
Hi!
It’s me.
I’m the problem, it’s me.
Kata orang, kalau sudah menikah, bukan berarti pertanyaan-pertanyaan memuakkan yang sering orang lontarkan pada kita akan berhenti. Pertanyaan itu hanya akan berganti topik karena sejatinya sepanjang hidup ini kita akan selalu menghadapi orang yang tidak puas dengan hanya mengurus hidupnya sendiri. Ada saja beberapa pihak yang selalu ingin tahu atau ikut campur hidup orang lain.
Sebelum menikah, pertanyaan itu akan fokus seputar “Kapan menikah?” atau “Kok belum menikah, sih?”. Setelah menikah, pertanyaannya akan berganti menjadi, “Udah hamil belum?”, “Kapan punya anak?” atau “Udah berhasil belum?” seakan belum punya anak setelah menikah artinya pernikahan mereka mengalami kegagalan.
Namun bagi Anggita, pertanyaan-pertanyaan itu bukan hal yang paling mengganggunya. Ia tidak pernah langsung menganggap pertanyaan insensitive seperti itu menyebalkan. Anggita paham bahwa ada beberapa orang yang memang peduli atau hanya ingin tahu kabar, yang terkadang memang kalimat tanyanya terdengar sialan meski maksud mereka bertanya tidak demikian.
Faktanya, tidak semua orang mendapatkan pertanyaan-pertanyaan menyakitkan seperti itu. Ada beberapa orang beruntung yang tidak mendapatkannya, termasuk Anggita.
Tapi, apakah artinya hidup Anggita bahagia dan damai?
Sangat naif jika Anggita mengatakan iya.
Bagi Anggita, salah satu hal yang dapat mengganggu atau menyakiti hatinya adalah pertemuan dengan teman-temannya, atau teman suaminya, atau keluarganya, atau keluarga suaminya.
Ketika mereka semua datang membawa keluarga dan buah hati mereka masing-masing.
***
"Lucu bangeeeet! Pipinya tumpah, oh my God!” Seru salah satu teman suaminya yang bernama Cita ketika temannya yang lain bergabung dengan kerumunan mereka sambil membawa putranya yang berumur dua tahun. “Namanya siapa, Ki?”
"Namanya siapa? Ditanya tantenya, tuh." Laki-laki menggunakan batik cokelat lengan panjang bernama Kilak itu bertanya kepada anaknya.
Alih-alih menjawab, anak berumur dua tahun di gendongannya itu malah berbalik dan membenamkan wajahnya dengan manja ke leher sang ayah.
“Yeee, malu. Biasanya kenceng banget suaranya,” kekeh sang ayah sambil mencubit-cubit pipi sang anak. “Namanya Bian, tante.”
"Ih, gemes! Ganteng banget!" Cita yang mengenakan kutubaru berwarna rose gold itu mengusap punggung balita di gendongan temannya itu dengan gemas.
"Ini anak kamu udah berapa bulan, Cit? Full ASI?" Tanya Andria—salah satu teman wanita suaminya yang lain—kepada Cita yang sedang menggendong bayi perempuan.
"Jalan enam bulan,” Jawab Cita dengan senyum secerah matahari pagi. “Masiiih. Alhamdulillah lancar ASI-nya. Awal-awal, sih, agak susah. Tapi sekarang alhamdulillah deres."
“Lo lagi isi, ya, Ndri?” tanya Kilak kepada Andria.
“Hehe, iya.”
“Alhamdulillaaah,” sahut Cita. “Akhirnya, ya.”
Ucapan selamat mengalir dari semuanya, termasuk Anggita. Senyumnya terkembang dengan sempurna meskipun hatinya terasa retak hingga perih.
Beberapa bulan yang lalu di kondangan teman suaminya yang lain, Ia sempat berbincang dengan Andria yang sempat keguguran beberapa kali dan kesulitan hamil lagi.
Saat itu, Anggita merasa memiliki teman, seseorang yang juga memahami kesedihannya. Namun nyatanya, hanya dia saja yang tidak pernah berhasil berenang ke permukaan kolam keruh yang terus-terusan berusaha menenggelamkannya. Semua orang berhasil menyelamatkan diri dan beranjak keluar untuk menyelamatkan diri pada akhirnya. Sedangkan Anggita tidak kemana-mana dan masih tenggelam di sana sendirian.
Percakapan berlanjut antara para orang tua baru itu, meninggalkan Anggita yang tak bisa masuk ke dalam pembicaraan karena selain tidak mengenal teman-teman suaminya itu secara dekat, ia juga lebih fokus pada usahanya untuk membuat senyum palsunya agar tampak sempurna.
Usahanya itu semakin sulit, ketika Cita akhirnya beralih kepada suaminya dan bertanya, "Eh, pak. Belum, ya?" tanyanya sambil mengerling ke perut Anggita yang masih datar dari 4 tahun lalu hingga detik ini.
"Belum. Doain aja." Suaminya memberikan senyum manis.
Cita beralih padanya dan tersenyum tulus. Tangannya mengusap punggung Anggita dengan lembut. Gerakan yang Anggita yakin tidak punya maksud menyakiti itu tetap terasa seperti sayatan di sekujur tubuh.
"Iya, amin. Mudah-mudahan segera dikasih. Nggak apa-apa. Santai aja,” imbuh Cita sambil tersenyum. “Itu berarti lo berdua masih dikasih waktu buat pacaran."
“Itu si Faqih juga katanya nggak mau buru-buru,” sambung Kilak sambil mengerling ke arah pelaminan dimana teman mereka baru saja melepas masa lajang setelah melakukan ta’aruf. “Mau puas-puasin pacaran dulu mereka.”
Semua mengangguk setuju dengan senyum dan tawa seolah yang mereka ucapkan seharusnya memberikan ketenangan bagi Anggita dan suaminya.
Anggita memaksakan senyum sebelum akhirnya ia izin memisahkan diri untuk mengambil minum. Tenggorokannya terasa sangat kering dikala matanya mulai basah.
Anggita mengambil tempat duduk di paling pojok gedung setelah mengambil minum, dan sibuk mengerahkan semua tenaganya untuk menahan air matanya agar tidak meleleh. Ia mengalihkan matanya dari kerumunan yang ia tinggalkan itu karena dadanya mulai sesak.
Masih dikasih waktu buat pacaran.
Entah seberapa muak Anggita terhadap kalimat itu.
Seberapa halus dan tulus orang mengatakan hal tersebut, Anggita tahu bahwa tujuan kalimat itu hanya untuk menghibur. Kalimat itu timbul dari orang-orang yang mengasihani dirinya, sebab semua orang juga tahu bahwa waktu yang ia dan suaminya gunakan untuk berpacaran sudah sangat lama. Mereka sudah pacaran lebih dari lima tahun sebelum akhirnya menikah. Mereka bukan taaruf seperti pengantin di atas pelaminan sana.
Anggita tahu semua yang mengucapkan hal itu tidak sungguh-sungguh meyakini apa yang mereka ucapkan. Mereka hanya kasihan.
“Yang?”
Anggita mengangkat kepalanya yang tertunduk dan menemukan suaminya berdiri di hadapannya.
“Kenapa?” tanyanya dengan raut khawatir saat menemukan mata Anggita yang berkaca-kaca.
Anggita menggigit bibir dalamnya yang bergetar ketika air matanya mengalir begitu saja.
Suaminya bergerak mendekat dan memeluknya dengan hangat. Namun ucapan yang keluar terasa menusuk meski dikatakan selembut bulu Chinchilla.
“Kesana, yuk. Nggak enak sama yang lain.”
***
Pertemuan lain yang selalu membuat kesedihan berlenggok jumawa ke dalam hatinya dan menguasai dirinya tanpa kira-kira adalah mengunjungi teman atau saudara yang baru saja melahirkan.
Anggita sudah meminta pengertian pada suaminya agar ia diperbolehkan untuk tidak ikut mengunjungi sepupunya yang baru saja melahirkan. Namun tentu saja usaha untuk melindungi sesuatu yang kita cintai selalu penuh halangan.
Kali ini halangan itu berbentuk omongan orang lain.
“Ya, nggak enak, dong, sama Tante Maura. Dia, kan, tahu Anggita di rumah. Kenapa malah nggak ikut? Ntar dibilang sombong. Diomongin orang.” Ucap mertuanya yang tak sengaja Anggita dengar dari pintu kamar.
“Kasihan Anggita, bu.” jawab suaminya berusaha membela dirinya.
“Kenapa, sih? Di sana juga orang nggak ada yang nanya-nanya kenapa Anggita belum hamil, kok, nak. Malah pada doain. Pada santai aja. Udah ikut aja bilangin Anggita.”
“Nggak mesti diomongin doang, bu, sedihnya. Ngelihat orang pada langsung punya anak doang aja itu udah bikin Anggita sedih.”
“Itu Anggitanya aja yang terlalu berkecil hati. Kenapa harus sedih? Anak itu hak Allah, nak. Ntar juga insya Allah dikasih, kok. Tunggu aja,” sahut sang ibu mertua dengan bijak. “Udah, buruan. Bilang sama Anggita siap-siap. Ntar kesorean.”
Anggita terdiam di balik pintu kamar dengan gumpalan air mata yang susah payah ia tahan.
Usahanya untuk melindungi hal yang ia cintai yaitu hatinya sendiri kerap gagal karena tanggapan orang lain.
Orang lain yang tak pernah dalam posisinya hingga kerap mengecilkan apa yang ia rasa.
Pada akhirnya, Anggita harus tetap berangkat ke acara keluarga yang hangat dan intim itu dengan perisai baja tak kasat mata, seolah ia sedang menuju ke medan perang.
"Aku, tuh, kemarin udah siap banget mau lahiran normal, kak. Tapi ternyata ini kepala anak aku gede banget,” Canthi—sepupu suaminya yang menjadi bintang utama acara kumpul keluarga hari itu—berbagi cerita dengan tawa ceria kepada Anggita dan sepupu suaminya yang lain. “Pas lagi diperiksa bukaannya, eh, dia malah naik lagi bukannya makin ke bawah."
"Lah, bisa gitu?" Anggita menanggapi dengan bingung.
"Makanya aku heran! Betah banget kali, ya, anak aku di dalem!"
"Terus kamu induksi?" Anggita bertanya dengan penuh minat. Actingnya begitu kawakan hingga mungkin bisa saja memenangkan piala FFI.
"Induksi, Kak! Mau meledak perut akuuu!” Jawab Canthi sambil tertawa. “Sumpah, kak. Aku pikir aku bakal almarhumah."
"Ih, ya Allah. Naudzubillahimindzalik, Ti!" Sahut Anggita sambil menepuk lengan adik sepupu suaminya itu. "Tapi kenapa, ya, rata-rata jaman sekarang sering banget ketuban abis duluan tapi bukaan nggak nambah-nambah gitu? Temen SMA aku juga ada kemarin yang kayak kamu gitu."
"Kecapekan kali, ya? Aku juga nggak tahu, sih. Tiba-tiba aja gitu kayak orang ngompol."
"Tapi luka sesar kamu gimana?" tanya Meiga—sepupu suaminya yang lain—sambil berusaha menyuapi anaknya makan.
"Masih ngilu, nih. Capek banget harus gendong dia, nyusuin, padahal luka aku masih sakit." Jawab Canthi sambil menunjuk bayinya yang baru berumur seminggu di pelukannya.
"Dulu aku juga, sih. Lemes banget sampe sempet demam aku, tuh." Meiga menceritakan pengalamannya yang ternyata sama.
"Serius? Tapi ASI lancar?" Canthi bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Sempet stres gitu. Aku pumping nggak keluar-keluar. Udah dirangsang suami juga nggak ngaruh." Jawab Meiga.
Anggita mengangguk-angguk seakan paham. Padahal mengalaminya juga belum. "Stres ngaruh banget, sih. Sepupu aku juga kayak gitu. Pas dia lagi stres-stresnya itu ASI nggak keluar sama sekali. Pas udah agak tenang, bocor sendiri ASI-nya. Lancar banget."
"Kalau aku dari awal lancar, sih. Dia juga lahap banget nyusunya." Ucap Canthi.
"Alhamdulillah, deh. Aku stres banget waktu itu soalnya. Capeeek! Zombie banget, asli! Baru merem udah harus bangun lagi gara-gara dia nangis." Meiga berkeluh kesah.
"Mas Didi bantu, kan?" tanya Anggita.
"Bantu, sih. Tapi kasihan juga, kan, dia capek ke kantor."
"Teman aku waktu itu cerita, sih, suaminya juga sampai ikut stres." Anggita menambahkan.
"Iya, emang punya baby, tuh, luar biasa banget, lah, pokoknya!" Meiga menghembuskan napas kencang sebelum kemudian merayu anaknya yang berumur dua tahun untuk makan. Namun bocah itu malah menggeleng dan menutup mulutnya. “Nih, lihat! Nyuapin anak susahnya kayak ikut seleksi PCPM Bank Indonesia!”
Canthi dan Anggita tergelak.
"Tapi kamu ntar anak kedua pengen coba normal nggak, kak?" Tanya Canthi pada Meiga.
"Ya, kalau bisa, ya. Soalnya gimana pun juga, kan, recovery-nya lebih cepat normal," Meiga menghembuskan napas panjang dengan bahu merosot, pasrah dan menyerah dengan usahanya membuat anaknya membuka mulut. “Tapi, ya, yang terbaik aja. Nggak mau maksain juga.”
"Tapi temen aku ada, lho, dia sesar di dokter di Rumah Sakit Cipulir situ katanya obatnya manjur banget. Nggak sakit." Anggita memberikan informasi yang ia dengar dari cerita temannya.
"Oh, ya? Tanyain, Kak. Aku situ aja, lah, ntar anak kedua."
“Ntar aku tanyain, ya.” Jawab Anggita sambil menyunggingkan senyum yang tak sampai ke matanya.
Panggung sandiwara itu bahkan tak berakhir hingga Anggita meninggalkan rumah Canthi. Di mobil, dalam perjalanan pulang, Anggita masih harus terus memasang topengnya dan bersikap seakan sama bahagianya dengan suami dan mertuanya karena baru saja memiliki keponakan baru.
Anggita masih harus terus dan terus memasang senyum, menimpali obrolan tentang bagaimana menggemaskannya anak Meiga yang sudah bisa menyanyikan lagu alfabet.
“Kamu nggak apa-apa, kan, Gi?” Tanya ibu mertuanya tiba-tiba.
Anggita tertegun, dadanya semakin sesak. Pertanyaan yang selalu memancing kejujuran itu membuat perisai bajanya harus bekerja keras.
“Nggak ada yang nyuruh buru-buru, kok, Gi. Sabar aja.” Ucap mertuanya dengan lembut sambil mengusap bahunya dari kursi belakang.
“Iya.” Jawab Anggita singkat sebab suaranya sudah mulai bergetar.
Anggita menatap keluar jendela mobil, menyembunyikan matanya yang kembali menghangat.
Kapan orang akan paham, kalau tidak selamanya kesedihan yang ia rasa, diciptakan karena tekanan atau ucapan orang lain?
Ketidakmampuannya untuk memenuhi harapannya sendiri pun sanggup menciptakan perasaan itu. Tidak harus dari orang lain.
Menyadari bahwa, di percakapannya dengan Meiga dan Canthi tadi, dirinya selalu membagikan pengalaman orang lain di saat lawan bicaranya membagikan pengalaman mereka sendiri pun sanggup membuat hatinya hancur tanpa perlu campur tangan orang lain.
Ia tidak mengharapkan semua orang memahami apa yang ia rasa.
Cukup dengan menghargai usahanya untuk melindungi hatinya.
Sebab kesedihan yang ia rasa, tidak harus selalu dari orang lain …
… tapi bisa dari dirinya sendiri.
***
It's me
Hi!
I'm the problem, it's me
At teatime
Everybody agrees
I'll stare directly at the sun but never in the mirror
It must be exhausting always rooting for the anti-hero …
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
