PUBER KEDUA ATASANKU (Bab 2-5)

15
7
Deskripsi

Kehidupan Yoga Rahadian Pratama  jungkir balik karena kehadiran Giyanti di kantornya.  Lelaki yang memilih hidup tanpa pendamping itu merasakan kembali puber kedua. 
Ketika benih cinta itu tumbuh, sosok wanita dari masa lalu Yoga hadir di antara mereka. 
Apa yang akan terjadi, apakah Yoga Rahadian Pratama akan kembali melabuhkan cintanya pada cinta pertamanya atau memilih Giyanti, Personal Assistennya sebagai pelabuhan terakhir cintanya?

2. Bos Galak

Setelah mendapatkan instruksi dari Intan tentang sistem kerja di perusahaan itu dan saat itu juga Giyanti  diserahkan beberapa berkas untuk rapat klien hari itu.
Langkah kaki tegap terdengar berhenti tepat di depan pintu ruangan sekretaris. 
"Saya ada meeting jam 10 pagi ini, Tan. Sudah kamu kasih tau dia, apa saja yang di butuhkan?"
"Sedang dikerjakan, Pak," jawab Intan. 
Spontan Giyanti menundukkan kepala tanda hormat pada Yoga.
"Saya minta segera untuk berkas-berkasnya, jangan ada kesalahan," kata lelaki itu lalu melenggang meninggalkan tempat itu.
"Kamu dengar sendiri, kan. Dia bilang jangan ada kesalahan, padahal manusia itu tempatnya banyak salah," kekeh Intan. "Ya sudah, ini contoh notulennya. Ini file kerjasama, masih ada waktu satu jam untuk kamu pelajari."
Giyanti mengangguk, dengan cepat dia mempelajari file kerjasama perusahaan, terkadang dia berusaha menanyakan hingga detail pada Intan jika menemukan kesulitan.
"Sudah siap?" tanya Intan.
"Sudah, Bu. Ini berkas untuk meeting dan ini surat kerjasamanya."
Intan memeriksa ulang pekerjaan Giyanti, Intan takjub dengan cara cepat Giyanti beradaptasi dengan pekerjaannya padahal ini adalah hari pertama dia bekerja.
"Sekarang kamu ke ruangan Pak Yoga untuk mengingatkan dia bahwa 15 menit lagi, kalian akan berangkat ke tempat meeting."
"Berangkat?"
"Iya, meetingnya ada di salah satu restoran. Kemarin sudah saya booking, nanti kamu tinggal konfirmasi ulang saat sampai di sana. Jangan nervous gitu dong, santai aja. Ok."
Giyanti menarik napas panjang, dia lalu berjalan menuju ruangan Yoga di ujung koridor.
"Masuk." Jawaban Yoga saat pintu di ketuk.
"Maaf, Pak. 15 menit lagi kita berangkat ke tempat meeting, semua berkas dan surat menyurat sudah saya siapkan."
"Kamu suruh saya siap-siap, kamu sudah suruh Yanto standby belom?"
"Yanto?"
"Iya, Yanto ... pastikan dia sudah menunggu di lobby."
"Baik, Pak." Secepat itu Giyanti tahu apa yang di maksud oleh Yoga. 
Setelah menutup pintu ruangan Yoga, Giyanti berlari menuju ruangannya mencari tahu nomer ponsel supir kantor atasannya itu.
Yoga melewati ruangan Giyanti, Giyanti bergegas menyusul langkah Yoga setelah dia memastikan Yanto yang dimaksud sudah menunggu di lobby kantor.
"Jalan kamu terlalu lambat," kata Yoga sambil memegang pintu mobil sebelum dia masuk ke dalamnya. "Kalo bisa lari, jadi saya nggak harus nunggu kamu."
"Maaf, Pak." Berkali-kali Giyanti menundukkan kepalanya meminta maaf.
Yoga menutup pintu mobilnya, Giyanti masih berdiri di sana kebingungan dia harus duduk di depan atau bersebelahan dengan Yoga.
"Mbak Giyanti," panggil Yanto sudah membukakan pintu mobil di depan. 
"Oh, makasih Pak Yanto." Giyanti bergegas masuk, alih-alih takut bos galaknya terpancing amarah lagi. "Kita ke restoran Darmawangsa ya, Pak." 
"Baik, Mbak."
"Kamu sudah konfirmasi ke restoran nya?" tanya Yoga mengagetkan Giyanti.
"Sebelum berangkat Ibu Intan sudah konfirmasi, Pak. Nanti saya tinggal konfirmasi saat kedatangan kita," jawab Giyanti sedikit menoleh ke belakang.
"Harusnya kamu yang konfirmasi bukan Intan."
"Maaf, Pak. Saya masih harus belajar lagi," kata Giyanti.
"Hhmm ...." 
Giyanti memejamkan matanya sebentar, menahan gemuruh di dadanya. Rasanya ingin sekali dia mencengkeram wajah atasannya itu. Yang benar saja baru hari pertama kerja sudah harus menghandle semuanya.
"Gue fresh graduate, Bambang," ucapnya dalam hati. "Menyebalkan!"
"Kurang-kurangi ngedumel dalam hati," ujar Yoga seakan tahu apa yang Giyanti rasakan.
"Saya—"
"Yanto, nanti tolong di ajarkan juga bagaimana harus selalu standby untuk konfirmasi dimana kamu berada, ya."
"Baik, Pak."
Yanto menoleh sebentar pada Giyanti yang dengan tatapan hampa menatap jalan di depan sana.
"Nomer saya jangan lupa di simpan, Mbak."
"Hah? Oh iya, Pak. Sudah saya simpan, saya pastikan selalu menghubungi Bapak setiap kali di perlukan."
Tak lama mobil sedan hitam itu berhenti di sebuah restoran mahal di bilangan Jakarta Selatan.
Giyanti lebih dulu turun untuk memastikan bahwa tempat yang di reservasi sudah di siapkan.
"Ruangannya sudah siap, Pak." Giyanti melangkah lebih dulu mengikuti staf restoran.
"Silakan, Bapak dan Ibu," ujar staf restoran itu.
"Makasih," ujar Giyanti dan Yoga bersamaan.
Selang beberapa menit kehadiran mereka,  pihak dari klien pun datang.
"Pak Yoga," sapa lelaki paruh baya yang masih terlihat muda. "Maaf lama menunggu," ujarnya mengulurkan tangan pada Yoga.
"Kami juga baru sampai, silahkan duduk," ujar Yoga ramah.
"Langsung saja Pak Yoga, saya yakin Anda banyak jadwal hari ini. Ini meeting ketiga kita dalam rangka kerjasama produk kosmetik yang ingin saya beli. Jadi bagaimana apakah perjanjian kerja sama kita bisa di realisasikan?"
"Ada beberapa poin yang harus Bapak Liu ketahui, semua sudah saya tuangkan dalam surat perjanjian. Bisa Anda baca terlebih dahulu," ujar Yoga lalu tangannya meminta surat perjanjian itu pada Giyanti. "Surat perjanjiannya," pintanya.
"Oh iya." Dengan cepat Giyanti memberikan surat perjanjian itu pada Yoga.
"Surat perjanjian, poin-poinnya ... bukan ini! Ini surat penandatanganan, gimana sih!"
"Oh maaf, Pak. Ini Pak ...." Giyanti memberikan satu map transparan berisi poin-poin kerjasama.
"Santai saja, nggak usah buru-buru. Sepertinya baru, ya?" Lelaki bermata sipit itu tersenyum melihat Giyanti.
"Maafkan, Pak ... fresh graduate," kekeh Yoga.
"Wah perlu banyak belajar kalo gitu. Pinter juga Pak Yoga mencari staf fresh graduate bisa menekan biaya operasional perusahaan." 
Hanya mereka berdua saja yang tertawa tentunya yang mengerti akan kata menekan operasional perusahaan. Apalagi kalau bukan masalah gaji, tentu saja menggaji fresh graduate akan lebih ringan dibandingkan menggaji seorang yang sudah berpengalaman kerja.
"Enggak apa-apa, pelan-pelan belajar," ujar Liu lagi.
"Iya, Pak." Giyanti kembali menatap tabletnya, mencatat poin-poin inti pertemuan hari ini.
"Bagaimana Pak Liu?"
"Oke, nggak masalah ... kontrak kita selama lima tahun. Produk akan berlabel nama perusahaan kami, segala sesuatu bentuk perjanjian sudah tertulis dalam bentuk hukum dan hitam di atas putih."
"Benar, kalau begitu kita deal." Yoga mengulurkan tangannya di sambut oleh Liu.
"Sudah di catat poin-poin meeting tadi?" tanya Yoga saat Liu meninggalkan ruangan itu.
"Sudah, Pak."
"Kamu arsip itu sebagai file nanti, ada soft copy dan hard copy untuk berjaga. Jangan ada kesalahan."
"Baik, Pak."
Giyanti lalu merogoh ponselnya menghubungi Yanto agar bersiap menunggu mereka keluar dari restoran itu.
"Saya mau makan dulu, kamu bisa tunggu di luar kalo kamu mau. Atau kamu bisa cari tempat lain sambil menunggu saya."
"Oh, saya tunggu Bapak di luar saja," ujar Giyanti lalu beranjak pergi. "Ish, amit-amit. Ada manusia begitu," gerutunya. 
"Loh, Mbak ... Pak Yoga dimana?" 
"Makan, kita di suruh nunggu dia makan di sini."
"Oh, Mbak nggak di ajak sekalian."
"Enggak, Pak. Orang kaya tuh gitu kali ya, suka semena-mena memperlakukan orang."
"Ah masa sih, Mbak. Pak Yoga baik kok, saya aja sering—"
"Udahlah Pak, saya ke supermarket di depan dulu Pak, mau beli minuman Bapak mau?"
"Enggak usah Mbak, saya tunggu di sini aja.
"Bos Galak udah selesai?" tanya Giyanti yang tiba-tiba sudah berada di belakang Yanto.
"Belum, Mbak. Sebentar lagi kali, Mbak Giyanti naik aja dulu biar nggak kepanasan."
"Iya, makasih Pak Yanto."
Yoga berjalan menuju mobil itu terparkir dengan membawa dua paper bag. Yanto sigap menyambut majikannya lalu meraih dua paper bag tadi dan memasukkannya ke dalam bagasi.
"Kita kembali ke kantor, To," ujar Yoga.
"Siap, Pak."
"Sampai di kantor nanti saya mau lihat notulen yang kamu buat selama meeting," kata Yoga pada Giyanti.
"Baik, Pak."
*****
"Ini hard copy nya dan di sini ada soft copy nya," ujar Giyanti memberikan salinan notulen berikut flashdisk dan dia letakkan di atas meja kerja Yoga.
"Hhmm ...." Hanya sepintas lalu lelaki itu menjawab.
"Maaf Pak, saya ijin untuk makan siang, boleh?" 
Yoga melirik jam tangannya, sudah lewat jam dua siang dan Giyanti baru akan makan siang.
"Ya," jawabnya singkat.
Giyanti masuk ke ruang kerjanya, matanya tertuju pada paper bag berwarna coklat dengan logo nama restoran yang dia kunjungi pagi tadi. Dan sebuah chat masuk di ponselnya.
"Mbak Giya, tadi saya antarkan makan siang. Maaf sampai lupa, soalnya tadi keburu laper jadi makan duluan. Enggak apa-apa ya Mbak, selamat makam siang Mbak." Tulis pesan dari Yanto.
Giyanti membuka dua box makanan yang ada di dalam paper bag tadi, satu berisi salad buah dan satunya lagi berisi carbonara beef.
"Carbonara itu lebih enak di hidangkan saat baru selesai di masak. Tapi lumayan lah, makan siang gratis hihi ...." 
Giyanti menikmati makan siangnya, hari pertama bekerja meski harus selalu berinteraksi dengan bos yang jutek dan sok cool namun Giyanti cukup menikmatinya.
"Galak galak ternyata baik juga," gumamnya lalu melanjutkan dengan menikmati salad buah sebagai hidangan penutup.

3. Mulai Terbiasa
 

Jelang seminggu sudah Giyanti bekerja di Lova Innovation and Technology, dia sudah mulai terbiasa dengan ritme kerja Yoga yang kadang tak kenal waktu. Pagi ini ke tempat A, siang bisa di kantor lagi, sore ke tempat B atau sebaliknya. 
"Ini bekalnya, Ibu buatin balado telur, tumis kangkung dan tempe goreng. Pisangnya jangan lupa harus di makan, kerupuknya ada di plastik Ibu pisah biar nggak melempem."
"Makasih, Ibu." Giyanti membereskan peralatannya lalu meraih box bekal berwarna pink itu.
"Di makan, Gi. Sempatkan makan siang dulu, jangan sampe bekerja malah buat kamu jadi sakit-sakitan."
"Iya, Ibu Sayang. Oh ya, Bu ... Giyanti mungkin pulang malam lagi, akhir bulan banyak pekerjaan yang indent harus dilaporkan."
"Nanti Ibu suruh Bagas jemput aja, ya. Ibu was-was kalo kamu pulang malam terus."
"Nanti biar Giya yang bilang ke Bagas. Giya pamit, ya." Giyanti mencium punggung tangan Pratiwi. 
Tepat pukul setengah tujuh pagi dia sudah berada di dalam kereta MRT. Hari ini dia mengenakan celana pensil berwarna hitam dan kemeja baby pink serta tas totebag hitam dan sepatu berhak tiga senti berwarna hitam. 
Tidak butuh waktu lama, Giyanti turun di Stasiun Setia Budi dia hanya butuh berjalan kaki sekitar lima menit untuk mencapai kantornya.
"Pagi Bu Intan," sapa Giyanti saat memasuki lobby kantor dan berpapasan dengan Intan.
"Pagi, Gi. Bekal lagi nih, menu apa hari ini?" Intan melirik box bekal berwarna pink itu.
"Balado telur, makan siang bareng yuk nanti," ajak Giyanti.
"Enggak bisa, aku ada meeting sama anak-anak HRD. Oh ya nanti aku keruangan kamu ya, kemarin Pak Yoga minta laporan karyawan per tahun ini. Kamu cek lagi sebelum di serahkan," ujar Intan menekan tombol lift.
"Hhmm ... ok, Bu. Lembur lagi dong."
"Iya, akhir bulan ini seperti biasa." Intan tersenyum lalu pintu lift terbuka membawa mereka ke ruangan masing-masing.
Lorong koridor itu seperti biasa masih sepi, kebetulan di lantai ini hanya terdapat tiga ruangan. Sedangkan ruangan wakil komisaris hanya terisi jika si empunya ruangan datang di awal-awal bulan saja, Giyanti sendiri belum pernah bertemu sang pemilik ruangan, kabarnya dia adalah adik dari Yoga Rahadian Pratama. 
Sedangkan ruangan paling pojok itu sendiri akan terisi sekitar pukul sembilan pagi lebih sedikit. Itu pun harus segera Giyanti kunjungi dengan sambil membacakan jadwal Yoga untuk hari ini.
"Belum dateng ternyata," ucap Giyanti. 
Giyanti mulai menyalakan laptopnya, mencharger tabletnya lalu memeriksa jadwal atasannya hari ini. Sebentar lagi Budi, office boy kantor ini akan lewat sambil membawakan secangkir kopi hitam tanpa gula serta dua buah roti yang satu berisi daging dan satu dengan isian banyak coklat di dalamnya.
Ya, Giyanti mulai hapal dengan kebiasaan di kantor ini, terlebih segala sesuatu tentang Yoga. Lelaki berumur 42 tahun yang masih sendiri.
"Mbak Giya," panggil Budi saat lewat di depan ruangannya lalu berhenti sebentar. "Mbak Giya mau kopi atau teh hari ini?" 
"Teh manis hangat ya Mas Bud," pinta Giyanti.
"Oke, segera meluncur setelah Mas Bud taruh ini di meja Pak Bos," ujar Budi tersenyum.
"Makasih, Mas Bud."
Giyanti kembali melanjutkan pekerjaannya, sesekali dia melirik jam yang melingkar di tangannya, sudah menunjukkan pukul sembilan lebih sedikit. Langkah kaki itu pun berhenti tepat di depan pintu ruangan Giyanti.
"Ke ruangan saya, bawa berkas dari HRD yang saya minta."
"HRD?"
"Iya, kemarin saya minta sama Intan."
"Oh, iya ... tapi Bu intan belum serahkan ke saya, Pak."
"Ya kamu minta dong, gimana sih? Saya tunggu lima belas menit lagi." Yoga lalu pergi dengan wajah yang tanpa ekspresi.
"Mbak Giya." Budi kembali datang dengan secangkir teh yang Giyanti minta.
"Ah Mas Bud, aku mau minta tolong."
"Apa Mbak?"
"Pergi ke ruangan HRD temui Bu Intan, katakan kalo aku butuh laporan karyawan sekarang, tolong ya Mas Bud."
"Oke, Mbak Giya segera meluncur."
Giyanti mengangguk, cepat di raihnya ponsel miliknya dan segera menghubungi Intan agar memberikan laporan itu pada Budi. Dalam hitungan menit, Budi membawa apa yang Giyanti minta.
"Makasih ya Mas Bud," ucap Giyanti.
"Apapun buat Mbak Giya, Mas Bud akan lakukan," ujarnya sambil tersenyum.
"Mas Bud bisa aja, Giya tinggal dulu ya," ujarnya lalu melangkah tergesa menuju ruangan Yoga.
"Masuk." 
Suara itu terdengar selalu tegas, setiap hari Giyanti melangkah masuk ruangan itu rasanya seperti ingin dikuliti, belum lagi jika dia melakukan kesalahan meski hanya secuil masalah tetapi tetap saja Yoga selalu memberinya hukuman. 
"Semoga hari ini tidak," batin Giyanti.
"Ini laporannya, Pak. Bu Intan minta maaf karena tidak bisa menyerahkan pada Bapak, beliau sedang rapat dengan staf HRD yang lain."
"Saya sudah tau," ucap Yoga lalu membolak-balikkan laporan yang sudah berbentuk bundel.
Giyanti menelan ludahnya kasar, memang selalu seperti ini menghadapi Yoga. Seringkali perkataan yang terlontar terkadang mematahkan kata-kata dari lawan bicaranya.
"Apa jadwal saya hari ini?" tanya Yoga masih dengan mengurutkan data di hadapannya.
"Hari ini Bapak tidak ada meeting atau pertemuan dengan klien. Hanya saja, ada janji makan malam dengan salah satu kerabat Bapak," ujar Giyanti.
"Batalkan saja makan malamnya dan malam ini kamu lembur. Saya minta dokumen kerjasama dua tahun terakhir kamu urutkan, mulai dari kontrak kerja sama hingga akhir kontrak. Perusahaan mana saja yang masih terikat kontrak dan yang sudah tidak. Kemarin saya lihat semua arsip yang ada di lemari kamu sudah kacau, benarkan lagi. Lalu tolong hubungi pihak travel mengenai keberangkatan kita lusa ke Jogja."
"Kita?" tanya Giyanti dengan alis mengerut.
"Lah iya, siapa yang mau ngurus semuanya kalo kamu nggak ikut." 
Yoga yang tadinya sibuk dengan kertas-kertas di atas meja akhirnya harus mengangkat wajahnya dan menatap tajam ke arah Giyanti.
"Ba—baik, Pak. Segera saya kerjakan." 
"Jangan lupa, semua yang dibutuhkan di siapkan dari sekarang."
Giyanti menghempaskan tubuhnya di kursi kerja, dia berkali-kali menghembuskan napas panjang. Degub jantungnya masih berburu, ada perasaan kesal dan capek menghadapi ke aroganan atasannya itu, namun dia masih membutuhkan pekerjaan ini setidaknya sebagai batu loncatan setahun atau dua tahun bekerja. Dan ini masih hitungan hari dia berada di perusahaan ini.
"Sabar, Gi ... Lo harus terbiasa dengan situasi ini. Gue yakin kita bisa, hadapi aja, jalani aja, nikmati setiap omelannya, anggap aja perjaka tua lagi ngomel-ngomel nggak jelas. Dih, menyebalkan sekali memang itu perjaka tua, untung ganteng," gerutunya.
"Giyanti." Suara itu mengagetkan Giyanti. "Sore nanti minta Pak Yanto antar kamu ke rumah saya, tolong siapkan perlengkapan saya yang akan di bawa ke Jogja lusa nanti," ujar Yoga lalu meninggalkan Giyanti yang belum menjawab sepatah katapun.

4. Meeting Luar Kota
 

"Sudah sampe, Mbak Giya," ujar Yanto saat mobil mereka berhenti di sebuah rumah beraksen industrial.
"Pak Yanto nanti temenin saya ke dalem, kan?" tanya Giyanti masih ragu untuk turun.
"Di dalam ada si Inah, yang biasa beresin rumah, nanti dia yang temani Mbak Giya. Setelah ini saya balik ke kantor Mbak, kalo nggak balik ya gawat. Nanti Pak Yoga siapa yang antar pulang."
"Oh gitu ya, Pak."
"Ini catatannya, usahakan setiap warna baju matching ya Mbak, sepatu juga hanya dua yang di bawa. Suplemen dan vitamin nanti tanya Inah dan mm ... pakaian dalam." Pak Yanto tersenyum kecil.
"Ok, Pak ... kalo gitu saya turun dulu."
Wanita kurus berbaju terusan panjang sudah menunggunya di ambang pintu depan. Dari kejauhan Giyanti sudah bisa melihat senyuman ramah wanita itu.
"Selamat sore, Mbak Inah," sapa Giyanti.
"Bik Inah, Mbak," jawabnya. "Silahkan masuk, tadi Bapak sudah telepon, katanya Mbak Giyanti di suruh mempersiapkan baju-baju yang mau di bawa ke Jogja."
"Iya, Bik."
"Kalo gitu kita ke kamar Bapak aja langsung ya."
Giyanti mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah itu, begitu estetik dan tertata rapih. Aksen rumah bergaya industrial begitu kental, nuansa batu bata ekspos di beberapa dinding bagiannya serta lantai yang terkesan simpel jika di pandang sesaat hanya seperti lantai granit.
"Silahkan masuk, Mbak."
Lagi-lagi Giyanti terkesima dengan interior kamar atasannya itu. Kamar bak studio berukuran enam atau delapan meter persegi itu begitu indah. 
Giyanti masih mengikuti langkah Bik Inah hingga masuk ke dalam walk-in closet dengan keseluruhan berwarna putih berbeda dengan interior sebelumnya.
"Mbak Giyanti bebas memilih yang mana, Bik Inah tinggal dulu ya."
Decak kagum Giyanti tak henti-hentinya bergumam, atasannya itu memang memiliki selera yang tinggi. Baju tersusun rapih di sebelah kiri, sedangkan celana berada di dalam laci dibawahnya. 
Susunan sepatu dengan merk ternama tak kalah rapihnya, bersebelahan dengan beberapa tas dan clutch. Satu rak lagi berisi aksesoris serta beberapa merk jam mahal.
"Ya ampun, gue mulai darimana ini."
Giyanti meraih tiga kemeja dan tiga celana chinos dengan kombinasi warna netral. Dua kaos berkerah berwarna hitam dan putih, dua celama pendek model chinos berwarna senada, dua baju tidur berupa kaos dan boxer. 
"Ish, boxer," gumamnya. "Apalagi ya ... hhmm ... pakaian dalam, tapi di mana tempatnya?"
Satu per satu laci berwarna putih Giyanti buka, hingga akhirnya dia menemukan dimana pakaian dalam Yoga berada.
"Gini amat jadi asisten pribadi," katanya lagi sambil memilih beberap pakaian dalam Yoga. "Cek ulang .... Ok siap semua, oh ya jam tangan dan clutch. Ish, perlente banget sih."
Satu jam tangan dengan merk rolex dan clutch berwarna hitam agar masuk dengan warna-warna baju yang Giyanti pilihkan tadi.
"Apalagi ya?" 
Mata Giyanti kembali mencari-cari sesuatu yang di rasanya kurang.
"Ah, sepatu ... tapi yang mana ya?"
Jajaran sepatu mahal itu memukau matanya, sepertinya yang paling murah harganya sama seperti gajinya sebulan ke depan.
"Orang kaya kayak nggak sayang sama uang, ya," ujar Giyanti meraih sepatu  casual loafer berwarna abu gelap. "Nanti yang buat kerja palingan yang dia pake, udahlah ini aja." 
Giyanti meraih koper di ujung ruangan, menyusun satu per satu perlengkapan Yoga. Setelah semuanya rapih, dia kembali mencoba mengingat apakah ada yang masih di butuhkan.
"Sudah selesai?" 
Suara itu mengagetkannya, membuat Giyanti menoleh ke arah pintu. Yoga berdiri sambil bersandar di daun pintu dengan tangan terlipat di dada.
"Oh, sudah Pak. Sudah saya susun, Bapak mau cek sekali lagi mungkin?"
"Enggak, nggak perlu."
"Tumben," ucap Giyanti nyaris tak terdengar.
"Tiket sudah kamu confirm lagi?"
"Sudah, Pak ... tadi di perjalanan menuju rumah Bapak, sudah saya confirm." 
Giyanti melangkah mendekat dengan kedua tangan tertaut. 
"Karena semua sudah selesai, saya pamit dulu, Pak."
"Ok ... usahakan sampai bandara tepat waktu."
"Baik, Pak. Permisi ...." Giyanti melewati tubuh jangkung yang berdiri sedikit menghalangi daun pintu.


***** 


Tepat pukul delapan pagi, Giyanti sudah tiba di bandara. Dua tiket pesawat sudah berada di tangannya, menunggu di lobby keberangkatan sesekali dia melirik jam tangannya. Pesawat akan take off jam setengah 10 dan mereka di harapkan untuk check in satu jam sebelumnya tapi Yoga belum juga menampakkan batang hidungnya.
"Pak Yanto udah sampe mana?" tanya Giyanti pada Yanto di seberang sana.
"Pak Yoga udah turun, Mbak. Saya udah otw pulang," jawab Yanto.
"Oh ok, kalo gitu saya telpon Pak Yoga."
"Saya di belakang kamu—"
Giyanti mendadak menoleh saat suara lelaki yang di tunggunya sudah berdiri begitu dekat dengan jaraknya.
"Ah, akhirnya—"
"Kenapa? Takut saya telat?"
"Eng— enggak Pak."
"Tapi nelponin Yanto terus." 
"Buat jaga-jaga, Pak," ucap Giyanti.
"Bisa cepat nggak langkahnya?" 
"Astaga, gue yang nunggu dia yang galak," gerutu Giyanti dalam hati.
Perjalanan di udara selama satu jam setengah membawa Giyanti untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di kota Yogyakarta. Butuh setengah jam perjalanan untuk sampai ke hotel tempat mereka menginap dua hari ke depan.
Langkah kaki Giyanti dan Yoga menelusuri koridor hotel mengikuti bell boy yang membawa koper mereka.
"Ini kamarnya, bersebelahan. Silahkan, Bapak Ibu," ucap lelaki berkulit putih itu dan memberikan dua kartu pada Giyanti.
Giyanti memberikan satu kartu akses pada Yoga, lalu dia sedikit menundukkan kepalanya sebagai tanda berpamitan untuk masuk ke dalam kamarnya sendiri.
"Giyanti," panggil Yoga.
"Ya, Pak."
"Jadwal pukul satu?"
"Siap, Pak. Kita ada makan siang dengan Pak Widodo sekaligus membicarakan pembangunan pabrik."
"Oke, setelah ini segera bersiap."
"Iya, Pak."
*****
"Setelah ini kita langsung ke lokasi pabrik, Pak." Widodo meletakkan gelas di atas meja.
"Boleh, karena besok saya ada meeting dengan investor."
"Mbak Giya nggak capek, kan?" tanya lelaki yang berumur sekitar 50 an itu.
"Enggak, Pak." Giyanti tersenyum.
Perjalanan menuju pabrik yang akan dibangun itu sekitar satu jam dari pusat kota Yogyakarta. Mobil yang mereka tumpangi pun berhenti di sebuah tanah luas dengan lokasi di sisi kanan dan kirinya masih terdapat sawah yang hijau.
"Konsep pabrik seperti yang saya kirimkan pada Bapak kemarin," ujar Widodo. "Mungkin ada yang ingin Bapak ralat?"
"Saya minta parkiran karyawan di perluas saja, Pak Widodo."
"Baik, Pak."
"Untuk konsep desain saya serahkan sepenuhnya pada Bapak."
"Baik."
Sesekali Yoga melirik ke arah Giyanti yang berdiri tepat di sampingnya. Gadis itu begitu menikmati pemandangan yang mungkin belum pernah dia temui di kota. Nampak dari kejauhan Gunung Merapi berdiri dengan kokoh tepat berada di tempat mereka berdiri.
"Itu Gunung Merapi, Pak Widodo?" tanya Giyanti.
"Benar, Mbak. Sudah pernah kesana?" 
"Hehe belum, Pak." Giyanti tersenyum kecil.
"Kalo yang di sana Gunung Merapi nah kalo itu namanya Gunungkidul, tapi kalo menurut saya itu hanya perbukitan. Kalo malem liat kota Jogja keseluruhan dari sana indah, Mbak Giyanti."
"Oh ... cantik kalo gitu. Berapa jam perjalanan Pak?"
"Sebentar kok, hanya 45 menit untuk sampai kesana."
"Dekat ya."
"Kamu belum pernah ke Jogja?" tanya Yoga.
"Belum, Pak."
"Hhmm ... dari sini kita kesana, Pak. Sekalian saja makan malam, ada cafe atau resto di sana?"
"Banyak, Pak. Yang lesehan biasa saja ada," jawab Widodo bersemangat.
"Kalo begitu kita kesana nanti."
Giyanti menatap Yoga dengan sedikit kerutan di dahinya. Tak di sangka oleh Giyanti, atasannya itu seperti mengabulkan keinginannya meski hanya sebentar berada di Jogja tapi setidaknya Giyanti juga merasakan healing sesaat.
Senyum Giyanti merekah saat dia berdiri di ujung tebing sebuah resto. Pemandangan indah di bawah sana jelas memukau di tambah hiasan langit menyambut matahari yang mulai tenggelam. 
"Indah." Suara Yoga mengagetkannya.
"Sangat," jawab Giyanti. "Mungkin kalo malem akan lebih cantik lagi dengan hamparan sinar lampu di bawah sana."
"Biasanya anak muda seperti kamu terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Sedikit sedikit liburan, ada uang sedikit liburan, gaya anak jaman now."
"Kalo uangnya ada mungkin saya akan melakukan hal yang sama, Pak." Giyanti tersenyum. "Sayangnya saya punya cara sendiri untuk memuaskan keinginan saya, terlebih adik saya juga masih butuh biaya untuk kuliah."
Yoga mengangguk, beda orang beda cara memuaskan keinginan hatinya. Tatapan mereka memandang sejurus ke depan, menikmati sore itu hingga malam menyapa.
*****
Giyanti baru saja merebahkan tubuhnya di tempat tidur, waktu menunjukkan pukul 10 malam. Getar ponselnya membuatnya sungguh malas meraih ponsel di atas nakas. Tapi apa daya, nama Yoga tertera di layar ponsel di saat jam istirahat malam.
"Halo, Giyanti."
"Ya, Pak."
"Pakaian dalam saya, kamu taruh dimana?"
"Hah?"
 
5. Obrolan Dua Sahabat
 

Giyanti mengetuk pintu kamar Yoga, gadis itu tak lagi sempat mengganti pakaiannya. Dia hanya mengenakan celana pendek dan kaos polos berwarna putih.
Yoga membuka pintu kamarnya, dia menatap gadis itu dengan wajah tanpa ekspresi. Yoga hanya mengenakan bathrobe dan sandal hotel sambil berkacak pinggang.
Rasanya baru saja lelaki itu sedikit beramah tamah dengan Giyanti tadi namun sekarang sikapnya kembali seperti semula.
"Kamu bilang sudah kamu masukin semuanya," ujar Yoga berjalan lebih dulu.
"Sudah, Pak. Semua sudah saya masukkan ke dalam koper. Bapak sudah cari di selipan depan?"
"Enggak tau saya," kata Yoga lalu membuka pintu kaca balkon kamarnya lebar-lebar dan menyalakan sebatang rokok.
"Ini ada," gumam Giyanti. "Sebanyak ini dan terselip di sini bilangnya nggak ada. Dasar pemalas."
Giyanti meletakkan pakaian dalam Yoga di atas tempat tidur lalu melangkah menuju balkon.
"Sudah saya siapkan di atas tempat tidur, Pak," kata Giyanti.
"Ada?" tanya Yoga santai.
"Ada, Pak. Bapak kurang teliti mencarinya."
"Kok bisa?"
"Ya bisa aja, Pak. Kalo begitu saya permisi dulu, Pak." 
Yoga memperhatikan gadis yan berdiri tak jauh darinya. Baru kali ini Yoga memperhatikan secara keseluruhan Giyanti tanpa pakaian kantor dan hanya menggunakan baju biasa.
"Pak?"
"Ya ... ya silahkan."
Giyanti menutup pintu kamarnya rapat, dia hempaskan tubuhnya di atas tempat tidur luas kamar hotel itu.
"Sebentar lagi satu bulan kerja, bisa nggak aku bertahan dengan kerja yang seperti ini. Di kuat kuatin, Gi ... lumayan buat batu loncatan. Nanti kalo sudah pengalaman bisa cari perusahaan yang lebih besar lagi. Sabar," ujarnya sendiri dan lamat-lamat mata itu pun akhirnya terpejam.
*****
Perjalanan dua hari selama di Yogyakarta membawanya semakin mengenal seperti apa Yoga sebenarnya. Lelaki perfeksionis, tingkah laku yang terlalu berhati-hati, tidak suka ada sesuatu yang tiba-tiba mengganggu konsentrasinya, lelaki yang tegas pada keputusan, lelaki yang selalu membersihkan kemeja yang dia kenakan meskipun tidak ada satupun debu yang menempel.
"Giya, ke ruangan saya." Yoga menutup teleponnya.
Tak lama Giyanti datang dengan membawa tablet di dadanya.
"Kopi saya mana?"
"Oh, sebentar saya siapkan, Pak."
Giya bergegas berlari menuju pantri, biasanya yang menyiapkan kopi Yoga pagi hari adalah Budi, namun entah kenapa lelaki yang berusia sama dengannya hari ini hanya sebentar berada di lantai enam.
"Silahkan, Pak."
Yoga menatap Giyanti sebentar.
"Enggak pakai gula, Pak," ujar Giyanti.
"Thank you." Yoga mulai menyesap kopinya. "Hari ini enggak usah ikut saya meeting."
"Baik, Pak. Mm ... mungkin ada lagi yang Bapak butuhkan?" 
Giyanti sebenarnya terkesima dengan penampilan Yoga hari ini. Lelaki itu mengenakan setelan jas berwarna abu. Semenjak kepulangan mereka dari Yogyakarta, Yoga sedikit berubah tidak lagi terlalu galak, namun sisi dingin lelaki itu masih tetap ada.
"Enggak ada, hanya nanti mungkin saya akan kembali ke kantor sore."
"Oh." 
Sudah pasti jika Yoga mengatakan kembali sore ke kantor itu artinya lembur di depan mata.
"Kamu nggak usah nungguin saya." Yoga mendongakkan wajahnya melihat ke arah Giyanti.
"Baik, Pak. Kalo begitu saya permisi." 
Baru saja Giyanti memutar gagang pintu ruangan itu, Yoga sudah memanggilnya kembali.
"Giyanti ... untuk kinerja kamu satu bulan ini lumayan, saya harap kamu tingkatkan lagi. Dan satu hal yang harus kamu tau, saya butuh orang yang bisa kerja cepat."
"Baik, Pak. Terimakasih." Giyanti mengangguk.
*****
Sebuah pesan masuk ke ponsel Giyanti, pemberitahuan m-banking saldo rekeningnya per hari ini. Ujung bibirnya merekah saat pandangan mata itu tertuju pada nominal di layar ponsel. Ya itu gaji pertamanya bekerja di perusahaan itu, sorak sorai bergemuruh di dada. 
Langkahnya dia percepat, ojek online yang di pesannya tadi sudah menunggu di depan gedung. 
"Sore, dengan Mbak Giyanti."
"Iya, Bang."
"Sesuai aplikasi ya, Mbak," ujar lelaki pengendara ojek itu sambil memberikan helm berwarna hijau pada Giyanti.
"Iya, Bang. Makasih." 
Laju motor matic sore itu membawanya ke sebuah kafe di daerah Tebet. Giyanti memasuki kafe bergaya estetik, tangannya melambai pada seorang gadis berambut panjang.
"Run."
"Hei, Gi ...." Aruna menyambut kedatangannya dengan memeluk sahabatnya itu.
"Udah lama?" tanya Giyanti.
"15 menit." Aruna tersenyum menampakkan susunan gig rapihnya.
"Gimana kerjaan lo?" tanya Aruna.
"So far so good, Bos galak hampir berhasil di tundukkan," kekeh Giyanti.
"Udah nggak galak lagi dong?"
"Masih, segini ...." Giyanti hampir menyatukan ibu jari dan telunjuknya berdekatan. "Tebak apa?"
"Apa?"
"Gue gajian," ujarnya kegirangan.
"Wow, selamat ya ... traktir dong ini." Aruna tertawa.
"Tenang aja, pesen yang lo mau."
"Keren ih, dua digit dong?"
"Enggak lah, masih satu digit. Setelah tiga bulan baru dapet bonus bisa jadi dua digit."
"Wuih, keren," ucap Aruna bangga.
"Tapi makasih ya, kalo bukan karena info dari lo mungkin gue nggak bakal tau kalo bisa kerja di sana. Asli Run, itu kantor keren banget dari lingkungannya aja udah positif vibes sih tapi ya kurangnya itu bosnya sama gue kek mau makan orang tapi herannya sama yang lain kok enggak ya."
"Nah loh ... jangan-jangan ... bisa jadikan?" Aruna menarik satu alisnya ke atas.
"Ish, ya enggak lah lagian udah tua, gila aja seumuran bokap kali."
"Serius, udah tua?"
"Ya enggak tua sih, kalo bokap gue 46 taun mungkin dia 42 kali ya."
"Beh lagi mateng-matengnya tuh, Gi. Belom nikah, kan? Setau gue belom sih yang gue denger."
"Belom sih katanya, atau jangan-jangan ... pelangi?"
"Ish ... enggak lah. Kek nya normal ...." 
Mereka pun tertawa, obrolan sore dua sahabat yang sudah hampir dua bulan ini tidak saling bertatap muka.
"Lo sendiri, gimana Bali?"
"Ya gitu deh, asik sih cuma lo tau lah kerja sama bule kayak apa. Perusahaannya sih oke, bos nya beehh ...."
"Kenapa? Tua juga?"
"Kayaknya sih tapi kan bule kalo tua kadang nggak ketauan haha ...."
"Haha ... dasar. Terus kenapa si bule?"
"Sombong, untung nggak di atas gue. Coba kalo atasan gue langsung di divisi ... dih bisa under pressure kali gue ya."
"Semoga kita selalu di jauhkan dari orang-orang seperti itu ya, bisa tekanan batin," ujar Giyanti sambil tertawa.
"Lusa gue balik ke Bali, besok ke kampus ambil ijazah ... kalo udah kerja gini itu ijazah kayak nggak guna ya."
Tawa mereka kembali mengisi ruangan itu, ada saja hal konyol yang mereka bahas. Sejak awal pertemanan mereka empat tahun yang lalu Aruna dan Giyanti terkenal sebagai anak-anak terpandai dan susah di dekati oleh para lelaki. Nyatanya hingga detik ini, mereka menikmati hidup tanpa pasangan.
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya PUBER KEDUA ATASANKU (Bab 6-7)
10
6
Ini bekal makan siang Bapak, kata Giyanti meletakkan kotak bekal di sisi dalam meja kerja Yoga. Ibu juga buatkan salad buah untuk Bapak.  Terimakasih sampaikan pada Ibu kamu.  Iya, Pak. Saya permisi, ucap Giyanti memutar tubuhnya.  Temani saya makan siang, kata Yoga dan berhasil membuat Giyanti menghentikan langkahnya. Makan siang dengan saya .... 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan