
Buat teman-teman yang mau baca cerita dengan tokoh utama wanita yang sedikit barbar, jutek, dan tidak menye-menye, kalian bisa membaca cerita ini ya. Sebagai tambahan informasi kalau cerita ini adalah spin-off dari Fantastic Mr. Ex.
Blurb:
Adakah yang percaya jika seorang mantan “ani-ani” masih tersegel alias perawan?
Di masa lalu, Daiva Brata Dhikara, 26 tahun, telah banyak melakukan kesalahan hanya demi mencari perhatian keluarga dan pria yang dicintainya. Seiring berjalannya waktu, Iva, panggilan...
Bab 1
The Wrong Side
Daiva Bratadhikara membuka mata perlahan. Denyut nyeri di kepala dengan cepat mengembalikan pemikiran rasional wanita berusia 25 tahun itu. Beberapa jam pingsan dalam posisi duduk dengan tangan dan tubuh terikat ke punggung kursi membuat otot-otot tubuhnya terasa nyeri dan kaku. Iva, panggilan Daiva, berusaha sekuat tenaga mengangkat wajah. Dia mengerjap beberapa kali sampai iris cokelatnya terbiasa dengan cahaya yang menerangi.
Pandangannya tidak menemukan furnitur lain di sekeliling ruangan serba putih itu selain kursi yang dia duduki. Iva terdiam. Dia mencoba menggali kembali ingatan beberapa jam yang lalu sebelum dia berada di sana.
Seperti biasanya, setelah seluruh karyawan kafenya pulang, Iva baru memutuskan untuk pulang. Butiran-butiran hujan sudah berjatuhan membasahi bumi ketika Iva nekat pulang ke apartemennya menggunakan sepeda motor matic. Hanya satu keinginannya malam itu, berbaring di atas kasur empuk sambil memeluk guling. Sayangnya, Iva justru terperangkap dalam penyekapan di ruangan kosong seluas empat kali empat meter.
Derit pintu yang dibuka membuyarkan lamunan Iva. Mata wanita itu melebar melihat pria berkepala plontos yang berjalan masuk. Iva masih mengenali pria itu. Dia adalah salah satu pria yang menculiknya di halaman parkir kafe yang sudah sepi.
"Bosku akan segera menemuimu. Jadilah anak baik dan jangan banyak tingkah," pesan si botak membuat Iva berang.
"Apa maksudmu? Kamu menculikku untuk dijual? Hei, pelaku trafficking itu ancaman hukumannya berat—"
"Diam kamu!" potong si botak, "si bos datang."
Iva menunduk sambil memejam. Sangatlah manusiawi jika saat ini Iva merasa sangat ketakutan. Dia tidak tahu apa yang sedang direncanakan para penculik. Dia pun tidak tahu orang seperti apa yang akan menemuinya. Tak ayal lagi, derap langkah beberapa pasang sepatu yang terdengar kian mendekat membuat dada Iva semakin terasa sesak. Namun, Iva berusaha keras untuk tetap kuat dan melawan rasa takutnya.
"Pekerjaan kalian lumayan juga." Suara berat seorang pria memacu jantung Iva untuk berdenyut dua kali lebih kencang.
Iva masih belum berani membuka mata. Dari suara yang menyapa telinganya, Iva memprediksikan sendiri seperti apa penampilan si pemilik suara tersebut. Dia yakin bahwa penampilan pria itu tidak jauh dari penampilan gadun-gadun nakal yang sering nongkrong di kafe miliknya.
"Kalian tunggu di luar," perintah pria itu.
"Baik, Pak." Suara si botak yang terdengar sangat patuh kepada pria itu menambah keyakinan Iva bahwa bos si botak bukanlah pria muda bertampang dewa.
Sekali lagi Iva dibuat gentar setelah langkah si botak dan rekannya terdengar semakin menjauh dan akhirnya menghilang. Degup jantungnya berdentam hebat dan nyaris menulikan telinganya sendiri, begitupun dengan tubuhnya yang gemetaran seakan sedang menderita frostbite lantaran atmosfer di ruangan itu tiba-tiba berubah menjadi sedingin Dataran Tinggi Antartika Timur. Perintah bos si botak tadi membuat ketakutan Iva semakin menggunung. Apa yang akan dilakukannya?
Otak Iva berputar mencari solusi. Dia akan menendang pangkal paha pria itu sekuat tenaga jika pria itu mencoba melakukan tindakan tak terpuji kepadanya. Dengan tekad kuat, akhirnya Iva memberanikan diri mengangkat wajah dan membuka mata.
Ke mana dia? Mata Iva membelalak. Dia tidak percaya saat pandangannya tak menemukan seorang pun di hadapannya. Dia menoleh ke sebelah kiri dan hanya mendapati lukisan abstrak dalam bingkai berwarna emas yang melekat di dinding. Namun, Iva menemukan pemandangan lain yang mematri tatapannya ketika ia menoleh ke sebelah kanan.
Tampak seorang pria sedang berdiri menghadap ke jendela besar yang terbuka lebar. Tubuh pria itu tinggi dan atletis dengan bahu lebar di balik jas abu-abu yang dikenakannya. Rambut cokelatnya berkilauan tertimpa sinar matahari. Tunggu. Apa mungkin pria itu .... Iva tidak menyelesaikan hipotesisnya. Iris cokelatnya tiba-tiba saja terperangkap sepasang mata hijau yang menatapnya dengan tajam. Pria itu sudah berbalik tanpa Iva sadari. Meski tanpa senyuman, wajah yang memiliki garis rahang kuat dan tulang pipi yang tinggi itu tampak memesona. Iva belum pernah melihat wajah nyaris sempurna bak gambaran dewa-dewa Olympus sebelumnya.
Saking terpesonanya Iva terdiam cukup lama saat pria itu berjalan mendekat. Perasaan takut yang sempat menyelimuti perlahan-lahan menguap entah ke mana. Iva bahkan melupakan bahwa dirinya sedang berada dalam sebuah drama penyanderaan. Selama sedetik, tepat sebelum pria itu berhenti di hadapannya, napas Iva terhenti dan gambaran singa jantan yang siap menerkam melintas di benaknya.
"S-siapa kamu?" Suara Iva terdengar sedikit bergetar terdorong oleh rasa takut sekaligus penasaran.
Fabian Arsyanendra nyaris tak menyadari tatapan tajamnya pada Iva perlahan-lahan melunak. Mata bulat dan bibir merah muda Iva mampu menghipnotis pria itu dalam hitungan detik. Namun, rasa kecewa dan sakit hati kembali menyeruak dengan cepat dan mengembalikan sisi arogannya. Iris sehijau hutan tropisnya kembali menggelap dan rahangnya mengeras disertai ekspresi jengkel.
"Kamu pura-pura bodoh atau idiot?" Fabian melontarkan sindiran pedas. "Di mana anakku?"
Kedua tangan Fabian yang terkubur di saku celana, raut wajah angkuh, dan cara pria itu bertanya dengan jelas memperlihatkan dominasinya di sana. Saat itulah Iva menyesali kekagumannya pada Fabian. Iva akhirnya menyimpulkan kalau pria itu adalah dalang penculikan terhadap dirinya. Dia yang memerintahkan si botak menculik dan menawannya di sana. Menyebalkan.
Iva menggeleng. Dia kemudian menurunkan pandangannya ke lantai sambil berpikir keras kenapa pria itu mencari anaknya. Siapa anaknya? Oh, tidak! Jerit Iva dalam hati ketika menyadari suatu hal.
"Aku bertanya kepadamu, Daiva Bratadhikara." Nada bicara Fabian terdengar mengintimidasi.
Dari mana dia tahu namaku? Iva tetap menunduk meskipun jantungnya nyaris meledak karena terkejut. Gertakan pria yang tidak dikenalnya itu tidak akan mengubah keputusannya untuk tetap bungkam. Iva kesal karena diperlakukan seperti penjahat yang sedang diinterogasi.
Tidak sabar dan merasa diabaikan, Fabian mencengkeram rahang Iva dan mengangkat wajah wanita itu hingga pandangan mereka sejajar. Mata Fabian memancarkan kilat amarah yang meledak-ledak yang siap menenggelamkan Iva ke dalam kobaran amarah dan rasa takut.
"Aku bertanya padamu, di mana anakku?" tanya Fabian sekali lagi dengan nada geram.
"Bisakah kamu bertanya dengan cara yang lebih sopan?" tantang Iva berlagak berani, padahal rasa takut mulai menyelimuti dirinya lagi dan lagi.
Fabian mengangkat sebelah ujung bibirnya tersenyum sinis. "Apakah orang sepertimu bisa diajak bersopan santun?"
"Orang sepertiku?" Iva menyipitkan mata, lalu menatap Fabian penuh selidik. "Apa maksudmu dengan orang sepertiku? Kamu pikir aku penculik anak-anak? Asal kamu tahu, ya, aku lebih suka menculik bapak-bapak daripada menculik anak-anak."
Fabian melepaskan cengkeramannya dari rahang Iva dengan tekanan penuh, membuat wajah wanita itu terlempar ke samping. "Jangan banyak bicara! Kamu hanya perlu menjawab pertanyaanku."
"Bertanya itu ada etikanya." Iva meradang. "Kamu tidak bertanya tapi mengancam. Apa yang kamu lakukan padaku, jelas tidak mencerminkan kalau kamu dan orang-orangmu adalah orang yang punya sopan satun."
Fabian mendesah kesal. Nyaris tidak pernah ada seorang pun yang menunjukkan reaksi menantang seperti Iva kepada dirinya, terutama seorang wanita. Iva begitu berani meskipun dia sedang berada dalam posisi tertekan.
"Kamu cukup berani berbicara seperti itu padaku." Fabian tersenyum mencemooh.
Iva membalas dengan respons yang sama. Dia tersenyum sinis dan berpura-pura tidak terpengaruh oleh intimidasi yang dilayangkan Fabian. "Aku tidak punya alasan untuk tidak berani. Semua ancaman dan perlakuan gilamu padaku sama sekali tidak membuatku takut. Kamu tahu siapa aku?"
Fabian mengangkat sebelah alis tebalnya. Tatapan merendahkan pria berusia 33 tahun itu mengunci tatapan Iva yang mulai meredup karena takut. "Tentu saja aku tahu siapa kamu, Daiva Bratadhikara. Kamu anak ke-2 pemilik Gracious Grow. Adik satu-satunya dari Raymond Bratadhikara. Kamu seorang model yang banting stir jadi pengelola kafe setelah bermasalah dengan kakak dan kakak iparmu."
"Bagus kalau kamu tahu. Aku percaya kalau sampai pagi aku tidak kembali ke apartemen, kakakku akan menggelar pasukan untuk mencariku. Dan kamu tahu apa yang akan terjadi kalau sudah begitu? Dia tidak akan membiarkan siapa pun lolos, termasuk kamu." Iva masih berpura-pura tidak terprovokasi ancaman Fabian, padahal dia ketakutan setengah mati.
"Aku takut sekali mendengar ancamanmu," sindir Fabian. Pria itu kemudian menyuarakan tawa mengejek. Dan sedetik kemudian, wajah Fabian kembali bertransformasi seperti semula. Dingin dan tanpa ekspresi. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan mendekatkan wajahnya ke wajah Iva. Ujung hidungnya hampir beradu dengan ujung hidung Iva. "Katakan di mana anakku?"
Iva mengernyit. Alih-alih bisa menendang Fabian seperti rencananya, kedua kaki Iva justru mendadak terasa lemas dan tidak mau diajak bekerja sama. Tubuh Iva membeku. Dia menyumpahi dirinya sendiri dalam hati karena tidak bisa mengendalikan reaksi ekstrem fisik dan psikologisnya.
"Aku tidak tahu di mana anakmu. Lagi pula, kenapa kamu bertanya soal anakmu kepadaku? Kenapa kamu tidak menanyakan anakmu ke ibunya?" Iva memberanikan diri menjawab.
Fabian menarik wajahnya menjauh dari Iva. Pria itu kemudian berdiri, lalu berbalik memunggungi Iva dan berkacak pinggang. Selama beberapa saat keheningan memenuhi ruangan tersebut.
"Anakmu punya ibu, 'kan?" Iva menguji reaksi Fabian karena dinilai terlalu lambat. Dia tidak ingin menyaksikan diamnya Fabian lebih lama lagi. Iva ingin masalahnya dengan pria asing itu lekas kelar. "Anakmu tidak lahir sendiri ke dunia ini, 'kan?" lanjut Iva sambil mengamati gerak-gerik Fabian.
"Aku akan menghabisi si pelacur itu kalau aku menemukannya," desis Fabian.
Ooops! Mata Iva melebar dan tubuhnya menengang seketika seperti baru saja tersengat aliran listrik. Kebencian yang didesiskan Fabian membuat Iva kembali diselimuti ketakutan luar biasa. Dan ketika Fabian berbalik kembali lalu menatapnya, saat itu juga jantung Iva seakan berhenti berdetak.
"Katakan di mana anakku dan kamu akan kulepaskan," tutur Fabian.
Iva menelan ludah. Di bawah tekanan dan rasa lelah yang berlebihan, Iva berada dalam dilema. Jika dia masih menjadi Iva yang dulu, dia mungkin akan dengan mudah mengatakan di mana anak Fabian berada, tetapi Iva yang sekarang berbeda. Iva tahu untuk menjadi orang baik itu tidak mudah dan dia berusaha keras untuk menjadi seperti itu.
"Kamu bisa melakukan apa saja kepadaku, tapi jawabanku akan tetap sama. Aku tidak tahu," jawab Iva tegas.
Fabian memperlihatkan seringai iblisnya sambil menatap geram kepada Iva. "Kalau begitu, kamu tidak akan pulang sampai anakku ditemukan."
"Kamu mencari mati dengan menahanku di sini," sambar Iva ketus.
"Siapa yang bilang aku akan menahanmu di sini? Kamu akan berada di rumahku menggantikan posisi si pelacur itu sampai anakku ditemukan."
Apa?!!! Mata Iva melebar secara otomatis, begitupun dengan detak jantungnya yang mulai mengentak-entak hingga Iva nekat memberontak.
Bab 2
The Past
Empat bulan yang lalu
"Mbak Iva!" Rieke, salah satu karyawan kafe, memasuki ruangan kerja Iva tanpa permisi. Wajah gadis berusia dua puluhan itu tampak menegang. Nada bicara serta reaksi tubuhnya pun memperlihatkan kepanikan. Sambil terengah-engah dan meremas-remas tangannya sendiri, Rieke berusaha mengatakan sesuatu kepada Iva. "Mbak, itu ... itu, Mbak."
"Ada apa, Ke? Ngomong yang bener dong, ah." Iva menutup layar laptopnya. Wanita itu bangkit dari duduknya, lalu berjalan mengitari meja, dan berhenti di samping Rieke. "Coba kamu tarik napas dan keluarin pelan-pelan."
Ragu-ragu, Rieke mengikuti saran Iva. Gadis itu benapas pelan-pelan dan dengan teratur selama beberapa detik.
"Oke. Inhale ... exhale ... good job, Ke." Iva menepuk-nepuk pundak Rieke. "Sekarang ceritakan ada apa sampai kamu lari-larian dan megap-megap kayak orang sesak napas gitu?"
"Itu, Mbak. Ada mayat—"
"Apa?!" Jerit terkejut Iva yang tiba-tiba membuat Rieke hampir melompat. Iva kemudian meletakkan kedua tangannya di pinggul sambil celingukan tidak jelas. "Di mana mayatnya? Di mana?!"
Rieke mengembus napas. Dia pikir tadi Iva yang memintanya untuk tenang, sekarang justru sebaliknya. Iva tampak begitu panik.
"Tenang, Mbak, tenang." Sekarang gantian, Rieke yang membujuk Iva supaya tenang.
Iva menyandarkan pinggulnya ke tepi meja lalu menekan dada dengan satu tangan. Selama beberapa detik Iva berusaha mengatur napas sampai dia merasa sedikit tenang.
"Di mana mayatnya, Ke?"
"Di bangku luar, Mbak. Tadi sih lagi dijagain sama Aldy dan Susan."
"Emang mayatnya mau kabur ya pakai dijagain segala?"
"Ya, enggak sih, Mbak. Takut dilangkahi kucing saja. Mitosnya kan kalau ada mayat dilangkahi kucing, si mayat bakal bangun lagi."
"Zaman udah modern, masih saja percaya takhayul. Ayo, kita ke bawah!"
Iva dan Rieke kemudian keluar dari ruang kerja Iva menuju ke halaman kafe. Kafe yang memiliki konsep modern futuristic di bagian dalam dan rustic di bagian luar itu sudah terlihat sepi. Iva melirik jam tangannya. Sudah lewat tengah malam dan kafe sudah tutup sejak setengah jam yang lalu.
"Mana mayatnya?" tanya Iva lagi.
"Itu, Mbak!" Rieke menunjuk sesuatu di atas sofa bench.
Berdiri di samping sofa, Aldy dan Susan, karyawan Iva yang lain terlihat tengah menunggui sesuatu yang ditunjuk Rieke. Keduanya menyambut kedatangan Iva dengan wajah yang menegang bercampur takut.
"Mbak, ini ...." Irama ketakutan terdengar dari suara Susan yang sedikit gemetar. Wajahnya menghadap ke arah Iva, tetapi telunjuknya dia arahkan ke atas sofa.
Iva yang melihat petunjuk Susan, mengarahkan pandangannya ke atas sofa. Dia terperangah melihat sosok anak kecil, tepatnya balita, meringkuk tak bergerak di sana. Tubuh anak itu dibungkus kain flanel dan hanya bagian wajahnya saja yang terlihat. Di bawah sofa itu terdapat tas kain persegi berwarna cokelat dan bermotif boneka beruang. Dengan berani, Iva mendekat dan kemudian membuka kain yang membungkus tubuh mungil anak itu. Setelah mengamati dengan seksama keadaan anak itu, Iva akhirnya bisa bernapas lega.
"Anak ini masih hidup." Iva lalu meraih tangan dan mendeteksi denyut nadinya. "Beneran masih hidup."
"Tapi kok dari tadi nggak bangun-bangun, Mbak. Kita semua sampai takut kalau dia—"
"Coba deh kamu rasakan embusan napasnya, Dy." Iva memotong ucapan Aldy. Wanita itu lalu menempelkan telunjuknya di atas bibir anak tersebut untuk lebih meyakinkan.
Melihat Iva, Aldy pun melakukan hal yang sama. "Iya, Mbak. Anak ini masih hidup dan ...." Aldy memperhatikan wajah dan rambut anak itu selama beberapa detik. "Cewek, Mbak."
"Iyalah. Mukanya aja cantik begitu." Iva menipiskan bibirnya. Dia tidak percaya ketiga karyawannya ternyata penakut alias cemen. "Makanya kalau mau menyimpulkan sesuatu itu, dicari tahu dulu kebenarannya. Jangan asal telan saja. Nanti ujung-ujungnya jadi hoax. Di-prank kenyataan."
"Mau pegang-pegang, takutnya anak ini emang beneran sudah meninggoy, Mbak. Kita takut," sambar Rieke sambil memperhatikan gerakan si anak yang terlelap. "Mbak, kok anak ini nggak bangun-bangun ya?"
Iva yang penasaran akhirnya mencoba meyakinkan dirinya dengan mengguncang pelan tangan gadis kecil itu. "Dek, bangun, Dek."
Namun, usaha Iva tidak berhasil. Anak itu tetap memejam dan tidak terpengaruh usaha Iva. Denyut jantung Iva tiba-tiba terpacu lebih kencang oleh panik. Iva kembali memastikan denyut nadi anak itu. Masih berdenyut dan normal.
"Kita bawa anak ini ke rumah sakit." Iva lalu melihat ke arah Aldy. "Dy, bantu bawa dia ke mobil Mbak, ya." Iva mencoba mengatur napas sebelum melihat ke arah dua karyawannya yang lain. "So, siapa yang mau menemani Mbak ke rumah sakit?"
"Aku, Mbak." Rieke menawarkan diri.
"Aku juga ikut, Mbak," tutur Aldy sambil menggendong anak itu.
"Susan juga ikut. Susan enggak mau ditinggal sendirian di sini." Susan beringsut mendekat ke Rieke.
"Ya, sudah. Kita semua ke rumah sakit, tapi dikunci dulu kafenya. Jangan lupa tas anak itu dibawa!" Iva kemudian bergegas ke mobilnya di halaman parkir.
Bersama ketiga karyawannya, Iva membawa anak yang masih tertidur lelap itu ke rumah sakit terdekat. Tiba di sana mereka disambut seorang petugas rumah sakit di lobi.
"Anaknya kenapa, Pak?" tanya si petugas sambil memandang ke arah Aldy yang menggendong si anak. Sedetik kemudian dia mengalihkan pandangannya kepada Susan dan Rieke. Tatap heran sarat kuriositas pun terpancar dari matanya. Pasalnya, ketiga karyawan Iva masih mengenakan seragam kerja yakni kaus merah bertuliskan “Ayo Rene Cafe”.
"Tidak tahu, Mas. Dia tidur nggak bangun-bangun. Eh, t-tapi anak ini bukan anak saya." Aldy menjelaskan kondisi si anak sekaligus mengklarifikasi dugaan si petugas.
Si petugas kemudian melihat ke arah Iva. Iva satu-satunya orang di antara mereka berempat yang memakai pakaian berbeda. Dia mengenakan blus merah muda tanpa lengan dan celana jeans abu-abu. Asumsi si petugas pun beralih kepada wanita itu.
"Oh, anaknya Ibu?" sangka si perawat dengan gamblang.
"Apa?!" Iva membentak si perawat karena asal bicara.
Namun, Rieke yang berada di samping Iva memegang dan mengguncang pelan tangan Iva berusaha meredam emosi sang bos. Rieke tahu Iva tipikal orang yang ngamukan dan barbar. Dia tidak mau Iva mempermalukan dirinya sendiri. "Mbak, kita di rumah sakit."
Iva hanya menelan ludah. Niatnya menjadi orang baik tidak boleh gagal hanya karena dugaan kecil tak berarti dari si petugas.
"Kalau begitu, kita bawa anak Ibu langsung ke IGD," sambar si petugas kemudian. Ekspresinya tampak sedikit ketakutan setelah kena semburan kemarahan Iva.
Terintimidasi oleh panik, Iva tidak ingin lagi mendebat si petugas. Iva dan yang lainnya mengikuti langkah si petugas dan Aldy. Setelah tiba di IGD, petugas tersebut membaringkan anak itu di atas ranjang kosong yang ada di tengah-tengah deretan ranjang pasien lain. Seorang dokter jaga kemudian datang dan memeriksanya.
"Ibunya mana, ya?" tanya si dokter cantik setelah memeriksa anak tersebut.
Iva celingukan lalu memandangi ketiga karyawannya. Namun, Iva tahu dia tidak akan mendapatkan solusi dari ketiga karyawannya tersebut meskipun matanya sudah memelotot memberi isyarat. Dia lalu memutuskan akan mengatakan hal yang sebenarnya bahwa dia dan ketiga karyawannya bukan keluarga anak itu. Mereka hanya menemukannya di pelataran kafe.
"Ibunya? Saya—"
"Begini, Bu." Si dokter memotong ucapan Iva.
Rencana Iva untuk mengatakan hal yang sebenarnya pun gagal lantaran si dokter keburu beranggapan sama dengan si petugas tadi. Mengira Iva ibunya anak itu. Namun, kali ini Iva tidak protes. Dia memilih untuk diam.
"Anak ini sepertinya hanya tidur pulas. Tidak ada tanda-tanda dia keracunan atau terpapar zat berbahaya. Dia sepertinya hanya kelelahan," lanjut si dokter cantik.
"Oh, syukurlah. Saya khawatir dia kena apa-apa." Iva mengembus napas lega. Ganjalan kecemasan yang cukup menyesakkan beberapa saat yang lalu, kini sedikit menguap.
Di saat yang sama, si anak mulai bereaksi. Bocah itu menggeliat, lalu membuka mata dan bergumam. "Mama ...."
Iva terperangah ketika mendapati mata hijau anak perempuan itu menatapnya. Kenapa sih dia ngeliatin aku?
"Tuh, kan, Bu. Anak Ibu sudah bangun." si dokter melayangkan senyuman manis.
"T-tapi, Dok. Dia ...." Iva kemudian diam menyadari mata bening anak itu semakin dalam menatapnya. Cantiknya.
"Ibu tenang saja. Anak Ibu tidak apa-apa," tutur si dokter.
"Beneran, Bu Dokter?" tanya Susan yang terlihat masih mengkhawatirkan keadaan anak itu.
"Iya, Mbak. Adeknya nggak apa-apa kok. Tapi kalau besok ada keluhan, adeknya langsung saja dibawa ke sini." Dokter itu meyakinkan Susan.
"Tuh, Mbak Iva. Kata Bu Dokter, nggak apa-apa." Pengumuman Susan menghantarkan kesiap untuk Iva.
Iva tersentak kaget, lalu menoleh ke arah Susan. "A-apa, San?"
"Kata Bu Dokter, anaknya enggak apa-apa."
Iva mengerucutkan bibir lalu menggerutu sendiri. "Anaknya, anaknya. Anaknya siapa?"
Setelah mengurus administrasi yang sebenarnya tidak perlu diurus lantaran anak itu tidak apa-apa, Iva memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan diskusi pun berlanjut.
Rieke yang duduk di samping Iva menggeser posisinya menjadi sedikit miring sehingga dia bisa dengan jelas melihat wajah Iva yang berada di balik kemudi. "Mbak, apa kita akan lapor polisi?"
"Pasti, dong. Takutnya, nanti ada yang mencari anak itu. Kalau kita nggak lapor polisi, nanti kita dikira penculik." Iva berusaha berkonsentrasi ke jalanan malam sehingga merespons tanpa menoleh. Sedetik kemudian dia melihat anak yang duduk di bangku penumpang belakang, di antara Susan dan Aldy, dari spion dalam. She's fine.
"Kapan kita laporannya, Mbak?" tanya Rieke lagi.
"Sekaranglah. Masa nunggu besok. Keburu basi nanti." Iva menegaskan.
"T-tapi, Mbak. Saya menemukan ini di tasnya." Aldy menunjukkan secarik kertas kepada Iva. Meskipun cahaya di dalam mobil tersebut minim, tetapi Iva bisa melihat lipatan kertas itu.
Iva hanya melirik sebelum mengembalikan pandangannya ke jalan. "Apa itu, Dy?"
"Kayaknya surat dari orang tua anak ini, Mbak. Saya barusan mencoba memeriksa isi tasnya berusaha menemukan petunjuk. Cuma ada dua potong pakaian anak, botol susu dan kotak susunya, plus surat ini, Mbak."
Iva meminggirkan mobil dan berhenti di bahu jalan. Dia kemudian menyalakan lampu. "Coba Mbak lihat, Dy!"
Aldy memberikan surat itu kepada Iva, lalu Iva membacanya.
"Sinting! Niat banget nih orang ninggalin anak." Suara Iva terdengar meninggi.
"Apaan isinya, Mbak?" Rieke penasaran. Gadis itu menyatukan alis dan menyipitkan matanya yang sudah sipit. Alhasil, mata Rieke tampak seperti dua garis lurus.
"Nih, baca!" Iva memberikan surat itu kepada Rieke.
Bukan hanya Rieke yang dibuat penasaran oleh isi surat itu, Susan juga merasakan hal yang sama. Susan merapatkan dadanya ke punggung jok Rieke dan wajahnya melongok ke depan.
"Kesinian dong, Ke. Aku juga pengen baca," pinta Susan.
Rieke menggeser kertas yang sudah dibentangkan oleh kedua tangannya supaya terbaca juga oleh Susan.
"Astaga! Mbak, ...." Rieke melihat ke arah Iva. Kali ini mata Rieke yang sipit seksi tampak lebih lebar. "Berarti, orang tua anak ini kenal sama Mbak."
"Mbak nggak tahu siapa dia, Ke. Di situ kan cuma ditulis, tolong rawat dan jaga anak saya. Jangan sampai siapa pun tahu keberadaannya. Hidupnya dalam bahaya. Saya akan kembali menjemput anak saya. Terima kasih. Bukan berarti tuh orang kenal sama Mbak, 'kan?"
"Logikanya, kalau dia enggak kenal atau nggak tahu Mbak, dia enggak bakalan ninggalin anaknya di depan kafe Mbak. Secara, hidup anaknya sedang terancam. Dia pasti nyari orang yang bisa dia percaya buat jaga-in anaknya." Rieke melontarkan opininya.
"Betul, Mbak. Atau bisa jadi begini, Mbak ...." Aldy menarik napas dalam-dalam sementara Iva, Rieke, dan Susan dengan serius menunggu kelanjutan ucapannya. Mereka bertiga melongo sambil memandangi Aldy.
"Dy, kita nunggu lho." Iva memperingatkan.
"I-iya, Mbak. Bisa jadi tuh orang tahu Mbak Iva adiknya Pak Raymond. Pak Raymond Bratadhikara kan dikenal punya power untuk perlindungan sekaligus perlawanan. Ya, sebagian besar warganet plus 62 juga tahu rahasia umum itu, Mbak. Makanya tuh orang nitipin anak ini ke Mbak. Karena orang itu percaya anaknya bakalan aman kalau ada di tangan Mbak," imbuh Aldy.
"Terus, Mbak gitu yang harus ngerawat anak ini?" tanya Iva.
Aldy mengangguk. "Siapa lagi kalau bukan Mbak. Mbak kan adiknya Pak Raymond."
"Dih, najis!" tepis Iva, "ngerawat bunga mawar aja jadinya bunga bangkai alias bunga mati, apalagi ngerawat balita." Iva menatap skeptis ke ketiga karyawannya sedetik kemudian. "Kalian percaya Mbak bisa ngerawat anak ini?"
Rieke, Aldy, dan Susan kompak mengangguk mengiakan.
"Kalian semua memang menyebalkan. Kompak banget ya kalau urusan menyiksa bos." Iva mendesis sambil bersedekap. Pandangannya tiba-tiba teralihkan kepada si anak yang sedari tadi menatapnya. Pancaran mata bening anak itu menciptakan sensasi dag dig dug di dada Iva. Aneh. Iva pikir Iva tidak pernah merasakan hal seperti ini, bahkan ketika dia jatuh cinta kepada Eros. Rasa ini berbeda. Lebih besar dari gelombang cinta dan lebih dahsyat dari kobaran kasih sayang. Perasaan apa sih ini?
"Ah, sebel deh kalau sudah begini!" Iva mengumpati dirinya sendiri, lalu berkata kepada si anak. "Ngapain sih kamu ngeliatin aku terus?"
"Mama," ucap si anak.
"Tuh, kan, Mbak! Dia sudah manggil mama ke Mbak," cetus Rieke dengan nada senang.
Iva mencebik. Tiba-tiba dia punya ide untuk mencari tahu identitas anak tersebut. Dia pernah tidak sengaja membaca sebuah artikel tentang perkembangan motorik kasar dan halus serta kemampuan berkomunikasi anak usia 3 tahun. Iva yakin usia anak itu tidak lebih dari tiga tahun, bahkan bisa saja kurang dari itu. Setidaknya, walaupun tidak terlalu jelas, Iva percaya anak itu sudah bisa melakukan komunikasi dua arah.
"Nama kamu siapa, Sayang?" tanya Iva dengan suara yang dilembutkan dan bernada manis.
"Abby."
"Apa?" tanya Iva sekali lagi berusaha memperjelas.
"Abby."
Iva mengangguk lalu tersenyum. "Oke, Abby. Abby malam ini mau bobo sama siapa? Mm, maksudnya, di sini kan ada Tante-tante dan ada Om juga. Abby mau bobonya sama siapa?"
Sontak pertanyaan Iva pada gadis kecil bernama Abby itu membuat senewen ketiga karyawannya. Bisa-bisanya Iva membuat penawaran pada anak kecil. Abby kemudian melihat ke arah Rieke, Aldy, dan Susan. Namun, dia menjatuhkan pandangan terakhirnya kepada Iva.
"Abby mau bobo sama Mama," kata Abby dengan suara bening dan sedikit cadel.
Rieke, Aldy, dan Susan serentak mengembus napas lega.
"Pengen sama Mama, Mbak." tutur Aldy sambil tertawa kecil.
"Selamat kita, Ke," tambah Susan dengan bangga.
"Iya." Senyum Rieke mengembang di bibirnya.
Iva cemberut sambil menatap tajam ketiganya satu per satu. "Awas ya kalian!"
"Kan dia pengennya bobo sama Mama. Mamanya kan Mbak Iva," ledek Rieke.
"Awas saja sampai hidup Mbak kacau gara-gara bocah ini, kalian semua bakalan Mbak pecat."
"Siapa tahu nih bocah membawa berkah, Mbak," sambar Susan.
"Preeet, ah!" tepis Iva. Meskipun begitu, Iva mengamini ucapan Susan di dalam hati.
Bab 3
The First Fight
Kembali ke drama penculikan
“Dasar sinting!” Iva meluapkan kemarahannya.
Tidak ada yang lebih menjengkelkan Iva selain ekspresi sedingin es batu Fabian yang Iva lihat saat dia mengumpati pria itu. Pria itu sama sekali tidak memedulikan umpatan Iva. Yang Fabian lakukan kemudian adalah pergi dari ruangan tersebut setelah memanggil anak buahnya, John.
John memegangi lengan Iva sambil memaksa wanita itu berjalan ke luar. Iva mengedarkan pandangan ke sepanjang koridor. Perasaan was-was kembali datang ketika pandangannya hanya mendapati beberapa pintu berwarna putih yang berderet di sepanjang koridor tersebut. Tempat apa ini?
Hanya saat Iva berjalan menuruni anak tangga, Iva baru mengetahui bahwa ia sedang berada di sebuah gedung kosong. Entah gedung apa, yang jelas gedung kosong itu tampak menyeramkan bagi Iva. Beruntung, malam tadi Iva tidak sadarkan diri saat dirinya dibawa ke sana. Karena jika tidak, Iva bisa mati terduduk lantaran membayangkan peristiwa horor yang akan dilewatinya.
“Masuk!” perintah John setelah membukakan pintu mobil jenis van berwarna hitam.
“Kamu mau membawaku ke mana?” tanya Iva dengan nada geram.
“Diamlah. Karena kalau tidak, aku akan mengikat tanganmu lagi. Mau?” ancam John.
Iva menggeleng. Dia lalu masuk ke van, ke jok penumpang tengah tanpa protes lagi. Wanita muda itu hanya bisa menduga-duga keberadaannya sekarang dan ke mana orang-orang itu akan membawanya. Hiruk pikuk kendaraan dan aktivitas orang-orang di sekitar jalanan yang tertangkap netranya, sedikit banyak sudah menjawab rasa penasarannya. Iva mungkin masih berada di Jakarta, pikirnya.
Perjalanan yang memakan waktu kurang dari tiga puluh menit itu membawa Iva ke sebuah rumah besar yang megah berdesain modern dengan jendela kaca besar di setiap sudut dan dikelilingi benteng tinggi. Beberapa saat setelah Iva turun dari van, sebuah sedan hitam berlogo L dalam bentuk elips berhenti di samping van. Tanpa menduga lagi, Iva sudah tahu mobil itu dikendarai oleh siapa. Si raja culik yang menyebalkan.
“John, bawa dia ke kamar!” perintah Fabian sesaat setelah ia turun dari mobilnya.
Iva melotot kaget. Jiwa pemberontaknya mendadak terpanggil. Dia melangkah mundur. Dengan wajah tegang, Iva melayangkan protes kerasnya. “Kalian mau apa? Jangan macam-macam denganku!”
“John.” Fabian tidak memedulikan protes Iva. Ia justru memerintah John sekali lagi dengan suara rendah tapi keras.
“Baik, Pak.”
John lalu mencekal tangan Iva dan menarik wanita itu untuk mengikuti langkahnya memasuki rumah. Namun, Iva dengan berani menepis tangan John dan menendang pangkal paha John hingga pria itu merintih kesakitan dan jatuh terduduk sambil memegangi Mr.P-nya yang bersembunyi di balik celana jeans. Iva ingin tertawa melihat reaksi John, tetapi keinginannya untuk segera kabur lebih kuat dari apa pun. Wanita itu berbalik lalu mengambil langkah seribu. Sayangnya, Iva terlalu disibukkan oleh rasa panik sehingga kewaspadaannya terabaikan. Pikirannya hanya terfokus pada John. Apakah pria itu akan mengejarnya atau tidak, hal itu yang memenuhi kepala Iva hingga tanpa sadar, tubuh Iva membentur sesuatu yang keras. Iva menabrak tubuh Fabian. Dia nyaris terjengkang seandainya Fabian tidak bertindak cepat.
Fabian meraih, menahan, dan menarik punggung Iva dengan tangan kuatnya sehingga tubuh wanita yang sudah condong ke belakang itu kembali berdiri tegak. Kedua tangannya yang tidak sengaja melingkar erat di tubuh Iva mempersempit jarak di antara mereka dan memicu desiran aneh yang tiba-tiba merayap ke seluruh tubuhnya. Menyadari hal itu, Fabian kembali mengundang amarahnya, bahkan merangkul emosi tersebut. Iva bukan siapa-siapa dan seharusnya dia membenci Iva karena wanita itu bisa jadi bekerja sama dengan sang mantan untuk menyembunyikan anaknya. Fabian melepaskan lingkaran tangannya dari tubuh Iva, tetapi kemudian ia mencekal tangan Iva dan menatap tajam wanita itu.
“Kamu jangan membuatku kesal atau aku akan membuatmu menyesal,” ancam Fabian.
Iva menelan ludah dengan susah payah. Meskipun begitu, ia tidak ragu membalas tatapan tajam Fabian. “Ngancam doang, enggak punya nyali!”
Fabian tersenyum sinis. Ia lalu menarik tangan Iva dengan kasar dan memaksa wanita itu mengikuti langkahnya. Beberapa kali Iva hampir terjatuh, tapi ia berhasil mengimbangi langkah Fabian yang panjang dan cepat hingga melewati tangga dan tiba di lantai atas rumah tersebut.
“Heh, cowok sinting! Kamu tidak tahu kamu sedang berurusan dengan siapa. Jangan sampai, ujung-ujungnya kamu yang nyesel!” Iva membombardir Fabian dengan sergahannya.
Fabian seperti ditulikan. Dia tidak menggubris ucapan Iva. Pria itu nyaris membanting pintu setelah mendorong Iva masuk ke sebuah kamar.
“Kamu tidak punya hak untuk bicara. So, tutup mulut cerewet kamu itu!” Fabian melayangkan peringatan keras sambil terus mendorong bahu Iva hingga Iva nyaris membentur dinding.
“Aku harus tahu alasanku berada di sini. Kamu tidak bisa sembarangan menyekap orang!” Iva menyembunyikan ketakutannya dengan sergahan.
Fabian mendekatkan wajahnya ke wajah Iva, membuat wanita itu terkurung oleh tatapan bengisnya. “Kamu tahu alasanku menyekapmu di sini. Kalau kamu mengatakannya, aku akan melepaskan kamu.”
“Kamu kan ayahnya. Usaha dong. Cari dia. Enggak ada gunanya kamu ngancam aku. Aku tidak tahu di mana anakmu.” Iva bersikeras tidak mengatakan soal Abby kepada Fabian. Iva tidak yakin kalau Fabian ayah yang baik. Dilihat dari cara pria itu menculik dan memperlakukannya, mungkin isi surat yang ditemukan bersamaan dengan ditemukannya Abby adalah benar. Hidup Abby dalam bahaya.
“Oke. Aku akan mencarinya dan selama itu pula kamu akan tinggal di sini.” Fabian melengkungkan bibirnya tersenyum sinis. “Sebagai tawanan.”
Mata Iva melotot dan secara otomatis kemarahannya meluap dalam teriakan. “Apa?!”
“Jangan berisik!” Fabian memperingatkan dengan suara tertahan di tenggorokan. “Jangan sampai suara cemprengmu mengganggu pendengaranku.”
Iva mencebik lalu menanggapi respons Fabian dengan cara yang sama. “Bodo amat! Syukur banget deh kalau telingamu jadi congek.”
“Kalau begitu, kamu akan tidur di gudang bawah tanah bersama tikus dan kecoa.” Kali ini Fabian benar-benar marah.
Fabian menyambar dan mencekal tangan Iva dengan cepat. Pria itu lalu menarik tangan Iva, tapi Iva bertahan di tempatnya berdiri. Terlanjur kesal, Fabian mengerahkan tenaga yang cukup kuat untuk menarik tangan Iva. Tubuh Iva pun secara otomatis ikut terseret.
Tanpa persiapan yang cukup, Iva tidak bisa mengimbangi langkahnya sehingga dia tersandung kakinya sendiri dan terjatuh dengan posisi berlutut di atas karpet wol yang melapisi lantai kamar. Rasa nyeri di lututnya membuat wanita itu memekik dan meringis. Sesaat kemudian Iva mendongak dan melayangkan tatapan setajam siletnya pada Fabian.
“Nyebelin! Dasar cowok gila, sinting, tak beradab, barbar, congek pula!” Sumpah serapah Iva terlontar dengan deras. Fabian berhasil mengembalikan sisi liar Iva. Ambyar deh cita-cita jadi perempuan baik yang selalu bisa berkata dan berlaku dengan santun.
Bukannya marah, Fabian justru tersenyum penuh kemenangan. Baginya, sangat menyenangkan melihat Iva tersiksa seperti itu. Dia bisa membalas keangkuhan Iva tanpa harus berusaha lebih keras.
“Kualat!” ejek Fabian.
Iva mengerucutkan bibirnya. Kesal. Dia celingukan mencari pegangan untuk bisa berdiri kembali lantaran lututnya masih terasa nyeri. Sialnya, dia tidak menemukan satu pun benda yang bisa dijadikan pegangan di sekitarnya.
Tanpa basa-basi, Fabian mengulurkan tangan untuk membantu Iva berdiri. Dia menggertakkan gigi saat Iva menolak bantuannya. Baiklah. Mari lihat seberapa kuat wanita itu bisa melakukannya, pikir Fabian.
Fabian bersedekap. Dia membiarkan Iva berusaha sendirian untuk berdiri. Wajah Iva yang sedikit pucat dan rintihan pelan yang keluar dari bibir wanita itu saat mencoba berdiri dengan susah payah sebenarnya membuat Fabian iba. Namun, dia hanya bisa menyembunyikan perasaan itu jauh di dasar hatinya.
“Masih mau berteriak-teriak seperti di hutan?” Fabian memprovokasi.
Iva memalingkan muka. Dia tidak ingin lagi beradu argumen dengan Fabian. Pria itu yang berkuasa di sana. Seribu bantahan dan penolakan yang Iva ungkapkan, semuanya tidak akan berarti di mata Fabian. Iva memperingatkan dirinya sendiri.
“Untuk sementara, kamu bisa tidur di sini. Tapi kalau kamu mengacau, apalagi sampai suara jelekmu itu mengganggu telingaku, aku tidak segan-segan memindahkanmu ke bawah. Biar kamu tidur bareng tikus!” imbuh Fabian lalu meninggalkan Iva di kamar tamu tersebut.
Iva menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Mimpi apa dia kemarin malam sampai harus mengalami masalah pelik seperti ini? Iva bertanya-tanya dalam hati sambil berjalan ke sisi ranjang. Sialnya, sampai saat itu pun Iva masih belum tahu nama Fabian.
***
Cahaya terang menyilaukan menerobos kaca jendela besar tanpa tirai. Iva mengerjap-ngerjap berusaha untuk membuka mata lebih lebar. Seluruh tubuhnya terasa nyeri dan kaku. Iva bahkan merasakan seluruh ototnya seperti terputus saat dia berbalik menatap langit-langit.
Begini banget sih rasanya, batin Iva. “Abby!”
Iva terkesiap dan langsung bangkit dari tidurnya. Dia duduk di tepi ranjang sambil menekan dada. Detak jantung yang mengencang dan perasaan panik berhasil menyedot darah dari wajah Iva. Iva tampak sepucat mayat.
Bayangan Abby dengan cepat memenuhi kepalanya. Perasaan takut dan cemas berdenyut di setiap nadinya memikirkan nasib anak itu. Empat bulan bukan waktu yang singkat untuknya mengenal Abby. Meskipun awalnya sangat sulit merawat Abby karena minimnya pengalaman, tetapi kini Iva mulai terbiasa dengan Abby. Dia menyayangi gadis kecil itu dan tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya meskipun ayah kandungnya sendiri.
“Abby. Semoga saja anak buah cowok sinting ini tidak bisa menemukannya. Semoga saja Rieke membawa Abby ke rumah Mas Ray.” Iva berbicara kepada dirinya sendiri.
Iva kemudian berjalan ke arah jendela. Pandangannya jatuh ke kolam renang di bawah sana. Namun, tiba-tiba Iva harus menelan kesiap. Bayangan benda-benda yang ada di sekitar kolam renang lebih pendek, hampir sejajar. Iva percaya saat itu bukan pagi hari lantaran sengatan matahari terasa lebih panas.
Iva berbalik. Pandangannya menyusuri setiap sudut kamar mencari jam. “Sial. Jam berapa sekarang? Bagaimanapun caranya, aku harus bisa pergi dari rumah ini.”
Suara daun pintu yang berayun melemparkan pandangan Iva ke sana. Seorang wanita paruh baya bertubuh gempal yang mengenakan pakaian hitam dan putih masuk ke kamar sambil membawa nampan berisi sepiring nasi dan lauknya serta segelas air putih. Dari penampilan wanita itu, Iva bisa menebak kalau wanita itu seorang asisten rumah tangga.
“Makan siangnya saya simpan di sini ya, Non.” Wanita itu meletakkan nampan di atas meja di samping ranjang.
“Terima kasih.” Iva memperhatikan wanita itu tersenyum ramah kepadanya. Ini kesempatan untuk mengorek informasi. Keramahan seseorang harus ada manfaatnya, pikir Iva.
“Mbak, eh, Bu,” panggil Iva gugup. Dia tidak tahu harus memanggil wanita itu dengan sebutan apa.
“Panggil saja saya Bu Nur. Semua orang di rumah ini memanggil saya begitu,” kata wanita itu sambil tersenyum.
Iva mengangguk. Oke. “Bu, ini rumah siapa ya? Mm, maksud saya, rumah ini milik siapa?”
Bu Nur mengerutkan dahi dan memandang heran pada Iva. Namun, akhirnya dia membuka suara. “Rumah ini milik Pak Fabian.”
“Pak Fabian?”
“Lha, kok tamunya Pak Fabian tidak tahu kalau ini rumah Pak Fabian?” Bu Nur menanggapi dengan nada bercanda seolah-olah pertanyaan Iva adalah basa-basi wanita itu. “Kenapa emangnya, Non?”
Oh, jadi si gila itu namanya Fabian. Iva lalu menggeleng sambil tersenyum palsu. “Tidak apa-apa. Bercanda.”
“Kalau begitu, silakan dinikmati makanannya, Non. Kalau butuh buku-buku bacaan, nanti saya bawakan ke sini. Pak Fabian mungkin pulangnya malam.”
Iva mendapati celah untuk bisa kabur. Atau setidaknya, dia bisa mencari cara untuk menghubungi kakaknya. “Apa Pak Fabian sering pulang malam, Bu?”
“Sejak Bu Evelyn kabur membawa lari Non Libby, Bapak semakin jarang di rumah. Dia pulang kalau mau tidur saja,” jelas Bu Nur.
“Bu Evelyn itu—“
“Istrinya Bapak,” potong Bu Nur, “Non Libby itu anaknya.”
Oh. Iva mengerti sekarang. Libby mungkin nama sebenarnya dari Abby. Berhubung anak kecil yang ngomong, Libby jadi Abby. “Kok dia bisa kabur?”
“Saya juga kurang ngerti, Non. Sejak Non Libby lahir, mereka kayak hidup masing-masing gitu.”
“Begitu, ya?” Iva mengangguk-angguk mengerti. “Bu, apakah saya boleh numpang menelepon? Saya ada urusan sangat penting.”
Bu Nur menatap Iva selama beberapa saat. “Bapak berpesan—“
“Iva!” Panggilan familier membuat Iva sontak menoleh ke arah pintu.
“Mas Ray!” Senyum semringah Iva mengembang di bibirnya. Fabian harus tahu kini dia berurusan dengan siapa.
Bab 4
The Wrong Person
Iva bergegas lari ke arah Raymond yang sudah berada di ambang pintu. Bu Nur tampak terkejut dengan kehadiran orang asing di rumah tersebut, tetapi yang bisa ia lakukan hanya diam dan melongo.
“Ayo, kita pergi!” ajak Raymond.
“Iya.”
Iva mengikuti langkah Raymond. Tanpa Iva sadari, ternyata di luar kamar tersebut beberapa anak buah Raymond telah menunggu. Iva melihat ke sekelilingnya dan tidak melihat satu pun anak buah Fabian. Iva memosisikan dirinya berada di samping Raymond. Bersama-sama dengan kakaknya, Iva berjalan menuruni anak tangga. Sementara itu, anak buah Raymond mengikuti langkah mereka di belakang.
“Mas kok bisa tahu aku di sini?” Iva bertanya dengan nada heran.
“Karyawan kamu yang kamu titipi anak itu bilang kamu tidak datang menjemput. Dan saat dia ke apartemen kamu, kamu tidak ada. Dicari ke kafe, dia hanya menemukan motor miliknya yang kamu pinjem.”
“Rieke menghubungi Mas?”
“Iya.”
“Di mana Rieke dan Abby sekarang, Mas?”
“Mereka ada di kafe.”
Syukurlah. Iva mengembus napas lega. Kalau Rieke membawa Abby ke kafe, kemungkinan besar Abby akan aman. Di sana banyak orang, apalagi pada jam makan siang. Iva percaya Fabian maupun anak buahnya tidak akan mengambil risiko digebukin orang se-RT lantaran berusaha mengambil paksa Abby.
“By the way, dari mana Mas tahu—“
“Cuma orang bego yang melakukan aksi penculikan tepat di titik fokus kamera CCTV,” pangkas Raymond, “lagi pula, kenapa sih sampai kamu bisa berurusan dengan Fabian?”
“Mas tahu Fabian?”
“Siapa sih yang enggak tahu dia?”
“Aku.”
Raymond menghentikan langkahnya, lalu menatap Iva heran. Ke mana saja adik kesayangannya ini sampai tidak tahu pengusaha yang masuk ke dalam ranking 10 besar pengusaha muda tersukses di Indonesia?
“Main kamu kurang jauh dan pulangnya kurang malam, Va,” sindir Raymond.
Iva cemberut. “Mas kok gitu sih? Si Fabian-nya aja kali yang kurang populer.”
“Kamu yang kudet.” Raymond mengayuh langkah lagi dan Iva mengikutinya.
Iva mengerucutkan bibirnya lagi. Namun, Iva penasaran dengan anak buah Fabian yang tidak kelihatan batang hidungnya sampai mereka tiba di lantai bawah. “Antek-antek si Fabian pada ke mana nih, Mas?”
“Mereka lagi diajak ngobrol sama Eros di pojokan sana.” Raymond menunjuk ke sudut ruang keluarga yang lumayan luas di bawah sana.
Mata Iva melebar dan bibirnya terbuka membentuk huruf “O”. Itu sih bukan sedang diajak ngobrol.
Iva melihat Eros, sahabat Raymond sekaligus pria pertama yang menjadi pusat semesta Iva, sedang mengikat tangan kedua penjaga keamanan rumah tersebut di kursi kayu. Eros menoleh ke arah Iva. Pria tampan berwajah oriental itu lalu menanyakan kabar Iva. “Are you okay?”
“I’m OK.”
“Good.” Eros kemudian menutup mulut kedua anak buah Fabian dengan lakban hitam. “Done.”
“Thank you, Bro,” tutur Raymond.
“Anytime.”
Raymond kemudian melangkah mendekati kedua penjaga keamanan itu. “Bilang sama bos kalian, jangan pernah mengganggu adikku atau urusannya bisa lebih dari ini.”
Kedua penjaga itu hanya mengangguk dan memperhatikan rombongan Iva dan kakaknya sampai mereka keluar dan tidak terlihat lagi.
***
Raymond menarik kursi makan berkaki stainless lalu duduk di sana. Di hadapannya, Iva duduk di sofa panjang sambil menggenggam tangannya sendiri. Atmosfer di ruangan yang terbagi menjadi ruang tamu dan ruang makan mini tersebut mulai terasa panas. Iva merasakan sebentar lagi murka kakaknya akan meledak dan memenuhi seisi ruang di unit apartemennya. Semampunya Iva menghirup udara sehingga paru-parunya terisi penuh. Dia melakukannya berkali-kali sampai sesi interogasi Raymond dimulai.
“Ada masalah apa antara kamu dan Fabian?”
Iva menggeleng. “Aku tidak tahu.”
Raymond mengembus napas. Desah kesal kemudian lolos dari bibirnya. “Iva, adikku yang menyebalkan. Tolong, jangan berbohong kepadaku.”
“Mas Raymond, kakakku yang hobinya ngamuk. Aku tidak berbohong.”
“Kalau kamu tidak punya masalah dengan Fabian, dia tidak mungkin menculik dan menyekapmu.”
“Mungkin dia nge-fans sama aku, Mas.”
Raymond menatap gemas. Seandainya Iva masih kecil, dia pasti sudah menjitak kepala Iva. “Mana ada cowok nge-fans sama cewek barbar dan manipulatif kayak kamu. Bilang sama aku, kamu dan Fabian ada masalah apa? Kamu tidak sedang mengulang ketololan yang sama, ‘kan?”
Iva mengangkat sebelah ujung bibirnya. Kesal. Track record perjalanan cintanya memang sempat tercoreng karena dia pernah menjadi selingkuhan pria beristri. Dia melakukan hal itu lantaran kecewa oleh penolakan Eros. Bagaimanapun, Iva menyesali hal itu sekarang.
“Enggak usah nyebut-nyebut barbar dan manipulatif deh, Mas. Aku kan sedang dalam proses hijrah. Jangan mengingatkanku untuk jadi tokoh antagonis lagi,” protes Iva dengan nada kesal.
“Hijrah tuh enggak kayak gini,” sangkal Raymond.
Iva berdecak. “Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hijrah itu artinya perubahan baik itu sikap, tingkah laku, dan sebagainya ke arah yang lebih baik. Iva enggak salah kan pengen jadi lebih baik?”
“Terserah kamu. Aku bersyukur kamu pengen jadi orang baik. Tapi ingat, salah satu ciri orang baik itu jujur.”
“Oke. Iva akan bilang pada Mas Ray apa yang telah terjadi.”
Iva menceritakan kepada Raymond semua yang dialaminya semalam dan alasan Fabian menculiknya. Namun, reaksi Raymond tampak biasa saja. Pria itu sepertinya sudah menduga kalau anak yang ditemukan dan sekarang dirawat Iva adalah anaknya Fabian Arsyanendra.
“Kamu tidak menculiknya, ‘kan?” selidik Raymond.
Iva mendelik. Dia tidak terima dengan tuduhan Raymond. “Mas, saksi anak itu ditelantarkan tidak hanya Rieke. Ada Aldy dan juga Susan. Lagi pula, untuk apa aku menculiknya? Apa untungnya buatku? Kenal si Fabian sinting itu juga nggak.”
“Terus, apa rencana kamu selanjutnya?”
“Aku tidak akan menyerahkan Abby kepada Fabian. Aku akan menunggu ibunya kembali. Hidup Abby dalam bahaya, Mas. Aku tidak mau ambil risiko.”
Teeet! Teeet! Bunyi bel menginterupsi diskusi Iva dan Raymond. Iva segera membuka pintu. Wajah Eros yang terpapar netranya memicu jantung Iva berdenyut lebih kencang. Senyuman yang terkembang dari bibir pria itu pun mampu mencairkan ketegangan dalam sekejap. Adem.
“Mama!”
Iva terkesiap, lalu menurunkan pandangannya. “Abby!”
Iva memeluk Abby lalu membawa gadis kecil itu ke dalam gendongannya. “Mama kangen banget sama Abby. Abby sudah makan belum?”
“Sudah, sama Tante Lieke,” Abby membalas dengan suara bening dan sedikit cadel.
“Banyak makannya?”
Abby mengangguk. “Iya.”
“Pinter banget anak Mama.” Iva mengecup pipi chubby Abby.
“Ehem!” Eros berdeham. “Kalau sudah ada si kesayangan, jadi lupa ada tamu.”
Iva tersenyum malu-malu. “Makasih, Bang, sudah menjemput Abby. Mari masuk, Bang.”
Eros menyusul langkah Iva masuk ke ruang tamu. Pria itu kemudian mengadukan tinjunya dengan tinju Raymond sebagai salam perjumpaan. Setelahnya, dia duduk di sofa di samping Iva dan Abby.
“Thanks sudah bantu gue dan Iva, Bro,” kata Raymond.
“Jangan sungkan. Kalau gue bisa bantu, gue pasti bantu.”
“Terima kasih ya, Bang,” imbuh Iva, “jangan kapok bantuin Iva meskipun dulu Iva sudah jahat sama Abang.”
“Sudahlah, Va. Jangan diingat-ingat. Yang penting sekarang, kamu mau berubah.”
Iva mengangguk. Rona malu dan juga sesal mewarnai wajahnya. Eros masih mau membantunya meskipun dia pernah melakukan hal yang sangat tidak terpuji kepada Eros. Entah hati Eros terbuat dari apa, yang jelas bukan buatan pabrik, tetapi pria itu masih saja mau menolongnya. Namun, hal itu pun tak lepas dari peran Raymond. Seandainya persahabatan Raymond dan Eros yang pernah pecah belah tidak tersambung kembali, mungkin Eros tidak akan mau melakukannya. Apa pun itu, Iva berterima kasih kepada Eros.
“Kalau begitu, Mas dan Eros pulang dulu. Doni dan Azid akan jaga di sini malam ini.” Raymond bangkit dari duduknya.
“Mas, kayaknya nggak perlu deh mereka jaga di sini. Di bawah kan ada satpam.” Iva menolak anjuran Raymond karena dia tidak mau risi dengan kehadiran orang asing di apartemennya.
“Oke. Tapi, kalau ada apa-apa cepat hubungi Mas. Sekali lagi Mas ingatkan, kamu sedang bermain-main dengan orang yang salah.” Raymond menegaskan.
“Fabian Arsyanendra terkenal ambisius dalam segala hal. Hati-hati berurusan dengannya,” imbuh Eros. Pria itu kemudian berdiri dan berjalan ke samping Raymond.
Iva mengangguk. “Iya. Aku akan segera menghubungi Mas Ray dan Abang kalau ada apa-apa.”
“Oke. Aku pulang.” Raymond memandangi Abby beberapa saat, lalu kembali memandangi Iva.
“Aku akan bertanggung jawab dengan keputusanku, Mas. Ik beloof jou.” Iva mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf “V” dan berjanji dalam bahasa Belanda. “Salam buat Mbak Nala.”
Raymond mengangguk mengiakan.
“Bye, Abby. Om pulang dulu, ya!” Eros melambaikan tangan pada Abby. Setidaknya, sikap Eros lebih lembut daripada Raymond dalam hal menangani anak-anak, padahal Raymond sedang menanti kelahiran anak pertamanya.
Abby pun membalas lambaian tangan Eros. “Babay, Om!”
Iva bisa bernapas lega setelah Raymond dan Eros meninggalkannya bersama Abby. Dia kemudian memeluk Abby. Tidak terlalu erat, tapi tidak longgar. Dia menyesuaikan lingkaran tangannya di tubuh Abby agar tidak membuat Abby sesak napas. “Mama pikir Mama akan kehilangan kamu.”
Beberapa saat kemudian Iva melepas pelukannya, lalu memandangi wajah mungil Abby. Matanya menatap ke dalam mata bening dan bulat Abby. Gelombang perasaan yang tidak bisa didefinisikan terus menerus menghantam sisi angkuhnya. Kini, Iva sadar rasa sayang yang sudah terangkai dengan sempurnalah yang membuatnya tidak mau melepaskan Abby, bahkan untuk ayah kandung anak itu. Egois. Namun, Iva merasa Abby akan lebih baik bersamanya ketimbang bersama ayahnya yang pemarah dan menyebalkan.
“Mama, pengen nenen,” ucap Abby.
“Abby ngantuk ya?” Iva tahu betul kebiasaan Abby. Jam-jam setelah makan siang dan bermain sebentar, Abby akan meminta susu dan tidur siang. “Sebentar, Mama bikin dulu.”
Iva meninggalkan Abby di sofa untuk membuat susu. Sayangnya, saat Iva kembali dengan sippy cup berisi susu rasa vanila favorit Abby, Abby sudah terlelap. Gadis kecil itu meringkuk di sofa. Senyum Iva menghiasi wajah cantiknya. Iva meletakkan sippy cup di atas meja, lalu menggendong dan membawa Abby ke kamarnya. Selama ini, Iva tidak membiarkan Abby tidur di kamar terpisah walaupun di apartemennya ada dua kamar.
Teeet! Teeet!
Bunyi bel memaksa Iva bergegas untuk keluar dari kamar. Iva merasa kesal karena Raymond pasti mengirim anak buahnya untuk mengawasi dan menjaga, padahal Iva sudah melarang. Kakaknya itu kadang-kadang over protektif.
“Ada apa sih ....” Kalimat Iva sontak menghilang tertelan kejut yang membentang di depan matanya. Fabian.
=====
Tbc.
Alice Gio
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
