
Ketika hati dan kepercayaan dirinya benar-benar dihancurkan sedemikian rupa oleh Idham, Shalitta hanya punya satu tujuan yaitu ia tidak akan membiarkan Idham-yang selalu menjadikan dirinya opsi terakhir-mendapatkan segalanya dari dirinya.
Oleh karena itu, Shalitta memutuskan untuk bermain api dengan Malik. Ia membiarkan dirinya terlibat hubungan sesat tanpa nama bersama laki-laki itu tanpa pernah menyangka, bahwa hatinya yang telah dihancurkan oleh Idham ternyata masih bisa berfungsi dan masih mampu...
Prolog
"Wah, wah, wah. Speechless gue. Bener-bener nggak ada yang lebih bucin dari Pasha Galantara Aristo," laki-laki itu melangkah mendekati meja Icha dan Pasha dengan kepala menggeleng diiringi decakan berulang kali. Bibir tipisnya menyeringai kecil, jelas sekali mencibir kedua tamu yang sedaritadi sudah menunggunya itu. "Kembali bersama Ibu Tavisha Auristela Deolinda. Waw. Hebat!"
Pasha berdecak pelan seraya menatap sahabatnya itu dengan tatapan malas. "Terserah, Lik. Menurut lo bucin, menurut gue ini namanya setia."
Malik yang baru saja duduk di hadapan Pasha dan Icha itu kontan ngakak. "Lo pake dukun mana sih, Cha? Kuat banget sampe lima tahun berlalu juga."
Icha tak langsung menjawab karena dia sedang terpana melihat makhluk bertestosteron di hadapannya hingga mulutnya sedikit menganga. Malik menunggu jawabannya dengan senyum lebar yang masih terlukis di wajahnya, kedua alisnya terangkat, sedang pandangannya terfokus pada Icha yang tampaknya sedang kehilangan kata-kata.
Menyadari Icha tak kunjung menjawab, Pasha yang duduk di sebelahnya langsung menoleh. "Heh! Istigfar, ya! Pandangan dijaga!" Pasha mengusap wajah Icha dengan cepat hingga akhirnya pacarnya tersebut baru tersadar. "Sampe mendelik gitu lihat Malik. Emang penjaga pintu neraka ini seganteng itu apa?!"
Malik semakin ngakak. Sedangkan Icha langsung cengengesan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Lo operasi plastik, Lik? Kok jadi ganteng banget gini? Apa karena semakin banyak duit? Gue tau soalnya emang kita semua pada dasarnya ganteng dan cantik. Nggak ada yang jelek, cuma kurang berduit. Tapi kan seinget gue lo udah tajir dari dulu, kenapa gantengnya baru sekarang?"
Pasha berdecak kencang sambil menatap Icha dengan melotot kesal.
"Mungkin karena sekarang gue rajin berwudhu, Cha." Jawab Malik asal.
"Bah. Rajin salat sekarang rupanya?" Icha terkesiap.
"Nggak. Wudhu doang."
"Takut kalau tidur nggak bangun lagi kan lo? Siap-siap." Sahut Pasha mencibir yang langsung ditanggapi Malik lagi-lagi hanya dengan tawa renyah.
"Udah deh. Buruan, kasih tau lo ngapain kesini nyari gue? Gue orang sibuk nih. Nggak lihat restoran gue rame?" Malik mengarahkan tangannya ke semua penjuru restoran, menegaskan bahwa restoran miliknya ini sukses dan penuh dengan pengunjung. "Udah pesen belum? Kalo kesini nggak pesen apa-apa, mending keluar lo berdua!"
"Udah!" dengkus Pasha jengah. Malik mengangguk-angguk sambil mengangkat ibu jarinya. "Es teh manis doang aja lama banget datangnya! Tau gitu tadi gue pesen aqua!"
"Anjir! Es teh manis doang mah lo beli aja di warung depan!"
Icha tertawa terbahak-bahak mendengar perdebatan dua sahabat yang sudah lama tak bertemu itu. Entah kenapa ia sangat senang melihat interaksi mereka lagi. Rasanya seperti kembali ke masa kuliah dan ia sangat merindukan itu semua karena ia sendiri melewatkan masa-masa bersama Malik dan teman-teman yang lain karena pergi ke Amerika.
"Udah, udah. Rame banget kaya Upin Ipin. Jadi nggak sabar kita ngumpul lagi semuanya." Sela Icha melerai perdebatan tidak berfaedah antara Malik dan Pasha.
Tiba-tiba Malik yang sedaritadi duduk santai, langsung menegakkan duduknya penuh antusias. "Emang mau ada ngumpul-ngumpul?" Tanya nya serius.
"Ada," Icha cengengesan. Ia menaruh sesuatu di hadapan Malik sambil tersenyum lebar. "Dateng, ya."
Malik terbelalak saat melihat apa yang Icha taruh di hadapannya. "Kalian mau kawin?!"
"Hm." Gumam Pasha singkat.
Sedangkan Icha mengangguk-angguk dengan semangat. "Gila, kan. Kita khusus jauh-jauh dari Jakarta ke Bali cuma buat ngasih lo undangan ini, Lik. Kurang spesial apa coba, lo bagi kita berdua?"
Malik mengerutkan dahinya lalu berdecih. "Alasan! Itu mah emang kalian pengen honeymoon duluan!"
"Sialan!" Pasha menjitak kepala Malik. Soalnya si penjaga pintu neraka itu benar, kan Pasha jadi salah tingkah nggak karuan!
"Ini kemeja sama celana, Lik, buat seragaman bareng Abaya ama Zora." Icha mendekatkan tas kertas berisikan benda yang tadi ia sebutkan. "Dateng lo, ya! Kalau nggak dateng, jangan salahin gue kalau restoran lo dibakar sama Pasha."
Malik memandangi undangan yang berada di hadapannya. Jantungnya tiba-tiba saja berdebar dengan sangat kencang saat menatap tanggal yang tertera di undangan tersebut.
Satu bulan lagi.
Pernikahan mereka satu bulan lagi.
Mendadak ritme degupan jantung Malik semakin tidak beraturan. Ia tidak bisa menggambarkan perasaan nya yang saat ini tiba-tiba jadi tidak karuan. Dadanya penuh dengan harapan. Sesak, namun membahagiakan. Ia yakin, kali ini mereka akan dipertemukan. Tidak mungkin wanita itu tidak datang.
"Semua datang, kan?" Tanya Malik mencoba memastikan.
"Semua tuh siapa? Anak kampus diundang semua kok," jawab Icha dengan anggukan. "Abaya, lo, Zora, Qiandra sama Shalitta nggak punya pilihan nggak datang! Kalian jadi Bridesmaid dan Groomsmen. Mau gue pajang jadi pagar ayu sama pagar bagus sekaligus bantu-bantu!" Icha terkekeh geli.
Itu dia.
Namanya akhirnya disebut.
Jantung Malik semakin bertalu kencang.
Shalitta.
Wanita yang telah membuat Malik sakit jiwa selama lima tahun ke belakang. Wanita yang sejak tiga tahun silam, benar-benar telah membuat Malik hancur karena rasa kehilangan. Wanita yang membuat Malik mengerti kalau rindu itu benar-benar menyakitkan.
Mereka akhirnya akan kembali dipertemukan. Wanita itu akan keluar dari persembunyian dan tidak akan lagi bisa menghindar. Malik bersumpah, kali ini, wanita itu tidak akan sedetik pun ia lepaskan.
Malik benar-benar tidak sabar.
—————❤️❤️❤️—————
1 | Bertemu Lagi
Shalitta tersenyum manis melihat Icha yang mengenakan kebaya putih dan siger adat sunda tak jauh di depannya. Saat ini perempuan itu sedang melakukan photoshoot untuk album foto pernikahannya. Ia terlihat sangat cantik dan wajahnya terlihat sangat bahagia.
Berperan sebagai bridesmaid, Shalitta punya satu simple task. Nemenin Icha kemana pun dia pergi.
Tapi lucunya tugas itu datang dari mempelai pria. Mempelai pria yang ketakutan kalau calon istrinya kumat dan malah kabur sendiri.
Sinting.
Icha mengulurkan tangannya, meminta bantuan kepada Shalitta untuk berjalan kembali ke ruang rias. Ia menaikkan sedikit kain kebayanya agar kakinya bisa melangkah sedangkan Shalitta mengangkat buntut kebaya Icha yang panjang hingga menyeret ke lantai.
"Lebay banget nggak sih ini kebaya? Gue kesel loh berasa kaya putri duyung." Gerutu Icha sambil berjalan dengan langkah kecil-kecil.
"Lo yang lebay! Orang cantik juga," sahut Shalitta sewot karena sahabatnya satu ini nggak berhenti ngedumel dari tadi. "Udah deh. Lo mah ada aja yang mau disalahin dari pilihan Pasha. Ngikut aja, udeh! Kan lo sendiri yang nyuruh dia milih!"
Icha manyun. "Ya, lagian dia milihnya ngasal!"
"Yang penting dia kontribusi dalam pernikahan ini! Dibanding cuma bawa diri doang."
Icha mendengus sebal. Masalahnya kalau nggak dipaksa, Pasha itu nggak ada peduli-pedulinya sama sekali sama nikahan mereka. Dia yang maksa ngajakin Icha cepat-cepat nikah padahal baru ketemu setelah lima tahun berpisah, tapi dia yang bodo amat. Emang dia kira Icha bukan termasuk cewek yang merasa pernikahan itu hari paling spesial di hidupnya apa? Kalau bisa, Icha pengen ada marching band atau pawai di nikahannya biar bener-bener unforgettable. Biar heboh kaya La La Land.
"Udah gitu masa dia ngajakin Zora jadi salah satu groomsmen. Udah tahu gue nggak akur sama dia. Tiap ketemu bawaannya pengen bunuh-bunuhan, tahu nggak?" Lanjut Icha dengan gerutunya. "Lo tau nggak pas gue ketemu buat ngasih seragam dia ngomong apa?"
Shalitta menggeleng. Nggak peduli juga sebenarnya.
"Dia bilang Pasha lebih cocok sama Kayla. Bangsat."
Shalitta ngakak. "Cha, lo nggak boleh ngomong kotor gitu detik-detik akad nikah. Nanti kualat."
Icha dan Shalitta sampai di ruang rias khusus pengantin wanita yang hanya diisi oleh perias pengantin. Icha punya strict rules kalau ruangan ini tidak boleh jadi tempat rusuh buat keluarganya mondar-mandir. Icha nggak mau dibikin stres sama keribetan semua orang sebelum ijab qabul. Dia butuh ketenangan.
Icha duduk dengan susah payah karena korset di perutnya ketat banget, astaga.
"Gue nggak ngerti kenapa Zora juga. Emang selama gue nggak ada, dia jadi sahabatan banget sama Zora?" Tanya Icha pada Shalitta.
Shalitta berpikir sebentar, mencoba mengingat-ingat. "Ya, biasa aja sih. Kita semua emang sering nongkrong bareng setelah lo pergi," jawabnya singkat. Lalu Shalitta menepuk tangannya sekali saat teringat sesuatu. "Oh! Gue tahu. Mereka sahabatan karena sama-sama di London bareng kan, Cha."
Icha berdecak. Ia juga baru ingat hal itu.
"Padahal udah cukup Malik sama Abaya aja. Gue cukup lega Malik udah nggak sinis sama gue. Dia beneran nggak nyinyir kaya Zora."
Mendengar sebuah nama itu disebut, Shalitta membatu.
"Gila, Malik ganteng juga ya sekarang. Waktu kemarin ketemu, gue sampe mangap sih. Terus mata gue hampir dicolok sama Pasha." Icha melanjutkan ceritanya sambil terkekeh geli sendiri. Tidak menyadari bahwa sahabatnya kini telah mengeratkan genggamannya di tangkai buket bunga yang ia pegang.
"Lo pernah ketemu Malik nggak, Ta, setelah lulus?" Tanya Icha dengan santai.
Shalitta gelagapan. Ia menaikkan alisnya seakan meminta Icha mengulang pertanyaannya dan setelah Icha mengulang pertanyaannya, Shalitta pun hanya menggeleng.
"Sekalian reuni deh kita hari ini." Senyum Icha mengembang dengan sumringah.
Namun tidak dengan Shalitta.
***
Shit. Ternyata gini rasanya jadi bridesmaid beneran, bukan yang abal-abal cuma datang gaya-gayaan buat foto doang.
Dari pagi Shalitta dan Qiandra udah stand by bantu ini itu. Tapi yang paling capek itu mesti dengerin dumelan Icha yang nggak kelar-kelar, kepanikan yang nggak bisa dikendalikan-cuma Pasha yang bisa bikin dia mingkem entah gimana caranya. Shalitta pengen nanya tapi udah nggak punya tenaga. Kalau ada waktu buat rebahan, Shalitta gunakan sebisanya. Sayang juga dia nggak bisa rebahan beneran pada akhirnya, karena bisa-bisa rambut cantiknya rusak.
Ya Tuhan, Shalitta pengen bobo!
Udah jam sembilan malam, tamu yang datang masih rame aja. Padahal harusnya acara udah selesai. Shalitta yang sedang mengambil minum di meja minuman yang terletak agak di pojok hall, bisa melihat beberapa pekerja yang sudah bersiap-siap merapikan peralatan. Mulai dari gulung kabel, bersih-bersih piring di bawah tempat duduk dan meja, sampai mencopot beberapa dekorasi yang terpasang.
Ponsel Shalitta yang dari tadi ia pegang, bergetar. Shalitta mengintip layar ponselnya dan menemukan nama Qiandra di sana.
"Hm?" Gumam Shalitta saat mengangkat telepon Qiandra.
"Dimane?!" Tanya Qiandra sambil teriak-teriak kaya orang budeg.
"Ngambil minum. Kenapa?"
"Mau foto! Buruan ke pelaminan."
Jantung Shalitta rasanya langsung berdebar kencang nggak karuan. Ia menoleh ke arah pelaminan dengan ponsel masih menempel di telinga. Lalu ia dapat melihat Qiandra dari kejauhan dengan posisi yang sama-ponselnya menempel di telinga, masih tersambung dengan Shalitta-berdiri di depan pelaminan bersama sejumlah teman-teman kuliahnya.
Shalitta meneguk ludahnya dengan gugup.
Ia dapat melihat laki-laki itu di sana.
Seharian ini dengan susah payah ia telah menghindarinya. Walaupun harus berdiri berseberangan sebagai pagar ayu dan pagar bagus bersama groomsman dan bridesmaids yang lainnya, Shalitta bisa menghindari laki-laki itu hingga detik ini. Bertatapan pun tidak. Shalitta menghindari tatapan intens pria itu sekuat tenaga.
Ia berusaha menganggap Malik tidak ada.
Ia tidak ingin memberi kesempatan kepada Malik untuk menyapa dirinya di depan teman-temannya karena kalau itu sampai terjadi, jelas Shalitta harus membalas sapaannya, tersenyum padanya dan bahkan menatap matanya.
Tidak. Shalitta tidak mau melakukannya.
Tapi bagaimana caranya? Kali ini rasanya hal itu tidak dapat dihindari lagi.
"Woy! Denger nggak sih?!" Qiandra berteriak dengan kesal di telepon yang bahkan Shalitta lupa kalau masih tersambung. Teriakan cempreng Qiandra membuyarkan lamunannya.
"Udah mau naik?" Tanya Shalitta seraya meneguk jus jambu yang baru saja ia ambil. Matanya masih belum lepas ke kerumunan teman-temannya di depan pelaminan.
"Udaah! Tinggal nunggu lo doang nih!"
"Ya udah, naik duluan. Gue nyusul."
"Buru! Sebelum diusir!"
"Iyeee!"
Qiandra memutus teleponnya dan terlihat langsung berbicara pada teman-teman yang lain sebelum akhirnya menggiring mereka semua ke atas pelaminan.
Shalitta bisa melihat Malik celingukan. Bukan kepedean, tapi Shalitta tahu Malik mencari dirinya.
Shalitta makin jantungan. Dadanya sesak dan rasanya tenggorokannya tiba-tiba semakin kering seperti tanah tandus di musim kemarau.
Ia mengambil segelas jus jambu lagi dan meneguknya hingga tandas. Lalu setelah merasa berani dan menguatkan hati, ia mulai melangkah mendekati pelaminan dimana teman-temannya sudah mengatur posisi.
Ia sengaja muncul belakangan, biar dia datang langsung jepret lalu bubar. Tidak perlu basa-basi atau terlibat berbagai macam obrolan.
Ia juga bisa tahu Malik berdiri dimana, jadi ia bisa menghindar dengan berdiri sejauh mungkin dari dirinya.
"Taaa! Buruan sini!" Teriak Icha dari atas pelaminan ketika melihat Shalitta berjalan mendekat.
"Iya, iyaa! Sabar, kaki gue mau patah nih!" Sahut Shalitta sambil menaiki tangga pelaminan.
Shalitta bisa melihat teman-temannya sudah pada posisi masing-masing. Sudah rapi. Shalitta tinggal bergabung di paling ujung, yang penting in-frame.
Ia melihat Qiandra berdiri di sebelah Icha dan Abaya berdiri di sebelah Qiandra. Sedangkan Malik berdiri di sebelah Pasha dan Zora berdiri di sebelah Malik.
"Ta, lo ngapain di situ? Siniii!" Panggil Icha saat semua sudah pada posisi masing-masing dan fotografer siap mengambil foto.
Icha melambaikan tangannya, mengisyaratkan Shalitta untuk mengambil posisi di tengah, bersebelahan dengan pengantin. Bergabung bersama Qiandra, Abaya, Malik dan Zora sebagai bridesmaid dan groomsman.
Ah, ya Tuhan. Mata Shalitta akhirnya bertemu dengan kedua bola mata cokelat tembaga itu. Ia menatap Shalitta lekat dengan raut wajah datar tanpa ekspresi. Namun entah kenapa Shalitta dapat melihatnya, ia bisa melihat senyuman tipis Malik yang menyiratkan kemenangan karena Shalitta tak lagi dapat menghindar.
Shalitta lemas. Ia pasrah kali ini.
Mau tidak mau, ia berjalan mendekat. Melewati beberapa temannya, menyapa sekenanya, meminta maaf karena harus menyelak mereka, dan akhirnya Malik bergeser untuk memberi tempat untuk Shalitta berdiri di sebelah Pasha.
Setidaknya Shalitta yakin Malik tidak akan bicara apa-apa karena Pasha bisa dengar. Jadi walaupun Shalitta sesungguhnya sudah pucat dan tegang, ia berusaha tetap tenang.
"Rapat lagi coba!" Fotografer mengisyaratkan semua untuk lebih merapat. "Agak miring badannya."
Lalu Malik merapatkan tubuhnya ke tubuh Shalitta, memiringkannya sedikit hingga sebelah bahunya berada di belakang tubuh Shalitta. Bahkan bersentuhan dengan tubuh Shalitta.
Shalitta berusaha fokus memandang ke depan, menatap fotografer di depan, mengabaikan tatapan intens Malik di sebelahnya yang rasanya sudah seperti ingin memakan dirinya.
Sumpah, Shalitta ingin menangis. Ia ingin pura-pura pingsan biar langsung dibawa pulang. Ia ingin kabur sekarang juga. Ia merasa sesak. Keberadaan Malik, wangi aroma parfum Malik yang masih ia ingat, serta tatapannya yang menelanjangi Shalitta, membuat dirinya kembali sesak dan tak bisa bernafas.
"Oke. Senyum semuaaa!" Sang fotografer memberi aba-aba.
"Senyum." Bisik Malik dengan sangat pelan di depan telinga Shalitta.
Bisikan dari suara berat yang sudah lama tidak ia dengar itu membuat bulu kuduk nya seketika meremang.
Sialan. Ternyata musik yang terpasang serta keramaian hall yang masih riuh rendah masih mampu meredam suara bisikan. Pasha tidak akan dengar, siapapun tak akan dengar. Malik bisa bicara apa saja dan Shalitta merasa dalam bahaya.
"Satu, dua, tiigaa!"
Malik melingkarkan sebelah tangannya-yang tertutup tubuh Shalitta-ke pinggang Shalitta. Tidak erat memang, namun cukup membuat Shalitta seketika menegang.
"Aku kangen." Bisiknya sekali lagi di depan telinga Shalitta.
Jantung Shalitta resmi berhenti berdetak. Wajahnya pucat seperti kurang touch-up.
Shalitta harus berusaha dengan sekuat tenaga mempertahankan senyumannya. Walau saat ini yang ia lakukan hanya ingin berlari, menjauh dari Malik, sejauh yang ia bisa.
Saat sesi foto selesai dan semua orang mulai bergerak ramai-ramai untuk menyalami pengantin, Shalitta juga ikut bergerak karena sudah tidak mampu berada di sana. Ia mencoba menembus kerumunan tapi kesulitan karena terlalu ramai. Langkahnya benar-benar terhalang.
Malik masih berdiri di belakangnya, ikut mengantri untuk bersalaman. Namun tubuhnya sudah menempel dengan punggung Shalitta. Tangannya menyentuh lembut pinggang Shalitta, membuat Shalitta benar-benar ingin segera lepas dari keadaan ini.
"Aku nggak akan biarin kamu ninggalin aku lagi. Nggak akan, Ta." Bisik Malik dengan bibirnya yang bahkan menyentuh sedikit daun telinga Shalitta.
Shalitta membatu di posisinya.
Setelah itu Malik akhirnya menyalip dirinya, berjalan melewatinya untuk tos-tosan dengan heboh bersama Pasha, Abaya dan Zora.
Sialan.
Shalitta harus segera pergi. Ia tak perlu ikut nongkrong setelah acara. Acara itu hanya akan membawa petaka bagi dirinya.
Lagian Pasha sama Icha mentang-mentang udah pernah malam pertama duluan, kurang kerjaan banget malah pengen hangout sama teman-teman bukannya ngamar.
Ia harus pulang sekarang juga.
"Shalitta!" Icha memeluk Shalitta dengan heboh disertai senyum sumringah. Shalitta memaksakan senyum dan membalas pelukan Icha. "Pasti lo orang yang paling seneng ya hari ini?"
Shalitta terkekeh kaku. "Iya. Gue kan udah bilang lo berdua end-game."
"Thank you, Ta." Icha kembali memeluk Shalitta dengan wajah menahan tangis sambil bergoyang kanan dan kiri.
"Cha, gue balik ya." Shalitta izin pamit dengan suara pelan. Ia tidak ingin ada yang mendengar, apalagi Malik.
"Hahh?! Balik?!"
Bangke. Dasar Icha toa!
Qiandra, Abaya, Zora, Pasha dan juga Malik langsung otomatis menengok ke arah mereka. Memandang Shalitta dengan kening mengernyit.
"Kita masih mau hangout, Shalitta! Nggak asik banget siihh! Udah jarang nih ngumpul-ngumpul gini." Protes Icha dengan mulut manyun.
"Iya, Ta. Masa nggak ikut." Sambung Pasha.
"Jangan macem-macem lo, betina!" Sentak Qiandra seraya mencubit perut Shalitta hingga Shalitta menggeliat kegelian.
"Gue ngantuk banget, Cha. Dari pagi nih. Pengen pingsan gue," Shalitta mencoba beralasan, walaupun sebenarnya itu memang jujur. "Lebih lama lagi, fix ngesot ini gue jalannya."
Icha terkikik geli. "Ya udah, istirahat di kamar dulu! Jangan pulang!"
"Kamar siapa, woy? Gue udah check out!"
"Kamar gue aja. Gue masih nginep sini sampe besok."
"Nah! Cocok!" Teriak Qiandra dan Icha berbarengan tanpa dosa sama sekali.
"Numpang, Lik. Kasihani sahabat gue yang udah jompo ini." Qiandra memelas kepada Malik.
Shalitta terdiam. Ia mengabaikan Malik dan usulan gilanya. Alih-alih, ia memandang kedua sahabatnya sambil menggigit bibir dalamnya karena menahan diri supaya tidak menyembur mereka dengan omelan.
"Yuk. Gue anter." Sahut Malik, santai.
"Udah, deh. Jangan nolak. Ntar kan acaranya cuma duduk-duduk ngobrol doang, lo tidur aja sejam di kamar. Oke? Please, babe!" Icha memohon sambil merengek dan meremas-remas tangan Shalitta.
"Yuk." Ajak Malik.
"Nggak deh, gue nunggu sini aja." Tolak Shalitta tanpa menatap Malik.
Dia nggak cukup gila untuk menerima tawaran Malik menggunakan kamarnya buat istirahat. Kalau begitu ceritanya, mending Shalitta selonjoran bareng tukang catering aja di belakang.
"Ntar lo pingsan." Malik menatapnya dengan lekat.
"Iya, Ta, lo kan gampang sakit kalo kecapekan," timpal Pasha. "Temenin gih, Qi."
"Yah, mau ngudud gue sama Zora," jawab Qiandra sambil meringis. "Lo ikut nggak?" Tanya Qiandra kepada Malik.
"Nyusul. Gue anter Shalitta dulu. Takut dia nyusruk di jalan." Jawab Malik.
"Gue masih bisa jalan sendiri." Shalitta berdecak jengah. Ia menyahuti ucapan Malik masih tanpa sama sekali mau menatap Malik.
"Yakin? Emang nggak lagi mabuk?"
"Icha ama Pasha nggak nyediain alkohol, gimana bisa gue mabok?" Shalitta merotasikan kedua bola matanya mendengar tuduhan Malik.
"Ya, lo kan suka nyelundupin wine di botol aqua. Kali aja—"
"Gue seratus persen sadar. Nggak usah—"
"Jangan cerdas cermat di sini. Udah buruan, Lik, lo anter ini betina ke kamar lo. Abis memastikan tuan putri udah nyaman dengan segala kebutuhan nya bobo cantik, buru nyusul gue ama Qiandra." Potong Zora nggak sabar karena harus mendengarkan perdebatan nggak penting Malik dan Shalitta.
"Iya, Lik. Udah anter dulu," Pasha memberikan perintah final. "Nggak usah protes. Tinggal nurut aja susah amat." Imbuhnya saat melihat Shalitta membuka mulut masih ingin mendebat.
Shalitta menghela nafas panjang, pasrah. Ia menyerah dan akhirnya memutuskan untuk menatap Malik dengan tatapan tajamnya. Sedangkan laki-laki itu menatapnya balik dengan datar dan kedua alis terangkat, seakan menunggu jawaban.
Lalu Shalitta menyadari ucapan Icha tadi siang. Manusia ini makin ganteng. Bahkan lebih menawan dan membahayakan dari yang ada di ingatan Shalitta.
Rambut dengan model basic undercut nya-yang tercukur halus di kedua sisi rambut-serta bagian atas yang memiliki area rambut sedikit lebih tebal dan panjang dibentuk spiky membuat Shalitta teringat betapa kadar tampan manusia dengan wajah keturunan arab itu akan meningkat saat rambutnya berantakan karena baru bangun tidur. Kulit putih, hidung mancung, alis tebal dan bibirnya yang tipis kini terlihat semakin menawan dan membuat wanita tidak bisa menoleh hanya sekali. Terutama kumis dan janggut tipis yang menghiasi wajahnya yang agak tirus dengan rahang yang tegas itu, pasti membuat Malik semakin digandrungi wanita.
Shalitta jelas menyadari bahwa dirinya dalam bahaya karena tampaknya laki-laki ini masih punya kendali akan dirinya dan selain itu, kelihatannya ... Malik masih belum menyerah juga.
Shalitta benar-benar terjebak dengan Malik Shidqi Putra Altair.
—————❤️❤️❤️—————
2 | I Miss You
Shalitta berjalan dengan cepat meninggalkan Malik di belakangnya. Sebenarnya kakinya udah mau patah tapi dia benar-benar nggak peduli sekarang. Dia cuma pengen membebaskan diri dari makhluk di belakangnya yang terus berjalan mengikutinya.
Saat ia mengarah keluar untuk menuju ke lift yang mengarah ke basement, dengan cepat lelaki di belakangnya itu menangkap pergelangan tangannya dan menahan nya melangkah lebih jauh.
"Mau kemana?" Ujarnya datar, tidak benar-benar ingin jawaban. "Nggak usah macem-macem."
Shalitta berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Malik namun Malik tidak sama sekali bersedia melepasnya.
"Istirahat di mobil aja, Lik."
"Biar apa? Di kamar, kan, bisa. Aku udah dititipin sama Pasha sama Icha. Kamu mau aku dihajar gara-gara biarin kamu istirahat di mobil?" Malik tak menyerah.
"Ya, diem-diem aja. Nggak usah ada yang tahu—"
"Nggak usah keras kepala." Malik berdecak. Mulai nggak sabar.
"Lepas, ah! Sakit!" Shalitta masih berusaha pelan-pelan melepaskan tangannya.
Ia mencoba tak menarik perhatian orang sekitar karena ia tak mau jadi tontonan. Apa kata orang kalau mereka bikin sinetron di tempat umum kaya gini? Jelas, Shalitta malas banget kalau tiba-tiba ada yang merekam dan drama mereka tiba-tiba viral di dunia maya.
Lebay memang. Tapi bukannya emang begitu orang-orang jaman sekarang? Lebay.
"Nggak." Malik menolak dan malah menyeret Shalitta ke depan lift.
Ia memencet tombol lift dan memandang layar indikator lift tanpa menghiraukan Shalitta yang masih berusaha melepas tangannya.
"Lik!"
"Aku nggak malu, ya, kalo mesti bikin drama di sini," Ujar Malik sambil menatap Shalitta dengan tajam. "Aku nggak pernah peduli kalau semua orang tahu."
Shalitta mati kutu. Dia masih punya malu. Hal itu juga yang membuat Shalitta tak pernah mau orang lain tahu, bahwa ada sesuatu antara dirinya dan pria di hadapannya itu.
Akhirnya mau nggak mau, dia menurut. Walau dengan wajah tertekuk masam, mau tak mau ia membiarkan Malik menggenggam tangannya hingga lantai 52 dan lanjut lagi ke lantai 60. Perjalanan lift itu terasa lama sekali.
Shalitta berasa seperti seorang sandera.
Malik tak sedetik pun melepaskan genggamannya. Shalitta benar-benar sudah terasa mati suri karena sejak pertama kali Malik menyentuhnya, jantungnya sudah tak kedengaran detaknya.
Shalitta hanya bisa memandangi punggung Malik yang berjalan satu langkah di depannya. Berusaha keras menghilangkan semua memori masa lalu yang menyeruak keluar menyerang ingatannya.
Punggung yang lebar dan kokoh itu melempar dirinya ke pusaran memori yang sudah ia kubur dalam-dalam. Sudah lama ia tidak mau mengingat lagi bagaimana punggung itu pernah menjadi tempat sandaran paling nyaman.
Malik membuka pintu kamar dan membawa Shalitta masuk.
Awalnya Shalitta ragu. Langkahnya sempat terhenti namun Malik tak peduli dan terus menarik dirinya hingga benar-benar berada di dalam suite.
Malik melepaskan genggamannya dan menunggu Shalitta berjalan masuk ke area tempat tidur. Setelah Shalitta berjalan ke sana dan memastikan wanita itu tak akan punya kesempatan kabur, barulah Malik menyusul.
Shalitta akhirnya membuka heels nya. Ia berjalan menuju area tempat tidur lalu menaruh clutch nya di nakas samping tempat tidur.
"Kamu bisa tidur di sini. Nanti aku bangunin kalau kita semua udah mau jalan," ucap Malik dengan kedua tangan di dalam saku celana. Matanya menatap lekat Shalitta yang terlihat canggung. "Kamu mau mandi dulu?"
Shalitta melempar pandangannya ke arah lain. Wanita itu memutar tubuhnya hingga berbalik memunggungi Malik. "Nggak usah."
Dengan perlahan ia melepas anting yang menjepit telinganya dari sore tadi, membebaskan telinganya yang kini terasa sakit, lalu menaruhnya di nakas, tempat yang sama dimana ia menaruh clutch-nya.
Shalitta sudah tahu bahwa bersama dengan Malik di kamar seperti ini akan berujung hal yang ia sesali. Meskipun begitu, Shalitta tidak pernah tahu bagaimana cara melepaskan diri dari laki-laki itu selain kabur. Ia sudah mencobanya tadi dan jauh dari kata berhasil. Ia tidak punya celah. Maka dari itu, ketika ia merasakan hembusan nafas Malik di tengkuk lehernya, Shalitta tahu bahwa dirinya telah kembali terjerembab ke lubang yang sama dengan tiga tahun lalu.
Bibir Malik mendarat pelan di sana, mengecup lembut leher jenjang Shalitta, kemudian bergerak perlahan menyusuri sisi bahunya yang terbuka karena ia menggunakan one shoulder dress untuk gaun bridesmaid-nya. Tangannya menyentuh kedua lengan mulus Shalitta, membelainya lembut dari atas hingga pergelangan, sebelum akhirnya memeluk pinggang ramping Shalitta dari belakang.
Shalitta menegang. Sentuhan Malik benar-benar membuat sarafnya hampir kaku dan mati semua.
"Akhirnya kamu muncul juga," Bisik Malik seraya menghidu ceruk leher Shalitta dalam-dalam. "Aku kangen banget, Ta."
Bulu kuduk Shalitta meremang. Sialan!
Ternyata Malik masih hafal betul bagaimana membuat dirinya tak berdaya. Ia masih ingat jalan pintas untuk membuat Shalitta bungkam dan melepaskan semua sifat keras kepalanya begitu saja.
Cumbuan di area lehernya.
Shalitta seperti terhipnotis. Tubuhnya melemas. Ia tak memiliki kendali apa-apa dan tak bisa memberontak. Selalu seperti itu ketika ia bersama pria itu. Tidak ada orang lain yang bisa melemahkan dirinya dengan cumbuan di bagian tengkuk dan lehernya.
Hanya Malik.
"I miss you so fucking bad, Tata. Aku nggak mau kita pisah lagi." desah Malik ketika bibirnya menyusuri telinga dan pipi Shalitta.
Mata Shalitta yang terpejam perlahan membuka. Ia mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya, lalu melepas tangan Malik yang melingkar di perutnya. "Kita nggak pernah pisah, Malik," Balas Shalitta dengan tajam. Ia berbalik dan matanya menatap Malik dengan penuh keseriusan. "Because we're never together."
Shalitta dapat melihat sorot mata terluka terpancar dari dalam kedua bola mata cokelat tembaga yang pernah menjadi favoritnya itu. "Berhenti berusaha bikin kita seakan nggak pernah ada," ujar Malik dengan rahang mengeras. "We were very happy together, Tata. Jangan buang apa yang kita pernah punya."
"Kita nggak pernah punya apa-apa, Lik." sahut Shalitta datar.
Shalitta tahu tangan Malik kini terkepal di kedua sisi tubuhnya. Rahangnya yang terkatup semakin mengeras seakan berusaha sekuat tenaga menelan makian.
"Kita punya satu sama lain, Ta. Kamu punya aku dan aku punya kamu. Kita bahagia," balas Malik dengan suara tertahan. "Aku nggak akan mau kehilangan kamu lagi. Aku nggak akan biarin kamu pergi lagi kali ini."
Shalitta hanya menatap Malik datar. Tanpa ekspresi. Walau sebenarnya dalam hati ia menjerit frustasi, meneriakkan pertanyaan dalam hati, mengapa Malik masih terus seperti ini? Mengapa Malik masih terus-terusan ingin mempermainkan perasaannya?
"Aku pengen kita balik sama-sama lagi, Ta—"
"Setop." Dada Shalitta sesak dan rasanya ingin meledak. Ia mengangkat tangannya, mengisyaratkan Malik untuk berhenti bicara.
"Aku nggak mau kehilangan kamu lagi." Malik tak peduli dan terus saja meneruskan ucapannya.
"Lo nggak pernah kehilangan gue, Lik," Shalitta mendengkus kan tawa kecil yang terlihat sangat frustasi. "Gue nggak pernah jadi milik lo."
Rahang Malik kembali mengeras. Terutama ketika Shalitta menggunakan gue-lo dengan sengaja. Wanita itu jelas terlihat ingin mempertegas jarak antara mereka dan hal itu membuat Malik kesal bukan kepalang.
Dengan susah payah ia berusaha mengontrol ekspresinya untuk tetap tenang. "Kamu selalu milik aku, Tata," sahut Malik seraya menekankan panggilan sayang yang ia ciptakan untuk Shalitta sejak lima tahun yang lalu. "Kamu cuma takut untuk mengakuinya."
Tiba-tiba kilasan memori lima tahun lalu berkelebat di kepala Shalitta. Kilasan kejadian yang mengawali semua kebodohannya. Hal yang telah mengubah hidupnya. Kesalahan-kesalahan yang terus ia lakukan setelah kesalahan lainnya.
"You know everything was just a mistake—"
"Bullshit."
"That's your problem—"
"No, that's your problem!" hardik Malik yang akhirnya kehilangan kesabarannya. "Apa, sih, yang kamu cari? Sebenarnya apa yang kamu cari, Ta?"
Degup jantung Shalitta mulai berdetak dengan sangat cepat dan iramanya mulai keluar dari aturan. Pelupuk matanya mulai basah.
"Aku cari kebebasan," jawab Shalitta pelan dan berusaha terdengar meyakinkan. Namun Malik malah mendengkus geli seakan meremehkan. "Aku cari ketenangan dan kebebasan seperti sebelum aku ngebiarin kamu masuk di hidup aku."
"Yeah, right." sahut Malik dengan sarkas diiringi anggukan kepala dan tawa kecil.
"Aku bisa dapat itu semua tiga tahun belakangan," Shalitta buru-buru melanjutkan ucapannya. Ia tak suka dengan ekspresi Malik yang meremehkan ucapannya seakan itu hanya omong kosong. "Akhirnya aku bisa nafas."
Malik menatap lekat mata Shalitta lalu kepalanya menggeleng samar. Ia seakan kehabisan kata-kata dan tak ingin membalas ucapan Shalitta karena ia tahu semua percuma.
Ia menggerakkan tangannya ke arah nakas. Dengan cepat meraih clutch Shalitta setelah menaruh keycard kamar di atas nakas.
"Malik—" seru Shalitta saat ia melihat Malik membuka clutch-nya tanpa izin. Buru-buru ia hendak merebut barang miliknya itu dari tangan Malik, namun Malik segera menghindar.
Laki-laki itu mencari-cari sesuatu di sana dan ketika ia menemukannya, ia langsung melempar clutch Shalitta ke tempat tidur dan melangkah mundur untuk menjauh dari gapaian tangan Shalitta yang berusaha merebut barang yang ia ambil itu.
"Malik, balikkin!" teriak Shalitta sambil berusaha merebut kunci mobilnya yang kini berada di genggaman tangan Malik.
Malik kembali mundur. "You're not going anywhere, Tata."
"Malik!" seru Shalitta dengan air mata yang kini jatuh dari sudut matanya.
"Just sleep," Malik berjalan mundur dengan tatapan tajam ke arah Shalitta. Ia mendekati pintu kamar, lalu membukanya. "Nanti aku bangunin kalau semua udah mau jalan."
Lalu Malik menghilang di balik pintu, membawa kunci mobilnya pergi agar Shalitta tidak bisa kabur lagi.
Shalitta tak bisa menahan tangis dan frustasi. Laki-laki itu kembali memegang kendali. Bertindak semau-maunya sendiri, seperti dulu lagi.
—————❤️❤️❤️—————
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
