
Axel telah melamar Mochi, kekasih di masa SMA yang sempat putus sebelas tahun lamanya dengan cowok itu. Sekarang, saat mereka sudah kembali bersama, Mochi mengajak Axel mengunjungi Harvard—tempat mereka dulu berjanji untuk kuliah bersama. Di bawah kabut syahdu yang menyelubungi kota Boston, Axel dan Mochi berbicara dan bercanda. Sesekali, mereka berdua juga bertukar sebuah ciuman mesra.
Saat Axelle Toussaint Junior memandang gadis itu, tak terpikir bahwa sosok tinggi, ramping, dan sangat menawan Mochi akan kembali dalam hidupnya. Axel adalah seorang tuan muda. Putra tunggal dari pemilik salah satu jaringan hotel terbesar di dunia, Patricia Royal Inn Worldwide Inc. Dan dia telah dijodohkan dengan banyak perempuan berpengaruh, seperti anak Presiden Prancis, putri seorang Earl dari Inggris, putri politisi Gedung Putih, dan lain-lain. Namun, tidak ada yang bisa mempengaruhinya seperti Mochi.
Nama gadis itu sebetulnya adalah Moira Lucy Joesoef Wijaya. Tapi, tubuhnya yang dulu gempal ditambah kulitnya putih seperti susu, membuat semua orang memanggilnya Mochi. Seperti kue yang empuk, kenyal, dan manis. Pas sekali menggambarkan dia waktu itu.
Mochi.
Entah berapa juta kali Axel memanggil namanya tanpa sadar, in the back of his mind—dalam pikiran. Axel memandangi perempuan itu sembari tersenyum. Mochi. Pacar pertamanya.
Bukan.
Hanya dia yang pernah menjalin hubungan dengan Axel. Sekaligus cinta satu-satunya dalam hampir tiga puluh tahun hidup Axel.
"I need you to find me his student identity—aku mau Anda temukan kartu mahasiswanya." Mochi mulai ngotot karena para petugas di bagian administrasi Harvard ini tidak begitu membantu hari ini. "Dia diterima di kampus ini sebelas tahun lalu dan dia udah bayar semua biaya yang dibutuhkan. Seharusnya ada, dong?!"
Axel tersenyum. Sudahkah dia bilang kalau Mochi semakin manis saat marah?
Lelaki itu akhirnya maju ke depan.
Mereka berdua sedang berada di Boston, Massachusetts. Mochi bilang, dia ingin mendapatkan kartu mahasiswa Axel dari Harvard, karena dulu mereka pernah berjanji untuk kuliah bersama di sini selepas SMA. Dan Axel tahu gadis itu tidak akan berhenti apabila dia belum mendapatkan apa yang dia inginkan.
"Ma Copine—Pacarku." Axel meraih pinggang Mochi dan berbisik mesra. "Di luar, cuaca sedang bagus. Kamu nggak ingin ajak aku jalan-jalan keliling kampus kamu?"
"Kampus kita." Mochi membetulkan dengan tidak terima. Lalu, wanita itu memberengut. "Kalau aja kamu nggak memilih untuk pergi ke Cambridge."
Axel terkekeh pelan. Dengan sebelah tangan, lelaki itu membelai rambut panjang Mochi dengan penuh kasih sayang. "Aku akan ceritakan semuanya sambil kita jalan. Hmm? Gimana menurut kamu?"
Mochi melirik Mrs. Stanley, si petugas administrasi. Si wanita paruh baya berambut merah yang gampang marah itu balas memandang Mochi tak kalah tajam. Mochi menghela napas. Sungguh. Melawan Mrs. Stanley benar-benar menghabiskan tenaga.
"Temukan—" Mochi menyipitkan mata pada Mrs. Stanley, tetapi Axel berdeham pelan. "Udah, Sayang."
Perempuan itu kemudian melirik jendela-jendela besar di sisi lain ruangan. Boston sedang hujan gerimis. Tapi, dia memang berhutang mengajak Axel jalan-jalan keliling kampus. Jadi, asal bukan badai dan topan, Mochi tetap ingin menuntaskan janjinya.
"Aku ambil payung dulu, ya? Kamu di sini aja. Jangan ke mana-mana." Gadis itu berpesan pada Axel sebelum melangkah pergi.
Axel tersenyum. "Oui—ya. Aku akan menunggu kamu di sini."
Mochi memandang langit di luar sana sekali lagi, kemudian berganti memandang Axel. "Jangan melangkah ke mana-mana sedikit pun."
"Aku nggak akan berani." Axel berkata sungguh-sungguh sambil mengangkat kedua tangannya.
Mochi mengulum senyum. Kemudian, ia mengangguk dan mulai berlari keluar ruangan.
Axel memandangi figur Mochi dari belakang. Lelaki itu pun heran. Kenapa semua tentang Mochi sempurna? Mulai dari kibaran rambutnya yang hitam dan berkilauan, sampai cara berlarinya yang sekarang sudah mendekati pelari profesional karena dilatih sejak SMA. Tubuh wanita itu berbentuk seperti hourglass. Ramping di bagian pinggang—bagian favorit Axel untuk meletakkan tangannya di saat mereka sedang bersama.
Setelah Mochi menghilang di balik pintu yang tertutup, Axel terdiam sejenak. Kemudian, lelaki itu berbalik dan menatap Mrs. Stanley dengan tatapan hangat disertai seulas senyuman manis.
"Mrs. Stanley, you look beautiful today—kau terlihat cantik hari ini." Axel berkata.
Sungguh. Hanya dengan satu kalimat itu, seluruh kemarahan yang tadinya nampak di wajah bulat Mrs. Stanley kini hilang seketika. "R-Really?—B-Benarkah?"
Axel tersenyum manis. Salah satu tangannya merogoh kantong coat yang masih ia pakai. Lalu, sebuah cokelat dia ulurkan pada Mrs. Stanley. "Cokelat rasa stroberi. Cocok untuk wanita dewasa yang manis dan segar seperti Anda."
Mrs. Stanley tidak bisa tidak tersenyum.
"Apakah kau butuh bantuan akan sesuatu hal akhir-akhir ini?" Axel kemudian bertanya dengan nada penuh keprihatinan. "Kulitmu yang halus agak sedikit berkerut di jidat. Aku nggak ingin kecantikanmu yang luar biasa ini hilang. Apakah kau mau voucher untuk perawatan di salon paling mahal di New York?"
"Voucher?" Mrs. Stanley mengulang bingung.
Axel mengeluarkan ponselnya. "Aku akan mentransfer sejumlah uang untuk biaya perawatan kulit terbaik. Berikan aku nomor rekeningmu, Manis."
Mrs. Stanley menyebutkan sederetan angka tanpa sadar, seolah sedang dihipnotis.
Axel mengeluarkan ponselnya dan melakukan transaksi nyaris otomatis. Tahukah kalian? Bank-bank di Amerika Serikat itu masih ketinggalan jaman jika dibandingkan dengan bank Indonesia. Apalagi bila dibandingkan dengan fasilitas yang diberikan oleh WECB—Wijaya Enterprise Central Bank, bank keluarga milik keluarga besar Mochi.
"Lihat saldomu, Manis." Axel tersenyum.
Mrs. Stanley menurut. Wanita paruh baya itu membuka ponsel dan mendapati sebuah nominal yang sangat besar baginya telah masuk ke dalam rekeningnya. "A-Apa ini?"
"Bukan apa-apa. Hanya hadiah kecil." Axel tertawa. "Sekarang aku harap kau mau membantuku mendapatkan apa yang pacarku inginkan?"
Mrs. Stanley mengangguk cepat. "Ya. Aku akan mencetakkan kartu yang baru. Tunggu sebentar, Sayangku Yang Tampan."
Axel tersenyum melihat wanita itu bergegas dan melaksanakan semua perintahnya dengan begitu cekatan. Lelaki itu kemudian melirik pintu. Ia berharap, sebelum Mochi kembali, kartu mahasiswanya sudah di tangan.
***
Axel dan Mochi hari itu berjalan-jalan berdua di sekitar kampus. Rumput-rumputnya hijau menyegarkan. Kabut masih menutupi sebagian sudut kota—karena ini adalah bulan Februari. Tidak sebeku bulan-bulan sebelumnya, sih. Akan tetapi, cuaca tetap dingin.
Mochi merapatkan diri pada kekasihnya dan tersenyum. "Bagaimana caramu membujuk Mrs. Stanley? Dia udah ada di Harvard sejak sebelas tahun lalu dan aku nggak melihat ada orang yang bisa membujuk dia melakukan apa pun."
Axel tertawa. Lelaki itu berjalan sembari setengah memeluk sang kekasih. "Keajaiban sedikit cokelat rasa stroberi. Kamu mau?"
Mochi tidak terkejut saat melihat Axel mengeluarkan sekotak kecil cokelat Belgia andalannya.
"Hmm? Ya." Mochi meraih cokelat itu, lalu menyimpannya di dalam saku mantelnya sendiri.
Axel menaikkan kedua alis. "Nggak dimakan?"
"Nggak." Mochi menyeringai jahil. "Mau aku pajang aja."
Axel tergelak. Bukankah dunia betul-betul nggak adil? Bagaimana bisa kelucuan Mochi nggak habis-habis? Axel jadi dilanda keinginan untuk mencium dan me—
Tunggu dulu. Tidak boleh. Axel kan sudah berjanji pada papanya Mochi untuk tidak menyentuh gadis itu sebelum menikah. Dan astaga ... dia harus menunggu berapa lama lagi sekarang?
Axel melirik cincin pertunangan yang tersemat di jari Mochi dan bukannya merasa tenang, dia justru semakin tidak sabar. Percakapannya dengan Fabian Wijaya, Papa Mochi, minggu lalu, masih jelas tergambar dalam ingatannya.
Hari itu adalah hari Sabtu. Sama seperti kebanyakan pria yang mengapel pada malam minggu, Axel membawakan buah tangan sekotak cokelat andalannya, dari pabrik cokelat Belgia milik sang papa, untuk dipersembahkan pada keluarga Mochi. Mama Mochi sih tampak senang-senang saja dengan semua pemberian itu, tetapi papanya memberengut.
"Wah, ini yang udah lama Tante tunggu, Xel." Tante Canti berujar riang saat itu.
Di sisi lain, suaminya hanya menghela napas. "Kamu datang lagi kali ini. Terus, nanti kamu mau pergi lagi dan nyakitin hati putri saya, gitu?"
Errrr. Okay. Itu adalah serangan luar biasa di awal. Mereka baru bertemu lagi setelah sebelas tahun dan Om Fabian memutuskan bahwa itu adalah saat yang tepat untuk melepaskan serangan bom kepada Axel.
Well. Kesalahan Axel memang fatal. Lelaki itu dulu sempat memutuskan pertunangannya dengan Mochi begitu saja. Tapi, sebetulnya dia punya alasan. Dan dia telah menjelaskan semuanya kepada Mochi sebelum mereka balikan di bulan ini.
Mochi meremas tangan Axel untuk menyalurkan kekuatan tambahan. Jadi, dengan lebih tegas, Axel berkata pada papanya Mochi. "Nggak, Om. Saya nggak akan pergi lagi. Saya sudah melepaskan jabatan kepala keluarga besar pada sepupu saya, Dietrich. Dan mulai saat ini, saya akan tinggal di Jakarta. Saya juga akan mengurus kepindahan kewarganegaraan dari Belgia ke Indonesia secepatnya. Om Fabian nggak perlu khawatir. Saya nggak akan pergi lagi. Nggak ada satu pun hal di dunia ini yang bisa membuat saya pergi dari sisi Moira."
Mochi menoleh pada Axel. Dia sedang berada di Pink Room hari itu, dan sesuai dengan dekorasi ruang keluarga tempat mama dan papanya senang menjamu tamu dekat, Mochi merasa hatinya berbunga-bunga. Bunga merah jambu.
Mon Dieu.
Sudahkah ada yang bilang bahwa ketampanan Axel ternyata bisa meningkat tiga, bukan, lima kali lipat saat cowok itu sedang menyatakan keseriusannya seperti sekarang? Mochi tahu Axel miliknya. Tapi, dia tetap saja tidak percaya ini.
"Termasuk kalau saya nggak menyetujui?" Fabian Wijaya menaikkan kedua alisnya. "Kamu mau apa kalau saya bilang saya nggak setuju?"
Mochi sudah angkat bicara duluan sebelum Axel sempat mengatakan apapun. "Papa, Papa kan kemarin bilang—"
"Moi. Papa mau dengar jawaban Axel." Fabian memotong perkataan putrinya cepat. "Kamu jangan menjawab buat dia. Papa pengen dengar apa yang dia pikirkan."
Mochi melirik mamanya, meminta dukungan. Mamanya mengangguk dan seolah berkata, 'Udah nurut aja sama Papa.' Jadi, Mochi memutuskan untuk diam.
Axel berdeham pelan. "Saya akan lakukan apa yang Om Fabian inginkan asal Om merestui saya dengan Moira, Om."
Fabian memandang Axel lurus-lurus. Pria itu seperti sedang menimbang-nimbang suatu hal. "Gimana kalau selain melepas posisi kepala keluarga, saya juga minta kamu untuk melepas posisi CEO di Patricia Royal Inn Worldwide Inc.?"
Axel terdiam. Mochi dan Canti terkesiap.
"Papa! Nggak bisa gitu, dong, Pa! Axel kan udah berusaha keras untuk perusahaan papanya selama sebelas tahun ini. Dia juga membuktikan bahwa dia pantas berada di posisi itu—meskipun seluruh keluarga besarnya terus meragukan dia. Papa nggak boleh—"
Fabian menggeleng pada putri bungsunya itu. "Justru itu, Moi. Dia udah membuktikan diri. Terus, apa lagi yang menahannya di sana? Lagipula, pusat Patricia Royal Inn ada di Brussels. Papa nggak mau rumah tangga kamu nanti kehalang LDR—Long Distance Relationship. Kayak Om kamu dulu tuh, si Devano. Nggak bisa kan dia LDR sama Tante Diandra? Yang ada salah paham terus. Itu aja mereka masih pacaran dulu. Udah putus sampai om kamu punya anak aja nggak tahu. Gimana kalau udah menikah? Hmm? Nanti jangan-jangan waktu kamu melahirkan, Axel ada RUPS—Rapat Umum Pemegang Saham di Belgia. Gimana kalau kayak gitu kasusnya?"
Mochi terdiam. Wanita itu lalu melirik Axel dengan raut sedih dan tersiksa.
Akan tetapi, di luar dugaan Mochi, Axel justru tersenyum manis dan balas meremas tangan gadis itu.
"Om Fabian benar. Kalau dipikir-pikir, saya juga nggak bisa menjalani hubungan rumah tangga jarak jauh. Gimana saya bisa? Nanti malah saya nggak bisa ngapa-ngapain karena kangen Moira." Axel terkekeh.
Canti bertepuk tangan senang. Sementara itu, wajah Moira memerah bagai kepiting rebus.
Fabian tampak masih ragu. "Terus? Kamu mau lepasin posisi kamu di Patricia Royal Inn?"
Axel melirik Mochi. Mochi menunduk, menghindari tatapan kekasihnya karena merasa bersalah. Axel sudah banyak berkorban demi mengukuhkan diri pada posisi itu selama belasan tahun. Melepaskannya pasti nggak akan mudah. Papa Fabian memang bisa berubah kejam kalau sudah menyangkut yang begini-begini!
Axel tersenyum dan mengangguk. "Ya, Om, saya mau. Nggak apa-apa. Saya bisa menyerahkan semuanya sama Dietrich juga. Dia orang yang kompeten dan justru ... mentalnya lebih stabil dibandingkan saya."
Fabian menimbang-nimbang lama.
Setelah keheningan panjang yang menegangkan, Fabian Wijaya akhirnya berkata. "Kalau gitu, saya akan minta Dominique untuk memberikan kamu jabatan di WECB."
Fabian menyebutkan Dominique Wijaya, keponakannya yang sekarang menjabat sebagai CEO WECB.
Canti mengangguk senang. "Betul! Axel nanti kerja aja sekantor sama Mochi. Gimana? Itu ide yang brilian!"
Mochi juga menyatakan pendapat yang sama. "Kali ini aku setuju sama Mama dan Papa! Nanti kamu sekantor sama aku aja, Mon Copain! Kan pas tuh, Aa Dominique udah kasih meja dan kursi tambahan di ruang kerja aku di kantor."
Namun, Axel hanya tersenyum dan menggeleng. "Saya nggak tahu banyak tentang perbankan dan kalau saya harus mulai belajar, saya rasa akan lebih baik kalau saya memulai dari posisi yang rendah dulu. Tapi, sebetulnya passion saya bukan di bisnis."
Mochi mengerjap. Fabian terdiam. Canti mengernyit.
Axel menarik napas panjang dan pada akhirnya mengatakan semuanya. "Saya ingin mencoba ... berkarir sebagai pianis."
***
"Xel?" Mochi berbisik di kala mereka melintasi hamparan rumput hijau di bawah sebuah payung besar. Kampus sedang tidak begitu ramai. Jadi, suasananya benar-benar tenang dan syahdu. "Kamu beneran pengen jadi pianis?"
Axel tertawa. "Nggak bagus ya pilihan karir aku?"
Mochi buru-buru menggeleng. "No, no—itu nggak benar." Gadis itu tersenyum manis. "Aku akan selalu mendukung apapun keputusanmu. Selama ini kamu selalu melakukan apa yang orang lain inginkan. Sekarang, kamu harus mulai melakukan apa yang hatimu sendiri inginkan."
Axel mengangguk. "Aku punya tabungan." Pria itu berkata. "Meski aku melepas jabatan CEO pun aku tetap bisa menghidupi kamu. Kita. Kamu, aku, dan calon sebelas anak kita nanti."
Mochi tertawa sampai rambut panjangnya terlempar ke belakang. "Kok kamu masih ingat aja, sih? Itu impian yang ternyata berat banget buat dilaksanakan, tahu? Setelah aku bantuin Debby ngurusin Marsha dari bayi, aku baru sadar kalau memiliki anak adalah tanggung jawab yang besar. Dan tanggung jawab itu berlaku seumur hidup." Gadis itu tersenyum. "Kayaknya aku mau kurangi jumlah anak impian kita, deh. Kamu nggak apa-apa, kan?"
Axel tertawa. "Semuanya terserah kamu, Mignonne. Aku sama sekali nggak keberatan dengan pengurangan jumlah calon anak kita. Yang penting, nggak ada pengurangan jumlah berapa kali kita ngelakuinnya untuk mendapatkan mereka."
Wajah Mochi bersemburat merah. Jantungnya menghentak keras. Dengan dada berdebar-debar, perempuan itu mendongak dan memandang kekasihnya dengan tatapan mendamba. "Xel ...."
Axel hampir tersedak ludahnya sendiri. "No, we're not doing this right now—nggak, kita nggak akan melakukannya sekarang. Aku udah berjanji sama papa kamu, ingat?"
Mochi tampak lumayan kecewa.
Namun, kekecewaan itu tidak berlangsung lama.
Axel menunduk. Lelaki itu mulai merengkuh tengkuk kekasihnya dan membawa si wanita untuk mendongak sekali lagi—memandangnya. Lalu, Axel mulai melumat bibir lembut Moira. Pria itu melakukannya dengan lambat, panas, dan sepenuh hati. Bibirnya bermain-main lama di atas bibir Mochi. Mencecap, merasakan, meraup seluruh napas dan debaran yang gadis itu berikan.
Mereka berdiri di tengah Harvard Yard. Mungkin orang-orang mulai menonton. Namun, tak ada satu pun dari Mochi dan Axel yang peduli. Dunia di sekeliling mereka lebur. Menghilang bersama kabut yang melingkupi sebagian besar kota Boston. Yang mereka rasakan kini hanya cinta.
Cinta.
Cinta yang teramat besar. Tak meredup dan justru semakin kuat setelah sebelas tahun berpisah.
"Setelah ini kita harus ke Belgia." Axel berbisik parau. Napasnya yang menderu dan beraroma cokelat stroberi membelai bibir Mochi. "Kita harus ke Belgia secepatnya dan mengajukan permohonan menikah. Aku nggak akan meminta izin pada keluarga besar. Mereka nggak berhak mencampuri hidupku lagi. Kita hanya tinggal meminta restu papaku. Aku nggak tahan lagi. Aku merasa harus menikahi kamu sekarang juga." Axel terengah-engah setelah berusaha keras mengendalikan gairah yang menyelubungi dirinya. "Kamu siap?"
Mochi mengerjap, terlalu terpesona dengan semua yang dilakukan dan dikatakan oleh lelaki itu.
"Oui—ya. Bersamamu, aku siap menghadapi apapun."
Axel menyeringai. Pria itu kemudian menunduk sekali lagi untuk membawa Mochi pada ciuman-ciuman lain. Ciuman yang berbeda. Lebih berhasrat, panas, dan mendebarkan dibandingkan dengan kecupan ringan di masa SMA.
***


Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
