The Illicit Affair Bab 7 (Shades of Gray in Candlelight), Bab 8 (The Lies were White), Bab 9 (The Great Escape), Bab 10 (Where We Fell Apart)

9
0
Deskripsi

Jangan pernah anggap remeh tatapan mata.

Pertemuan antara kedua pasang mata yang tidak disengaja, tapi memberikan sebuah candu yang tak bisa dihentikan, jangan pernah disepelekan.

Pertemuan tatap yang pertama mungkin kebetulan. Namun jika ada pertemuan tatap yang kedua, ketiga bahkan tak terhingga, kemungkinan besar memang sudah direncanakan.

Pahamilah bahwa mungkin salah satu dari pemilik mata menyimpan sesuatu untuk yang lainnya. Jika kamu mau menerimanya, silakan ikuti permainannya. Tapi jika kamu...

7 | Shades of Gray in Candlelight

"Jadi, kapan undangannya disebar?"

Dilla sedang asyik menyeruput asian dolce latte miliknya sambil menatap rintikan hujan di luar jendela ketika tiba-tiba pertanyaan itu menghentaknya dari lamunan.

Ia menoleh dan menatap laki-laki di hadapannya itu dengan wajah datar. Tanpa ekspresi sama sekali.

"Pasti lagi hectic-hecticnya, ya, nih? Udah berapa persen persiapannya?" Tanya Abil sebelum menyuap smoked beef quiche miliknya ke dalam mulut.

Pertanyaan itu mungkin pertanyaan basa-basi belaka untuk membuka obrolan, atau bisa juga Abil hanya ingin memberikan kesempatan untuk Dilla berbagi keluh kesah karena calon pengantin memang biasanya mengalami stress luar biasa. Hanya saja, di telinga Dilla, pertanyaan itu menyakitkan.

Mengapa? Sebab ia tidak tahu jawabannya.

Pernikahan apa?, Dilla mendengkus sinis dalam hati.

"Dimana acaranya?" Tanya Abil untuk yang kesekian kalinya padahal Dilla belum menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya.

"Nggak tahu, Bil." Jawab Dilla sejujur-jujurnya.

"Loh?" Abil menunjukkan raut bingung.

"Gue belum tahu mau nikah kapan," tambah Dilla yang langsung membuat Abil semakin mengernyit tak paham. "Kemarin itu karena Radit mau kerja di Malang. Kita LDR dalam setahun ke depan. Sebelum jauh-jauhan, dia ngajak tunangan."

Abil tampak terdiam sebentar sebelum kemudian mengulum senyum sambil mengangguk. Matanya tak lagi menatap Dilla, tapi fokus kepada quiche miliknya.

Dilla luput melihat senyum Abil sebab ia sudah kembali menatap keluar jendela sambil menopang dagunya. Pikirannya perlahan melayang ke masa-masa bahagia bersama Radit 10 tahun belakangan, dan dia pun baru sadar, apa serapuh itu ternyata hubungannya dengan laki-laki yang selalu ada dengannya itu? Baru dua bulan, tapi hubungan mereka terasa semakin berantakan.

"Sebenarnya gue nggak mau ditinggal. Bukannya apa-apa, sih ... Gue cuma ngerasa nggak punya siapa-siapa, Bil. Gue yatim piatu," Dilla lagi-lagi mulai bercerita dengan begitu saja. Matanya masih menerawang ke jalanan yang disiram hujan, meskipun pikirannya mulai mengunjungi entah kotak memori yang mana di sudut ingatannya. "Gue cuma punya Radit sejak 10 tahun yang lalu. Dia bukan cuma pacar, tapi dia udah jadi sahabat gue."

"Sorry to hear that, Dil," ucap Abil dengan nada pelan ketika mendengar informasi yang baru ia ketahui tentang orang tua Dilla. "Terus berarti kemarin yang duduk sama lo di depan pas lamaran siapa?"

"Kalau yang cewek itu kakak gue," jawab Dilla dan Abil langsung mengangguk-angguk paham. "Umurnya beda 10 tahun sama gue. Kita nggak terlalu dekat juga. Dia udah sibuk sama hidup dia dan anak-anaknya sejak nikah."

Kakak perempuannya itu menikah sejak Dilla masih berumur 15 tahun. Dani semakin terasa jauh saat ia sibuk dengan keluarga kecilnya. Suaminya yang sangat posesif dan over-protective sering sekali tak memberikan izin kepada Dani untuk datang ke rumah atau acara-acara keluarga. Rumah tangga mereka retak ketika Dani tidak dikasih izin untuk mengurus ibu Dilla yang mendadak terkena stroke hingga akhirnya meninggal. Dani bercerai di tahun pernikahan ke-4 dan harus menghidupi dirinya serta anak-anaknya karena sang mantan suami mokondo. Oleh sebab itu, Dilla dan Dani semakin terasa jauh dan asing karena kesibukan Dani.

"I see. Kalau yang cowok?"

"Kakaknya bokap gue. Keluarganya tinggal di Pekanbaru. Gue nggak dekat. Ketemu juga jarang banget. Mereka nyempetin datang karena gue sama Kak Dani cuma punya mereka. Kakaknya nyokap lebih jauh lagi. Tinggalnya di Gorontalo. Nggak bisa datang."

Mendadak perasaan nyeri itu muncul lagi di balik dadanya. Ketika ia mengingat bagaimana acara yang seharusnya sangat membahagiakan bagi setiap pasangan itu malah membuat dirinya hampa.

Keluarganya hanya Om Rusdi dan Tante Anye beserta tiga anaknya yang terasa sangat asing. Lalu Kak Dani beserta dua anaknya—Zara dan Kiki. Sedangkan keluarga Radit sangat banyak. Semua kakak beradik orang tuanya datang bersama pasangan dan anak-anaknya.

Saat itu Dilla makin teringat dengan kenyataan bahwa ia tak punya siapa-siapa sebab keberadaan keluarganya tetap membuat ia merasa sendirian.

"Sahabat-sahabat gue semua lama-lama juga sibuk sendiri sama hidup mereka. Rata-rata udah nikah dari umur 26, dan langsung pada punya anak. Mereka jarang banget bisa diajak main. Alasannya selalu anak—ribet bawa anak, anaknya rewel, anaknya sakit," Dilla mengangkat bahunya. "Nggak tahu beneran apa cuma alasan doang. I finally stop trying to be in touch because they stopped trying first. Ya, udah. Temen gue tinggal Nadine karena dia masih jomlo."

Mungkin orang akan berpikir betapa Dilla menyedihkan karena menjadikan pacarnya sebagai satu-satunya sahabat. Namun faktanya, dulu Dilla pernah punya banyak sahabat sebelum kemudian satu per satu sibuk dengan hidupnya masing-masing.

Dilla baru sadar bahwa semakin bertambahnya umur, ternyata semua orang yang memiliki pasangan perlahan menjadikan pasangannya sebagai satu-satunya sahabat dan berhenti bersahabat dekat dengan sahabat yang lain.

Dilla punya banyak teman di kantor, tapi semuanya hanya sebatas di lingkungan kantor saja, dan mereka bukan sahabat yang akan selalu bersedia mendengar segudang cerita sedih atau bahagianya.

Nadine pun lama-lama terasa asing baginya. Untung saja temannya itu masih bersedia datang untuk menemaninya di acara lamarannya. Sedangkan sahabatnya yang lain hanya modal ucapan selamat via instastory.

Hidup sepi Dilla, makin lama semakin terasa sepi.

"Emang kayak gitu nggak, sih, Dil? Makin tua, circle makin kecil. Seleksi alam. Kalau ketemu juga cuma kangen-kangenan sebentar. In the end, emang cuma pasangan aja yang bakal selalu ada. Makanya kita butuh orang buat jadi teman hidup. Bukan sekedar pasangan yang bisa diajak kompromi." Abil menanggapi sambil mengulum senyum kecil.

"Iya. That's why gue nggak mau ditinggal. Gue cuma punya Radit," Mata Dilla yang menatap jalan basah setelah gerimis berhenti jatuh itu kini memburam. "Radit tahu, tapi dia nggak peduli."

"Nggak gitu kali, Dil—"

"Gue berkali-kali minta dia nikahin gue supaya bisa bawa gue, tapi dia nggak mau."

Abil terdiam, tak langsung menanggapi.

"Alasannya banyak. Katanya dia belum bisa kasih gue ini itu kalau nikah sekarang. Padahal gue nggak butuh ..." lanjut Dilla. "Dia kira gue takut dengan ketidakpastian. Jadi dia yakinin gue dengan tunangan. Padahal gue nggak butuh diikat."

"Lo cuma butuh dia dekat." Abil menyimpulkan.

Air mata Dilla menitik pelan. "Gue nggak ngelarang dia pergi. Gue cuma minta ikut," ucap Dilla. "Salah, ya, Bil?"

Dilla menoleh dan menatap mata Abil yang balik menatapnya lekat.

"Nggak, kok," Abil tersenyum manis dan penuh pengertian. "Beberapa orang emang lebih bisa menemukan kenyamanan ketika berdekatan. Termasuk lo."

Dilla mengusap air matanya dengan ujung jarinya. Senyumnya terkulum meski mungkin terlihat sedikit menyedihkan.

Tangan Abil bergerak perlahan dan ujung jari jemarinya menyentuh ujung jari jemari Dilla di atas meja seolah ingin mencoleknya dengan pelan.

Sentuhan ringan dan singkat itu membuat jantung Dilla seolah ingin melompat keluar. Sebuah sensasi kejut yang menjalar pada saraf Dilla membuatnya mematung dan menatap jari jemari miliknya dan Abil di atas meja yang kini telah berjarak sekitar satu senti.

"It's okay. Gue paham, kok, sama yang lo rasa."

Dilla mengangkat tatapannya dan lagi-lagi terjerat sinar mata dan senyum yang tersungging miring di bibir Abil itu. Sesuatu di sana seolah menariknya untuk selalu berlama-lama memandang senyum dan mata berkilat tajam itu. Entah mengapa senyum dan sorot mata itu membuatnya ingin meringkuk dan menjadikannya tempat berlindung.



—————❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥—————



8 | The Lies were White

Hari ini kepala Dilla rasanya mau pecah. Banyak sekali hal yang berjejalan di kepalanya. Mulai dari pekerjaan sampai permasalahan keluarga.

Meeting tak berkesudahan yang mengharuskannya memeras otak untuk memecahkan masalah membuatnya tak punya waktu menjawab telepon dari Dani yang tampaknya masih kalang kabut dari tadi malam.

Kakak perempuannya itu sedang panik dan bingung karena putri sulungnya—katanya—kabur dari rumah. Ibu dan anak itu bertengkar entah tentang apa. Lalu Zara pergi sejak maghrib dan tak kembali-kembali hingga detik ini. Remaja berumur 15 tahun itu tidak ada kabar meski ia membawa ponsel bersamanya.

"Kak, aku lagi di kantor." Ucap Dilla saat Dani kembali menelponnya seperti sedang meneror.

"Bantuin kakak dulu, dong, Dil! Kakak mau minta tolong siapa lagi kalau bukan kamu?!" Cetus Dani dengan nada tinggi.

Dilla menghembuskan napas panjang setelah ia menghelanya dalam-dalam. Rasanya ada sesak mengganggu di dadanya. Namun ia memilih untuk mengabaikannya demi ketenangan khalayak ramai.

"Aku harus bantu kayak gimana?" Tanya Dilla berusaha tetap bersabar.

"Ya, nggak tahu! Lapor polisi, kek, atau apa!"

"Kenapa nggak minta bapaknya yang lapor polisi?"

"Halah! Ngasih nafkah aja nggak bisa, mau lapor-lapor polisi! Mana ada juga dia duitnya. Nggak ada gunanya itu orang!" Sergah Dani dengan cepat.

Dilla memejamkan mata. Jari jemarinya mengurut pelan dahinya. "Udah cari ke rumah dia?"

"Belom!"

"Lah?"

"Jara nggak suka sama bapaknya, kok! Nggak mungkin dia ke rumah bapaknya!" Dani ngotot seperti yang sudah-sudah kalau sudah menyinggung mantan suaminya.

"Ya, tapi satu-satunya tempat yang Jara tahu dan akan senang hati menampung dia, kan, cuma rumah bapaknya, kak. Kenapa nggak ditanya dulu, sih?" Decak Dilla sambil mengusap wajahnya dengan frustasi.

"Haduuuh! Kakak lebih tahu anak kakak, ya, Dil!"

Dilla rasanya ingin meledak. Kalau dia memang lebih tahu tentang anaknya, kenapa dia belum bisa menemukan anaknya dari semalam? Kenapa juga dia harus mengganggu Dilla kalau semua saran Dilla ia mentahkan?

"Kak, aku ada meeting lagi. Nanti—"

"Ck, ah!"

Lalu panggilan terputus.

Dilla tersentak kaget. Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan tak percaya. Emosinya sudah merayap hingga ke ubun-ubunnya dan rasanya ia sudah siap menumpahkan murkanya ke segala arah.

Rasanya aneh sekali. Ia seolah dianggap tidak ada di hari-hari biasanya, tapi ketika kakaknya itu sedang kesulitan, mendadak dirinya seperti orang paling penting di dunia. Sedangkan dulu waktu Dilla sedang kesulitan karena tidak punya uang saat harus membayar uang wisuda, tak sepeserpun kakaknya itu berniat membantunya. Membantu mencari solusi saja tidak. Dilla sampai harus meminjam uang kepada Radit saat itu.

Hidup mereka selalu berjalan sendiri-sendiri. Lalu sekarang dia dipandang seolah tak dapat diandalkan. Tak peduli pada ponakan.

Napas panjang dan dalam terhembus dari celah bibirnya. Kepalanya sedikit nyeri karena terlalu banyak pikiran. Rasanya ia butuh memuntahkan beberapa isinya untuk menciptakan sedikit ruang agar otaknya tak terlalu penuh.

Di tengah langkahnya menuju ruang meeting, matanya berkeliling mencari sebuah sosok yang seharian ini belum ia lihat. Kebetulan ruang meeting yang akan ia gunakan, ada di area kerja laki-laki itu.

Sebuah rasa tak senang dan kecewa menyusup ke dalam dadanya ketika tak ia temukan tanda-tanda kehadiran pria itu di sana.

Dilla membuka aplikasi Slacknya dan mencari nama pria itu di sana. Ketika ia menemukan nama Abil, dahinya berkerut saat emoji sick terpasang di sebelah nama pria itu. Niatnya untuk menanyakan keberadaan pria itu pun akhirnya ia urungkan.


Ardilla Rasya gws


Tak disangka, status away di Slack Abil langsung berubah hijau. Tanda bahwa pria itu sekarang kembali online. Tampaknya pria itu langsung membuka aplikasi Slack miliknya karena menerima notif chat dari Dilla.

Benar saja ... balasan dari Abil langsung datang tanpa Dilla harus menunggu lama-lama.


Sabila Mauza nyariin?


Senyum Dilla terkulum malu-malu ketika melihat balasan yang luar biasa percaya diri namun tepat sasaran itu.


Ardilla Rasya Hmmmmmmmm

Sabila Mauza bsk msk
Sabila Mauza sabar

Ardilla Rasya nggak nanya hmmmmm

Sabila Mauza tp kn gue udh paham :p

Ardilla Rasya Hmmmmmmmm

Sabila Mauza gue pilek doang kok
Sabila Mauza makasih doanya


"Ngapa lu mesem-mesem sendiri kayak orang dimabuk cinta?" Ledek Leon ketika Dilla masuk ke dalam ruang meeting dengan senyum melengkung yang tertahan di bibirnya sementara kedua matanya terus fokus ke layar ponsel.

"Ada, deh. Kepo." Sahut Dilla sambil menjulurkan lidahnya.



***



"Udah makan?"

Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang paling sering Radit lontarkan ketika mereka menyempatkan waktu untuk berbincang melalui telepon. Pertanyaan yang mungkin terdengar perhatian dan menunjukkan tanda bahwa Radit punya intensi untuk menjadi lebih dari teman jika ditanyakan 10 tahun lalu ketika mereka baru pendekatan. Namun jika pertanyaan itu ditanyakan sekarang, pertanyaan itu seperti menunjukkan bahwa Radit tidak punya hal menarik lain yang ingin ia ketahui. Cuma sekedar basa-basi.

"Kamu udah nanya tadi dan aku udah jawab udah." Jawab Dilla dingin dan datar.

"Oh." Radit bahkan tak tahu harus merespon apa.

"Kamu nanya soalnya bukan pengen tahu jawabannya, Dit. Basa-basi doang. Makanya nggak ingat jawabannya. Bahkan kamu nggak ingat udah nanya berulang-ulang." Cetus Dilla dengan nada pelan, tapi jelas terdengar tak senang.

"Kok ngomongnya gitu, sih?" Radit mulai terpantik emosi. "Aku nanya baik-baik, lho."

Banyak sekali rentetan kalimat yang Dilla ingin muntahkan—tentang bagaimana hubungan mereka yang semakin terasa hambar, tentang bagaimana komunikasi mereka yang semakin lama hanya terasa seperti kewajiban, tentang bagaimana Radit yang lama kelamaan terlalu asyik dengan dunianya, tapi tampak selalu kehabisan topik untuk dibicarakan.

"Maaf, aku sibuk banget dari kemarin. Aku lagi ngasih training dan ngawasin kinerja frontliner banget akhir-akhir ini. Dengar-dengar bakal ada mystery shopper datang buat survey kualitas pelayanan bulan ini, sedangkan cabangku ini dulu dapat nilai yang lumayan jelek karena pada malas-malasan. Makanya aku benar-benar harus ngawasin secara ketat sambil ngurusin kerjaan lain juga." Cerita Radit dengan suaranya yang terdengar lelah.

Ya, ya, ya. Radit memang sibuk dan akan selalu sibuk. Sedangkan Dilla selalu mencoba mengerti dan akan selalu mencoba mengerti.

Dilla pun tak paham. Mengapa hubungannya dan Radit bisa menjadi serenggang dan sedingin sekarang? Mengapa Radit terasa semakin jauh? Sedangkan selama 10 tahun belakangan, mereka tak pernah terlibat pertengkaran besar. Apa Radit memang ternyata lebih senang sendiri? Apa Radit memang tak terpengaruh dengan keadaan berjauhan yang mereka lalui sekarang ini?

Apa hanya dirinya yang ingin selalu berdekatan dan tak ingin tanpa satu sama lain?

Dilla menggigit bibirnya. Lagi-lagi tangisnya ingin keluar. Pemikiran bahwa ia mudah dilupakan selalu menyakitkan, dan membayangkan bahkan eksistensinya semudah itu diabaikan oleh orang satu-satunya yang ia jadikan pegangan membuatnya patah hati perlahan-lahan.

Kamu seneng, ya, Dit, nggak ada aku di sana? Nggak ada yang gelendotin kamu tiap malam. Nggak ada aku yang pengennya dimanja-manja. Nggak ada aku yang setiap hari kerjaannya curhat padahal kamu pengen cepet-cepet tidur.

Dilla ingin sekali menanyakan semua itu tapi pertanyaan itu harus terpaksa ia telan. Ia tidak mau bersikap seperti anak kecil yang benar-benar ketergantungan. Ia tidak mau terdengar menyedihkan dan ia tidak sanggup jika jawaban Radit ternyata menegaskan bahwa Dilla memang bertepuk sebelah tangan.

Jika Radit bisa tanpa dirinya, dia juga bisa tanpa Radit.

"Gimana di sana? Ada cerita apa?" Tanya Radit setelah menghembuskan napas panjang.

Banyak. Permasalahan pekerjaan, permasalahan mobil Dilla yang pecah ban di tengah jalan, permasalahan Zara dan Kak Dani—sangat banyak. Namun perasaan bahwa Radit bertanya bukan karena peduli, tapi hanya basa-basi untuk menggugurkan kewajiban membuatnya enggan bercerita. Untuk apa ia menggebu-gebu menceritakan semuanya, padahal nyatanya Radit bahkan tak mendengarkan?

Toh, dari dulu jika dia bercerita, respon Radit hanya seadanya saja.

"Nggak ada. Gitu-gitu aja." Jawab Dilla singkat pada akhirnya. Ia memilih untuk menyimpan tenaganya agar tak terbuang sia-sia.

"Udah jadi ganti oli belum? Waktu itu kamu kayaknya bilang udah harus ganti oli." Tanya Radit yang secara mengejutkan mengingat ucapan Dilla kurang lebih satu bulan yang lalu. Meskipun ya ... telat sekali untuk baru ditanyakan lagi, sih.

"Udah. Minggu lalu." Jawab Dilla singkat, padat dan kurang lengkap. Sebab Dilla tak menceritakan dengan siapa ia ke bengkel.

Well, nggak perlu diceritakan, kan? Toh, Radit nggak nanya.

"Ohhhh, ngerti emangnya? Kamu, kan, biasa minta aku yang ngurusin. Kamu cuma duduk doang nemenin aku di bengkel." Radit kembali bertanya yang langsung membuat Dilla mendadak gelisah.

Ia takut jika Radit bertanya—

"Sendirian?"

Mendadak dunia Dilla berhenti sesaat. Sekitarnya hening dan satu-satunya yang bisa ia dengar hanya debar jantungnya yang mendadak melambat seperti orang sekarat. Perutnya tiba-tiba terasa mulas seperti diperas.

"Iya."

Dilla tak tahu mengapa ia memberikan jawaban itu. Padahal jelas-jelas jawaban itu dusta.

"Pinter banget calon istri aku sekarang udah bisa mandiri, ngurus mobil sendiri. Hebaaat!" Puji Radit sambil terkekeh. "Ngomongnya gimana ke masnya?"

"Mau ganti oli, mas."

Ya, emang begitu, kan? Dilla nggak tahu dan nggak pernah tahu—secara kemarin Dilla juga akhirnya dibantu Abil—tapi pikirnya pasti seperti itu. Masa mau ganti oli bilangnya mau ganti ban?

Mendengar jawaban Dilla, Radit tergelak renyah. "Lucu banget, sayangnya aku. Jadi kangen."

Tawa Radit menghangatkan perasaannya yang sudah mulai dingin. Tawa tulusnya membuat Dilla teringat bagaimana jika Radit sedang gemas padanya. Dilla pun lambat laun tersadar bahwa seberapa menyebalkan dan menyakitkan hubungan mereka sekarang, kehadiran Radit tetap sangat ia rindukan.

"I miss you too." Bisik Dilla pelan, mencoba menguasai dirinya yang diterpa rindu gila-gilaan.

"Video call?" Usul Radit dengan suara yang lebih rendah, berat dan dalam, berusaha keras menahan. "I really miss you."

Dilla tahu maksud Radit, dan rindu Dilla juga sebesar itu. Oleh karena itu Dilla mengangguk setuju.



—————❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥—————



9 |  The Great Escape

Dilla sedang sangat mengantuk saat tiba-tiba sebuah notifikasi chat muncul di sudut kanan bawah layar laptopnya. 


Sabila Mauza starbucks lg buy 1 get 1 nih
Sabila Mauza mau ga


Lengkungan di bibir Dilla perlahan muncul. Ia mengulum senyum, mencoba meredam euforia yang mendadak meledak di dadanya seperti kejutan di pesta ulang tahun.


Ardilla Rasya mau
Ardilla Rasya kalo dibayarin


Jawabannya yang penuh canda malah membuat senyumnya makin tak terbendung. 


Sabila Mauza gue dpt apa?


Dahi Dilla berkerut meskipun tarikan di ujung bibirnya masih tetap tak mau surut. 


Ardilla Rasya dpt kopi lah
Ardilla Rasya kecuali lo belinya teh
Ardilla Rasya ntr lo dptnya teh

Sabila Mauza kalo dpt teteh bisa gak


Hampir saja tawa Dilla menyembur. Buru-buru ia menahan gelaknya dengan menutup mulut dengan tangan. 


Ardilla Rasya hmmmmmm jayus
Ardilla Rasya coba lg bsk

Sabila Mauza wkwkwk ah sial
Sabila Mauza saya tunggu di dpn lift ya, teh


Dilla sontak tercenung. Ia menatap pesan garing itu dengan lamat-lamat. Pikirannya mendadak dipenuhi huru-hara saat melihat panggilan penuh canda Abil padanya.

Apakah Abil baru saja melakukan apa yang Dilla pikir Abil sedang lakukan?

Rona kemerahan pelan-pelan menjalari pipinya. Sialan. Dilla tersipu malu hingga rasanya semakin mustahil menahan senyum. 



***



Dilla dan Abil memutuskan untuk menghabiskan minuman mereka di taman kantor. Setelah kembali dari The Breeze, mereka duduk bersisian di salah satu tempat duduk di taman kantor mereka dan berbincang santai sebelum nanti kembali disibukkan dengan pekerjaan. 

"Jadi ponakan lo udah pulang?" Tanya Abil sebelum kembali menyeruput Ice Caffe Americano miliknya. 

Dilla mengangguk. "Gue yang jemput."

Wajah tampan Abil beriak. Meski sedikit, tapi Dilla dapat melihat sudut bibir Abil tertarik. Kedua alisnya berkerut hanya untuk sepersekian detik. Dilla bisa melihat Abil terlihat bingung tampak seolah berpikir. Namun pria itu kembali datar tanpa mengucapkan apa-apa. 

"Gue tahu lo mau komentar," kekeh Dilla saat melihat Abil yang menahan diri. "Apaan? Spill cepetan!" Seru Dilla sambil menendang pelan kaki Abil. 

Tawa renyah Abil yang sangat merdu di telinga Dilla terdengar. "Bukan gitu. Gue bingung aja kenapa kakak lo nggak jemput sendiri."

"Mana mau, lah." Decak Dilla. 

Zara yang kemarin pergi dari rumah ternyata kabur ke rumah bapaknya. Sesuai dengan tebakan Dilla. Maka dari itu, Dani memintanya untuk menjemput Zara pulang karena ia tak ingin berurusan dengan mantan suaminya.

"Terus kenapa lo mau?" Tanya Abil heran. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum miringnya yang khas.

Dilla menatap ke depan dengan tatapan kosong lalu menghembuskan napas panjang. "Nggak tau, lah. Gue cuma malas diributin."

Abil mengangguk-angguk paham. "Menghindari konflik."

"Iya, kali. Gue capek aja, Bil, sama yang gitu-gitu," Dilla mengangkat bahu. "Biar gue nggak diganggu lagi, biar cepet, ya udah. Gue turutin aja dulu."

"Terus pas jemput, nggak ada drama dulu?"

Dilla menoleh ke arah Abil dan meringis. "Ya, ada dong. Itu laki khotbah panjang lebar sampe segala ayat Al-Quran dikeluarin."

"Kebakar lo langsung dengernya?" Ledek Abil sambil terkekeh.

"Sepele lo," Dilla kembali menendang kaki Abil. Namun kali ini lebih keras. "Bukan kebakar lagi. Hangus, gue!"

Lagi-lagi Abil—dengan sedotan terselip di antara bibirnya—tergelak hingga bahunya berguncang, dan Dilla merasa sangat termanjakan dengan apa yang telinganya dengar dan apa yang matanya lihat. 

Abil sudah terlihat begitu memikat dari jauh, apalagi dari dekat.

"Pasti pulang-pulang langsung misuh panjang kali lebar kuadrat lo, ya, ke Radit." Tebak Abil masih diselingi tawa renyah. 

Namun ucapan Abil itu seketika malah membuat senyum Dilla meluntur sedikit demi sedikit. 

Menyadari hal itu, Abil kembali mengernyit. "Haduuu. Kok gitu ekspresinya? Kenapa, nih?"

Dilla menggigiti sedotan yang terselip di bibirnya. Matanya menatap ujung flat shoes Gucci hadiah dari Radit untuk ulang tahunnya tahun lalu dengan perasaan ganjil mendera. 

"Nggak apa-apa," jawab Dilla ragu-ragu. "Gue lagi jarang cerita apa-apa, sih, ke Radit."

Abil menatap Dilla lekat-lekat dengan ekspresi yang tak terbaca.

"Dia … sibuk. Kayaknya nggak tertarik juga dengar ocehan gue." Imbuh Dilla dengan pikiran dipenuhi dengan asumsinya tentang Radit.

"Emang Radit kerja apa, sih, di Malang?" Tanya Abil penasaran. 

"Kepala cabang pembantu."

"Oh. Banyak banget, dong, ya, kerjaannya?" 

Dilla mengangguk lesu. "Dia membawahi tujuh atau sepuluh karyawan gitu kalau nggak salah ingat. Semua kegiatan bisnis dan operasional di KCP itu jadi tanggung jawab dia. Funding, lending, kredit macet, service quality, semuanya dia urusin. So, basically he handles everything. Kelihatannya kecil karena cuma cabang pembantu, tapi tetap aja yang namanya kerja di bank, semua pake target dan target itu yang bakal jadi KPI dia. Jadi … i don't know. Mungkin dia lagi ambi-ambinya."

Lagi-lagi Abil hanya bisa mengangguk. Tangannya terlipat di dada dengan salah satunya masih memegang cup Starbucks miliknya. Ia menyeruput minumannya pelan-pelan dengan mata menerawang ke depan. 

"Sebenarnya dari dia masih di Jakarta, ya, udah sesibuk sekarang, sih. Dia kadang pulang malam, kadang nggak, tapi at least gue ketemu tiap hari. Bisa cerita tiap hari, lihat mukanya dengerin gue ngomong. Kalau gue lagi cerita, matanya suka kriyep-kriyep ngantuk gitu, tapi dipaksain melek buat denger cerita gue," Dilla tertawa kecil mengingat momennya bersama Radit. "Keseringan dia cuma iya-iya, atau ketawa dengar ocehan gue. Kalau gue udah selesai cerita, ya baru tidur, deh, dia."

"Emang kalau sekarang?"

"Kita masih suka chat, tapi kadang topiknya basi. Dia bisa nanya gue udah makan belum atau lagi apa dalam dua jam sekali, dan di antara waktu itu, nggak ada topik lain," Dilla mengangkat bahunya. "Kalau telponan biasanya malam, kalau dia nggak lembur. Kalau lembur, ya, jangan harap."

“Lemburnya seberapa sering?”

“Hampir tiap hari,” dengkus Dilla malas. “Nggak taulah, Bil. Rasanya tetap beda. Mungkin guenya juga yang clingy kali, ya. Secara selama beberapa tahun belakangan gue ketemu tiap hari. Meskipun pulang kantor udah malam dan sibuk masing-masing … ya … kan … tetep beda sama sekarang.”

Abil menoleh ke arah Dilla dengan mata menyipit dan senyum kecil tertahan. “Sorry, ini … lo selama ini tinggal bareng sama dia, ya?”

Dilla melipat bibirnya ke dalam dengan canggung. "Hm." 

Mulut Abil ber-oh ria dan kepalanya mengangguk-angguk mafhum.

Dilla tak melanjutkan ceritanya. Rasanya akan terlalu gamblang dan terbuka jika ia menceritakan semuanya pada Abil. Lagipula ia pun juga tak yakin akan ada yang paham dengan apa yang ia rasa. 

Mungkin takkan banyak orang yang bisa paham bahwa berkomunikasi langsung dan melalui perantara tetap saja terasa tak sama.

Melihat Radit setiap hari secara langsung akan sangat berbeda dibanding melalui layar ponsel. Sedangkan tak mungkin juga Dilla mengajak Radit melakukan panggilan video setiap hari hanya untuk melihat wajahnya ketika ia sedang bercerita. Hal itu pasti akan sangat mengganggunya. 

"Dia emang nggak banyak ngomong. Love language dia physical touch, Bil." Dilla tertawa malu-malu. "Jadi kalau mesti nunjukkin perhatian dengan ngobrol, dia suka kesusahan cari topik."

Abil menyeringai kecil. "Love language lo?"

Dilla mengedikkan bahu. "Sama, mungkin? Atau quality time? I don't know."

"Love language yang sulit untuk pejuang LDR." Kekeh Abil. 

"Makanya kita 10 tahun nggak pernah jauh, Bil." 

Abil berdecak kagum seraya menggelengkan kepalanya. "Hebat," pujinya dengan sedikit hiperbolis. "Makanya sekalinya jauh, huru-hara, ya. Langsung cari lagi yang lebih dekat."

Dilla membeliak, pipinya sontak menghangat. "Ehhhh, maksudnya apa, tuh?! Enak ajaaa!" Dilla mendorong bahu Abil sedangkan Abil tertawa puas.

"By the way, ini bahu sama lengan gue masih pegel, ya, gara-gara gantiin ban lo. Jangan didorong-dorong. Kalau pijit, boleh!" Seloroh Abil sambil menunjuk bahunya yang tadi didorong Dilla. 

Dilla tergelak kencang. "Lemah!"

"Berat, Dil. Astaga." 

Beberapa hari yang lalu memang Dilla mengalami kesialan saat hendak pulang dari kantor ke apartemennya. Ban mobilnya mendadak pecah di tengah jalan dan karena selama 10 tahun ini segala sesuatu hal yang berhubungan dengan mobil diurus oleh Radit, Dilla nggak paham bagaimana cara mengganti ban mobilnya. Pada akhirnya Dilla hanya bisa terpikirkan satu nama di kepala. 

"Thanks banget, Bil. You're my life savior," ucap Dilla disela-sela tawanya. Tangannya yang bebas tak memegang cup starbucks merogoh saku celananya. "Because you've been my life savior, i wanna be yours."

Dengan penuh canda, Abil menyentak kepalanya ke belakang. Ia menunggu Dilla menjelaskan maksudnya sambil menatap perempuan itu dengan mata menyipit dan dahi mengernyit. 

Setelah mengambil sesuatu dari saku celananya, Dilla menjulurkan telapak tangannya yang terdapat sebungkus koyo cabe berwarna merah di atasnya.

Melihat itu, Abil memutar kedua bola matanya sambil melepaskan dengkusan tawa. Dilla terkikik semakin geli karenanya. 

"Sebuah hadiah untuk pahlawan hidupku," Ujar Dilla dengan nada mencemooh. "Koyo cabe yang super hot!"

"Gila, sih, lo." Abil menggelengkan kepalanya berulang kali sambil tersenyum tak habis pikir. 

"Ampuh ini, jir. Nggak berani lo?" Ledek Dilla melihat reaksi Abil yang tampak enggan menerima pemberiannya. "Takut nggak kuat, ya?"

Kalimat menyepelekan dan menantang itu membuat Abil berdecak lalu segera menoleh ke arah Dilla. Tangannya mendarat dengan cepat di atas telapak tangan Dilla yang terjulur.

Sentuhan yang seharusnya singkat itu membuat Dilla membeku. Apalagi ketika—alih-alih langsung mengambil koyo itu dan menarik kembali tangannya—Abil malah menggenggam telapak tangan Dilla dan menatap kedua bola mata perempuan itu dengan tajam. 

"Kalau gue kuat, taruhannya apa?" Tantang Abil dengan senyum tipis namun tajam melengkung di bibirnya.

Serangkaian kalimat terperangkap tak menemukan jalan keluar dari bibir Dilla. Tangannya yang terbungkus dalam genggaman Abil membuat otaknya korslet dan perutnya teraduk tak keruan. Abil terlihat begitu santai melakukan sentuhan dan mempertahankan genggaman itu. Seolah tak ada yang salah, seolah tak memberi efek apa-apa. Padahal Dilla sudah hampir kehilangan napasnya karena sengat yang menjalar dari telapak tangan ke setiap inci tubuhnya. 

"Taruhan itu dosa." Sahut Dilla singkat dan cepat sambil menarik tangannya, berusaha melepaskannya dari genggaman Abil.

Namun Abil tak membiarkan dan malah mengeratkan genggamannya dengan tanpa rasa bersalah. "Lo traktir gue makan Gion, ya?"

Sensasi ganjil yang terus merayapi tubuhnya menggelontor semakin deras seperti air terjun. Jantungnya seperti mau meledak seiring semakin kuatnya genggaman Abil. 

Dilla bahkan harus menahan napas saat menatap balik mata Abil. Sedangkan pria itu masih saja menyunggingkan senyum licik penuh arti dengan santai seolah ia tidak sedang menciptakan kerusuhan apa-apa. 

"Deal nggak?" Tanya Abil sekali lagi sambil menggoyangkan tangan mereka yang terpaut.

Sekali lagi Dilla mencoba membebaskan diri. Namun Abil malah mengubah posisi genggamannya menjadi jabatan tangan. 

"Oke, deal!" Abil menjabat tangan Dilla dengan tegas sebelum kemudian melepasnya seraya mengambil koyo yang terselip di antara telapak mereka. Senyum lebar menghiasi wajah Abil, menampilkan kepercayaan diri yang luar biasa bahwa ia akan memenangkan taruhan.

Seperti udara dalam balon yang ikatannya terlepas, napas dan segala perasaan yang tertahan di balik dada Dilla akhirnya bisa keluar bebas.

Meskipun kemudian Dilla merasakan kehilangan dan candu di waktu bersamaan.

"Gue pake, nih, ya, sampai jam pulang kantor. Kalau gue kuat, lo traktir gue." Abil masih berceloteh santai sambil membuka bungkus koyo yang kini sudah ada di tangannya.

Ia menempelkannya satu per satu di kedua lengan atasnya. Lalu saat ia membuka perekat koyo berikutnya, ia kesusahan untuk menempelkannya di punggung dan bahu belakang. 

"Pasangin, Dil."

Napas Dilla tercekat. Matanya membeliak.

"Udah gila lo, ya?" Sergah Dilla cepat untuk menutupi kegugupan yang menggembung memenuhi dadanya.

Abil yang sudah menghadapkan punggungnya ke hadapan Dilla, langsung menoleh bingung. 

"Kenapa, sih?" Tanyanya dengan wajah polos.

"Pake sendiri, ah! Sinting!" Dilla langsung beranjak berdiri dan memutar tumit, berjalan menjauhi Abil.

Ia tak tahu wajahnya sudah semerah apa, sebab yang ia rasa, panas itu bukan lagi hanya menjalari pipinya, melainkan sudah ke seluruh badannya. 

"Dil, punggung gue nggak bikin nafsu, kok!"

Dilla memejamkan mata sambil menipiskan bibir menahan gemas. 

Jika ujung jari Abil saja bisa membuat jantungnya ingin melompat keluar, Dilla tidak ingin mencari tahu apa efek yang bisa punggung Abil berikan kepadanya.



—————❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥—————



10 |  Where We Fell Apart

"Ray!" 

Dilla berlari kecil menghampiri teman kerjanya yang kini sudah berhenti dan berbalik menghadapnya.

"Yes? What's up, Dil?" Tanya Ray. 

"Gue mau nanya," Dilla memasang wajah serius. "Kenapa di halaman search result itu lo ngeduplikat isi konten blog kita? Kenapa lo nggak munculin entry point yang diarahin ke halaman blog kita? Kita, kan, udah punya halaman itu di blog. Kalo lo bikin lagi di halaman search result, i think it would be redundant, Ray." 

Ray menggaruk pelipisnya. "Sebenarnya kemarin kita udah consider ini, sih, Dil, but we can't make sure the intention of users pas search sebuah destinasi. We can't make sure what's the expectation from users—apakah mereka still up to exploring atau mereka pengen langsung decide what to buy. We were afraid kalau diarahin ke halaman blog, itu akan nambah step dalam user journey, dan konten yang disajiin di dalam blog itu bikin users overwhelmed."

Dilla mengernyit. "Maksudnya? Isinya yang lo tampilin, tuh, sama lho, Ray, sama isi blog kita. Overwhelmed gimana?"

"Oh, kita nggak tampilin semua, Dil. Cuma beberapa items yang lebih straightforward," jawab Ray. Lalu ia menghela napas panjang dan menghembuskan. Wajahnya terlihat canggung. "Sorry, Dil, tapi kemarin ini berdasarkan direction dari Waka. Lo tahu kalau Waka udah bertitah kita nggak bisa gimana-gimana, kan?"

Tak ada lagi yang bisa Dilla debatkan jika Waka—department head mereka—sudah dibawa-bawa dalam perbincangan seperti ini.

"Menurut Waka, halaman blog kita masih kurang oke," Ray meringis tak enak. "Jadi better langsung tampilin di search result isinya."

Dada Dilla terasa seperti ditonjok. Pasalnya halaman travel blog Le Voyage—startup di bidang online travel agent tempatnya bekerja—adalah tanggung jawabnya. Dilla adalah Product Manager yang membangun blog tersebut dari nol. Blog yang sudah rilis sejak dua bulan yang lalu itu merupakan hasil kerja keras Dilla beserta timnya.

"Maksudnya nggak oke?"

"I don't know," Ray mengangkat bahu. Lalu ia menatap ke jam di pergelangan tangannya. "Sorry, Dil. Gue mau ke kamar mandi. 5 menit lagi ada meeting. Duluan, ya."

Tanpa basa-basi lagi, Ray melangkah ke arah pintu keluar untuk menuju kamar mandi. Ia meninggalkan Dilla yang merasakan nyeri di dada karena karyanya baru saja seolah dianggap tak ada, dan malah dibuat duplikasinya di tempat lain. 

Ray merupakan Product Manager yang mengemban tanggung jawab untuk mengembangkan halaman pencarian. Ray memiliki tugas untuk mengatur apa saja yang akan dimunculkan di halaman hasil pencarian ketika users mencari apapun melalui search bar. Bagaimana logic backendnya, apa saja kontennya—hal-hal tersebut sangat rumit dan Ray adalah penanggung jawab untuk itu semua. 

Dilla baru saja mengetahui bahwa ketika users mencari sebuah destinasi seperti Bali, Lombok, Jakarta, dan sebagainya, Ray memutuskan untuk menampilkan konten-konten yang sebenarnya sudah ditampilkan Dilla di halaman blog yang ia buat. Dilla sudah mengusulkan untuk menampilkan sebuah foto di halaman hasil pencarian itu yang jika diklik oleh users, maka aplikasi akan mengarahkan mereka ke halaman blog Dilla. Namun alih-alih melakukannya, Ray malah mengambil konten di sana dan langsung ditampilkan di halaman miliknya.

Dengan alasan apa tadi? Waka tidak menyukai halaman blog yang dibuat Dilla.

Dilla tertawa getir. Bagaimana maksudnya tidak suka? Sedangkan semua desain dan user flow ketika Dilla dan timnya membuat blog itu sudah berdasarkan approval Waka.

Rasanya Dilla semakin merasa pekerjaan yang sangat membuatnya hectic beberapa bulan lalu itu sia-sia. Tak ada entry point yang bisa mengarahkan users untuk mengunjunginya. Exposure terhadap travel blog hasil karya Dilla itu kecil sekali bahkan hampir tak ada. Trafficnya sangat kecil karena users bahkan tak mengetahui jika halaman itu ada.

Alih-alih membantu meningkatkan exposure, tim lain malah menduplikasi isinya dan menampilkannya di halaman mereka. Lalu buat apa Dilla membuat blog itu jika ujung-ujungnya tidak ada yang mengarahkan users kesana? 

Pekerjaan yang sudah ia kerjakan sepenuh hati itu berakhir tak ada gunanya, dan rasanya hal itu benar-benar membuat hatinya kecewa. Ia disuruh membangun blog itu dan berujung tidak ada yang memberikan apresiasi sama sekali.

Perasaannya benar-benar langsung berantakan. Kekecewaan membumbung tinggi. Sudah beberapa kali ia memperjuangkan hasil kerja kerasnya dan timnya itu agar lebih mendapatkan traffic, tapi selalu saja ada yang mematahkan usahanya seolah kerja keras mereka tak ada harganya. 

Jam sudah menunjukkan pukul 6. Dengan perasaan campur baur, Dilla mengambil tasnya dan berjalan menuju kamar mandi. 

Banyak sekali yang ingin ia tumpahkan, dan dulu, ketika Radit masih bersama di dekatnya, laki-laki itu selalu menjadi tempatnya menangis dan berkeluh kesah apapun yang dialaminya. Ia benar-benar sedang kecewa dan ingin menangis. Hanya Radit yang Dilla percaya bisa menjadi tempat untuk menunjukkan sisi paling lemah dirinya.

Begitu sampai di dalam kamar mandi, tangannya mengetuk nama Radit di ponsel. Lama sekali nada dering menjadi satu-satunya yang Dilla dengar. Dilla menggigit bibirnya dengan frustrasi, lagi-lagi berpikiran bahwa Radit sibuk sendiri. 

Memang jam baru menunjukkan pukul 6, tapi apa segitu sibuknya Radit hingga tak bisa mengangkat teleponnya?

"Halo?"

Dilla menghela napas lega ketika akhirnya suara yang sangat meneduhkan itu terdengar. 

"Kamu dimana, Dit?" Tanya Dilla pelan. 

"Masih di kantor, nih. Kenapa?" Jawab Radit. "Kamu dimana?"

"Masih di kantor, tapi udah mau pulang."

"Oh. Hati-hati, ya, pulangnya." Ucap Radit masih seperti template yang sama. Setiap hari—di chat maupun telepon—jika Dilla bilang ia akan bepergian, berangkat kantor atau pulang kantor, Radit akan mengatakan hal tersebut.

"Kamu pulang jam berapa?" Tanya Dilla dengan suara lesu. "Aku mau cerita. Aku lagi sedih banget, Dit."

"Kenapa, Yang? Sedih kenapa?"

"Soal blog yang aku buat waktu itu." Dilla mengerjap untuk menghindari air mata yang hendak merembes keluar.

"Hmm? Kenapa?" Terdengar suara cetak-cetik keyboard dari seberang. Tampaknya Radit masih sibuk dengan pekerjaannya. 

"Nanti aja kalau kamu udah pulang. Kamu lagi sibuk juga, kan, sekarang? Nggak bakal fokus juga denger cerita akunya. Malah ganggu yang ada." Ucap Dilla mencoba pengertian.

"Nggak, Yang." Jawab Radit berusaha meyakinkan bahwa ia tak merasa terganggu dan tetap akan mendengarkan. 

Namun Dilla sangat mengenal Radit yang tidak multi-tasking, jadi dia mengetahui betul bahwa Radit takkan mendengarkan jika sedang sibuk dengan hal lain. 

"Nanti aja. Kalau udah pulang, kabarin aku, ya? Nanti aku telepon." Jawab Dilla. 

"Hmmm. Okay." Gumam Radit singkat. 

"Aku pulang, ya—"

"Eh, yang! Bentar," Dilla mengurungkan niatnya untuk memutuskan panggilan. "Aku baru ingat, takut keburu lupa, jadi bilang sekarang aja, deh."

Dilla mengerutkan dahi, penasaran. Tumben sekali Radit ada topik yang ingin dibicarakan sampai niat begini. 

"Kayaknya aku nggak jadi pulang pas long weekend minggu depan. Nggak apa-apa, ya?" 

Mendadak genggaman Dilla di ponselnya menguat. Panas menjalari tubuhnya dengan sangat cepat. Jantungnya memompa dengan sangat kuat. 

"Kamu udah janji." Sahut Dilla tajam.

Radit menghembuskan napas panjang seolah lelah, dan hanya dengan hal kecil itu saja, emosi Dilla terpantik semakin besar. 

Mengapa Radit menghembuskan napas panjang seolah lelah menghadapi Dilla yang akan marah? Sedangkan dia adalah pihak yang akan mengingkari janji.

"Aku juga baru tahu kemarin, Yang, kalau di long weekend itu mau diadain team bonding buat seluruh cabang Malang." Jelas Radit dengan pelan dan tenang. 

"Tapi nggak ada lagi tanggal merah apalagi long weekend sampai akhir tahun, Dit! Kamu sendiri yang bilang kalau pulang pas weekend biasa bakal ngabisin duit dan waktu. Kamu yang janji bakal pulang di long weekend minggu depan. Udah dari kapan, loh, Dit, kamu janji ke aku? Aku udah seneng banget nunggunya, ngebayang-bayangin minggu depan ketemu kamu. Terus tiba-tiba kamu gampang banget batalin kayak gini?" Sergah Dilla panjang lebar dengan dada menahan sesak dan mata menahan air yang hendak keluar. 

Dilla benar-benar kesal.

"Ya … aku juga baru tau—"

"Kalau gitu harusnya acara itu yang kamu nggak datangi! Bukan janji kamu ke aku, Dit. Kamu, kan, udah janji duluan ke aku!" 

"Tapi, kan, ini acara—"

"Jangan kamu kira aku nggak tahu, ya, acara kayak gituan, Dit! Aku tahu itu nggak wajib! Kamu bisa nggak ikut!"

"Tapi, kan, aku kepala cabang pembantu di sini. Anak baru juga. Jadi, ini kesempatan buat bisa lebih dekat—"

"Emang kalau bonding sama karyawan kamu di lain waktu nggak bisa apa, Dit?" Dilla mulai menitikkan air mata. "Kenapa kamu lebih mentingin bonding sama mereka yang bisa ketemu tiap hari dibandingin sama aku?"

"Dil …"

"Sumpah, Dit, kamu kangen sama aku nggak, sih?" Tanya Dilla dengan suara bergetar. "Kayaknya kamu menikmati banget, ya, di sana nggak ada aku?"

Akhirnya pertanyaan yang sudah Dilla ingin lontarkan sejak lama itu keluar begitu saja bersama tetesan-tetesan air matanya. 

"Kok gitu, sih, ngomongnya? Ya, kangen, lah." Decak Radit dengan nada yang mulai terdengar kesal juga. 

"Terus kenapa gampang banget batalin janji kayak gitu, Dit?" Tantang Dilla nyalang. "Sumpah, aku kangen banget sama kamu, Dit. Kamu tahu nggak, sih, seberapa senangnya aku pas kamu janji mau pulang long weekend besok? Di otak aku akhirnya aku nggak kesepian lagi kayak belakangan. Weekend depan aku bisa jalan-jalan bareng kamu, ngehabisin waktu sama kamu kesana kemari, nggak kayak akhir-akhir ini cuma di apartemen sendirian. Kamu bisa bayangin nggak, sih, tiba-tiba kamu batalin, tuh, kecewanya aku kayak apa, Dit?"

Radit hanya menghela napas dan menghembuskannya lagi panjang-panjang. 

"Aku udah bosen banget, Dit, di apartemen doang." Bahu Dilla berguncang karena berusaha keras menahan isak. 

"Ya, kamu pergi sama siapa, kek. Nadine atau teman kantor. Kamu, kan, punya teman juga bukan cuma aku doang, Dil." 

Dada Dilla serasa diremas dengan sangat kencang mendengar ucapan Radit. 

"Kamu jangan ketergantungan sama aku doang, Dil." Tambah Radit seolah ucapan sebelumnya belum mengiris hatinya. 

"Siapa?" Tanya Dilla dengan nada menantang. 

"Ya, siapa gitu. Nadine, kan, ada."

"Kamu tahu, kan, Dit, setiap aku ajak Nadine pergi jawabannya apa?" Dilla menggigit bibir bawahnya yang bergetar hebat. 

"Atau main ke rumah Dina, Risa—janjian aja sama mereka."

Dilla memejamkan mata hingga air matanya mengalir semakin deras. 

Baiklah. Tampaknya Radit tidak memahami apa yang Dilla alami. Memang percuma. 

"Oke. Have fun, Dit."

"Dil, jangan gitu, dong. Masa kamu nggak bisa ngertiin aku?"

"Aku bilang have fun. Aku udah ngalah kamu nggak pulang. Iya, nanti aku cari teman yang bisa nemenin aku jalan-jalan. Terus kurang ngertiin kamunya dimana, Dit?"

"Kamu nggak bisa, dong, expect aku nggak bergaul juga cuma karena mau nemenin kamu."

Dilla tercekat. Napasnya semakin sesak. Ucapan Radit yang begitu santai namun menusuk bagai pedang benar-benar menorehkan luka di dalam hati Dilla yang sudah rapuh. Rasanya perih sekali. 

Runtuh sudah pertahanannya yang berusaha mengerti Radit dan bersikap seolah semua ini baik-baik saja. 

Dilla membekap mulutnya menahan isak, meski air matanya membanjiri pipinya tanpa bisa ia tahan. "Ya. Oke." Jawab Dilla singkat, tak ingin lagi berdebat.

Percuma. Itulah yang selalu ia ucapkan berulang-ulang saat berusaha menjelaskan kepada orang lain apa yang ia rasakan. 

Tak akan ada yang paham. 

"Dil—"

"Mas Raaadiiit~~~"

Jantung Dilla berhenti berdetak mendengar panggilan dari suara seorang wanita yang mendayu manja di seberang sana. 

"Maaas …" 

"E—eh, Ren! Aku lagi telepon." Ucap Radit gelagapan dan terdengar panik. 

"Oh! Sorry."

Rasanya Dilla seperti terkena gempa lokal. Sekujur tubuhnya sekarang bergetar hebat. Ia berusaha keras menepis pemikiran buruk yang menerjang. Namun pemikiran itu terlalu kuat hingga akhirnya ia kehilangan kendali akan emosinya.

Isaknya tak tertahan hingga Radit pun bisa mendengar dengan jelas. 

"Dil, itu tadi—"

"Masih butuh bonding, ya? Kedengarannya udah akrab banget, tuh, padahal." Ujar Dilla sinis.

"Dil, dengerin dulu—"

"Nggak usah, Dit. Nggak butuh. Aku paham. Silakan bergaul, Dit. Biar kamu nggak kayak aku. Nggak punya teman." Sindir Dilla sebelum kemudian memutuskan panggilan. 

Tangis Dilla semakin pecah tak tertahankan. Ia berjongkok dan membenamkan wajahnya di antara kedua lutut. Ia mengeluarkan semua kekecewaan, kesedihan, kekesalan yang berdesakkan di dadanya melalui tangisan kencang. 

Ia memang tak bisa mengharapkan orang mengerti perasaannya. 

Bahkan Radit sekalipun.

Percuma.



—————❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥—————

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Lemons - After Story ( Part 6 )
73
17
Pengen bawa kamu pulang, bisiknya dengan mata memejam setelah mencuri satu kecupan. Capek kangen terus. *** Edisi nggak mau lepas
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan