Have You Ever Liked Me?

1
0
Deskripsi

Setelah bertahun-tahun memendam rasa seorang diri dan terus mencoba mengikhlaskan perasaannya pada Hael. Gadis itu tanpa sengaja bertemu dengan pemuda tersebut di depan kafe kawasan Bali. 

Pertemuan yang tak pernah ia duga sama sekali. 

Juga sebuah pertanyaan yang dulu ia pikir hanya akan menjadi angan yang mustahil di gapai. 

“Have you ever liked me? Elina?” 

Kami tiba-tiba saja bertemu di Bali.

Aku sedang merekam diriku sendiri depan sebuah kafe ketika kita bertabrakan. Aku tak mampu menahan senyuman ketika mata kita bertemu. Kau sama kagetnya denganku, namun senyuman itu langsung merekah ketika sadar siapa yang kau temui. 

“Kok?” ucap kita bersamaan, lalu tertawa. 

“Lagi kerja?” tanyamu. 

Aku menggeleng, “Lagi liburan, kau?” 

“Sama, liburan.” Aku melirik kamera yang kau pegang sedangkan matamu melirik ponsel yang sejak tadi kusandarkan pada sebuah vas bunga. “Mau kurekamin?” 

“Boleh.” 

Lalu tiba-tiba kita sudah sibuk mengambil video untuk satu sama lain sepanjang hari. Aku membawamu ke tempat-tempat yang ingin kukunjungi karena pemandangannya yang indah dan kau membawaku ke setiap rumah makan dengan cita rasa yang menggiurkan. 

Aku tak tahu kita bisa sedekat ini. Aku tak pernah menyangka kita bisa semudah ini berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa pikir. Aku terus mengharapkanmu hadir di setiap tanah yang kukunjungi dan ketika harapanku terkabul, aku bahkan tak sadar bahwa hari berlalu begitu cepat, bahwa aku begitu menikmatinya. 

Kami akhirnya menghabiskan sisa sore di sebuah pantai. Kau memesan makanan ringan selagi aku menggelar karpet di atas pasir putih itu. Aku melirikmu yang mendekat sambil membawa es kelapa, senyuman itu kembali terukir. 

Jika ini adalah akhir kisah, ini pasti bentuk happy ending milik kita. 

Namun kita baru bertemu lagi setelah sekian tahun berlalu. Aku hanya menjadi penonton setiamu di sosial media dan kau pun begitu. Aku tak pernah menyangka kita bisa bertemu lagi dan menghabiskan waktu seharian seperti ini. 

Kami berdiam diri cukup lama ketika matahari terbenam. Aku menikmati suara ombak yang datang memeluk pasir dan suara percakapan orang-orang di sekitar. Aku memerhatikan anak anjing yang bermain dengan anak kecil lantas tersenyum tipis. 

Masih tak menyangka ini akan terjadi. 

Akhir kah? Atau awal baru? pikirku.

Langit mulai berubah menjadi biru gelap usai matahari terbenam. 

Nice to see you again, Hael.” Aku berujar pelan. 

“Me too.” Kau menoleh, kini menatapku. “I used to like you,” gumammu.

Aku perlahan menoleh, memastikan bahwa aku tak salah dengar. “Hah?” 

Tawamu meledak, terlihat begitu lepas seakan apa yang baru saja kau ungkap bukanlah hal besar. “I used to love you, darl.” Kau membuang muka, “Damn, I’ve really wanted to say this since the last time we met, " lanjutmu. 

Aku masih membisu, benar-benar tak menyangka dengan ungkapan itu. Pertama, dulu ... DIA BILANG DULU! Dia pernah menyukaiku dan ingin menyampaikannya sejak dulu, tapi itu dulu! Untuk apa pernyataan ini jika itu sudah berlalu? Aku bahkan masih menyimpan rasa ini seperti orang tolol sampai sekarang. 

How about now?” Pada akhirnya aku bersuara.

Jika dia seberani itu untuk mengungkap segalanya seharusnya aku tak perlu ragu mengungkapkan hal yang sama. Persetan jika hubungan kami akan canggung setelah ini, bahkan jika pada akhirnya kami akan asing, aku telah menyimpan banyak kenangan berharga di pulau ini selama sehari penuh bersamanya. 

Itu sudah cukup. 

Now?” ulangmu melirikku, kembali tersenyum. 

Boleh kupukul saja orang ini sekarang?

I don’t know,” balasmu, dasar brengsek. “We had a lot of fun together ya?” Hari sudah sepenuhnya malam, adzan magrib baru saja selesai berkumandang, cahaya lampu dari kafe yang menjadi satu-satunya penerangan untuk kami. “Kupikir kita gak mungkin ketemu lagi. Aku ke sini karena habis putus dan kini aku tak punya sisa rasa untuk apa pun.” Kau menyesap es kelapamu, “Tapi kamu mendatangkan rasa senang itu selama satu hari ini. Kupikir luka hati susah untuk dilupakan, tapi kau menghapusnya dengan mudah.” 

Kau lalu duduk menghadap ke arahku, tubuhmu tak lagi berhadapan pada muka pantai, tapi malah pada diriku. Matamu menatap lurus ke arahku, seakan mencoba membaca apa yang sedang kupikirkan padahal tanganku sejak tadi jelas-jelas sedang mengepal, menahan detak menggila di jantung. “Have you ever liked me? Elina?”

 “You are really good at telling your feeling ya?” balasku pada akhirnya. “Kayaknya dulu bukan tipe laki yang kayak gini?” 

“Semua manusia berubah.” 

“Apa masih sebaik sebelumnya?” 

Kau tertawa mendengar hal itu, “You can judge it.” 

Aku tersenyum menatap mata itu. Dia telah berubah. Entah berapa banyak luka yang sudah menghancurkan dirinya, entah pengalaman seperti apa yang berhasil mengubahnya, tapi yang jelas, pemuda itu kini bukanlah sosok yang sama seperti yang dulu pernah kukagumi. 

Entah perubahan ini membuatnya jadi lebih baik atau tidak, aku masih tak tahu.

I wore this hijab awalnya because of you, did you ever know that?” Kali ini kamu yang terdiam. “Aku belajar keras untuk memperbaiki diriku, aku mencoba lebih dekat dengan agamaku, aku mencoba untuk mencapai levelmu karena kamu satu-satunya orang di duniaku yang bisa kujadikan sosok inspiratif.” 

Iris mata itu berubah. Kau tak lagi terlihat seperti lelaki brengsek yang sedang mencoba mempermainkanku, kau kini menatapku dengan iris terkejut, tak percaya dengan apa yang baru saja kau dengar. 

Have I ever liked you?” ulangku. “I have, you’re jerk, I still like you.” 

Kau tersenyum mendengar hal itu, entah merasa puas atas jawabanku atau malah miris, aku pun tak tahu. “Glad to hear that.” Dasar brengsek. Kau lalu kembali menatap ke arah langit hitam di hadapan kami. Baru setelah itu beranjak berdiri, “Adzan sudah lewat, ayo solat dulu.” 

Aku merotasi mata dan terbahak mendengar hal itu. Kau menarik tanganku, namun tak melepaskan genggaman itu selagi membawaku ke sebuah langgar yang letaknya tak jauh dari sana. “Kenapa kita gak nikah aja?” tanyamu terdengar asal.

“Kayaknya mudah banget ya dilakuin?” 

“Mudah kalau sama kamu mah.” 

“Taik.” 

Genggaman itu baru terlepas ketika kita sudah sama-sama sampai di depan langgar. Kau menoleh ke arahku sejenak, terlihat seperti hendak mengungkapkan sesuatu namun sepertinya enggan melepaskan kalimat itu. “Habis ini cari makan malem bareng ya?” 

Aku mengangguk saja. 

Sholat kali ini mengingatkanku dengan kita saat itu, lima tahun yang lalu di musolah kampus setelah beres sidang skripsi. Kamu menjadi imamku di sana dan itu adalah kali pertama aku berpikir bahwa mungkin punya pasangan dan dibimbing olehmu bukanlah hal yang buruk. 

Namun itu hanya angan semata. Kita berpisah setelah sidang skripsi dan bahkan tak mengambil jadwal wisuda yang sama, atau mungkin lebih tepatnya aku. Aku tak mengikuti wisuda karena harus pulang kampung usai kepergian ayahku. 

Aku terus mencoba bangkit sendiri sambil mengingatmu. Kau yang sangat disiplin, kau yang pekerja keras, kau yang sangat baik pada sekitar. 

Aku bertahan hidup dengan semua angan itu hingga akhirnya aku bisa sampai ke titik ini. 

Kita bertemu lagi. 

Kau menghabiskan harimu denganku. Kau menggenggam tanganku. Kau mengungkapkan rasamu padaku. 

Meski rasa itu telah sirna, meski kau sempat jatuh cinta pada orang lain, meski kini tak ada satu pun rasa yang tersisa di benak itu. 

Apa ini akhir? tanyaku sebagai penutup doa usai sholat. 

Aku melepas mukenaku dan merapikan jilbabku sebelum keluar dari langgar itu. Mataku menatapnya yang kini telah berdiri di depanku dengan senyuman kecil. Ia kembali meraih tanganku, mengajakku untuk meninggalkan langgar itu menuju rumah makan tujuan kami. 

Mataku melirik kedua tangan kami yang saling terpaut. Apa maksud genggaman ini? Apa kini kita punya hubungan khusus? Apa dia hanya menggunakanku sebagai pelampiasannya agar mudah move on? Dia bilang dia baru saja putus kan? 

Kami baru bertemu hari ini. 

Tidak ada jaminan bahwa dia akan terus seperti ini denganku. 

Tapi kalau ini adalah bagianku untuk menyenangkannya selama di sini, mungkin perpisahan bukanlah sesuatu yang menyedihkan. 

Setidaknya kami membuat banyak momen menyenangkan di sini. 

*

*

*

“Berapa hari kau di sini?” tanyaku. 

Pagi-pagi sekali, dia mengajakku sarapan setelah tahu bahwa aku telah baru beres lari pagi sejak habis subuhan. Harusnya kau mengajakku, katanya tadi. Aku tak memikirkan hal itu, aku bahkan masih menganggap bahwa ungkapan kemarin adalah mimpi indah semata. 

“Seminggu.” Kau menyantap nasi pecel itu sambil melirikku, “Kamu?” 

“Aku bisa ke mana pun selama yang kumau,” balasku bangga. 

Kau terkekeh mendengar hal itu. “Freelance ya? Hari ini ada kerjaan?”

“Ada, habis ini bakal ngurus kerjaan dikit. Paling tiga jam aja.” 

“Mau kubantu?” 

Aku menggeleng pelan, “Kau kan ke sini untuk liburan, jadi manfaatkan waktu itu.” Aku ikut menyantap makananku selagi kau menganggukkan kepala, “Rencananya mau ke mana hari ini?” 

“Mau nyari buku dan baca aja.” 

“Sekarang jadi suka buku? Bukannya dulu kayaknya suka game?” 

Bibirmu menarik senyuman kecil, “Aku mulai suka buku  karena kamu sering posting lagi baca buku. Ternyata novel itu seru ya?” 

Aku sama sekali tak mampu menutupi senangku mendengar hal itu, “Baca novel sekarang? Jadi suka jenis cerita yang kayak apa?” 

“Fantasi dan aksi, tapi romansa juga ternyata lucu juga, apa lagi romcom.” 

I know right?!” hebohku, kau tertawa melihat hal itu. “Jadi lagi baca apa sekarang?” Kau mengeluarkan sebuah buku dari tasmu, menyerahkan judul buku itu padaku. “Anjay!” hebohku tanpa sadar, “Six of Crows?!” 

“I just wanna see Kaz Bekker.” 

Aku terbahak mendengar hal tersebut, “He’s the coolest one sir, you will like it.” 

Kamu tak bisa mengelak. Kami berakhir membahas alur cerita dari novel itu selama sampai sarapan di piring habis. Aku pamit untuk pulang dulu karena perlu mandi setelah olah raga tadi dan mungkin baru keluar dari kos yang kusewa setelah pekerjaanku selesai. 

“Gak mau ngerjain di kafe aja? Biar aku bisa temenin sekalian?” 

“Dih?” balasku sangsi, “Kita ini apa ya mas pake minta ditemenin segala?” 

 Kau terbahak mendengar hal itu. “Iya ya?” 

Aku tahu dia hanya main-main. Hanya karena aku bilang aku masih menyukainya, kini dia bertingkah seakan aku akan patuh dengan segala ucapannya. Tidak, Tuan. Jika kau ingin senang-senang, aku akan mengikutimu namun kesenangan itu harus punya batasan. 

Aku tak ingin rasa senang itu membawaku pada harapan semu bahwa kau mungkin bisa menyukaiku lagi. 

Kau baru putus. 

Mustahil kau melepaskan seseorang secepat itu. 

“Ayolah! Aku tak ada teman di sini~” 

Dia merengek? Benarkah dia merengek padaku? Dulu mustahil sekali bisa melihatnya seperti ini. Dulu dia akan menerima segala jenis keputusan bahkan tanpa menanyakan alasannya, dan kini dia malah memintaku untuk tetap bersamanya? 

You have change a lot,” gumamku lantas mengangguk pelan. “Okey, aku mandi dulu, Tentuin kafenya, ntar aku tinggal ke sana.” 

Kau tersenyum mendengar balasanku, “Terima kasih.” Kami sama-sama beranjak berdiri untuk pergi dari warung itu, namun kau berhenti di hadapanku, menutup jalurku untuk pergi. “Can I hold your hand again?” 

“Are you lonely?” 

I don't know what I feel right now, but his personality somehow makes me unable to hold back from being sarcastic. He is no longer the sweet young man that I used to feel the need to take care of and soften his heart; now he has changed into an annoying man, in a good way, he... somehow feels more tempting.

 Kau terbahak mendengar pertanyaan itu, “I am.” 

Shit. Aku terkekeh mendengar balasannya, “Habis putus gini amat ke teman cewek.” Aku beranjak melewatinya, ia melangkah di sampingku selagi kita berjalan kaki menuju kosku. “Is she your first ex?” 

Kau mengangguk. “Gimana rasanya bisa suka ke orang dan berhasil dapetin orang itu?” tanyaku, kini kau menoleh ke arahku, aku mengangkat alis meminta jawaban. 

“Menyenangkan.” Namun nada suara itu menyiratkan kebalikannya, “Dia mungkin memberiku banyak pengalaman pertama.” Tangan itu kini menggenggam tanganku, mengusap punggung tanganku dengan pelan, searah bergantian, sepertinya aku akan merindukan tingkah kecil ini nantinya. “Bagaimana cara mengungkap perasaan, senang, marah, sebal. Bagaimana cara menghargai, menikmati setiap momen yang ada. Bagaimana dosa meninggalkan rasa candu yang menggila. Dia mengajarkan semuanya.” 

Aku meliriknya, menatap pemuda yang kini masih menatapku. “Dia terdengar baik.” 

“Yah,” balasnya mengangkat bahu tak acuh. “Semua orang bisa menjadi baik dan jahat dalam satu waktu kan?” 

“Memangnya jahat seperti apa?” 

“Semua pelajaran yang ia beri padaku tidak disampaikan dengan baik. Aku mungkin tidak menjadi kekasih yang baik untuknya, mungkin tidak mampu memenuhi semua harsatnya, mungkin terlalu menahan diri pada wanita sepertinya, jadi dia pergi, dia pergi dengan yang lain.” 

“Oh ...” gumamku pelan.

Tawamu kembali terdengar karena respons kecil itu. Kita akhirnya sampai di depan kosku namun tanganmu masih tak melepaskan genggaman itu. “Mau tunggu di dalam?” 

“Boleh?” tanyamu, lucu sekali bagaimana pertanyaan itu terdengar cukup polos jika kau yang mengungkapkan. 

Aku tersenyum kecil, “Boleh tunggu di teras,” balasku ringan lantas membuka pagar kos itu. “Sebenernya boleh juga sih masuk ke kamar, tapi aku mau mandi, jadi jangan dulu.” 

“Siap nona~” balasmu manis. 

Isn't it a crime if he can look so seductive and sweet at the same time?

*

*

*

Aku sengaja mandi berlama-lama, memoles riasan tipis di wajah, sebelum akhirnya keluar membawa tas berisikan laptop. Kau terlihat tenang duduk diam di teras kos sambil membaca buku, ketika aku berhenti di sebelahmu, baru kau mengangkat kepala untuk melihatku. 

“Harum bener?” tegurmu. 

“Ya dari pada bau keringet kayak tadi?” 

“Bener sih,” balasmu beranjak berdiri dan kuhadiahi dengan pukulan ringan di lengan. Dia baru saja mengakui bahwa aku memang bau keringat tadi, sialan. Pemuda itu tertawa melihat responsku. 

“Mau ke mana jadi kita?” 

“Ada kafe bagus tapi agak jauh dari sini,” ujarmu selagi kita berjalan keluar dari kosku. “Tapi aku sudah sewa motor sih tadi deket sini, kita motoran aja ya?” 

“Siap!” 

Kali ini kau tak izin, namun tangan itu kembali menggenggam tanganku. Aku tak protes, sama sekali enggan memberi respons dengan suara dan malah membalas genggaman itu. Aku suka, tangan itu terasa pas untuk tanganku. Aku suka usapan lembut dari ibu jarimu pada punggung tanganku, aku suka senyuman tipis itu tiap kali kau sadar bahwa aku membalas genggamanmu. 

Namun posisiku di sini hanya sebagai pelipur lara bukan? 

Jadi aku tak perlu berharap lebih. 

Nikmati apa yang sedang terjadi dan lupakan jika sudah berakhir. 

Saat ini hanya itu perlu kufokuskan. 

Kafe itu ternyata cukup jauh. Kau membawaku berkendara selama setengah jam untuk mencapai kafe di pinggiran sawah yang sepertinya belum banyak diketahui para turis. Sepanjang jalan, kau banyak menanyakan tentang kesibukanku sejak lulus kuliah dulu. 

Aku melamar kerja di berbagai tempat, aku bertahan di suatu pekerjaan yang tak kusukai selama dua tahun sebelum akhirnya aku fokus menjadi seorang freelancer. Aku tak pernah punya pacar sejak hari itu meski kau tahu aku menghabiskan masa hariku bersamamu selama skripsian dalam keadaan baru putus juga. 

Apa mungkin ini karmaku ya? 

Kupikir tidak, aku bahkan tak pernah mengakui rasaku padamu saat itu hingga kita akhirnya terpisah. Aku baru sadar aku begitu menyukaimu, aku baru menyadarinya setelah kau muncul dimimpiku selama satu bulan penuh, aku baru sadar ketika aku merindukanmu begitu dalam. 

“Jadi kau tak pernah menyukai siapa pun sejak tahu rasamu padaku?” 

Aku mengangkat bahu tak acuh, “Entah,” balasku pelan. “I tried to erase that feeling a thousand times but I also didn't feel like having a relationship, so every time I was interested in someone, I kept comparing that person with you, and ended up not liking them. In the end, I tried to let go of that feeling and focus on myself.” 

Mataku melirikmu ketika motor itu berhenti dan kita akhirnya sampai di kafe tersebut. Aku membuka pengait helmku sendiri, namun kau membantu melepaskan helm itu dari kepalaku seakan aku tak bisa melakukannya sendiri. “Lalu?” tanyamu saat aku masih mencoba memperbaiki hijabku. 

“Apanya?” 

What happen after you tried to let go the feeling?” 

“Kita bertemu,” balasku lantas beranjak meninggalkannya untuk masuk ke dalam kafe. 

Ketika kau berhasil menyusulku, aku lebih dulu menanyajan apa yang ingin kau pesan dan mencari tempat duduk untuk kita berdua. Aku tak mengizinkanmu membahas hal itu lebih jauh, aku tak ingin kau bertanya lebih banyak. 

Aku tak mau membagikan lebih banyak informasi tentang rasaku seakan memberimu celah bahwa kau bisa bermain di sana sesuka hati. 

Kita duduk bersebelahan ketika aku mulai membuka laptopku dan kau mulai mengeluarkan novelmu lagi. Sepertinya kau menangkap sinyalku yang enggan membahas hal itu lebih jauh hingga ketika aku mulai fokus pada pekerjaanku—walaupun terasa sulit—kau tak lagi mengajakku berbicara.

Aku hanya merasa bahwa kau sempat melirik isi pekerjaanku namun ketika kau menoleh, kau dengan cepat kembali memandangi novel di tanganmu. “Kalau nanti bosan, kamu bisa pergi duluan kok. Lumayan kan tiga jam eksplore dari pada di sini?” 

“Ngusir?” 

Aku terkekeh, “Enggak!” kesalku. Sial, aku ingat sekali aku pernah mengatakan hal seperti ini padanya dulu dan dia menjawab persis seperti ini. “Kan kubilang dari pada bosan?” 

“Gak bosen,” balasnya ringan. “I miss seeing you when you're too focused on something.”

“Hmm?” Oh, mungkin karena dulu kita beberapa kali mengerjakan skripsi bersama dan dia sering melihatku dalam mode fokus, “What do I look like when I'm too focused?” 

“Tempting.” 

Kau menyeringai, aku masih membisu dengan mulut setengah terbuka mendengar kata itu keluar dari mulutmu. “Fuck,” tegurku pelan, kau malah tertawa. “Where the fuck did you learn that word?”  tawamu malah kian lepas. 

“Elina, I am 28 year old grown man.” 

I know,” balasku, namun masih tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “I miss the innocent one.” 

Kau hanya tersenyum mendengar hal itu. “Fokus dah kerja,” balasmu menepuk pelan pucuk kepalaku, lalu mengusapnya pelan. “Habis kerja kita jalan-jalan.” 

Aku melirikmu, tanganku mengusap rambut itu tepat saat kau melepaskan tanganmu dari kepalaku. “Okey,” balasku lantas menurunkan usapan itu hingga rahangmu dan melepaskannya. 

Kau membeku, masih menatap ke arahku. 

Namun aku memutuskan untuk fokus pada pekerjaanku. 

*

*

*

Dia benar-benar menungguku sampai selesai kerja. Ia sampai pada akhir cerita dalam novel ketika aku merenggangkan tanganku dan menutup laptop. Pemuda itu masih menyandarkan punggungnya pada sofa sedangkan aku menoleh ke belakang untuk melihatnya. 

“Mau ke mana?” tanyaku membuatnya tersenyum. 

“Mau makan dulu gak?” Aku mengangguk setuju. 

Kami kembali memesan makanan lagi di sana. Aku memerhatikanmu yang kini membuka ponsel di atas meja, seakan membiarkanku untuk mengintip isinya meski aku tak tertarik. “Sudah berapa hari kamu di sini?” 

“Ini hari keempatku.” 

Aku mengangguk pelan, “Jadi mau ke mana tiga hari ke depan?” 

“Besok mau liat lumba-lumba dan snorkling. Mau ikut?” 

“Kita masih daerah Kuta kan?” Kau mengangguk membenarkan, “Di mana kau mau liat lumba-lumba? Bali Utara?” Lagi-lagi kepalamu mengangguk. “Naik apa?” 

“Motor,” balasnya singkat bertepatan dengan makanan kami yang baru datang. “Aku rencananya berangkat nanti sore sekalian eksplor daerah sana, terus paginya ikut tour deh buat liat dolpin.”

“Sendirian saja?” 

“Enggak, kan kamu ikut?” 

“Kapan aku bilang iya?” balasku heran sendiri. 

Kau tersenyum lantas menyantap makananmu, “Mau ikut gak?” 

Aku menggeleng, “Danaku ntar kepotong kalo harus sewa-sewa di sana.” 

“Aku bayarin.” 

“Siap beduit!” sinisku membuatmu tertawa. 

“Serius Elina.” Kau kembali melirikku, “Ayo liat lumba-lumba, berenang, nyelam.” 

“Aku gak ada baju renang ya anjir!” 

“Sewa, uangku. Aman.” 

Aku masih memandangnya dengan alis berkerut penuh curiga, “Kenapa harus?” 

“Dih, kamu gak pengen liat laut apa? Bukannya kamu suka laut?” 

Aku memang pernah mengatakannya. Dibandingkan jalur udara, aku selalu bilang bahwa aku suka lautan. Aku suka biru yang diterpa sinar mentari itu, jika pagi-pagi sekali kita ke sana, kita pasti akan melihat sunrise juga dan aku tahu itu akan indah. 

“Ayolah, bareng aku aja kok.” 

“You are really lonely ya?” balasku membuatnya tertawa. 

I am.” Lalu terkekeh, kali ini tak terdengar seperti sedang bercanda. “Life after falling in love and being left is so empty, meeting you somehow filled that emptiness, I don't know why.”

“You should try to fill that void yourself instead of me.”

“I know.” Kau kembali tersenyum, “Jadi ikut gak?” 

“Nginepnya di mana?” 

“Hotel, sama aku.” 

“Ngaco anjir!” refleksku tanpa sadar. Kau kembali tertawa melihat hal itu.

“Aku bakal sewa kamar lagi, aman.” 

Oh, itu tak boleh. Jika dia menggunakan semua uangnya hanya demi agar aku mau ikut, itu tak boleh. Namun aku juga tak bisa menggunakan uangku untuk penyewaan seperti itu, tidak untuk hal-hal seperti ini. 

“Gak,” balasku pelan. “Sekamar saja.” 

Kali ini kau yang menoleh dan menatapku dengan iris tak percaya, “Jangan Elina, uangku cukup kok kalo cuma buat sewa kamar dua juga.” 

“Atau kita berangkat tengah malam saja?” tawarku.

“Gak, ntar malah gak ada istirahatnya, gak bisa nikmati suasana di sana.” 

Aku mengela napas, “Yaudah, satu kamar.” Ia nyaris menolak namun aku dengan cepat langsung memotongnya, “Atau aku gak ikut?”

“Oke, satu kamar.” Kau kembali menyantap makananmu. “Kita atur aja ntar di sana.”

“Aman,” balasku ringan. “Jadi mau ke mana habis ini?” 

Kau terlihat berpikir keras meski bibirmu tak berhenti mengunyah, lalu perlahan bergumam pelan mengungkapkan isi kepalamu tanpa pikir. “Kita nyari penyewaan baju renang buatmu dulu, kayaknya kamu juga sudah lapis itu ya pas di kapal jadi sampe sana tinggal buka? Soalnya di tengah laut kan? Tapi mereka harusnya juga punya sih, nanti aku tanyakan dulu sama mas yang ngurus tour itu. Terus apa ya? Gimana kalo nonton film aja?” 

“Kau pernah nonton film di sini?” 

Kepalamu menggeleng pelan membuatku tersenyum, menahan tawa. “Aku juga gak tahu bioskop di sini ada di mana sih, tapi kita kan gak pernah nonton bareng? Kayaknya seru kalo sama kamu.” 

“Emang kita apa yang pernah bareng?” tanyaku balik. 

Kau terkekeh menyadari hal itu. Kita memang tak punya banyak memori selain kesibukan bersama saat skripsian dulu. Itu saja pertemuan yang tak disengaja. Kamu ternyata punya dosen pembimbing yang sama denganku dan kita sering sekali datang di hari yang sama saat bimbingan karena memiliki topik skripsi yang sejenis. 

Kita berakhir sering berdiskusi dan belajar bareng. Kita ada untuk satu sama lain di masa-masa itu. Kamu membantuku lupa bahwa aku habis putus cinta, kamu menghapuskan luka-luka itu dengan mudah meski aku enggan mengakui ketertarikanku padamu. 

Sejauh yang kuingat, kita tak pernah keluar untuk main bersama. Pertemuan kita hanya sebatas karena skripsi dan terus seperti itu sampai hari sidang datang. 

Kita memang tak pernah bersenang-senang bersama. 

Baru di sini kita mencoba segalanya bersama hanya  untuk bersenang-senang dan seperti yang kau rasakan, kekosongan mudah dihapuskan ketika kita sedang bersama. 

“Kalau gitu kita harus banyak nyoba ngelakuin apa pun bareng,” balasmu terdengar bersemangat. 

Piring-piring kotor itu kau tumpuk jadi satu bersama dengan gelas-gelas kosongnya. Kau beranjak berdiri, lalu memberi tanganmu di hadapanku agar bisa kugenggam. Aku menyambut tangan itu, menggenggamnya selagi beranjak berdiri bersamamu dan meninggalkan kafe tersebut. 

“Habis nonton baru kita motoran ke Utara,” ujarmu ketika kita sampai di parkiran. Kau mengambil helmku, menyematkan benda itu pada kepalaku dan menyatukan pengaitnya. “Atau sewa mobil aja ya?” 

Wajahmu terlalu dekat, aku bahkan baru mampu melepas napas ketika kau memundurkan wajah. 

Sial. 

“Memang banyak yang dibawa?” 

“Enggak sih,” balasmu santai. “Tapi kan enakan pakai mobil Elina.” 

“Motor aja.” Aku merebut helmnya yang nyaris ia pegang. Tanganku mengangkat helm itu, memasangkan benda tersebut di kepalanya dan melakukan hal yang persis sama sepertinya barusan. “Bisa gantian bawanya kalo motor.” 

Kau terkekeh mendengar hal itu, “Lihat nanti aja,” balasmu lantas mulai menaiki motor, aku menyusul di belakang. 

Kami menghabiskan sisa hari dengan menonton bioskop dan bersiap untuk pergi ke area utara. Aku pulang dulu untuk berkemas dan ketika Hael sampai, pemuda itu ternyata tak menggunakan motor. 

Aku menghampirinya dengan tas penuh di punggung, “Kenapa gak pakai motor?” 

“Pengen pegangan tangan.” 

Clingy banget anjing? Aku nyaris memprotes ketika ia tiba-tiba melepaskan ransel yang ada di pundakku, meletakkannya di kursi belakang mobil, lalu membukakan pintu mobil itu agar aku masuk. “Kita lebih banyak kena macet kalo pakai mobil loh.” 

Kau hanya tersenyum kecil, memandangku dari balik pintu mobil usai menutup benda itu. “Gapapa,” balasmu ringan. “Berarti bisa pegangan tangan lebih lama.” 

Aku benar-benar tak mampu menahan diri untuk tak merotasi mata dan tertawa mendengar hal itu. Hal itu membuatmu ikut tertawa dan mengusap pelan pucuk kepalaku. 

*

*

*

Nyaris tiga jam berkendara dari Kuta sampai ke area utara. Aku tak pernah menyangka bahwa kita bisa menghabiskan waktu selama itu hanya dengan mengobrol. 

Kau menceritakan banyak sekali tantangan yang kau lalui setelah lulus dan mencari kerja, bagaimana bosmu mengajarkan cara bersikap di hadapan berbagai jenis orang, menjadi lebih profesional, hingga pertemuanmu dengan mantan kekasih. 

Aku mendengarkan segalanya dengan seksama. Aku menangkap semua ekspresi yang keluar dalam perpindahan chapter hidupmu itu. Bagaimana kau pertama kali jatuh cinta padanya, bagaimana kau berpikir bahwa dia mungkin adalah orang yang tepat, bagaimana dia akhirnya mematahkan semua harapan itu dan membuat kinerjamu di kantor memburuk. 

Kau bahkan sampai paksa cuti karena hal itu. 

“Beruntungnya aku bertemu kau di sini,” ujarmu ringan. “Aku terus menolak urusan cuti sejak bulan lalu namun akhirnya mencoba menerima itu dan menghadapi segalanya. Ternyata semua luka dan pembelajaran itu ada agar aku bisa sampai ke titik ini.” 

Kupikir, kesimpulan itu diambil terlalu cepat. Namun aku tak ingin melihatnya banyak pikiran hanya karena kata-kata tersebut, jadi aku hanya mengusap tangannya yang sejak tadi menggenggam tanganku. 

Dia baru pertama kali jatuh cinta dan pertama kali patah hati. Dia mungkin sudah terbiasa mengatasi luka perihal nilai atau pun pekerjaan, namun urusan hati bukanlah hal yang mudah untuk diatasi. 

Tidak secepat itu, tidak semudah itu. 

Kami akhirnya sampai di hotel yang telah ia sewa. Senyumanku seketika merekah saat menyadari kamar hotel itu punya dua ranjang hingga kami tak perlu meributkan siapa yang harus tidur di lantai. Aku meletakkan tasku, mengambil handuk dan pakaian tidur sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi. 

Aku membuka pintu usai kamar mandi dengan rambut yang digulung oleh handuk lalu dilapisi kain lagi. Aku tahu ini salah dengan tidur satu ruangan bersama Hael, namun aku juga yakin pemuda itu tak akan macam-macam. 

Jika dia berani macam-macam aku akan kupatahkan lehernya. 

“Akhirnya!” keluhku merebahkan diri di salah satu ranjang. 

Hael hanya terkekeh melihat tingkahku sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Mataku terasa sangat berat selama menunggu Hael mandi agar kita bisa makan malam bersama. 

Namun sebelum pemuda itu keluar dari sana, aku malah sudah lebih dulu terlelap. 

Ketika mataku kembali terbuka, aku menyadari selimut yang melingkar di seluruh tubuhku dan suara dengkuran halus di kasur seberang. Mataku meliriknya, pemuda itu juga membungkus tubuhnya dengan selimut, dia pasti lelah. 

Aku beranjak berdiri saat mengecek jam di ponsel. Ini baru pukul dua malam, kami sampai di sini jam delapan malam dan aku melewatkan waktu solat. Aku memutuskan untuk mengambil wudhu dulu, lalu sembahyang, baru setelah itu beranjak mendekati nakas di dekat tv. 

Maaf perjalanannya bikin capek ya? Tidurnya pules banget jadi aku gak tega bangunin. Ini panasin aja, aku tadi sempet keluar buat beli makan sebelum tidur.

Isi tulisan di atas secarik kertas itu. Aku tak mampu menahan senyuman, kertas itu kulipat dan kusimpan sebelum akhirnya mulai memanasi makanan tersebut. Aku memandanginya yang sedang tertidur sambil makan, perutku memang keroncongan. 

Kami akan berangkat ke pantai untuk pergi melihat lumba-lumba jam lima pagi, itu artinya ada waktu kurang lebih dua jam sebelum bersiap pergi. Aku menghampirinya usai makan, tanganku tak tahan untuk tak memainkan rambutnya sejenak, manis, kenapa dia bisa jadi semanis ini jika sedang tidur? 

Aku menerjap ketika tanganku ditangkap olehnya, lalu digenggam dengan lembut. “So warm,” gumammu setengah sadar. 

Aku terdiam mendengar hal itu.

Perlahan, aku menarik tanganku meski beberapa kali ia mencoba meraihnya lagi. Aku mendudukkan diri di kasurku, masih menatap ke arahnya. Apa ini akhir dari kita? Atau awal yang indah? 

Aku tak pernah membayangkan kita bisa sedekat ini. Sejauh yang pernah kuharapkan, kita hanya bisa bertemu lagi dan dekat sebagai teman. Namun kemarin lusa dia mengungkapkan rasanya yang telah pudar, dia membagikan semua kisahnya padaku sejak kemarin. Kami banyak bertukar kisah setiap kali bertemu dan seakan tak pernah bosan mendengarkan cerita hidup satu sama lain. 

Bahkan jika ini akan menjadi akhir dari hubungan kita, aku bersyukur bahwa kita sempat sedekat ini. 

Dua jam ternyata cukup untukku menyicil sebagian besar pekerjaanku. Aku sedang memoles lipbam di bibirku ketika Hael terbangun dari tidur. Pemuda itu mendudukkan diri di kasur, masih sambil memeluk bantalnya ketika ia melirikku yang duduk di depan kaca. 

Morning?” tegurmu. 

Aku tersenyum dan melirikmu dari pantulan kaca, “Morning, sana siap-siap, bentar lagi adzan subuh.” 

Kau hanya mengangguk mendengar ucapanku, lantas beranjak dari kasur dan pergi ke kamar mandi. Rasanya kami seperti sepasang suami istri jika begini, namun aneh sekali bahwa aku tak sedikit pun merasa takut seruangan berdua dengannya begini. 

Dia memang tak pernah terlihat berbahaya. Aku tahu setiap lelaki punya sisi gila yang mampu mereka ciptakan untuk membuat wanita tunduk, namun Hael tak pernah punya sisi seperti itu. Sejak dulu, bahkan setelah semua luka hadir dalam dirinya, dia masih menjadi sosok pemuda yang mampu membuatku nyaman ketika sedang berdua. 

Hael selalu tahu cara mengontrol dirinya. 

Kami melakukan solat subuh bersama, berdua. Setelah lima tahun terpisah bahkan hanya menjadi penonton setia di sosial media saja, kini kami kembali menjadi imam dan makmum dalam satu ruangan kosong. 

Kalau tak ingat kita tak punya hubungan apa pun, kupikir aku ingin sekali mencium punggung tangan itu setelah selesai berdoa. 

“Ayo!” gasnya usai mengambil alih tas yang ingin kubawa dan menggenggam tanganku lagi. 

Aku hanya tersenyum melihat tingkah semangat itu. Tanganku membalas genggaman tangannya dan kami akhirnya beranjak pergi meninggalkan penginapan itu. 

Jarak dari hotel menuju pesisir pantai tidaklah jauh. Kami akhirnya bertemu dengan orang yang akan mengantar kami untuk melihat lumba-lumba. Ada banyak kapal di area pesisir itu dan juga banyak orang yang pergi ke sana jam enam pagi ini. 

“Ini berdua bisa berenang?” tanya salah satu bapak-bapak yang akan membawa kami dengan kapalnya. 

“Aman pak,” balasku ringan. 

Aku telah melapisi tubuhku dengan baju renang sampai ke bagian kepala. Kami berlayar ke area tengah laut sambil mendengarkan cerita dari seorang tour guide tentang habitat lumba-lumba yang ada di sini dan setiap kapan makhluk itu melintas. 

Meski tinggal di area pesisir juga, aku sangat jarang pergi ke tengah laut seperti ini hingga selama orang itu menjelaskan panjang lebar segalanya pada Hael, aku malah sibuk memandang cahaya matahari yang mulai terbit dari titik timur. 

“Nah! Mba itu lumba-lumbanya mba!” tegur pria itu membuatku memandang sekitar. 

Hael malah lebih heboh mendengar hal itu, “MANA?! WOAHH! BANYAK BANGET!” 

Kapal kami mengejar lumba-lumba itu bersama kapal-kapal lain. Aku selalu lupa mengabadikan hal-hal seperti ini hingga ketika kudengar suara cekrek dari sebuah kamera, aku baru menoleh. Bibirku seketika menarik senyuman simpul sambil menunjuk ke arah lumba-lumba saat Hael mengarahkan lensa kameranya padaku. 

“Mau gantian gak—“ 

Dia menyerahkan kamera itu pada mas tour guide, “Fotoin kita mas!” ujarnya lantas duduk di sebelahku. 

Kami heboh sendiri setiap kali difotokan dan setelah puas dengan semua hasilnya, kami baru diizinkan untuk berenang. Aku terjun lebih dulu ketika melihat lumba-lumba yang melintas di depan kami, tubuhku menyelam, aku dapat melihat gerombolan yang lebih banyak di dalam laut.

“Weh! Banyak banget!” teriakku pada Hael. 

Pemuda itu terlihat tak sabar untuk ikut terjun, “Mana?!” hebohnya lantas ikut terjun di sisi kapal yang lain. “WOAH!” 

Aku tertawa melihatnya. Aku tak tahu berapa lama kami berendam di tengah laut itu untuk melihat lumba-lumba, namun jari-jariku telah keriput ketika naik ke kapal lagi. “Kalian ini berdua doang tapi heboh banget kayak anak kecil!” tegur bapak-bapak yang meletakkan dua handuk di tubuh kami. 

“Ya namanya juga gak pernah liat lumba-lumba pak,” gumam Hael lantas gemetaran, dia kedinginan parah. 

Aku terkekeh lantas melirik pemuda itu. Ia melepas bajunya dan menggantinya dengan baju baru yang kering, aku membuang muka ketika nyaris melihatnya buka baju sedangkan tubuhku kupeluk erat menggunakan handuk. 

Kami kembali ke pesisir pantai usai puas menyelam dan melihat lumba-lumba. Setelah berganti baju, kami kembali ke hotel untuk sarapan. Ternyata rasanya begitu melelahkan ketika aku berhasil membaringkan tubuh di kasur. 

Hael melirikku sambil mengusap rambutnya yang masih basah. “Jangan tidur dulu, kita sudah pesan makanan loh.” 

Aku hanya mengangguk santai menanggapi hal itu. Mataku memang sangat berat, bangun subuh dan baru kembali tengah hari seperti ini, aku sejujurnya sudah kehabisan energi. Aku memaksa diri untuk beranjak ketika Hael mengajakku duduk di balkon saat makanan kami sudah tiba. 

Kami memandang kolam berenang dan taman dari balkon. Hael membukakan bungkus makanan itu dan menyerahkannya padaku. Kami menghabiskan makanan itu dalam diam, tak banyak berbincang seperti sebelumnya. 

Sudah lama aku tak merasa nyaman dalam kesunyian seperti ini. 

“Sudah pesan pesawat?” 

“Masih lusa, aman itu mah.” Kau lantas menoleh ke arahku usai menyesap minuman, “Kamu ... menetap di Bali?” Aku menggeleng, “Jadi akan di sini sampai kapan?” 

“Masih sisa seminggu aku di sini.” 

“Sudah berapa lama kau di sini?” 

“Nyaris sebulan,” balasku lantas tersenyum. “Habis ini pengen ke Hanoi, mungkin seminggu aja.” 

“Kamu biasa stay lama di mana?” tanyamu, terdengar serius. 

“Di sini,” balasku pelan. “Atau Jogja, aku kadang ke Jakarta juga tapi tak pernah lama.” 

“Kenapa tak pernah mengabariku jika sedang di Jakarta?” 

Aku mengangkat bahu tak acuh, “Kau terlihat sibuk,” balasku lantas tersenyum. 

“Kau tahu aku tak akan menolak ajakanmu Elina.” 

“Karena itu aku tak memberitahumu,” balasku pelan. “Kau jarang menolak ajakan teman, padahal kau tahu kau sangat sibuk.” 

Kau tertawa mendengar hal itu, “As always, sangat pengertian.” Aku tak membalas mendengar ucapanmu. “Kita kembali ke Kuta setelah ini?” 

“Yup,” balasku pelan. “Memangnya kau mau ke mana lagi?” 

“Entah,” ujarmu lantas merapikan bekas makanan kita. “Aku tak punya tujuan apa pun lagi. Eksplor daerah ini saja dulu kali ya? Kau ada pekerjaan hari ini?” 

Aku menggelengkan kepala. Sejujurnya ada, tapi masih bisa kuurus besok. Sepertinya kami memang harus menghabiskan waktu bersama selama dia masih di sini. 

Aku tak ingin meninggalkan kenangan buruk.

“Kalo gitu ayo pergi sekarang?” tawarnya lantas beranjak berdiri. Aku hanya memandangnya saja, enggan beranjak. “Why?” 

“Sekarang banget?” tanyaku ketika langkah itu mendekat ke arahku. 

Kau bersandar pada balkon di hadapanku, kini wajah itu sedikit menunduk untuk memandangku yang masih duduk di depanmu. “Are you tired?" Aku hanya tersenyum kecil dan mengangguk, membuatku terkekeh. “Mau tidur aja?” 

“Gapapa?” 

“Kenapa gak boleh?” 

Aku terkekeh mendengar hal itu. “Kamu mau ngapain kalo aku tidur?” 

“Mau liat kerjaan,” balasmu sambil menunjuk tasmu yang ada di dalam kamar. “Gak harus dikerjain sih, tapi dari pada gabut kan? Atau bisa nge-game juga, atau nonton juga. Aman kalo aku mah.” 

“Bener juga.” Aku tanpa sadar menguap, membuatmu terkekeh. 

“Dah, tidur dulu gih.” Kau mengusap pucuk kepalaku lagi, menarikku masuk ke dalam kamar itu dan membiarkanku berbaring di kasur sedangkan kau duduk di dalam sana, membuka laptopmu. 

Aku ternyata tidur cukup lama. Hari sudah mulai gelap ketika aku terbangun dan perutku telah keroncongan lagi. Kau bilang bahwa kita telah melewatkan sunset tapi kita bisa ke salah satu resto untuk makan malam, kau menemukan tempat makan menarik selama aku tidur tadi. 

Tadi kau hanya membangunkanku tiap waktu solat dan membiarkanku tidur lagi, bahkan nyaris menyeretku ketika aku enggan naik ke kasur untuk tidur. 

Kami akhirnya bersiap untuk meninggalkan penginapan dan pergi ke salah satu resto yang kau tuju. Kali ini kau bertanya banyak hal tentangku, tentang hidupku dan apa yang sekarang sedang kujalani. 

Aku sejujurnya sedang dalam fase yang paling kunikmati. Aku membuat jadwal untuk pergi ke berbagai tempat, aku mengabadikan hidupku di sosial media dan berakhir kena lirik oleh beberapa brand. Aku masih tak punya kekasih dan tak akan pernah ingin memilikinya. 

“Opsinya hanya menikah atau jadi teman.” 

“Sampai saat ini, apa sudah nemuin orang yang layak buat diajak menikah?” 

Aku memandang mata itu sejenak, lalu menggeleng pelan. “Tak ada, belum.” Lantas menarik senyuman tipis, “Itu keputusan yang besar, bahkan untuk melakukan komitmen agar bisa bersama sampai menikah saja, kupikir cukup sulit.” 

Kau mengangguk membenarkan, “Aku merasa sudah cukup dewasa untuk ada di fase itu, tapi sepertinya saat ini juga belum cukup ya? Hubungan kemarin aja gagal.” 

Aku membenarkan kata-katamu. Kita akhirnya sampai di resto yang kau tuju, lalu makan malam sejenak di sana sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan untuk pulang. 

Lusa kau akan kembali. 

Lusa kau tak akan ada di sini. 

Aku membiarkan tangan itu menggenggamku setiap waktu karena sedikit lagi ini akan berakhir. Aku mengikuti semua permainan yang mungkin sedang kau lakukan tanpa sadar. Kau masih polos, masih senaif dulu bahkan tanpa memahami apa yang sedang kau lakukan padaku. 

Besoknya kita masih menghabiskan waktu bersama seharian. Kau masih betah menemaniku bekerja, kau mengajakku mencari oleh-oleh untuk teman dan keluargamu. Kau menghindari beberapa barang dengan warna tertentu karena katamu itu adalah warna favorit mantan kekasihmu. 

Tidak ada oleh-oleh untuknya. 

Kalian bahkan tak bisa menjadi teman lagi sekarang. 

“Dia akan menikah bulan depan, sepertinya karena sedang mengandung.” 

“Oh ...” gumamku ketika kita kembali berjalan kaki menuju pantai, tempat yang sama saat kau mengungkapkan rasamu yang telah kadaluarsa padaku saat itu. “Kau diundang?”

“Diundang, tapi aku tak datang.” 

“Lebih baik begitu,” balasku ringan. 

Scene itu kembali terulang. Senja yang cerah menyambut kami. Aku menggelar tikar dan kau membelikan es kepala untukku. Kita duduk bersebelahan untuk menikmati senja terakhir sebelum besok kau akan kembali ke Jakarta dan meninggalkanku. 

“Elina,” tegurmu saat rona jingga di langit mulai memudar, digantikan oleh biru yang perlahan-lahan menggelap. Ujung jari kita masih terpaut ketika mataku turun memandang jariku yang kini kau sematkan sebuah cincin di jari tengah. “Can I be yours?” 

“Do you like me?” 

“I do.” 

Aku tidak mengharapkan ini. Aku tahu selama beberapa ini aku adalah pelipur laranya, aku yang mencoba selalu ada dan mengisi kekosongan di hari-harinya. Namun aku tak pernah menyangka bahwa dia menginginkan ini, “Can I be yours?” katanya. 

You can but not now, Hael. This feels so wrong for me.

Itu terdengar seperti aku sedang dijadikan rumah baru untuknya yang baru ditinggalkan. 

“You don’t.”  Kau menarik tanganmu yang telah menggenggam jemariku meski aku tak melepaskan cincin itu dari sana. “Find yourself first, Hael.

“What do you mean?” 

 “Kamu baru putus, kau bilang sejak awal bahwa kau tak punya sisa rasa untuk apa pun. Lalu aku datang, kau senang, kau merasa kehadiranku mengisi kekosongan itu, kan?” Kau mengangguk, tak mengelak hal itu. Kau masih naif, masih sangat naif. “Isi dulu rasa kosong itu dengan dirimu sendiri, tidak etis menjadikan orang lain untuk mengatasi kesedihan dan rasa kosongmu. Jika kau pergi, apa yang terjadi padamu nanti?” 

“Kamu tak akan pergi.” 

“Aku bisa pergi,” balasku padanya. “Semua manusia berubah, aku bisa muak dan pergi meninggalkanmu, tidak ada yang mustahil akan hal itu.” Aku lantas menarik tangannya, menggenggam jemari yang selama beberapa hari terakhir ini terus memberi kehangatan di tanganku. “You were the one who taught me to love myself, so please do that to yourself too, and come to me when you've recovered. I won't leave, I'll wait for you until that feeling purely recovers.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Ada Aku (Elion - Sea)
4
0
Berkisah tentang potongan cerita Elio yang mendapatkan kabar perihal kehamilan kekasihnya, Sea … sampai hari di mana buah hati mereka lahir.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan