Mengejar Cinta Carissa (1-6) Free

8
9
Deskripsi

Jika keberatan dengan novel erotis, novel ini bukan untuk Anda! Bijaklah dalam memilih bacaan.

Blurb:

"Itu namanya ciuman." Iris biru Mario mengunci tatapanku setelah ia melepas tautan bibirnya dari bibirku.

"Berarti sudah satu kali dan kamu harus mengembalikan satu persen saham Papa," balasku dengan gugup.

"Masih nol. Tadi itu hanya contoh." Mario berbalik dan berjalan ke mejanya. "Sekarang pulanglah. Besok kamu mulai dengan yang pertama. Jangan lupa pelajari Philematology. Kalau tidak tahu tanya saja...

1. Tentang Aku

Rona jingga menghias cakrawala bagai lukisan penyambut malam. Cahaya terang berangsur menghilang berganti temaram. Seharusnya aku dan Mama menghabiskan waktu bersama sore ini untuk bersantai, tapi pemandangan yang tertangkap netraku membuatku merasakan cemas yang mendalam.

"Ma, sudah, berhenti mengepel lantainya. Kalau Oma melihat, Mama pasti kena semprot lagi." Aku memperingati Mama yang sedang mengepel lantai ruang makan.

"Nggak apa-apa, Rissa. Mama, kan, sudah biasa mengepel lantai dan mencuci."

"Tapi kalau Oma lihat, Mama pasti kena marah lagi." Aku mengedarkan pandangan mencari tahu keberadaan Oma, penguasa rumah besar dan mewah bak istana ini. Wanita baya itu bisa murka melihat Mama mengepel layaknya asisten rumah tangga. Menurutku, tidak ada yang salah dengan yang Mama lakukan. Kami terbiasa melakukan hal itu sebelum tinggal di sini. Namun, bagi Oma hal itu dianggap hina. Aneh, aku kadang tidak mengerti cara berpikir Oma yang terlalu mengagungkan kasta.

Sudah hampir sepuluh tahun aku dan Mama tinggal di rumah keluarga besar Papa, tetapi baik Oma maupun Mama Lastri, istri pertama Papa, tidak pernah menganggap aku dan Mama sebagai keluarga mereka. Mereka seakan mengabaikan keberadaan kami. Segala usaha kami untuk bisa diterima di keluarga ini sepertinya sia-sia. Aku selalu ingin menangis jika mengingat hal itu. Semua yang aku dan Mama lakukan di rumah ini selalu saja salah.

Sebelumnya, kami tinggal di apartemen sederhana di jantung kota, lalu Papa meminta kami tinggal bersamanya dan juga keluarga besarnya. Awalnya, Mama menolak. Namun, Papa memaksa. Di sinilah aku dan Mama tinggal sekarang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Papa mempunyai dua istri dan dua orang anak dari istri yang berbeda.

"Ranti! Ngapain kamu pegang kain pel itu? Kasih ke Mbok Darmi kain pelnya. Sungguh memalukan sebagai nyonya kedua rumah ini kamu masih pegang kain pel. Kalau ada orang lain yang melihat, bagaimana? Seorang menantu keluarga Pratama, kok, ngepel lantai? Benahi diri kamu biar penampilan kamu kayak Lastri, tidak memalukan kayak pembantu begini!"

Seperti itulah kata-kata yang sering terlontar dari mulut nenek tua itu. Aku tidak membencinya. Hanya saja, aku tidak suka dengan ucapan yang selalu dilontarkannya pada kami yang seakan-akan menganggap aku dan Mama memang sangat tidak pantas berada di sini. Mungkin karena Mama berasal dari keluarga sederhana dan tidak datang dari keluarga kaya raya seperti Mama Lastri. Di mata Oma, setiap anggota keluarga Pratama harus berlaku seperti seorang putri kerajaan yang sempurna.

Aku dan Mama bisa bertahan selama ini karena Papa yang sangat menyayangi kami. Saking sayangnya padaku, Papa kadang berlebihan memanjakanku dan acap kali membuat kakakku, Abs, iri. Mungkin itu yang membuat Abs tak pernah menyukaiku. Iya, semua orang di rumah ini dan teman-temannya memanggil Abraham, kakakku, dengan panggilan Abs seperti kependekan populer dari salah satu otot perut, abdominis atau biasa dikenal dengan six packs alias roti sobek. Bisa jadi, mereka memanggilnya Abs lantaran tubuh atletis Abs memang diperindah oleh lekukan otot-otot yang menonjol di perutnya.

"Maaf, Nyonya Besar. Bu Ranti hanya membantu saya. Saya tadi mematikan kompor dulu." Beruntung, Mbok Darmi segera muncul dan membela Mama. Asisten senior itu selalu bersimpati pada kami. Mungkin, karena dia melihat perjuangan kami di sini yang tidak mudah.

"Lain kali, kerja jangan borongan. Suruh asisten lain yang mematikan kompor!" tandas Oma.

"Baik, Nyonya." Mbok Darmi sedikit membungkuk lalu mengambil alih gagang alat pel dari tangan Mama sambil berkata pelan, "Terima kasih, Bu."

"Sama-sama, Mbok."

"Kamu, Ranti. Kamu itu harus tahu diri. Kamu itu Nyonya. Tidak boleh sembarangan pegang kerjaan rumah. Ingat, harga diri keluarga Pratama itu lebih besar daripada harga dirimu!" Kini, Oma melontarkan kata-kata pedasnya untuk Mama.

Mama hanya mengangguk sambil tersenyum tipis merespons ucapan Oma. Wanita yang selalu menjadi panutanku itu seperti batu karang yang tahan dihantam ombak jutaan kali. Ia selalu bersikap manis kepada siapa pun, meskipun tersakiti. Aku bangga padanya.

***

Hari ini hari pertama aku berkuliah. Aku mengambil jurusan Manajemen Bisnis. Aku ingin kelak bisa membantu Papa menjalankan perusahaannya. Seperti ketika masih bersekolah di SMA dulu, aku selalu berangkat diantar Papa sementara Abs mengendarai mobilnya sendiri. Saat ini, kami berkuliah di universitas yang sama. Papa tidak mau membeda-bedakan aku dan Abs.

Sebagai adik dari mahasiswa yang paling populer di kampus, tentu saja aku lebih cepat dikenal teman-teman seangkatanku dan angkatan Abs yang terpaut dua tingkat di atasku. Everything runs so smooth. Dua mata kuliah terlewati tanpa terasa. Biasalah, masih baru. Masih bersemangat empat puluh lima. Menjelang memasuki jam mata kuliah ketiga, salah satu teman sekelasku menginformasikan bahwa sang dosen berhalangan hadir hari ini. So, untuk mengulur waktu hingga Papa menjemputku, aku menunggu di kantin.

"Hai, gue Talita. Lo pasti adeknya Abs, ya?"

Seorang gadis cantik berambut ikal hitam sebahu menghampiriku saat aku duduk seorang diri sambil menyesap minuman yang baru saja kubeli.

"Mmm, iya." Aku menyunggingkan senyum canggung. 

"Kok nggak bareng Abs?" Talita celingukan mencari sosok Abs.

Bareng Abs? Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya.

"Oh, pasti lo malu ya kalau deket-deket abang lo? Takut nanti dikira manja?" Talita mengangkat alis dan menipiskan bibirnya seolah-olah sedang menduga.

Aku sebenarnya ingin seperti itu. Namun, Abs tidak pernah menganggapku ada dan tidak pernah menganggapku sebagai adiknya.

Aku kembali tersenyum. Penilaian orang-orang di luar sana sangat berbeda dengan yang kurasakan. Aku yakin sekali citra yang dibangun dan diperlihatkan ke khalayak ramai oleh keluargaku sangatlah sempurna. Harmonis. It's a fake.

"Ya sudah, gue temenin, ya. Eh, Carissa, kan, nama lo?"

"Iya. Panggil saja Rissa."

"Lo panggil aja gue Lita." Talita tersenyum padaku.

Aku dan Talita memulai obrolan ringan. Sekali-kali Talita bertanya tentang Abs yang hanya bisa kujawab dengan ya, tidak, atau bahkan hanya dengan senyuman. Aku tidak mengetahui banyak hal tentang Abs meskipun aku tinggal serumah dengannya. Yang aku tahu Abs adalah seorang pemarah yang menyebalkan.

Beberapa menit kemudian aku melihat Abs dan teman-temannya masuk ke kantin. Abs dengan cepat mengalihkan pandangannya saat tatapan kami bertemu. Hmm, aku sudah terbiasa diperlakukan Abs seperti ini. Mungkin saja dia malu mempunyai adik dari istri simpanan papanya. Aku bisa mengerti. Namun, rasa diabaikan sedikit terobati ketika salah satu teman Abs dari masa SMA-nya menghampiriku dan Talita.

"Halo, cantik. Minum apa, nih?" Andra, teman Abs, berdiri di sampingku sambil senyum-senyum tidak jelas ketika kumengangkat pandangan ke arahnya. Kebiasaan buruk Andra memang seperti itu, tapi lucu juga.

Dibanding Abs, kurasa Andra lebih pantas menjadi kakakku. Sikapnya selalu ramah dan perhatian layaknya seorang kakak pada adik. Sementara itu, kulihat Abs duduk menjauh dengan dua orang temannya yang lain. 

"Jus melon, Kak," balasku sambil mengangkat gelas minuman yang kupegang.

"Mau, dong." Andra langsung menyambar gelas minumku dan menyesap jus melon itu sampai hampir habis.

"Ih, Kakak, kok dihabisin, sih?" Aku melihat gelasku yang hampir kosong. Kesal sih, tapi senang karena Andra menjadi satu-satunya orang yang mengamuflasekan ketidakharmonisan hubungan kakak-beradik antara aku dan Abs. Andra membuatku seolah-olah tidak mau berdekatan dengan Abs, tapi dengannya aku masih mau bercanda.

"Masih ada itu." Andra menunjuk ke gelasku.

"Ya, ampun! Ini sih tinggal ampasnya doang." Aku mengerucutkan bibir berpura-pura marah.

"Marah?" Andra mencubit pipiku, lalu mengalihkan pandangannya pada Talita. "Eh, ada yang cantik lagi, nih. Temen lo, Riss?" 

"Iya. Kenalin, Kak. Ini Talita." Aku memperkenalkan Talita pada Andra dan sebaliknya. "Lita, ini Kak Andra. Temannya Kak Abs."

Andra dan Talita berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri. Tak berapa lama, salah seorang teman Abs yang duduk bersamanya memanggil Andra untuk kembali bergabung dengan mereka. Aku melihat tatapan tidak senang Abs saat Andra kembali mencubit pipiku. Mungkin Abs pikir aku gadis genit. Whatever-lah!

"Asyik ya hidup lo dikelilingi cowok-cowok ganteng," celetuk Talita.

Aku kembali tersenyum. Andai saja kamu tahu, hidupku tidak seindah dugaanmu, Lita. 

"Habis ini lo langsung pulang?"

"Iya."

"Pulangnya bareng Abs?"

"Ya nggaklah. Abs pulang bareng temen-temennya. Gue nunggu jemputan bokap," 

Papa tidak memperbolehkanku naik angkutan umum atau taksi. Papa posesif sekali padaku. Mungkin karena aku anak perempuan. Aku menelepon Papa yang tak kunjung menjemputku. Namun, lama tak ada jawaban. Sepertinya, Papa sedang sibuk. Aku menelepon Pak Asan, sopirnya Papa, pun tidak diangkat. Hari semakin sore dan awan pekat sudah menyelimuti bumi. Pasti akan turun hujan deras. Sementara itu, Talita sudah pulang lebih dulu dan aku sendirian.

Benar dugaanku, beberapa saat kemudian rintik hujan mulai membasahi bumi. Bau tanah tercium dan menyeruakkan wangi khasnya yang menyejukan jiwa. Bumi tak lagi menahan dahaganya. Aku berdiri di teras kantin yang kebetulan menghadap ke tempat parkir kendaraan roda empat. Aku sengaja berdiri di sana agar Papa dengan mudah mengenaliku dan tidak repot-repot meneleponku saat menjemput.

Kenyataan kadang tak seindah harapan. Aku menanti kedatangan Papa, tapi yang melintas di hadapanku mobilnya Abs. Abs seperti sengaja menurunkan kaca jendela dan membiarkan air hujan menerpa wajahnya hanya untuk melemparkan senyuman mencemoohnya padaku. Tak ada sedikit pun rasa iba dalam tatapannya melihatku berdiri sendiri di sini.

2. Tatapan Membunuh

“Heh, Ranti! Kalau punya anak itu dididik yang benar. Masih untung dikuliahkan di tempat mahal. Bareng sama Abs lagi. Kuliah itu bukan untuk main-main. Kasih tahu anakmu itu! Pulang kuliah malah keluyuran. Apa pantas anak gadis pulang jam segini?!” tuduh Oma dengan nada geram.

Oma menghakimiku tanpa bertanya terlebih dahulu alasanku pulang terlambat. Seharusnya ia bisa melihat pakaianku yang basah kuyup dan tubuhku yang menggigil lantaran menahan dingin. Apakah nenek tua ini mendadak buta? Kurasa tidak. Oma hanya senang mencari-cari kesalahanku saja. Harinya tidak terasa sempurna jika tidak mengomel dan memarahiku atau memarahi Mama. 

“Oma, Rissa pulang terlambat karena menunggu—”

“Sudah, Rissa,” potong Mama, lalu dengan penuh sesal ia meminta maaf pada Oma. “Bu, maafkan Rissa, ya.” 

Mama selalu melakukan hal itu ketika Oma menyalahkanku. Aku sebetulnya tidak menyukai sikap Mama yang terlalu gampang meminta maaf atas perbuatan yang sebenarnya bukan kesalahanku. Itu semua seperti mengiakan semua dugaan Oma.

“Makanya, didik anak kamu dengan baik. Biar enggak bikin malu keluarga!” Nenek tua itu memalingkan muka sekan sangat jijik melihatku dan Mama. 

“Sekali lagi maafkan Rissa ya, Bu. Lain kali Rissa tidak akan melakukan hal seperti ini lagi.”

Oma tetap tidak berpaling ke arah kami sampai Mama menyeretku ke bagian belakang rumah.

“Ma, Mama kenapa, sih, selalu meminta maaf untuk Rissa? Rissa nggak salah, Ma,” kataku meyakinkan Mama saat kami mencapai dapur.

“Mama tahu, Riss.”

“Lalu, kenapa Mama tadi minta maaf sama Oma?”

“Mama nggak mau ada keributan, Rissa. Kamu ngerti posisi kita di rumah ini seperti apa.” 

Kami melanjutkan langkah sampai di halaman belakang di tepi kolam ikan kecil. Mama mengambil handuk dari tempat jemuran sementara aku duduk di kursi bambu di seberang kolam. Hanya di tempat ini kami bisa bersantai. Hanya di sudut inilah kami bisa mengobrol dan meluapkan perasaan dengan bebas. Satu-satunya tempat yang tersisa untukku dan Mama untuk berbagi rasa.

Mama lalu menyelimutiku dengan handuk. Melihat raut wajah Mama, aku tahu apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Mama pasti selalu merasa serba salah selama tinggal di rumah ini. Namun, Mama rela mendapat perlakuan yang tidak patut diterimanya sebagai menantu keluarga ini hanya demi cintanya pada Papa. Aku tidak mau menambah bebannya lagi. Aku akan berhenti memaksa Mama membelaku.

“Kamu kenapa sampai basah kuyup kayak gini, Ris?”

“Rissa menunggu Papa menjemput, Ma, tapi, Papa nggak datang-datang. Jadi, Rissa naik bus dan kehujanan tadi.”

“Mungkin Papamu sedang sibuk. Ya, sudah. Sekarang lekas ganti bajumu. Kamu bisa masuk angin kalau kelamaan memakai baju basah.”

“Iya, Ma.”

Aku menuruti saran Mama. Aku segera naik ke lantai atas menuju ke kamarku. Sejumput rasa sakit menyelinap ke dalam hati saat aku melintasi kamar yang terdekat dengan tangga. Penghuni kamar itu benar-benar tidak punya hati. Abraham Aleysio Pratama adalah kakak paling jahat yang pernah ada dalam sejarah. Aku terus menyumpahi Abs dalam hati sampai tiba di kamarku yang terletak di ujung lorong dan terpisah beberapa ruangan dari kamar Abs. Tidak terasa wajahku kembali basah. Bukan karena air hujan, tapi karena air mata yang tumpah tanpa kusadari. 

Entah sudah keberapa puluh kalinya Abs membuatku menangis selama aku tinggal di rumah ini. Aku hanya merasa tidak diperlakukan dengan adil. Darah yang mengalir ditubuhku dan Abs sama. Aku dan dia adalah anak-anak Tjandra Pratama, tetapi kenapa harus selalu Abs yang diperlakukan seperti pangeran? Apa salahku hingga seluruh anggota keluarga ini membenciku? Apa karena aku hanya anak seorang selir? Oh, God. Seburuk itukah penilaian mereka terhadapku dan Mama?

Setelah mengganti pakaianku dengan piama, aku hanya memikirkan soal ketidakadilan ini hingga larut malam. Tepatnya hingga suara perutku berkumandang karena lapar. Aku turun ke ruang makan, lalu membuat roti lapis isi selai nanas dan memakannya secepat yang kubisa. Aku tidak ingin berlama-lama di ruang makan. Pasalnya, mataku sudah mulai terasa berat. Namun, cahaya terang dari ruangan kerja Papa yang terletak di seberang ruang makan mengganggu penglihatanku. Setelah meneguk segelas air putih, aku berusaha memeriksa ruangan tersebut. Siapa tahu Papa lupa mematikan lampunya. 

Damn! Papa tiba-tiba keluar dari sana dan sukses membuat jantungku berdebar dua kali lebih kencang. Aku sangat terkejut dan aku yakin Papa pun mengalami hal serupa.

“Rissa, ngapain kamu di sini?”

“Habis makan sandwich, Pa. Rissa lapar. Oh, iya. Kenapa Pak Asan tadi siang tidak menjemput Rissa? Rissa menunggu sampai petang, Pa. Rissa pulang naik bus dan kehujanan.”

Papa mengusap lembut kepalaku. Hawa sejuk tiba-tiba mengaliri tubuhku. Sedihku sedikit terobati dengan kasih sayang yang Papa tunjukkan. Persaanku mengembang lega, masih ada Papa yang selalu menyayangiku dan Mama. 

“Maafkan Papa, ya. Papa ada sedikit urusan mendadak sampai Papa lupa menghubungimu.”

“Iya, tidak apa-apa, Pa. Rissa mengerti.”

“Ya, sudah. Sekarang kamu tidur, besok pagi kan kamu kuliah.”

Aku mengangguk. “Iya, Pa. Papa juga ya. Jangan begadang terus. Ingat kesehatan Papa. Selamat malam, Pa.”

“Malam, sayang.”

Aku kembali lagi ke kamar lalu mengambil salah satu novel lawas favoritku karya R.L Stine dan membawanya ke tempat tidur. Sudah menjadi kebiasaanku, sebelum tidur aku harus membaca terlebih dahulu.

Mataku masih terasa lengket dan tubuhku masih ingin berlama-lama bercengkerama dengan selimut dan kasur saat Mama membangunkanku. Aku hampir saja tidak mendengar ucapan Mama lantaran mata, telinga, dan pikiranku tidak mau diajak kerja sama. Namun, omelan Mama yang terus menerus menggema membuatku benar-benar terjaga.

“Rissa, ayo dong bangun! Kamu harus berangkat kuliah. Baru hari kedua masa sudah malas sih?”

“Iya, Ma. Rissa sudah bangun nih.” Aku menurunkan kaki dari ranjang menunjukkan pada Mama kalau aku sudah terjaga.

“Cepat mandi sana! Oma dan yang lain sudah menunggu di bawah untuk sarapan.”

“Oke, Ma. Rissa cuma butuh waktu sepuluh menit untuk mandi dan bersiap-siap.”

“Ya, sudah. Cepetan ya! Mama menunggu di bawah.”

Aku menautkan jempol dan telunjukku membentuk kode ‘oke’. Secepat mungkin aku mandi dan bersiap-siap. Aku tidak mau nanti Oma menyalahkan Mama lagi karena aku bangun kesiangan.

Seperti hari kemarin, aku menunggu Papa untuk mengantarku ke kampus setelah selesai sarapan. Aku melirik arloji di tangan kananku. Sudah hampir jam 07.30. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku bisa terlambat. Berkendara di pusat kota Jakarta, weekday, di pagi hari sama saja dengan melatih otot jantung dan emosi. Bersyukur jika tidak macet. Namun, kendaraan-kendaraan yang mengular di sepanjang ruas jalan bukanlah hal yang mustahil.

Papa kembali ke ruang kerjanya seusai menyantap sarapan. Tidak sabar, aku mengikuti Papa ke sana. 

“Papa nggak berangkat ke kantor? Rissa sudah terlambat nih, Pa.” Pertanyaanku menghentikan langkah Papa sebelum mencapai meja kerjanya.

Papa menepuk dahinya agak kuat hingga berbunyi, plak! “Ya Tuhan, Papa lupa. Sayang, kamu berangkat ke kampus bareng Abs, ya. Papa tidak bisa mengantarmu. Papa masih ada kerjaan.” 

Tidak biasanya Papa memintaku berangkat bersama Abs.

“Tapi, Pa ….” 

“Kamu berangkat sama Abs. Pak Asan masih isi bahan bakar. Nanti kamu terlambat.”

Papa hafal betul aku dan Abs tidak pernah akur sehingga akhirnya Papa menuntunku ke garasi. Sesampainya di sana, aku melihat Abs sudah rapi dengan setelan jeans dan  kaus polo hitam yang membalut tubuh atletisnya. Dia sudah bersiap-siap akan masuk ke mobil sport-nya.

“Abs, berangkat bareng adik kamu, ya,” pinta Papa.

Abs tidak merespons permintaan Papa. Ia justru mengarahkan tatapan setajam siletnya padaku. Bentuk wajahnya yang tegas tanpa senyuman membuatku merinding. 

Abs berdecak kesal. Ia mengalihkan tatapannya ke arah Papa sambil memprotes. “Yang benar saja, Pa? Memang Pak Asan ke mana, sih?” 

Penolakan Abs sudah biasa bagiku, tapi tidak untuk Papa. Papa merasa geram dengan respons anak sulungnya itu.

“Carissa berangkat sama kamu! Pak Asan sedang mengisi BBM. Sudah, jangan ada alasan lagi! Papa sedang banyak kerjaan.” Suara Papa yang mulai meninggi  membuat Abs tidak bisa menolak perintahnya.

Abs mengeraskan rahang dan melayangkan tatapan membunuhnya padaku. “Ya sudah. Cepat masuk!” 

Aku masuk ke mobil Abs. Ini kali pertama aku duduk di mobil mewah Abs. Lumayan. Rasanya tidak jauh berbeda dengan mobil Papa. Sepanjang perjalanan, kami saling diam. Aku mencuri lihat dari spion dalam, raut wajah Abs memang sangat tidak bersahabat. Bibirnya mengatup rapat, tatapan tajam di bawah alisnya yang tebal mengarah lurus ke depan, dan rahangnya yang membentuk garis tegas membuat wajah tampan Abs tampak sedikit menakutkan. Aku hanya berharap perjalanan ini tidak terlalu lama. Berada satu mobil dengan Abs membuat energiku terkuras. Resah, marah, dan sedih itu membutuhkan energi yang sangat banyak. Sial, energi yang dihasilkan dari sarapan tadi terbuang sia-sia.

Thank you, Lord. Akhirnya kami tiba di pelataran parkir kampus. Baru saja melepas sabuk pengaman, seruan Abs membuatku tercengang.

“Jangan harap aku akan pergi denganmu lagi. Ini yang pertama dan terakhir. Keluar!” 

Abs tak pernah berbicara lembut padaku. Dia selalu sekasar itu. Aku hanya bisa menahan napas. Sudah bertahun-tahun lamanya dan dia semakin membenciku dari hari ke hari. Apa salahku, Abs?

Abs berjalan di depanku dan dengan cepat dia menyusuri koridor kampus. Aku mengikutinya di belakang. Aku tahu saat ini hampir semua mata tertuju pada kami. Mungkin mereka pikir kami adik-kakak yang harmonis, tetapi kenyataannya tidak sama sekali. Abs bahkan tak mau berjalan berdampingan denganku.

“Helo, beautiful!” Entah dari mana Andra muncul. Tiba-tiba ia sudah berjalan di sampingku. Tidak canggung, ia merangkul pundakku sambil melempar candaan khasnya, senyum-senyum tidak jelas. “Tumben bareng Ka-kak?” tanya Andra sedikit menekan pada kata ‘kakak’.

“Pak Asan nggak bisa nganter.”

Andra tetap meletakkan tangannya di pundakku sampai kami tiba di depan kelasku. Dia memang sok akrab, tapi aku senang karena setidaknya orang lain akan menganggapku punya teman. 

“Sudah, ya. Gue nganter lo sampe di sini aja. Gue nggak ikut masuk. Takut disuruh tutup pintu dari luar sama dosen lo.” Andra menempelkan telunjuknya di ujung hidungku.

“Makasih, ya, Kak.” Aku tersenyum geli mendengar celoteh pagi Andra. Disuruh tutup pintu dari luar? Diusir dong. Pria ini selalu bisa membuatku tersenyum dengan segala tingkah dan ucapannya.

Aku memandang punggung Andra yang berjalan kian menjauh dari tempatku berdiri. Aku bersyukur masih ada  teman seperti Andra yang bisa sedikit menghiburku. Semakin bayangan Andra tampak samar-samar dan kemudian menghilang, semakin jelas bayangan lain terlihat di ujung koridor. Abs sedang menatapku dengan tatapan berapi-api yang siap membakar dan membunuhku. Oh, my God!

3. Mario Grissham

Aku menangkap tatapan mencela Abs. Abs memang tidak pernah suka kalau ada temannya akrab denganku. Bagi Abs, aku hanyalah seorang anak simpanan ayahnya yang tak pantas disepadankan dengannya. Aku berjalan masuk sambil sedikit menunduk ke ruang kelasku. Setelah duduk di kursiku, aku mencoba mengatur napas agar tenang kembali. Aku selalu merasa takut saat Abs menatapku seperti itu. 

“Woiii!” Suara cempreng dan remasan di pundak membuat jantungku berdegup kencang. Refleks, aku celingukan mencari sumber suara yang membuat dadaku hampir meledak.

“Lita! Lo bikin jantung gue hampir copot, tahu!” seruku agak sedikit kesal.

Sorry. Habisnya gue perhatiin, elo dari tadi ngelamun terus. Jangan ngelamun, ntar kesurupan.” Gelak Talita meledak dengan nyaring. “By the way, lo ngelamunin, apaan or siapa sih?” tanyanya lagi. Talita kemudian menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana sambil bertumpang kaki. Ia kemudian menggulung lengan kemejanya hingga ke siku seraya berkata, “Oh, gue tahu. Elo pasti lagi mikirin si Andra, ya?”

What? Bukan. Gue laper. Tadi nggak sempat sarapan,” balasku berpura-pura.

“Kirain ngelamunin si Andra. Lo cocok sama si Andra, Beb, and gue cocok sama abang lo. Kita bakal jadi phenomenal couples sepanjang masa kalau itu sampai kejadian.” Talita mengangkat tinggi dagunya dengan percaya diri.

“Kebanyakan ngayal lo!” tepisku menggugurkan khayalan tingkat dewanya Talita.

Aku tahu kebanyakan gadis, mungkin hampir semua gadis, di kampus ini berharap bisa menjadi kekasih Abs. Siapa yang tidak mau menjadi kekasih seorang Abraham Aleysio Pratama? Dengan wajah dan tubuh yang nyaris sempurna, ditambah materi serta kemampuan yang membuatnya dilabeli “lady killer”, sepertinya Abs dengan mudah bisa menarik perhatian semua gadis. Namun, tidak bagiku. Sebagai adik yang tidak pernah diakuinya, aku merasa Abs seperti monster jahat yang selalu ingin mencabik dan menelan korbannya.

***

Sepulang kuliah aku mendapati Papa tengah duduk lemas di kursi malas sambil menaikkan kedua kakinya ke meja rotan tempat biasa aku dan Mama bersantai dan berbagi cerita.

“Jadi, Papa hari ini nggak berangkat ke kantor? Kenapa, Pa? Papa sakit?” Aku duduk di kursi sebelah Papa.

“Nggak, Sayang. Papa baik-baik saja. Sudah, sana kamu makan dulu. Jangan suka telat makan, nanti kamu sakit.”

Aku melihat ada yang tidak beres dengan Papa. Tidak biasanya Papa duduk santai bermalas-malasan karena Papa adalah seorang pekerja keras dan pemimpin perusahaan yang bijaksana. Ah, tapi mungkin Papa sedang ingin beristirahat karena lelah. Selama hidupnya, aku menyaksikan Papa mengabdikan dirinya untuk keluarga, terutama perusahaan yang dibangun oleh leluhurnya. Aku meninggalkan Papa di sana untuk kembali ke kamarku.

Sampai larut malam, aku masih melihat Papa duduk di kursi malas di taman belakang. Namun, kali ini Papa ditemani kedua istrinya dan Oma. Aku mengintip dari balik daun jendela yang terbuka. Sayup-sayup aku mendengar perbincangan mereka.

“Bagaimana semuanya bisa terjadi, Tjandra?” Suara Oma terdengar meninggi.

“Iya, Bu. Produksi kita akhir-akhir ini mengalami penurunan drastis. Jadi, saya memberanikan diri meminjam dana dari perusahaan Pak Mario. Awalnya dia tidak mengajukan syarat apa pun. Namun, belakangan saat saya tidak menepati janji untuk mengembalikan dana yang saya pinjam dan dia meminta pembayaran ditukar dengan saham perusahaan, Bu,” kata Papa dengan suara tertahan.

“Lalu, kamu memberikannya?” Oma terdengar murka.

“Saya tidak punya pilihan, Bu. Dia mengancam akan memenjarakan saya kalau sampai batas waktunya saya tidak bisa membayar pinjaman saya. Kalau nanti saya dipenjara, bagaimana nasib keluarga kita, Bu?”

“Berapa banyak yang kamu berikan?”

“Hampir 45 persen, Bu.” 

“Apa?! Tjandra, kamu keterlaluan! Kamu memberikan saham perusahaan kita sebanyak itu? Perusahaan itu dibangun dengan susah payah oleh ayah dan kakekmu!” Oma lebih meninggikan suaranya. Kemurkaannya tak bisa lagi meredam nada bicaranya sampai aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas.

“Bu, 45 persen saham yang saya berikan itu masih belum setengahnya untuk membayar utang saya pada Pak Mario.”

“Ya Tuhan. Tjandra, kamu benar-benar menghancurkan kerja keras ayahmu, Nak. Berapa yang kamu pinjam?” Oma meratap. Suaranya yang bergetar menggambarkan kekecewaan dan kesedihan yang mendalam di hati wanita tua itu.

“Dua triliun, Bu. Hampir seharga perusahaan dan aset kita. Sebetulnya, bisa saja dia mengambil alih perusahaan dan aset kita, Bu, tapi dia hanya meminta 45 persen saja saham kita,” kata Papa terbata-bata.

“Dengan memberikan sejumlah itu artinya kamu sudah memberikan perusahaan kita padanya, Tjandra. Kita sudah tidak bisa lagi menjadi pembuat keputusan untuk perusahaan. Sekarang semua keputusan akan jadi milik si Mario itu,” sergah Oma.

“Maafkan Tjandra, Bu. Tjandra tidak bisa menjalankan perusahaan dengan baik.” 

Kulihat Papa bersimpuh di kaki Oma, lalu memegang tangan wanita yang tadi sempat histeris itu. Sementara itu, kedua istrinya hanya terdiam menyaksikan perdebatan sang suami dan ibunya.

“Pokoknya, Ibu tidak mau tahu kamu harus bisa menarik kembali saham kita!” Oma pergi meninggalkan Papa, kemudian disusul Mama Lastri yang mengejar Oma. 

Aku melihat beban yang sangat berat dalam diri Papa sekarang. Papa memeluk Mama, lalu menangis di pelukannya. Sekuat apa pun pria, ada saatnya dia memerlukan seseorang untuk menguatkannya. Aku tertegun melihat pemandangan itu. Betapa Papa sudah berjuang keras untuk keluarga ini. Mengurus sebuah perusahaan besar tak semudah yang dibayangkan.

Keruh dan kusutnya pikiranku membuatku terjaga hampir semalaman. Aku memikirkan Papa. Aku merasa iba. Papa tidak boleh mendapat perlakuan yang sama seperti aku dan Mama. Cukup kami saja yang diperlakukan tidak adil. Tidak untuk pria yang selama ini berjuang dan menyayangi kami.

Diam-diam, aku pergi ke ruang kerja Papa. Aku hanya ingin mencari tahu tentang Pak Mario yang dibicarakan Papa tadi. Aku membuka laptop Papa dan mencari file yang berhubungan dengan Pak Mario. Yes! I got it! Aku mendapat informasi tentang pria itu.

Sepulang kuliah, aku membuat alasan agar Papa tidak menjemputku. Aku meyakinkannya bahwa aku sedang mengerjakan tugas dari seorang dosen killer bersama Talita. 

Berbekal informasi yang kuperoleh semalam, aku mendatangi perusahaan Pak Mario. Namun, si resepsionis dan seorang petugas keamanan menghalangiku untuk bertemu dengan Pak Mario. Mereka berdalih aku harus membuat janji terlebih dahulu baru bisa bertemu dengan bos mereka. Aku tidak sabar. Kurasa, aku tidak akan mempunyai kesempatan lagi selain hari ini. Aku menerobos petugas keamanan dan berlari menuju lift. Beruntung, begitu memasuki lift, pintu lift langsung tertutup. Aku bingung saat harus menekan angka pada panel floor buttons. Pasalnya, aku tidak tahu di mana ruangan Pak Mario.

“Mau ke lantai berapa, Nona?” 

Oh, hell. Suara maskulin yang menyapa pendengaranku membuatku bergidik ngeri. Bodohnya aku sampai tidak menyadari bahwa ada orang lain di dalam lift yang mungkin saja bisa menghubungi satpam untuk menangkapku. Pelan-pelan aku melirik ke arah sumber suara. Tatapku yang selevel dadanya menemukan jas abu-abu dengan kancing terbuka yang melapisi kemeja putih. Penasaran, kususuri tubuh atletis itu hingga ke pundaknya yang lebar dan ... WOW! Tiang mana tiang? Sepertinya aku butuh tiang untuk pegangan. Sosok yang berdiri di sampingku ini manusia atau jelmaan dewa Yunani? He is so cute. Tidak. He’s hot. Bentuk wajah sedikit kotak dengan tulang rahang yang tegas membuat pria itu tampak sangat cowok banget. Janggut tipis yang tumbuh memenuhi hampir separuh pipi dan dagunya menegaskan ketampanan yang dimilikinya. 

Huh! Aku mengembus napas dengan cepat. Berharap ia tidak mengenali keterkejutanku dengan akurat. Sedikit saja, bolehlah. Sepertinya pria itu tamu juga di gedung ini. Bedanya, ia tamu yang diundang, sedangkan aku penyusup. Mungkin. Aku hanya berspekulasi. 

“Mau ke lantai berapa?” tanya pria itu sekali lagi.

“Mmm … ke lantainya Pak Mario,” jawabku gugup.

Mario who?” Pria itu tampak kebingungan.

“Mario. The owner of this company, CEO, or whatever-lah.” Aku menegaskan ucapanku dalam bahasa Inggris karena dari rambutnya yang berwarna cokelat chessnut dan mata birunya, aku yakin ia bukan orang Indonesia. Aku pun menerka-nerka posisi si Mario itu di perusahaan ini. 

“Oh!” Hanya itu yang keluar dari mulut pria itu.

Sesampainya di lantai 7, lift berhenti dan pintu secara otomatis pintunya terbuka. 

Come on, follow me!” Pria itu mengajakku keluar dari lift. 

Mungkin dia tahu ruangan kerja Pak Mario. Akhirnya, ketemu orang baik juga.

Aku berjalan mengikuti pria bule itu masuk ke ruangan bertuliskan CEO. 

Come on!” 

Aku hanya menurut saja pada pria yang sudah mau membantuku itu. Aku masuk ke ruangan yang ditunjuk olehnya, tetapi aku tak melihat seorang pun di sana selain pria itu dan aku tentunya. Mendadak rasa takut dan curiga menyelimuti benakku. Ya Tuhan, di ruangan ini tak ada siapa pun. Bagaimana kalau pria bule ini macam-macam padaku? Aku melangkah mundur. Lebih mendekat ke pintu, lebih cepat aku bisa kabur dari pria bule itu kalau dia sampai bertindak macam-macam.

Pria itu mengernyitkan dahi seraya menatapku. Mungkin ia melihat gelagatku yang ketakutan. Entahlah. 

“Kamu kenapa?” tanyanya.

“T-tidak. Aku tidak apa-apa." Aku berpura-pura biasa saja meskipun sangat gugup, lalu aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. "Tadi kamu bilang, kamu akan mengantarku ke ruang Pak Mario. Tapi, ini ….” 

“Kamu mau ke ruangan Pak Mario, ‘kan?" Ia meyakinkanku. "Ini ruangannya.”

“Yang benar saja? Di sini tak ada siapa pun. Kita bisa dikira penyusup masuk ke ruangannya tanpa izin.” Aku berbalik dan bersiap meninggalkan ruangan ini.

“Siapa bilang nobody’s here? We’re here.” 

Pria itu mulai membuatku kesal. Aku terpaksa memutar posisiku lagi untuk berhadapan dengannya. “Sudahlah, ayo kita pergi saja dari sini! Nanti kalau ketahuan satpam jadi ribet deh urusannya.” 

I'm Mario.," tuturnya

“Mario, who?

"Mario Grissham.”

What?!!! Aku terpangah. Mataku membelalak dan mulutku terbuka membentuk huruf O.

4. Benci

Aku tertegun mendengar pengakuan pria ini. Bukankah seharusnya pemilik perusahaan ini seorang pria tua berambut putih dan bertubuh gendut? Cowok ini sih pantasnya menjadi seorang model. Masa iya sih dia pemilik perusahaan ini? Sumpah, aku bingung dengan pertanyaan-pertanyaanku sendiri.

“Apa kamu yakin kamu Mario? Jangan bercanda. Mario yang punya perusahaan ini pasti sudah tua. Mungkin usianya lebih tua dari papaku. Jangan mengarang indah kamu!” Aku menaikkan volume suaraku.

“Kalau begitu, kamu salah gedung. Pemilik perusahaan dan gedung ini adalah aku. Jika bukan Mario, aku, yang kamu cari, kamu bisa segera keluar dari sini.” Sial, tatapan pria itu seperti mengusirku.

Aku mengernyit. Aku masih tak percaya pria yang berdiri di hadapanku adalah Mario Grissham. Jauh sekali dari perkiraanku. Seketika, aku merasa menjadi penjahat yang menyusup ke gedung ini. Tatapan pria yang mengaku bernama Mario ini membuat jantungku berdetak cepat dengan tiba-tiba. 

“Kamu salah gedung, Nona. Pintu keluarnya ada di sebelah sana.” Pria itu menunjuk ke arah pintu. 

Sialan! dia benar-benar mengusirku. Namun, aku masih tetap meragukan pengakuannya tadi.

“Apa aku harus memanggil satpam agar mereka bisa mengantarmu keluar?” tanya pria yang mengaku sebagai Mario itu dengan nada sinis.

“Apa? Oh, tidak. Tidak perlu! Aku bisa keluar sendiri, Mr. Mario. Tapi, tunggu dulu! Kalau kamu memang Mario Grissham berarti kamu bekerja sama dengan papaku, Tjandra Pratama?”

“Kamu anaknya si Tjandra?” Mario tersenyum mencemooh. Pria itu menggeleng-gelengkan kepala sambil mencebik. Ih, menyebalkan juga sikapnya.

 “Iya. Kenapa memangnya kalau aku anaknya Tjandra Pratama? Ada yang salah?”

“Hmm, Tjandra… Tjandra. Aku baru mengambil alih 45 persen sahammu saja, kamu sudah mengutus bocah ingusan untuk menerorku?”

“Hei! Dengar, ya, Tuan, Mister, atau apalah sebutanmu. Aku ke sini bukan untuk menerormu. Aku ingin bernegosiasi denganmu.”

“Negosiasi? Negosiasi macam apa yang bisa kamu tawarkan padaku, anak kecil?”

Everything! Aku mau kamu mengembalikan 20 persen saham perusahaan Papa.” Aku berusaha tegas di hadapan Mario. Dia sudah menyebutku anak ingusan dan anak kecil. Aku akan membuktikan bahwa aku bukan anak ingusan biasa. Kamu akan melihat bagaimana bocah ingusan ini meruntuhkan kesombonganmu.

“Jadi, Tjandra sengaja mengutusmu agar aku mau mengembalikan saham yang diberikannya sebagai pembayaran utangnya?” Mario tersenyum masam.

“Tidak! Bukan begitu. Jangan sangkut pautkan dengan Papa. Aku yang mau bernegosiasi denganmu.”

“Memang kamu pikir bisa semudah itu mengembalikan semuanya? Bukan harga yang murah, Nona. Even for 20 percent. Apa yang akan kamu tawarkan padaku untuk 20 persen saham itu?” 

Mario berjalan mendekatiku. Kini jarak kami hanya beberapa sentimeter saja. Aku gugup sekali saat dia memandangku dari atas sampai ke bawah. Tatapannya bagai singa lapar yang ingin menerkamku.  

“Apa saja," tegasku secara spontan. "Apa saja asal kamu mengembalikan 20 persen saham Papa. Hanya 20 persen saja, tidak lebih,” lanjutku.

Mario mengernyitkan dahinya. Dia sepertinya tidak percaya aku berkata sungguh-sungguh. Aku melakukan ini untuk Papa. Aku yakin semua yang kulakukan untuknya tidak akan pernah kusesali.

Really?

I’m serious, Sir.”

Okay. Tunggu di sini.”

Mario berjalan ke mejanya, lalu duduk dan menuliskan sesuatu di atas selembar kertas. 

Aku bertanya-tanya, apa isi tulisannya itu? Aku masih berdiri menunggunya karena Mario tidak mempersilakanku duduk. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa selembar kertas yang sudah dilengkapi dengan materai di bagian bawah kertas itu.

“Ini.” 

Dia menyerahkan kertas itu padaku. Aku membacanya. Tulisan di atas kertas itu langsung menghantam dadaku. Goresan pena yang ditulis Mario seketika menutup aliran oksigen dari hidung ke paru-paruku. Napasku sesak dan lututku langsung lemas.

“A-apa ini?” tanyaku terbata-bata.

“Kamu ingin 20 persen saham papamu, ‘kan?”

“Tapi, aku rasa tidak harus seperti ini juga kali.”

“Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Kamu boleh keluar dari ruanganku.”

Uh, pria ini benar-benar membuatku naik darah. “Oke. Baiklah. Kapan aku harus mulai?”

“Sekarang juga boleh.”

Jantungku berdetak makin kencang. Tubuhku gemetar dan keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitku. Bagaimana aku harus mencium Mario? Pacaran saja belum pernah, apalagi berciuman. Mario keterlaluan. Kenapa dia memberikan persyaratan harus menciumnya sebanyak 20 kali? Satu kali ciuman untuk satu persen saham yang akan dikembalikannya. Dasar, bule gila! 

Namun, aku sudah berjanji pada diriku sendiri akan membantu Papa. Aku tidak akan mundur hanya karena pria sinting itu menawariku penawaran gila. Aku mendekat padanya. Dengan berjinjit, aku mendekatkan bibirku ke pipinya yang ditumbuhi bulu-bulu halus, membuatku merasakan sensasi horor saat bibirku menyentuhnya. Merinding disko!

“Sudah.”

“Apanya?” Mario mengangkat kedua alisnya.

“Menciummu.”

Mario terkekeh. Suara tawanya sukses mengolok-olokku. 

“Hanya itu kemampuanmu? Sepertinya, kamu tidak tahu atau memang never been kissed?” lanjutnya mencemooh.

“Yang tertulis di sini, kan, hanya mencium tidak ada jenis ciumannya.” jawabku dengan gugup.

“Sini, aku ajari kamu cara berciuman yang baik dan benar.” 

Mario menarik pinggangku hingga dadaku merapat dengan dada bidangnya. Mario menempelkan bibirnya di bibirku, lalu dengan lembut memagut dan mengulum, mengisap bibir bawahku dan memainkan lidahnya di mulutku. Pertukaran ludah yang diciptakannya membuat sensasi hororku pergi entah ke mana. Rasanya menjijikan tapi membuatku rileks. Apakah seperti ini rasa ciuman yang sebenarnya?

Mario terus menekan tengkukku dengan sebelah tangannya hingga aku hampir mati sesak napas dalam bungkaman kenikmatan. Menyadari aku hampir tak bisa bernapas, Mario melepaskan bibir seksinya dari bibirku yang mulai membengkak.

“Itu namanya ciuman.” Manik birunya menatapku.

“Berarti sudah satu kali dan kamu harus mengembalikan satu persen saham Papa." Aku menegaskan dengan setegas-tegasnya hakku.

“Masih nol. Tadi itu hanya contoh.” Mario berbalik dan berjalan ke mejanya. 

“Apa?!” Seenak jidatnya dia bilang ciuman tadi hanya contoh.

“Sekarang pulanglah. Besok kamu mulai dengan yang pertama. Jangan lupa pelajari Philematology. Kalau tidak tahu tanya saja ke Google.” Mario berbicara tanpa menatap wajahku.

“Menyebalkan!”

Aku bergegas keluar dari ruangan Mario dan pulang dengan taksi. Rasanya cukup melelahkan hari ini. Namun, aku sedikit senang bisa bertemu dengan Mario dan membuat kesepakatan dengannya walaupun aku merasa sedikit mual saat dia memainkan lidahnya di dalam mulutku tadi. 

Beruntung, saat aku pulang, Papa sudah berada di rumah sehingga tidak banyak pertanyaan dari Oma. Setelah membersihkan diri, aku teringat ucapan si bule gila itu bahwa aku harus mempelajari Philematology. Aku membuka laptopku dan mulai mengetikkan Philematology di pencarian Google. Aku menemukan artikel tentang philematology dan membacanya. 

Damn! Si bule gila itu sudah sangat merendahkanku. Masa aku disuruhnya mempelajari cara berciuman? Ya, philematology itu ilmu yang mempelajari tentang ciuman. Awas kamu, Mario Grissham!

Aku melempar tubuhku ke kasur. Berguling mengahadap dinding sambil memeluk guling. Aku kesal sekali pada si gila itu, tapi sentuhan bibirnya membuat dadaku berdentam hebat sampai menulikan telinga. Ciumannya masih terbayang dan terasa nyata di bibirku. Caranya membungkam mulutku hingga tak sekali pun aku melancarkan protes membuatku penasaran bagaimana rasa ciuman kami berikutnya. Huft! Aku mengembus napas perlahan. Lintasan peristiwa yang memicu desir aneh dalam diriku tadi terus membayangi. Ya Tuhan, bagaimana agar hatiku kembali tenang?

Tidak terasa mataku mulai lelah. Aku melihat jam di layar ponselku sudah lewat tengah malam. Suara berisik terdengar dari luar kamarku beberapa saat kemudian. Jantungku mulai berdetak kencang dan tenggorokanku seperti tercekik. Aku merubah posisiku menjadi duduk bersandar ke punggung ranjang.  Tidak lama, aku mendengar suara benda yang berat jatuh ke lantai. 

Aku takut, tapi aku penasaran. Akhirnya, aku memberanikan diri membuka pintu kamar. Aku mengintip sedikit dari daun pintu yang hanya sedikit kubuka. Aku melihat seseorang tertelungkup di lantai. Dengan tubuh gemetaran, aku memperhatikannya sekali lagi. Memastikan apa yang kulihat adalah manusia biasa dan bukan hantu. Oh God, ternyata dia Abs. Aku segera mendekat pada Abs.

“Kak? Kakak.” Aku mengguncang pundak Abs. Sepertinya, Abs mabuk berat. Sengatan aroma alkohol tercium dari mulutnya.

“Kakak, bangun.” Aku mengguncang pundak Abs sekali lagi. Aku tak mau Oma sampai tahu cucu tersayangnya pulang dalam keadaan mabuk berat seperti ini. Abs tetap tak beraksi. Ia membuatku hampir panik.

“Mmm,” gumam Abs.

“Kakak.”

“Mmm.”

Kelegaan mengaliri jiwaku saat Abs merespons panggilanku. Syukurlah, dia tak akan jadi bahan kemurkaan Oma. Semoga saja aku bisa menyelamatkannya dari semua itu sebelum ada yang melihat kakakku yang jahat ini benar-benar tak sadarkan diri. Aku membantu Abs berdiri, lalu meletakkan tangan Abs di pundakku dan memapahnya ke kamarnya. 

Selama tinggal di sini, aku tak pernah masuk ke kamar Abs. Suatu hal yang sangat dilarang. Aku membukakan pintu. Aku meneliti isi kamarnya yang luas. Ukurannya hampir dua kali dari luas kamarku. Kamar bernuansa hitam putih dengan kesan maskulin tampak sangat mencerminkan seorang Abraham Aleysio Pratama, hot and cool

Aku ragu saat akan melangkah masuk, tapi Abs tidak bisa berjalan sendiri. Berjalan dengan bersandar padaku saja masih sempoyongan, apalagi berjalan sendiri. Aku putuskan memapahnya sampai ke ranjang. Abs duduk di tepi ranjangnya sambil menangkup wajah dengan kedua tangan. Sementara, aku membantunya membuka sepatu. Meski selalu jahat padaku, Abs tetap saudaraku. Aku hanya mencoba peduli padanya.

Aku kembali berdiri setelah melepas sepatu Abs dan berbalik hendak keluar dari kamarnya, tapi Abs menarik tanganku hingga aku terduduk di sebelahnya. “Auw!”

Abs menatapku. Aku tak pernah berhadapan sedekat ini dengan Abs. Kali ini, aku bisa melihat dengan jelas manik cokelat yang menatapku tajam. Rahangnya yang tegas mengeras seakan menahan sesuatu untuk dikatakan. Semua itu membuatku merinding.

“Kak, aku mau kembali ke kamarku. Kakak sebaiknya tidur biar nggak pusing.” Aku mencoba melepaskan pegangan erat Abs di pergelangan tanganku.

“Brengsek kamu! Kamu pikir bisa seenaknya mempermainkanku?” Abs lalu mencengkeram kedua lenganku dengan erat hinga aku merasa kesakitan.

“Kakak, aku Rissa. Kakak, lepaskan aku!” Sepertinya, Abs baru saja dikecewakan seorang gadis atau mungkin kekasihnya hingga dia menganggapku gadis itu.

“Aku tahu kamu Rissa. Kamu pikir karena aku minum beberapa botol bir saja aku bisa mabuk parah? Aku tahu kamu anak si pelacur itu!” 

Aku terperangah. Kenyataannya, Abs sadar betul dengan semua tingkahnya. Aku meronta dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Abs, lalu aku melayangkan tamparan ke wajahnya. Aku tak peduli dia kakakku. Yang jelas, dia sudah menghina Mama. 

“Dengar ya, Abraham! Mama bukan pelacur. Mama istri sah papamu dan Mama bukan perebut suami orang! Kalau mamamu, mungkin iya! Semua orang tahu bagaimana kisah mamamu ketika ingin dinikahi Papa. Dia yang pantas disebut pelacur!”

Abs balas menamparku dengan sangat kuat. Rasanya aku mau pingsan. Kepalaku terasa sangat pusing dan pipiku terasa panas. Aku terhuyung dan hampir terjatuh saat Abs menarik tubuhku mendekat padanya, lalu melempar tubuhku ke ranjang. Abs menindih tubuhku dan mengunci gerakku dengan tangan dan kakinya. Abs menciumku dengan kasar. Aku meronta dan terus meronta, tapi Abs seperti ditulikan, dia terus mencecap dan menghisap bibirku. Sebelah tangan Abs berusaha menurunkan pakaian dalamku. Aku tak bisa membendung air mataku lagi. Aku diperlakukan seperti gadis murahan oleh kakakku sendiri. KAKAKKU! 

“Kakak, sudah! Aku mohon, Kak. Jangan lakukan ini padaku! Aku adikmu!”

Abs sepertinya tersadar dengan seruanku. Dia merangkak turun dari tubuhku dan kembali duduk di tepi ranjang. Sementara, aku segera turun dari ranjang dan berlari keluar dari kamarnya.

5. Bayanganmu

Tanpa pikir panjang aku segera mengunci kamarku. Kekhawatiran Abs akan mengikuti membuat seluruh tubuhku gemetaran. Aku tak pernah menduga akan dilecehkan Abs. Kali ini, Abs sangat keterlaluan padaku. Tidak masalah selama ini dia memendam kebencian, tapi mencoba melecehkanku adalah perbuatan yang tak akan kumaafkan seumur hidup. 

Aku bersandar  ke kepala ranjang sambil memeluk lututku erat. Aku menahan tangisku dengan menggigit ujung selimut yang menutup sampai ke pundakku. Derai air mata tak bisa membohongi rasa sakit hati yang mendera lantaran perlakuan Abs tadi. Ya Tuhan, sampai kapan aku akan diperlakukan seenaknya oleh Abs? 

Usahaku untuk menghentikan air mata yang terlanjur membasahi pipi tidak berhasil. Semakin kuat keinginanku untuk berhenti menangis, semakin deras kurasakan aliran air bening itu menerobos keluar dari mataku. Semalaman aku hanya meratapi nasib malangku. 

Dengan mata sembap, aku melangkah keluar dari kamarku pagi ini. Aku berharap tidak bertemu dengan Abs. Aku pernah sangat mengagumi Abs walaupun selama aku mengaguminya, dia tak pernah sekali pun menyukaiku sebagai saudaranya. Namun, sekarang kekaguman itu sirna begitu saja setelah kejadian semalam. Rasa kagum dan bangga mempunyai kakak seorang Abraham tak lagi membuatku membusungkan dada. Perbuatan Abs semalam sungguh menjijikkan dan hina. Aku benci Abs.

“Rissa, sini, Sayang. Ayo, sarapan dulu.”

Suara Papa menghentikan langkahku. Aku tidak punya kekuatan menatap orang-orang di ruang makan ini karena aku tahu Abs berada di sini. Aku memikirkan alasan yang akhirnya kulontarkan untuk mencegah diriku duduk di ruangan ini.

“Rissa sudah telat, Pa. Rissa minta diantar Pak Asan duluan boleh kan, Pa?” 

“Abs, kamu antar adikmu dulu. Kamu, kan, hari ini kuliah siang.” 

Perintah Papa sontak mengejutkanku. Aku bahkan tidak mau melihat wajah Abs lagi.

“Apa? Pa, Rissa sama Pak Asan saja.” Aku memaksa.

“Kamu sama kakakmu saja,” tegas Papa sebelum ia mengalihkan pandangannya pada Abs.  “Abs, kamu mau kan mengantar Rissa?” 

Aku melirik ke arah Abs. Dari raut wajahnya yang seperti biasa, datar tanpa senyuman, Abs sepertinya tidak mau mengantarkanku, tapi perintah Papa tidak bisa dibantah. 

Abs mengambil kunci mobilnya, lalu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari ruang makan tanpa sepatah kata pun. Setelah berpamitan pada semua orang yang ada di ruang makan, aku pun keluar mengikuti langkah Abs.

Bagai dua orang asing, seperti biasanya, aku dan Abs hanya saling membisu selama berada dalam perjalanan ke kampus. Bedanya kali ini, aku membisu karena menekan rasa marahku pada Abs, bukan lagi takut dibentak Abs sebagai adik kecilnya. Perjalanan beberapa belas menit ini sangat menyiksaku. Bersyukur, saat kurasa aku tidak sanggup lagi menahan amarah yang berdentam di dalam dada dan kepalaku, mobil yang membawa kami berbelok ke arah area parkir kampus.

“Maaf untuk semalam.” Ucapan Abs memecah kesunyian di antara kami ketika mobil berhenti berjalan.

Aku tak ingin menanggapi atau melihat wajah Abs. Aku langsung keluar dari mobil dan membanting pintunya sekuat tenaga. Masa bodoh jika yang kulakukan akan merusak pintu mobil mahal Abs. Aku tidak peduli.

*** 

Aku sengaja mencari alasan lagi agar Papa tidak menjemput dan aku bisa pulang terlambat setelah jam kuliahku selesai. Aku ada janji ketemuan dengan Mario, si bule gila itu. Meskipun pikiranku sedang tidak fokus dan sedikit lelah karena kurang tidur, tetapi aku tetap harus bertemu dengannya. Aku tidak bisa membiarkan Papa menderita lebih lama lagi. Oma akan terus menekannya. Aku tidak tega melihat Papa diperlakukan seperti itu.

Dengan menumpang taksi akhirnya aku tiba di gedung perusahaan si bule gila itu. Awalnya, aku ketakutan untuk masuk. Mengingat kejadian kemarin malam, aku sedikit gugup saat melewati satpam yang berjaga di pintu. 

“Mbak! Mbak!” 

Salah satu satpam memanggilku setelah aku melewatinya. Kenapa bukan dari tadi sih memanggilku? Kenapa harus di tengah-tengah lobi seperti ini? Sial banget sih aku. Pasti Pak Satpam itu mau mengusirku dari sini.

Aku menunduk dan berusaha mengabaikan beberapa pasang mata yang menatapku. Aku memutar tubuhku menghadap Pak Satpam yang berjalan ke arahku. Segenap kekuatan sudah kukumpulkan untuk menghadapi pengusiranku nanti.

“Mbak, maaf. Nama Mbak siapa?” tanya Pak Satpam.

Ya ampun, ngapain nanya-nanya nama? Kujawab atau nggak, ya? Huft, ribet amat sih cuma mau ciuman sama bos di sini. Ups, hanya karena syarat saja. 

“Sa-saya Carissa. Carissa Pratama.” Akhirnya aku menyebutkan namaku.

“Oh, kalau begitu ikut saya, Mbak.” 

Ikut? Ikut ke mana? Keluar? Ah, tidak mungkin Pak Satpam mengusirku. Nada bicaranya saja lembut, tidak seperti kemarin. Baiklah, aku menuruti ucapan Pak Satpam dan mengikuti langkahnya. Yes!!! Pak Satpam ini tidak mengusirku. Ia membawaku ke lantai di mana ruangan sang CEO berada. Ruangan si bule gila.

Eits, tunggu dulu! Kenapa yang keluar dari ruangannya bukan Mario? Di mana si bule gila itu?

 “Mbak Carissa?” tanya wanita yang baru saja muncul dari ruangan Mario itu.

Aku mengangguk.

Wanita bersetelan blazer ungu itu tersenyum manis padaku. “Pak Mario sudah menunggu, Mbak. Saya Icha, asisten Pak Mario. Kalau Mbak Carissa butuh apa-apa, hubungi saya saja. Tinggal tekan angka tiga dari telepon di ruangan Pak Mario.” 

Aku heran. Kenapa tingkah orang-orang yang kemarin bersikap kasar padaku mendadak bersikap manis hari ini? Pasti ada yang salah dengan otak mereka.

Aku masuk ke ruangan Mario. Aku melihatnya duduk di balik meja kerja. Sadar aku tidak seseksi dan secantik wanita tadi, aku hanya bisa diam saat pandangan Mario menelanjangiku dari atas ke bawah.

“Kamu sudah datang? Aku pikir kamu menyerah?”.

Aku mengerucutkan bibirku lalu melontarkan jawaban sinis. “Tidak akan.”

“Ya, lagi pula gadis mana yang tidak mau berciuman denganku?” 

Aku menarik sebelah ujung bibirku. Mario mulai menyombongkan diri. Percaya diri sekali pria ini. 

“Aku! Aku tidak mau beciuman denganmu kalau saja kamu tidak memaksaku dengan kesepakatan bodohmu itu!” Emosiku mulai terpancing.

“Benarkah?” Mario bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiriku. Mario menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Jantungku kembali berdetak cepat dan suaranya mulai memenuhi telingaku. Semoga saja pria di hadapanku ini tidak mendengar dentaman di dadaku yang menggebu. 

“Tapi, kamu menikmatinya, ‘kan?” lanjut Mario.

Pertanyaan Mario membuatku seperti gadis-gadis yang ada di pikirannya. Terus terang aku menikmati sentuhan bibir lembut Mario di bibirku, tapi aku tidak mau terlihat se-bitchy itu. Aku berusaha mengelak dengan memalingkan pandangan ke arah lain.

“Apa kamu sudah mempelajari Philematology?”

“Apaan sih yang begituan harus dipelajari? Mending langsung praktik.” Ups! Aku keceplosan bicara. “Maksudku—“

“Jadi, kamu mau langsung praktik?” potong Mario. “Sini.” Mario mendekatkan wajahnya padaku. Iris birunya berhasil mengunci dan menghipnotis pandanganku untuk beberapa saat sebelum aku sadar bahwa ia pria mesum. Yang ada di pikirannya hanya tentang ciuman. 

Otomatis aku menarik wajahku menjauh. “Ih, dasar bapak-bapak otak mesum!” 

“Apa? Bapak?” Mario semakin mendekatkan wajahnya padaku.

“Kamu kan sudah tua. Masa mau aku panggil kakak? Huh, nggak banget.” 

Deg! Mendadak, aku teringat Abs. Aku memejamkan mataku beberapa detik. Bayangan Abs melintas begitu saja. Tubuhku gemetaran mengingat kejadian semalam, lalu perlahan-lahan ingatanku mulai menghilang tergantikan warna hitam pekat. Gelap.

“Hei. Kamu kenapa?” Suara Mario terdengar samar di telingaku. 

Aku berusaha semampuku untuk tetap sadar. Harus sadar sebelum si mesum ini bertindak macam-macam padaku. Kupaksakan mataku terbuka meskipun terasa berat.

“Aku haus,” tuturku asal.

“Oh, aku kira kamu mau pingsan tadi. Cuma haus saja drama banget.” Kudengar nada ledekan terlontar dari ucapan Mario. 

Ia melepaskan tangannya dari wajahku, lalu berbalik dan berjalan menuju mejanya. Aku berusaha tetap berdiri tegak dan tidak terjatuh sambil mengamati gerak-geriknya. Mario menelepon dan mengatakan sesuatu pada seseorang. Aku tak begitu memperhatikan apa yang dibicarakannya. Jantungku masih berdetak kencang dan kepalaku rasanya seperti habis dihantam palu si Thor. Masih ada bayangan Abs berlalu-lalang di benakku dan sumpah, itu sangat menggangguku.

“Kamu duduk dulu saja. Sebentar lagi minumanmu datang.” Mario kembali bercengkerama dengan laptopnya.

Aku duduk dan bersandar ke punggung kursi yang sangat nyaman. Sejuknya udara yang diembuskan AC di ruang ini membuat mataku yang sangat lelah perlahan memejam.

6. Aku Sungguh Benci Kamu

“Abs, jangan!” Aku membuka mataku lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Syukurlah hanya mimpi.

“Akhirnya, kamu bangun juga. Aku pikir kamu mau tidur di sini sampai pagi.” Mario mendekat dan duduk di sampingku.

Aku menangkup wajahku dan menunduk cukup lama. Sial! Kenapa bayangan Abs selalu muncul? Bahkan, dalam mimpiku pun dia selalu hadir. Pria brengsek itu mulai mengacaukan hidupku.

“Siapa Abs?” Mario berpindah duduk ke meja jati dan posisinya sekarang berhadapan denganku. Aku merasakan lututnya yang menyentuh lututku. Kenapa sih harus dekat-dekat begini? Sebal. 

“Apa?” Aku mendongak kemudian.

“Abs. Siapa dia?” tanyanya menyelidik.

“Abs … Abs kakakku.”

“Kamu sepertinya ketakutan sekali saat menyebut namanya dalam tidurmu tadi.”

Aku memutar otak mencari alasan yang masuk akal. “Dia galak. Aku kemarin merusak tugas kuliahnya dan dia marah besar."

“Aku pikir dia pacarmu.”

“Ngarang! Mana minumanku? Aku haus.” Aku berusaha keras mengalihkan arah pembicaraan kami.

 Mario tersenyum sok manis sambil menyodorkan segelas minuman. “Ini, Cantik.”

“Dingin. Aku mau yang hangat,” kataku setelah meneguk minuman dari gelas kristal itu.

“Kamu mau yang hangat? Sini, peluk.” Mario merentangkan kedua tangannya.

“Ih, dasar bocah tua nakal!” Aku menekan telapak tanganku ke dadanya agar menjauh.

“Kamu bilang minta yang hangat.”

“Sana, ah! Jangan dekat-dekat.” Aku kembali mendorong menjauh dada bidang pria itu.

“Tidak mau. Aku mau di sini melihatmu. Melihat wajah bangun tidurmu.” Mario bergeming.

“Jam berapa ini?” Aku melirik arlojiku. “Apa? Jam 11? Ya Tuhan. Aku harus cepat pulang.” 

Aku mulai panik. Oma pasti murka melihatku baru pulang hampir tengah malam. Nasib! Kenapa harus selalu sial seperti ini, sih? Pakai acara ketiduran pula di sini.

“Aku harus pulang.” 

Aku berdiri dengan cepat, tapi Mario menarik tanganku hingga keseimbangan tubuhku goyah. Aku terjatuh dengan kedua tangan bertumpu pada pundak Mario. 

“Auw!” pekikku tertahan.

Kening dan hidung kami beradu cukup kuat. Sakit sekali. Air mataku mulai menuruni pipiku. Aku mencoba mengatur napas sambil menahan rasa sakit. Kami berdua sama-sama memegang hidung kami. Aku yakin Mario pun pasti merasakan hal yang sama denganku.

“Sakit.” Aku terisak.

“Aku juga.”

“Makanya, jangan kasar. Sakit tahu!” Aku sedikit membentak Mario.

“Maaf. Tidak akan terulang lagi. Promise!” Mario mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf "V". “Sudah, jangan nangis lagi. Cantik kamu hilang kalau nangis.” Mario menyeka air mataku dengan jemarinya.

“Ayo, aku antar pulang!”

“Bagaimana dengan yang pertama? Mmm, maksudku ….” 

Belum sempat aku merampungkan ucapanku, Mario melumat bibirku. Mario terus menekan tengkukku sampai aku tak bisa bergerak sama sekali. Aku berusaha menikmati sentuhan Mario, tapi hatiku tidak tenang. Ini sudah jam 11 lebih dan aku masih di sini. Bagaimana reaksi orang-orang di rumah nanti ketika aku pulang?

“Yang pertama sudah selesai. Ayo, aku akan mengantarmu pulang!” Mario meraih tanganku dan menarikku pelan, membantuku berdiri.

Aku melihat beberapa orang security berbisik-bisik saat aku keluar gedung bersama Mario. Kurasa, aku tak perlu peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Saat ini, aku ingin pulang dan tidur di ranjang empukku.

Pagi harinya ketika semua berkumpul di ruang makan untuk sarapan. 

 “Jam berapa kamu pulang semalam, Rissa?” Oma mulai menginterogasiku saat kami sarapan pagi ini. Raut wajahnya yang mirip Cruella de Vil dari film Dalmatian versi pertama membuatku sedikit merinding.

“Jam … mmm … jam 12, Oma.” Aku menunduk menghindari tatapan galaknya.

Hampir tak berjeda, Oma meracau seperti biasa. Omelannya terhadap Mama menusuk gendang telingaku.  “Ranti, kamu didik anakmu ini dengan benar. Baru masuk kuliah saja pulangnya tengah malam terus. Tidak pantas anak perempuan pulang tengah malam terus-terusan.”

Aku mengangkat wajah dan pandangku bertemu dengan pandangan Mama yang mungkin sedari tadi  menatapku. “Iya, Bu. Saya akan beri tahu Rissa.”

“Hei, Rissa, inget kamu itu anak Tjandra Pratama. Jangan sampai gara-gara kamu, nama keluarga ini jadi tercoreng,” kata Mama Lastri dengan intonasi sinis.

“Sudahlah, Lastri. Rissa, kan, pulang larut karena mengerjakan tugas bersama teman-temannya, bukan ke kelab malam atau nongkrong di kafe dan mabuk-mabukan,” sela Papa membelaku.

Ucapan Papa menampar langsung Mama Lastri. Abs memang sudah beberapa kali ketahuan pulang dalam keadaan mabuk berat, tapi karena dia cucu kesayangan Oma, tak ada yang berani berkomentar jelek pada putra mahkota penerus kerajaan bisnis keluarga Pratama itu. 

Aku pun tak ikut berbicara sepatah kata pun. Aku malas membuat keributan. Aku memilih meneruskan makan. Syukurlah, pagi ini aku tak melihat Abs di ruang makan. Lega rasanya tak melihat makhluk itu di hadapanku. Hidupku semakin terasa normal tanpa harus menahan kesal dan marah setiap saat.

***

Hari berganti dengan cepat. Malam ini adalah malam kesebelas sejak pertama kali aku bertemu Mario. Aku sudah melakukan setengah kesepakatan bodohku dengan Mario. Aku sudah berciuman dengannya sebelas kali. Entahlah, berciuman dengan pria berusia sekitar tiga puluhan itu membuatku merasa aneh. Aku merasa sedang diajari dan dibimbing layaknya anak TK yang sedang les calistung. Namun, aku juga tak bisa mengingkari bahwa aku merasa nyaman ketika berada dekat dengannya.

Seperti biasa, Mario mengantarku pulang. Meski usia pria itu sudah matang, Mario selalu menjagaku dalam batasan kesepakatan kami. Kami hanya berciuman dan dia tak pernah menginginkan lebih. 

Aku berjalan berjinjit dengan menenteng sepatuku di tangan kananku. Aku mengendap–endap dalam keremangan cahaya ruang belakang yang biasa disebut para pelayan rumah ini dengan sebutan dapur santai karena tak ada aktivitas memasak di dapur santai ini. Semua aktivitas memasak dilakukan di dapur utama.

“Sudah selesai kencannya?” 

Godamnit! Suara berat Abs membuat jantungku hampir copot. Walau aku tak bisa melihat Abs karena minimnya cahaya di ruangan ini, tapi aku bisa mengenal, bahkan sangat mengenal pemilik suara itu.

Abs menyalakan kembali lampu ruangan hingga aku bisa menatap wajahnya. Dia duduk di sudut ruangan dengan sebotol vodka di tangannya. Sepertinya, Abs mabuk lagi.

“Kakak, sedang apa di situ? Kakak sukses membuatku hampir mati terkejut!” kataku sinis.

“Kenapa tidak mati saja sekalian? Aku rasa itu lebih baik untukmu daripada harus berkencan dengan pria tua dan membuat malu keluarga,” balas Abs sinis sembari menatapku tajam. 

Abs sepertinya kesal sekali melihatku. Jujur, aku sedikit takut melihat tatapan Abs yang seperti itu. 

“Kenapa Kakak bilang begitu? Aku tidak berbuat aneh-aneh yang membuat keluarga kita akan kehilangan nama baik.” 

Aku menggigit bibir bawahku. Aku merasa seperti sedang diadili atas sebuah kejahatan yang tidak kulakukan. Apakah sebuah kesalahan berkompromi dan membuat kesepakatan dengan Mario? Kesalaha apa yang sudah kulakukan yang akan mencemarkan nama keluarga ini?

“Setiap hari pulang malam dan berkencan dengan rival papamu sendiri, kamu bilang nggak aneh?” Abs beranjak dan mendekat padaku.

“Rival Papa?” Aku terkejut. Dari mana dia tahu soal aku dan Mario?

“Mario Grissham. Sungguh memalukan!” Abs melintas di hadapanku.

“Apa bedanya sama Kakak? Apa yang aku perbuat selalu memalukan untuk keluarga ini. Kakak sendiri hampir setiap malam bersenang-senang dengan teman-teman Kakak dan gadis-gadis kelab malam itu, lalu pulang dalam keadaan mabuk seperti ini. Apa ini bukan hal yang memalukan?” Nada bicaraku mulai naik. Aku tak peduli ada asisten rumah tangga yang akan mendengar karena letak ruangan ini dekat dengan kamar-kamar mereka.

Abs menghentikan langkahnya dan berbalik mendekat padaku. “Tentu berbeda. Sangat berbeda.” 

Tubuhku mulai gemetar karena reaksi Abs yang terpindai netraku, ia tampak sangat marah padaku. Aku menelan ludah dengan susah payah.

“Apa pun yang aku lakukan, semua orang masih akan menghormatiku. Aku putra keluarga Pratama yang sah, sedangkan kamu hanya anak seorang simpanan. Atau jangan-jangan kamu bukan anak Papa?” Abs menyunggingkan senyum sinisnya.

Ucapan Abs sungguh membuat hatiku sakit. Dia selalu merendahkanku seperti itu. Aku tak bisa menahan air mata yang mulai menggenangi selaput mataku. Selama ini, aku mencoba bertahan dengan semua siksa verbal yang aku terima darinya. Namun, kali ini, kesabaranku sudah habis. Aku tak ingin membalas semua ucapan Abs. Saat ini, aku bahkan tak mampu berbicara karena air mataku pasti sudah mengalir deras. 

Aku berjalan cepat meninggalkan Abs yang masih berdiri mematung. Sedetik kemudian, Abs menyusulku dan meraih tanganku. Abs mencengkeram lenganku, lalu mendorong tubuhku ke dinding.

“Lepaskan!” Aku meronta. Benar saja, hanya dengan satu kata itu air mataku langsung berderai. 

“Tidak akan!” bisiknya. “Kamu harus dihukum karena sudah melukai hatiku.”

“Kakak, lepas!” Aku memohon padanya.

Aku mulai membenci Abs. Abs memang brengsek. Dia tak peduli padaku bahwa aku adiknya. Mungkin karena memang dia tak pernah menganggapku sebagai adik. Dia dengan sengaja melecehkanku seperti ini.

======

Alice Gio

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Mengejar Cinta Carissa (7,8,9)
6
1
Cuplikan:“Abs kakakku. Kami memang lahir dari mama yang berbeda, tapi papa kami sama, Papa Tjandra.” “Aku tahu itu. Tapi kalau intuisiku benar kamu pacaran dengan kakakmu sendiri, aku akan benar-benar menghabisinya. Tidak ada yang boleh mengambil milikku.” 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan