Mendadak Jadi Calon Duda (1-4)

12
3
Deskripsi

It's free!

Novelet ini spin-off-nya novelet Dikejar Om-Om!, cerita Omnya Xander (Mad Love) dan Hades (Diversion), Rustam Hadinata dan Felicia Hutomo. Untuk novelet Dikejar Om-Om! bisa dibaca di Wattpad atau lebih lengkapnya bisa dibaca di Google Play (ready E-book). FYI, novelet Mendadak Jadi Calon Duda ini hanya punya 15 bab termasuk bonus bab.

Blurb:

“Saya akan mengajukan gugatan cerai. Kamu tidak akan bisa bertemu anak kamu lagi.” ~Bee~

“Cerai? Anak? Kamu siapa? Kenapa kamu tiba-tiba datang dan ingin...

1. Siapa Anda?

Ferdy menatap hamparan awan putih dari jendela pesawat yang menerbangkannya dari bandara internasional Changi, Singapura, menuju bandara Soekarno-Hatta. Perjalanan yang seharusnya dinikmati dengan senang hati lantaran proyek kerja sama perusahaan yang diwakilinya berhasil mencapai kesepakatan yang diinginkan, ternyata membuatnya sedikit melankolis. Sebenarnya, hal seperti ini yang paling dibenci Ferdy. Melakukan perjalanan bisnis sendirian dan menganggap bandara hanya sebagai tempat peristirahatan sementara sebelum ia terbang lagi ke kota atau negara lain beberapa hari kemudian. Terkadang, ia bertanya pada dirinya sendiri untuk apa ia mati-matian bekerja dan merelakan sebagian hidupnya berpasrah diri pada sang pilot.

Mungkin karena hal itu, selama ini Ferdy tidak berani berkomitmen dengan wanita. Ia tidak bisa tinggal lebih lama di satu tempat, sedangkan komitmen membuatnya harus tetap tinggal dan kembali. Di usianya yang sudah matang, Ferdy hanya berjibaku dengan segudang urusan bisnis. Dalam silsilah keluarga besarnya, mereka hanya mengenal dua macam karir. Ahli pemasaran dan ahli keuangan. Itulah kenapa Ferdy lebih memilih menjadi Chief Marketing Officer sekaligus merangkap Chief Financial Officer di perusahaan keluarganya. Menjadi CFO bukan pilihan kedua karena Ferdy lebih menyukai strategi pemasaran. Ia hanya menggantikan posisi sementara adiknya yang memutuskan berhenti berkarir setelah melahirkan anak pertamanya.

Menduduki kedua jabatan penting di perusahaan keluarganya sama sekali tidak membuatnya bangga. Ia merasa perjuangan berkarirnya kurang greget lantaran ia hanya tinggal melanjutkan sisa pekerjaan para leluhurnya di perusahaan tersebut. Berbeda dengan karir marketing yang dibangunnya sendiri seusai menyelesaikan kuliahnya di Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat. Di Oklahoma, Ferdy berjuang dari nol untuk mendapatkan posisi CMO di sebuah perusahaan jasa. Sayangnya, hanya beberapa tahun menduduki posisi CMO di sana, papanya meminta Ferdy kembali ke Indonesia. Tidak ada yang menarik dalam kehidupan pribadinya selain keponakan kecilnya yang cantik dan papanya yang galak seperti singa. Ups, itu menurut Ferdy.

Ferdy mengembus napas untuk sekadar melepas penat. Adiknya saja sudah punya anak, padahal usianya lima tahun lebih muda darinya. Apalah dia yang masih betah menjomblo sampai sekarang. Menjadi pria single yang mapan di usia matang, itu pilihan. Setiap orang punya pilihan dan cara yang berbeda untuk menjalani hidup.

What the hell are you thinking about, dumbass?! Ferdy memaki dirinya sendiri lantaran membandingkan kehidupannya dengan kehidupan adiknya. Sangat tidak bijaksana.

Ferdy butuh suasana lain untuk mengusir rasa bosan yang berujung pada lamunan. Menegakkan tubuh atletisnya dan celingukan seperti orang bingung, akhirnya pandangan Ferdy jatuh pada pria tua berkaus putih dan bercelana cargo hitam yang tertidur pulas sambil mendengkur di sebelah tempat duduk suitenya. Ferdy mendesah kesal. Ia menyesali kenapa ia mengambil first class dalam penerbangannya kali ini. Seharusnya ia mengambil kelas ekonomi saja agar bisa melihat pemandangan lebih banyak. Alih-alih bisa melihat pemandangan cewek-cewek kece, justru kakek ngorok yang menemani perjalanannya.

Apes banget hidup gue. Ferdy Mengelus dada.

Ferdy meraih headphone dari bawah LCD layar sentuh yang terletak di depan kursi lalu memasangkan ke telinganya. Pria bermata abu-abu itu sengaja memutar musik kencang untuk menghindari suara dengkuran pria di sebelahnya.

Beruntung, beberapa menit kemudian suara musik di headphone-nya mati dan tergantikan oleh suara bening yang lembut dari pramugari yang mengumumkan bahwa pesawat akan segera landing. Ferdy melepas dan meletakkan kembali headphone-nya pada posisi semula, lalu memasang sabuk pengaman.

Pesawat mendarat dengan mulus. Hal yang selalu Ferdy syukuri setiap kali kakinya menginjak lantai bandara Soekarno-Hatta adalah ia kembali dengan selamat. Saat tiba di lobi gedung parkir Terminal 3, Ferdy mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans biru tuanya untuk menghubungi seseorang. Tidak memakan waktu lama, seorang pria berusia sekitar tiga puluhan yang mengenakan kemeja hijau dan berambut kelimis datang menghampirinya.

"Welcome home, Pak Ferdy!" sambut Hendro sambil melontarkan senyuman.

Ferdy memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. "Thanks sudah menjemput tepat waktu, Ndro."

"Kalau tidak tepat waktu nanti saya dipecat," tutur Hendro malu-malu. Tatapannya kemudian terpaku pada tas ransel Montblanc hitam yang menutupi punggung Ferdy. "Bapak tidak bawa apa-apa lagi?"

"Emangnya kalau saya pergi, saya pernah bawa banyak barang?" Ferdy balik bertanya sambil menggulung lengan jaket denim biru yang melapisi kaos hitamnya.

Senyuman Hendro yang lebih mirip dengan ekspresi orang yang sedang menahan buang hajat terkembang di wajah tirusnya. "Enggak, Pak."

"Kita pulang sekarang."

"Siap, Bos!" Hendro meletakkan satu tangan terbuka di depan dahinya, melakukan gerakan hormat.

Cuaca mendung dan embusan angin penyambut hujan mengenyahkan sengatan panas matahari. Mereka berjalan cepat menuju mobil yang dibawa Hendro. Namun, langkah mereka tertahan oleh teriakan cempreng seorang wanita.

"Ferdinan Hutomo!"

Ferdy dan Hendro kompak berbalik dan memandang si pemilik suara. Ferdy menyatukan alis sambil memutar otak berusaha mengingat siapa wanita yang memanggil namanya selengkap itu. Selama ini, orang-orang yang mengenalnya hanya memanggilnya dengan nama Ferdy. Nope! Otaknya tidak menemukan secuil pun ingatan tentang wanita itu. Siapa dia?

Semakin dekat jarak wanita itu dengannya, Ferdy semakin jelas menangkap garis-garis kecantikan di wajahnya. Ferdy memandang takjub gaya berjalan wanita bertubuh tinggi langsing yang mengenakan rok midi hitam dan kaus merah muda itu. Wanita itu terlihat seperti seorang model yang sedang berjalan di atas catwalk. Apalagi saat belahan roknya tersibak oleh embusan angin  dan mengekspos separuh paha mulusnya, Ferdy langsung menelan ludah. Almost perfect.

Ferdy berniat melayangkan senyuman termanisnya untuk wanita itu sebelum akhirnya memutuskan untuk mengatupkan bibir rapat-rapat dan menunjukkan sikap angkuh. Tatapan tajam dan penuh kemarahan wanita itu yang membuatnya mengurungkan niat.

"Masih ingat sama saya?" tanya wanita itu sesaat setelah menghentikan langkahnya sekitar dua meter di hadapan Ferdy dan Hendro.

Ferdy mengangkat pundaknya sambil menggeleng. "No."

Wanita itu mengangkat sebelah ujung bibirnya tersenyum sinis. Ia kemudian berkacak pinggang. "Tentu saja kamu tidak akan ingat saya, apalagi sama anak kamu."

What?! Anak? Anaknya siapa? Ferdy tercengang. "Maaf, Anda siapa? Tiba-tiba datang dan—"

"Jangan pura-pura lupa kamu!" Wanita itu memotong pertanyaan Ferdy dengan meninggikan nada suaranya. Serta merta hal itu menarik perhatian beberapa orang yang berada di sekitar sana dan membuat Ferdy jadi tambah bingung.

Hendro yang tidak kalah bingung dan tidak mau melihat bosnya menjadi objek kejulidan orang-orang yang melihat, ia mencoba menengahi. "Maaf, Mbak. Mbaknya ini siapa dan ada keperluan apa sama Pak Ferdy?"

Wanita itu mengalihkan tatapan galaknya pada Hendro dan membuat pria itu beringsut lebih mendekat pada Ferdy.

"Jangan ikut campur urusan saya dan suami saya!" sergah wanita itu

"What?!!!" Jantung Ferdy hampir melompat keluar mendengar pernyataan wanita itu. "Tunggu! Tunggu! ...." Ferdy menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan. "Anda ini siapa? Saya tidak kenal Anda."

"Emang laki-laki semuanya sama. Habis manis, sepah dibuang. Kamu lupa kalau kamu punya anak dan istri. Dasar brengsek!" maki wanita itu.

"Tapi, saya memang tidak—"

"Besok pengacara saya akan menyerahkan surat gugatan cerai saya ke pengadilan agama. Saya harap kamu tidak mempersulit proses perceraian kita," potong wanita berambut cokelat itu.

"Dengar—"

"Kamu enggak akan bisa ketemu sama anak kamu lagi," potong wanita itu lagi sebelum berbalik dan meninggalkan Ferdy.

Ferdy bergeming. Ia masih syok dengan kejadian aneh tapi nyata yang baru saja dialaminya. Status jomblo akut, menikah masih dalam angan-angan, tapi mendadak akan didudakan. Huft!

2. Siapa Yang Nge-Prank?

"Ndro, coba tampar saya!" pinta Ferdy.

Hendro melongo sekaligus meringis. Selama lima tahun menjadi asisten pribadi Ferdy, baru kali ini bosnya itu punya permintaan aneh. Ia menatap Ferdy dengan tatapan bingung.

"Ayo, tampar saya!" pinta Ferdy dengan nada sedikit tinggi.

Hendro menelan ludah dengan susah payah, lalu menempelkan tangannya ke pipi Ferdy dengan ragu-ragu. Ferdy mendesah kesal. Ia minta ditampar, bukan dibelai.

"Yang kenceng dong, Ndro," titah Ferdy.

Tiba-tiba, plaaak! Tamparan Hendro melayang ke pipi Ferdy yang ditumbuhi janggut tipis.

"Auw!" Ferdy mengusap-usap pipinya yang memerah dan terasa panas. "Kekencengan, Ndro."

Hendro menyatukan tangan di depan dada dengan tubuh sedikit dibungkukkan. "Ma-maaf, Pak. Tapi kan Bapak sendiri yang minta ditampol kenceng."

"Iya. Gak apa-apa. Saya cuma mau tahu, saya lagi mimpi atau enggak." Ferdy masih mengusap-usap pipinya.

"Hasilnya, Pak?" tanya Hendro polos.

Lirikan setajam silet Ferdy melayang ke arah Hendro hingga membuat pria berkumis tipis itu menunduk ketakutan. "Ya, jelas-jelas nyata. Buktinya, pipi saya rasanya sakit."

"Lha, tadi Bapak sendiri yang minta ditampol," celetuk Hendro tidak mau disalahkan.

Ferdy membuang napas kasar. Iya juga sih. "Kita pulang sekarang."

Hendro menempelkan tangan di dahi memberi hormat sekali lagi. "Siap, Bos!"

Mereka berdua masuk ke dalam mobil sport hitam berlogo banteng yang terpakir di ujung barisan. Ferdy duduk di kursi penumpang, sementara Hendro yang berada di balik kemudi. Ferdy berusaha membuat rileks tubuh dan pikirannya setelah peristiwa tak terduga di halaman parkir tadi dengan bersandar jok yang diposisikan dengan sudut 120 derajat. Kedua tangannya dilipat di belakang kepala hingga dada bidangnya terlihat sedikit membusung. 

"Ndro, kira-kira siapa ya cewek tadi itu? Savage banget sih dia." 

"Kalau Bapak sebagai suaminya saja tidak kenal, apalagi saya, Pak."

"Suami dari Hongkong!" elak Ferdy, "kapan saya nikah? Pacar aja masih nyari."

"Bapak minum dulu deh biar fokus. Barangkali Bapak mendadak hilang ingatan," celetuk Hendro.

Ferdy otomatis memeloti Hendro. Meskipun pura-pura menatap  lurus ke depan, namun ekor mata Hendro menangkap murka yang nyata dari wajah Ferdy. Mode grogi Hendro langsung ON. tangannya sedikit gemetaran memegang stir mobil. 

"Awas jangan sampai nabrak, Ndro! Kalau nabrak, gaji kamu saya potong selama 10 tahun." Ferdy memperingati sekaligus mengintimidasi.

"Kejam." Hendro mengerucutkan bibir membentuk pose duck face, sok imut. Faktanya, boro-boro imut, yang ada justru bikin yang melihatnya semaput. 

Ferdy menurunkan tangan lalu bersedekap. "Makanya, kalau ngomong jangan sembarangan."

"Iya, Pak. Maaf.” Hendro mengembus napas lalu melirik Ferdy sebelum mengutarakan hasil kerja otaknya. “Dua hari lagi kan Bapak ulang tahun, Mungkin nih, Pak, siapa tahu cewek tadi cuma nge-prank Bapak.”

Ferdy mengernyitkan dahi sambil menyipitkan mata. Dugaan Hendro ada benarnya juga. Dua hari lagi ia genap berusia 34 tahun. Namun, siapa yang berani mengerjainya seperti itu? Ferdy memutar otak mencari jawaban. Beberapa detik kemudian ia mengubah posisi sandaran jok ke sudut sembilan puluh derajat mengikuti posisi duduknya yang tegak. 

"Kita ke rumah Feli, Ndro," perintah Ferdy, "berani-beraninya dia ngerjain saya." 

"Siap, Pak Bos. Meluncur!"

"Jangan!" ralat Ferdy tiba-tiba dengan  nada tinggi dan membuat Hendro hampir melompat dari kursinya.

Hendro mengelus dada. Jika saja yang berteriak bukan bosnya, ia pasti sudah mengumpat. Nama-nama binatang seRagunan pasti sudah terlontar dari mulutnya. Namun, sekarang Hendro hanya bisa diam dan meluapkankan rasa kesalnya dalam hati saja.

"Jadi, kita mau ke mana nih, Pak? Menteng apa Kemang?" tanya Hendro ketika tiba di perempatan jalan.

"Kebayoran Baru. Saya pengen tidur. Meeting semalam selesai hampir pagi. Di pesawat pun saya enggak bisa istirahat." Ferdy teringat akan pria tua di sebelah suite-nya di pesawat tadi  yang tidur mendengkur. Menyebalkan.

"Nggak jadi konfirmasi ke Bu Feli nih, Pak?" Hendro meyakinkan Ferdy.

"Nggak. Biarkan saja.  Feli pasti seneng kalau prank-nya berhasil," sahut Ferdy dengan percaya diri. Ia tidak mau merusak rencana adiknya yang akan memberi kejutan di hari ulang tahunnya nanti, pikir Ferdy.

"Oke, Pak. Kita lanjut ke apartemen Bapak."

Tidak lebih dari dua puluh menit, Ferdy dan Hendro tiba di apartemen Ferdy. Ia mengizinkan Hendro pulang lebih cepat lantaran otak dan matanya sudah tidak sinkron lagi. Rasa lelah dan kantuk telah menyerap seluruh energinya. Ia butuh istirahat segera.

***

"Hasil kerja kamu bagus, Fer," ucap Bob sambil menutup slide terakhir laporan hasil meeting anak sulungnya dengan sebuah perusahaan bonafide di Singapura. Direktur Utama PT. Cakrawala Nusantara itu menatap bangga pada Ferdy yang duduk di seberang meja kerjanya. 

"Terima kasih, Pa. Kita punya PR yang harus segera dikerjakan. Masalahnya, durasi kerja sama ini tidak cukup panjang." Ferdy merespons dengan serius.

"Papa percaya sama kamu, Fer. Kamu bisa Papa andalkan." Bob meyakinkan. "Setelah makan siang, Papa mau pulang. Papa minta kamu tangani urusan Papa di sini sementara."

"Siap, Bos," sahut Ferdy. Namun, sesaat kemudian ia menyadari sesuatu. "Kenapa Papa pulang lebih cepat?"

"Biasalah, Papa mau melanjutkan hobi baru Papa. Nanti kamu cicipi ya hasil masakan Papa," jawab Bob dengan bangga.

Ferdy berdeham. Jadi ciciper lagi deh.

Hobi baru papanya tergolong unik. Di usianya yang menginjak enam puluh tahun, papanya lebih suka masuk ke dapur untuk memasak. Ia bahkan meminta salah satu chef terkenal di ajang lomba memasak yang sedang tayang di televisi untuk  memberikan pelatihan. Setiap kali ia membuat sesuatu yang baru, pasti Ferdy yang menjadi korban pertama untuk mencicipi hasil masakannya. Maka dari itu, Ferdy menyebut dirinya sebagai ciciper alias tukang ici-icip masakan Papa.

"Oke deh, Pa. Semangat ya, Pa. Semoga masakan Papa kali ini nggak seasin kemarin."

"Ah, kemarin itu ada kesalahan teknis. Papa pikir tumis terongnya belum dikasih garam, ya Papa tambah garam lagi. Ternyata, Papa lupa sudah menaburkan garam sebelumnya," sanggah Bob.

Ferdymengembus napas panjang. Pria tua di hadapannya ini memang pintar ngeles, pikirnya.

Ferdy baru saja keluar dari ruang kerja papanya sebelum Hendro datang menghampiri dengan napas ngos-ngosan seperti baru dikejar anjing gila. Hendro panik, sepanik-paniknya.

"Pak Bos, ada pengacaranya Bianca Lee yang nunggu Bapak di ruangan Bapak," tutur Hendro pelan.

Ferdy mengernyitkan dahi menatap heran Hendro. "Bianca Lee? Siapa lagi tuh?"

Hendro mendekatkan wajahnya ke telinga Ferdy dan menjelaskan dengan setengah berbisik. "Kata pengacara itu, Bianca Lee itu istri Bapak?"

What?! Ferdy tercengang. Tidak sabar, Ferdy bergegas melangkah ke ruang kerjanya yang berada di ujung koridor lantai lima gedung perusahaan itu. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan sebelum membuka pintu. Ia pikir ia harus tetap terlihat cool di depan pengacara  sewaan adiknya itu. Niat banget sih Feli ngerjain gue.

Ferdy memasuki ruang kerjanya. Tatapan penuh selidiknya ia samarkan di balik senyuman tipis. 

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Bapak-bapak?" tanya Ferdy pada dua pria bersetelan kemeja hijau dan berdasi hitam yang duduk di sofa khusus tamu.

Kedua pria itu berdiri lalu mengulurkan tangan mereka untuk bersalaman dengan Ferdy. "Selamat siang, Pak Ferdinan Hutomo."

"Silakan duduk. Apa yang bisa saya bantu?" Ferdy mempersilakan mereka duduk setelah berjabat tangan.

"Kami dari firma hukum Adnanta Waluyo and Partners. Kami datang untuk memberitahukan Anda bahwa surat gugatan cerai Bu Bianca Lee Arisandhy kepada Anda sudah masuk ke pengadilan. Kami harap kerja sama Anda untuk ini," ucap salah satu pria itu.

Ferdy tersenyum getir. Ia merutuk dalam hati. Ya, ampun. Feli kok sampai segini niatnya mau ngerjain gue. Pakai acara nyewa pengacara dari Law Firm terkenal segala. Oke, gue ikutin permainan elo, Fel.

Ferdy mengangguk. Senyuman masih menghias wajah maskulinnya. "Baik. Saya akan usahakan sebisa mungkin untuk bekerja sama dengan baik."

"Baiklah. Terima kasih atas kerjasamanya. Kami akan mengabari Bapak dan pengacara Bapak mengenai proses persidangan nanti." 

Kedua pria dari firma hukum itu bangkit berdiri lalu berjabat tangan lagi dengan Ferdy sebelum meninggalkan ruang kerjanya. Tawa Ferdy meledak setelah ia yakin kedua pengacara itu tak terlihat lagi di ruang kerjanya.

"Kita lihat besok. Elo bakal nggak nyangka kalau gue ternyata udah tau  prank-an elo, Fel," tuduh Ferdy dengan yakin, seyakin-yakinnya.

Tepat jam 00:30 Ferdy baru kembali ke apartemennya. Menghabiskan waktu dengan laporan keuangan dan pemasaran membuat harinya sangat sibuk. Ia membuka pintu apartemennya dengan tubuh lelah. Energinya mulai habis setelah berkutat dengan laporan-laporan akhir bulan yang membosankan. 

"Surprise!!!" Suara teriakan beberapa orang memenuhi ruang tamu apartemen mewahnya.

Ferdy tersentak kaget. Ia masih mematung dengan tatapan terkejut ketika adiknya, Feli, mulai menyanyikan lagu Happy Birthday yang kemudian diikuti oleh suami dan kedua sahabat Feli.

"Selamat tambah umur ya, Bang," ucap Feli sambil menyodorkan red velvet cake berukuran sedang dengan lilin menyala di atasnya ke hadapan Ferdy.

Sebelum meniup lilin, pandangan Ferdy mencari-cari sosok yang selalu menjadi panutannya. Papanya. "Papa nggak ikutan, Fel?"

"Tadi Feli ke rumah Papa, ternyata Papa sudah tidur."

"Oh." Ferdy mengangguk-angguk.

Tiup lilinnya. Tiup lilinnya. Tiup lilinnya sekarang juga ....♫ 

Nyanyian kedua sahabat Feli yang merupakan sahabatnya juga memaksa Ferdy segera memadamkan api yang membakar lilin di atas kue. Setelah itu, ia menerima ucapan selamat dan pelukan hangat dari adik satu-satunya itu. 

"Thanks ya, Fel, sudah bikin kejutan buat gue. Hebat banget, apalagi prank yang elo sama dua racun itu bikin ....” Ferdy menunjuk ke arah Angel dan Ryana, sahabat Feli, dengan dagu sebelum melanjutkan kalimatnya. “Di kantor gue tadi siang dan kemarin. Bikin gue hampir gila," lanjut Ferdy sambil merangkul pundak Feli.

Feli menyatukan alis. Raut wajahnya tampak kebingungan. "Prank apaan sih, Bang? Feli enggak ngerti."

"Jangan pura-pura nggak ngerti lo! Elo udah nge-prank gue sampe bela-belain sewa pengacara dari Adnanta Waluyo And Partners segala," tandas Ferdy.

Feli menurunkan kedua ujung bibirnya. Ia planga-plongo tidak mengerti apa yang dibicarakan kakaknya. "Abang ngomong apa sih? Feli cuma buat kejutan ini kok buat Abang."

Ferdy menurunkan tangannya dari pundak Feli, lalu menatap dalam-dalam perempuan berambut cokelat yang diikat dengan model ekor kuda itu. "Cewek yang kamu suruh mendamprat Abang di bandara dan pengacara tadi itu lho."

"Bang, Feli enggak bikin prank itu. Orang lain kali yang bikin," sangkal Feli.

Damn! Kalau bukan Feli yang membuat lelucon tidak lucu itu, lalu siapa?

3. Mendadak Daddy

"Ya ampun, Bang. Masa enggak percaya sama Feli sih? Demi Tuhan, Bang, bukan Feli yang nge-prank Abang." Hampir kelima kalinya Feli menegaskan, tetapi tuduhan itu masih tersirat dalam pancaran mata Ferdy.

Ferdy menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tanya-jawab serius yang memakan waktu beberapa menit dengan adik kesayangannya menimbulkan kecurigaan adik iparnya, Rustam. Rustam mendekati istri dan kakak iparnya. Ia ikut bergabung dalam obrolan mereka. 

"Ada apa sih, Fer? Kelihatannya serius banget," tanya Rustam.

"Begini, Mas. Saya pikir Feli nge-prank saya, tapi dia enggak ngaku," jawab Ferdy yang sengaja memanggil adik iparnya dengan panggilan “Mas” lantaran usia Rustam terpaut sepuluh tahun lebih tua dari Ferdy. 

"Lha, emang bukan Feli kok yang nge-prank Abang," sanggah Feli.

"Emang nge-prank apaan sih sampai sebegitu hebohnya?" tanya Rustam lagi. 

"Prank cewek kali, Mas Rustam," celetuk Angel, salah satu sahabat Feli yang sedari tadi menjadi pendengar setia. 

Ahaaa! Opini baru pun terbentuk. Ferdy langsung mengalihkan tatapan membunuhnya ke arah Angel dan Ryana. "Elo berdua ya yang nge-prank gue?"

Ryana mengerucutkan bibirnya. Sebal. "Yeh, Abang! Mana berani kita nge-prank Abang. Abang kan cowok paling jutek dan paling galak se-universe. Macan aja kalah galaknya sama Abang."

"Enggak segitunya juga kali, Yan." Ferdy memberengut.

"Coba ceritakan dari awal," saran Rustam, "enaknya sih sambil duduk."

"Oke," sahut Ferdy sambil berjalan menuju sofa.

Ferdy mengambil posisi duduk di sofa single, sedangkan Feli dan Rustam duduk di sofa panjang di seberang meja. Sementara itu,  Angel dan Ryana duduk di otoman yang terletak di samping kanan dan kiri sofa panjang. Mereka semua sudah memasang telinga untuk mendengar penjelasan pengganti Baim Wong sebagai Presiden Jomblo. 

Ferdy menceritakan kronologi  peristiwa yang ia anggap sebagai prank dari A sampai Z dengan detail. Tidak terlewat satu adegan pun. 

"Seserius itu, Bang? Sampe manggil pengacara bonafide juga?" Feli membelalak terkejut mendengar pemaparan Ferdy.

"Yep! Abang juga bingung. Itu prank atau ...." Ucapan Ferdy terjeda oleh pemikiran yang tiba-tiba melintas di benaknya. "Atau beneran, ya? Kalau beneran, kapan gue nikah?"

Rustam mengembus napas panjang lalu memberi Ferdy saran. "Begini Fer, coba deh kamu ingat-ingat dulu kejadian-kejadian yang lalu. Waktu kamu masih tinggal di Oklahoma atau waktu kamu masih kuliah di Massachusetts. Barangkali kamu ada kekhilafan atau ... ya, gitu deh." 

Ferdy menempelkan jari telujuk di pelipisnya. Ia mencoba memutar ulang perjalanan hidupnya di benua merah seperti rekaman VCD player jadul. Ia kemudian menghela napas dalam-dalam sebelum berucap. "Saya tetap merasa belum menikah kok, Mas. Saya juga nggak merasa kenal sama perempuan yang bernama Bianca itu. Selama di sana pun, saya jalan lurus-lurus aja. Ya, pernah sih saya minum-minum di kelab malam bersama teman-teman saya, tapi saya selalu bisa menjaga kesadaran saya agar tidak mabuk dan blackout. Saya masih inget banget siapa cewek-cewek yang pernah mengisi hati saya, tapi saya tidak ingat siapa si Bianca ini."

“Sekarang masih suka ”minum" juga, Bang?" sela Angel.

Ferdy memberengut tidak suka. "Ya, nggaklah. Gue udah insyaf, Njel. Makin hari usia makin banyak. Tua. Gue sebisa mungkin kepengen jadi orang bener."

"Bang, kata tuh cewek, Abang bakalan nggak bisa ketemu anak Abang lagi. Berarti Abang punya anak dong. Abang yakin enggak pernah ena-ena sama cewek itu?" Feli semakin penasaran.

"Fel, biar kata Abang elo ini salah satu anggota BPJS alias Barisan Para Jomblo Sukses, Abang tetep berusaha menjaga iman. Bersenang-senang gaya Abang, bukan begitu caranya. Hal begituan enggak masuk dalam kamus hidup Abang. Apalagi, sampe ngacak-ngacak anak perawan orang. Dosa besar. Jangan samain Abang dengan playboy pensiun di depan Abang ini dong," tutur Ferdy sambil menunjuk Rustam dengan dagunya.

"Lha, kok jadi bawa-bawa saya sih, Fer?" Rustam spontan cemberut Ferdy mengusik masa lalunya.

"Sorry, Mas. Esmosi saya, Mas." Ferdy bangkit berdiri. Ia lelah tidak menemukan solusi. Yang ada, justru beban pikirannya bertambah dengan obrolan yang seolah menghakiminya ini. Namun, setidaknya ia tahu jika kejadian kemarin dan kedatangan pengacara tadi siang ke kantornya bukanlah sebuah lelucon yang sengaja dibuat.

"Mau ke mana lu, Bang?" tanya Feli melihat gelagat Ferdy yang hendak melarikan diri dari obrolan. 

"Mau menyimpan tas gue dulu sekalian mau mencari sisa-sisa kenangan masa lalu yang mungkin sudah gue lupain.”

"Ya, udah. Jangan lama-lama.Kita makan tengah malam dulu. Tuh, Feli udah bawa banyak makanan.” Feli menunjuk tumpukan kotak makanan di atas meja makan di seberang sofa yang mereka duduki.  

"Elo, Fel. Makan melulu. Ntar bulet lo. By the way, thanks for the surprise." Ferdy kemudian bergegas ke kamarnya. 

***

"Pak Bos." Hendro mengguncang lengan Ferdy yang tengah tertidur berbantalkan tumpukan tangannya di atas meja kerja. 

"Pak Bos." Hendro mengguncang lengan Ferdy sekali lagi.

Ferdy menggeliat. Ia merentangkan tangan yang hampir mengenai wajah Hendro hingga asisten itu meliukkan tubuh kurusnya seperti penari ular. 

"Duh, Pak Bos! Sadar, Pak Bos," ucap Hendro.

Aktivitas menggeliat Ferdy terhenti. Pria itu menangkup wajah lalu menyugar rambutnya. "Ada apa sih, Ndro?"

"Pak Bos yang ganteng. Eh, ...." Hendro mengamati wajah Ferdy.  Wajah sang bos tampak muram. Lingkaran hitam di mata Ferdy membuatnya tampak seperti mata hantu sundel bolong legendaris yang diperankan oleh aktris horor favorit sepanjang masa, Suzana. Tentunya, sundel bolong versi cowok. Emang ada ya? tanya Hendro dalam hati. Bodo amatlah. 

Nggak jadi ganteng. Hendro meralat ucapannya dalam hati. "Muka Bapak kusut banget." 

"Memang. Semalam saya tidak bisa tidur, Ndro. Kepikiran perempuan itu terus. Siapa sih dia?"

Hendro menyatukan tangan di atas perut. Raut wajahnya kini tampak gugup. "Begini, Pak Bos. Mm, perempuan yang Pak Bos maksud ada di luar."

"Apa?!!!" Ferdy auto kaget lalu menggebrak meja sekuat tenaga. 

Hendro yang berdiri di depan meja kerja Ferdy hampir melompat. Jantungnya langsung berdentam hebat. Masalah besar mulai merapat, pikirnya.

"Gimana, Pak Bos?" tanya Hendro gugup.

"Gimana apanya?" Ferdy masih berusaha mengatur napas.

"Ya, itu. Perempuan itu. Dia bawa anak kecil juga," jelas Hendro setengah berbisik dan masih dalam posisi siaga, siapa tahu nanti Ferdy bakal menggebrak meja atau membanting kursi. 

Mulut Ferdy membentuk huruf O. Ia mengelus dada berusaha menenangkan diri.  

"Pak Bos, dia mengancam akan lapor ke Pak Bob kalau Bapak tidak mau menerimanya," jelas Hendro lagi.

Mampus gue! "Suruh dia masuk." Ferdy mengalah. Ia tidak akan membiarkan papanya mati berdiri lantaran mendengar kabar tiba-tiba ini.

"Siap, Pak Bos." 

Hendro segera keluar dari ruang kerja Ferdy dan kembali beberapa saat kemudian bersama seorang perempuan cantik dan anak perempuan berusia sekitar lima tahunan.

Ferdy tak bisa berhenti menatap wajah anak perempuan yang berambut cokelat chessnut seperti rambutnya. Pun, dengan warna mata anak itu yang semakin dekat semakin terlihat seperti warna matanya. Abu-abu hiu. Maklum, Ferdy dan Feli mewarisi kegantengan dan kecantikan yang diturunkan dari almarhumah ibunya yang berkebangsaan Belanda. So, jika penampakan Ferdy dan Feli yang sedikit berbeda dengan penduduk lokal, itu wajar saja. 

Apa bener dia anak gue? batinnya.

"Daddy!" Anak itu berlari ke arah Ferdy. Ia memeluk paha Ferdy yang terbalut kain katun berwarna abu-abu.

Ferdy mengangkat tangan seperti tanda menyerah, tapi beberapa detik kemudian ia menurunkan tangannya dan menyentuh puncak kepala anak itu dengan lembut lalu menunduk. Anak itu mengingatkannya pada Valenino, keponakannya yang kedua. Hanya berbeda jenis kelamin. 

Anak perempuan berpipi tembam itu mengangkat wajahnya. Ia menatap Ferdy sambil memasang muka memelas. "Daddy kok enggak pulang-pulang sih? Ara kangen sama Daddy."

Sekali lagi shock therapy menyengat Ferdy. Ferdy tercengang mendengar pernyataan gadis kecil yang imut itu. 

Gila, di hari kelahiran gue. Gue mendadak menjadi duda sekaligus menjadi daddy. 

4. Tinggal Bareng

"Anda ini siapa ya?" tanya Ferdy dengan polos.

Perempuan yang mengenakan kemeja ketat berwarna biru dan rok pensil hitam dengan belahan samping sampai setengah paha itu berdecak kesal. Ia berjalan mendekati Ferdy. Koreksi, bukan ke Ferdy tapi ke anak perempuan bernama Ara yang masih betah menggelendoti Ferdy. 

"Jangan pura-pura lupa kamu!" Sergah perempuan itu 

Mulai lagi deh. Ferdy mengembus napas dengan cepat. "Saya memang tidak tahu dan tidak ingat Anda."

"Anda ...  Anda. Jangan sok formal! Biasanya juga kamu panggil saya Bee," perempuan bernama Bianca yang biasa dipanggil itu protes keras. Ia menekankan panggilan namanya sendiri pada Ferdy.

"Bee, ya?" desis Ferdy sambil menatap bingung. 

"Iya, Bapak Ferdinan Hutomo tersayang," tandas Bee sebelum menarik Ara pelan-pelan dari sisi Ferdy. "Sini, Sayang. Daddy kamu kayaknya hilang ingatan, jadi kelihatan kayak orang bloon gitu."

Ferdy mengangkat alisnya. Baru kali ini ada perempuan yang menyebutnya bloon. Apa iya tampangnya sekarang terlihat seperti orang bodoh? Ah, masa bodoh dengan penampilannya. Sekarang, ia harus tahu apa yang diinginkan Bee. 

"So, mau Anda apa?" tantang Ferdy.

Alih-alih menjawab, Bee justru menuntun Ara ke sofa. Ia meminta gadis kecilnya duduk, lalu ia pun ikut duduk. Bee duduk bertumpang kaki hingga sebagian paha putih mulusnya terekspos. 

Dari tempatnya berdiri, Ferdy secara tidak sengaja melihat pemandangan yang membuat jantungnya berdenyut kencang. Iman sih bisa tahan, tapi si imin gak kuaaat!

Ferdy menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan berusaha membuat dirinya tenang. Ia seorang pria yang punya prinsip dan tidak akan mudah tergoda oleh hal sekecil itu. Ia harus menghadapi masalah yang lebih besar yang sekarang terbentang di hadapannya.

Se-cool mungkin Ferdy berjalan menuju sofa dan sebisa mungkin pandangannya hanya ia arahkan pada Ara. Perempuan bernama Bee itu bagaikan ancaman besar. Lambat laun ia bisa memorakporandakan hidupnya, pikir Ferdy. 

"So, mau Anda apa?" ulang Ferdy.

Bee memandang sinis pada Ferdy sambil mengerutkan dahi. "Bukannya sudah jelas? Saya minta cerai."

"Tunggu. Kapan kita menikah? Masalahnya, saya tidak ingat sama sekali," Ferdy tetap pada pendiriannya bahwa ia tidak mengingat Bee dan pernikahan mereka.

"Kita tidak bisa membicarakan ini di depan Ara dan ...." Pandangan Bee tertuju pada Hendro yang masih setia berdiri di samping meja kerja Ferdy.

"Oke." Ferdy menoleh ke samping ke arah Hendro yang masih setia berdiri menunggu perintah. "Pak Hendro, tolong bawa Ara keluar dulu, ya."

"Baik, Pak." Hendro berjalan mendekati Ara lalu membunjuk anak itu untuk ikut bersamanya.

Suasana tegang dan sedikit panas menjadi atmosfer baru di ruang kerja Ferdy setelah Hendro dan Ara keluar dari ruangannya. Kini, mereka duduk berhadapan. Sekilas memandang wajah Bee, Ferdy bergidik ngeri. Perempuan itu sejenis ratu lebah yang bisa menyengat dan membunuhnya kapan saja. Prasangka buruk itu terus bergelung di kepala Ferdy hingga menyesakkan dadanya.

"Jadi, ...." Ferdy sengaja membuat ucapannya mengambang untuk memancing penjelasan dari Bee.

"Jadi, kita menikah di Oklahoma dan sudah mendaftarakan akta nikah kita di Indonesia. Jangan bilang kamu juga lupa tanggal dan tahunnya," tukas Bee.

Ferdy menggeleng. Ia berusaha mengingat peristiwa itu. Namun, sialnya otak Ferdy tetap nge-blank. Ia tidak mampu mengingat apa pun yang berhubungan dengan Bee dan pernikahan mereka. Yang ia ingat, ia hampir tidak punya waktu berkencan apalagi pacaran di sana lantaran ia mengejar karir sebagai CMO di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa. 

"Laki-laki macam kamu memang pandai berkelit." Bee menyilangkan tangan di atas perut. Bee tidak menyadari jika aktivitasnya itu membuat dada Bee yang montok terangkat dan memamerkan belahannya.

Aduh! Ferdy otomatis pusing atas-bawah. Ia mengernyitkan alis sambil menahan entakan di pusat tubuhnya yang tiba-tiba meronta. Sejujurnya Ferdy tidak memahami apa yang dikatakan Bee. "Laki-laki macam saya? Laki-laki bagaimana maksudnya?"

"Laki-laki brengsek yang suka mainin perasaan cewek. Hobi gonta-ganti pasangan. Hm, sudahlah. Jika kamu mengira saya mengada-ada, kamu bisa cek keabsahan Akta Perkawinan kita dari Oklahoma yang sudah tercatat  di Kantor Pencatat Perkawinan di sini." Bee masih bertahan dengan posisinya bersedekap.

Ferdy semakin kebingungan dengan penjelasan Bee. Raut wajahnya kini tampak sekusut pikirannya. Selama ini ia tidak merasa pernah hilang ingatan, tapi penjelasan Bee seperti memojokkannya akan sesuatu yang tidak ia ingat sama sekali.

"Look! Saya tidak punya pacar yang serius selama saya bekerja di Oklahoma. Kalau Anda—"

Bee menurunkan tangannya ke pinggang. Matanya berapi-api penuh kemarahan menatap Ferdy. "Benarkan apa kata saya?! Laki-laki macam kamu ini pasti menyangkal!" 

Ferdy hampir melompat mendengar teriakan Bee. Kumat nih cewek.

Ferdy mengangkat tangan di depan dada tanda menyerah. "Oke, oke. Anda jangan marah begitu dong. Sekarang, mau Anda apa? Maaf, kalau saya memang tidak mengingat Anda dan anak Anda sama sekali."

"Anak kita!" tegas Bee.

Lagi-lagi Ferdy tersentak. Ia menekan dada agar tidak beneran melompat. "Oke. Iya, anak kita." Mungkin.

"Saya dan Ara minta hak kami. Selama hampir lima tahun kamu tidak membiayai hidup kami," tuntut Bee.

Indeed? Nih, cewek mau memeras gue kayaknya. Opini buruk mulai terbentuk di kepala Ferdy. Kali ini Ferdy berlagak ia yang berada di pihak yang benar. Ia bersedekap. Melayangkan tatapan membunuh pada Bee.

"Anda mau berapa?" Ferdy langsung mengajukan penawaran. 

Tidak mau kalah, Bee pun melayangkan tatapan tajamnya pada Ferdy dan membuat pria itu otomatis menelan ludah.

Sial, tatapan penebar mautnya bikin gue jantungan, batin Ferdy.

"Saya tidak mau uang. Saya mau perlindungan. Saya bangkrut dan  jobless. Saya dan Ara untuk sementara mau tinggal sama kamu sampai saya mendapat pekerjaan baru," papar Bee.

Ferdy kehabisan kata. Suara detak jantungnya yang menulikan telinganya sendiri menambah volume ketegangan. Ia berusaha meredam kepanikan setenang yang ia bisa dengan menghela napas panjang dan mengeluarkannya perlahan-lahan. Setelah beberapa detik mengolah data, bagian lobus frontal dari otak besarnya mulai bekerja. "Anda bilang sekarang Anda jobless, tapi Anda bisa menyewa pengacara dari Law Firm yang bonafide."

"Itu karena bantuan teman saya yang ada di sana. Saya sangat berterima kasih padanya karena mau membantu proses perceraian kita ini tanpa mau dibayar," jawab Bee singkat, jelas, dan padat.

Ferdy mengangguk sambil menurunkan kedua ujung bibirnya. "Saat di bandara, Anda bilang saya tidak akan bisa ketemu anak saya lagi. Nyatanya—"

"Saya berubah pikiran.” Bee memotong dengan cepat. “Saya pikir saya tidak akan kehilangan pekerjaan dalam waktu singkat. Kenyataannya, kemarin saya dipecat.”

"Baiklah. Tempat tinggal?" Ferdy memutar bola mata sekaligus otaknya mencari solusi. "Anda bisa tinggal di rumah saya di perumahan—"

"Saya hanya mau tinggal di tempat kamu tinggal sekarang," pungkas Bee tanpa basa-basi.

"Nggak bisa!" tolak Ferdy mentah-mentah. 

"Selama belum ada ketuk palu hakim dari Pengadilan Agama, kamu masih suami saya. Kamu mau istri dan anak kamu diapa-apain orang di sana?!" Nada bicara Bee kembali meninggi.

Sial. Kalau nada bicara Bee terus meninggi seperti saat ini, suaranya bakalan nyampe ke ruang kerja papanya yang ada di sebelah ruangannya. Papanya bisa mendengar dan mendadak syok. Ferdy belum siap mengatakan apa pun pada papanya selama ia belum punya bukti yang membenarkan intuisinya sebagai korban penipuan.

"Oke. Anda akan tinggal di apartemen saya. Jangan teriak-teriak lagi. Ini kantor, bukan terminal bus. Paham?" Ferdy mulai kesal.

"Baiklah." Bee mengangguk.

Ferdy mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Hendro. Ia meminta Hendro membawa Ara masuk ke ruangannya. Waktu menunggu Hendro dan Ara tiba di sana terasa sangat panjang seperti menunggu matahari terbit pada bulan Desember di Alaska. Lama pakai banget. Duduk berhadapan dengan perempuan tidak dikenal yang mengaku sebagai istri dan ibu dari anaknya, membuat Ferdy canggung dan salah tingkah. Ia bersedekap, menurunkan tangannya, lalu bersedekap lagi. Berbagai pose duduk pun sudah ia coba. Beruntung, beberapa menit kemudian Hendro tiba bersama Ara. 

"Baiklah. Saya mau bicara dengan asisten saya dulu. Setelah itu kita akan pergi apartemen saya," ucap Ferdy sambil berdiri. 

Bee mencebik, lalu mengernyitkan dahi sambil menatap Ferdy penuh selidik.

Hendro yang  berdiri di samping  Ferdy sedikit membungkuk menjelaskan. "Sebentar saja, Bu.”

"Jangan kabur, ya! Awas kalau kamu kabur. Saya akan viralin kasus ini.”

“Anda tenang saja. Saya terkenal se-Jakarta raya. Kalau saya kabur, pasti saya bisa dengan mudah ditemukan.” Ferdy menjawab dengan percaya diri, merasa seperti artis terkenal.

Bee mengerling ke arah Ferdy. “Huh, sombong!”

Masa bodoh kalau si Bee mau ngomong sesukanya. Ferdy tetap tak peduli dan butuh bicara dengan Hendro. "Ayo, Ndro, kita keluar dulu!" 

Ferdy berjalan lebih dulu keluar dari ruangannya diikuti Hendro.

Ferdy dan Hendro berjalan ke sudut koridor. Persis di depan jendela kaca besar, keduanya berdiri berhadap-hadapan. Di saat kapasitas otaknya overload oleh beban baru, Ferdy butuh solusi instan yang tidak menyesatkan. Ia menceritakan keinginan Bee yang ingin tinggal bersamanya pada Hendro.

"Untuk sementara, ya begitu saja dulu, Pak Bos," saran Hendro, "atau Pak Bos bisa minta bantuan Pak Rustam untuk menyelidiki kebenaran pernikahan Pak Bos sama Bu Lebah itu. Pak Rustam kan punya keponakan di Amerika sana."

"Keponakan Mas Rustam itu di New York. Sedangkan, fakta lunak ini terjadi di Oklahoma. Jaraknya saja dua kali jarak dari ujung barat ke ujung timur pulau Jawa. Jauh banget, Ndro."

"Tapi kan keponakan Pak Rustam itu menikah dengan anak mantan Senator. Pasti relasinya dia banyak, Pak Bos. Apa salahnya Pak Bos minta bantuan Pak Rustam? Siapa tahu solusi masalah Pak Bos bisa segera terpecahkan," saran Hendro lagi.

"Iya, sih. Ada baiknya juga minta bantuan Mas Rustam. Thanks ya, Ndro." Ferdy menepuk pundak Hendro pelan.

"Jangan sungkan, Pak Bos. Saya siap kapan pun Pak Bos butuh bantuan saya."

Ferdy tersenyum. Di balik sikap urakan dan nyeleneh Hendro, ternyata pria itu bisa diandalkan. Ya, jika tidak bisa diandalkan, Ferdy pasti sudah memecatnya sejak lama. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dear Vlad (Bab 26)
7
2
Cuplikan:“Beri aku satu alasan kenapa kau tidak mau bersamaku?” Penolakan Dahlia meluruhkan semua harapan Vlad. Dia menginginkan keabadian hanya untuk menanti wanita itu menjadi miliknya kembali. “Because I have someone you hate! Aku punya anak lycan!” tandas Dahlia. Wajahnya basah oleh air mata dan bibirnya bergetar.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan