arya tersenyum bangga. Keinginannya untuk memeluk dan mencium Mentari saat itu juga terbangun. "Bolehkah aku menciummu?"

Mentari melebarkan mata karena kaget. "Di sini?"

"Hanya sebuah kecupan."

Mata cokelat Mentari menembus bahu lebar Arya. Ia hanya melihat beberapa pengunjung perpustakaan di depan meja petugas dan dua orang lainnya di ruang baca. Mentari melemparkan senyuman setuju pada Arya.

Arya mengecup lembut bibir Mentari. Kecupan seringan sayap kupu-kupu itu menjadi bukti pertama cinta yang terpatri di hati keduanya. "Aku sayang sama kamu, Tari," ucap Arya kemudian.

"Aku juga sayang kamu, Arya."

 

***

"Arya!" Mentari meneriakkan nama pria yang selalu mengisi hatinya. Matanya otomatis terbuka seiring dengan detak jantung yang terpacu semakin cepat. Tanpa ia sadari, air mata menetes dari sudut matanya dan membasahi bantal. Ia menatap lampu gantung kristal di langit-langit yang memancarkan cahaya kekuningan selama beberapa saat sebelum akhirnya ia bangkit untuk duduk.

Mentari menekuk lutut, lalu menangkup wajah dengan kedua tangan sambil terisak-isak. Lintasan memori yang terselip dalam tidurnya membangkitkan derita terdalam yang menghancurkan diri. Ia tidak pernah menduga akan kehilangan Arya secepat itu. Arya adalah satu-satunya orang yang tidak bersalah dalam kekacauan hidupnya saat ini. Cara ayahnya menyingkirkan Arya, itu yang dikutuk Mentari. Sangat kejam.

"Kau sudah bangun?" Suara berat yang mulai akrab di telinga Mentari membuat saraf-saraf di tubuhnya menegang.

Sial! Mentari mengedarkan pandangan mencari sumber suara. Saat ia menoleh ke kanan dan pandangannya sejajar dengan pundak, ia mendapati Rakhan tengah duduk dengan kaki menyilangkan di kursi ottoman di samping jendela. Keangkuhan yang pria itu coba tunjukkan mengintimidasi Mentari secara tidak langsung.

"Sedang apa kau di sana?" Mentari tidak ingin bersopan santun pada Rakhan. Ia bertanya dengan nada tinggi.

"Kau lupa kalau aku suamimu?" Rakhan memperingatkan Mentari dengan semburan pongahnya.

Mentari mencebik. "Suami? Ya Tuhan, aku tidak percaya aku mau menikah dengan pria sombong sepertimu."

"Jangan pernah berpikir aku senang menikah denganmu," tandas Rakhan tidak terima ucapan Mentari yang seolah-olah merendahkannya.

Mentari beringsut ke tepi tempat tidur untuk meraih gelas kaca di atas nakas yang berisi air putih lalu meminumnya. Berdebat dengan Rakhan saat baru bangun tidur membuat tenggorokannya sekering padang tandus di musim kemarau.

"Lantas, mau apa kau ke sini? Jangan bilang kau sedang memanfaat situasi," tuduh Mentari ketika ia teringat ucapan Handoko kemarin saat mereka sedang sarapan .

"Kalau iya, kenapa? Aku berhak atas dirimu, 'kan?"

"Sialan kau, Rakhan!" desis Mentari. Wanita itu kemudian berdiri dan menoleh ke arah Rakhan yang masih bergeming di kursi ottoman. "Aku tidak mau melakukan hal bodoh. Melahirkan anakmu adalah kebodohan yang akan aku sesali seumur hidupku."

"Kalau begitu kau akan menjebak kita berdua selamanya dalam ikatan pernikahan sialan ini."

Selamanya? Tidak! Mentari menolak dengan tegas dalam hati. Ia tertegun beberapa saat lalu menatap tajam Rakhan. "Aku tidak mau melahirkan anakmu."

Rakhan mendengkus. Gerakan di rahangnya yang tampak mengeras dan kemarahan yang berkobar di mata pria itu membidas pertahanan Mentari dalam sekali tatap. "Kau akan menyesal menolak penawaranku. Karena tanpa izinmu sekalipun, aku bisa membuatmu melahirkan anakku."

Sekuat yang ia bisa dan meskipun tahu Rakhan menyadari kelemahannya, Mentari tetap berusaha menunjukkan ketegarannya. Wanita itu masih punya kekuatan menatap gerakan Rakhan sampai pria itu pergi dan menghilang dari hadapannya.

Jangan menangis! Mentari memberi peringatan kepada dirinya sendiri sesaat kemudian. Namun, perasaan sakit yang menusuk membuat bulir air mata jatuh ke pangkuannya. Ia tidak punya pilihan selain menyemangati dirinya sendiri. Ia harus bangkit untuk mencari tahu tentang Arya dan berharap ada keajaiban yang bisa mengembalikan Arya kepadanya.

Beruntung pagi itu Mentari tidak harus sarapan bersama Rakhan. Setelah ayah mertua dan adik iparnya pergi ke Surabaya, Mentari mendapatkan sedikit kebebasan sekaligus teror dari Rakhan. Ia berhasil menghindar dari teror tersebut pagi itu. Entah besok atau lusa.

Jika Handoko pernah bilang Mentari tidak perlu melanjutkan kuliahnya, hal sebaliknya pernah diungkap Rakhan di hari pernikahan mereka. Berpegang pada ucapan Rakhan tersebut, pagi itu Mentari memberanikan diri pergi ke garasi dan meminta satpam khusus di sana untuk memberikan kunci mobil yang bisa ia pakai. Ia tidak berniat kabur, hanya ingin pergi ke kampus yang sudah seminggu ia tinggalkan sejak ia dan Arya memutuskan lari bersama.

Suasana kampus semuram hati Mentari. Ia tidak melihat keramahan dan keceriaan yang selalu menyambut kedatangannya seperti hari-hari yang lalu. Semua pandangan seolah menatapnya penuh curiga. Sempat terlintas bahwa itu hanya perasaannya saja, namun Mentari tak bisa menampik kenyataan bahwa ia dan Arya punya banyak teman yang mengetahui hubungan asmara mereka. Kemungkinan besar teman-teman mereka juga mengetahui rencana mereka untuk kawin lari. Dan jika Mentari kembali ke kampus hanya seorang diri, sudah pasti hal itu menimbulkan pertanyaan.

Suara derap langkah beberapa pasang sepatu memenuhi koridor kampus. Mentari mengarahkan pandangan kepada tiga mahasiswa yang berjalan mendekat ke arahnya. Raut wajah mereka tampak tidak bersahabat dan ketika jarak mereka semakin sempit dengannya, Mentari melihat sorot mata bermusuhan dari ketiganya.

"Arya mana?" selidik Edo salah satu sahabat Arya tanpa basa-basi.

Mentari menggeleng. Ia tidak punya jawaban untuk pertanyaan Edo. Meskipun ia tahu orang-orang suruhan ayahnya mencelakai Arya, tapi Mentari belum siap mengatakan kebenaran. Ia masih mempertimbangkan beberapa hal, termasuk ayahnya.

"elo bohong, Tari. elo sama Arya pergi berdua. Aneh rasanya kalau elo bilang, elo enggak tahu di mana Arya." Edo tersenyum sinis.

"Kita tahu, seluruh dunia juga tahu, kalau bokap lo nggak suka sama hubungan elo dan Arya. Arya di kemana-in sama bokap lu?" desak Mike, sahabat Arya yang lain.

"Gue emang pergi sama Arya tapi ...." Suara Mentari terdengar pelan dan sedikit bergetar. Ketakutan mulai mengalir ke seluruh pembuluh nadinya. Tolol. Seharusnya ia tahu kedatangannya ke kampus akan jadi bumerang baginya.

Edo menatap geram Mentari. Kobaran kemarahan tampak jelas di mata pria muda itu. "Kalau Arya sampai kenapa-napa, elo tahu siapa yang akan kita seret ke meja hijau."

Mentari membelalak. Kabut bening menyelimuti matanya. Tuduhan Edo meremas-remas hatinya. "Do, gue cinta sama Arya. Gue—"

"Kita bukan orang berduit kayak elo sama bokap lu, tapi kalau sampai Arya nggak balik, elo sama bokap lu yang akan bertanggung jawab," potong Edo mengancam.

Pundak Mentari melorot. Mendung mewarnai wajah dan tatapannya. Ia terlambat menyadari risiko yang akan ia terima saat memutuskan untuk kembali ke kampus. Kabut bening menyelimuti mata dan rasa nyeri kembali menghujam hati.

 

Disudutkan

Satu kebohongan akan menciptakan kebohongan lain yang lebih besar dan rumit. Mentari sadar apa yang ia katakan pada Edo dan Mike perlahan, tapi pasti bisa menjadi bumerang yang berbalik menghajarnya. Namun, Mentari tidak bisa memaparkan kenyataan pada semua orang bahwa ayahnyalah yang menjadi dalang kehancuran hidupnya. Ia butuh waktu untuk melakukannya. Saat ini tak seorang pun mendukungnya. Ia seperti yatim piatu yang sedang berjuang sendirian menghadapi kerasnya hidup.

Dari ujung koridor, Mentari hanya bisa memandangi pintu kelasnya. Gertakan Edo dan kawan-kawan telah menciutkan nyalinya untuk melewati pintu berwarna cokelat itu.

"Kenapa lo nggak masuk?" Suara bening dan lembut yang familier di telinga Mentari secara otomatis memacu jantung wanita itu untuk berdegup lebih kencang.

Mentari tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau ke mana ia harus menolehkan wajahnya. Ia sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan pemilik suara itu selanjutnya. Semua teman-temannya sudah menghakimi, mungkin, tak terkecuali dengannya.

"Arya belum pernah datang ke kampus lagi sejak dia memutuskan pergi sama elo tempo hari." Penjelasan yang tenang dan jauh dari nada menghakimi memberi Mentari sedikit keleluasaan untuk menarik napas lebih dalam. Ia sudah salah menduga.

Mentari akhirnya berani menoleh dan menatap gadis berambut hitam yang diikat membentuk ekor kuda yang kini telah berdiri di sampingnya. Ia lantas memosisikan dirinya berdiri berhadapan dengan gadis itu. "Gue tahu, Sri."

"Jadi, elo tahu Arya—"

"Nggak," potong Mentari seolah ia tahu apa yang akan ditanyakan Sri.

Sri meraih tangan Mentari lalu menarik teman baiknya itu ke samping tangga, tempat yang cukup tenang dan sedikit bebas dari lalu lalang para mahasiswa.

"Arya ke mana?" tanya Sri dengan suara yang sengaja dipelankan.

Mentari menggeleng. Ia tidak punya alasan untuk berbohong kepada Sri, tetapi ia dihantui rasa takut yang besar. Mentari sudah kehilangan Arya dan ia tidak mau kehilangan semua orang yang ia sayangi. Meskipun ayahnya lebih layak disebut monster, namun hanya pria kejam itu yang Mentari punya.

"Kalian putus di tengah jalan? Kenapa?" Sri mengasumsikan sendiri alasan Mentari tidak datang bersama Arya.

"Nggak, Sri."

"Terus kenapa?"

Desakan Sri menimbulkan ketakutan yang lain bagi Mentari. Wanita itu cemas rasa percayanya kepada Sri akan membuka mulutnya sendiri untuk berterus terang.

"Sri, gue harus pergi." Akhirnya Mentari mengambil keputusan yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Bukan untuk menghindar, hanya untuk menjauh sementara waktu sambil memikirkan jalan keluar. Ia berharap bisa menemukan Arya sebelum pernikahannya dengan Rakhan dipublikasikan ke seantero jagad raya dan persoalan menghilangnya Arya menjadi polemik baru dalam hidupnya.

"Elo mau ke mana? Elo bisa cerita ke gue kalau ada apa-apa, Tari."

"Gue bakal cerita tapi nggak sekarang." Mentari celingukan memeriksa suasana di sekitarnya.

"Tari ...."

Mentari kembali memandang ke arah Sri. Keinginan yang sangat besar untuk bercerita pada Sri justru semakin meremas-remas hatinya. Ia percaya pada Sri, tapi ia tidak tidak memercayai orang-orang di sekitar gadis lugu itu.

"Gue janji akan cerita semuanya, Sri. Gue pergi ya." Mentari berbalik meninggalkan Sri. Ia bahkan tidak mengacuhkan panggilan Sri yang memenuhi koridor kampus.

Menahan rasa sakit yang menusuk-nusuk hati dan air mata yang terus memaksa untuk mengalir, Mentari mengendarai mobil keluar dari area kampus dan terus melaju tak tentu arah. Sampai akhirnya ia merasakan dadanya hampir meledak, Mentari menghentikan laju mobilnya di bahu jalan. Ia membiarkan semua kesedihan menyerang, menghantam, dan meruntuhkan pertahanannya. Ia meluapkan perasaan nyeri yang menggerogoti hati dan seluruh tubuhnya dengan menangis.

Sebuah ide melintas di kepala Mentari beberapa menit kemudian. Ia tidak akan menemukan Arya kalau ia tidak berusaha mencari Arya lebih jauh. Mentari melajukan kembali mobilnya. Kali ini dengan arah yang pasti. Gerbang Tol Tebet menjadi opsi lintasan pertama ke mana ia harus mencari Arya.

Menyusuri jalan bebas hambatan selama lebih dari tiga puluh menit dan bergelut dengan kepadatan arus lalu lintas di jalan protokol berikutnya, akhirnya Mentari tiba di tempat terakhir kali ia bersama Arya. Perasaan tenang yang ia coba bangun kembali nyatanya tidak bisa mencegah tangan dan seluruh tubuhnya berhenti gemetaran. Trauma itu jelas masih ada dan Mentari tidak akan pernah lupa bagaimana orang-orang kepercayaan ayahnya memperlakukan Arya. Ingatan kejadian siang itu bersama Arya melumpuhkan gerak motoriknya hingga Mentari merasakan lemas yang luar biasa. Ia tidak berdaya di kursi kemudi. Air matanya kembali meleleh dan membasahi wajah. Pelan-pelan, pandangannya semakin buram dan merubah menjadi gelap.

 

***

"Arya ...." Mentari mengucapkan dengan lirih satu-satunya nama pria yang terpahat di hatinya. Matanya terbuka perlahan-lahan dan mendapati dirinya tidak lagi berada di balik kemudi. Sekuat tenaga Mentari berusaha bangkit untuk duduk dan ketika selimutnya turun ke pangkuan, ia tahu seseorang sudah mengganti baju yang dikenakannya pagi tadi dengan baju tidur berbahan satin dan bermodel chemise. Jenis baju tidur yang sangat tidak ingin ia kenakan. Pemandangan yang ia lihat kemudian membuatnya ingin menjerit. Ia sudah kembali ke kamarnya di rumah keluarga Mahawira. Hati dan harapannya kembali patah.

"Untuk apa kau pergi ke kampung nelayan itu?"

Tanpa menoleh kepada si penanya, Mentari yakin jika Rakhan sudah menunggunya untuk bangun dan diinterogasi. Mentari menunduk dan tidak berniat menjawab pertanyaan pria itu.

"Aku bertanya padamu, Mentari." Rakhan menandaskan dengan nada geram.

Mentari memberanikan diri mengangkat kembali wajahnya. Ia tidak perlu repot-repot mencari keberadaan Rakhan karena pria itu telah berdiri di depan ranjangnya. Kedua tangan Rakhan terkubur dalam saku celana dan matanya menatap tajam Mentari. Pria yang masih mengenakan setelan kantor itu jelas sekali sedang berusaha menekan Mentari agar ia mau bicara.

"Aku tidak perlu menjelaskan apa-apa kepadamu." Suara Mentari terdengar sedikit serak tapi cukup jelas di telinga Rakhan.

Rakhan mendesah kesal. "Aku tidak percaya ayahku menikahkanku dengan gadis ingusan yang sok pintar."

"Aku pun tidak merasa senang menjadi istrimu."

"Tidak satu pun dari kita yang diuntungkan oleh pernikahan sialan ini."

"Lantas, kenapa kau berlagak peduli padaku? Kau bisa membiarkanku tetap di sana, di kampung nelayan itu."

"Aku tidak peduli padamu," tepis Rakhan. Ia melangkah mendekat ke tempat tidur hingga ujung sepatu hitamnya yang berkilat nyaris menyentuh kaki dipan jati tersebut. "Aku peduli pada harga diriku," lanjutnya.

Mentari mengangkat sebelah ujung bibirnya dan mengeluarkan desis mencemooh. "Pengalihan isu yang bagus."

Tanggapan Mentari memicu reaksi marah Rakhan. Rahang pria itu mengeras dan kilat tajam mata gelapnya menghujam dada Mentari dengan kemurkaan. "Kau mengendarai salah satu mobilku tanpa izin, pergi ke tempat yang menjadi markas musuh besar ayahmu, dan memancing kegaduhan dengan pingsan di dalam mobil. Apa yang akan dipublikasikan para pencari berita jika mereka mengetahui semua itu? Apa aku harus mengklarifikasi berita dengan mengakuimu sebagai istriku atau sebagai anak raja preman yang mencuri mobilku? Kurasa aku tidak akan pernah memilih opsi pertama. Kau tahu itu."

"Menjadi istrimu adalah sebuah kutukan dan aku tidak perlu pengakuan." Mentari merespons dengan geram.

"Jangan merepotkanku jika kau ingin mati di sana."

Mentari menyibakkan selimut lalu beringsut ke tepi tempat tidur. Ia tidak peduli dengan penampilannya yang sedikit terbuka—mengenakan baju tidur tipis, pendek, dan bertali pundak kecil. Semua kalimat yang diucapkan Rakhan membuat telinganya panas dan meletupkan marah. Ia kemudian berdiri sambil memendam rasa jengkel yang teramat sangat.

"Kau terlalu berbangga diri, Rakhan. Aku tidak akan mati sebelum menemukan kebenaran tentang Arya dan aku berjanji kau akan membayar semuanya karena—"

"Aku tidak ada hubungannya dengan perbuatan ayahmu pada kekasihmu jika itu yang kau maksud," potong Rakhan. Sorot matanya yang tegas memancarkan sebuah peringatan.

Sayangnya, peringatan itu tidak membuat Mentari terancam. Wanita itu justru semakin menantang Rakhan dengan tatapan tajamnya. "Jika bukan karena kau, ayahku tidak akan melakukan semua itu pada Arya."

"Sialan kau, Mentari!" Rakhan berjalan, mempersempit jaraknya dengan Mentari lalu memegang erat kedua lengan wanita itu, dan menebarkan peringatan yang lebih keras. "Kau tidak bisa menuduhku menjadi penyebab kesialanmu. Ayahmu dengan sukarela menyerahkan putrinya untuk ditukar dengan kebebasan tanpa batas. Dan jika kekasih bodohmu itu harus menghilang, lenyap dari muka bumi ini, memang sudah seharusnya begitu."

"Brengsek kau, Rakhan! Seharusnya kau yang mati dan berada di neraka." Mentari menekan dada bidang Rakhan dengan kedua tangan dan berusaha mendorong pria itu agar menjauh, namun tenaga Mentari tidak cukup kuat untuk melakukannya.

Usaha Mentari menyulut kemarahan Rakhan semakin besar. Tidak hanya kemarahan, tekad Rakhan untuk segera mengakhiri pernikahan mereka pun semakin meronta. Satu-satunya jalan untuk menghentikan pernikahan yang ia anggap lelucon paling konyol itu adalah kehadiran seorang bayi.

Rakhan menarik tubuh Mentari hingga tak menyisakan jarak dengannya. Ia melingkarkan satu tangan ke punggung Mentari dan tangan lainnya menahan tengkuk wanita itu. Bibirnya dengan tidak sabar menyambar bibir ranum Mentari lalu melumatnya dengan kasar, menghukum atas sumpah serapah yang Mentari ucapkan secara gamblang tadi. Rakhan tidak memberi Mentari kesempatan untuk menghirup oksigen lebih banyak dengan terus mendesakkan lidahnya ke dalam dan memenuhi mulut wanita itu.

Bibir Mentari terasa sakit dan bengkak lantaran bibir Rakhan menekan keras, menghisap dan mencicipi bibirnya dengan membabi buta. Alih-alih tersulut gairah, Mentari justru merasa mual. Mentari tidak siap dengan invasi mendadak Rakhan. Ia tidak akan pernah siap untuk melakukan aktivitas intim dengan Rakhan.

Mentari akhirnya berhasil menghirup oksigen lebih banyak setelah Rakhan melepaskan ciuman dan mendorongnya dengan kasar ke atas tempat tidur sampai ia terjengkang. Masih terengah-engah, Mentari menurunkan roknya yang tersingkap ke atas dan mengekspos paha mulus dan sebagian celana dalam hitamnya.

Sialan. Rakhan tersesat dan tak berdaya menghadapi kapasitas emosi dan gairah yang tiba-tiba meraja dalam dirinya. Hanya hal kecil yang tidak sengaja diperlihatkan Mentari ternyata sukses mengguncang pertahanan gairah liarnya. Rakhan mengembus napas berusaha menurunkan tensi ketegangan di tubuhnya yang mulai menyesakkan celana katun hitam yang dikenakannya.

Bukan hal baru Rakhan mendapati wanita yang hanya mengenakan pakaian dalam seksi berlalu lalang di hadapannya, bahkan tak jarang pula wanita-wanita sekelas model dan aktris mau memamerkan tubuh aduhai dan polos mereka di atas ranjangnya. Terjangan gairah yang begitu saja melanda membuatnya marah. Terlebih lagi saat dorongan itu semakin kuat Rakhan rasakan. Ia harus menyudahinya.

======

Bersambung

Bab berikutnya masih gratis, ya. Jangan lupa love-nya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Mentari (tak) Ingkar Janji: Bab 7-9
7
1
Peringatan: Cerita ini mengandung konten dewasa (21+).Cuplikan:“Bagaimana? Deal?” Pertanyaan Rakhan menyentak Mentari. Mentari menelan ludah dan mulai gelagapan. “A-apanya yang bagaimana?”“Proses membuat bayi.” Rakhan mengangkat sebelah alisnya, menatap heran Mentari. “Kau pernah belajar sistem reproduksi di sekolah, ‘kan?” Mentari mengangguk mengiakan meskipun denyut jantungnya yang mengencang mulai mengganggu konsentrasi. “Kita akan melakukannya dua kali seminggu sampai kau dinyatakan hamil,” lanjut Rakhan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan