
Blurb:
"Jika kamu mencintai dua orang sekaligus, maka pilihlah orang kedua. Karena, tidak akan ada orang kedua jika kamu benar-benar mencintai orang pertama."
Ungkapan di atas mungkin berlaku untuk sebagian orang, tapi tidak untuk Zanna. Di saat rencana pernikahannya dengan sang tunangan sudah matang dan tinggal menghitung hari, si pengganggu datang dan menebar sejuta pesona yang menggoyahkan hati. Tidak hanya itu, kenangan pahit tapi manis bersama si pengganggu menjadi satu alasan kuat si pengganggu...
1 The CEO
Zanna merapikan kerah kemeja dan blazer merahnya sesaat sebelum meninggalkan pelataran parkir. Setelah tiga tahun menjadi asisten pribadi CEO Lands Corp yang pensiun sebelum waktunya, pagi ini karir Zanna di perusahaan raksasa tersebut mulai dipertanyakan. Pasalnya, sang mantan CEO meminta Zanna meneruskan pekerjaannya sebagai asisten penggantinya. Namun, setiap CEO maupun eksekutif lainnya di perusahaan tersebut punya hak prerogatif untuk memilih siapa yang akan menjadi asisten pribadi mereka. Zanna khawatir CEO baru Lands Corp sudah mempunyai calon asistennya sendiri.
Zanna berjalan memasuki lobi gedung berlantai dua belas itu dengan tergesa-gesa. Seharusnya ia bisa datang lebih pagi agar tidak terlambat, tetapi ada hal penting yang menahannya untuk pergi tepat waktu. Senyuman manis yang ia lontarkan untuk orang-orang di sekitarnya dibalas sambutan hangat sang resepsionis.
"Selamat pagi, Bu," sapa si resepsionis sambil tersenyum ramah.
"Pagi." Zanna menghentikan langkah di depan meja resepsionis. "Apa Bu Donna dan Pak Aksa sudah datang?"
"Sudah, Bu. Baru beberapa menit yang lalu. Kayaknya mereka langsung ke ruang meeting, soalnya mereka langsung naik tadi, Bu."
"Oh, gitu. Terima kasih ya, Bu Lin."
"Sama-sama, Bu."
Zanna berusaha berjalan secepat mungkin menuju lift. Jika CMO dan asistennya saja sudah berada di ruang meeting, berarti calon penguasa baru perusahaan itu akan segera datang. Suasana lobi yang sepi membuat Zanna semakin merasa was-was. Kemungkinan besar para staf sudah berada di ruang kerja masing-masing dan para pemimpin divisi sudah berada di ruang pertemuan, pikirnya.
Zanna harus menunggu beberapa detik sampai pintu lift terbuka lalu masuk. Di saat pintu lift nyaris tertutup, seorang pria berjas abu-abu menahan lalu menyelinap masuk. Zanna mengabaikan kehadiran pria itu. Ia sedang dikejar waktu dan hanya peduli pada kepentingannya sendiri. Ia bahkan tidak merasa heran jika pria yang baru saja masuk tersebut tidak menekan tombol angka pada panel di samping pintu. Zanna pikir mereka punya tujuan yang sama ke ruang meeting. Lands Corp punya banyak staf dan Zanna tidak bisa mengingat mereka satu per satu.
Lift berhenti di lantai lima. Zanna tidak sabar ingin segera keluar dan berlari ke ruang meeting. Namun, apa yang terjadi kemudian membuat Zanna meradang. Alih-alih bisa lebih cepat tiba di ruang meeting, Zanna justru meraup malu sekaligus kesal lantaran terperangkap lebih lama di dalam lift. Saking tergesa-gesa, ujung sepatu Zanna menyandung sepatu hitam berkilat pria yang bersamanya dan nyaris membuat Zanna jatuh.
"Are you okay?" tanya si pria setelah berhasil meraih lengan Zanna dan menyelamatkan wanita itu dari benturan ke lantai.
"Iya. Thanks." Zana menjawab sambil merapikan blazer dan rok span hitamnya. Matanya masih fokus pada pintu lift yang terbuka lebar, tak mengindahkan pria itu.
Tak bermaksud mengabaikan etika, hanya karena terburu-buru, Zanna segera keluar dari lift. Namun, langkahnya tertahan lagi tepat di depan pintu lift. Kali ini bukan karena tersandung, melainkan karena hal lain yang erat kaitannya dengan kenangan buruk tapi sangat manis yang pernah ia alami.
"Harley Quinn?" Pria itu menegaskan sebuah nama tokoh villain dari komik favoritnya.
Jantung Zanna tiba-tiba berdebar sepuluh kali lebih kencang dan nyaris meledak saat nama itu menyapa telinganya. Ia mendadak kehilangan kemampuan motorik dan terpaku di tempatnya berdiri sementara si pria melangkah ke hadapannya. Zanna benar-benar ingin menenggelamkan diri ke samudra Atlantik dan bersembunyi di dalam bangkai Titanic saat tatapan mereka berserobok dan saling mengunci. Mata cokelat terang itu mata yang menarik Zanna ke dalam kegelapan dan penyesalan yang terasa sangat indah.
Masih melekat dalam ingatan Zanna ketika Radit, pria yang sudah menjadi kekasihnya selama dua tahun, meminta mengistirahatkan hubungan mereka tanpa kompromi. Hanya melalui telepon dan dengan alasan mengatasi kejenuhan serta butuh waktu untuk intropeksi diri masing-masing, Radit meninggalkan Zanna begitu saja. Zanna berpikir Radit sebenarnya tidak menginginkan hubungan mereka break tapi putus beneran. Break hanya memperpanjang kesedihan dan membiarkan masalah yang mereka hadapi berlarut-larut. Karena kekecewaannya yang mendalam pada Radit, Zanna tidak menolak saat Dona, sahabatnya, meminta untuk ditemani pergi ke pesta Halloween di sebuah hotel berbintang. Tanpa Zanna sadari memori beberapa bulan lalu saat ia pertama kali bertemu dengan pria yang memanggilnya Harley Quinn menyambangi benaknya.
"Ceroboh banget sih gue, minum sampanye saja sampai tumpah begini." Zanna terus menggerutu saat keluar dari restroom setelah membersihkan bagian depan kausnya yang basah karena tumpahan sampanye. Hanya beberapa detik setelah ia menghentikan gerutunya, tiba-tiba tubuhnya terasa seperti baru saja ditabrak truk. Benturan yang cukup keras di bahu dan lengan kanan Zanna secara otomatis menghentikan langkahnya. Ia pun meluapkan kemarahannya. "Hei, kalau jalan itu—"
"Wow! What a coincidence!" Ucapan pria yang tidak sengaja menabraknya menahan amarah Zanna dan membuat wanita itu terperangah.
Penampilan pria yang bersenggolan dengannya secara tidak langsung menghipnotis Zanna. Senyum misterius yang terukir di bibir pria berambut hijau dan ber-make up ala Joker di film Suicide Squad itu lebih mengerikan dari sekadar manis. Entah sejak kapan Zanna mengagumi senyuman seorang pria yang wajahnya sengaja dibuat sepucat mayat hidup dan garis bibir digambar melebihi bibir itu sendiri, tapi senyuman aneh itu membuat jantung Zanna berdenyut lebih kencang. Sesaat kemudian Zanna dipaksa untuk mengatasi rasa pusing saat melihat tato buatan di dada bidang pria tersebut dari balik kemeja putih yang beberapa kancing atasnya sengaja dibuka.
Pikiran gila apa ini? Zanna segera menepis imajinasi liarnya. Ini bukan karena ia sedang kecewa pada Radit. Zanna menekan perasaannya sendiri, tapi apa yang datang tiba-tiba dan bergolak dalam dirinya begitu nyata seakan pria itu seorang pelipur lara.
"Maaf, aku sedang terburu-buru." Zanna berusaha menghindar dari bencana yang akan diciptakan dirinya sendiri.
Tatapan si Joker terpusat pada Zanna, wajah dan kostum yang dikenakannya. Pria itu menatap Zanna dengan tatapan yang sulit didefinisikan oleh kata selama beberapa saat sebelum berusaha menghentikan langkah Zanna. "Harley Quinn, wait a minute!"
Zanna pura-pura tidak mendengar, tapi si Joker berhasil meraih tangan Zanna dan menghentikan langkahnya. Ia memindai penampilan Zanna dari atas ke bawah. Sangat tidak sopan, tapi Zanna tidak bisa menyalahkan si Joker. Siapa pun yang melihat penampilannya akan berekasi seperti pria itu. Kaus ketat dengan perpaduan warna merah di bagian pundak dan warna putih di bagian bawah bertuliskan 'Daddy's Lil Monster' yang dikenakan Zanna memperlihatkan betapa tubuhnya tidak kalah semampai dengan tubuh seorang model, begitupun dengan celana pendek serta stoking jala yang robek di beberapa bagian yang mengekspos kaki langsing dan panjang Zanna. Ciri khas tokoh komik Harley Quinn yang lain pun tampak di rambut Zanna yang dikucir dua, diwarnai merah muda dan biru.
"Maaf, aku bersama Joker yang lain dan dia sedang menungguku." Zanna berbohong mencoba untuk segera terbebas dari pria berkostum Joker itu.
"Oh, ya. Tentu." Joker melepaskan pegangannya dari tangan Zanna. "Sorry, kupikir kamu orang yang kukenal," lanjut Joker berdalih
Zanna tersenyum. "Tidak apa-apa."
Zanna mengerjap dan mengembus napas berusaha mengembalikan dirinya ke masa kini. Perasaan gugup masih menyelimuti diri Zanna saat wajah asli Joker yang ia kenal di pesta Halloween beberapa bulan lalu terpampang jelas di hadapannya sekarang.
"J-Joker." Nama itu lolos begitu saja dari mulut Zanna.
"Harley Quinn." Pria itu menatap Zanna lebih dalam sebelum melengkungkan bibirnya membentuk entah apa pun namanya, antara tersenyum dan menyeringai. "Akhirnya aku menemukanmu."
Seluruh kejadian di malam pesta Halloween membaur di benak Zanna. Tidak mungkin ia mengingat-ingat detailnya, tapi malam itu begitu liar dan gila. Semua yang Zanna dan pria itu lakukan berdasarkan keputusan yang tidak rasional. Hasrat primitif telah mendorong mereka melewati batas kewajaran dua orang yang baru saja saling mengenal.
"Kamu sedang apa di sini?" Zanna berusaha setenang mungkin mengatasi rasa gugupnya.
"Kamu sedang apa di sini?" Pertanyaan yang sama dilontarkan pria itu.
Bibir Zanna terbuka, tapi ia masih memutar otak mencari kata-kata. Wajah maskulin yang terpahat nyaris sempurna itu seolah sengaja dibuat untuk menghilangkan kewarasan setiap wanita yang menatapnya. Zanna mengerjap mencoba untuk bertahan dalam pemikiran rasional meskipun sangat sulit.
"I'm working. Kamu?" Zanna menatap penuh selidik.
"Aku juga bekerja di sini."
"Oh, iya?" Zanna mengernyit. Selama ini Zanna tidak pernah melihat makhluk seindah pria yang berdiri di hadapannya di gedung Lands Corp. "Sepertinya aku baru melihatmu di sini. Kamu dari divisi apa?"
Pria itu menguburkan kedua tangan ke dalam saku celananya. Sambil menipiskan bibir, tatapannya tak beralih dari Zanna. Ia sedang membuat Zanna membeku dengan tatapan sedingin es di kutub utara dan ekspresi yang sulit ditebak.
"Selamat pagi, Pak Troy. Selamat datang di Lands Corporation Indonesia." Kedatangan George, staf senior HRD, yang tidak diduga-duga secara tidak langsung menjawab rasa penasaran Zanna.
Troy? Troy Akalanka? Zanna tercengang. Oh, tidak. Energi terenggut habis dari tubuh Zanna. Lututnya lemas dan seluruh kekuatannya terserap kenangan panas dan terlarang. Kini, napasnya pun semakin sesak. Seharusnya Zanna sudah bisa menebak siapa pria itu. Dari penampilannya yang perlente dan wajah setengah Eropa, pria itu sekilas mirip Joe Akalanka yang lebih muda. Zanna tidak menyadari semua itu sampai George memanggil namanya tadi. Zanna bergeming dengan tubuh sekaku patung lilin di depan tubuh tinggi atletis Troy.
2 The Assistant
Troy berbalik dan beringsut ke samping Zanna sebelum menjawab sapaan George. "Selamat pagi."
George berjalan menghampiri Troy dan Zanna, memaksa mereka menerima interupsinya. Sedikit tak acuh pada Zanna, George dan Troy berjabat tangan.
"Maaf jika penyambutan kami kurang berkenan." George mengungkap permintaan maafnya dengan sedikit menunduk.
"Saya sudah bilang kalau saya tidak mau ada acara penyambutan apa pun. Tugas saya di sini harus diselesaikan secepat mungkin."
"Baik, Pak." George mengangguk patuh. Ia lalu menoleh pada Zanna dan memandang wanita itu dengan bangga. "Terima kasih sudah menyambut kedatangan Pak Troy lebih dulu, Bu Zanna. Bu Zanna memang asisten yang bisa diandalkan."
Troy mengerutkan alis dan melirik Zanna heran. "Asisten?"
Sial. Zanna merutuk dalam hati. Dengan cepat Zanna beradaptasi ke gaya bicara formal. "Saya asisten Pak Joe. Pak Joe bilang, setelah dia resmi pensiun saya—"
"Saya tahu kelanjutannya." Troy memotong penjelasan Zanna dengan dingin. "Di mana ruang meeting-nya?"
Zanna mengembus napas. Ia sedikit tersinggung dengan sikap Troy yang tidak mau mendengarkan penjelasannya sampai tuntas, tapi Zanna bersikap profesional. Ia tidak mau mengaitkan perasaan dengan pekerjaan. Kemungkinan Troy akan menganggapnya wanita murahan setelah Troy tahu bahwa calon asistennya adalah Harley Quinn—wanita yang pernah bermalam panas dengannya setelah pesta Halloween. Zanna menganggap itu adalah konsekuensi kecerobohannya.
"Mari, Pak, ikut saya." George meminta Troy mengikuti langkahnya.
Zanna dengan gugup berjalan di samping Troy. Perasaannya mendadak jungkir-balik setelah mengetahui Troy adalah pria itu. Pria yang membuatnya kehilangan pemikiran rasional selama semalam. Denyut gugup mengiringi langkah Zanna sampai tiba di ruang pertemuan. Sambutan hangat beberapa pemimpin divisi yang menyerbu Troy menyingkirkan Zanna. Wanita itu tertinggal di belakang. Ia hanya berdiri di sudut meja marmer persegi panjang besar di mana enam kursi diletakkan di sisi kiri dan enam lainnya di sisi kanan. Satu kursi utama untuk Troy berada di ujung meja. Pandangannya mengamati keriuhan orang-orang yang menurutnya sedang mencari muka. Bagaimana tidak, CEO baru itu adalah putra bungsu founder sekaligus ahli waris Lands Corp. Para eksekutif berusaha merebut perhatian sang CEO baru. Namun, iris kastanye sang CEO justru sesekali tertuju pada Zanna. Pria itu masih mengamati Zanna dalam hiruk pikuk penyambutan dirinya oleh para pemimpin divisi yang akan berada di bawah kendalinya.
Zanna diperkenankan duduk di kursi khusus asisten di belakang-samping kursi Troy. Untuk seluruh asisten eksekutif, mereka mendapatkan tempat duduk di belakang tempat duduk para eksekutif. Beberapa saat kemudian George berdiri memperkenalkan sang CEO setelah semua staf duduk kembali.
"Selamat pagi semuanya. Hari ini pengganti Pak Joe Akalanka, Pak Troy Akalanka, sudah berada di tengah-tengah kita dan beliau siap memimpin Lands Corp menggantikan Pak Joe. Sebagian dari staf perusahaan mungkin sudah mengenal beliau, tapi untuk yang belum mengenal beliau, Pak Troy Akalanka akan memperkenal diri. Waktu dan tempat kami persilakan, Pak Troy." George mempersilakan Troy untuk memperkenalkan diri.
Troy berdiri, merapikan jasnya, lalu menebarkan pesona alaminya ke seluruh peserta meeting. "Saya Troy Akalanka. Mulai hari ini saya akan memimpin laju Lands Corporation Indonesia. Saya tidak akan berbicara panjang lebar yang akan menghabiskan waktu kalian. Yang ingin saya tekankan adalah kalian bekerja dengan baik sesuai aturan perusahaan dan mungkin saya akan mulai berbenah dengan mengganti susunan kepemimpinan beberapa divisi. Namun, saya akan mulai dari asisten saya. Saya harap pihak HRD bisa mencarikan saya asisten baru ...."
What?! Zanna terperangah. Ucapan Troy selanjutnya terabaikan oleh Zanna. Sinting. Pria itu memecatnya di hari pertama ia menjabat sebagai pimpinan tertinggi Lands Corp.
Zanna hanya diam di tempat duduknya sementara Troy sibuk berbincang dengan para pemimpin divisi setelah acara perkenalan usai. Merasa diabaikan, Zanna menyelinap keluar dari ruang meeting. Sudah cukup CEO sinting itu mempermalukannya di depan para petinggi perusahaan. Troy tidak punya hati meminta George mencari asisten baru ketika Zanna, sang asisten, berada tepat di belakangnya.
Zanna berjalan dengan cepat menyusuri lorong menuju lift. Ia tidak sabar untuk segera turun ke lantai tiga ke ruang kerjanya. Ia mengomeli dirinya sendiri di sepanjang jalan. Seharusnya Zanna sudah bisa memprediksi apa yang akan terjadi ketika Troy menunjukkan perubahan sikap setelah pria itu mengetahui bahwa Zanna adalah asistennya sebelum memasuki ruang meeting tadi.
"Zan, tunggu!" Suara cempreng yang akrab di telinga Zanna menghentikan langkah Zanna sebelum mencapai lift.
Zanna menoleh. "Ngapain elu ikutan keluar juga, Don?"
"Gue disuruh Pak Aksa ngejar lu. Jam makan siang nanti Pak Aksa mau ngajak kita makan bareng."
"Oh." Zanna menghempas pemikiran bahwa Donna sengaja mengejar karena ikut prihatin atas musibah yang baru saja ditebarkan Troy untuknya, ternyata bukan. "Kayaknya enggak ada makan siang deh, Don. Elu enggak denger tadi CEO baru itu ngomong apa? Gue udah end—"
"Bu Donna, dipanggil Aksa tuh!" Panggilan seorang staf laki-laki dari ambang pintu ruang meeting menghentikan ucapan Zanna.
Donna menoleh ke arah staf tersebut. "Iya, Pak.” Ia kemudian menegaskan kembali rencana atasannya pada Zanna. "Enggak ada alasan. Elu pokoknya ikut gue sama Pak Aksa "maksi" bareng."
"Don, elu—"
"Gue balik dulu ke ruang meeting," potong Donna, "pokoknya elu harus ikut."
"Terserah elu deh." Zanna memandangi punggung Donna yang berjalan menjauh kembali ke ruang pertemuan. Asisten Chief Marketing Officer itu sepertinya tidak peka terhadap derita yang sedang dihadapi Zanna. Bisa-bisanya Donna mengajak makan siang bareng di saat Zanna baru saja menerima pengumuman bahwa ia dipecat tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Tidak peka.
Zanna melanjutkan langkah kembali ke ruang kerjanya. Iris gelap yang dihiasi bulu mata lentiknya memindai seluruh sudut ruangan bernuansa krem. Ruangan itu telah menjadi bagian perjalanan hidup dan karirnya selama beberapa tahun terakhir. Rasanya begitu berat untuk Zanna meninggalkan semua kenangan di sana, tapi apa boleh buat. Sang atasan sudah memberi perintah dan Zanna mau tidak mau harus menerima. Hanya beberapa saat setelah office boy memberikan kotak kardus yang diminta Zanna, wanita itu segera mengemasi barang-barang miliknya dan memasukkannya ke dalam kotak.
"Kenapa kamu meninggalkan ruang meeting sebelum meeting selesai?" Suara Troy menyentak Zanna. Troy berdiri sambil bersedekap di tengah pintu yang terbuka lebar. Tatapan pria itu menyematkan kekesalan dan nada suaranya terdengar mengintimidasi.
Zanna mengembus napas. Dari balik meja kerja, di antara kotak kardus dan tumpukan barang-barang pribadinya yang telah ia letakkan di atas meja, Zanna membalas tatapan Troy. Karisma penguasa yang terpancar dari penampilan dan cara Troy bersikap membuat Zanna gugup sekaligus jengkel. Ia bangkit dari tempat duduknya.
"Saya harus segera membereskan barang-barang saya, Pak."
"Kenapa?"
Alis Zanna mengerut. Ia merasa heran dengan pertanyaan Troy. "Bapak kan sudah memecat saya."
"Kapan?"
Kapan? Zanna mendesah kesal. Troy hilang ingatan atau sedang berpura-pura tidak ingat? Pikir Zanna.
"Bapak bilang pada Pak George tadi, Bapak minta dicarikan asisten baru." Zanna mencoba mengingatkan Troy dengan ucapannya yang sengaja ditegaskan pada kata baru.
"Oh, itu."
Troy berjalan masuk dan berhenti di depan meja Zanna. Ia menguburkan tangan ke saku celana dan mengunci tatapan Zanna dengan tatapan aneh yang tidak bisa Zanna artikan. Alih-alih merasa terintimidasi, Zanna justru merasa kejengkelannya pada Troy semakin menggunung. Ia mengalihkan tatapannya ke bingkai foto berukuran 5R yang terbuat dari kayu dan buku-buku catatannya yang sudah ditumpuknya di atas meja.
"Sepertinya kamu terbiasa melamun saat meeting. Kamu tidak mendengarkan apa yang saya bicarakan di sana dan cenderung suka mengambil kesimpulan sendiri," tuding Troy.
Seperti itukah? Zanna hanya diam. Ia berusaha mengingat kembali apa yang ia dengar di pertemuan tadi. Sesaat kemudian ia mengutuki dirinya sendiri yang memutuskan untuk tidak mendengarkan ucapan Troy sampai selesai dan terhanyut dalam kekecewaan. Bodoh. Zanna tiba-tiba merasa jadi orang paling bodoh sedunia. Pantas saja Donna memaksanya untuk makan siang bersama. Donna tahu kalau ia tidak dipecat.
"Sudah berapa lama kamu jadi asisten Pak Joe?" lanjut Troy.
Zanna terpaksa menatap Troy lagi. "Tiga tahun."
"Apakah selama tiga tahun itu kamu dan Joe pernah ...." Troy tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia justru melemparkan pandangan skeptis tapi penuh kuriositas pada Zanna.
Zanna mengasumsikan pertanyaan tidak selesai Troy sebagai pertanyaan yang melanggar batas privasinya. Hanya karena ia dan Troy pernah melewati malam penuh gairah bersama-sama, Troy tidak tidak punya kapasitas untuk menuduhnya melakukan hal yang sama dengan setiap pria, pikir Zanna.
"Bapak jangan berpikir yang aneh-aneh. Pak Joe itu pria yang baik dan pekerja keras. Saya sangat menghormati dia."
"Saya tidak berpikir yang aneh-aneh," Sangkal Troy, "itu hanya pikiran kamu saja. Saya tahu Pak Joe orang baik dan tidak mungkin melakukan hal-hal di luar batas. Dia tidak seperti saya."
Ucapan Troy menampar Zanna seketika. Denyut malu dan kesal pada diri sendiri yang terus menerus salah mengasumsikan ucapan Troy membuatnya frustrasi. Zanna menjadi salah tingkah.
"Yang mau saya tanyakan, apakah kamu dan Pak Joe pacaran? Pak Joe kelihatannya sangat peduli sama kamu. Ia bahkan meminta saya untuk tidak mengganti asisten." Troy menambahkan.
"S-saya dan Pak Joe—"
"Saya tahu ini masalah pribadi. Kamu punya hak untuk tidak menjawab."
"Saya dan Pak Joe tidak pernah pacaran. Pak Joe punya pacar dan saya punya tunangan."
"Sial!" Satu umpatan lolos dari mulut Troy tanpa ia sadari. Semburat merah tampak mewarnai wajah memukaunya. Perubahan ekspresi yang instan tampak pada rahangnya yang mengetat dan pancaran mata yang menggelap.
"Maaf, Pak. Bapak bilang apa tadi?"
"Tidak ada. Bereskan mejamu dan mulai kembali bekerja." Sekali lagi Troy harus menahan perubahan emosi yang menyerangnya. Ia sendiri tidak mengerti kenapa tensi kemarahannya mendadak naik hanya karena mendengar Zanna sudah bertunangan. Zanna tidak berarti apa-apa baginya meskipun mereka pernah berbagi oksigen dan desahan di atas ranjangnya. Zanna sama saja seperti wanita lain yang pernah singgah sesaat hanya untuk menikmati hasrat satu malam. Troy menegaskan prinsip itu dalam hatinya.
"T-tapi asisten baru itu, Pak."
"Asisten baru itu untuk membantu kamu. Dia yang nanti akan membereskan soal administrasi."
"Administrasi kan termasuk pekerjaan saya, Pak. Kalau semua itu dikerjakan asisten baru, lalu pekerjaan saya—"
"Pekerjaan kamu hanya menemani saya." Troy spontan memotong pertanyaan Zanna.
What?! Dahi Zanna berkerut. Ia kaget mendengar jawaban yang dilontarkan Troy. "Menemani?"
Troy terkesiap. Ia salah bicara. Namun, Troy dengan cepat meralat ucapannya. "Saya butuh dua asisten. Satu untuk tetap tinggal di kantor, satu lagi untuk mencatat kegiatan dan hasilnya setiap kali bertemu klien maupun acara kunjungan ke anak perusahaan. Saya yakin mulai saat ini kita akan sering keluar dari gedung ini. Pekerjaanku sedikit lebih berat dari pekerjaan Pak Joe."
Zanna mengangguk mengerti. Meskipun ia masih belum yakin bisa menjalani pekerjaan yang dimaksud Troy, tapi Zanna tidak mau terlihat tidak profesional. Untuk sementara, sampai waktunya tiba, Zanna masih bisa bertahan.
"Kita bisa bekerja secara profesional, 'kan?" tanya Troy dengan nada tegas yang dibuat-buat, padahal genderang rasa gugup sedang ditabuh kencang di dalam hatinya.
"Ya, tentu." Zanna membalas dengan nada yang sama. Ia bersyukur dalam hati Troy akan melupakan kejadian malam itu. Menurutnya, pria seperti Troy tidak akan mempermasalahkan dengan siapa dia pernah bercinta. Itu hanya cinta semalam. Tidak lebih.
3 Love At First Sight?
"Aku harus memanggilmu apa?" Troy berusaha menatap wajah cantik Zanna dalam gemerlap lampu disko dan riuhnya pesta dari sofa di seberang meja. Ia tidak pernah terpanggil untuk mendekati wanita sebelumnya, tetapi pesona Zanna berhasil menguapkan keangkuhannya. Dari semua wanita yang ia temui di pesta Halloween, hanya Zanna yang berhasil mengusik logikanya.
Zanna tersenyum tipis lalu berkata, "Kamu melihat aku mengenakan cosplay apa, 'kan? Panggil saja aku dengan nama karakter ini."
"Bukankah setiap orang punya nama meskipun mereka mengenakan kostum?" Troy berusaha mendesak Zanna untuk mengatakan namanya.
"Shakespeare said, what's in a name? That which we call a rose, by any other name would smell as sweet." Zanna bertahan tidak ingin menyebutkan namanya.
"Kamu penggemar Romeo and Juliet," duga Troy sambil melayangkan senyuman kagum.
"Bukan. Aku penggemar William Shakespeare tapi aku juga menyukai komik DC." Zanna membantah dugaan Troy. Ia lalu membalas senyuman Troy dan membuat jantung pria itu hampir berhenti berdenyut saking terpesona.
Setelah berusaha keras mengatur tempo emosi bahagianya, Troy berkata, "Suatu kebetulan kita menyukai komik yang sama. Ngomong-ngomong, apa kamu merasa bosan di sini?"
"Sedikit."
"Mau kutunjukkan sesuatu yang bisa membuat rasa bosanmu hilang?" Sejujurnya Troy hanya ingin menunjukkan keindahan kota Jakarta di waktu malam dari atap gedung apartemen milik Lands Corp. Hanya itu saja. Namun, ia melihat keraguan di mata Zanna ketika wanita itu mengalihkan pandangannya ke lantai dansa dan memperhatikan teman-temannya yang sedang asyik menikmati alunan musik. Zanna seolah-olah sedang meminta persetujuan mereka supaya bisa pergi dengannya.
Sesaat kemudian Zanna membuka mulutnya. "Aku—"
"Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau," potong Troy berusaha meralat tawaran gilanya. "Sorry, jika aku membuat kamu berpikir—"
"Aku mau." Zanna memotong dengan cepat. "Asalkan kamu tidak memperlihatkan hal yang aneh-aneh dan seram, aku setuju," lanjutnya.
Senyum penuh kemenangan mengembang di wajah Troy. "I promise I won't do it."
Troy membawa Zanna keluar dari kemeriahan pesta kostum. Ia melajukan mobil hitam berlogo bantengnya ke gedung apartemen yang diketahui sebagai salah satu gedung apartemen terbaik di Jakarta.
Angin menerpa begitu kencang di ketinggian. Tangan Zanna menggenggam erat besi pembatas dan tatapannya memindai gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya. Cahaya lampu yang dipancarkan dari gedung-gedung tinggi itu bagai hutan beton yang bersinar. Pemandangan di bawah sana tidak kalah indah. Gemerlap lampu dari kota yang tidak pernah tertidur membuat Zanna berdecak kagum.
"What do you think?" tanya Troy sambil bersandar ke besi pembatas.
Zanna masih memfokuskan pandangannya ke belantara hutan beton yang berkelip cantik. "It's amazing."
"Ini yang mau kutunjukkan padamu." Troy menjelajahi wajah Zanna dengan pandangannya. "Suasana malam yang cantik seperti kamu."
"Rayuan gombal kamu tidak akan mempan." Zanna melirik Troy sambil tersenyum.
Troy tertawa pelan. "Aku hanya mengatakan pendapatku."
"Apakah itu kolam renang?" Zanna mengalihkan pembicaraan ketika matanya menemukan kolam renang outdoor berkonsep modern resort beberapa puluh lantai di bawah tempatnya berdiri.
"Yep. Di lantai enam. Mau melihatnya?"
"Boleh."
Troy menarik pelan tangan Zanna untuk menuruni anak tangga lalu memasuki lift. Tiba di lantai enam, Troy membawa Zanna untuk melihat pemandang kolam renang yang letaknya menjorok ke depan ke luar area hunian.
"Wow! It's cool." Sekali lagi Zanna terpana oleh pesona keindahan desain tempat tinggal vertikal yang tergolong premium itu. Zanna berjalan ke tepi kolam renang, tepat ke sisi pagar pembatas. Dari sana ia masih bisa melihat gemerlap malam Jakarta dari ketinggian. Menakjubkan.
"Mau berenang?" Troy menantang Zanna.
"Apa kamu bercanda? Ini hampir jam 02.00 pagi." Zanna menggeleng. "Tidak, aku tidak mau berenang. Lagi pula, aku tidak membawa pakaian ganti."
Troy berjalan mendekat. "Kalau itu masalahnya, kita tidak perlu pakaian ganti."
Zanna tercengang tidak percaya. "Oh, no! Aku tidak akan berenang tanpa pakaian kalau itu yang kamu maksud."
"Kenapa harus melepas pakaian jika kita bisa berenang dengan pakaian lengkap." Troy menangkap pergelangan tangan Zanna lalu menariknya hingga ia dan Zanna tercebur ke dalam kolam renang.
"Oh, sial!" teriak Zanna sesaat setelah keluar dari air sambil mengusap wajahnya dan sedikit megap-megap. Ia tidak siap terjun ke dalam kolam. Apa yang dilakukan Troy sangat mengejutkannya.
"I'm so sorry," kata Troy yang lebih dulu berdiri di depan Zanna. "Aku lihat kamu sepertinya ingin berenang tapi banyak pertimbangan."
"Iya, aku memang tertarik untuk berenang, tapi tidak dengan pakaian lengkap dan sepatu juga kali." Zanna memberengut.
Tawa Troy meledak. Sesekali ia mengusap wajahnya hingga make up ala Joker-nya perlahan memudar dan memperlihat wajah aslinya. Ia melihat Zanna tertegun menatap wajahnya. Embusan angin membuyarkan tatapan itu sesaat kemudian. Udara dingin mulai menusuk kulitnya dan juga Zanna hingga wanita itu gemetaran. Tidak punya pilihan, Troy merangkul pundak Zanna dengan posesif dan membawanya ke tepi kolam renang.
"Kamu kedinginan," ucapnya kemudian.
"Gara-gara kamu, aku jadi kedinginan."
Sekali lagi Troy tersenyum simpul. Ia melepaskan rangkulannya dari pundak Zanna lalu memosisikan diri didepan wanita itu. "Sorry."
Zanna mengangguk kaku. Wajahnya memutih seperti kapas dan bibirnya bergetar menahan dingin. Meskipun begitu tatapannya pada Troy bersinar secerah mentari pagi.
Jantung Troy berdebar kencang dan ia bernapas dengan cepat, dadanya naik turun penuh antisipasi dan rasa takut. Takut dengan intensitas emosi, rasa damba, kebutuhan yang sangat besar yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Kita ganti pakaian dulu." Troy berusaha mengalihkan perasaannya yang berkecamuk dengan berpura-pura bersikap biasa saja saat memberi saran pada Zanna.
"A-apa?" Zanna spontan bertanya lantaran ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada ucapan Troy lantaran terlalu merasakan dingin.
Troy mencondong tubuh dan mendekatkan wajahnya ke samping wajah Zanna. Ia memperjelas ucapannya. "Kita ganti pakaian dulu."
"Tidak. Aku akan pulang dengan pakaian basah." Zanna terang-terangan menolak.
"Kamu sudah sangat membeku hingga nyaris tidak bisa bergerak. Gunakan akal sehatmu. Kamu bisa terserang frostbite."
Troy mengunci tatapan Zanna seakan menantangnya. Ia merasakan denyut nadinya berirama dan mengirimkan hasrat terpendam ke seluruh tubuh. Tidak peduli seberapa lama ia mengenal Zanna, ia tahu wanita itu menginginkan hal yang sama. Seakan tahu apa dipikirkan Troy, Zanna melingkarkan tangannya ke pinggang Troy. Pria itu menyambut Zanna dengan membelai lembut pipinya. Perlahan tangannya menyelusup ke balik rambut basah Zanna hingga meraih dan menahan tengkuk wanita itu. Tangannya yang lain melingkar posesif ke pinggang Zanna. Bibir Zanna yang bergetar dan sedikit terbuka bagai undangan yang tidak bisa ditolaknya. Troy menempelkan bibirnya ke bibir Zanna, menekan keras, membelai, dan mencicipi dengan penuh gairah.
***
"How's your day?" Pertanyaan Joe menyadarkan Troy bahwa sekarang ia sedang berada di ruang santai favorit mereka, di balkon lantai tiga rumah keluarga Akalanka.
Troy menenggelamkan wajah dalam genggaman kedua tangannya mencoba menyimpan kembali ingatan akan malam di akhir Oktober tahun lalu. Malam itu, bahkan sampai saat ini, ia masih merasa seperti seorang bajingan yang merayu wanita untuk tidur dengannya dengan cara paling hina. Ia memanfaat keluguan wanita tersebut. Tidak seperti kepada wanita lain yang pernah singgah dan menghangatkan ranjangnya, perasaan bersalah pada Harley Quinn yang tidak lain adalah Zanna terus bersemayam dalam dirinya.
"Bad. Really bad." Troy mengembus napas. Tidak ada gairah terpancar dari dalam dirinya yang duduk lemas dan bersandar ke sandaran sofa. Cahaya lampu yang menerangi balkon memperlihatkan betapa berantakannya penampilan Troy saat itu.
Joe menggeser posisi duduknya 45 derajat hingga bisa melihat wajah Troy yang kusut dari seberang meja. Dahinya sedikit mengernyit saat menanggapi keluhan Troy. "Kok bisa?"
"Kenapa Abang enggak bilang kalau mantan asisten Abang itu sudah punya tunangan?"
"Apa hubungannya pertunangan si Zanna dengan pekerjaan dia?"
"Ya, enggak ada."
"Terus, kenapa muka kamu berantakan kayak gitu?" Joe mengamati wajah adiknya beberapa saat lalu mencebik. "Mm, jangan bilang kamu tertarik sama dia. Awas kamu ya, jangan macam-macam sama dia. Dia itu cewek baik-baik. Tiga tahun jadi asistenku, si Zanna enggak pernah neko-neko. Dia itu sudah seperti adik perempuan yang enggak pernah kita punya."
"Adik perempuan? Abang kepengen banget kayaknya punya adik perempuan. Setiap punya asisten cewek, Abang pasti bilang seperti adik perempuan yang enggak pernah kita punya. Apa enggak ada kalimat lain untuk mengungkapkan hasrat terpendam Abang itu?"
Meskipun usia Troy dan Joe terpaut tujuh tahun, tetapi mereka selalu berbicara dengan akrab ketika mereka berada di rumah. Beruntung, Troy masih mau memanggil Joe 'Abang' meskipun mereka menghabiskan masa kecil dan remaja di Iowa, Amerika Serikat. Orangtua mereka selalu menanamkan adat ketimuran yang menjadi bagian dari hidup mereka meskipun Vanny, ibunya, berasal dari Italia.
"Abang terobsesi pengen punya saudara perempuan soalnya Abang sudah males ngurusin adek laki-laki yang bandel kayak kamu."
"Terserah Abang mau ngomong apa." Troy mendengkus. "Aku mau Zanna jadi kekasihku."
Joe terperangah. Ia spontan memelototi Troy. "What the hell are you thinking, Bro? Dia sudah punya tunangan. Lagi pula, kamu dan Zanna baru saja bertemu. Bagaimana mungkin kamu bisa jatuh cinta secepat kilat begitu?"
Tidak biasanya Troy mengadu soal wanita. Sejauh yang Joe lihat, adiknya selalu berhasil mendapatkan wanita yang ia inginkan. Baru kali ini Joe mendengar adiknya putus asa menginginkan seorang wanita.
"Love at first sight. Mungkin." Troy menjawab dengan ekspresi setenang air dalam.
"Cinta pada pandangan pertama itu omong kosong. Sudahlah, jangan mencari masalah. Cari saja cewek lain."
Troy menggeleng. "Bagaimanapun caranya, Zanna harus jadi ceweknya Troy."
Joe menepuk dahinya. "Troy, listen—"
"I slept with her setelah pesta Halloween di hotel Diamond. Yang membuat Troy tidak bisa lupa, Zanna waktu itu ...." Troy berbisik memberitahu Joe dan membuat Joe tercengang tidak percaya.
"Oh, hell! Terkutuklah kamu, adikku." Darah Joe mendidih dan dengan cepat merayap ke kepala. Ia ingin sekali melayangkan tinjunya ke wajah Troy dan memukuli adiknya itu sampai babak belur. Namun, Joe masih punya hati. "Kamu harus bisa membatalkan pertunangan Zanna dan mendapatkan dia. Aku tidak mau tahu. Setelah aku dan Papa kembali dari Milan, kamu dan Zanna harus sudah menjadi pasangan yang siap menikah. Dasar nakal!"
4 Become Awkward
Zanna membenamkan wajah ke bantal. Hari tadi adalah hari terpanjang dalam hidupnya. Ia tidak pernah merasa sangat bodoh ketika berhadapan dengan pria ganteng maksimal. Bahkan, saat pertama kali bertemu dengan Radit pun ia masih bisa berpikir rasional. Namun, Troy berhasil menguapkan kecerdasannya hanya dengan menatap dan berlagak cool. Di dalam hati kecilnya, Zanna masih menyalahkan Radit karena menjadi penyebab kegilaannya malam itu. Seandainya Radit tidak meninggalkannya dengan alasan break, tidak akan ada cerita apa pun antara dia dan Troy. Zanna pasti akan pergi ke pesta Halloween itu bersama Radit atau ia dan Radit akan menghabiskan waktu di rumah saja. Meskipun pada akhirnya Radit kembali memperbaiki hubungan mereka dan bertunangan dengannya, Zanna masih merasakan sebuah ganjalan dalam hubungan mereka.
Zanna berguling lalu terlentang menatap langit-langit kamar sambil mengatur napas seperti ibu hamil yang sedang mengalami kontraksi. Bayangan kemeriahan pesta kostum itu kembali menyambangi ingatan. Namun, hal yang paling krusial yang mengganggu pikirannya adalah kemesraannya dengan Troy. Zanna masih bisa mencium aroma citrus yang memabukkan dari tubuh Troy dan embusan napas hangat pria itu di bibirnya. Angan Zanna kembali terserap kenangan yang tak terlupakan itu. Ia memejam berusaha mengingat-ingat dengan detail proses terjadinya kesalahan terindah yang ia dan Troy lakukan malam itu.
Entah radang dingin sudah menyerang Zanna atau Zanna hanya sedang terkejut, ia tak bereaksi apa pun terhadap ciuman Troy seusai pria itu mendorong dan menceburkan diri bersamanya ke kolam renang. Namun, Zanna merasakan gugup setengah mati setelah akhirnya ia mulai membuka diri menerima ciuman Troy beberapa saat kemudian. Zanna membalas ciuman Troy dengan sama bergairahnya. Lidahnya mendorong lidah Troy yang mendesak masuk ke mulutnya lalu menghisap bibir bawah Troy. Ciumannya terasa seperti pemula yang tidak berpengalaman, tapi ia yakin apa yang dilakukannya membuat Troy "high". Bibir Troy terasa seperti anggur yang memabukkan. Zanna bahkan tidak bisa menolak ketika Troy menarik tubuhnya semakin dekat hingga tak menyisakan jarak sesenti pun dengannya. Troy melingkarkan erat tangannya ke punggung Zanna sementara bibirnya terus menginvasi bibir wanita itu. Rasa panas dan ketegangan mulai terasa di mana-mana, bahkan Zanna bisa merasakan bukti gairah Troy dari balik celana jeans-nya yang menempel di perut Zanna.
"Kita ganti pakaian di penthouse-ku," bisik Troy sesaat setelah melepas ciumannya.
"Tidak." Zanna berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah. "Aku harus pulang."
Raut wajah Troy berubah. Ada rona kesal tergambar di sana dan Zanna tahu kalau Troy merasa dikhianati oleh keputusannya. Bagaimana mungkin Zanna akan meninggalkannya setelah membuat Troy turn on. Jiwa player Troy berteriak untuk tidak membiarkan Zanna pergi. "You can't leave what you started."
"Why?"
"Because I want you."
"Damn," umpat Zanna pelan. Zanna mengembus napas sambil menatap Troy dan berpikir. Keputusan paling irasional dan di luar dugaan akhirnya tercetus ketika sesaat kemudian Zanna berjinjit lalu melingkarkan tangannya ke leher Troy dan mencium pria itu.
Drrrttt ... drrrttt ...
Getaran ponsel yang diletakkan di atas meja di samping tempat tidur membuyarkan lamunan Zanna. Setiap kali kenangan terlarang itu hadir, Zanna dibuat seperti orang gila. Bagaimana tidak, sebentar lagi ia akan menikah dengan Radit, tapi ia masih memikirkan pria lain. Parahnya lagi, pria lain itu adalah bosnya sekarang.
Zanna bangkit dan duduk di tepi tempat tidur sebelum meraih ponselnya. Kalut dengan pikirannya sendiri, Zanna tidak sempat memperhatikan siapa yang menghubunginya. Hanya satu orang yang diyakini Zanna akan menghubunginya di luar jam kerja, menjelang waktu tidur. "Iya, Dit. Ada apa?"
"Ini Troy."
Damn! Zanna mendadak ingin membanting ponselnya.
"I-iya, Pak Troy. Ada apa?" Gugup sekaligus kesal menerpa Zanna secara bersamaan. Debaran di dadanya tiba-tiba saja memenuhi telinga. Hanya dengan mendengar suara Troy di telepon, perasaan Zanna menjadi tak menentu.
"Tolong kirimkan berkas hasil meeting Pak Joe di Labuan Bajo. Besok Pak Joe akan terbang ke Milan dan saya harus yakin kalau berkas yang akan dibawa Pak Joe tidak ada kesalahan."
"Baik, Pak. Saya kirim via email sekarang."
Dengan berat hati Zanna bangkit dari duduknya menuju meja kerja. Ia membuka laptop dan mencari file hasil meeting mantan bosnya secepat yang ia bisa. Sayangnya, sampai ia membuka seluruh isi folder, Zanna tidak menemukan file tersebut. Zanna yakin sekali semua file hasil meeting Joe ada di folder itu, tapi Zanna tiba-tiba kehilangannya dan ia pun mulai panik. Troy pasti akan menghubunginya lagi jika dalam waktu dekat ia tidak segera mengirimkan file itu. Apa yang akan ia katakan pada Troy, bahwa file itu hilang atau terhapus? Tidak. Itu hanya akan memperburuk citranya di depan Troy. Baru sehari Troy menjadi bos barunya, Zanna sudah menunjukkan ketidakbecusannya bekerja.
"Sial, kenapa semua file-nya bisa hilang?" gerutu Zanna putus asa.
Drrrttt... drrrttt ...
Zanna mendesah kesal ponselnya bergetar kembali. Pikirannya berputar-putar berusaha menemukan alasan yang tepat untuk menjawab permintaan Troy. Selama beberapa saat Zanna sengaja membiarkan ponselnya terus bergetar. Namun, Zanna akhirnya mengangkat panggilan itu meskipun masih belum menemukan alasan profesional.
"Iya, Pak Troy. Maaf, file-nya—"
"Troy? Siapa Troy?"
Zanna tersentak dan tercengang mendengar suara yang familier di telinganya. Mampus gue. "Radit?"
"Siapa Troy?" Suara Radit di ujung telepon terdengar penuh selidik.
"Mm ... Troy itu penggantinya Pak Joe, Dit. Yang aku ceritakan kemarin."
"Oh. Kenapa malam-malam begini dia menghubungi kamu, Zan? Apa jam kerjamu 24 jam? Sebaiknya—"
"Enggak, Dit," potong Zanna. Ia tahu apa yang akan dikatakan calon suaminya itu selanjutnya. Radit akan memaksa Zanna untuk berhenti bekerja. Sejak mereka resmi bertunangan, Radit memang tidak ingin Zanna bekerja lagi. Radit ingin Zanna fokus pada rencana pernikahan mereka dan berlatih menjadi seorang istri. Namun, Zanna tidak setuju. Ia meminta waktu untuk mengisi kekosongan waktunya dengan terus menjadi asisten Joe sampai tiba waktunya ia dan Radit menikah. "Pak Troy hanya meminta berkas hasil meeting Pak Joe, tapi berkas itu hilang. Back up-nya juga tidak ada. Mungkin aku tidak sengaja menghapusnya. Aku yang minta Pak Troy menunggu sementara aku mencari lagi berkas itu," lanjut Zanna.
"Aku enggak mau kamu sampai sakit gara-gara bekerja terlalu keras. Tanpa kamu harus bekerja pun aku yakin bisa membuat hidup kita nanti sejahtera."
Itu lagi. Zanna tertegun. Radit terlalu berbangga diri dengan penghasilannya sebagai Associate Partner di sebuah perusahaan Akuntan Publik kenamaan. Penghasilan Zanna memang tidak seberapa dibandingkan penghasilan Radit, tapi Zanna menyukai pekerjaannya dan ia paling tidak suka jika Radit berusaha menunjukkan kemampuan lebihnya di bagian itu.
"Aku tahu, Dit. Kamu pasti mampu membahagiakanku dengan gajimu yang melebihi gaji anggota Dewan Perwakilan rakyat. Aku tahu pasti—"
"Bukan begitu maksudku, Zan," potong Radit dengan nada menyesal.
"Sudahlah. Kita selalu bertengkar kalau ngomongin masalah itu. Kita lanjutkan besok saja. Selamat malam." Zanna tidak memberi kesempatan pada Radit untuk protes. Ia langsung menutup sambungan telepon dan meletakkan ponsel di samping laptop.
Zanna menangkup wajah dengan kedua tangan. Beberapa kali ia mengembus napas berusaha mengeluarkan segala kekesalannya pada Radit. Beberapa saat kemudian ponsel Zanna bergetar lagi. Dengan cepat Zanna meraih ponsel dan menempatkannya di telinga. Radit tidak akan menerima begitu saja Zanna memutuskan sambungan teleponnya, pikir Zanna.
"Apa lagi sih, Dit?" Nada suara Zanna terdengar meninggi.
"Siapa Dit?"
Oh, sial. Zanna mengumpat dalam hati. Sesalnya terbit kemudian. Suatu keteledoran mengabaikan melihat nama si penelepon di layar ponselnya.
"Maaf, Pak. Saya pikir Bapak—"
"Tunangan kamu?" Troy memotong dengan pertanyaan.
"Mm ... i-iya, Pak." Zanna berpikir sejenak. "Kok, Bapak tahu Radit tunangan saya? Perasaan—"
"Enggak usah pakai perasaan," Troy memotong dengan nada geram. "Kita tidak sedang main perasaan. Berkas yang saya minta sudah dikirim?"
Cih, siapa juga yang main perasaan? Percaya diri sekali CEO sinting itu. "Berkasnya tidak ketemu, Pak. File hasil meeting itu sepertinya sudah terhapus. Pak Joe mungkin punya salinannya."
"Terus, saya yang harus menanyakan sendiri pada Pak Joe? Itu kan tugas kamu sebagai asisten saya." Nada suara Troy terdengar meninggi.
Kamu kan adiknya! Zanna mulai kesal dengan ucapan Troy. Andaikan saja malam pesta Halloween itu ia tahu karakter asli si Joker berambut hijau seperti ini, Zanna pasti tidak akan terlena dalam pelukannya.
"Iya, Pak. Besok pagi saya akan menemui Pak Joe." Zanna meyakinkan.
"Bagus. Saya tunggu hasilnya."
"Baik, Pak."
Hiiiih! Zanna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pancaran matanya memperlihatkan kegeraman dan wajahnya semuram langit mendung. Ternyata, Troy lebih rumit daripada Joe. Berurusan dengan dua pria yang sama-sama keras kepala membuat Zanna pusing. Akhirnya ia memilih untuk mematikan ponselnya dan tidur.
***
Pagi-pagi sekali Zanna sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah keluarga Akalanka. Gara-gara satu file yang hilang, wanita itu dipaksa untuk bekerja lebih cepat dari jam kerja seharusnya. Melupakan sarapan dan harus berdebat dengan Radit saat datang menjemputnya, Zanna mengerahkan segala kemampuan untuk bekerja secara profesional.
Selama di perjalanan Zanna hanya diam. Bukan karena kesal pada Radit, melainkan karena hatinya diliputi was-was. Bagaimana jika Joe tidak menyimpan salinan file tersebut? Laju mobil yang dikendarai Radit terasa lamban padahal jalanan pagi itu tidak terlalu padat.
Radit menggenggam tangan Zanna lalu mengecup punggung tangannya. Sebisa mungkin ia harus bisa membagi konsentrasinya ke jalanan dan juga Zanna. "Zan, kamu kenapa sih marah-marah terus? Aku buat salah apa lagi?"
Salah? Zanna menelaah pertanyaan Radit. "Kamu enggak buat salah apa-apa, Dit."
"Tapi, semalam kamu mematikan ponsel kamu dan tidak mau mendengar penjelasanku."
"Dit, kamu ngerti-in aku dong. Aku semalam dalam kondisi tertekan gara-gara file yang hilang itu."
"Aku bilang apa, kamu berhenti kerja—"
"Itu lagi," potong Zanna lalu mendesah kesal. "Aku akan berhenti kerja dan aku janji, tapi tidak sekarang."
"Kapan?"
"Dit, please!" Zanna menggeram. "Kita sudah membicarakan ini sebelum kita bertunangan dan kamu setuju. Tolong, sekarang jangan membahas masalah itu. Kredibilitasku sedang dipertaruhkan pagi ini."
Radit melepaskan genggaman tangannya dari tangan Zanna. "Oke. Aku akan tunggu kamu merealisasikan janji kamu itu. Kalau bisa secepatnya. Aku tidak mau kamu marah-marah terus karena kerjaan kamu itu, Zan."
Zanna mengalihkan pandangannya ke jalan. Ia bersedekap dan perasaannya tiba-tiba saja kacau balau. Zanna pikir mungkin Radit benar ia harus berhenti kerja dan fokus pada rencana pernikahan mereka.
Diskusi yang tidak menemukan titik temu berakhir ketika mereka tiba di depan gerbang besi tinggi rumah keluarga Akalanka. Zanna sudah beberapa kali menyambangi rumah itu saat masih menjadi asisten Joe, itulah sebabnya Zanna langsung dibukakan pintu oleh satpam yang berjaga di pos di depan gerbang. Asisten rumah tangga keluarga Akalanka pun menyambut hangat kedatangan Zanna beberapa detik setelah ia mengetuk pintu.
"Selamat pagi. Pak Joe ada, Bi Nah?"
"Pak Joe sama Pak Dharma baru saja pergi, Bu."
Zanna tersentak kaget. "Pergi ke mana, Bi?"
"Saya dengar sih mau jemput Bu Dharma di Italia. Apa itu namanya ya ...?" Bi Nah memutar bola matanya ke atas berusaha mengingat kota apa yang akan didatangi kedua tuannya.
"Ke Milan?"
"Iya, itu, Bu. Mereka sudah pergi ke bandara sekitar setengah jam yang lalu."
Zanna menepuk dahinya. Troy pasti akan menganggapnya tidak becus bekerja.
"Siapa yang datang, Bi?" Suara Troy yang terdengar dari dalam membuat jantung berdebar kencang.
"Bu Zanna, asistennya Pak Joe." Bi Nah menjelaskan.
Troy melongok dari celah pintu. Mata cokelatnya berkilat menatap Zanna dan membuat wanita itu gugup. "Dia asisten saya sekarang."
"Oh, Bibi baru tahu, Pak. Pak Troy dapat warisan dari Pak Joe rupanya." Bi Nah tertawa pelan.
Dalam hati, Zanna pun ingin tertawa. Warisan? Bi Nah pikir Zanna adalah barang yang bisa diwariskan?
"Enggak lucu tahu, Bi." Troy cemberut.
"Ya, maaf, Pak. Habisnya, asistennya turun-temurun." Bi Nah menutup mulutnya dengan tangan menahan tawa. Asisten rumah tangga senior itu tampak akrab dengan seluruh anggota keluarga Akalanka.
Troy membuka pintu lebih lebar dan ia berjalan ke luar melewati Bi Nah. "Kita berangkat sekarang," kata Troy pada Zanna.
"File yang terhapus itu bagaimana, Pak?" Perasaan Zanna masih diliputi kecemasan. "Apakah Pak Joe—"
"Sudah beres."
"Kok Bapak tidak memberitahu saya?" tanya Zanna spontan. "Saya kan tidak perlu ke sini kalau tahu semuanya sudah beres."
Troy menatap Zanna tajam. "Memangnya saya punya kewajiban untuk memberitahu kamu? Kamu dong yang harusnya punya inisiatif bertanya apakah masalah berkas itu sudah beres atau belum? Kamu kan punya ponsel. Tanya, hubungi saya."
Salah lagi. Zanna mengembus napas. Ia kesal dengan jawaban Troy yang seenak udelnya sendiri. Ia rela berdebat dengan Radit demi bisa datang lebih pagi, tapi apa yang Zanna dapatkan hanya keluhan Troy.
"Saya minta maaf—"
"Kita berangkat sekarang." Troy memotong tanpa memberi Zanna kesempatan membela diri.
"Baik, Pak. Saya pakai taksi saja."
Troy berdecak jengkel. Ia melayangkan tatapan mengancamnya pada Zanna. "Jangan bikin rusuh pagi-pagi. Masuk ke mobil saya sekarang."
"Rusuh? Maksud Bapak—"
Zanna tidak sempat menyelesaikan pertanyaannya ketika Troy tiba-tiba meraih satu tangan Zanna dan menariknya pelan untuk mengikuti langkah Troy menuju car port.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
