Marah Darah

1
0
Deskripsi

Ketika larangan turun-temurun tentang jeruk nipis dan darah korban kecelakaan diabaikan, satu per satu batas dunia mulai runtuh. Cerpen Marah Darah mengisahkan Jek, pemuda skeptis yang menantang mitos kampungnya dengan meneteskan jeruk nipis di lokasi kecelakaan tragis. Yang semula dianggap lelucon, berubah menjadi teror nyata—bayangan perempuan berdarah, mimpi yang menyeret jiwa, hingga lenyapnya Jek tanpa jejak. Cerita ini memadukan horor lokal dan psikologis dalam balutan mitos dan penyesalan, menegaskan bahwa beberapa pantangan tidak diciptakan untuk dipertanyakan—melainkan untuk ditaati.

post-image-67fde44345302.png

"Jangan diteteskan, Jek..."

Namun nasi telah menjadi bubur.

Tetes jeruk nipis yang dijatuhkan Jek tepat mengenai bercak darah di tanah, mengakibatkan perubahan warna menjadi kehitaman, menyerupai luka yang membusuk. Suara serangga mendadak hilang. Angin seolah tertahan; hutan kecil di tepi desa seperti menahan napas. Suasana menjadi lengang, seperti dunia di sekitar kami berhenti untuk menyaksikan sesuatu yang tak seharusnya terjadi.

Semuanya berawal dari rasa ingin tahu yang tidak sehat. Beberapa hari sebelumnya, kampung kami dikejutkan oleh kabar kecelakaan tunggal di tikungan Alas Gumitir. Seorang siswi SMA, sepulang dari bimbingan belajar, menabrak pohon sengon. Ia meninggal seketika. Warga menemukan jasadnya dalam kondisi mengenaskan dengan darah mengucur dari kepala hingga perut. Kata beberapa orang, sebagian wajahnya tidak bisa dikenali karena benturan keras.

Masyarakat di daerah kami memegang teguh satu larangan turun-temurun: jangan pernah meneteskan jeruk nipis pada darah korban kecelakaan.

"Konon katanya, itu akan membuat arwahnya menjerit kesakitan—seperti disiram air keras," begitu penuturan yang sering kami dengar dari para tetua kampung. Kata mereka, jeruk nipis bersifat menyucikan dunia manusia, namun menyiksa bagi entitas yang belum tuntas urusannya di dunia ini.

Jek, alih-alih percaya, menanggapi kisah itu dengan tawa sinis dan tatapan meremehkan. Baginya, mitos adalah dongeng lama yang tidak layak dipercaya oleh anak muda. Pria berambut ikal itu seringkali berkata, bahwa ketakutan hanyalah ilusi, dan bahwa semua cerita horor hanyalah produk dari ketidaktahuan masa lalu.

Namun sejak awal, aku merasa ada sesuatu yang salah dengan keinginannya untuk membuktikan sendiri larangan itu. Ia seperti mencari sesuatu yang lebih dari sekadar bukti—semacam tantangan untuk menantang dunia yang tak kasatmata. Ia terdorong oleh hasrat untuk menertawakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan logika, seolah ingin mengatakan bahwa dunia gaib hanyalah bayang-bayang ketakutan kolektif.

Kini, kami berdiri di jalan setapak tanah, di mana noda darah korban masih samar terlihat meski telah tiga hari berlalu. Aroma amis masih menguar samar, bercampur dengan tanah lembap dan daun kering. Jek, karena dorongan rasa penasaran yang membuncah, membawa sekantong jeruk nipis dari dapur ibunya. Ia menggenggamnya selayak senjata rahasia yang akan mengungkap kebohongan dunia.

"Kalau memang sakit, paling arwahnya protes, kan? Lagipula dia sudah meninggal. Masak bisa marah?" kata Ajek dengan nada menantang, sembari mengupas satu buah jeruk nipis kecil dan memerasnya ke telapak tangan.

Segera setelah cairan jeruk menyentuh tanah, suhu udara menurun drastis. Bulu kudukku berdiri. Ekspresi Jek berubah. Ia menyipitkan mata, tak lagi menyepelekan. Seketika semua menjadi sunyi. Bahkan desir dedaunan pun berhenti.

"Anginnya hilang, ya?" kataku lirih. Karena ucapanku, keringat dingin mulai membasahi pelipis Ajek. Di antara diam dan dingin, jantungku berdetak makin keras, mencoba mengalahkan keheningan yang menggantung. Aku yakin si Jek mengalami hal serupa.

Perasaan itu tak berlangsung lama, hanya setelah beberapa menit, semuanya kembali seperti semula. Kami saling pandang, menertawakan ketegangan yang sempat menyergap. Jek bahkan mengangkat kedua tangannya ke udara, berlagak seperti pemenang.

"Tuh kan, nggak ada apa-apa," katanya dengan nada yang angkuh, lalu mengantarku pulang dengan motor.

Namun malam itu, semuanya berubah.

Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun oleh suara ketukan pelan di jendela kamar. Kukira itu angin. Tapi suara itu teratur—seperti pola. Tiga ketukan. Diam. Lalu dua ketukan. Lalu sunyi. Aku menunggu beberapa saat. Tidak ada yang terjadi. Lalu suara itu datang lagi. Kali ini dari arah pintu belakang.

Aku mencoba tidur lagi, tapi hawa kamar terasa dingin dan lembap. Aku menarik selimut hingga ke dagu, mencoba menenangkan diri. Namun tiba-tiba, ponselku berbunyi.

Pesan dari Jek:

"Din, masih melek?"

Aku menjawab cepat:

"Kenapa?" aku membalasnya dengan perasaan ganjil. Hingga kudapati balasannya yang hanya satu kata:

"Datang." Pesan tersebut disertai foto buram. Tampak bayangan perempuan berdiri di depan cermin kamar. Rambutnya menutupi wajah. Di bawah kakinya—genangan darah. Aku langsung menelepon, tapi tidak diangkat.

Panik, aku mendatangi rumah Jek—yang hanya berjarak tiga rumah saja. Dari luar, rumahnya gelap, namun pintu samping tidak dikunci. Aku masuk sambil memanggil namanya. Tak ada jawaban. Lalu aku mendengar bunyi dari kamar mandi.

Kudorong perlahan pintunya. Jek terduduk di lantai kamar mandi, tubuhnya gemetar. Matanya menatap kosong ke arah cermin. Di kaca itu, samar-samar, seperti ada siluet rambut panjang yang mengintip dari sudut bawah.

"Dia datang... dia marah... mataku panas... panas banget..." lirihnya.

Kutinggalkan Jek malam itu dengan ayahnya. Tapi keesokan harinya, ia dilarikan ke rumah sakit karena kejang-kejang hebat dan demam tinggi. Kata dokter, tidak ditemukan penyebab medis yang jelas.

Selama tiga malam berturut-turut, Jek terus mengigau. Ia menyebut kalimat yang sama:

"Maaf... aku nggak tahu... sakit ya? Sakit banget ya?"

Dan malam keempat, ia hilang. Kabur dari rumah sakit tanpa jejak. Hanya pakaian yang ia kenakan ditemukan di pinggir hutan Alas Gumitir. Anehnya, baju itu kering, tanpa noda lumpur atau basah embun malam, seolah baru saja diletakkan.

Desas-desus mulai berkembang. Beberapa warga bersumpah melihat Jek berjalan sendirian di tepi jalan hutan, mengenakan pakaian putih, menunduk, dan menggumam seperti berdoa. Tapi saat dikejar, ia lenyap di tikungan.

Beberapa anak muda yang nekat meneteskan jeruk nipis di lokasi yang sama, mengaku mengalami mimpi buruk yang sama selama berhari-hari. Dalam mimpi itu, seorang perempuan berdiri membelakangi mereka, lalu perlahan berbalik. Wajahnya setengah hancur. Ia menangis darah. Setiap malam mimpi itu semakin nyata. Sampai akhirnya, mereka semua meminta maaf di tempat kejadian.

Sampai sekarang, tak seorang pun tahu di mana Jek. Tapi setiap malam Jumat Kliwon, warga mengaku mendengar suara tangis perempuan di sekitar jalan tempat darah itu dulu diteteskan.

Dan setiap aku mengingat peristiwa itu, suara Jek selalu terngiang:

"Jangan diteteskan, Jek..."

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Nggujeng
1
0
“Nggujeng” mengisahkan perjalanan emosional seorang pria yang sedang berjuang menghadapi kehilangan. Cerita dimulai dengan suasana penuh haru di ruang rumah sakit, di mana Mona, istrinya, menderita akibat keguguran yang menghancurkan hati mereka. Dalam perjalanan menuju suatu tempat yang berarti, ketegangan muncul ketika pria itu menyadari bahwa sesuatu yang tidak biasa terjadi di jok belakang mobil, mengaburkan batas antara kenyataan dan mimpi buruk. Ketika tak ada lagi yang bisa dijelaskan, teror mengancam dengan cara yang mengerikan. Sebuah kisah yang menggambarkan rasa kehilangan, cinta, dan horor yang menghantui di setiap sudut perjalanan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan