
Akara, seorang anak yang memiliki ambisi kuat untuk menjadi master aura terkuat menemui titik tumpulnya. Saat pembukaan aura ranah, ia tidak dapat memadatkan energinya, bahkan satu bintang energipun. Pemadatan aura ranah yang seharusnya dapat dilakukan setiap orang, namun tidak dengan dirinya. Ejekan dan tatapan yang mengasihaninya, membuat Akara kesal dan malah tambah memantapkan dirinya.
Persetan dengan bakat, persetan dengan takdir! Gelar master aura terkuat akan aku miliki bagaimanapun...
Ribuan tahun yang lalu, Kaisar Amerta melawan para Dewa untuk mengubah tatanan dunia. Kala itu dunia dipenuhi oleh kekacauan di mana-mana, tidak semua orang dapat menggunakan energi, bahkan manusia biasa dijadikan seperti ternak. Orang-orang kuat kala itu tidak segan membunuh ratusan, bahkan ribuan manusia untuk dijadikan tumbal. Mereka menyerap jiwa manusia untuk mendapatkan umur panjang dan keabadian.
Akan tetapi, masa itu telah usai, kini telah berubah menjadi masa keemasan Aura. Setiap manusia kini dapat menggunakan energi, untuk membantu kegiatan sehari-hari, bahkan mencapai Abadi. Manusia dapat memadatkan suatu energi, menjadi sebuah aura yang jadi pertanda tingkat kekuatan. Semakin besar dan banyak aura yang dimiliki, menandakan bahwa semakin tinggi pula ranah yang ia punya. Tingkatan ranah yang tak terbatas, mulai hanya manusia biasa, seorang abadi, bahkan tingkatan yang lebih jauh lagi.
Binatang sihir di dunia ini juga bisa melakukan evolusi, hingga memiliki wujud seperti manusia. Insting alaminya ketika mencapai wujud manusia, akan berubah menjadi suatu kecerdasan yang cenderung lebih baik dari manusia biasa.
Penggunaan energi semakin berkembang dari waktu ke waktu, semakin banyak juga orang-orang kuat yang muncul. Beberapa ribu tahun ini telah berkembang ribuan teknik yang digunakan, dan masih terus berkembang. Tujuan utamanya merupakan keabadian dan kekuatan. Karena dunia yang kini telah berubah, ada aturan tak tertulis yang menyatakan 'Kekuatan untuk kehormatan'. Oleh sebab itu, semuanya berlomba-lomba untuk mendapatkan kekuatan yang luar biasa. Mereka tidak mau menjadi kaum yang diinjak-injak.
Bugg..
Seorang wanita menutup bukunya kembali, setelah selesai membacakan cerita kepada anaknya. Ia duduk di samping tempat tidur, tepat di samping anaknya yang sedang tiduran. Dia merupakan seorang wanita yang begitu cantik. Wajah tirus dengan kulit seputih mutiara, dihiasi dengan bibir berwarna merah alami, lalu matanya yang lebar dengan alis lentik dan juga rambut hitam pendek di atas bahu yang begitu kontras dengan warna kulitnya.
"Mama, Akara ingin menjadi Kaisar Amerta selanjutnya!" teriak bocah laki-laki berusia 7 tahun kepada wanita itu.
"Hahaha, kalau begitu tidurlah, besok pendaftaran masuk akademi!"
Mendengar tawanya yang begitu lepas, membuat dinding keanggunan dan kecantikannya seakan runtuh. Tidak akan ada yang menyangka jika wanita secantik itu bisa tertawa begitu lepas.
Wanita itu kemudian berdiri, meletakkan kembali bukunya pada rak di sisi tempat tidur, lalu berjalan keluar kamar anaknya.
…
Kota Biru, Kerajaan Glint
Keesokan harinya, saat sinar matahari masih diselimuti oleh kabut pagi. Ada sebuah bangunan besar yang berdiri di tengah-tengah kota. Bangunan yang dikelilingi tembok besar dan di atas gerbang masuknya bertuliskan akademi Biru. Pada halaman akademi, sudah berkumpul puluhan anak-anak berusia 7 tahun. Mereka menghadap ke arah suatu altar batu, berbentuk lingkaran seperti panggung, dengan dipenuhi oleh ukiran sajak. Di atasnya telah ada seorang pria paruh baya dan seorang anak kecil.
"Bintang 5? Jenius terbaik!"
"Tidak aku sangka, ada jenius sepertinya satu angkatan dengan kita!"
Mereka mengagumi Aura yang muncul di belakang pundak anak itu, diiringi oleh cahaya yang menyalakan sajak pada altar. Setelah 5 bintang, cahaya keemasan melambat membentuk bintang ke 6 dan masih saja menyala hingga akhirnya bintang ke 7.
"Berhasil memadatkan 7 bintang pada usia 7 tahun, keluarga Beton selalu saja mengejutkan!" seru pria paruh baya yang melakukan pengujian, hal itu diikuti oleh tepuk tangan dan sorakan anak-anak lainnya.
"Hahaha hebat!" Akara ikut kagum dan berdiri, menenteng dua pedang kayu yang segera ia letakkan di belakang punggungnya. Anak ini lalu perlahan maju saat anak dari keluarga Beton mulai turun.
"Dam Beton! Nomorku lebih tinggi darimu, jadi bintangku juga!" seru Akara ketika berpapasan dengan anak yang melakukan pengujian sebelumnya.
"Mana bisa!" seru Dam Beton dengan geram, seraya mengepalkan tangannya.
"Tentu bisa! Hahaha." Akara langsung berlari menuju altar dan pemadatan aura ranahnya dimulai. Saat pria penguji mengulurkan tangannya, mulailah menyala ukiran sajak pada altar batu. Para anak-anak sedikit terkejut, namun segera kagum saat melihat cahaya pada altar. Cahaya pada ukiran cahaya semakin terang, diiringi oleh raut muka penasaran anak-anak di sana. Akan tetapi, tiba-tiba saja semua cahaya itu padam seketika, bersamaan dengan padamnya ekspektasi mereka.
"Apa yang terjadi!?"
"Tidak muncul bintang sama sekali? Apa seburuk itu bakatnya?"
"Apa dia memang tidak memiliki bakat sama sekali?"
Semua anak menjadi bingung sekaligus panik, begitu juga sang penguji. Akan tetapi, Akara malah mengetuk-ngetuk altar menggunakan pedang kayu miliknya.
"Paman, benda ini tidak kuat menampung kekuatanku!" serunya kepada pria paruh baya yang melakukan pengujian.
"Ganti benda yang lainnya!" lanjutnya.
"Altar ini sudah ada dari ratusan tahun yang lalu, tidak mungkin rusak begitu saja," ujar pria penguji sambil mengamati sajak yang terukir pada altar.
"Karena sudah tua itu jadi rusak." Akara seakan tidak terjadi apa-apa, ia masih saja tenang, kini anak itu malah duduk bersila di atas altar.
"Bocah, kau turunlah terlebih dahulu!" Pria penguji mengusir Akara untuk turun, lalu memanggil peserta selanjutnya.
"Nomor urut selanjutnya!"
Akara segera turun, bersamaan dengan naiknya anak selanjutnya. Dengan santainya Akara duduk di tangga dan membelakangi altar pengujian.
"4 bintang energi! Lulus!" suara pria penguji kembali terdengar dan Akara langsung berdiri lagi dan melompat ke atas altar.
"Aku lagi!" teriaknya kepada pria penguji.
Tanpa menjawab, pria penguji kembali mengulurkan tangannya saat Akara sudah berdiri tepat di tengah altar. Cahaya kembali muncul dari ukiran sajak pada altar, membuat anak kecil itu tersenyum lebar. Akan tetapi, takdir berkata lain, cahaya pada altar kembali padam. Anak itu sontak tercengang, mematung memandangi keadaannya yang begitu memilukan. Aura ranah yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang, namun tidak bisa dimiliki olehnya.
"Paman, kenapa seperti ini lagi!?" Anak itu langsung berteriak kesal, tangannya mengepal erat hingga terlihat gemetaran. Suasana saat itu langsung sunyi, anak-anak lainnya juga merasa bingung dengan apa yang terjadi. Tidak ada yang menyadari sama sekali bahwa langit kala itu berubah menjadi gelap karena mendung.
"Maaf, sepertinya kamu tidak memiliki bakat sama sekali," ujar pria penguji, tersirat rasa penyesalan pada wajah paruh bayanya.
"Bakat apa!?" Akara berteriak sangat keras dan mulai meneteskan air mata.
"Aku akan menjadi master Aura terkuat! Apa-apaan dengan benda rusak ini!?" lanjutnya.
"Semangatmu memang bagus nak, tapi bakatmu sudah ditentukan oleh takdir. Tidak bisa diubah lagi." Pria penguji perlahan mendekati Akara yang sedang menangis dan mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala anak kecil itu.
Plakk!!
Dengan sekuat tenaga, ia menepis tangan pria paruh baya itu dan sontak membuat semua orang terkejut. Tatapan matanya yang tajam karena kesal, kini terhentak seakan ada yang menusuk tubuhnya, ia melihat ke arah anak-anak lain yang tengah merasa kasihan kepadanya. Anak-anak itu mengernyitkan dahinya, mengasihani dirinya akan bakatnya.
"Persetan dengan bakat! Persetan dengan takdir! Gelar master Aura terkuat akan aku miliki bagaimanapun caranya! Semua itu bukan karena bakat, tapi dengan kerja keras dan kepintaranku!" Akara berteriak dengan lantang, lalu mengangkat pedang di tangan kanannya ke arah anak-anak lainnya. Tangisannya mereda, dan tangan kirinya kini mengusap sisa air mata yang mengalir di pipinya.
"Kalian yang dianggap jenius berbakat, akan aku buat tidak berkutik melawanku! Akan aku buat takdirku sendiri! Walaupun harus melawan Dewa sekalipun, pasti akan aku lakukan dan akan aku lampaui!" teriaknya lagi, lalu berjalan pergi meninggalkan altar batu. Tatapan mata yang tajam terus melihat ke depan, tanpa memperhatikan pandangan anak-anak lainnya.
Semuanya benar-benar sunyi kala itu, tidak ada yang mengeluarkan suara sama sekali selain langkah kakinya. Langkah kaki yang mantap terdengar sangat jelas, namun kemudian terdengar lebih cepat saat ia berlari meninggalkan akademi. Kepergiannya dibarengi oleh turunnya hujan yang begitu lebat dan juga petir yang menyambar-nyambar
...
Sungai Oll
Sungai selebar puluhan meter yang bersanding dengan pegunungan Vodor. Akan tetapi, keduanya saling menjauh karena adanya kota Oll Hilir. Kota ini berada di tengah-tengah Sungai besar Oll dan pegunungan Vodor yang begitu tinggi.
Masih dengan muka yang kesal, Akara memasuki hutan dan berjalan di pinggir sungai Oll. Pepohonan dan tanah sudah begitu basah, terguyur hujan yang kini sudah mulai terang. Tubuh anak kecil itu juga sudah basah, ia terus berjalan tanpa memperhatikan sekitar, seolah-olah tanpa tujuan, namun akhirnya ia tersadar saat melihat seseorang berjalan di atas tebing.
Tebing dengan tinggi belasan meter, tepat di sisi sungai, ada seorang wanita dengan gaun merah muda dan mengenakan topeng berbentuk wajah laki-laki dengan kumis. Walau sekelilingnya telah basah karena terguyur hujan, gaunnya masih kering dan merumbai indah karena tersapu angin. Ia berjalan begitu anggun di atas tebing, seolah meniti sebuah tali, ia merentangkan kedua tangannya untuk menjaga keseimbangan.
"Woi! Bahaya!" Akara sontak panik saat wanita itu terus berjalan walau hampir mencapai ujung tebing. Benar saja, wanita itu terus berjalan hingga terjatuh dari tebing. Posisi jatuhnya tetap berdiri tegap, meluncur menuju sungai di bawahnya.
Akara tambah panik, ia langsung melompat begitu mencapai tempat paling dekat. Setelah anak itu menceburkan diri, wanita tadi terjatuh sangat kuat hingga menyebabkan ombak di sungai. Walau arusnya cukup tenang, tapi Akara tetap kesulitan berenang saat tersapu oleh ombak dari jatuhnya wanita tadi.
Karena terus terdorong ombak, ia menarik napas panjang, kemudian menyelam ke Dalam air. Ia membuka matanya di Dalam air, dan melihat wanita tadi yang terlihat tidak bisa berenang dan panik karena tenggelam. Tanpa basa-basi, ia langsung berenang ke arahnya, lalu mengambil udara lagi sebelum menyelam dan meraih tangannya.
Setelah berhasil meraih tangan wanita itu, ia langsung berenang ke permukaan. Tubuhnya ditarik ke pinggir sungai sebelum ia tersungkur, lalu membalikkan badannya. Keduanya terengah-engah kehabisan napas dengan tubuh basah kuyup. Setelah beberapa detik, ia berusaha duduk dan menatap wanita itu dengan kesal. Gaun merah muda yang ia kenakan, kini melekat pada tubuhnya karena basah, memperlihatkan lekukan indah tubuhnya yang ramping dengan buah dada sedang, namun setengah bulat sempurna.
"Apa yang kau lakukan!?" teriaknya tepat di depan muka wanita bertopeng.
"Jatuh," ujar wanita bertopeng dengan masih terengah-engah. Suara seorang gadis yang begitu lembut terdengar sangat indah walau hanya satu patah kata.
"Kalau itu aku juga sudah tau! Kenapa bisa jatuh!"
"Jatuh, karena berjalan di atas tebing," jawabnya seakan-akan tanpa beban, membuat Akara semakin kesal.
"Akkhhh!!" Akara berteriak sangat kesal, lalu terhentak kaget, meraih punggungnya saat menyadari pedang kayu miliknya telah hilang.
"Pedangku!?" Ia langsung berdiri dan mengamati ke segala penjuru, namun masih saja tidak menemukan pedangnya.
Setelah itu ia terdiam, pandangannya tertuju pada sungai di depannya. Tanpa basa-basi, ia langsung melompat kembali ke sungai. Setelah mengambil napas panjang, ia menyelam lagi ke Dalam sungai.
Wanita bertopeng tadi sekarang duduk, mengamati air bergelombang yang mulai tenang kembali. Tidak lama kemudian anak itu muncul ke permukaan, menghirup udara segar sambil berenang ke pinggiran.
"Dapat?" ujar wanita bertopeng, padahal jelas-jelas anak itu kembali dengan tangan kosong.
"Dapat dilihat bukan!?" jawabnya dengan berteriak sambil menatapnya dengan kesal.
"Ohh… Siapa namamu?"
"Akara," jawabnya dengan suara lebih tenang, namun raut mukanya masih kesal.
"Akara? Kalau aku panggil saja Si Cantik," ujar wanita bertopeng sambil menunjuk kedua pipinya dengan begitu imut.
"Tidak ada yang nanya! Cantik dari mana? Topeng jelek begitu," ujar Akara sambil menunjuk ke arah muka wanita bertopeng.
"Aku cantik!"
"Jelek!"
"Cantik!" Wanita bertopeng yang tadinya cuek, ternyata berperilaku sangat menyebalkan hingga beradu mulut dengan anak kecil.
Karena terlampau kesal, Akara dengan cepat menarik topengnya: "Jele..?" Ia terdiam sesaat begitu melihat wajahnya.
Wajah seorang gadis berusia 17 tahunan dengan wajah tirus, sorot mata yang terang dengan pupil berwarna hitam dengan garis-garis merah muda, lalu senyuman manis di bibir merah mudanya. Rambut hitam panjangnya yang lurus, terlihat begitu kontras dengan kulitnya yang putih bersih seperti mutiara. Dengan cepat gadis itu mengenakan kembali topengnya, sedangkan Akara malah berteriak.
"Jelek! Week!" teriaknya sambil menjulurkan lidah.
"Hahaha, lihat sepuluh tahun lagi!" ujar gadis tadi dengan suara begitu lembut. Ia berusaha berdiri, lalu mengulurkan tangan kanannya ke arah Akara, dan tiba-tiba saja muncul dua bilah pedang kayu.
"Ambil pedangku," lanjutnya, lalu muncul kilatan listrik berwarna merah muda di sekujur tubuhnya, yang tak lama kemudian membuat dirinya menghilang.
"Wahh keren!" seru Akara kagum melihat kepergiannya, lalu meraih kedua bilah pedang kayu yang terjatuh di depannya.
"Ini, ini pedangku!" teriaknya, namun kemudian menyadari sesuatu yang aneh dan mengayunkannya.
"Bukan pedangku, tapi." Anak itu mengamati bilahnya, lalu mengayunkannya kembali dengan begitu luwes.
"Perasaan yang sama." Ia masih merasa heran dengan pedang yang diberikan gadis bertopeng, karena perasaan yang sama dengan pedang lamanya.
…
Saat Akara tertidur, mamanya melihat ke arah dua bilah pedang kayu yang anaknya taruh di ujung ruangan. dalam pandangannya, dua bilah pedang kayu tadi diselimuti oleh kilatan listrik berwarna merah muda. Saat ingin menyentuhnya, tiba-tiba saja kilatan listrik cukup besar menyambar tangannya.
"Posesif sekali hihihi," ujarnya sambil tertawa kecil, lalu meninggalkannya begitu saja.
...
Hari selanjutnya
Akara datang ke akademi, walau dirinya telah gagal memadatkan aura ranahnya, dan gagal diterima sebagai murid akademi. Akan tetapi, dengan penuh percaya diri, ia menenteng kedua bilah pedang kayu miliknya. Anak kecil itu berbaur dengan anak-anak lainnya, namun ternyata ada yang mengenalinya saat sampai di lapangan utama.
"Lihat! Itu dia sampah yang bahkan tidak dapat memadatkan auranya." Seorang anak laki-laki seumurannya menunjuk ke arahnya, memberitahukan kepada anak-anak yang umurnya lebih tua dari mereka.
Semua pandangan seketika mengarah kepada Akara, waktu terasa terhenti dari sudut pandang anak kecil itu. Semua tatapan mata yang mengasihani, juga merendahkannya terasa amat mencekam.
Saat waktu terasa berjalan kembali, kini terdengar suara tawa, dan bisik-bisik yang sedang membicarakannya.
"Hahaha malang sekali, hidup apa yang akan ia jalani tanpa aura energi,"
"Tentu saja hidupnya tidak akan lama,"
"Memang sudah ditakdirkan sebagai sampah seumur hidupnya,"
Dengan tatapan tajam, Akara menengok ke arah mereka hingga cukup membuat terkejut. Setelah itu, ia melanjutkan berjalan kembali, namun ada sekelompok siswa yang menghalangi jalannya. Mereka berlima, empat orang laki-laki dan satu perempuan yang membawakan tas mereka. Gadis kecil itu bernama Kana, yang juga dari keluarga Beton.
"Ehh mau ke mana?" Salah satu laki-laki yang bernama Cor Beton, tuan muda keluarga Beton cabang kota Biru.
"Master Aura terkuat," lanjutnya, diikuti gelak tawa ketiga temannya, sedangkan Kana yang menjadi pesuruh mereka hanya bisa menunduk.
"Hahaha, master Aura terkuat katanya!"
"Seekor semut ingin menjadi naga,"
Tanpa basa-basi, Akara melempar kedua pedang kayunya di udara, lalu mendaratkan pukulan tepat di hidung Cor Beton.
Buggh!!
"Akgg!"
Pukulan yang cukup kuat hingga membuat Cor Beton terdorong ke belakang, lalu darah mengalir dari hidungnya.
"Berisik kalian! Kalianlah yang sampah hanya bisa banyak bicara!" teriaknya sambil mengulurkan tangannya ke depan, lalu kedua pedangnya dengan tepat jatuh di genggamannya.
"Tuan Cor Beton!" Ketiga anak laki-laki di belakangnya panik dan segera membantu tuannya yang telah dipukul.
Setelah mengusap darah di hidungnya, Cor Beton mengeluarkan aura ranahnya. Aura 5 bintang energi muncul di belakang pundaknya dibarengi hentakan energi.
"Beraninya menyerang tuan muda keluarga Beton!"
Akara menyilangkan tangannya ke depan, untuk menahan hentakan energi dari Cor Beton. Sesaat kemudian ia membuka kembali tangannya, seketika terkejut dan melompat ke samping, tapi Cor Beton langsung melakukan tendangan memutar. Tendangan mengenai perutnya hingga membuatnya terhempas beberapa meter ke belakang.
"Akhh!" Akara mengerang kesakitan, meringkuk sambil memegangi perutnya.
Melihat lawannya tak berdaya, Cor Beton dengan cepat mendekat dan berteriak. "Sampah sialan!"
"Tuan sudah, hentikan!" Kana, gadis kecil yang menjadi pesuruh mereka, tidak disangka malah menghentikan tuannya yang ingin memukuli Akara. Ia memegangi lengan Cor Beton, tapi langsung didorong hingga jatuh.
"Dasar sampah! Ternyata saling peduli antar sampah!" teriak Cor Beton kepada Kana yang juga memiliki bakat buruk dan hanya menyalakan 1 aura bintang. Tuan muda menoleh kembali ke arah Akara, tapi bocah itu sudah berlari menjauh.
"Jangan sampai jatuh ya, sampah sepertimu tidak mungkin dibandingkan dengan tuan muda ini!" teriak Cor Beton saat Akara mulai menjauh darinya, setelah itu ia tertawa dengan puas.
Akara ternyata tidak langsung pulang ke rumahnya, ia berjalan menuju hutan yang sebelumnya ia lalui. Sungai besar yang ada di dalam hutan dengan nuansa tenang dan nyaman.
Gadis bertopeng ternyata masih di sana, ia mengamati Akara dari atas dahan pohon. Tangannya yang tengah menjulur ke arah Akara, kini mengepal dengan erat. Ia ingin mendekat saat melihat bekas luka di mukanya, namun segera ia urungkan niatnya. Kuku di jarinya yang lentik, bahkan melukai telapak tangan rampingnya.
Saat Akara duduk di tepian sungai, gadis bertopeng itu barulah mendekatinya. Cara turunnya seakan terbang dengan begitu anggun, melebarkan gaun merah mudanya dan memperlihatkan kulit putih mulusnya.
"Ada apa dengan wajahmu?" sapa sang gadis sambil duduk di samping Akara.
"Bukan urusanmu," jawabnya cuek, tanpa menoleh.
"Kenapa masih di sini?" lanjutnya sambil menoleh sekilas.
Gadis bertopeng tidak menjawabnya, namun malah mengeluarkan sebutir pil dari cincin penyimpanannya.
"Nih!" Ia raih tangan Akara dan ditaruhnya di telapak tangannya.
"Apa ini?"
"Pil penyembuhan, makanlah dan bekas luka itu akan langsung menghilang,"
"Aku kembalikan," tolak Akara sambil mengulurkan kembali pil di telapak tangannya.
"Dengarkan ya!" Gadis bertopeng kini berbicara dengan geram.
"Wajah itu aset yang berharga, juga bukan milikmu sendiri. Itu akan menjadi milik para gadis yang menjadi pasanganmu. Jangan sampai ada bekas luka, paham!?"
Tanpa menjawabnya, Akara langsung memakan pil penyembuhan itu. Bekas luka di wajahnya perlahan-lahan mengecil, dan tidak lama kemudian hilang tanpa bekas. Kulitnya kembali seperti semula, seolah-olah tidak pernah terdapat luka.
"Tadi kalah apa menang?" ujar gadis bertopeng sambil mengayunkan kakinya di permukaan air sungai. Lagi-lagi tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Akara.
"Ahh membosankan, nanti mana ada gadis lain yang suka denganmu selain aku," ujar gadis bertopeng sambil menundukkan kepalanya dan menengok ke arah Akara.
"Ajari aku teknik bela diri!" Akara menoleh, lalu menatapnya dengan serius.
"Tolong?" ujar gadis bertopeng dengan riang.
"To, tolong!" teriak Akara terbata karena terpaksa.
Kini keduanya terdiam, saling menatap tanpa ada pergerakan sedikitpun. Lama-lama Akara mulai kesal, hingga matanya mulai melotot.
"Baiklah," jawab sang gadis sambil berdiri tegap kembali, membuat ekspresi wajah Akara berubah 180 derajat.
"Benarkah!?" serunya dengan begitu gembira.
"Akan aku berikan sebuah teknik latihan ranah, namun dengan syarat,"
"Apa syaratnya!? Akan aku lakukan!" Akara sontak kegirangan dan tanpa pikir panjang mengiyakan, sebelum gadis itu memberikan syaratnya.
"Dalam satu minggu ini, jangan sampai ada luka sedikitpun di tubuhmu. Kalaupun kamu bertengkar, harus menang tanpa ada luka,"
"Satu minggu!? Itu terlalu lama!" teriak Akara sampai-sampai terlihat ingin menangis.
"Kalau tidak mau yaudah." Gadis itu menggoda Akara, dengan mengeluarkan dua buah gulungan kertas, lalu digoyang-goyangkan.
"Aku lakukan!" teriak Akara tanpa basa-basi dan langsung berjalan pergi.
"Mau ke mana?" Gadis itu tiba-tiba berada di depan Akara dan menghalanginya untuk pergi.
"Pulang!" seru Akara, kemudian berjalan menghindarinya.
Saat Akara melewatinya, tiba-tiba gadis itu berbalik dan meraih pedang di punggung Akara.
"Apa yang kau lakukan!?" Akara sontak berbalik dan menerjang untuk mengambil kembali pedangnya.
Gadis tadi menghindar hanya dengan satu lompatan kecil ke belakang, namun menyebabkan tubuhnya melayang. Dia terlihat seakan lebih ringan dari bulu yang tertiup angin. Gaun merah mudanya berayun bebas saat angin menerpanya dari belakang, begitu juga rambut hitamnya yang terkadang sampai menutupi topengnya.
"Cewek jelek, kembalikan!" teriak Akara, berusaha berlari mengejarnya.
"Kalau tidak mau memanggilku cantik, panggil pakai namaku!" Ia mencopot topengnya perlahan, memperlihatkan wajah cantiknya, sambil tetap melayang ke belakang.
"Namaku Lisa!" lanjutnya sambil menunjuk ke arah alis, kini bibir manisnya tersenyum lebar hingga membuat matanya menyipit.
"Lisa jelek!" teriak Akara, namun gadis itu hanya tersenyum, lalu memasang kembali topengnya dan melayang membelakangi Akara.
"Kejar aku!" Lisa melayang ke arah lebatnya pepohonan di hutan, menjauh dari sungai, membawa kabur pedang kayu milik anak kecil itu.
"Berhenti! Kembalikan!"
"Awas kepala." Lisa menarik ranting pohon, lalu melepaskannya hingga terhempas ke arah Akara.
Plakk!!
Seperti tamparan keras, ranting pohon tadi mengenai wajah anak kecil itu hingga hampir terjatuh.
"Awas kau!" Akara terus berlari, walau wajahnya ada bekas memerah seperti distempel oleh ranting pohon.
"Wajahmu terluka lho, masih ingat perjanjian kita tadi?" Lisa berbalik badan dan menggoda Akara.
"Itu ulahmu!" teriak Akara membuat Lisa tertawa puas.
Gadis itu masih dalam keadaan terbang mundur, hingga tidak memperhatikan bahwa ada ranting pohon di arahnya terbang.
"Perhatikan depan!" Akara berteriak panik dan mempercepat larinya.
"Ada apa?" Lisa dengan santainya berbalik badan, namun ranting pohon sudah tepat di depannya.
Brukkk!!
Akara tersungkur ke tanah karena melompat ingin menolong Lisa, namun ternyata gadis itu sudah berhenti tepat di depan ranting. Wajahnya hanya berjarak beberapa centimeter saja dari ranting, lalu beberapa saat kemudian ia turun.
"Sakit?" Lisa cukup khawatir, dapat dilihat dari caranya mengulurkan tangan kepada Akara.
"Kamu tidak apa-apa?" Akara berbalik badan, memperlihatkan luka lebam di dagunya karena terbentur tanah.
"Hahaha, kamu yang jatuh kenapa malah bertanya kepadaku?" Lisa kini terbang mengitari anak kecil yang sedang duduk di rerumputan, memperhatikan luka di tubuhnya.
"Kamu bilang wajah itu aset yang berharga? Berhati-hatilah, jangan sampai melukai wajahmu," ucap Akara dengan tenang, membalikkan kata-kata yang sebelumnya Lisa katakan kepadanya.
"Hahaha, pintar bicara." Lisa terbang semakin tinggi, hingga mencapai ranting yang sebelumnya hampir ia tabrak dan duduk di sana.
"Sudah tidak ingin mengambil ini kah?" Lisa menunjukkan kedua pedang kayu milik Akara, lalu digoyang-goyangkan lagi.
Akara tidak menjawabnya, kemudian berdiri dan berusaha memanjat pohon. Pada kesempatan pertamanya, ia langsung terjatuh dan membuat Lisa menertawakannya. Akara terus mencoba memanjat hingga beberapa kali terjatuh, namun akhirnya berhasil. Walaupun begitu, ia langsung kaget ketika Lisa sudah tidak ada di sana.
"Lambat." Lisa menjulurkan lidahnya, ia sudah terbang menjauh meninggalkan Akara.
"Licik!" Akara bergegas turun, hingga membuatnya merosot dan lengannya terparut oleh kulit pohon.
Anak kecil itu terus mengejarnya, bahkan sampai terperosok ke dalam lubang dan dilempari sarang lebah oleh Lisa. Gadis cantik itu terus mengusilinya dan tertawa jika berhasil mengenai Akara.
Saat matahari sudah tepat berada di atas ubun-ubun, Akara keluar dari hutan dan muncul di pinggir sungai. Di sana sudah ada Lisa yang tadi meninggalkannya. Kondisi Akara saat ini sudah sangat berantakan, tubuh serta pakaiannya kotor, lalu luka di lengannya dan benjolan di muka akibat sengatan lebah. Wajah Akara terlihat lucu, karena pipi dan bibirnya yang membengkak, membuat Lisa tak kuasa menahan tawanya.
…
Hari selanjutnya, Akara kembali menemui Lisa di tempat yang sama, gadis itu masih ada di sana dan sedang duduk di atas tebing. Melihat kedatangan Akara, ia langsung tersenyum dan memakai kembali topengnya.
Akara mengernyitkan dahinya ketika melihat Lisa yang sedang berada di atas tebing, mengingat kembali pertemuan pertama mereka. Akan tetapi, tiba-tiba saja Lisa menghilang begitu saja.
"Dapat!" Lisa ternyata sudah berada di belakang Akara, dan mengambil kedua pedangnya.
"Kejar aku!" Lisa kembali terbang ke arah hutan, namun Akara mengabaikannya dan duduk di pinggir sungai. Anak kecil itu begitu murung, menekuk kakinya dan ia gunakan sebagai sandaran kepala.
Karena Akara tidak mengejarnya, Lisa menatapnya sesaat, namun kemudian menjentikkan jarinya. Aliran listrik kecil muncul dari jentikan jarinya dan menjalar, mengarah ke tubuh Akara.
"Ahh!" Akara terkejut, hingga melompat ke dalam sungai, sedangkan Lisa tertawa begitu puas.
"Kenapa!?" teriak Akara sambil berusaha naik ke daratan.
"Kejar aku atau perjanjian kita batal!" seru Lisa yang langsung terbang ke hutan, tanpa menunggu jawaban dari Akara.
Akara segera bergegas mengejarnya, menyusuri hutan yang begitu lebat. Kembali tingkah jahil dari Lisa muncul, ia melentingkan dan menjatuhkan ranting pohon ke arah Akara. Setelah itu membuat Akara terperosok ke dalam lubang dan memancing amarah seekor gajah agar mengejar Akara.
Kegiatan itu terus berulang-ulang hingga beberapa hari. Akara yang tadinya nampak begitu kikuk saat melewati hutan, kini dapat melewatinya dengan begitu lincah. Melompati akar dan batang pohon yang tumbang, lalu mengindari ranting dengan begitu mudah.
Pada hari ketujuh saat Akara ingin menuju tempat biasanya, ia bertemu dengan tuan muda Cor Beton, ketiga kawannya dan juga Kana.
"Si sampah!"
"Pecundang yang kabur itu!"
"Hahaha." Mereka menghalangi jalan Akara dan mengejeknya, diikuti gelak tawa.
Akara kesal, mengepalkan tangannya dengan begitu kuat, namun tiba-tiba terbelalak.
"Satu, dua…" Akara tiba-tiba menghitung jarinya, lalu Cor Beton mendekatinya.
"Kenapa? Kita ada 4 orang, tapi aku saja sudah cukup untuk menghajarmu,"
"Ehh 7!?" Akara mengabaikan Cor Beton dan panik begitu mengetahui ini hari ketujuh.
"Beraninya kau mengabaikan aku!" Cor Beton sontak kesal, namun tiba-tiba saja Akara berlari mengindarinya.
"Hahaha pengecut itu lari ketakutan melihat tuan Cor Beton!" seru salah satu bawahan Cor Beton.
"Hahaha kejar dia!" Cor Beton merasa sombong dan mengejar Akara bersama bawahannya.
Menyadari ada yang mengejarnya, ia terkekeh, kemudian berlari ke arah hutan. Karena sudah terbiasa dan hafal medannya, ia dengan mudah meninggalkan mereka cukup jauh.
"Ke mana anak itu?!" ujar Cor beton kepada bawahannya begitu keberadaan Akara tidak dapat ia temukan.
"Dia, sangat cepat, sekali, kaburnya." Salah satu bawahannya kelelahan hingga kesulitan mengatur napas.
Kretak!!
"Siapa!?" Cor beton langsung terperanjat begitu mendengar suara ranting patah.
"Mungkin itu Akara, tuan!" seru bawahannya yang segera berlari ke arah datangnya suara.
Srakk!!
Dibukanya semak-semak yang dituju, namun tidak ada apapun.
Kretak! Srak srak stak!
Suara ranting patah dan gesekan dedaunan semak-semak semakin gencar terdengar. Cor beton dan ketiga bawahannya langsung berkumpul, saling membelakangi untuk mengawasi setiap sisi. Mereka serempak mengeluarkan aura ranahnya, Cor beton 5 bintang energi, sedangkan 2 bawahannya di 3 bintang dan satu orang 4 bintang. Pedang besi yang mereka gunakan mengacung, menghadap ke depan dengan kedua tangan yang memegangnya.
Sreet! Sting!
Cor beton menangkis sesuatu yang melesat ke arahnya menggunakan pedang.
"Keluarlah pengecut!" teriaknya.
Sting! Sting! Cring!
Ada lagi batu yang dilemparkan dari berbagai sisi dan mereka tangkis dan tebas.
Ting! Ting ting cring!
Lemparan batu kini dari satu arah, mengarah kepada salah satu bawahan Cor beton.
"Kejar!" teriak Cor beton begitu mengetahui lokasi Akara.
Ketiga bawahannya bergegas melesat ke arah semak-semak di mana lemparan batu berasal.
"Hehe." Akara melesat dari sisi yang berlawanan ke arah Cor beton, hingga membuat tuan muda itu terkejut.
Reflek Cor beton mengayunkan pedangnya, hingga memaksa Akara untuk menangkisnya. Kedua pedangnya digunakan untuk menangkis, lalu melancarkan tendangan pada perut samping tuan muda itu.
Buggh!
Tendangan cukup kuat hingga membuat dirinya sendiri terdorong ke belakang, lalu melesat lagi masuk ke dalam semak-semak.
"Akg!?"
Tring!!
Akara terkejut saat mendapati ada seseorang di dalam semak-semak, ia langsung mengayunkan pedangnya. Akan tetapi, ada seorang pria berumur tiga puluh tahunan yang langsung mendorongnya, hingga meluncur ke arah tuan muda Beton yang langsung ingin memukulnya. Namun, Akara dengan sigap menghindar dan langsung berlari menjauh.
"Cuih! Membawa pengawal!"
"Hahaha, kau kira aku siapa!? Tidak mungkin tuan muda sepertiku pergi tanpa pengawal, kejar!" Cor beton ingin mengejarnya, tapi segera dihentikan pelayan tua.
"Tuan muda, berbahaya di dalam hutan, lebih baik biarkan saja dia diserang monster!"
…
Terlihat di pinggir sungai, gaun merah muda lembut yang tertiup angin begitu indah. Gadis bertopeng aneh langsung menoleh begitu menyadari kedatangan Akara dan langsung berkata.
"Keluarga beton?" Lisa tiba-tiba menunduk di depan wajahnya, membuat Akara cukup terkejut. Gadis bertopeng itu mengangkat kepalanya kembali, lalu melebarkan kedua telapak tangannya. Muncul dua buah gulungan kertas dari dalam cincin penyimpanannya.
"Ini hari ketujuh perjanjian kita, ini mudah," ujarnya sambil memajukan gulungan kertas di kiri lalu kanan. "Ini sulit,"
Akara langsung meraih gulungan di tangan kanannya, gulungan yang sulit, namun gadis itu tidak melepaskannya begitu saja.
"Tidak hanya sulit, tapi sangat menyakitkan. Bisa berkembang dengan pesat, namun juga bisa membuat kemacetan ranah, bahkan kematian. Masih yakin?"
"Tidak perlu ditanyakan lagi!" seru Akara, lalu gadis bertopeng menjentikkan jarinya.
Muncul penghalang energi berbentuk kubah yang amat besar mengelilingi mereka. Ukurannya yang amat besar bahkan dapat dilihat dari rumah Akara dan mamanya hanya tersenyum melihatnya.
"Apa itu!?" Akara cukup terkejut, namun juga kagum memandangi kubah penghalang yang menyelimuti mereka.
"Hanya pelindung, agar tidak ada yang mengganggu, bahkan monster sekuat apapun tidak bisa menembusnya," ujar Lisa sambil membuka gulungan yang telah dipilih oleh anak kecil itu.
Cetak..
Ia menjentikkan jarinya lagi dan listrik merah muda menyambar tanah di sekitar mereka. Sambaran listrik membentuk sajak seperti pada altar, namun jauh lebih besar dan lebih rumit. Akara hanya bisa kagum melihat semua itu tanpa berkata sepatah katapun.
"Berdirilah dengan tenang di atasnya, persiapkan dirimu dengan rasa sakit yang sangat luar biasa," ujar Lisa sambil melemparkan gulungan kertas ke udara hingga membuatnya melayang.
"Em!" Akara hanya mengangguk dengan yakin, menunggu sang gadis bertopeng memulai ritualnya.
Lisa mengangkat tangan kanannya, lalu muncul lingkaran sihir dengan sajak rumit di udara. Lingkaran sihir berwarna merah muda dengan petir yang menyambar-nyambar.
"Aku mulai!" serunya, lalu diayunkan tangan kanan tadi mengarah kepada Akara. Hal itu dibarengi oleh sambaran petir dari segala sudut lingkaran sihir, semuanya berpusat pada tubuh Akara.
"Akhhh!" Akara sontak berteriak kesakitan begitu petir mengenai tubuhnya.
Melihat Akara kesakitan, Lisa nampak ragu untuk melanjutkannya. Tangan kirinya menggenggam erat, seperti merasakan sakit yang sama dengannya.
"Lanjutkan saja!" seru Akara setelah melihat keraguan pada Lisa.
Perlahan ia melemaskan genggamannya dan mulai melanjutkan ritual. Bocah itu kini tidak sadarkan diri, lalu sesuatu muncul dari tubuhnya, 2 buah energi berbentuk infinite berwarna merah dan biru terang. Energi yang membawa hawa sangat dingin berwarna biru, lalu hawa sangat panas berwarna merah. Energi dinginnya bahkan sampai membekukan aliran sungai, lalu energi panasnya membakar pepohonan yang ada di hutan.
Mamanya Akara yang tadi hanya menonton dari rumah, kini telah berada di atas kubah penghalang. Ia melayang di udara tanpa menggunakan sayap atau alat apapun.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
