
Cuplikan Part:
"Apa kau pikir aku membutuhkan alkohol untuk menyentuhmu sekarang?" bisiknya sambil mendekatkan wajah ke wajahku.
Jantungku berdebar kencang, bukan karena rasa ingin, tapi karena ketakutan yang mulai merayap naik ke tenggorokanku.
Part 4
"Kejar dia! Jangan sampai lolos!"
Perintah Tigor menggema di antara deru angin malam. Suaranya terdengar penuh amarah dan ancaman. Aku merinding, tapi tak ada waktu untuk ragu. Aku harus terus berlari. Langkah yang sudah kuambil tak bisa kuhentikan. Ini satu-satunya kesempatan untuk lepas dari cengkeraman Madam Jenny.
Kakiku nyaris menyerah dan napasku memburu. Namun, aku tak boleh berhenti. Jalanan sempit dan licin di sepanjang dermaga menjadi satu-satunya jalur pelarianku. Bau asin laut bercampur dengan aroma kayu lapuk dari peti-peti kargo yang berserakan. Suara debur ombak menggema di kejauhan, berpadu dengan derap langkah-langkah kasar yang semakin mendekat di belakangku.
DUAR!
Telingaku berdenging. Hatiku mencelos. Ya Rabb, suara apa itu?
Dadaku berdebar begitu kencang seakan ingin meledak. Jantungku berpacu dengan ketakutan yang semakin mencengkeram. Aku menoleh ke kiri dan kanan mencari tempat untuk bersembunyi. Bayangan peti kemas di ujung dermaga tampak seperti satu-satunya harapanku. Tapi, apakah aku masih punya cukup waktu mencapainya sebelum mereka mengejarku?
Aku menahan napas, berjongkok di balik salah satu peti kemas yang tingginya hampir dua kali tubuhku. Tanganku mencengkeram dadaku yang berdebar tak karuan. Suara langkah kaki semakin mendekat. Aku mengintip dari celah sempit di antara peti-peti kayu, berharap bisa memastikan keberadaan Tigor dan anak buahnya.
Namun, yang kulihat justru sesuatu yang tidak kuduga—sekelompok laki-laki lain sedang berlari melintasi dermaga, mengejar seseorang. Mereka bukan anak buah Tigor. Aku tidak mengenali mereka. Siapa mereka? Apakah mereka bagian dari jaringan Madam Jenny? Atau kelompok lain yang terlibat dalam kekacauan ini?
DUAR!
Suara itu kembali memecah malam. Aku tersentak dan lututku langsung melemas. Jantungku berdentum keras di dalam dada. Semampunya, aku berusaha menahan rasa panik yang kembali merayapi tubuh. Aku harus bergerak dan tidak bisa
Namun, sebelum aku sempat memutuskan langkah, tiba-tiba sebuah tangan kuat mencengkeram lenganku.
Aku terkejut, hampir berteriak, tapi orang itu dengan sigap menutup mulutku dengan tangannya yang lain. Berusaha meronta, tapi percuma saja. Gerakannya lebih cepat. Dalam hitungan detik, aku sudah ditarik ke dalam bayang-bayang gelap di antara peti-peti kemas yang lebih besar.
Cahaya remang-remang membuatku sulit mengenali wajahnya. Yang bisa kulihat hanyalah tato besar berbentuk sayap di sepanjang lengannya. Dadaku masih berdebar kencang. Kini, aku bukan hanya ketakutan tapi juga bingung.
"Diam kalau lo masih ingin hidup," bisiknya di telingaku dengan suara yang terdengar tenang tapi penuh kewaspadaan.
"Oek… oek!"
Astagfirullah! Aku tersentak bangun dan mengerjap beberapa kali, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya terang yang menembus tirai kamarku. Oh, cahaya matahari? Pagi? Sejak kapan aku tidur sampai siang seperti ini? Biasanya aku selalu bangun lebih awal sebelum matahari naik tinggi.
Sebelum aku sempat memahami apa yang terjadi, suara tangisan nyaring kembali terdengar.
Ello!
Aku langsung terduduk dan mengusap wajah, mencoba menghilangkan sisa kantuk dan kebingungan. Aku merasa seperti baru saja keluar dari mimpi yang begitu nyata. Namun, tak ada waktu untuk memikirkannya sekarang.
Dengan jantung berdebar, aku bergegas bangkit dan turun dari tempat tidur. Lalu, berjalan cepat menuju kamar Ello.
Begitu membuka pintu, aku melihat tubuh kecil Ello menggeliat gelisah di tempat tidur. Wajahnya memerah dan matanya berkaca-kaca. Napas anak itu tampak tersengal-sengal, sementara tangannya mencengkram selimut dengan lemah.
Aku menempelkan telapak tangan ke dahinya dan saat panas tubuhnya menyentuh kulitku, rasa panik langsung menyerang.
"Ello, sayang," bisikku sambil menggendongnya.
Kulihat Ira masuk sambil membawa botol susu ditangannya. Wajah pengasuh itu tampak tegang saat melihatku. Aku melihat ketakutan yang jelas di sana. Kenapa reaksi harus seperti itu?
"Maaf, Bu. Ello saya tinggal sebentar untuk bikin susu,” katanya sambil membungkuk.
“Nggak apa-apa, Mbak.” Aku menempelkan telapak tanganku lagi ke kening Ello. “Kayaknya demam Ello tambah tinggi, kita ke dokter aja, Mbak.”
“I-iya, Bu.” Ira menunduk. Tubuhnya tampak sedikit gemetar. Aneh.
Sikap gugup Ira membuatku heran. Apa pengasuh dan ART orang-orang kaya harus terlihat seperti abdi kerajaan yang manut banget, ya? Nggak bisa apa mereka bersikap patuh seadanya, tanpa kelihatan kayak, maaf, orang bego begitu? Tapi, ya sudahlah. Yang penting sekarang adalah Ello.
Aku menurunkan Ello ke tempat tidurnya, lalu memandang Ira. “Tunggu sebentar ya. Aku ganti baju dulu.”
“I-ibu mau ikut ke dokter?” tanya Ira dengan suara yang jelas banget kedengaran gugup.
Kalau aku merasa heran mendengar pertanyaan Ira, wajar dong. Sekarang, aku Brianna, ibunya Ello. Tidak aneh kan kalau aku yang membawanya ke dokter?
“Iya,” jawabku singkat.
Tanpa buang waktu, aku mengganti pakaianku seadanya, meraih tas, lalu bergegas keluar rumah bersama Ira sambil menggendong Ello. Sopirku langsung menyalakan mesin mobil begitu melihat kami terburu-buru. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku terus mengusap punggung Ello, membisikkan kata-kata lembut meski kepanikanku sendiri tak bisa sepenuhnya kusembunyikan.
Di rumah sakit, dokter segera memeriksa Ello dan memberikan penanganan. Aku menghela napas lega saat dokter mengatakan bahwa ini hanya demam biasa, kemungkinan karena kelelahan. Meski begitu, aku tetap merasa gelisah. Aku tidak pernah menyukai saat-saat seperti ini, saat aku merasa tak berdaya melihat anak kecil kesakitan.
Setelah semua urusan selesai, kami akhirnya keluar dari rumah sakit. Aku masih menggendong Ello, membiarkan kepalanya bersandar di dadaku. Tubuh mungilnya sudah tidak sepanas tadi, tapi aku tetap merasa enggan melepaskan dan menyerahkannya pada Ira.
“Maaf, Bu. Ibu nggak capek menggendong Ello? Biar saya aja, Bu, yang menggendong,” ucap Ira di sela-sela langkah kami.
“Nggak apa-apa, aku masih kuat kok, Mbak.”
Aku terus berjalan di sepanjang lorong dan Ira melangkah bersama di sampingku sambil membawa tas yang berisi keperluan Ello. Pandanganku terus fokus ke depan karena ingin segera tiba di rumah. Namun, tiba-tiba … buuuk!
“Aduh!”
Suara mengaduh menghentikan langkahku. Aku menoleh ke samping ke arah Ira. Wanita itu terlihat baik-baik saja, tapi tas Ello ada di lantai. Ira segera mengambilnya.
“Maaf, Bu, Maaf.” Seorang laki-laki yang mengenakan setelan celana jeans biru dan kaus hitam menghampiri Ira dan hendak membantu Ira mengambil tas Ello. Sayangnya, Ira lebih dulu meraih tas tersebut.
“Maaf, ya, Bu. Saya tidak melihat Ibu tadi. Saya sedang fokus ke HP saya,” imbuh laki-laki itu.
“Tidak apa-apa, Mas,” kata Ira.
“Mbak, nggak apa-apa, ‘kan?” tanyaku.
Ira menggeleng. “Nggak, Bu. Cuma tas Ello yang jatuh.”
“Brianna?” tanya laki-laki itu tiba-tiba.
Aku mengalihkan pandanganku padanya. Bibir laki-laki itu pun mengembangkan senyuman, tapi kurasa senyumannya tampak kaku. Dia seperti menyesal lantaran telah menyapaku. Mm, maksudku menyapa Brianna.
Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. Aku tidak tahu harus berkata apa karena aku tidak mengenalnya. Eh, tapi mungkin Brianna mengenalnya.
“Siapa yang sakit?” tanyanya.
“Ello,” jawabku. Namun, laki-laki berambut cokelat dan berkacamata itu tampak kebingungan. “Anakku,” jelasku kemudian.
Ekspresi laki-laki itu langsung berubah sebelum dia memandang ke arah Ello. “Oh, sakit apa?”
“Demam. Tapi dokter bilang, dia akan segera sembuh kok.”
Laki-laki itu kembali tersenyum. Kali ini senyumannya tampak lebih santai dan tulus. “Semoga anakmu cepat sembuh, ya,” katanya.
“Iya. Terima kasih. Mm, aku harus pulang. Permisi.”
“Baiklah. Hati-hati di jalan.” Laki-laki itu masih memasang senyuman di wajahnya.
Belum sempat aku berbalik, seorang wanita berambut sebahu datang menghampiri laki-laki itu dari arah berlawanan. Aku tidak memedulikannya dan langsung berbalik memunggungi mereka. Tapi saat aku dan Ira mulai berjalan meninggalkan mereka, aku mendengar wanita itu bicara.
“Tumben Putri Sejuta Dolar itu mau ngobrol sama rakyat jelata.”
Lalu, aku juga mendengar laki-laki tadi bilang, “Ssst! Setiap orang bisa berubah.”
Ucapan-ucapan bernada sarkas itu, entah kenapa langsung melekat di kepalaku. Kupikir hanya ART di rumah Brianna saja yang bersikap aneh. Ternyata, orang-orang di luar sini justru bersikap lebih parah. Aku jadi ingin tahu lebih banyak tentang Brianna. Kenapa banyak orang yang tidak menyukainya, bahkan suaminya sendiri?
Part 5
Setelah pulang dari rumah sakit, aku menghabiskan waktu menjaga Ello. Bocah itu masih tampak lemah, dan aku yakin Ira pasti kelelahan karena menjaganya sepanjang malam. Meski awalnya menolak saat kuminta beristirahat, akhirnya, setelah aku memaksa, pengasuh itu mau juga menyerahkan tugasnya padaku.
Setelah makan dan minum obat, Ello tertidur nyenyak. Napasnya pelan dan teratur. Wajahnya pun jauh lebih tenang dibanding tadi pagi. Aku duduk di tepi ranjangnya sebentar, memastikan ia benar-benar terlelap sebelum perlahan bangkit. Ini kesempatanku. Aku harus mencari tahu tentang Brianna.
Tapi bagaimana caranya?
Jika aku bertanya langsung kepada asisten rumah tangga di sini, mereka pasti tidak akan berkata jujur. Bisa jadi mereka terlalu loyal atau justru takut untuk berbicara. Aku harus menemukan cara lain.
Aha!
Sebuah ide mendadak muncul di kepalaku.
Aku segera memanggil Juju, kepala ART di rumah ini, dan dengan nada santai bertanya, "Bi, barang-barang pribadiku biasanya disimpan di mana, ya? Aku lupa."
Untungnya, kemarin Vincent sudah memberi tahu Juju dan ART lainnya bahwa ingatanku terganggu. Jadi, pertanyaanku terdengar natural dan tidak mencurigakan.
Juju tampak berpikir sebentar sebelum akhirnya berkata, "Barang-barang pribadi Ibu ada di kamar, Bu. Saya tunjukkan, ya?"
Aku mengangguk, lalu mengikuti langkah Juju menuruni anak tangga menuju ke kamarku. Setibanya di dalam, ia berjalan ke sisi ruangan yang selama ini kupikir hanya tempat menyimpan pakaian dan aksesori. Aku memang tahu ada lemari besar di dekat kamar mandi, tapi ternyata ruangan itu lebih dari sekadar tempat menggantung baju. Ini adalah walk-in closet. Aku tahu istilah itu dari film yang kutonton.
"Laci di bawah rak baju ini tempat menyimpan barang-barang Ibu," kata Juju sambil menunjuk deretan laci berukuran sedang.
Aku berjongkok dan menarik salah satu laci dengan hati-hati. Isinya cukup beragam. Ada dompet, beberapa perhiasan yang berkilau, dan ponsel. Tidak hanya satu, tapi beberapa.
Orang kaya memang beda. Ponsel saja harus berjejer seperti di etalase toko.
Juju tampaknya menyadari kebingunganku. "Ibu biasanya pakai dua ponsel, Bu. Satu rusak waktu Ibu kecelakaan, yang satunya ini," jelasnya sambil menunjuk ponsel berwarna abu-abu.
Aku mengambilnya dan membolak-baliknya di tangan. Tidak ada sidik jari atau pola pengunci yang langsung terlihat di layar. Ini mungkin bisa jadi jalan masuk yang mudah untuk mencari tahu lebih banyak tentang Brianna.
"Oh, gitu. Terima kasih ya, Bi," kataku sambil tersenyum kecil.
"Sama-sama, Bu," sahut Juju, membalas dengan sopan.
Sebelum ia pergi, aku memutuskan untuk sekalian bertanya. "Oh iya, Bi. Pak Adrian biasanya pulang jam berapa?"
Juju tampak sedikit ragu sebelum menjawab. "Pak Adrian jarang pulang, Bu. Tapi kemarin Bapak sempat datang sebentar. Ibu tidak bertemu dengan Bapak?"
Aku mengangguk sedikit. "Iya, kami bertemu kemarin."
Kalau dia jarang pulang, lalu ke mana dia selama ini?
"Apakah Bapak punya rumah lain selain rumah ini?" tanyaku lagi, mencoba menggali informasi lebih dalam.
Juju mengangguk pelan. "Bapak punya beberapa rumah, Bu. Apartemen juga ada."
Pantas saja dia tidak merasa perlu pulang ke rumah ini. Apalagi, rumah tangganya dengan Brianna tidak harmonis.
Aku mencoba memasukkan pertanyaan terakhir dengan nada ringan, meskipun dadaku sedikit berdebar. "Oh iya, Bi. Pak Adrian tidur di kamar ini juga? Soalnya aku lihat semua barang di sini kayaknya punyaku semua." Lalu, aku menambahkan sedikit keluhan, "Sejak kecelakaan, aku jadi sulit mengingat."
Juju menggeleng. "Kamar Bapak di samping kamar Ello, Bu. Tapi Bapak hampir tidak pernah tidur di sini."
Aku diam. Kata-kata Juju membawa serta kenyataan yang terasa dingin. Rumah sebesar ini, tapi Adrian memilih untuk tidak tidur di sini? Apakah karena Brianna? Atau, ada alasan lain yang lebih dalam?
Aku kembali ke kamar Ello dan duduk di sofa di samping ranjangnya. Suasana kamar ini begitu tenang, hanya suara napas pelan Ello yang terdengar. Aku melirik ponsel abu-abu di tanganku, lalu menghembuskan napas pelan sebelum menyalakannya.
Meskipun aku berasal dari kampung dan dulu hanya punya ponsel “kentang”, ponsel murah dengan spesifikasi pas-pasan, setidaknya aku masih bisa meraba-raba cara menggunakan perangkat ini. Namun, yang terjadi selanjutnya benar-benar membuatku tertegun.
Tanganku bergerak begitu lincah. Jempolku meluncur di layar dengan kecepatan dan ketepatan yang mencengangkan seakan aku sudah terbiasa menggunakan ponsel ini. Aku membuka aplikasi, menggulir halaman, mengetik dengan akurasi yang nyaris sempurna. Semua itu kulakukan tanpa berpikir atau ragu.
Apa yang terjadi denganku?
Aneh, tapi ini sebuah keuntungan. Aku tidak mau membuang waktu lebih lama. Alhamdulillah, setidaknya aku dipermudah mencari tahu tentang Brianna dan juga Adrian.
Segera, aku mulai mencari jejak digital mereka di internet. Cukup mengetikkan nama mereka di kolom pencarian, deretan berita dan artikel tentang mereka langsung bermunculan. Tanpa perlu bersusah payah, informasi mengalir deras di layar ponsel.
Aku membaca satu per satu dengan teliti, menyerap setiap detail, dan mencoba memahami siapa sebenarnya Brianna Rajasa dan Adrian Wirabima. Yang pertama, aku membaca artikel tentang Brianna dari sebuah media nasional. Berita yang tertulis di artikel tersebut:
Brianna Rajasa, anak salah satu petinggi Ditjen Pajak, mengalami kecelakaan akibat menabrakkan mobil yang dikendarainya sendiri ke sebuah truk di ruas jalan tol dalam kota. Kecelakaan tersebut terjadi pada tanggal 2 Agustus, tepat di hari ulang tahunnya.
Tunggu, dua Agustus?
Dadaku langsung berdebar. Itu tanggal ulang tahunku juga. Dan bukan hanya itu, aku juga mengalami sesuatu yang mengerikan di tanggal tersebut. Entah itu kecelakaan atau usaha pembunuhan, yang jelas, aku masih bisa merasakan ketakutan dan rasa sakit yang begitu nyata setiap kali mengingatnya.
Aneh. Lahir di tanggal yang sama, lalu mengalami insiden di tanggal yang sama pula. Kebetulan macam apa ini?
Aku menelan ludah, jemariku gemetar saat menggulir layar ponsel dan membaca artikel itu lebih lanjut. Kemudian, aku menemukan detail lain yang membuat napasku tertahan. Brianna ternyata lebih tua dariku. Empat tahun lebih tua. Brianna berusia 25 tahun saat ini.
Dari beberapa artikel yang kubaca, tak satu pun artikel-artikel tersebut memberitakan hal positif tentang Brianna. Kebanyakan memberitakan tentang perilakunya yang kontroversial dan seringkali melanggar norma. Pantas saja banyak orang melihatku dengan tatapan aneh. Dari berita yang kubaca, Brianna Rajasa jelas bukan sosok istri, apalagi ibu yang ideal. Ia dibesarkan oleh ayahnya seorang diri, tanpa sosok ibu, tanpa pengawasan ketat, dan dengan harta yang melimpah ruah. Kombinasi faktor-faktor ini membentuknya menjadi pribadi yang seenaknya, liar, dan tidak terbiasa diatur. Citra publiknya yang buruk diperparah oleh berbagai skandal dan kontroversi yang melibatkan dirinya.
Lalu, Adrian.
Suamiku atau lebih tepatnya, suami Brianna adalah seorang pengusaha muda yang sukses. Di usianya yang ke-33, ia telah memiliki beberapa perusahaan di bidang perdagangan dan dikenal sebagai salah satu pebisnis paling berpengaruh di Indonesia.
Ayahnya adalah seorang konglomerat asal Surabaya dengan kerajaan bisnis yang tersebar di berbagai sektor. Sementara itu, ibunya, seorang wanita Belgia, telah meninggal beberapa tahun lalu.
Namun, ada satu hal yang menarik perhatianku. Di antara banyak media yang memuja Adrian tentang kejeniusannya dalam bisnis, dedikasinya terhadap negeri, dan citranya sebagai pengusaha muda yang dermawan, ada satu media online yang berani menulis sesuatu yang berbeda. Bukan sekadar kritik biasa, melainkan tuduhan yang begitu serius hingga membuat tengkukku meremang.
Media itu menuding bahwa salah satu perusahaan milik Adrian hanyalah cangkang, sebuah kedok untuk menutupi operasi bisnis sebenarnya: perdagangan manusia, prostitusi, dan perjudian. Kata-kata itu tertulis jelas dalam laporan panjang yang disertai bukti-bukti mencengangkan. Foto-foto buram, data keuangan yang mencurigakan, serta wawancara anonim dengan seseorang yang mengaku pernah bekerja di dalamnya.
Jantungku berdenyut kencang. Jemariku menggenggam ponsel lebih erat. Jika tuduhan ini benar, apakah bisnis Adrian berhubungan dengan orang-orang seperti Madam Jenny?
Pikiran itu menghantamku dengan keras hingga membuat napasku tersendat. Tiba-tiba, udara di sekitarku terasa lebih dingin.
Tubuhku langsung meremang. Bukan hanya karena keterkejutan, tapi juga karena ketakutan yang menyeruak dari dalam diriku. Sebab, bagaimanapun juga … aku adalah salah satu korban. Korban perdagangan manusia. Korban prostitusi.
Dan sekarang, aku harus menghadapi kemungkinan bahwa pria yang menjadi suami di kehidupan baruku adalah pelaku dari semua itu. Sungguh mengerikan.
Siang berlalu, sore merayap pelan, dan akhirnya malam datang menjemput. Ira mengambil alih tugas menjaga Ello, sementara aku kembali ke kamarku untuk beristirahat.
Begitu pintu tertutup di belakangku, keheningan langsung menyelimuti. Aku menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa lelah yang menempel di tubuh. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, aku merebahkan diri di tempat tidur.
Namun, meskipun mataku terpejam, pikiranku terus berputar. Tentang Ello. Tentang Adrian. Tentang Brianna. Dan tentang diriku sendiri. Aku membuka mata, menatap langit-langit kamar yang luas dan terasa begitu asing.
Tiba-tiba, suara pintu yang terbuka dengan kasar membuat tubuhku menegang.
Brak!
Aku nyaris melonjak ketika melihat Adrian berdiri di ambang pintu dan masih mengenakan setelan jas kerjanya. Rahang pria itu mengeras, matanya gelap, dan sorotnya tajam seperti mata pisau yang siap menusuk.
Sebelum aku sempat berkata apa pun, ia melangkah cepat ke arahku, lalu menarik lenganku dengan kasar. Tubuhku terangkat dari tempat tidur begitu saja dan terbawa oleh kekuatan genggamannya yang mencengkeram tanpa ampun.
"Apa-apaan—"
"Kau pikir aku sebodoh itu?" Suara Adrian terdengar rendah, tapi penuh amarah yang ditahan. Napasnya pun tampak berat, sementara dadanya naik turun. Aku bisa merasakan panas tubuhnya begitu dekat denganku.
Aku menatapnya tajam. "Apa maksudmu?"
Adrian mendengus pendek, senyum sinisnya terukir di wajah tampannya yang kini dipenuhi kemarahan. "Kau benar-benar ingin mengubah imej, ya? Berlagak jadi ibu yang baik, istri yang peduli, agar semua orang bersimpati padamu? Apa kau kira aku akan jatuh dalam jebakan itu?"
Aku mengangkat wajah menatapnya. Setelah membaca berita di media online tadi, aku tidak sudi menunjukkan kelemahan pada Adrian meskipun aku tahu berita itu masih abu-abu. Yang dia ancam sekarang itu aku, Sekar, bukan Brianna. Seenaknya saja dia memperlakukanku.
"Jebakan?" Aku tertawa kecil penuh ejekan. "Yang menjebak siapa? Aku atau egomu yang terlalu besar untuk menerima kenyataan bahwa aku bisa berubah?"
Tatapan Adrian semakin berbahaya. Tangannya masih mencengkeram erat lenganku.
"Kau perempuan menyedihkan yang takut kehilangan status dan kemewahan," desisnya dingin. "Dan apa pun yang kau lakukan, itu tidak akan mengubah apa pun."
Aku tersenyum miring, lalu mengangkat dagu sedikit. "Lalu kenapa kau belum juga melakukannya?"
Aku bisa merasakan napasnya tertahan sesaat. Matanya menyipit dan rahangnya mengeras saat menatapku.
"Apa kau tidak berani?" lanjutku sengaja memancingnya. "Atau jangan-jangan, kau hanya pria lemah yang tidak bisa mengambil keputusan? Bahkan untuk tidur denganku saja, kau harus mabuk lebih dulu.”
Ups, ngomong apa sih aku ini? Kenapa membawa-bawa acara tidur segala? Duh, salah ngomong. Walaupun berlagak berani, tapi tetap saja aku takut diapa-apain.
Lalu, tanpa peringatan, Adrian meraih wajahku dengan kasar.
Jari-jarinya mencengkram rahang dan menahanku agar tidak bisa menghindar. Matanya yang gelap menusuk ke dalam mataku, membuat napasku tercekat. Aku bisa merasakan panas tubuhnya begitu dekat, bisa mencium aroma maskulin yang bercampur dengan samar-samar aroma alkohol, entah itu sisa dari minuman sebelumnya atau hanya imajinasiku.
"Apa kau pikir aku membutuhkan alkohol untuk menyentuhmu sekarang?" bisiknya sambil mendekatkan wajah ke wajahku.
Jantungku berdebar kencang, bukan karena rasa ingin, tapi karena ketakutan yang mulai merayap naik ke tenggorokanku. Aku tidak bisa bergerak. Ibu jarinya menekan ringan ke pipiku dan membuatku benar-benar terkunci dalam genggamannya.
"A-Adrian …."
Ia tidak bergerak. Tatapannya seperti sedang meneliti setiap inci ekspresi wajahku. Kemudian, bibirnya yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahku, nyaris menyentuh bibirku. Aku menahan napas, tubuhku menegang, ingin menjauh tapi tidak bisa.
Aku terdiam dan tubuhku mendadak menegang. Apa yang akan dilakukan Adrian padaku? Ah, semua ini gara-gara kelancanganku yang asal bicara.
Part 6
"Kau ketakutan?" Tiba-tiba Adrian tertawa kecil, dingin dan tanpa humor. "Lucu. Biasanya kau lebih agresif dari ini, Bri."
Dengan satu tarikan napas, Adrian melepas cengkeramannya dari rahangku, lalu mendorong wajahku ke samping seakan aku hanya benda yang tidak berharga.
Aku menggigit bibir mencoba menyembunyikan gemetar di ujung jariku. Sementara itu, tatapanku masih terpaku padanya. Dia bisa saja jadi pria impian sejuta wanita, tapi sikap dan track record-nya di dunia hitam membuatku bergidik ngeri. Ya, walaupun itu belum terbukti sepenuhnya, tapi tetap saja membuatku takut.
"Satu hal yang perlu kau ingat," katanya dengan nada dingin dan tanpa emosi. "Jangan pernah menantangku kalau kau tidak siap menerima akibatnya."
Lalu, ia keluar meninggalkanku.
Aku menyentuh rahangku yang masih terasa panas akibat cengkramannya. Kata-kata Adrian seharusnya tak memberi pengaruh apa pun padaku. Namun, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di hati dan mengikatku padanya.
Bruuum … bruuum!
Deru mesin mobil menyentak dada hingga membuat bahuku terangkat secara otomatis. Tanpa berpikir lagi, aku melangkah ke tepi jendela dan melihat ke bawah ke carport. Sebuah mobil hitam mengkilap tampak keluar dari sana beberapa saat kemudian. Sepertinya itu Adrian. Dia datang hanya untuk menggertak dan menakutiku.
“Bu! Bu Brianna!”
Panggilan dari luar kamar dengan cepat mengembalikan pandangan dan konsentrasiku ke arah pintu. Aku pun segera berlari ke pintu dan membukanya. Kulihat Ira ada di sana dengan wajah tegang dan panik.
“Ada apa, Mbak?”
“Ello kejang-kejang, Bu.”
Darahku berdesir. Tanpa membuang waktu, aku berlari menyusul Ira ke kamar Ello. Begitu pintu terbuka, pemandangan yang menyambutku membuat jantungku nyaris berhenti.
Ello terbaring di atas ranjang dengan tubuh kecilnya yang lunglai, wajahnya memerah, dan tangannya mengepal erat. Sesekali tubuhnya menegang, kejang-kejang, sementara bibirnya yang mungil mengeluarkan suara tangisan yang tersendat-sendat.
“Ello!” Aku menghampiri dan langsung mengusap keningnya yang basah oleh keringat dingin.
Tangisan Ello semakin kencang, napasnya tersengal, dan matanya setengah terpejam seperti berusaha melawan sesuatu yang menyiksanya dari dalam.
Ketakutan mencengkeramku begitu erat hingga aku merasa kehilangan kendali atas tubuhku sendiri. Aku ingin melakukan sesuatu, apa saja, tapi kepanikan membuat pikiranku buntu.
“Bu, kayaknya Ello harus segera dibawa ke rumah sakit.” Suara Juju terdengar dari belakang dan membuatku tersadar dari keterkejutan.
Aku menoleh ke belakang dan melihat Juju sudah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi serius. Asisten rumah tangga lain ikut berdiri di belakangnya, wajahnya dipenuhi kecemasan. Ternyata, tangisan Ello membangunkan semua orang di rumah ini.
“Sopir sudah saya minta menyiapkan mobil. Ibu dan Ira bisa berangkat sekarang,” lanjut Juju cepat.
Tanpa berpikir panjang, aku mengangkat tubuh kecil Ello ke dalam gendonganku. Tubuhnya panas seperti bara dan keringatnya membasahi lenganku, sementara suara tangisannya mulai melemah.
Aku meneguk ludah, menahan gemetar yang hampir menguasai tubuhku.
"Mbak Ira, kita berangkat sekarang," putusku.
Aku melangkah keluar dengan langkah tergesa, hampir berlari menuju pintu utama. Saat aku tiba di pelataran, pandanganku langsung tertuju pada mobil hitam mengkilap yang masih terparkir di sana. Adrian. Rupanya pria itu belum pergi.
Aku tidak tahu apakah ini kesengajaan atau memang takdir yang sedang mempermainkanku. Tapi sebelum aku sempat melewati mobil itu, pintu terbuka, dan sosoknya muncul dari dalam.
Tatapan gelapnya langsung tertuju padaku. Namun, alih-alih bertanya tentang Ello, dia justru menatapku dengan sorot mencemooh. Uh, sangat menyebalkan.
“Lihat siapa yang kembali bermain drama.” Suaranya terdengar dingin dan penuh sarkasme.
Aku tidak percaya ini. Aku baru saja berlari membawa anaknya yang sedang sakit, sementara dia, satu-satunya orang yang seharusnya peduli, justru berdiri di sana dengan ekspresi meremehkan.
“Brianna,” lanjutnya dengan nada rendah, “kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan? Kau membawa Ello ke rumah sakit lagi agar semua orang melihat betapa pedulinya kau, ‘kan? Kau bisa saja memanggil dokter ke sini, tapi tidak, kau lebih memilih cara yang lebih dramatis. Kau benar-benar menyedihkan.”
Aku berhenti di tempat, jari-jariku mencengkram tubuh Ello lebih erat. Aku tidak ingin terpancing. Aku harus fokus pada Ello. Tapi sial, kata-kata Adrian seperti bara yang dilemparkan ke dalam hatiku. Aku berbalik dan menatapnya tajam.
“Anakmu sedang sekarat, Adrian!” Suaraku bergetar karena emosi yang kutahan. “Dan yang kau pikirkan hanyalah bagaimana aku ‘pansos’? Kau benar-benar orang yang nggak punya hati!”
Adrian menyilangkan tangan di dada. Tatapannya yang tajam masih mengarah padaku. “Oh, jadi sekarang aku yang salah?” Ia menghela napas pendek, lalu mendekat dengan langkah santai, seperti seorang penonton yang sedang menikmati pertunjukan buruk. “Sejak kapan kau mulai peduli pada Ello? Sejak kapan kau tiba-tiba menjadi ibu yang penuh kasih sayang?”
Aku menggigit bibir, menahan kemarahan yang hampir meledak.
“Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan tentangku,” desisku, “tapi aku tidak akan diam dan membiarkan anak ini menderita hanya karena egomu yang bebal! Satu lagi, jika aku seorang ibu yang buruk, lalu bagaimana denganmu? Apa kau ayah yang baik?”
Aku menarik napas panjang, lalu menatapnya dengan sorot penuh kebencian.
“Jika kau memang seorang ayah, lakukan sesuatu untuknya,” lanjutku, “atau kau hanya tahu cara mengancam dan menghina saja?”
Mata Adrian menyipit. Ada sesuatu yang berubah di wajahnya. Sesuatu yang nyaris tidak bisa kuartikan. Kemarahan? Kebingungan? Atau, mungkin keterkejutan?
Namun, aku tidak punya waktu untuk menganalisisnya. Ello mengerang pelan dalam gendonganku dan membuatku langsung tersadar kembali pada hal yang lebih penting. Tanpa menunggu reaksi dari Adrian, aku melewatinya, bergegas menuju mobil yang sudah siap dengan pintu terbuka.
Aku masuk ke dalam tanpa menoleh lagi, lalu Ira menyusulku.
Saat mobil melaju meninggalkan halaman rumah, aku tetap diam. Semampunya, aku mencoba mengatur napas dan menenangkan diriku sendiri. Namun, bahkan dalam diamku, aku bisa merasakan sesuatu. Tatapan Adrian yang mengikutiku hingga aku menghilang di balik kegelapan malam.
***
Aku duduk di kursi di samping ranjang rumah sakit sambil menatap Ello yang kini terbaring dengan wajah lebih tenang. Napasnya sudah kembali normal. Dadanya naik turun dengan ritme yang stabil. Selang infus terpasang di lengannya yang mungil. Sementara itu, Ira duduk di sisi lain ranjang mengawasinya dengan cermat.
Ruangan VIP ini sunyi. Hanya suara alat medis yang berbunyi pelan dan sesekali desahan napas Ello yang terdengar. Udara khas rumah sakit yang dingin bercampur dengan aroma obat-obatan menyesaki paru-paru. Aku mengusap wajahku yang sepertinya sudah kusut kayak baju yang belum disetrika. Tapi setidaknya, Ello sudah melewati masa kritisnya.
Aku menghela napas panjang, mencoba mengusir kelelahan yang merayapi tubuh. Tapi sebelum aku bisa benar-benar merasa lega, suara langkah kaki berat menggema dari luar ruangan.
Dia lagi. Adrian. Dia masuk tanpa mengetuk, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Wajahnya tetap sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Dingin dan penuh superioritas. Pandangannya langsung tertuju ke ranjang Ello. Namun, alih-alih bertanya padaku, dia justru beralih ke Ira.
“Bagaimana kondisinya?” tanyanya singkat dengan suara rendah tapi tajam.
Aku mengangkat wajah, menatapnya tidak percaya. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada pengakuan bahwa dia salah karena merendahkanku tadi. Tidak ada satu pun kata yang menunjukkan bahwa dia menyesal telah mencurigai niatku membawa Ello ke rumah sakit.
Ira tampak ragu sejenak sebelum menjawab hati-hati, “Alhamdulillah, Pak. Demamnya sudah turun. Dokter bilang, kondisinya jauh lebih baik.”
Adrian hanya mengangguk kecil, lalu kembali menatap Ello. Tidak ada satu pun pertanyaan yang ia tujukan padaku. Ia menganggapku tidak lebih dari bayangan di ruangan ini. Huh, menyebalkan sekali pria ini.
Aku mengepalkan tangan di pangkuan berusaha mengendalikan amarah yang berkecamuk di dada. Bukan berarti aku mengharapkan belas kasihan darinya. Aku hanya ….
Astagfirullah, apa aku benar-benar sebegitu tidak penting baginya?
Sebelum aku sempat mengatakan sesuatu, ponsel di genggamanku tiba-tiba bergetar.
Biru is calling
Aku mengerutkan kening. Biru?
Aku tidak mengenal siapa pun sekarang, kecuali orang-orang yang sudah bertemu denganku dan ada dilingkungan sekitarku. Siapa Biru?
Aku berdiri, menjauh dari ranjang Ello, lalu berjalan keluar ruangan untuk menerima panggilan telepon tersebut. Ponsel ini adalah ponsel kedua yang sering dipakai Brianna. Artinya, ada atau banyak sesuatu yang mungkin Brianna sembunyikan di ponsel ini termasuk kontaknya.
“Halo,” ucapku ragu.
“Brianna?” Suara seorang pria terdengar di ujung sana. Dalam nada suaranya, ada sedikit keterkejutan bercampur kebingungan.
Aku mengerutkan dahi. “Ya, aku Brianna. Maaf, ini siapa?”
Kali ini, suara pria itu terdengar lebih heran. “Bri, ini gue, Biru?” Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, hampir seperti berbisik, “Bri, lo kok diem aja sih?”
“Bi-biru siapa?” tanyaku gugup.
“Ya, ampun, Bri. Ini gue, Biru. Serius, lo nggak tau gue?”
Aku menggigit bibir. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat perutku terasa aneh, antara rasa penasaran dan perasaan tidak nyaman yang sulit dijelaskan.
“Maaf, tapi aku tidak kenal kamu,” jawabku jujur.
Di ujung sana, pria itu menarik napas pelan. Lalu, tiba-tiba, layar ponselku berubah.
Ia mengalihkan panggilan ke mode video.
Aku tertegun sesaat.
Tanganku sempat ragu, tapi rasa penasaranku lebih besar. Dengan hati-hati, aku menggeser layar dan menerima peralihan itu.
Dan di detik berikutnya, jantungku seakan berhenti berdetak. Di layar ponsel, wajah seorang pria muncul. Oh, tidak! Pria ini pria yang tadi siang bertemu denganku di lorong rumah sakit.
Dari layar ponsel, dia menatapku dengan ekspresi penuh arti seakan dia tahu sesuatu yang aku sendiri tidak tahu.
Aku terpaku. Siapa dia sebenarnya? Dan kenapa aku merasa seakan aku seharusnya mengenal dia?
Tatapanku masih terkunci pada layar ponsel, pada wajah pria bernama Biru yang kini menatapku dengan sorot tajam penuh arti. Ada sesuatu tentang dirinya. Cara dia melihatku dan suaranya terdengar seolah-olah mengenalku lebih dari yang seharusnya.
Namun, sebelum aku sempat membuka mulut untuk bertanya lebih jauh, suara dehaman berat tiba-tiba terdengar dari belakangku.
“Ehm!”
Aku sontak menoleh.
Adrian berdiri di ambang pintu ruang perawatan. Tangannya terlipat di dada. Ekspresinya tetap sama, tapi kini dengan tambahan sesuatu yang nyaris seperti penghinaan?
“Kau sedang bicara dengan salah satu pacarmu, Brianna?” tanyanya dengan nada mengejek yang tidak bisa diabaikan.
Salah satu pacarku? Maksudku, Brianna? Aku mengernyit dan mencoba memahami kata-kata itu. Memangnya Brianna semurahan itu sampai punya banyak pacar? Seketika, tubuhku langsung menegang.
=====
Bersambung
Alice Gio
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
