
Deskripsi
Bagian 3
Menjaga Netralitas dan Khittah NU 1926
Peran Strategis Ulama
KH Faqih Maskumambang Gresik
KH. Ahmad Jazuli, Poso Kediri
KH Wakhid Hasyim
KH Abdullah Salam Kajen,Pati
Habib Salìm Jindan. Otista Jakarta
KH Turaichan Kudus
KH Idris Kamali
KH Maemun Zubair Sarang
KH Abdul Manan, Banyuwangi
KH Hisyam Zuhdi, Leler Banyumas
KH Satori, Arjaeonangun Cirebon
Abuya Dimyati, Pandeglang
Mbah Idris Kacangan Boyolali
Habib Jakfar bin Syaikhon Pasuruan
KH Abdul Fatah, Tasikmalaya
Habib Abubakar Gresik
Habib Salim Al Athas...
Jejaring Ulama Nusantara
1
0
1
Berlanjut
Jaringan Ulama Nusantara IIJejaring Ulama Nusantara Katalog Dalam Penerbitan : ISBN : 0507-11878 UJejaring Ulama Nusantara jilid 2Hak penerbitan ada pada penerbit :Penyusun: Aji SetiawanPenyunting: PenerbitDesain Sampul:Diterbitkan oleh penerbit: Buku ini dapat dipesan di perwakilan penerbit: Daftar IsiPeran Pondok Pesantren Dalam Perkembangan IslamPeran Strategis Ulama, Prinsip Amar Ma’ruf Nahi MunkarKH As"ad Samsul Arifin-Asembagus , SitubondoKH M Hasan, Genggong ProbolinggoKH Hasan Besari, PonorogoKH Muqoyyim Abdul Hadi, Buntet Pesantren CirebonKH Dalhar, Watucongol. Muntilan, MagelangSyaikh Abdul Muhyi, PamijahanSyaikh Tolhah, Kali Sapu, CirebonKH Chudori, Tegalrejo MagelangSyaikh Abdul Malik, Kedung Paruk. PurwokertoHabib Ali bin Abdurrahman al Habsyi, KwitangKH Abdul Hadi Zahid, Langitan TubanSayid Sulaiman BasyaibanKH M Munawwir, Krapyak YogyakartaKH Bisri SansuriSyaikh Yasin Peran Pesantren Dalam Sejarah Islam NusantaraSejarah Islam Nusantara atau kini disebut dengan Islam di Indonesia memiliki khazanah institusi atau lembaga pendidikan yang inovatif, komprehensif, dan integratif. Sebut saja lembaga pendidikan Islam Pesantren. Siapa yang tak kenal dengan lembaga satu ini. Pesantren atau Pondok merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tradisonal tertua di Indonesia hingga sampai saat ini masih bertahan.Pesantren adalah salah satu dari sekian banyaknya warisan budaya Islam Nusantara yang menjadi tempat favorit untuk menimba ilmu agama Islam bagi semua kalangan. Nusantara atau kini telah menjadi sebuah negara besar bernama Indonesia mempunyai perjalanan sejarah cukup panjang dalam proses akulturasi budaya Islam. Asal Usul Pesantren Nurcholish Madjid dalam “Bilik-bilik Pesantren”, menyebutkan bahwa Pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia.Kata “Pesantren” mengadung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren. Kata “Santri” berarti “melek huruf”, atau dari bahasa jawa “cantrik” yang mempunyai arti orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi. Dari sini dapat dipahami bahwa Pesantren setidaknya memiliki tiga unsur yaitu santri, kiai, dan pondok (asrama).Mengenai awal kemunculan Pesantren terdapat berbagai pandangan seperti dalam buku “Dinamika Pesantren dan Madrasah” yang ditulis oleh Abdurrahman Mas’ud, ia berpandangan bahwa keberadaan Pesantren tidak lepas dari peran Wali Sanga, figur penyebar Islam di Jawa. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa Wali Sanga adalah founding father Pesantren dan Islam di Indonesia khususnya di wilayah Jawa.Pesantren adalah salah satu media dakwah akulturatif Wali Sanga terhadap tradisi serta budaya lokal yang pada saat itu sudah berkembang. Wali Sanga mampu memikat hati masyarakat pribumi tanpa meninggalkan dan menghapus warisan budaya dan tradisi setempat. Keberadaan Pesantren sebagai media dakwah sekaligus proses pembelajararan ilmu agama menjadi sejarah tersendiri dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Sehingga pesantren dikenal sebagai sistem pendidikan original yang telah membentuk keberagaman masyarakat Indonesia yang ramah, toleran dan pluralistik.Dalam hal ini Pesantren telah berhasil mempertahankan warna kemoderatannya, yakni sikap mengambil jalan tengah dalam segala dimensi kehidupan keberagaman yang sangat selaras dengan watak dan karakteristik umat Islam di Nusantara, yang fleksibel, toleran dan terbuka dalam menerima dan menyikapi segala perbedaan tradisi, pandangan serta keyakinan. Lahirlah kearifan lokal serta corak dan warna Islam Nusantara yang khas.Kini Islam di Nusantara atau di Indonesia telah banyak melahirkan warisan peradaban sebagai harta peninggalan yang tak ternilai harganya, sekaligus sebagai bentuk otentik betapa Islam telah ikut serta memberi corak dan warna bagi kemajuan peradaban Islam di Indonesia.Ada masjid atau surau, ulama-ulama terkemuka beserta maha karya berupa kitab klasik dan lain sebagainya.Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7).Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M.Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku.Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab agama Islam. Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25)Di Sulawesi Selatan, masjid difungsikan sebagai pesantren sekaligus. Masjid yang didirikan di Kallukobodae (Goa-Talllo) juga berfungsi sebagi pusat pengajian di daerah itu. Ajaran yang diberikan adalah syariat Islam, rukun Islam, rukun iman, hukum perkawinan, warisan, dan upacara hari besar Islam. Sejak pengembangan Islam di Sulawesi Selatan, orang Melayu yang tinggal di Makassar dan sekitarnya mempunyai peranan penting dalam penulisan dan penyalinan kitab-kitab agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa Makassar. Berbagai lontar yang ditemukan dari bahasa Melayu zaman permulaan Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18. (Abdullah (ed.), 2002: 22).Sedang sejarah pesantren di Jawa, Serat Centini pernah menceritakan adanya sebuah pesantren yang bernama Karang di Banten, yang terletak di sekitar Gunung Karang, Pandeglang, Banten. Salah satu tokohnya adalah Danadarma yang mengaku telah belajar 3 tahun kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh sufi yang wafat di Baghdad. Tokoh utama lainnya adalah Jayengresmi alias Among Raga. Ia belajar di Paguron Karang di bawah bimbingan seorang Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang dikenal dengan julukan Ki Ageng Karang. Selanjutnya Jayengresmi berguru lagi kepada Ki Baji Panutra di desa Wanamarta. Di sini ia menunjukkan pengetahuannya yang sangat mendalam tentang kitab-kitab ortodoks. (Abdullah (ed.), 2002: 22).Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, pendidikan pesantren memang luar biasa. Pendidikan pesantren membekali santrinya dengan ilmu hidup, mengajari mereka berinteraksi dengan berbagai budaya, dan bahkan belajar tentang perbedaan. Dari pesantren, mantan Menag mengaku memahami peran nilai-nalai agama dalam menyatukan keragaman. Hal ini penting sebagai modal hidup di Indonesia yang sangat beragam. “Sesungguhnya esensi dari semua agama itu bertemu pada satu titik temu yakni memanusiakan manusia,” ujarnya.Demikianlah, pesantren menjadi pusat penyebaran agama Islam yang efektif di Indonesia. Kesuksesan ini ditunjang oleh posisi penting para kiai, ajengan, tengku, tuan guru, atau tokoh agama lainnya di tengah masyarakat. Mereka bukan hanya dipandang sebagai penasehat di bidang spiritual saja, kiai juga dianggap tokoh kharismatik bagi santri dan masyarakat sekitarnya. Kharisma kiai ini didasarkan kepada kekuatan spritual dan kemampuan memberi berkah karena kedekatannya dengan alam gaib.Ziarah ke kuburan para kiai dan wali dipandang sebagai bagian integral dari wasilah, keperantaraan spiritual. Mata rantai yang terus bersambung melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai dengan nabi, dianggap penting untuk keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat. (Brunessen, 1999:20).Penulis : Aji Setiawan, mantan wartawan alKisahPeran Strategis Ulama, Prinsip Amar Ma’ruf Nahi MunkarTugas ketiga adalah criticism buiding (membangun sikap kritis), ini sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana sering ditegaskan bahwa sikap Ulama terhadap negara taat mutlak bahwa negara harus dijaga dan dibela, tetapi terhadap pemerintah yang ada ulama menerapkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sementara dalam melakukan amar ma’ruf sendiri perlu menggunakan etika,”Amar ma’ruf bil ma’ruf.”(Barangsiapa mengajak kebaikan maka dengan cara yang baik pula). Pun demikian dalam mencegah kemunkaran dengan cara-cara yang baik pula, mauidzotil khasanah (nahy munkar bil ma’ruf-red).Peran Strategis Ulama, Pertimbangan EtisSikap kritis Ulama dalam mendukung atau mengkritik pemerintah ini didasari oleh pertimbangan etis, bukan oleh pertimbangan politis, karena itu akan dilakukan terus walaupun Ulama sudah banyak di Partai Politik dan Ormas, namun Ulama memang memiliki tugas moral atau etis.Kembali pada upaya character building dan nation building, ini merupakan langkah yang sangat mendesak saat ini, karena ini merupakan persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini ketika sekolah dan lembaga pendidikan lain termasuk lembaga kebudayaan yang ada tidak melakukan tugas ini.Sementara gelombang globalisasi yang begitu besar menghancurkan sendi-sendi bangsa ini di semua sektor kehidupan, sehingga terjadi kemerosotan moral, budipekerti, akhlaq dan lunturnya karakter.Penanaman rasa cinta tanah air dan bangga terhadap sejarah serta peradaban sendiri itu dilakukan karena berdasarkan pertimbangan bahwa: (barang siapa tidak memiliki tanah air dan tidak mencintai tanah air, maka tidak memiliki sejarah, barang siapa tidak memiliki sejarah maka tidak memiliki memori dan karakter).Bagi orang atau bangsa yang tidak memiliki memori maka dia akan menjadi bangsa tidak memiliki karakter, dan bangsa yang tidak memiliki karakter akan kehilangan segalanya. Politiknya akan hilang, peradabannya akan merosot dan aset ekonominya pun akan dijarah bangsa lain akhirnya akan menjadi bangsa yang miskin dan tidak terhormat. Inilah pentingnya menanamkan rasa cinta tanah air, dan karena itu tidak henti-hentinya, Nahdlatul Ulama sejak jaman dahulu menanamkan rasa cinta tanah air.Penegasan pada Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI ini merupakan bentuk paling nyata dari rasa cinta tanah air tersebut. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman (hubbul wathan minal iman). Dalam pengertian itulah agama ditempatkan sebagai unsur mutlak dalam nation dan character building. (Said Agil Siraj, Pidato Harlah NU ke 89).Peran Strategis Ulama, Syarat Berjuang bagi UmatPentingnya pendidikan karakter ini tentu menjadi kewajiban Nahdlatul Ulama untuk membentuk kader-kader pejuang ummat.Syarat-syarat berjuang bagi ummat Islam di zaman sekarang menurut Prof. Dr. Said Ramadhan Bouti dalam “al Ruhaniyat al ijtima’iyah” (spiritualisme sosial) dengan:(1) Membaca dan merenungkan makna kitab suci al Qur’an ;(2) Membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi Muhammad SAW melalui sunnah dan sirah (membaca biografi) beliau;(3) Memelihara hubungan dengan orang-orang saleh seperti ulama dan tokoh Islam yang zuhud;(4) Menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela;(5) Mempelajari hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam al Qur’an dan sunnah dengan sikap penuh percaya;(6) Melakukan ibadah-ibadah wajib dan sunnah.KH Sahal Mahfudz dalam sebuah buku Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS) telah mengisaratkan akan adanya kemungkinan munculnya kekhawatiran berlebihan, yang dapat menimbulkan keputusasaan dan sikap pesimis di kalangan umat terhadap gejala kekosongan ulama, sehingga akan mendorong persiapan sedini mungkin.Ulama Menurut Imam GhazaliPembicaraan kali ini menyangkut Ulama. Tidak sembarang orang boleh dan mampu memberikan kriteria ulama, karena ia memiliki nilai lebih yang sering kali tidak dapat dijangkau oleh keawaman umat.Saya hanya menggunakan kriteria dan batasan ulama menurut al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin yang menyebutkan, ulama adalah seorang yang rajin beribadah, zuhud, alim dalam berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu-ilmu ukhrawi, senantiasa ikhlas karena Allah dan faqih dalam segala aspek kemaslahatan umat. []Aji Setiawan, pernah menjabat Litbang pada PMII Cabang Yogjakarta. Penulis tinggal di Cipawon, Bukateja, Purbalingga. KH Wahab Hasbullah Founding Father NO Tokoh utama lain pendiri NU adalah K.H. Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971). Beliau lahir pada bulan Maret 1888 di Tambak Beras Jombang. Beliau dikenal sebagai kiai yang cerdas, dinamis, intelek, sekaligus pejuang yang ikut bertempur melawan Belanda dan Jepang. Ia adalah putra pasangan Kiai Chasbullah dan Nyai Lathifah. Keluarga Hasbullah adalah pengasuh Pesantren Tambak Beras dan masih punya hubungan kekerabatan dengan K.H. Hasyim Asy'ari. (YSZ, 1994:135).Sepeninggal istri pertamanya saat menunaikan ibadah haji pada tahun 1921, Kiai Wahab menikah lagi dengan Alawiyah putri Kiai Alwi. Istri kedua inipun meninggal setelah dikaruniai seorang anak. Sesudah itu, Kiai Wahab pernah menikah tiga kali namun tidak berlangsung lama dan tidak dikaruniai putra. Kemudian ia menikah dengan Asnah, putri Kiai Said dari Surabaya dan dikaruniai 4 orang anak, salah satunyai K.H.A. Wahib Wahab (Mantan Menteri Agama RI). Setelah Asnah meninggal, Kiai Wahab menikah kembali dengan Fathimah, tapi tidak dikaruniai putra. Tapi, Fathimah membawa seorang anak yang bernama K.H. Ahmad Syaichu. Setelah itu beilau menikah kembalai dengan Masmah dan memperoleh seorang anak.Kemudian ia menikah dengan Ashlikah, putri Kiai Abdul Madjid dari Bangil dan memperoleh 4 orang anak. Terakhir, Kiai Wahab memperistri Sa'diyah (kakak Ashlikhah) setelah Ashlikah meninggal, dan mempunyai 5 anak, sampai akhir hayatnya pada tahun 1971. (YSZ, 1994:135-136).Bekal pendidikan Kiai Wahab sejak kecil diberikan sendiri oleh ayahnya. Baru setelah dewasa ia berkelana dari pesantren ke pesantren. Di antaranya Pesantren Langitan, Tuban, Pesantren Mojosari, Pesantren Cepoko Nganjuk, Pesantren Tawangsari Surabaya, Pesantren Kademangan Bangkalan dan langsung berguru kepada Kiai Cholil, kiai kharismatis yang juga guru K.H. Hasyim Asy'ari.Pada usia 27 tahun ia meneruskan berguru ke Mekah kepada Kiai Mahfudz Al-Tarmasy, Syaikh Achmad Khatib, Kiai Bakir Yogyakarta, Kiai Asy;ari Bawean, Syaikh Said Al-Yamani, Syekh Umar Bajjened, dan lain-lain. (ibid: 136-137).Seperti disinggung di atas sejak pulang dari Mekah bersama Kiai Mas Mansur, Kiai Wahab membentuk kelompok diskusi Taswirul Afkar di Surabaya pada tahun 1914. Pada tahun 1916 mendirikan madrasah Nahdlatul Wathan, juga bersama Kiai Mas Mansur. Pendirian madrasah ini mendapat dukungan dari ulama-ulama lain. Di kalangan pemuda dibentuk Syubbanul Wathan, yang di dalamnya terdapat tokoh muda seperti Abdullah Ubaid. Ia juga berhubungan dengan tokoh-tokoh nasional lain seperti Soetomo dalam Islam Studie Club yang didirikannya bersama kaum terpelajar lain. (Ibid.138-139).Peran paling besar Kiai Wahab adalah saat menjelang pendirian NU pada tanggal 31 Januari 1926. Ia mengajak musyawarah di rumahnya ulama-ulama senior dan tokoh-tokoh Komite Hijaz seperti Kiai Hasyim Asyari dan Kiai Bisri Sansuri dari Jombang, Kiai Ridlwan dari Semarang, Kiai Asnawi dari Kudus, Kiai Nawawi dari Pasuruan, Kiai Nahrowi Malang, Kiai Alwi Abdul Aziz Surabaya, dan lain. Pertemuan itu kemudian menorehkan sejarah kelahiran Jamiyyah Nahdlatul Ulama yang mempertahankan akidah Ahlussunah Wal Jamaah dan Mazhab Empat. (Ibid., 140).Nama NU sendiri diusulkan Kiai Alwi Abdul Aziz dari Surabaya. Sementara pencipta lambang adalah Kiai Ridlwan dari Surabaya. Kiai Wahab sendiri tidak bersedia menjadi Rais Akbar dan merasa cukup menjadi Katib Am (Sekjen) dalam organisasi ini. Jabatan tertinggi diserahkan kepada tokoh kharismatik dari Jombang, Kiai Haji Hasyim Asy'ari.Selanjutnya kiprah perjuangan Kiai Wahab banyak sekali mewarnai perjalanan NU dari masa ke masa. Momen-momen penting dalam NU dalam percaturan politik nasional sangat diwarnai peran kiai ini. Beliau juga dikenal sebagi perintis tradisi intelektual NU dan pernah menerbitkan majalah tengah bulanan Suara Nahdlatul Ulama yang dipimpinanya sendiri. KH Wahab Hasbullah wafat 29 Desember 1971 dan di makamkan di kompleks Ponpes Tambak Beras,Jombang Jawa Timur.(***) Aji Setiawan KH R As'ad Syamsul Arofin SitubondoTokoh Penting Berdirinya NUKiai Haji Raden As'ad bin Syamsul Arifin bin Ruham bin Ihsan bin Khomsi, lahir pada 1897 di Mekkah - Ia adalah ulama sekaligus tokoh penting dalam berdirinya Nahdlatul Ulama, sebab ia adalah penyampai pesan isyarat berupa tongkat disertai ayat Al Qur'an dari Syaikhona Kholil kepada KH. Hasyim Asy'ari, yang merupakan cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama.Hingga wafatnya ia menjabat sebagai Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan juga sebagai pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Situbondo. Ia di anugerahi Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 9 November 2016 sesuai Keputusan Presiden Nomor 90/TK/Tahun 2016.Kiai As'ad adalah anak pertama dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maimunah, keduanya berasal dari Pamekasan, Madura.Ia mempunyai adik bernama Abdurrahman. Ia dilahirkan di perkampungan Syi'ib Ali, dekat Masjidil Haram, Mekah, ketika kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman.[2] Kiai As'ad masih memiliki darah bangsawan dari kedua orang tuanya. Ayahnya, Raden Ibrahim (yang kemudian lebih dikenal dengan nama K.H. Syamsul Arifin) adalah keturunan Sunan Kudus dari jalur sang ayah.Sedangkan dari pihak ibu masih memiliki garis keturunan dari Sunan Ampel.Pada usia enam tahun, Kiai As'ad dibawa orang tuanya pulang ke Pamekasan dan tinggal di Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Madura.Sedangkan adiknya, Abdurrahman, yang masih berusia empat tahun dititipkan kepada Nyai Salhah, saudara sepupu ibunya yang masih bermukim di Mekah.[2][3] Setelah lima tahun tinggal di Pamekasan, Kiai As'ad diajak ayahnya untuk pindah ke Asembagus, Situbondo yang sekarang daerah tersebut masuk kedalam kecamatan Banyuputih, Situbondo, daerah tersebut dulunya masih berupa hutan belantara yang terkenal angker dan dihuni oleh banyak binatang buas dan makhluk halus. Kiai As'ad diajak ayahnya pindah ke pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam di sana.PendidikanSebagai anak seorang ulama, sejak kecil Kiai As'ad sudah mendapat pendidikan agama yang diajarkan langsung oleh ayahnya. Setelah beranjak remaja, ia dikirim ayahnya untuk belajar di Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan, sebuah pesantren tua yang didirikan oleh K.H. Itsbat Hasan pada tahun 1785. Saat Di Pondok Pesantren tersebut, Kiai As'ad diasuh oleh K.H. Abdul Majid dan K.H. Abdul Hamid, keturunan dari K.H. Itsbat.Setelah tiga tahun belajar di Pesantren Banyuanyar (1910-1913), ia kemudian dikirimkan ayahnya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan belajarnya di sana. Di Mekah, ia masuk ke Madrasah Al-Shaulatiyah, sebuah madrasah yang sebagian besar murid dan guru-gurunya berasal dari al-Jawi (Melayu). Ia belajar ilmu-ilmu keislaman kepada ulama-ulama terkenal, baik yang berasal dari al-Jawi (Melayu) maupun dari Timur Tengah.Di antara guru-guru Kiai As'ad ketika belajar di Mekah antara lain: Syeikh Abbas al-Maliki, Syeikh Hasan al-Yamani, Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi, Syeikh Hasan al-Massad, Syeikh Bakir (K.H. Bakir asal Yogyakarta) dan Syeikh Syarif as-Sinqithi.Setelah beberapa tahun belajar di Mekah, Kiai As'ad kemudian pulang ke Indonesia.[2] Setelah sampai di kampungnya, ia tidak langsung mengajar di pesantren ayahnya, Kiai As'ad memutuskan untuk memperdalam ilmunya dan melanjutkan belajarnya. Ia pergi ke berbagai pesantren dan singgah dari pesantren satu ke pesantren lain, baik untuk belajar maupun hanya untuk ngalap barakah (mengharap berkah) dari para kiai. Beberapa pesantren tersebut antara lain, Langitan, Sidogiri (KH. Nawawi) , Buduran (KH. Khozin) , Lasem (KH. Ma'shum Ahmad) dan Demangan Bangkalan (Syaikhona Kholil bin Abdul Latif)Pada tahun 1924, Syaikhona Kholil mengutus Kiai As'ad yang saat itu berumur 27 tahun untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Kiai Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang dan menghafalkan Surat Thaha ayat 17-23 untuk dibacakan di hadapan Kiai Hasyim. Berangkatlah Kiai As'ad dengan mengayuh sepeda, Kiai As'ad telah dibekali uang oleh Syaikhona Kholil untuk di perjalanan, namun ia justru berpuasa selama di perjalanan. Kemudian setibanya di Tebuireng, Kiai As’ad menghadap Kiai Hasyim Asy'ari dan menyerahkan tongkat itu. Kiai Hasyim bertanya “Apakah ada pesan dari Syaikhona?” Lalu Kiai As’ad membaca Surat Thaha ayat 17-23 yang arti terjemahannya :“Apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa ? Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.” Allah berfirman, “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu ia melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Dia (Allah) berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami (Allah) akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih (bercahaya) tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar”.Berselang beberapa hari, Syaikhona Kholil kembali mengutus Kiai As'ad untuk mengantarkan sebuah tasbih kepada Kiai Hasyim. Ketika Syaikhona Kholil menyerahkan tasbihnya, Kiai As'ad enggan untuk menerima dengan tangannya, ia memohon kepada Syaikhona untuk mengalungkan tasbih itu ke lehernya.Syaikhona Kholil berpesan agar Kiai As'ad membaca "Yaa Jabbar Yaa Qahhar" hingga sampai Tebuireng dan membacanya di hadapan Kiai Hasyim. Selama di perjalanan, Kiai As'ad sama sekali tidak berani menyentuh tasbih itu, hingga sesampainya di Tebuireng, Kiai As'ad segera menghadap Kiai Hasyim dan memohon Kiai Hasyim untuk mengambil tasbih itu dari lehernya searaya ia membaca "Yaa Jabbar Ya Qahhar".KH. Hasyim Asy'ari telah menangkap dua isyarat kuat tersebut yang mengartikan bahwasannya Syakhona Kholil telah memantapkan hati beliau dan merestui didirikannya Jam'iyah Nahdlatul Ulama. Setahun kemudian, pada tanggal 31 Desember 1926 M / 16 Rajab 1344 H di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-Madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama.Membesarkan partai NUSaat Nahdlatul Ulama memutuskan menjadi sebuah partai politik dan meninggalkan Partai Masyumi pada tahun 1952, Kiai As'ad dan para ulama senior kala itu melakukan pengembangan, pengabdian, dan peluasan guna menuju politik kebangsaan. Pada tahun 1957, ia menjadi juru kampanye Partai NU dan dipercayai sebagai penasehat pribadi KH. Idham Chalid yang kala itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI.Mengasuh pesantren.Pada tahun 1908, setelah pindah ke Situbondo, Kiai As'ad dan ayahnya beserta para santri yang ikut datang dari Madura membabat alas (menebang hutan) di Dusun Sukorejo untuk didirikan pesantren dan perkampungan.[3][5] Pemilihan tempat tersebut atas saran dua ulama terkemuka asal Semarang, Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah.[3]Usaha Kiai As'ad dan ayahnya tersebut akhirnya terwujud.[5] Sebuah pesantren kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk kecil, mushala, dan asrama santri yang saat itu masih dihuni beberapa orang saja.Sejak tahun 1914, pesantren tersebut berkembang bersamaan dengan datangnya para santri dari berbagai daerah sekitar. Pesantren tersebutlah yang akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah.Setelah K.H. Samsul Arifin meninggal pada tahun 1951, pondok pesantren tersebut ganti diasuh oleh Kiai As'ad. Di bawah kepemimpinan Kiai As'ad, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah berkembang semakin pesat, dengan bertambahnya santri hingga mencapai ribuan.[2] Kemudian, lembaga pendidikan dari pesantren tersebut akhirnya semakin diperluas, tanpa meninggalkan sistem lama yang menunjukkan ciri khas pesantren. Pesantren tersebut mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, kemudian didirikan pula sekolah umum seperti SMP, SMA, dan SMEA.Karya buku yang berhasil ia tulis antara lain ; Ekonomi Dalam Islam, Syair Madura, Risalah Shalat Jumat, Isra' wal Mi'raj, Tsalats ar-Risail, Tarikh Perjuangan Islam Indonesia, Risalah at-Tauhid.Kiai As'ad wafat 4 Agustus 1990 di Situbondo pada usia 93 tahun). (***) Aji Setiawan KH Hasan GenggongSosok Ulama Sangat Rendah Hati dan ikhlas.Dialah KH. Mohammad Hasan Genggong Probolinggo Jawa Timur. Alkisah pada suatu malam, sepasang suami istri tidur terlelap di rumahnya. Sang suami, bernama Kyai Syamsuddin sehari-hari bekerja mencetak genteng, dijual untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Istrinya adalah seorang ibu rumah tangga yang patuh namanya Khadijah. Malam itu Kyai Syamsuddin bermimpi indah. Dalam mimpinya, beliau melihat istrinya merenggut bulan purnama kemudian bulan itu ditelan tanpa tersisa sedikitpun.Ketika terbangun, Kyai Syamsuddin bertanya-tanya apa makna mimpinya itu. Beliau dan istrinya hanya bisa bermunajat kepada Allah Swt berharap bahwa mimpi itu merupakan pertanda baik bagi mereka berdua. Kyai Syamsuddin oleh masyarakat lebih akrab dipanggil dengan sebutan Kyai Miri dan Nyai Miri. Waktu terus berlalu, lahirlah jabang bayi laki-laki yang dinanti-nantikan itu. Tanggal 27 Rajab 1259 H, bertepatan dengan 23 Agustus 1843. Oleh Kyai Miri, putranya itu beliau beri nama Ahsan. Ahsan bin Syamsuddin.Ahsan tumbuh di bawah bimbingan ayah dan ibunya. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama, karena sang ayah, meninggal dunia pada saat Ahsan masih kecil. Ketika kecil, Ahsan telah menampakkan suatu keistimewaan tersendiri dibandingkan saudara-saudara dan teman-teman sebayanya. Selain ibunda, Ahsan juga dibimbing oleh seorang pamannya yang bernama sama dengan sang ayah yaitu Kyai Syamsuddin.Sebagai pribadi, Ahsan kecil memiliki sifat rendah hati, ikhlas, selalu menghormati orang lain, ramah pada siapapun yang dijumpai. Dalam bertutur kata Ahsan diajarkan untuk selalu berkomunikasi dengan bahasa madura yang halus dan santun disertai dengan sikap yang lemah lembut pula.Ahsan kecil belajar mengaji Al-Qur’an dan pengetahuan keagamaan di kampung halamannya. Bersama Asmawi (putra pamannya) serta teman masa kecilnya yang lain, Ahsan berguru pada Kyai Syamsuddin. Pada dasarnya memang Ahsan dan Asmawi adalah anak-anak yang cerdas. Selain cerdas, keduanya juga rajin dan punya rasa ingin tahu yang besar, terlebih lagi pada ilmu pengetahuan.Ketika berusia 14 tahun, sekitar tahun1857 Ahsan dan Asmawi, berangkat menuju ke Pondok Sukunsari Pohjentrek Pasuruan. Jarak antara Sentong ke pondok tersebut sekitar 70 km. Ahsan dan Asmawi sudah tentu berjalan kaki. Ahsan dan Asmawi belajar dan mengabdi di pondok yang diasuh KH. Mohammad Tamim itu. Keduanya hidup sederhana di pesantren itu. Mereka juga gemar menabung. Tabungan disimpan di kamar; ditempatkan di atas loteng.Suatu ketika, Kyai Tamim berencana merenovasi bangunan pondok. Biayanya cukup besar. Kyai Tamim akhirnya mengutarakan niat tersebut pada para santri beliau, siapa tahu ada yang bisa membantu memberi pinjaman. Setelah majelis selesai, keduanya bergegas menuju kamar. Simpanan uang yang diletakkan di kamar mereka ambil tanpa dihitung terlebih dahulu. Mereka menghadap Kyai Tamim untuk menyerahkan semua uang simpanan itu. Kyai Tamim merasa terharu dan memanjatkan do`a kepada Allah Swt untuk keduanya.NGAJI DI BANGKALANSelepas menuntut ilmu di Sukunsari, Ahsan dan Asmawi melanjutkan ngaji di pondok Bangkalan Madura. Dengan berjalan kaki, kemudian menyeberangi laut, mereka berangkat Pondok Bangkalan Madura. Mereka mengaji kepada Syaikhona KH. Mohammad Kholil. Saat itu tahun 1860/1861. Selama berada di Madura, selain berguru pada Kyai Kholil, Ahsan sempat berguru pada Syeikh Chotib Bangkalan dan juga KH. Jazuli Madura. Sebenarnya ada guru Ahsan yang bernama Syekh Nahrowi di Sepanjang Surabaya dan Syekh Maksum dari Sentong, desa kelahiran Ahsan. Sangat disayangkan tidak ada penjelasan mengenai di mana dan kapan Ahsan berguru kepada Syekh Nahrowi. Tidak diketahui juga kapan dan di mana Ahsan berguru pada Syekh Maksum. Jadi persoalannya ialah kapan dan di mana Ahsan berguru pada Syekh Nahrowi dan Syekh Maksum.Selama tiga tahun berada di Bangkalan, suatu ketika Asmawi ingin lebih memperdalam lagi ilmunya. Asmawi selalu bertanya-tanya, mengapa Ahsan selalu lebih cepat menghafal dan menangkap pelajaran daripada dirinya. Dalam pikirannya Asmawi menganggap Ahsan lebih cerdas dan sulit dilampaui kecerdasannya oleh Asmawi. Setiap pelajaran kitab yang dipelajari, Ahsan selalu saja terlebih dahulu paham Asmawi bertekad untuk menambah ilmunya. Tempat tujuan itu hanya satu dan cukup jelas di pikiran Asmawi: Makkatul Mukarromah.Tahun 1863, berangkatlah Asmawi sendirian menuju Makkatul Mukarromah untuk menunaikan Ibadah Haji di samping akan memperdalam ilmunya. Girang benar perasaan Asmawi. Sementara di Bangkalan, Ahsan melepas keberangkatan Asmawi dengan perasaan bangga memiliki saudara sepupu yang haus ilmu. Di hati kecilnya, saat itu muncul pula keinginan untuk menyusul saudaranya itu ke Mekkah. Namun waktu itu menyusul berangkat Asmawi adalah sesuatu yang sangat sulit. Ahsan pun bermunajat pada Allah Swt memohon agar dapat menyusul saudaranya itu.Tidak lama setelah Asmawi berangkat, Ahsan dipanggil pulang ke Sentong oleh sang ibunda. Ibunda menasehati, jika hendak ke Mekkah, maka Ahsan harus giat mencetak genteng dan terpaksa tidak kembali ke Bangkalan. Pilihan itu memang sulit. Ahsan pun melakukan istikharah (mohon petunjuk) kepada Allah Swt. Dari istikharah itu, Allah memberikan satu petunjuk dengan suatu kalimat yang ditampakkan pada Ahsan. Isinya adalah kalimat If`al Laa Taf`al (kerjakan dan jangan kerjakan).Dari isyarat itu, Ahsan menarik suatu kesimpulan bahwa bekerja di rumah atau tetap meneruskan mondok dan tidak bekerja adalah sama saja. Berangkat ke Mekkah guna menuntut ilmu juga akan tetap terlaksana jika Allah menghendaki. Atas kesimpulan itu, Ahsan memilih untuk meneruskan mondok saja. Akhirnya Ahsan kembali menuju ke Bangkalan.Setibanya di Bangkalan, Ahsan langsung menghadap kepada Kyai Kholil untuk mengadukan hal tersebut sekaligus memohon doa kepada Kyai Kholil, supaya Allah segera mentakdirkan keberangkatannya ke tanah suci dan terlaksana dengan mudah. Kyai Kholil pun mendo`akan niat dan harapan itu. Selanjutnya Ahsan kembali melakukan aktifitasnya sebagai santri.Selang beberapa waktu, ibunda kembali menyuruh Ahsan untuk pulang lagi. Ahsan mendapati bahwa ongkos pembiayaan ke Mekkah sudah cukup tersedia, meski hanya cukup untuk ongkos perjalanan saja. Namun karena kegigihan dan bulatnya tekad Ahsan, maka Ahsan tetap berangkat dengan biaya tersebut. Ahsan pun berpamitan pada ibundanya dan Kyai Kholil. Ahsan berangkat ke Mekkah sekitar tahun 1864.Di Mekkah, Ahsan kembali berkumpul saudaranya, Asmawi. Asmawi gembira mendapati saudaranya juga ditakdirkan oleh Allah juga tiba untuk menuntut ilmu di Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji. Namun hati kecilnya mengatakan bahwa ia akan kembali kalah dalam menerima ilmu pengetahuan kepada Ahsan. Asmawi yang tiba lebih dulu dan telah mengetahui seluk beluk Mekkah, selang beberapa hari setelah Ahsan tiba kemudian mengajak Ahsan untuk bertamu pada salah satu temannya yang bernama Abdul Qohar.Setelah bertemu ternyata oleh Asmawi keduanya dipertemukan untuk ber-mujadalah (debat). Berlangsunglah mujadalah itu dan hasilnya semua persoalan mujadalah dapat diselesaikan dengan baik oleh Ahsan. Lawan debatnya mengakui kemampuan ilmu yang dimiliki Ahsan. Di tengah perjalanan pulang, Ahsan bertanya pada Asmawi kenapa dirinya diadu-debat. Untuk menutupi maksudnya menguji kemampuan Ahsan, Asmawi berkelit bahwa pertemuan itu hanyalah ajang musyawarah.Asmawi semakin yakin bahwa Ahsan memang memiliki kemampuan yang luar biasa, namun perdebatan itu masih belum cukup untuk membuktikan hal tersebut. Akhirnya Asmawi kembali mengajak Ahsan untuk ber-mujadalah. Kali ini dengan seorang keturunan Magrabi yang telah bermukim di Mekkah selama 40 tahun, dia seorang ulama yang alim di Mekkah. Ahsan yang memang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun menurut saja ketika dirinya diajak bertamu pada ulama tersebut dan tidak mengetahui maksud pertemuan itu. Seperti pertemuan dengan orang sebelumnya, pertemuan itu kembali berlangsung dengan mujadalah.Pertemuan yang dimulai sejak pagi setelah sholat dluha itu berlangsung jam demi jam hingga berlangsung hingga waktu sholat Dluhur, dan berjamaahlah mereka bertiga. Setelah sholat, mujadalah kembali berlangsung. Setiap pertanyaan yang dialamatkan pada Ahsan secara bertubi-tubi dari ulama itu dijawab dengan baik oleh Ahsan. Dalam hatinya ulama itu mengakui kecerdasan Ahsan. Di ujung mujadalah, Ahsan hendak mengajukan pertanyaan untuk dijawab oleh sang ulama lawan debatnya, namun tak dapat dijawab. Serta merta ulama tersebut berkata, ”Sungguh dia adalah pemuda yang benar-benar ’alim!”Ahsan kemudian meminta kakandanya itu tidak lagi mempertemukan Ahsan dengan orang-orang jika tujuannya adalah mujadalah. Demi mendengar permintaan itu, Asmawi kemudian berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut.Ahsan kemudian berguru pada beberapa orang syekh terkemuka di Mekkah di samping pada beberapa orang ulama Indonesia yang bermukim. Guru-guru mereka selama menuntut ilmu di Mekkah adalah KH. Mohammad Nawawi bin Umar Banten, KH. Marzuki Mataram, KH. Mukri Sundah, Sayyid Bakri bin Sayyid Mohammad Syatho Al-Misri, Habib Husain bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, Syekh Sa`id Al-Yamani Mekkah, dan Habib Ali bin Ali Al-Habsyi. Nama terakhir ini adalah guru Ahsan ketika sempat bermukim di Madinah.Sejak kecil Ahsan dan Asmawi memang mempunyai tanda-tanda bahwa keduanya memiliki keistimewaan yang akan berguna bagi masyarakat suatu saat nanti. Kelak hal itu benar-benar terbukti, masyarakat tidak lagi memanggil dua orang itu dengan nama Ahsan dan Asmawi. Masyarakat telah mengenal dua orang tokoh dan ulama besar itu dengan nama KH. Mohammad Hasan Genggong dan KH. Rofi’i Sentong.Selama berguru sejak kecil hingga berada di Mekkah, Ahsan memiliki banyak sahabat. Selain Asmawi, banyak lagi sahabat-sahabat lainnya seperti KH. Hasyim Asy`ari Tebuireng Jombang, KH. Nawawi Sidogiri Pasuruan, KH. Nahrowi Belindungan Bondowoso, KH. Abdul Aziz Kebonsari Kulon Probolinggo, KH. Syamsul Arifien Sukorejo Situbondo, KH. Sholeh Pesantren Banyuwangi, KH. Sa`id Poncogati Bondowoso, Kyai Abdur Rachman Gedangan Sidoarjo, Kyai Dachlan Sukunsari Pasuruan, dan Habib Alwie Besuki.Setelah pulang ke tanah air, Ahsan kemudian berganti nama Kyai Haji Mohammad Hasan. Ia kemudian menikah dengan putri KH. Zainul Abidin yang bernama Nyai Ruwaidah. Sejak pernikahan inilah KH. Mohammad Hasan membantu mertuanya dalam membina pesantren. Beliau mengembangkan sistem pendidikan pesantren salafiyah (tradisional) dengan metode pembelajaran dan pendidikan klasikal.KH. Mohammad Hasan dikenal sebagai salah satu Mursyid Thariqah Tijaniyah, sebuah thariqah yang berasal dari daerah Tijani, Maroko. Sekalipun thariqah ini sempat diperdebatkan diperselisihkan oleh sebagian ulama dan habaib Jawa Timur, karena keterkaitan sanadnya melalui mimpi bertemu Rasulullah Saw. Akhirnya melalui berbagai forum, Thariqat Tijaniah disahkan sebagai salah satu Thariqah yang diakui dan menjadi thariqah yang muktabar (sah mempunyai keterkaitan sanad) bersambung sampai Rasulullah Saw. Saat ini Mursyid Thariqah Tijaniyah diampu oleh KH Soleh Basalamah, Ponpes Darussalam, Jatibarang, Brebes-Jawa Tengah.Beliau menjadi pengasuh pesantren cukup lama, sejak wafatnya KH. Zainul Abidin tahun 1890-1952 M. KH. Mohammad Hasan wafat pada malam Kamis, jam 23.30 tanggal 11 Syawal tahun 1374 h/01 Juni 1955 M dan dimakamkan di komplek Ponpes Genggong, Probolinggo,Jawa Timur. Saat ini Ponpes Genggong diasuh oleh KH. Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah, yang juga dikenal sebagai Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul ’Ulama (PWNU) Jawa Timur. (***)Aji Setiawan KH Ageng Mohammad Hasan BesariPejuang dari Pesantren Tegalsari, Gontor PonorogoDia salah seorang ulama yang menjadi penerang umat di zamannya. Cahaya keilmuan dan ahlaqnya menjadi teladan bagi mereka yang mengikuti jejak ulama salafKiai Ageng Muhammad Hasan Besari merupakan pendiri pesantren Gebang Tinatar atau Tegalsari. Pesantren ini berada di di Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, PonorogoKiai yang melahirkan ulama dan pujangga Tanah Jawa ini membuat luluh Paku Bowono IV. Belanda menuduhnya pembangkang dan suka main hakim sendiri. Mengapa?Tahun 1800-an, Pesantren Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur, merupakan pesantren terbesar di Jawa. Ribuan santri yang mondok di pesantren yang dipimpin Kiai Hasan Besari (Kasan Besari dalam pengucapan orang Jawa) ini berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa. Banyak putra bupati dan bangsawan baik dari Keraton Surakarta, Yogyakarta, maupun Mangkunegara.Salah seorang di antara mereka adalah Bagus Burhan, yang kemudian terkenal dengan nama Raden Ngabehi Ronggowarsito (1802-1873), berguru dan nyantri selama beberapa tahun (baca: Bintang Zaman “Perjalanan Spiritual Ronggowarsito”). Bagus Burhan adalah cucu Kiai Yasadipura II yang punya hubungan akrab dengan Kiai Hasan Besari. Sejak kecil hingga masa tuanya, selalu bekerja-sama, termasuk saat penyusunan naskah Serat Centhini – ensiklopedi pengetahuan Islam di Jawa dalam seribuan halaman – yang dikerjakan atas inisiatif bersama dengan Sunan Paku Buwono IV (1788-1820). Selain Ronggowarsito, ada pula santri Kiai Hasan Besari yang terkenal. Yaitu Bagus Darso atau Kiai Abdul Mannan Dipomenggolo, pendiri Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur, di tahun 1830. . Ada pula santri beliau bernama Kiai Mujahid yang kemudian menjadi pengasuh Pesantren Sidoresma, Surabaya.Kasan Besari lahir sekitar tahun 1760-an. Beliau keturunan dari Pendiri Kerajaan Majapahit dan Ibunya dari Baginda Rasulullah ,dari jalur Ayah (Kiai R. Nedo Kusumo), Kiai Ageng merupakan keturunan ke-31 dari pendiri Kerajaan Majapahit yaitu Raden Wijaya. Sedangkan dari garis keturunan Ibu (Nyai Anom Besari), nasabnya sampai kepada Rasulullah Saw keturunan ke-48 melalui garis Sayyidati Fatimah Az-Zahro.Ia adalah cucu pendiri Pesantren Tegalsari, Kiai Ageng Muhammad Besari (wafat 1773). Ayahnya adalah Kiai Ilyas (wafat 1800) yang melanjutkan kepemimpinan pesantren pasca wafatnya sang pendiri. menghabiskan masa mudanya berguru kepada ayah dan kakeknya sebelum akhirnya memegang tampuk kepemimpinan pesantren mulai tahun 1800 hingga wafatnya. Selama nyantri sama kekeknya, Kiai Hasan Besari satu seperguruan dengan pujangga kenamaan Yasadipura II (wafat 1844).Kasan Besari tidak disenangi oleh Pemerintahan Belanda, baik VOC maupun setelah berubah menjadi Pemerintahan Hindia Belanda. Kasan Besari berusaha untuk menegakkan hukum Islam di Tegalsari, yang merupakan desa perdikan. Penegakan hukum Islam tersebut bertujuan untuk menciptakan masyarakat lebih tertib, aman, dan lancar.Namun demikian, tindak tegas ini mengandung resiko karena bermunculan kelompok-kelompok masyarakat yang kurang senang. Pemerintahan Hindia Belanda menyatakan bahwa tindakan Kasan Besari adalah salah dan bertentangan dengan hukum yang berlaku. Kemudian Kasan Besari dituduh sebagai pembangkang dan suka main hakim sendiri.Paku Buwono IV (1788-1820) yang sudah termakan hasutan Pemerintah Belanda, memanggil dan menghukum Kasan karena dianggap melanggar aturan. Kasan Besari ditahan di penjara Surakarta untuk sementara waktu.Pemerintah memutuskan Kasan Besari akan dihukum selong atau dibuang atau diasingkan ke luar daerah. Rencananya Kasan Besari akan dibuang ke luar Jawa tapi anehnya setiap kapal yang akan membawanya berlayar dari Batavia a tidak bisa jalan begitu ia naik. Hal tersebut terjadi berulang-ulang. Murid-murid atau santri Kasan Besari juga melakukan protes dan meminta pembebasan untuk Kasan Besari yang menurut mereka tidak bersalah.Akhirnya Kasan Besari kembali ditahan di Keraton Surakarta tapi ditempatkan di masjid. Diceritakan, suatu saat, Keraton mengadakan sholawatan. Kiai Kasan Besari ditunjuk sebagai imam.Suaranya membuat Paku Buwono IV, yang terkenal dengan bukunya Wulanggreh, terpikat kepadanya. Kasan Besari bukan hanya dibebaskan, tapi juga dikawinkan dan diambil menenatu oleh Paku Buwono IV. Ia dinikahkan dengan Raden Ayu Cokrowioto, kemenakan Susuhan.Setelah itu Kasan Besari memboyong istrinya yang putri Keraton itu ke Tegalsari. Salah satu sumbangan istri Sang Kiai adalah masuknya ilmu keterampilan membatik ke dalam pesantren. Waktu itu seni membatik baru terbatas dalam kehidupan keraton.Ketika sang istri beserta pengiringnya dari istana memperkenalkan batik, para santri pun – terutama santri-santri putri – ikut belajar membatik, sehingga menjadi bagian dari ilmu yang dipejari di Pesantren Tegalsari. Sejak itu masyarakat Ponorogo pun merasakan dampak yang besar yang diberikan keterampilan batik ini bagi kehidupan perekonomian mereka.sosok Kiai Ageng Hasan Besari pandai dalam berbagai keilmuan, di antaranya agama (tasawuf), ketatanegaraan, strategi perang dan kesusastraan sehingga beliau dikenal banyak orang dari penjuru Nusantara, mereka h-duyun menimba ilmu kepadanya.Kiai Hasan Besari melahirkan tokoh-tokoh, pertama Pakubuwana II, Sultan Kartasura yang berkancah dalam dunia politik. Kedua, Bagus Burhan atau Raden Ngabehi Ronggowarsito, sastrawan Jawa yang menciptakan kidung Zaman Edan. Dan ketiga, H.O.S Cokroaminoto, tokoh pergerakan nasional pendiri Sarikat Islam.Kemudian ketiga tokoh ini menginspirasi sang Proklamator, Ir.Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tidak lepas dari itu, keilmuan Kyai Ageng Hasan Besari juga sampai pada KH. Hasyim Asy'ari. Adabul Alim wal Muta'alim karya KH. Hasyim Asy'ari masih ada keterkaitan dengan Krama Negara karya Kyai Ageng Hasan Besari, yang keduanya bermuara pada Kitab Silakrama karya Empu Prapanca.Kyai Ageng Hasan Besari wafat pada 12 Selo 1165 H (1747 M), dimakamkan di Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Makamnya menjadi wisata religi yang ramai dikunjungi oleh para peziarah, terutama saat malam JumatSelepas Kiai Kasan Besari wafat Pesantren Tegalsari lambat laun mengalami kemunduran sebelum akhirnya punah. Namun, di antara anak turun Kiai Kasan Besari, ada yang membuka pesantren baru sebagai pengembangan dari Pesantren Tegalsari di daerah Gontor, Ponorogo.Pesantren yang bermula bercorak salafiyah sebagaimana pesantren induknya ini, kemudian dikembangkan oleh tiga bersaudara, yang keseluruhannya merupakan keturunan Kasan Besari, yaitu Ahmad Sahal, Zainuddin Fanani, dan Imam Zarkasy. Itulah Pondok Moderen Gontor Ponoroga yang masyhur itu. (***) Aji SetiawanSimpedes BRI 372001029009535Syaikh Muqqoyim Abdul HadiPendiri Pesantren Bunten dan Pejuang Rakyat CirebonMbah Muqoyyim, pendiri Pondok Buntet Pesantren. Dia merupakan cucu dari Ki Lebeh Mangku Negara Warbita yang merupakan santri Sultan Demak Abdul Fatah. Ki Lebeh juga pernah nyantri ke Sunan Ampel, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.Pondok Buntet Pesantren, yang berada di wilayah Timur Cirebon, didirkan oleh Mbah Muqoyyim 1750. Pendirian Pesantren ini merupakan sebuah bentuk kekecewaan Muqoyyim yang sebelumnya menjabat sebagai penghulu di Keraton Kanoman Cirebon. Karena keberpihakan pihak keraton terhadap kolonial Belanda, Muqoyyim akhirnya memilih untuk keluar dari keraton dan mendirikan pesantren Buntet.Nama Buntet sendiri dari peristiwa penculikan Puteri Dewi Arum Sari (Putri Raja Galuh) oleh buto ijo saat sedang melakukan bulan madu bersama suaminya Pangeran Legawa (Putra Ki Ageng Sela). Puteri Arum Sari yang sedang mandi, tiba-tiba diculik oleh buto ijo dan dibawanya ke hutan Karendawahana (diperkirakan sekitar Buntet sekarang). Diwilayah tersebut, terjadi perkelahian antara Buto Ijo dan Pangeran Legawa yang dimenangkan oleh Pangeran Legawa dengan bisa membinasakan Buto Ijo. Saat menuju perjalanan pulang, Pangeran Legawa tersangkut akar pohon dukuh sehingga keduanya jatuh. Anehnya setelah peristiwa tersebut, Pangeran Legawa maupun Puteri Arum Sari tidak mengetahui arah jalan pulang. Akhirnya pasangan suami isteri tersebut memutuskan untuk tinggal diwilayah tersebut dan membuat pesanggarahan dengan nama Buntet atau buntu.Buntet juga banyak dikenal dengan sebutan Depok. Hal. tersebut dikarenakan, wilayah didirkannya Pesantren Buntet pernah digunakan oleh Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana), Putra Prabu Siliwangi dan juga Uwak dari Sunan Gunung Jati untuk mendirikan padepokan. Sehingga masyarakat juga, mengenal Buntet dengan sebutan Depok.Mbah Muqoyyim diperkirakan lahir pada 1689 memiliki hubungan yang sangat dekat dengan keraton. Jika merunut kebelakang, Ayah dari Muqoyyim yaitu Abdul Hadi, merupakan putra dari pasangan Pangeran Cirebon dan Anjasmoro, putri dari Lebe Mangku Warbita Mangkunegara. Abdul Hadi tinggal di keraton dan mendapatkan pendidikan ketatanegaraan dan juga pelajaran Islam. Karena pengetahuan Islamnya yang menonjol, Abdul Hadi kemudian lebih dengan dengan sebutan Kiai Abdul Hadi.Mbah Muqoyyim menggantikan ayahnya Abdul Hadi sebagai kadi di Keraton Kanoman. Mbah Muqoyyim juga sempat tinggal di keraton. Hidup bersama kedua orang tuanya, Muqoyyim mendapatkan pendidikan yang cukup baik dari guru maupun orang tuanya. Bukan hanya pendidikan agama Islam dan ketatanegaraan saja, melainkan ilmu kedigdayaan juga dia pelajari. Melalui proses itulah, selain memiliki kemampuan dalam segi ilmu pengetahuan, Muqoyyim juga dikenal dengan Kiai sakti mandraguna.seiring dengan melemahnya Kesultanan Cirebon pascamangkatnya Pangeran Girilaya pada 1662 M. Sehingga Kesultanan Cirebon terpecah menjadi beberapa bagian.Kala itu Cirebon sering mengadakan hubungan dengan Banten, yang berada dibawah pemerintahan Adipati Anom alias Amangkurat II, dimana perkembangan ilmu keagamaan cukup tinggi.Lalu Muqoyyim sering mengunjungi tempat-tempat yang pernah disinggahi Syekh Yusuf Al Makasari, menantu Sultan Ageng Tirtayasa, yang memerintah Banten sebelum masa pemerintahan Amangkurat I. Di tempat-tempat itu dia bertemu dan berdiskusi dengan pengganti atau murid-murid Syekh Yusuf.Dia menulis beberapa buku tentang fiqih, tauhid, dan tasawuf yang dikirim pada Sultan Kanoman agar dijadikan buku pegangan bagi para pembesar keraton dan rakyat Cirebon.Maka tak mengherankan bila dia kemudian diangkat sebagai Mufti. Selain itu, dia juga dikenal sakti, tapi rendah hati kepada siapa pun. Dia sangat mengedepankan akhlakul karimah.bPerpisahan Muqoyyim dengan keraton berawal saat adanya upaya Devide et impera (Politik Memecah Belah) yang dilakukan oleh Belanda kepada Keraton Kanoman. Belanda melihat ada peluang untuk memecah belah Keraton Kanoman, karena saat itu memiliki dua orang putera pewaris kerajaan yang menjabat sebagai sultan Kanoman dan Kasepuhan. Namun, upaya yang dilakukan oleh belanda tidak bisa berjalan dengan baik. Selain itu, Kekecewaan Mbah Muqoyim menjadi cukup memuncak setelah melihat bangsawan keraton terjebak dalam aturan Belanda. Banyak diantara mereka malah berprilaku bertentangan dengan syariat Islam dan malah meniru hal.-hal. jelek yang dilakukan oleh bangsa Belanda, seperti dansa dan mabuk-mabukan.Muqoyyim kemudian keluar dari Kraton dan mengembara. Saat itu Kyai Muqoyyim Buntet dan Kyai Musa Wanantara Talun berguru dengan Syekh Abdul Muhyi juga mendirikan masjid di daerah itu yang digunakan untuk memberikan pengajian. Saat itu usia kedua Kyai ini sekitar 16 dan 17 tahun, mereka berdua belajar beberapa Ilmu Keagamaan seperti Fiqih, Tarekat, Aqidah, Hadits, dan lainya, sekaligus juga belajar Ilmu Hikmah kepada Sang Guru ini.Kedua Kyai ini bertemu dengan Syakh Muhyi pada waktu yang berbeda, kalau Kyai Musa Wanantara saat dirinya mendengar kedatangan sang guru ini dari tanah Aceh, kalau Kyai Muqoyyim melalui Srengseng Indramayu saat beliau mencari Ayahandanya yang berada di Kraton Kanoman, merupakan salah seorang Qaddi (Hakim Agama). Pertemuan dua remaja ini dengan Syekh Muhyi memang sangat diketahui oleh dirinya, sehingga beliau memahami bobot dan bebet keluarganya serta kecerdasanya kedepan.Pada saat belajar kepada sang Syekh ini, keduanya mempunyai pendalaman yang berbeda saat mendalami pelajaran keagamaan. Kyai Muqoyyim lebih menonjol kepada Ilmu Fiqih, Aqidah, dan tarekat sehingga beliau pernah menulis bukunya yang menjelaskan tentang fiqih, peninggalan tulisan beliau berada di Buntet Pesantren. Sedangkan Kyai Musa Wanantara lebih menonjol kepada Ilmu Tarekat dan beberapa Ilmu Hikmah.Setelah mengajarkan banyak ilmu agama kepada kedua Kyai ini, lantas syekh muhyi melanjutkan perjalananya ke Tasikmalaya dan pada akhirnya menetap di Pamijahan dan membikin tulisan tentang ajaran Martabat Tujuh. Sedangkan kedua muridnya yaitu Kyai Muqoyyim dan Kyai Wanantara mengembangkan ilmunya dengan membikin pesantren di daerahnya masing-masing.Dari situlah, selepas mondok dari Syaikh Abddul Muhyi, Mbah Muqoyyim kemudian mendirikan Pondok Buntet Pesantren pertama kali di Cimarati, Dawuhan Sela, Desa Buntet, sekitar 500 Meter dari Buntet Pesantren saat ini. Tak berapa lama, banyak orang berdatangan untuk mengaji berbagai ilmu ke Mbah Muqoyyim. Namun pesantrennya itu diketahui oleh Belanda.Khawatir akan mengobarkan pemberontakan, Belanda pun menyerangnya. Tiba di pesantren, Belanda tak mendapati siapa pun di sana. Mbah Muqoyyim dan seluruh santrinya sudah mengetahui rencana penyerangan tersebut sehingga Mbah Muqoyyim berkelana lagi. Pesantren yang sudah tak berpenghuni itu lalu dibakar oleh Belanda Muqoyyim bisa dilihat.Karena saat membangun masjid di komplek tersebut, Mbah Muqoyyim hanya menggunakan satu batang pohon jati. Saat itu, Mabh Muqoyyim memerintahkan santri untuk mengambil pohon tersebut dengan menggunakan bahasa jawa Cirebon “ Jukuten bae jati ning kulo sa’ wit bae” artinya : ambil saja pohon jati yang di barat, satu pohon saja. Karena peristiwa tersebut, wilayah dimana pohon jati tersebut ditebang, saat ini dikenal dengan nama Jati Sawit.Saat berada di Pesawahan, Mbah Muqoyyim kedatangan tamu agung yaitu Pangeran Muhammad putera Sultan Chaeruddin dari Keraton Kanoman yang kelak bergelar Sultan Chaeruddin II. Selain menceritakan tentang campur tangan Belanda yang cukup besar di Keraton, Pangeran Chaeruddin juga menyatakan ingin menjadi santri Mbah Muqoyyim untuk belajar ilmu-ilmu agama, bela diri dan kesaktian. Saat menjadi santri, Pangeran Chaeruddin lebih dikenal dengan sebutan Pengeran Santri. Salah satu kesaktian yang berhasil dimiliki oleh Pangeran Santri adalah aji usap dolanan. Dengan ajian tersebut, seserahan buah-buahan yang dibawa oleh masyarakat untuk belanda tidak ada isinya. Ternyata, kelakuan Pangeran Santri ini menjadi titik terang bagi Belanda untuk menemukan Mbah Muqoyyim. Karena Belanda yakin, tidak ada yang bisa melakukan hal. tersebut selain murid Mbah Muqoyyim.Mendapatkan informasi tentang keberadaan Mbah Muqoyyim, Belanda langsung melakukan penyerangan terhadap Pesantren Pesawahan. Untuk menyelamatkan para santrinya, Mbah Muqoyyim dibantu oleh Kiai Ardi Sela memasukkan santrinya kedalam kendi dan pergi menuju Sindanglaut. Belandapun kembali menyerang Sindanglaut untuk mencari Mbah Muqoyyim, namun beliau sudah pergi menuju ke Pemalang.Mbah Muqoyyim tiba di Kampung Beji, Kampung yang sebenarnya bernama Kenanga, namun lebih dikenal dengan sebutan Beji, karena hanya memiliki satu lebe, jika diterjemahkan dalam bahasa jawa adalah Lebe Siji (Beji). Mbah Muqoyyim tinggal dirumah Kiai Abdussalam, ia tinggal dan hidup sebagaimana santri lainnya, yaitu mengisi bak mandi dll. Namun ada satu hal. yang membuat geger Pesantren saat itu.Yaitu saat melihat Muqoyyim sangat leluasa keluar masuk sebuah hutan yang sangat angker untuk mencari kayu bakar. Padahal., beberapa orang yang berani masuk kedalamnya, maka tidak bisa kembali lagi. Banyak hal. Istimewa yang diketahui dari sosok Muqoyyim. Melihat potensi yang cukup besar tersebut, Kiai Abdussalam akhirnya mengangkat Muqoyyim menjadi menantunya.Membangun Kembali Pesantren BuntetPasca Mbah Muqoyyim menetap di Pemalang, wabah besar menimpa Cirebon. Saat itu, penyakit To’un melanda masyarakat Cirebon dan mengakibatkan banyak warga yang meninggal dunia baik dari warga biasa, bangsawan keraton maupun dari pihak Belanda. Kondisi ini cukup menghawatirkan banyak pihak, sehingga beberapa orang pintar baik itu dokter, tabib, dukun dan orang sakti didatangkan untuk bisa mengatasi permasalahan ini.Dari sekian banyak orang sakti dan pintar yang didatangkan untuk mengantisipasi wabah To’un, ternyata kesemuanya tidak ada yang memberikan hasil memuaskan. Wabah tersebut masih saja menimpa masyarakat dan mengakibatkan kematian yang cukup cepat. Akhirnya, keluar usulan agar meminta bantuan Mbah Muqoyyim yang saat itu sedang berada di Pemalang. Perwakilan dari keraton yang diutuspun langsung menghadap Mbah Muqoyyim dan menyampaikan tujuan kedatangannya untuk meminta bantuan Mbah Muqoyyim mengusir wabah To’un tersebut. Mbah Muqoyyim menyetujuinya untuk kembali ke Cirebon dan berusaha menghilangkan wabah tersebut, namun dengan syarat yaitu Pangeran Muhammad Chaeruddin (Pangeran Santri) yang dibuang oleh Belanda ke Ambon, agar dikembalikan ke Cirebon.Dengan izin dari Allah, Mbah Muqoyyim bisa menghilangkan wabah To’un tersebut. Pangeran Santripun saat itu sudah ada di Cirebon dan kembali menjadi Santri Mbah Muqoyyim. Kesempatan pulang ke Cirebon dalam rangka pengobatan wabah To’un, dimanfaatkan oleh Mbah Muqoyyim untuk kembali membangun Pesantren Buntet yang sebelumnya telah diporak-porandakan oleh Belanda.Mbah Muqoyyim kembali mendirikan Pesantren Buntet sekitar tahun 1758. Lokasi pendirian bergeser dari lokasi pertama namun tidak begitu jauh. Kali ini Mbah Muqoyyim membangun Pesantren Buntet di Blok Manis, Depok Pesantren Desa Mertapada Kulon. Penamaan Depok sendiri, karena konon wilayah tersebut pernah menjadi tempat padepokan yang didirkan Pangeran Cakrabuana, putra dari Prabu Siliwangi sekaligus Uwak dari Sunan Gunung Jati.Pada saat mendirikan dan memimpin Pondok Pesantren Buntet yang kembali dibangun. Mbah Muqoyyim melakukan riyadah khusus dengan melakukan puasa selama 12 tahun. Tiga tahun untuk keberkahan tanah dan pesantren yang dibangun, tiga tahun kedua untuk keselamatan anak cucunya, tiga tahun selanjutnya untuk para santri dan pengikut setianya dan tiga tahun terakhir untuk keselamatan dirinya.Perbedaan Pondok Buntet Pesantren dengan pesantren-pesantren lainnya adalah, keberadaan pesantren lebih awal dibandingkan dengan berdirinya desa dan masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Menurut KH. Amiruddin Abkari salah seorang Kiai Sepuh di Buntet Pesantren, masyarakat di wilayah Pesantren Buntet dulunya adalah santri yang menikah dengan santri lainnya. Dari pernikahan ini, menjadikan wilayah Buntet Pesantren menjadi ramai dan memiliki penduduk cukup banyak. Para penduduk biasa yang bukan keturunan Kiai, di Buntet Pesantren dikenal dengan sebutan mager sari.Kondisi Pesantren saat awal didirikan kembali oleh Mbah Muqoyyim sangat sederhana, hanya berbentuk langgar yang bisa digunakan mengaji secara bersama-sama. Para santri saat itupun kebanyakan adalah santri kalong, sehingga pesantren belum membutuhkan ruangan yang cukup banyak.Mbah Muqoyyim menikah dua kali, yang pertama dengan putri dari Kiai Entol Rujitnala, seorang Kiai keturunan Pengeran Luwung. Mbah Muqoyyim menikahi Putri dari Kiai Entol Rujitnala yang bernama Nyai Ratu Randulawang, setelah berhasil memenangkan sayembara yang diberikan oleh ayahnya.Saat itu, sebuah Bendungan yang ada di daerah Setu Mundu Cirebon, sering bocor bahkan bobol yang mengakibatkan kebanjiran melanda wilayah tersebut. Karena berbagai usaha tidak selalu berhasil, Kiai Entol akhirnya memberikan sayembara kepada siapa saja yang bisa membuat kokoh bendungan tersebut, maka akan dinikahkan dengan putrinya yang elok rupawan.Dengan bantuan Kiai Entol, Mbah Muqoyyim memutarkan tali dan dikaitkan dengan patok-patok yang melingkari bendungan. Setelah keduanya berdo’a, bendungan berubah menjadi kuat. Karena peristiwa tersebut, bendungan itu dinamakan Setu Patok. Karena berhasil memenangkan sayembara, Mbah Muqoyyim akhirnya menikah dengan Nyai Ratu Randulawang atau dikenal dengan Nyi Pinang, karena menikah dari hasil sayembara.Pernikahan kedua Mbah Muqoyyim, yaitu dengan putri dari Kiai Abdusaalam, yang merupakan guru Mbah Muqoyyim ketika sedang melakukan pengembaraan di Beji Pemalang. Melihat banyak kelebihan yang dimiliki oleh Mbah Muqoyyim, akhirnya Kiai Abdussalam mengangkat muridnya tersebut menjadi menantunya.Dari pernikahan pertamanya dengan Nyai Randulawang, Mbah Muqoyyim memiliki seorang putri yang nantinya akan dinikahkan dengan santri terbaiknya yaitu Raden Muhammad.Jelang akhir Hayat, mbah Muqoyyim menata kembali pondok Buntet Pesantren di daerah yang berbeda yakni bertempat di Blok Manis, Desa Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura. Selama di pondok Buntet Kiai Muqoyyim hidup dengan sederhana serta sering mengamalkan riyadlah yakni “tiga tahun berpuasa untuk keberkahan tanahnya, keselamatan seluruh warga Buntet Pesantren dan sekitarnya. Tiga tahun untuk keselamatan anak cucunya dan tiga tahun untuk keselamatan dirinya”. Inilah yang kemudian sampai saat ini riyadhah tersebut dikenal luas khususnya bagi seluruh keluarga, santri, dan warga Buntet Pesantren Cirebon.Selain beriyadhah, Mbah Muqoyyim juga melestarikan tradisi-tradisi di Pesantren Tarekat Syattariyah di Buntet. Dimana kontribusi terhadap perkembangan tradisi di pesantren. Pendekatan budaya dan keagamaan, di mana sifatnya yang neo-sufistik telah mendukung tarekat ini untuk lebih membumi sehingga dapat bersinergi dengan tatanan sosial yang ada.Tradisi di pesantren yang dipengaruhi oleh ajaran tarekat ialah tradisi kliwonan, muludan, dan haul. Seperti di pengguron, tarekat di pesantren juga mengadakan tradisi kliwonan. Tradisi ini merupakan pembacaan manaqib Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani setiap sebulan sekali, tepatnya pada malam Jum at Kliwon dalam kalender Jawa.Sejatinya, tradisi ini merupakan tradisi tarekat yang diterapkan di pesantren. Partisipannya pun tidak hanya dari kalangan murid tarekat saja, tetapi para santri dan masyarakat juga diperkenankan untuk hadir. Tradisi kedua, yaitu muludan (peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw). Sebagaimana di pengguron, tradisi muludan dilaksanakan secara besar-besaran dengan acara utamanya yaitu pembacaan kitab Barzanji. Muludan merupakan tradisi tahunan yang juga berakar dari tradisi tarekat.Tradisi ini mulai dilakukan semenjak Sunan Gunung Jati secara besar-besaran yang terpusat di Keraton Pakungwati, yang dikenal dengan acara Panjang Jimat. Tradisi ketiga, yaitu haul (tradisi tahunan yang dilakukan setiap tanggal dari kewafatan pendiri atau sesepuh pesantren). Tradisi ini berjalan lebih semarak dari tradisi muludan. Biasanya di Buntet segenap santri, kyai, alumni, dan masyarakat pesantren ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini.Acara pokoknya yaitu rangkaian tawasulan dan tahlil yang dipimpin oleh tokoh keagamaan di pesantren. Kemudian disusul dengan ceramah dari ulama tingkat nasional yang sengaja diundang untuk memberikan tausiyah. Terakhir biasanya ditutup dengan sarasehan dan makan bersama. Tradisi haul ini sejatinya merupakan bentuk Islamisasi dari tradisi masyarakat nusantara yang dahulu beragama Hindu. Jadi, dapat dilihat bahwa tarekat berkontribusi terhadap berbagai tradisi di pesantren melalui proses transformasi tradisi dari budaya ke agama, seperti haul, muludan, kliwonan.Para mursyid dan kyai berperan sebagai agency dalam memformulasi ajaran tarekat yang dapat diterima di masyarakat. Konsekuensi dari tindakannya telah membentuk tradisi-tradisi yang sekarang dipraktikan sebagai ritual rutin dan praktik sehari-hari. Dalam kacamata strukturasi, proses transformasi tradisi ini merupakan bagian signifikansi para mursyid dengan menyisipkan aspek simbolik dalam tradisi keagamaan yang telah mengakar menjadi tradisi Islam.Relasi kyai dan mursyid dalam tradisi pesantren, berbarengan pola hubungan antara kyai-santri merupakan bagian dari pendidikan untuk ta dzhim (memuliakan) guru, yaitu ajaran tentang bagaimana jalan hidup seorang murid untuk dapat mencapai kesuksesan hidup.Santri diajarkan taat terhadap guru atau kyai yang dimotivasi oleh kesuksesan dalam belajar. Maka, kyai merasionalkan ajaran ini bahwa bila ingin sukses belajar maka haruslah taat kepada kyai. Dan di dalamnya juga diajarkan untuk menghormati bukan hanya pada kyainya saja, tetapi juga pada keluarga dan orang-orang yang bersangkutan dengannya seperti anak, istri, sanak-famili, bahkan khodam (pembantunya). Tradisi ini telah mengakar dalam pola hubungan santri-kyai di pesantren. Konsep mahabbah terhadap mursyid berarti bahwa para murid haruslah menaati segala perintah, ucapan, perbuatan, dan menghomati keluarga dan sanak famili mursyidnya.Tujuannya ialah mencapai kesuksesan dalam menapaki jalan spiritual karena mursyid dipandang sebagai wakil Nabi yang berderajat wali. Pola hubungan ini pun telah mengakar dan membudaya di kalangan tarekat dan juga pondok pesantren. Dengan demikian, ajaran ta dzhim terhadap kyai bersumber dari konsep mahabbah yang diajarkan dalam tarekat.Modernisasi Pondok Pesantren Saat ini pondok pesantren Buntet telah bertransformasi menjadi pesantren modern. Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya sekolah dalam format madrasah.Tarekat Syattariyah ini juga mempelopori kegiatan membatik di Trusmi. Kegiatan membatik ini merupakan proses difusi (penyebaran) tradisi membatik dari keraton ke Desa Trusmi oleh para murid tarekat. Awal-mula kegiatan membatik oleh para murid tarekat di mana dahulu di Pegajahan ada Pangeran Insan Kamil. Dia rama guru tarekat. Nah beliau muridnya banyak, dari sekian murid itu ada para petani yang dari Trusmi.Setelah petani-petani itu diajari tarekat Syattariyah, sambil mrnunggu di sawah, mereka diajari membatik ragam hias keraton, yang ternyata memiliki makna simbolik tarekat Syattariyah. Simbol-simbol yang ada di bangunan keraton, semisal Singa Barong, Mega Mendung, itu dijadikan motif kain. Jadi semuanya bernuansa tarekat Syattariyah. Jadi Pangeran Insan Kamil semacam jembatan antara tarekat dan batik. Nah kemudian karena yang melukis, membatik itu laki-laki semua tidak ada perempuan.Jadi, kegiatan membatik pada awalnya dilakukan oleh para penganut tarekat yang berguru ke keraton, kemudian berkembang di kalangan petani yang belajar membatik, pada tahap selanjutnya berkembang dan semakin meluas industri batik Trusmi, ini rak lepas dari peran para guru thariqah Syatariah dalam mendidik masyarakat untuk berdagang melalui produksi industri batik.Tentu usaha ini membangkitkan ekonomi, masyarakat kecil yang jauh dari tradisi kraton.WafatMbah Muqqoyim pada 1750 wafat dan dimakamkan di Kampung Tuk, Sindang Laut berdekatan dengan sahabat seperjuanganya yakni Kiai Ardi Sela. Demikianlah sekilas kisah seorang kiai khasrismatik dengan kealiman yang dimiliki serta dikenal sosok kiai sakti madraguna asal Buntet Cirebon. Santun dan digdaya merupakan watak asli kiai satu ini.Semasa hidupnya ia sangat dihormati dari berbagai kalangan, meski bagi penjajah Belanda, Kiai Muqoyyim merupakan ancaman karena mempunyai peran dan pengaruh yang sangat besar sehingga dapat mempengaruhi rakyat untuk melawan dan menentang Belanda. Sikap dan perilakunya yang selalu non-cooperation (tidak ingin diajak kerjasama) diteruskan oleh generasi selanjutnya seperti KH Raden Muta’ad, KH Abdul Jamil, dan KH. Muhammad Abbas yang mempunyai peran signifikan dalam perjuangan membela agama, bangsa dan negara.Sekalipun sudah wafat, makam yang terletak di Sidang Laut, Cirebon itu masih terbilang berdekatan dengan teman seperjuangannya yaitu Kiai Ardi Sela menjadi magnet peziarah kubur dari berbagai daerah. Tidak banyak yang mengetahui tahun dan tanggal berapa Mbah Muqoyyim wafat.Saat ini, makam beliau dijadikan salah satu objek Ziarah dan selalu banyak didatangi peziarah. Jarak makam Mbah Muqoyyim dengan Pesantren Buntet yang ia bangun sekitar 4 Km. Para santri Buntet hingga saat ini masih melakukan rutinitas ziarah di makam tersebut baik menggunakan kendaraan maupun berjalan kaki. (****) Aji SetiawanSimpedes BRI 372001029009535Daftar Pustaka :1. Ahmad Faiz Rofii. Mbah Muqoyyim Buntet Pesantren, Kiai Kelana Sakti Mandraguna. Sabtu, 5 September 2020. Sumber: https://jabar.nu.or.id/tokoh/mbah-muqoyyim-buntet-pesantren-kiai-kelana-sakti-mandraguna-Bh3ih2. https://al-firdaus.sch.id › Pengembaraan Mbah Muqooyim ; Pendirian Buntet Pesantren. 30 Des 2019 —3. SM Said .Kisah Karomah Kiai Muqoyyim Pendiri Pesantren Buntet Cirebon. UJum'at, 30 Maret 20184. Ahmad Zaini Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan: Kiai Abbas, Pesantren Buntet, dan Bela Negara (Yogyakarta: LkiS, 2014), 20-215. Azra, Azyumardi. Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation. Bandung : Mizan, 2006..6. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pemaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana,2013.7. Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, cet. Ke-3, 1999.8. Julia Day Howell (ed). Urban Sufism. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.9. Cerbon, P. Arya. Kutipan Purwaka Negara Kertabumi Caruban Nagari. t.t. Christomy, Tommy. Shattariyyah Tradition in West Java: the Case of Pamijahan dalam Studia Islamika. Vol.8, No.2, h.55-81, 200110. Creswell, John W. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (terj.), 2010.11. Fatuhurrahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks. Jakarta: Predana Media Group, 2008.12. Giddens, Anthony. The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. Cambridge: Polity Press, 1984.13. Hasan, Ahmad Zaini. Perlawanan dari Tanah Pengasingan: Kiai Abbas, Pesantren Buntet, dan Bela Negara. Yogyakarta: LkiS, 2014.14. Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. Sosiologi. Jakarta : Erlangga, (terj). Jilid 1 dan 2, 1984. Ibnu Khaldun. Mukaddimah.Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, (terj.), 2011.15. Irianto, Bambang dan Sally Giovanny. Makna Simbolik batik Keraton Cirebon. Yogyakarta: Deepublish, 2015.16. Ki Kampah, Babad Cirebon Carub Kandha Naskah Tangkil. Yogyakarta: Deepublish, 2013.17. Lauer, Robert H. Perspektif Perubahan Sosial. Jakarta : PT. Rineka Cipta, (terj.). cet. ke-4., 2003.18. Mustofa, HA. Akhlak Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia, ed-revisi, cet.ke-4., 2007.19. Mutasim, Radjasa dan Abdul Munir Mulkhan. Bisnis Kaum Sufi: Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.20. Makam Mbah Muqoyyim, West Java, Indonesia. https://soamaps.com › country › ma...Mbah Dalhar Pejuang dari Muntilan Ia memang masih keturunan dari Laskar pejuang Pangeran Diponegoro di eks Karsidenan Kedu. Tak heran selain berdakwah, Mbah Dalhar juga mewarisi semangat perjuangan dalam merebut dan mempertahankan Kemerdekaan RI. Mbah Kiai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H (12 Januari 1870 M). Ketika lahir ia diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Kiai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kiai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kiai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning. Diriwayatkan, Kiai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena ia lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika ia hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat ia tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko.Sementara itu salah seorang puteranya bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis–habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure–figure yang dapat membantu perjuangannya melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad di masyarakat. Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya.Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kiai Abdurrauf. Pesantren Kiai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kiai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kiai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol.Nama “Dalhar” Mbah Kiai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak-kanaknya, ia belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kiai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kiai Dalhar mulia belajar mondok.Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kiai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun. Sesudah dari Salaman, saat ia berusia 15 tahun mbah Kiai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Oleh ayahnya, mbah Kiai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kiai Dalhar belajar di pesantren ini.Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayahnya sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani. Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kiai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah.Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kiai Dalhar pada gurunya. Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahabat karibnya yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kiai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kiai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kiai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kiai Dalhar.Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kiai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena ia diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu.Sementara itu mbah Kiai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun. Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kiai Dalhar. Hingga ahirnya ia memakai nama Nahrowi Dalhar.Dimana nama Nahrowi adalah nama aslinya. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kiai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kiai “Dalhar”.Ketika berada di Hejaz inilah Kiai Nahrowi Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan namanya di tanah Jawa. Hizb Bambu Runcing Mbah Kiai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Selama di tanah suci, mbah Kiai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya.Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kiai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, ia lari keluar tanah Haram.Setelah pulang dari tanah suci, sekitar tahun 1900 M ia kemudian meneruskan perdikan peninggalan nenek moyangnya yang berupa pondok kecil di kaki bukit kecil Gunung Pring, Watu Congol, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang. Kurang lebih 3 kilometer sebelah timur Candi Borobudur.Pondok pesantren kecil ini lambat laun tidak hanya dihuni oleh santri-santri sekitar eks Karsidenan Kedu saja namun sampai pelosok tanah Jawa. Bahkan ketika masa-masa perang pra dan masa kemerdekaan, pondok pesantren Watucongol menjadi markas dan sekaligus tempat singgah para pejuang tentara bambu runcing yang datang Jogjakarta dan wilayah Jawa bagian barat seperti eks Karsidenan Banyumas dan sebagian dari Jawa Barat. Konon ceritanya, bambu runcing para pejuang harus di asma hizb dahulu oleh KH Dalhar dan KH Subekhi (Parak, Temanggung) sebelum menyerang markas penjajah Belanda di Ambarawa, Semarang, (lihat buku: Jejak Kaki Pesantren, karya KH Saifuddin Zuhri).Tentara Sekutu mendarat di Semarang pada 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigjen Bethel. Awalnya rakyat Indonesia ikut membantu pergerakan Tentara Sekutu yang kedatangannya ingin menyisir sisa-sisa tentara Nippon (Jepang) di Indonesia pasca Sekutu mengalahkan Jepang lewat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Tetapi seperti terjadi di daerah-daerah lain, serdadu NICA menyalakan obor fitnah dan mengadu domba sehingga terjadilah insiden antara rakyat Indonesia dengan tentara Sekutu. Insiden karena adu domba NICA ini menjalar ke sejumlah wilayah di Jawa Tengah, seperti Magelang. Bung Tomo, setelah secara perkasa membantu perjuangan santri di Surabaya, dia menuju ke Jawa Tengah karena situasi sama gentingnya seperti yang terjadi di Jawa Timur.Namun demikian, kondisi ini juga mendapat perhatian serius dari para ulama Magelang. Diriwayatkan oleh KH Saifuddin Zuhri (1919-1986), ulama se-Magelang mengadakan pertemuan di rumah Pimpinan Hizbullah di belakang Masjid Besar Kota Magelang pada 21 November 1945. Pertemuan ini dilaksanakan pada tsulutsail-lail atau saat memasuki duapertiga malam (sekitar pukul 03.00 dini hari). Ulama yang dipanggil sedianya hanya 70 orang, namun yang hadir melebih ekspektasi yaitu 200 orang ulama dalam pertemuan riyadhoh ruhaniyah itu. Para ulama menilai, gerakan batin atau gerakan rohani ini untuk menyikapi situasi genting yang terjadi di dalam Kota Magelang dan sekitarnya, terutama sepanjang garis Magelang-Ambarawa-Semarang. Karena di Pendopo rumah Suroso tidak cukup, sebagian ditempatkan di markas Sabilillah yang jaraknya 100 meter. Disaat ratusan ulama sudah terkumpul, mayoritas hadirin berharap-harap cemas ketika menanti kedatangan sejumlah ulama khos yang belum hadir, di antaranya KH Dalhar (Pengasuh Pesantren Watucongol), KH Siroj Payaman, KH R. Tanoboyo, dan KH Mandhur Temanggung. Mereka adalah ulama “empat besar” untuk Magelang dan sekitarnya yang akan memimpin riyadhoh ruhaniyah tersebut.Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Letkol M. Sarbini dan Letkol A. Yani dan satu regu pengawal siap tempur itu, para ulama dan rakyat dipimpin ulama “empat besar” itu membaca aurod yang sudah terkenal di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jamaah antara lain, Dalail Khoirot, Hizib Nashor li Abil Hasan Asy-Syadzili, Hizib al-Barri, dan Hizib al-Bahri, keduanya Li Abil Hasan Asy-Syadzili yang termasyhur. Adapun KH Dalhar Watucongol (1870-1959) yang saat itu telah menginjak usia 75 tahun memunajatkan doa khusus. Kiai Dalhar memang dikenal sebagai ulama yang paling ‘alim di antara hadirin yang datang. Ulama yang amat rendah hati, tenang, dan tawadhu tersebut memanjatkan doa agar rakyat Indonesia diberi kesanggupan dalam berjuang mengenyahkan penjajah, khususnya Inggris yang bercokol di Magelang. Berikut munajat agung Kiai Dalhar Watucongol:Anta yaa Robbi bika nastanshiru ‘alaa a’daainaa wa anfusinaa fanshurnaa wa ‘alaa fadhlika natawakkalu fii sholahinaa falaa takilnaa ilaa ghoirika ya Robbanaa. Wa bibaabika naqifu falaa tathrudnaa waiyyakaa nas’alu falaa tukhoyyibna. Allahumma irham tadhorru’anaa wa aamin khaufana wa taqobbal a’maalanaa wa ashlih ahwaalanaa wa ij’al bi thoo’atika isytighoolanaa wa akhtim bissa’adati aajaalanaa. Haadzaa dzulunaa la yakhfaa ‘alaika. Amartanaa fa tarokna wa nahaitanaa fartakabnaa walaa yasa’unaa illaa ‘afwika fa’fu ‘anaa ya khoiro ma’mulin wa akroma mas’uulin innaka ghofurur roufur rohiim ya Arhamar Rohimiin. (Ya Allah, hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan untuk mengalahkan musuh-musuh kami, dan untuk keselamatan jiwa raga kami mohon pertolongan-Mu. Atas keunggulan kelebihan-Mu, ya Allah kami menyerahkan nasib baik kami, sebab itu tidak berserah diri kepada yang bukan Engkau ya Tuhan kami. Kami berdiri di depan pintu Rahmat-Mu, maka janganlah Engkau mengusir kami. Hanya kepada-Mulah kami mengajukan permohonan, maka janganlah Engkau gagalkan permohonan ini. Ya Allah belas kasihanilah sikap rendah diri kami ini dan lenyapkanlah ketakutan kami terhadap musuh. Mohon Engkau terima amal kami, dan keadaan kami mohon diperbaiki. Jadikanlah kami senantiasa rajin menjalankan perintah-perintah-MU dan menjauhi larangan-larangan-Mu. Jika telah datang ajal kami, mohon diakhiri dengan keadaaan yang berbahagia. Inilah sikap renah diri kami di hadapan-Mu, dan tentang hal ihwal kami Engkau pasti Maha Tahu. Engkau memerintahkan kami supaya mengerjakan tugas kewajiban tetapi telah kami abaikan. Sebaliknya, Engkau mencegah kami berbuat durhaka bahkan kami gemar melakukannya. Tapi semua itu tidak menghanyutkan kami untuk memohon Ampunan-Mu. Wahai Dzat yang menjadi tumpuan segala keinginan dan permohonan, yang paling dermawan untuk menjadi tempat meminta-minta. Engkaulah Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Wahai Dzat yang paling kasih sayang).Dikisahkan, dengan bermodalkan bambu runcing, para pejuang kemerdekaan menyerang benteng Belanda di Ambarawa, bambu-bambu runcing mampu terbang dengan sendirinya bak senapan menyerang tentara-tentara Belanda. Sementara bombardir peluru serta granat tangan kumpeni Belanda tidak mampu melukai apalagi menyentuh kulit para pejuang Republik Indonesia. Karya mbah Kiai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’aly. Salah satu kitab yang sudah di cetak adalah kitab Manaqib, biografi pendiri Thoriqoh Syadziliyyah, Al-Imam Abul Hasan Ali bin Abdulloh Al-Syadzily atau sering maayhur dengan sebutan Imam Syadzaly.Di sampul kitab ini judulnya Tanwirul Ma'aaly fi Manaqib Al-Syaikh Ali Abil Hasan Al-Syadzily, tetapi di halaman empat disebut Al-Tasabbuh Al-Shoghir bi Al-Akabir fi Dzikri nubzatun min manaqib ustadzi Al-Kabir.Dalam pembukaan kitab ini disebut tujuan penulisan kitab Manaqib ini adalah supaya kita mengerti tata cara thoriqoh Syadziliyyah, faidah ikut Thoriqoh Syadziliyyah, dan supaya kita semakin senang dengan lelampahan ( amaliyah ) dari Syekh Abu Hasan Al-Syadzily yang menunjukkan kepada perilaku, akhlaq dari Nabi Besar Muhammad SAW.Dalam pandangan para Ulama bahwa kisah kisah, kabar dari perjalanan hidup orang orang terdahulu sangat besar sekali pengaruh dan kesannya bagi setiap orang. Sebagaimana disebut dalam Al-Qur'an surat Al-Arof ayat 176 :فَٱقْصُصِ ٱلْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ" Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah- kisah itu agar mereka berfikir."Dalam kitab tafsirnya Imam Al-Thohir Ibnu 'Asyur menyebut :فَإنَّ في القَصَصِ تَفَكُّرًا ومَوْعِظَةً فَيُرْجى مِنهُ تَفَكُّرُهم ومَوْعِظَتُهم،" Sesungguhnya dalam kisah kisah ada perenungan dan mauidzoh, pitutur ( pelajaran ) yang diharapkan darinya perenungan dan pengambilan pelajaran tersebut".Dan Nabi SAW pun seringkali bercerita tentang berita umat terdahulu yang dalam cerita tersebut terkandung hikmah, pelajaran dan makna yang banyak. Untuk menguatkan keimanan para sahabat, meneguhkan hati sahabatnya dalam keimanan, dan sekaligus mencerahkan dan mendamaikan perasaan dan jiwa mereka.Kiai Dalhar juga memperoleh ijazah mursyid Tarekat Syadziliyah dari Syaikh Muhtarom al-Makki dan ijazah aurad Dalailul Khairat dari Sayyid Muhammad Amin al-Madani. Nantinya Kiai Dalhar menurunkan ijazah Tarekat Syadziliyah kepada 3 orang muridnya, yakni Kiai Iskandar Salatiga, Abuya Dimyati Cidahu, Banten dan putranya sendiri yakni KH Ahmad Abdul Haq.Ia adalah tokoh spiritual yang cukup disegani hampir semua kalangan, dari masyarakat bawah hingga ulama dan tokoh nasional lainnya karena kharisma dan kewalian yang dipercayai masyarakat.Bahkan, ia sering disowani seseorang yang akan maju menjadi pejabat. Mereka biasanya sowan dulu ke Mbah Dalhar untuk minta doa restu. Bukan hanya itu, tokoh-tokoh nasional dan pejabat negara juga sering berkunjung untuk meminta nasihat kepadanya.Riyadah Mbah Dalhar adalah menghidupkan malam dengan memperbanyak shalat sunnah dan dzikir. Di samping itu, ia sangat tekun melakukan ziarah ke beberapa makan auliya dan ulama. Riyadah melekan ini ia jalani sejak kecil hingga menjelang wafat.Ia juga dikenal memiliki kelebihan dari sisi ilmu dibanding kiai pada umumnya. Misalnya, ia bisa mengetahui makam para wali yang sebelumnya tidak diketahui orang sekitar. Bahkan kelebihan ini terlihat sejak dia kecil.Sepanjang perjalanan hidupnya dipergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada umat. Dalam mengemban tugas mulia mengajarkan ajaran-ajaran syar’i. Mbah Dalhar seolah tidak mengenal tempat, waktu, situasi, dan kondisi. Bahkan di tempat yang sukar dilalui kendaraan, ia tetap bersedia dengan berjalan kaki.Mbah Dalhar sering berpesan kepada putra-putrinya agar selalu menghormati tamu, tidak meremehkan pejabat, serta menyapa kepada semua siapa pun tanpa melihat status sosial maupun agamanya.Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepadanya semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Hamim Jazuli (Gus Miek,Ploso,Kediri), Abuya Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo , KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dll. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, MbahKiai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M dan beliau kemudian di makamkan di komplek makam Gunung Pring, Watucongol, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.Ia meninggalkan putra dan putri yakni Putra: K. H. Ahmad Abdul Haq Dalhar, Ny. Hj. Chunnah Dalhar, isteri pertama KH. Chudlori Ihsan, pendiri PP. API Tegalrejo. Yang menurunkan K. H. Abdurrahman dan K. H. Ahmad Muhammad. Seorang putri Mbah Mad yang kemudian hari juga menjadi penerusnya yakni Ny. Hj. Nur Hannah Hasanah Maryam, pengasuh PP. Tahfidzul Qur'an Ad Dalhariyyah.Cucu-cucu Mbah Dalhar juga adalah penerus pesantren yang tangguh diantaranya K. H. 'Abdul Karim Ahmad Abdul Haq Dalhar, K. H. 'Ali Qoishor Ahmad Abdul Haq Dalhar, K H. Nurul Hidayat Ahmad Abdul Haq Dalhar dan Ny. Hj. Siti Sa'adah Ahmad, isteri K H. Ahmad Chalwani Nawawi, pengasuh PP. An-Nawawi, Berjan, Gintungan, Gebang, Purworejo.Sekalipun jasadnya telah terkubur dalam tanah, karya dan penerus perjuangan Mbah Dalhar tetap berkelanjutan sampai sekarang. Pondok Pesantren Darussalam, Watu Congol adalah saksi sejarah napak tilas perjuangan dakwah Mbah Dalhar. Jalan menuju makam Watucongol memang terbilang mudah.Peziarah ruhani biasanya melengkapi ziarah Wali Songo atau wisata liburan dengan melewati jalur tengah yang menghubungkan jalan utama dari Jogjakarta menuju Semarang.Ketika melewati kota Muntilan, dari arah pasar Muntilan cukup sekitar 5 kilo ke sebelah barat menunuju kawasan Gunung Pring. Untuk memperingati jejak sejarah Mbah Dalhar dan Pesantren Darusalam Watu Congol Muntilan, setiap akhir bulan Sya’ban tahun Hijriah biasanya haulnya diperingati di kompleks Pesantren Darussalam Watucongol, dan Kompleks makam Gunung Pring Muntilan Magelang. Dipastikan kedua kompleks perdikan bersejarah itu tak pernah sepi oleh penziarah yang datang tidak saja dari penjuru Nusantara namun juga negeri mancanegara.Makam Gunung Pring terletak di kompleks makam Kiai Raden Santri yang terletak di sisi barat Muntilan, tepatnya di atas bukit Gunung Pring pada ketinggian kurang lebih 500 meter di atas permukaan laut.Di kompleks tersebut juga berjejer makam di antaranya: Kiai Raden Santri, KH. Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo, KH. Dalhar Watucongol., Kiai Krapyak Kamaluddin, KH. Harun, Nyai Harun, Kiai Abdul Sajad, Gus Jogorekso, Nyai Suratinah Jogorekso, KH. Qowaid Abdulloh, Kiai Kertonjani, KH. Chusain, KH Ahmad Abdul Haq dll.Haul diperingati bulan Ramadhan, untuk tanggal haul pihak keluarga pesantren yang akan memberitahu acara haul diperingati.Ketika melewati kota Muntilan, dari arah pasar Muntilan cukup sekitar 5 kilo ke sebelah barat menunuju kawasan Gunung Pring. Untuk memperingati jejak sejarah Mbah Dalhar dan Pesantren Darusalam Watu Congol Muntilan, setiap akhir bulan Sya’ban tahun Hijriah biasanya haulnya diperingati di kompleks Pesantren Darussalam Watucongol, dan Kompleks makam Gunung Pring Muntilan Magelang. Dipastikan kedua kompleks perdikan bersejarah itu tak pernah sepi oleh penziarah yang datang tidak saja dari penjuru Nusantara namun juga negeri mancanegara. (***)Penulis: Aji Setiawan, mantan wartawan Majalah alKisah Jakarta dan Ketua ... Account Simpedes BRI no : 372001029009535Daftar Pustaka:1. "Mbah Kyai Dalhar, Wali Allah Keturunan Raja yang Tak Gila Harta • BangkitMedia". BangkitMedia.2. Guru, Dawuh (2022-04-22). "Bu Nyai Nur Watucongol (Nyai Hj. Nur Hannah Hasanah)". Dawuh Guru. Diakses tanggal 2022-12-13.3. "Pondok Pesantren Ushuluddin (Bawang, Salaman, Magelang), Bawang, Ngadirejo, Salaman., Magelang (2022)". www.schoolandcollegelistings.com. Diakses tanggal 2022-07-24.4."Biografi KH. Muhammad Dimyati al-Bantani (Abuya Dimyati)". Biografi KH. Muhammad Dimyati al-Bantani (Abuya Dimyati) (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-07-24.5. Fathoni Ahmad . Hizib Kiai Dalhar Watucongol saat Hadapi Penjajah, nu.or.id 20196.Kisah Mbah Dalhar Bikin Bambu Runcing Terbang Layaknya SenapanLaduni.id , 21 Agt 20197. Aji Setiawan, Mbah Dalhar Watucongol Waliyullah Gunung Pring dan Pejuang ...Bangkit Media, 28 Agt 20198. Aji Setiawan, "KH Dalhar Watucongol, Kiai Pejuang dan Cucu Panglima Perang Jawa". nu.or.id. Diakses tanggal 2022-03-12.9. Aji Setiawan, Hizb Bambu Runcing Mbah Dalhar Watucongol, Bangkit Media , Agustus201910. Aji Setiawan, Mengenang Abuya Dimyati Pandeglang - Jaringan Santri9 Okt 202011. Aji Setiawan, KH Ahmad Abdul Haq Dalhar Watucongol Magelang Ulama Lintas Golongan, nu.or.id, 2 Agt 202112. pcnukabmagelang.or.id , https://www.pcnukabmagelang.or.id › ...Ngaji Kitab Manaqib Karya Al-Maghfurlah KH. Dalhar Watucongol, 13 Jun 202013. mondok.id, https://mondok.id › 2020/05/19 › ...Karya Mbah Dalhar : "Tanwirul Ma'ali fi Manaqibi as-Syeikh Ali Abu Hasan as ...19 Mei 202014. Ziarah Makam KH. Dalhar Watucongol, Wali Hakekat dari Magelang, laduni.id . 29 Juni 2022 Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan, TasikmalayaPenyebar Tarekat Syattariyah di Jawa Barat Bagian Pesisir SelatanSyeikh Haji Abdul Muhyi adalah salah seorang keturunan bangsawan. Ayahnya bernama Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi lahir di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 1071 H/1660 M dan wafat di Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat, 1151 H/1738 M. Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur.Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya daripada ayahnya sendiri dan kemudian daripada para ulama yang berada di Ampel. Dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Aceh untuk melanjutkan pendidikannya dan belajar dengan Syekh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Lebih kurang enam tahun lamanya Syeikh Abdul Muhyi belajar dengan ulama besar Aceh itu, yaitu dalam lingkungan tahun 1090 H/1679 M-1096 H/1684 M.Dalam prosesnya menjadi seorang ulama sufi, Syekh Abdul Muhyi lebih dahulu menempuh jalur syariat. Baru kemudian ia menempuh jalur kesufian melalui seorang ulama besar dan waliyullah, yaitu Syekh Abdul Rauf as-Sinkili, yang merupakan ulama asal Aceh As-Sinkil dekat pantai Laut Aceh.Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala). Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia, ini juga di catat oleh Azyumardi Azra dalam bukunya yang sangat terkenal “Jaringan Ulama Nusantara”. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta’wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.Syekh Abdul Muhyi mendapat Ijazah Tarekat Syattariyah dari gurunya Syekh Abdul Rauf. Sedangkan Syekh Abdul Rauf mendapat ijazah Tarekat Syattariyah dari gurunya yaitu Syekh Ahmad al-Qusyasyi ketika sedang belajar di Madinah. Sebagai tanda telah selesai berguru kepada Syekh Ahmad Al-Qusyasyi, Syekh Abdul Rauf diberi gelar oleh sang guru sebagai khalifah Syattariyah dan Qadiriyah. Maka tak heran, seperti yang diungkapkan oleh KH. Beben Muhamad Dabbas (Wakil Talqin TQN Suryalaya) bahwa selain menganut Tarekat Syattariyah, Syekh Abdul Muhyi juga penganut Tarekat Qadiriyah, hanya saja yang dibesarkan dan disebarkan adalah Tarekat Syattariyahnya.Adanya indikasi Syekh Abdul Muhyi sebagai Qadiri, bisa jadi berasal dari gurunya juga, Syekh Abdul Rauf yang mendapat gelar khalifah Syattari dan Qadiri dari gurunya Syekh Ahmad al-Qusyasyi. Namun, sangat tidak mungkin apabila Syekh Abdul Muhyi menganut Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN), karena TQN sendiri baru disatukan oleh Syekh Khatib Syambas sekitar tahun 1888 M.Sebagaimana Syekh Abdul Rauf yang mendapat dukungan serta perlindungan dari Kerajaan Aceh saat itu. Bahkan diangkat sebagai mufti oleh Kerajaan Aceh. Hal tersebut pula yang dialami oleh Syekh Abdul Muhyi ketika melakukan Islamisasi di wilayah Kerajaan Sukapura atau Tasikmalaya saat ini. Kala itu, Bupati Sukapura ke III mengangkat Syekh Abdul Muhyi sebagai mufti di lingkungan Kerajaan Sukapura. Dan bahkan putri dari Bupati Sukapura ke III tersebut dipersunting oleh Syekh Abdul Muhyi untuk menjadi istrinya.Pernah suatu ketika, ulama besar dari Sulawesi, Syekh Yusuf al-Maqassari berusaha lari dari pengejaran Belanda dengan meminta bantuan kepada Syekh Abdul Muhyi untuk bersembunyi di Pamijahan. Selama Syekh Yusuf al-Maqassari berada di wilayah Pamijahan, Syekh Abdul Muhyi memanfaatkan waktu dengan belajar banyak kepadanya. Syekh Abdul Muhyi bertanya banyak hal kepada Syekh Yusuf al-Maqassari, salah satunya tentang penafsiran ayat-ayat Al-Quran mengenai hal mistis. Selain itu, Syekh Abdul Muhyi juga meminta Syekh Yusuf al-Maqassari untuk memberitahu dan menyebutkan sanad-sanad tarekat yang ia terima selama berada di Haramain.Syeikh Abdul Muhyi diriwayatkan adalah murid kepada Syeikh Ibrahim al-Kurani di Mekah dan Syeikh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah, yang kedua-dua ulama itu adalah ulama ahli syariat dan haqiqat yang paling terkenal pada zamannya.Setelah Syeikh Abdul Muhyi lama belajar di Mekah dan Madinah, beliau melanjutkan pelajarannya ke Baghdad. Tidak jelas berapa lama beliau tinggal di Baghdad, tetapi diriwayatkan ketika beliau berada di Baghdad hampir setiap hari beliau menziarahi makam Syeikh Abdul Qadir al-Jilani yang sangat dikaguminya.Dalam percakapan masyarakat, Syeikh Abdul Muhyi adalah termasuk keturunan/zuriat Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, Wali Allah, Quthbul Ghauts, yang sangat terkenal itu. Riwayat yang lain diceritakan bahawa Syeikh Abdul Muhyi ke Baghdad dan Mekah adalah mengikuti rombongan gurunya, Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri.Dari Baghdad beliau kembali lagi ke Mekah dan selanjutnya kembali ke Jawa dan berkawin di Ampel.Setelah selesai perkawinan di Ampel, Syeikh Abdul Muhyi bersama isteri dan orang tuanya berpindah ke Darma, dalam daerah Kuningan, Jawa Barat. Selama lebih kurang tujuh tahun (1678 M-1685 M) menetap di daerah itu mendidik masyarakat dengan ajaran agama Islam. Kemudian berpindah pula ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Di daerah itu, beliau hanya menetap lebih kurang setahun saja (1685-1686), walau bagaimanapun beliau berhasil menyebarkan agama Islam kepada penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu.Pada 1686 ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di kampung Dukuh, di tepi Kali Cikangan. Beberapa hari selepas pemakaman ayahnya, Syeikh Abdul Muhyi berpindah ke daerah Batuwangi. Beliau berpindah pula ke tempat yang berhampiran dengan Batuwangi iaitu ke Lebaksiuh. Selama lebih kurang empat tahun di Lebaksiuh (1686 M-1690 M), Syeikh Abdul Muhyi berhasil mengislamkan penduduk yang masih beragama Hindu ketika itu.Menurut cerita, keberhasilannya dalam melakukan dakwah Islam terutama kerana Syeikh Abdul Muhyi adalah seorang Wali Allah yang mempunyai karamah, yang dapat mengalahkan bajingan-bajingan pengamal “ilmu hitam” atau “ilmu sihir”. Di sanalah Syeikh Abdul Muhyi mendirikan masjid, tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bahagian selatan Jawa Barat.Kemudian Syeikh Abdul Muhyi berpindah ke satu desa, iaitu Gua Safar Wadi di Karang Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Perpindahannya ke Karang Pamijahan itu, menurut riwayat bahawa beliau diperintahkan oleh para Wali Allah dan perjumpaan secara rohaniah kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, supaya beliau mencari suatu gua untuk tempat berkhalwat atau bersuluk di Jawa Barat.Tujuan Syekh Abdul Muhyi memang mencari gua, namun juga membina para penduduk. Usaha demi usaha beliau lakukan untuk mencari gua yang dituju, tapi tidak kunjung menemukan hasil.Syekh Abdul Muhyi lalu berpamitan dengan penduduk desa, dan melanjutkan perjalanannya mencari gua. Perjalanan panjang telah ditempuh, hingga tibalah Syekh Abdul Muhyi di Pamengpeuk, Garut Selatan.Kembali Syekh Abdul Muhyi tidak hanya fokus mencari gua, tapi juga mengajarkan agama Islam. Namun beliau melakukannya dengan hati-hati, karena penduduk setempat saat itu masih memeluk agama nenek moyang.Satu tahun berlalu, sang ayah pun meninggal dunia. Sembah lebe Warta Kusumah dimakamkan di Kampung Dukuh. Sesaat usai ayahnya dimakamkan, Syekh Abdul Muhyi melanjutkan lagi perjalanan mencari gua ke Batu Wangi hingga Lebaksiu.Di Lebaksiu, beliau sempat bermukim selama empat tahun. Kala itu Syekh Abdul Muhyi sangat berjasa mengislamkan penduduk yang sebelumnya beragam nenek moyang. Konon, keberhasilan beliau melakukan dakwah Islam karena memiliki kemampuan mengalahkan aliran hitam.Syekh Abdul Muhyi juga mendirikan masjid di daerah itu yang digunakan untuk memberikan pengajian.Pada saat bermukin di Cirebon, Syekh Muhyi kedatangan dua remaja yang bakal menjadi Ulama besar diwilayah Cirebon yaitu Kyai Muqoyyim Buntet dan Kyai Musa Wanantara Talun. Saat itu usia kedua Kyai ini sekitar 16 dan 17 tahun, mereka berdua belajar beberapa Ilmu Keagamaan seperti Fiqih, Tarekat, Aqidah, Hadits, dan lainya, sekaligus juga belajar Ilmu Hikmah kepada Sang Guru ini.Kedua Kyai ini bertemu dengan Syakh Muhyi pada waktu yang berbeda, kalau Kyai Musa Wanantara saat dirinya mendengar kedatangan sang guru ini dari tanah Aceh, kalau Kyai Muqoyyim melalui Srengseng Indramayu saat beliau mencari Ayahandanya yang berada di Kraton Kanoman, merupakan salah seorang Qaddi (Hakim Agama). Pertemuan dua remaja ini dengan Syekh Muhyi memang sangat diketahui oleh dirinya, sehingga beliau memahami bobot dan bebet keluarganya serta kecerdasanya kedepan.Pada saat belajar kepada sang Syekh ini, keduanya mempunyai pendalaman yang berbeda saat mendalami pelajaran keagamaan. Kyai Muqoyyim lebih menonjol kepada Ilmu Fiqih, Aqidah, dan tarekat sehingga beliau pernah menulis bukunya yang menjelaskan tentang fiqih, peninggalan tulisan beliau berada di Buntet Pesantren. Sedangkan Kyai Musa Wanantara lebih menonjol kepada Ilmu Tarekat dan beberapa Ilmu Hikmah.Setelah mengajarkan banyak ilmu agama kepada kedua Kyai ini, lantas syekh muhyi melanjutkan perjalananya ke Tasikmalaya dan pada akhirnya menetap di Pamijahan dan membikin tulisan tentang ajaran Martabat Tujuh. Sedangkan kedua muridnya yaitu Kyai Muqoyyim dan Kyai Wanantara mengembangkan ilmunya dengan membikin pesantren di daerahnya masing-masing.Kyai Muqoyyim setelah perjalanan hidupnya di umur 95 tahun melanjutkan pesantrenya yang pernah di porak porandakan Belanda dengan mendirikan Pesantren Buntet dan mempunyai cucu yang melanjutkan pesantrenya. Dan kedua cicitnya nya yaitu Kyai Sholeh yang mendirikan Pesantren Benda merupakan pesantren Unik di Wilayah perkotaan, dan Pesantren Buntet yang dilanjutkan kepada Kyai Abdul Jamil, keduanya adalah Putera Kyai Muta’ad yang menikahi cucu putrinya Kyai Muqoyyim.Sedangkan Kyai Musa Maharshishiddiq mengembangkan ilmunya dengan mendirikan Pesantren di daerah wanantara dan dilanjutkan oleh beberapa keturunannya, dan pesantren yang hingga saat ini masih dipelihara oleh keturunannya adalah Pesantren Maharshishiddiq. Dalam kehidupannya Kyai Musa menikahi tiga wanita. Istri pertama Kyai Musa adalah Nyai Masturinah dan mempunyai empat anak, 1. Kyai Maskiyah, 2. Kyai tangeni, 3. Kyai Nursiyam, 4. Nyai Khodijah dan 5. Nyai Hafal Qur’an (Tidak Mempunyai keturunan). Dari keturunan ini kebawahnya, sekarang berada di wilayah Wanantara kecamatan Talun.Goa PemijahanSetelah empat tahun menetap di Lebaksiu, Syekh Abdul Muhyi akhirnya menemukan gua yang selama ini dicari. Gua tersebut kini dikenal sebagai Gua Safarwadi di daerah Pamijahan, Tasikmalaya.Keberadaan Goa Pamijahan ini erat kaitannya dengan kisah perjalanan Syech Abdul Muhyi. Dikisahkan, ia mendapat perintah dari gurunya, yakni Syekh Abdul Rauf Singkel (dari Kuala Aceh) untuk mengembangkan agama Islam di Jawa Barat bagian selatan sekaligus mencari tempat yang disebutkan dalam ilham sebagai sebuah goa khusus . Setelah melalui perjalanan panjang dan berat, pada suatu hari ketika sedang asyik bertafakkur, memuji kebesaran Allah, Syech Abdul Muhyi tiba-tiba menoleh ke arah tanaman padinya yang telah menguning dan sudah masanya untuk dipanen.Namun setelah dipanen, hasilnya hanya sebanyak benih yang ditanam. Mengetahui hal ini, ia menjadi sangat terkejut sekaligus gembira, karena itu adalah pertanda bahwa perjuangannya mencari goa sudah dekat. Upaya pertama untuk memastikan adanya goa yang dicari berhasil, dilanjutkan dengan cara menanam padi kembali di lahan sekitar tempat tersebut. Sambil terus berdoa kepada Allah SWT , upaya ini akhirnya juga mendapatkan hasil. Padi yang ditanam, berbuah dan menguning, lalu dipetik hasilnya, ternyata hasilnya sama seperti pada panen pertama. Hal ini semakin menambah keyakinan Syech Abdul Muhyi bahwa di tempat itulah (di dalam gunung) terdapat goa yang dicarinya.Gua yang terkenal juga dengan nama Gua Pamijahan ini merupakan warisan dari Syekh Abdul Qadir Jailani yang hidup lebih dari 200 tahun. Di gua inilah Syekh Abdul Qadir Jailani pernah menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi.Suatu hari ketika sedang berjalan ke sebelah timur gunung tersebut, sambil bermunajat kepada Allah SWT, Syech Abdul Muhyi tiba-tiba mendengar suara air terjun dan kicauan burung kecil dari tempat tersebut. Ia kemudian melangkah turun ke tempat di mana suara itu berada dan di sana ia melihat sebuah lubang besar yang ternyata sesuai dengan sifat-sifat goa yang ciri-cirinya telah ditunjukkan oleh gurunya.Saat itulah tangan Syekh Abdul Muhyi menengadah ke atas sambil mengucap doa sebagai tanda syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan pertolongan pada dirinya dalam upaya menemukan goa yang dicarinya. Setelah perjuangan berat dalam mencarinya selama kurang lebih 12 tahun ,usia Syech Abdul Muhyi pada waktu itu genap 40 tahun. Goa itu , kini dikenal dengan nama Goa Pamijahan , terletak di kaki bukit Gunung Mujarod .Nama ini diambil dari kata bahasa Arab yang berarti “tempat penenangan” atau dalam bahasa Sunda diartikan sebagai tempat “nyirnakeun manah”, karena Syech Abdul Muhyi sering melakukan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) di dalam goa tersebut.Goa Pamijahan ini pada dasarnya memiliki makna khusus dalam perjalanan dakwah dan spiritual Syech Abdul Muhyi.Kala itu, Kerajaan Mataram Islam membuat sebuah mandat dengan melayangkan surat kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk menjadikan Pamijahan sebagai daerah Pasidkah (yaitu sebuah daerah yang bebas dari pajak dan upeti).Proses suluk/perjalanan untuk menjadi seorang ulama besar, ia tempuh melalui jalan syariat seperti halnya ulama ulam lain, dengan berguru kepada ulama-ulama besar pada saat itu.Penemuan dan keberadaan goa ini seolah menjadi simbol yang menandakan bahwa perjalanan spiritual Syech Abdul Muhyi telah mengalami puncaknya. Selain itu, selalu terdapat makna dan fungsi khusus dalam setiap hal yang terhubung secara istimewa dengan tokoh yang menjalaninya.Hal ini bisa dipahami karena seperti yang diungkapkan oleh Martin Van Bruinessen, bahwa para tokoh sejarah Islam di nusantara khususnya, biasa melakukan pendekatan supranatural dalam rangka meningkatkan kharisma mereka. Goa besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan) sebagai tempat Syech Abdul Muhyi melakukan ‘riyadhah spiritual’ menjadi salah satu pusat penyebaran tarekat Syathariyah di Pulau Jawa .Adapun kata “Pamijahan” adalah nama baru di masa hidup Syech Abdul Muhyi . Wilayah ini disebut oleh Syech Abdul Muhyi dengan istilah Safar Wadi. Nama ini diambil dari kata Bahasa Arab, Safar yang berarti “jalan” dan Wadi yang berarti “lembah”. Jadi, Safar Wadi adalah jalan yang berada di lembah. Hal ini disesuaikan dengan letaknya yang berada di antara dua bukit di pinggir kali.Namun sekarang Safar Wadi dikenal dengan nama Pamijahan, karena banyak orang yang berdatangan berziarah berduyun-duyun, bagai ikan yang akan bertelur (mijah). Karena itu nama Safar Wadi kemudian berganti menjadi Pamijahan, sebab mempunyai arti yang hampir mirip dengan tempat ikan akan bertelur , bukan berarti tempat “pemujaan”.Goa Safarwadi merupakan salah satu tujuan utama peziarah yang berkunjung ke Pamijahan. Panjang lorong goa sekitar 284 meter dan lebar 24,5 meter. Peziarah bisa menyusuri goa dalam waktu dua jam. Salah satu bagian goa yang paling sering dikunjungi adalah hamparan cadas berukuran sekitar 12 meter x 8 meter yang disebut sebagai Lapangan Baitullah.Tempat itu dulu sering dipakai shalat oleh Syech Abdul Muhyi bersama para santrinya.Di samping hamparan batu cadas terdapat sumber air Cikahuripan yang keluar dari sela-sela dinding batu cadas. Mata air itu terus mengalir sepanjang tahun. Oleh masyarakat sekitar, air itu dipopulerkan sebagai air “zam-zam Pamijahan.” Air ini dipercaya memiliki berbagai khasiat. Menjelang Ramadan, para peziarah membawa botol untuk diisi air dari tempat tersebut.Bagi mengimbangi cerita yang bercorak mitos itu, ada riwayat yang bercorak sejarah, bahawa Syeikh Abdul Muhyi diundang oleh Bupati Sukapura, Wiradadaha IV, R. Subamanggala untuk memerangi dan membasmi ajaran-ajaran sihir yang sesat Batara Karang di Karang Pamijahan dan di gua Safar Wadi itu. Di kedua-dua tempat tersebut adalah tempat orang-orang melakukan pertapaan kerana mengamalkan ilmu-ilmu sihirnya.Oleh sebab Syeikh Abdul Muhyi memang hebat, beliau pula dianggap sebagai seorang Wali Allah, maka ajaran-ajaran sihir yang sesat itu dalam waktu yang singkat sekali dapat dihapuskannya. Penjahat-penjahat yang senantiasa mengamalkan ilmu sihir untuk kepentingan rompakan, penggarongan dan kejahatan-kejahatan lainnya berubah menjadi manusia yang bertaubat pada Allah, setelah diberikan bimbingan ajaran Islam yang suci oleh Syeikh Abdul Muhyi, Wali Allah yang tersebut itu.Gua Safar Wadi pula bertukar menjadi tempat orang melakukan ibadat terutama mengamalkan zikir, tasbih, tahmid, selawat, tilawah al-Quran dan lain-lain sejenisnya. Maka terkenallah tempat itu sebagai tempat orang melakukan khalwat atau suluk yang diasaskan oleh ulama yang terkenal itu.Disingkatkan saja kisahnya, bahwa kita patut mengakui dan menghargai jasa Syeikh Abdul Muhyi yang telah berhasil menyebarkan Islam di seluruh Jawa Barat itu. Bukti bahawa beliau sangat besar pengaruhnya, sebagai contoh Bupati Wiradadaha IV, iaitu Raden Subamanggala pernah berwasiat bahawa jika beliau meninggal dunia supaya beliau dikuburkan di sisi gurunya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan itu. Tempat tersebut sekarang lebih dikenali dengan nama Dalem Pamijahan.Murid-murid yang tertentu, Syeikh Abdul Muhyi mentawajjuhkannya menurut metod atau kaedah Thariqat Syathariyah yang salasilahnya diterima daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Walaupun tarekat yang sama diterimanya juga kepada Syeikh Ahmad al-Qusyasyi, iaitu guru juga kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri, namun Syeikh Abdul Muhyi memulakan salasilahnya tetap menyebut Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Hal demikian kerana tarekat yang tersebut memang terlebih dulu diterimanya daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al Fansuri.Setelah beliau ke Mekah, diterimanya tawajjuh lagi daripada Syeikh Ahmad al-Qusyasyi itu. Maka berkembanglah Thariqat Syathariyah yang berasal daripada penyebaran Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu di tempat-tempat yang tersebut, melalui bai’ah, tawajjuh, dan tarbiyah ruhaniyah yang dilakukan oleh Syeikh Abdul Muhyi muridnya itu.Larangan MerokokPeziarah makam karomah Syekh Abdul Muhyi Desa Pamijahan Kecamatan Bantarkalong Kabupaten Tasikmalaya dilarang merokok di sekitar makam.Adat larangan merokok di sekitar makam karamah Pamijahan, usianya sudah ratusan tahun berlaku sejak datangnya Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan. sekitar 1450 M asehi. Namun hingga kini adanya larangan merokok masih kuat tetap dipatuhi oleh seluruh peziarah yang datang.Hanya saja, para peziarah tidak sedikit pasti bertanya-tanya kenapa merokok di makam karamah Pamijahan dilarang. Selidik punya selidik ada cerita rakyat yang turun-temurun asal-usul dilarang merokok di sekitar makam karamah Pamijahan.Alkisah ada dua tokoh waliyullah, Syekh Maulana Mansyur dan Syekh Abdul Muhyi, ada dua versi yang berkembang kaitannya dengan larangan merokok di Pamijahan.Versi pertama menyatakan keduanya akan menuju pulang, setelah melaksanakan ibadah haji dari Mekkah.Syekh Abdul Muhyi pulang dari Mekkah menuju tempat kampung halamannya melalui perut bumi, sedangkan Syekh Mansyur lewat bantuan angin (di atas laut).Namun saat diperjalanan Syekh Abdul Muhyi sempat merokok dulu, sehingga keduluan datang di kampung halamannya masing-masing oleh Syekh MansyurKabar Syekh Mansyur tiba duluan didengar oleh Syekh Abdul Muhyi. Dia pun sangat menyesali perbuatannya saat pulang menyusur bumi (warga setempat menyebutnya nerus bumi), sempat merokok dulu.Versi lain menceritakan, saat itu Syekh Abdul Muhyi akan berangkat ke Mekah melalui perut bumi atau nerus bumi. Di tengah perjalanan, ia sempat merokok dulu. Apa yang terjadi, ternyata Syekh Abdul Muhyi kalah cepat oleh Syekh Maulana Mansyur yang berangkat ke Mekah dengan berjalan di atas laut. Padahal, biasanya datang lebih duluan.Sejak saat itu, Syekh Abdul Muhyi melarang anak-cucunya untuk merokok. Tidak hanya melarang anak cucunya. Namun hingga sekarang larangan itu berlaku warga setempat dan bagi para peziarah yang datang ke makam karomah Pamijahan. Hingga kini larangan merokok masih dipatuhi oleh para peziarah.Kasepuhan Pamijahan KH. Endang Ajidin menuturkan untuk yang masih suka merokok, Kanjeng Syekh Abdul Muhyi memberi batas di tiap penjuru. Batas adat dilarang merokok sekarang terpampang jelas untuk peringatan bagi para peziarah di sekitar makam karomah Pamijahan.Larangan merokok kata Endang, berlaku pula untuk warga setempat yang tinggal atau mukim di sekitar daerah larangan. "Bagi para perokok, silahkan bisa merokok di luar batas-batas itu,” jelas Endang.Ditandaskan dia larangan itu masih berlaku hingga sekarang. Tidak heran, baik warga maupun peziarah, harus mencari luar batas jika ingin merokok. Ada smoking area.“Jika ada yang melanggar, silakan tanggung sendiri akibatnya. Tapi kalau tidak disengaja atau tidak tahu, itu tidak apa-apa,” kata dia.Ketua Karang Taruna Kecamatan Bantarkalong Asep Saepul Ulum membenarkan hingga sekarang tidak ada yang berani merokok di sekitar larangan yang telah diberikan plang rambu-rambu di hampir di setiap sudut."Tidak ada yang berani. Kalau ada peziarah yang merokok, ia langsung diberitahu agar mematikan rokoknya," tutur Asep yang kebetulan tinggal di area larangan merokok.WafatSyekh Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar tahun 1650 M, dan meninggal sekitar tahun 1730 M. Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan mempunyai empat isteri. Hasil erkahwinannya itu, beliau memperoleh seramai 18 anak. Menerusi Raden Ayu Bakta, memperoleh anak bernama Kiyai Haji Muhyiddin atau digelar Dalem Bojong. Namun menurut Aliefya M. Santrie, dalam buku Warisan Intelektual Islam Indonesia, setelah beliau pulang dari Pamijahan beliau menemukan satu artikel dalam majalah Poesaka Soenda yang menunjukkan bahawa tidak identiknya Kiyai Haji Muhyiddin dengan Dalem Bojong.Kedua-duanya memang anak Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, tetapi Kiyai Haji Muhyiddin personaliti tersendiri dan Dalem Bojong personaliti yang lain pula. Menurutnya makam Kiyai Haji Muhyiddin dalam majalah itu disebut namanya yang lain, iaitu Bagus Muhyiddin Ajidin, terletak di sebelah selatan makam Syeikh Abdul Muhyi, sedang makam Dalem Bojong terletak di sebelah timur.Barangkali keturunan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan itu sangat ramai yang menjadi ulama di daerah Jawa Barat, sewaktu penulis berulang-alik di Pondok Gentur, Cianjur (1986 M-1987 M) difahamkan bahawa Kiyai Haji Aang Nuh di pondok pesantren adalah termasuk keturunan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Penulis sendiri menerima beberapa amalan wirid dari kiyai itu dan ternyata memang terdapat hadiah al-Fatihah untuk Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan dan beberapa ulama lainnya untuk memulakan amalan.Dari Kiyai Haji Aang Nuh juga, penulis mendengar cerita-cerita yang menarik mengenai Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Sampai sekarang Pondok pesantren Gentur dikunjungi mereka yang mempunyai permasalahan yang sukar diselesaikan dari seluruh Indonesia, tempat itu sentiasa ramai karena doa kiyai itu dianggap mustajab.Di Pondok-pesantren Gentur itu tidak mengajar disiplin ilmu sebagai pondok-pesantren lainnya, di situ hanya mengajar amalan-amalan wirid terutama selawat atas Nabi Muhammad. Penulis sempat mewawancara pengunjungnya, menurut mereka wirid atau amalan yang diterima dari kiyai itu terbukti mustajab.Syech Abdul Muhyi dalam sejarah hidupnya adalah seorang yang zuhud, pintar, sakti dan terkenal berani dalam memerangi musuh Islam. Walau ia sudah ratusan tahun telah tiada, namun rohmat serta kekeramatannya masih banyak diburu, terutama oleh para peziarah yang minta berkah lewat wasilahnya.Meskipun sudah wafat ratusan tahun yang lalu, makam Syekh Haji Abdul Muhyi. Makam ini terletak di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, 65 kilometer arah selatan dari pusat kota Tasikmalaya. Makam ulama besar yang menyebarkan agama Islam di wilayah Tasikmalaya itu ternyata sudah dikenal sejak dulu.Menjelang puasa dan bulan Maulud, obyek wisata ziarah ini ramai dikunjungi. Tiap tahun tak kurang dari 500.000 orang berkunjung ke kompleks pemakaman itu.Konon, sembilan Wali pernah berkumpul di tempat ziarah yang terletak di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya ini.Karenanya, pada hari-hari besar Islam, terutama bulan Mulud ratusan bus peziarah yang mendatangi makam sembilan Wali selalu menyempatkan ziarah ke Pamijahan.Masyarakat serta para peziarah yang datang dari luar Tasikmalaya beranggapan tidak afdol ziarah ke sembilan Wali tanpa berziarah ke makam Syekh Abdul Muhyi yang disebut-sebut sebagai Wali kesepuluh.(***) Aji SetiawanSimpedes BRI 372001029009535Daftar Pustaka1. Profil Syekh Abdul Muhyi dan Perjalanan Syiarnya Hingga Sampai di Pamijahan. Dara.id. Redaksi 7 Mei 20222. https://jabar.nu.or.id › tokoh › Riwayat Singkat Syekh Abdul Muhyi Pamijahan | NU Online Jabar. 8 Feb 20213. Khoirum Millatin. jatman.or.id. Mengenal Syekh Abdul Muhyi Pamijahan Melalui Sanad Keilmuannya. 28 Feb 20224. SM Said. https://daerah.sindonews.com › Kisah Karomah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan - SINDOnews. 12 Jun 20165. Faizal Amiruddin. Asal Usul Larangan Merokok di Makam Karomah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Tinta Putih. Rabu, 13 April 20226. Lu'un Aulia Lisaholith. Wisata Religi Makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan. Tribunnews. Jumat, 21 Oktober 20227. Bintang Irianto. Dua Murid Ternama Syekh Abdul Mukhyi di Cirebon Citrus.id. Rabu, 14/02/2018 Syekh Tolhah Kali Sapu Cirebon.Syekh Tolhah bin Tolabuddin dari Desa Kali Sapu, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat adalah tokoh utama pengembangan TQN di wilayah Cirebon dan sebagian Jawa Barat sebelah Timur.Ulama sufi yang lahir tahun 1825 di daerah Trusmi ini adalah murid Syekh Ahmad Khatib Sambas, seperti halnya Syekh Abdul Karim dari Banten dan Syekh Kholil dari Madura.Kiai Tolabuddin adalah ayah Syekh Tolhah, putra Kiai Sayiddin, cucu Kiai Radfuddin adalah pemimpin pesantren Rancang. Pesantren ini berada di Desa Tengah Tani di tepi jalan utama Cirebon – Bandung, tidak jauh dari Desa Trusmi, Kecamatan Cirebon Barat, Kabupaten Cirebon. Jarak dari Kota Cirebon kurang lebih 3,5 km.Sebelum dipimpin Kiai Tolabuddin, Pesantren Rancang dipimpin Kiai Muji (terkenal dengan sebutan Kiai Buyut Muji) tokoh Tarekat Sattariyah di Cirebon, demikian pula Kiai Tolabuddin.Setelah menjalani masa belajar yang panjang dimulai dari pesantren ayahnya, Syekh Tolhah meneruskan ke Pesantren Babakan Ciwaringin. Setelah itu ia melanjutkan ke Lirboyo di Ponorogo, lalu ke Gresik, Jawa Timur dan akhirnya kembali ke Pesantren Rancang.Syekh Tolhah pergi menunaikan ibadah haji, lalu melanjutkan belajar berbagai ilmu agama di Mekah kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas. Sebelum kembali ke tanah air, ia ditetapkan sebagai Khalifah TQN untuk wilayah Cirebon dan sekitarnya, dalam usia 51 tahun. Dua tahun kemudian Syekh Ahmad Khatib Sambas wafat di Mekah pada tahun 1878.Seusai diangkat sebagai khalifah TQN pada tahun 1876, Syekh Tolhah sempat mengajar di Pesantren Rancang, membantu ayahnya yang semakin tua.Karena situasi yang kurang menguntungkan untuk dakwah TQN (Pemerintah Kolonial Belanda melakukan pengawasan ketat terhadap pergerakan penganut TQN), Syekh Tolhah meminta izin dari ayahnya untuk membuka pesantren di tempat lain yang lebih aman dari incaran aparat keamanan Belanda.Saat itu Belanda mulai mengetahui identitas Syekh Tolhah, seorang ulama TQN yang baru kembali dari Mekah.Pemerintah Kolonial Belanda di Cirebon ternyata sudah memiliki daftar tokoh-tokoh tarekat yang pulang dari Mekah. Data itu dikirim oleh Konsul perdagangan Belanda di Jeddah kepada Gubernur Jendral di Batavia (Jakarta), lalu diteruskan kepada para residen sebagai kepala wilayah.Setelah melakukan survey, tempat yang dipandang tepat untuk mendirikan pesantren agar terhindar dari incaran aparat kolonial Belanda adalah Begong.Begong yang letaknya di tepi Sungai Kalisapu ini masuk wilayah Desa Kalisapu, Cirebon Utara. Jarak ke pantai laut sekitar 1 kilometer, sedangkan ke Makam Sunan Gunung Jati 2 kilometer. Di sebelah timur terbentang rawa payau, hutan bakau, serta pohon Rumbia dan jenis kayu lainnya yang pada masa itu masih cukup lebat.Dari arah Cirebon, jalan raya utama Cirebon – Indramayu km 8, setelah melewati Kompleks Sunan Gunung Jati untuk sampai ke Begong harus menggunakan sampan. Jalan darat merupakan jalan setapak, yang sulit dilalui terlebih saat musim hujan.Sedangkan jarak dari Kantor Polisi Kolonial Belanda di Kota Cirebon ke Begong kurang lebih 9 Km.Di tempat yang situasi dan kondisi seperti itulah Pesantren TQN pertama didirikan pada tahun 1879 oleh Syekh Tolhah, seorang kiai yang menjadi khalifah dan mursyid TQN untuk wilayah Cirebon.Pada tahun 1888 di Cilegon Banten, terjadi pemberontakan melawan Belanda yang dipimpin oleh murid-murid Syekh Abdul Karim, Khalifah TQN di Banten.Akibatnya aparat keamanan kolonial Belanda di Cirebon mengamati secara ketat sikap dan prilaku Syekh Tolhah yang juga Khalifah TQN di Cirebon dan seperguruan dengan Syekh Abdul Karim.Pemerintah Belanda lalu menangkap Syekh Tolhah, atas dasar laporan ulama-ulama anti TQN bahwa Syekh Tolhah dalam setiap khutbah Jumat sering mengutarakan ujaran kebencian kepada Ratu Belanda.Setelah menjalani pemeriksaan di Cirebon, Syekh Tolhah dibawa ke Jakarta untuk diperiksa oleh Staff Gubernur Jendral Belanda. Berdasarkan hasil pemeriksaan di Batavia (Jakarta) Syekh Tolhah dinyatakan tidak melakukan pelanggaran besar dan boleh kembali ke Kalisapu. Namun aparat keamanan Belanda menjadi lebih intensif mengawasi sikap dan prilaku Syekh Tolhah.Pesantren terus berkembang. Semakin banyak pelajar dan kiai dari berbagai daerah di luar Cirebon yang ingin berguru kepada Syekh Tolhah. Di lain sisi, situasi dan kondisi saat itu tidak menggembirakan karena pengawasan pihak Belanda.Syekh Tolhah untuk sementara memindahkan aktivitas pengajaran TQN ke Trusmi. Di Kalisapu tetap diadakan kegiatan pengajaran TQN, hanya frekuensinya saja yang dikurangi. Syekh Tolhah lebih sering menghabiskan waktunya di Trusmi, sesekali di Kalisapu.Di Trusmi tantangan dan gangguan terhadap pengembangan TQN ternyata lebih besar dibandingkan di Kalisapu. Gangguan terbesar bukan dari Belanda, melainkan dari bangsa sendiri.Pada tahun 1897 Syekh Tolhah diajukan ke sidang Pengadilan Agama di Cirebon, didakwa oleh Kepala Desa Trusmi telah meresahkan masyarakat karena merebut hak pemerintah desa dalam mengelola benda dan bangunan kuno peninggalan Pangeran Trusmi (putra pertama Sunan Gunung Jati) dan peninggalan Pangeran Cakrabuana/Ki Kuwu Cirebon (Uwa Sunan Gunung Jati).Keputusan pengadilan agama Cirebon menyatakan Syekh Tolhah berhak penuh atas benda dan bangunan kuno, karena Syekh Tolhah dinyatakan mempunyai hak yang kuat sebagai keturunan yang sah dari Pangeran Trusmi.Upaya Kades Trusmi yang ingin melihat Syekh Tolhah keluar dari Trusmi dan mempermalukannya dengan mengajukan perkara ke Pengadilan Agama di Cirebon tidak berhasil.Hikmah dari gagalnya upaya kades tersebut menyebabkan banyak tokoh-tokoh masyarakat semakin bersimpati kepada Syekh Tolhah. Banyak warga yang berkunjung dan meminta penjelasan tentang ajaran TQN.Selain itu mulai banyak yang mengetahui bahwa Syekh Tolhah masih keturunan Pangeran Trusmi, putra Sunan Gunung Jati yang makamnya tidak pernah sepi dikunjungi peziarah.Hikmah lainnya, hubungan Syekh Tolhah dengan Sultan Atmaja, Sultan Kasepuhan X menjadi lebih akrab. Bahkan ia diangkat menjadi penasihat pribadi Sultan Atmaja.Pada tahun 1890, Bupati Kuningan meminta Syekh Tolhah mengajarkan TQN kepada pejabat-pejabat kabupaten. Pada masa itu Bupati Kuningan adalah satu-satunya bupati yang berani dan terbuka menjadi murid suatu tarekat.Sejak pesantren didirikan pertama kali di Begong hingga pindah ke Trusmi banyak santri, kiai dan pejabat yang berguru kepada Syekh Tolhah. Dari sekian muridnya ada seorang yang sangat menonjol, ia adalah Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad yang kemudian hari dikenal sebagai Abah Sepuh atau Ajengan Godebag.Pesantren pertama TQN itu konstruksi bangunannya terbuat dari bambu dan kayu pantai, beratap daun Rumbia bercampur alang-alang. Desainnya berupa bangunan panggung yang cukup tinggi untuk menghindari limpasan air Sungai Kalisapu pada setiap musim hujan serta binatang buas.Syekh Tolhah beserta istri, putera-puteranya serta para santrinya tinggal di sana.Pada waktu yang sulit diketahui secara pasti tahunnya, Syekh Tolhah berangkat lagi ke Mekah dan tinggal di sana beberapa waktu lamanya.Saat ditinggalkan Syekh Tolhah, Begong dilanda banjir cukup besar. Keluarga dan santri-santri mengungsi ke kampung dekat Balai Desa Kalisapu, di pinggir jalan raya utama Cirebon, Indramayu Km 8.Sejak pesantren didirikan pertama kali di Begong hingga pindah ke Trusmi, banyak santri, kiai dan pejabat yang berguru kepada Syekh Tolhah.Dari sekian muridnya ada seorang yang sangat menonjol, ia adalah Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad yang kemudian hari dikenal sebagai Abah Sepuh atau Ajengan Godebag.Abah Sepuh adalah santri yang paling lama belajar kepada Syekh Tolhah, bahkan sudah menjadi keluarganya.Semula Syekh Tolhah sudah menunjuk calon penggantinya yaitu putra sulungnya, Kiai Malawi apabila saatnya tiba beliau kembali ke rahmatullah. Namun Kiai Malawi meminta izin untuk pergi ke Mekah dan tinggal di sana untuk menambah ilmu agama beberapa tahun lamanya.Setelah kembali dari Mekah Kiai Malawi memohon untuk tidak menjadi khalifah TQN menggantikan Syekh Tolhah yang juga ayahnya. Kiai Malawi masuk dalam daftar kiai yang dicari pemerintah Belanda, sehingga dapat mengganggu perkembangan TQN.Kiai Malawi diketahui Belanda ikut terlibat dalam pemberontakan di Kedongdong yang terjadi sekitar tahun 1890.Pemberontakan Kedondong di Kabupaten Cirebon yang disponsori para kiai ini sama besarnya dengan pemberontakan Cilegon di Banten dan banyak kerugian diderita pihak Belanda.Berdasarkan situasi dan kondisi seperti itu, Syekh Tolhah menetapkan penggantinya kepada murid yang memenuhi segala persyaratan untuk menjadi Khalifah/Mursyid TQN, yaitu Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad dari Tasikmalaya.Pengukuhan pelimpahan kemursyidan dilaksanakan di rumah Syekh Tolhah di Trusmi sekitar tahun 1900.Meskipun telah resmi menjadi calon pengganti Syekh Tolhah sebagai khalifah TQN, pengajaran TQN dan talqin dzikir di Trusmi dan Kalisapu sewaktu-waktu masih diberikan oleh Syekh Tolhah sendiri dibantu oleh Syekh Mubarok. Syekh Mubarok untuk beberapa tahun berada di Trusmi dan Kalisapu membantu Syekh Tolhah.Makam Syekh Tolhah di Cirebon.Karena situasi yang memburuk bagi perkembangan TQN di Cirebon, Abah Sepuh diperintahkan segera membuka pesantren di Tasikmalaya untuk mengembangkan TQN di wilayah Jawa Barat sebelah timur dan pusatnya ditetapkan di Tasikmalaya.Dengan hijrahnya pusat pengembangan ke Tasikmalaya, maka aktivitas di Cirebon dikurangi sesuai dengan keadaan yang terus berubah.Syekh Tolhah masih terus memonitor perkembangan yang terjadi di Tasikmalaya. Bahkan sekitar tahun 1908 pernah berkunjung ke Pesantren Suryalaya yang dibangun pada tahun 1905 oleh Syekh Abdullah Mubarok atas prakarsa Syekh Tolhah.Pada tahun 1935 Syekh Tolhah kembali ke rahmatullah dalam usia yang sangat lanjut. Beliau dimakamkan di Kompleks Pemakaman Gunung Jati karena Syekh Tolhah masih keturunan Sunan Gunung Jari dari jalur Pangeran Trusmi.Upacara pemakamannya berdasarkan ukuran pada masa itu termasuk upacara yang cukup besar. Sultan kasepuhan dan beberapa pejabat pemerintah dan bangsawan keraton turut hadir.Dengan wafatnya Syekh Tolhah bin Tolabuddin maka ke Khalifahan TQN di Cirebon berakhir. Khalifah TQN berikutnya berkedudukan di Suryalaya (Godebag) Tasikmalaya. Syekh Tolhah adalah khalifah TQN generasi pertama di Jawa Barat.Pada tahun 1979 masjid ini diperbaiki oleh Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin (qs) dan diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat H. Aang Kunaefi.(****) Aji Setiawan Biografi KH. ChudloriKELAHIRANKH. Chudlori lahir di Tegalrejo. Beliau merupakan putra kedua dari sepuluh bersaudara, dari pasangan K. Ikhsan dan Ibu Mujirah. Ayahnya adalah seorang pegawai (penghulu) yang menangani administrasi urusan agama di daerah pedalaman kabupaten Magelang yang meliputi kecamatan Candimulyo, Mertoyudan, Mungkid dan Tegalrejo.Pada zaman Belanda, seorang penghulu dan keluarganya dihormati sebagai priyayi, sedangkan Ibu Mujirah adalah putri Karto Diwiryo yang menjadi Lurah di Kali Tengah.KELUARGAKH. Chudlori melepas masa lajangnya dengan menikahi putri KH. Dalhar Watucongol, ia sempat mengajar di pesantren mertuanya tersebut. Namun mengajarkan ilmu agama di kampung halamannya adalah cita-citanya yang menggebu-gebu sehingga ia selalu melakukan mujahadah dan meminta petunjuk Allah SWT untuk niatnya itu.KH. Chudlori dikarunia sepuluh anak. Semua putranya adalah seorang Kiai dan meneruskan perjuangan dakwahnya dengan merawat dan mengembangkan Pondok pesantren API Tegalrejo, perjuangan dipartai politik, dan sebagai da’i.PENDIDIKANPada tahun 1923, seteleh menyelesaikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS), lembaga pendidikan setingkat Sekolah Dasar zaman Belanda, Chudlori kecil dikirim ayahnya ke Pesantren Payaman yang diasuh KH. Siroj. Ia menghabiskan 2 tahun di pesantren tersebut. Kemudian pindah ke pesantren Kuripan di bawah asuhan KH. Abdan.Tapi kemudian pindah lagi ke pesantren Kiai Rahmat di daerah Gragab hingga tahun 1928. Kehausan akan ilmu agama, ia kemudian nyantri ke Pondok Tebuireng yang waktu itu diasuh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy'ari. Di pesantren pendiri NU tersebut, ia mempelajari beragam kitab.Saat di Tebuireng, ayah Chudlori mengirim uang sebanyak Rp. 750,- per bulan, tetapi ia hanya menghabiskan Rp.150,- dan mengembalikan sisanya. Chudlori hanya makan singkong dan minum air yang digunakan untuk merebus singkong tersebut.Dia melakukan ini dalam rangka riyadlah, amalan yang biasa dilakukan para santri. Cerita lainnya tentang Chudlori, di kamarnya di Tebuireng, ia membuat kotak belajar khusus dari papan tipis dan menempatkan kotak tersebut diantara loteng dan atap. Kapan saja bila ingin menghafal atau memahami pelajarannya, Chudlori muda naik dan duduk di atas kotak sehingga bisa berkonsentrasi dengan baik.Kotak ini sempit, tidak nyaman dan berbahaya untuk duduk. Jadi dengan kedisiplinan dia dapat belajar setiap hari hingga tengah malam. Kapan saja tertidur sebelum tengah malam, dia menghukum dirinya sendiri dengan berpuasa pada hari berikutnya tanpa makan sahur. Kemudian pada tahun 1933, ia pindah lagi Pondok Bendo, Pare, Kediri, menjadi santri Kiai Chozin Muhajir.Di situ ia belajar fiqih dan tasawuf seperti kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali. Empat tahun berikutnya, ia mengaji di Pesantren Sedayu, belajar ilmu membaca al-Qur’an selama 7 bulan. Pada tahun 1937, ia nyantri lagi ke Pondok Lasem, Jawa Tengah, yang diasuh KH. Ma'shum dan KH Baidlowi.Ketika sudah menguasai semua kitab yang diajarkan, Chudlori sering diminta oleh Kiai Baidlowi untuk mengajar para santri lainnya. Di pesantren inilah Chudlori menggali bakatnya sebagai seorang kiai. Meskipun tetap tinggal di sana, Chudlori tidak begitu banyak belajar, karena harus mengabdi pada kiai agar memperoleh karomah untuk memastikan bahwa dimasa yang akan datang itu yang diperoleh dari para kiai itu akan tetap memiliki potensi spiritual dan berkualitas.MENDIRIKAN PESANTRENSemasa KH Chudlori, selalu dekat dengan masyarakat setempat. Kiai yang pernah berguru langsung kepada pendiri NU, KH Hasyim Asy'arie, tersebut selalu menjadi tempat bagi warga untuk berkeluh kesah tentang kehidupan maupun memecahkan berbagai persoalan kemasyarakatan. Kiai Chudlhori selalu menemani mereka dengan penuh kegembiraan.Suatu ketika, serombongan warga Tepus, Kecamatan Pakis, Magelang, datang sowan Mbah Chudlori di pondoknya. Menurut catatan Gus Yus, peristiwa itu terjadi saat Gus Dur nyantri di Tegalrejo, karena disebutkan saat itu Gus Dur ikut mendampingi Mbah Chudlori menemui para tamu tersebut.Para tamu itu datang bukan hanya untuk silaturahmi. Rupanya ada perbedaan pendapat sengit dari warga terkait pemanfaatan dana kas desa. Ada yang menginginkan untuk membangun masjid, namun sebagian ingin membeli gamelan untuk hiburan warga. Mereka meminta pertimbangan kepada Mbah Chudlori untuk menentukan pilihan.Saran Kiai Chudlori sungguh di luar dugaan. fatwa berharap agar masyarakat guyub dan rukun. "Kiai Chudlori spontan mengatakan, bahwa yang penting masyarakat guyub, rukun, dan desanya tentram. Untuk itu, Kiai Chudlori menyarankan dana kas tersebut lebih baik untuk membeli gamelan saja," kata Gus Yusuf.Atas hal ini, kata Gus Yusuf, orang bisa mengambil satu nilai bahwa Islam tidak hanya simbolik untuk bangunan, namun lebih pada pendekatan nilai-nilai."Kiai Chudlori mengatakan, 'Nanti kalau masyarakatnya rukun dan guyub, masjidnya pasti akan berdiri dengan sendirinya'. Akhirnya betul, setelah masyarakat yang menginginkan masjid bisa mengalah (uangnya) untuk beli gamelan, akhirnya belakangan warga kompak lalu gotong royong membangun masjid yang besar," papar Gus Yus."Apalah gunanya masjid itu berdiri megah, tapi masyarakatnya congkrah (tak bersatu), masyarakatnya tidak rukun. Akhirnya masjid hanya simbol, tapi kosong tidak ada isinya. Yang diharapkan tidak seperti itu. Masjid ya harus betul-betul dari masyarakat, itu salah satunya," katanya.Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo didirikan pada tanggal 15 September 1944 oleh KH. Chudlori, seorang ulama yang juga berasal dari desa Tegalrejo. KH. Chudlori mendirikan Pondok Pesantren di Tegalrejo pada awalnya tanpa memberikan nama sebagaimana layaknya Pondok Pesantren yang lain. Baru setelah berkali-kali beliau mendapatkan saran dan usulan dari rekan seperjuangannya pada tahun 1947 ditetapkanlah nama Asrama Perguruan Islam (API). Nama ini ditentukannya sendiri yang tentunya merupakan hasil dari sholat Istikharoh.Dengan lahirnya nama Asrama Perguruan Islam, beliau berharap agar para santrinya kelak di masyarakat mampu dan mau menjadi guruyang mengajarkan dan mengembangkan syariat-syariat Islam.Adapun yang melatar belakangi berdirinya Asrama Perguruan Islam adalah adanya semangat jihad ”I’Lai kalimatillah” yang mengkristal dalam jiwa sang pendiri itu sendiri. Dimana kondisi masyarakat Tegalrejo pada waktu itu masih banyak yang bergelumuran dengan perbuatan-perbuatan syirik dan anti pati dengan tata nilai sosial yang Islami.Respon Masyarakat Tegalrejo atas didirikannya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo pada waktu itu sangat memprihatinkan. Karena pada saat itu masyarakat masih kental dengan aliran kejawen. Tidak jarang mereka melakukan hal-hal yang negatif yang mengakibatkan berhentinya kegiatan ta’lim wa-taa’llum (kegiatan belajar-mengajar).Sebagai seorang ulama yang telah digembleng jiwanya bertahun-tahun di berbagai pesantren, KH. Chudlori tetap tegar dalam menghadapi dan menangani segala hambatan dan tantangan yang datang.Pada tahun 1947, ketika Belanda melakukan Agresi Militer, Pesantren API menjadi benteng perjuangan mempertahankan kemerdekaan oleh para gerilyawan. Bahkan Chodlori yang kini sudah bergelar kiai, mengizinkan santrinya untuk turut berjuang. Aktivitas belajar-mengajar dihentikan untuk sementara waktu.Karena perjuangan itu diketahui Belanda, pesantrennya kemudian dibakar habis. Santri, keluarga, dan Kiai Chudlori sendiri mengungsi dari satu desa ke desa lain. Kemudian di tahun 1949, ia kembali ke desanya dan membangun kembali pesantren.Pada akhir tahun 1949, Tegalrejo dalam keadaan lebih aman sebagai akibat hasil goncatan senjata dengan Belanda.Pengalihan kedaulatan kepada Indonesia, termasuk Irian Jaya berlangsung pada tanggal 27 Desember 1949 ((M.Cricklefe, 1987:220).Kiai Chudlori keluar dari persembunyian dan mulai mengaktifkan dan membangun kembali pesantrennya. Namun beliau tertimpa musibah. Kurang dari satu tahun setelah bertemu dengan keluarga dan para santri, ibunya meninggal. Beberapa bulan kemudian, Abdullah, salah seorang santri kesayangannya juga meninggal.Masih di penghujung tahun 1951, istrinya juga meninggal. Oleh karena itu, baru pada tahun 1952 Kiai Chudlori dapat berkonsentrasi pada pekerjaanya. Pada tahun ini Kiai Chudlori menikah untuk kedua kali dengan Nyai Nur Halimah atas saran mantan mertuanya. Menurut Kiai Yasin (62), salah seorang alumni Pesantren Tegalrejo, yang sekarang memimpin pesantrennya sendiri, tantangan yang paling berat yang dialami waktu itu adalah kurangnya keuangan dan sumber daya.Meskipun ayahnya seorang pengulu, Kiai Chudlori bukanlah orang yang kaya. Dia hanya mendapat warisan rumah dan tanah yang digunakan untuk pesantren. Kiai Yasin menceritakan kepada saya betapa miskinnya Kiai Chudlori pada masa-masa awal perjuangan membangun kembali pesantrennya. Suatu hari, kata Kiai Yasin, Kiai Chudlori pernah minta saya meminjaminya beberapa kilogram beras. Menyadari betapa miskinnya Kiai Chudlori, sejak itu keluarga Yasin memberikan sumbangan beras secara kontinyu.Kiyai Yasin juga ingat bagaimana Kiai Chudlori melakukan apa saja yang bisa mengatasi persoalan keuangan. Bahkan beliau pernah berusaha beternak ayam dan itik, dan menyuruh para santri mengamalkan salawat idrok.اَلصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَـلَيْـكَ يَاسَيِّــدِىْ يَارَسُوْلَ اللّـهِ, خُذْ بِــيَـدِىْ قَـلَّتْ حِيْلَــتِى أَدْرِكْـنِىUsaha tersebut berhasil sehingga beberapa bulan berikutnya dapat membeli domba dan tidak lebih dari dua tahun mampu membeli beberapa ekor sapi. Kiai Chudlori memeras sendiri susu sapi dan dijual kepada santrinya. Untuk mengenang saat miskinnya, Kiai Chudlori memberi nama anaknya yang ketiga, yang dilahirkan saat itu, Mudrik, yang berarti setiap orang yang mengamalkan salawat idrok. Bahkan saat itu, salawat idrok merupakan salah satu dari doa-doa harian yang ditawarkan pada santri di Tegalrejo.Kurikulum kajian keagamaan yang diajarkan di Pesantren Tegalrejo membutuhkan waktu 7 tahun. Ajaran dan amalan-amalan tasawuf dulu dan sampai sekarang merupakan bagian inti kurikulum. Bahkan Kiai Chudlori menyebut tingkat yang paling tinggi (tingkat tujuh) dengan ihya’, meminjam judul kitab tasawuf terkenal, ihya’ ‘Ulum ad-Din.Program pendidikan yang diselenggarakan sejak dahulu menggunakan sistem klasikal. Bentuk pendidikan yang ada berupa madrasah yang terdiri dari 7 kelas. Kurikulum yang dipakai dari kelas 1 sampai kelas terakhir secara berjenjang mempelajari khusus ilmu agama, baik itu fikih, aqidah, akhlaq, tasawuf dan ilmu alat (nahwu dan sharaf) yang semuanya dengan kitab berbahasa ArabKitab-kitab yang diajarkan di bidang fikih antara lain Safinatun-Najah, Fathul Qarib, Minhajul Qowin, Fathul-Wahhab, al-Mahalli, Fathul Mu’in, dan Uqdatul-Farid. Di bidang ushul fiqih antara lain Faraidul-Bahiyah. Di bidang tauhid antara lain Aqidatul-Awam. Di bidang nahwu antara lain ash Shorof Tasrifiyat. Di bidang balaghah antara lain Jauharatul Maknun, Sullamul Munauraq. Di bidang akhlaq/tasawuf antara lain Ta’limul Muta’alim, Ihya Ulumiddin. Di bidang tafsir Al-Quran antara lain Tafsir Jalalain. Di bidang hadis antara lain Shahih Bukhari. Di bidang musthalah hadis antara lain al-Baiqunyah.Kelas satu s/d tujuh di Ponpes API Tegalrejo, oleh masyarakat lebih dikenal dengan nama kitab yang dipelajari. Seperti di tingkat I dikenal jurumiyah jawan, Tingkat II dengan nama Jurumiyah, tingkat III dengan nama Fathul Qarib, tingkat IV dengan Alfyah, tingkat V dengan Fathul Wahab, tingkat Vi dengan alMahalli , tingkat VII dengan Fathul Mu’in dan dngkat Vill dengan Ihya Ulumuddin.Kegiatan ekstrakurikulerSejak tahun 1993, Ponpes API Tegalrejo setiap bulan Ramadlan mengirimkan santri seniornya ke daerah-daerah yang membutuhkan dai/muballigh. Daerah yang sering mengajukan permintaan antara lain daerah Gunungkidul, Bojonegoro, Sragen dan Banyumas. Di lingkungan Ponpes API ini juga diselenggarakan Bahtsul Masail, yakni pembahasan masalah-masalah aktual. Kegiatan lainnya adalah Jam’iyatul Quro, yaitu membaca al-Quran secara bersamasama. Selain itu juga “Khotbah Komplek”, yaitu latihan berkhotbah/pidato,Kemudian pertemuan setiap hari Senin yang dihadiri para alumni Ponpes API. Per temuan ini dikenal sebagai acara Seninan.Pertemuan mutakhorijin (alumni) Ponpes API diselenggarakan setiap 35 hari, yaitu pada hari Ahad Kliwon. Acara ini lebih dikenal sebagai acara Selapanan.Karena amalan-amalan tasawuf mewarnai kehidupan sehari-hari Pesantren Tegalrejo, maka pesantren ini terkenal sebagai pesantren tasawuf.Berkat ketegaran dan keuletan KH. Chudlori dalam upayanya mewujudkan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam baik secara dhohir maupun batin. Santri yang pada awal berdirinya hanya berjumlah delapan, tiga tahun kemudian sudah mencapai sekitar ratusan.Gus Dur Pernah MondokGus Dur pindah dari Yogyakarta ke Magelang, tepatnya di Pesantren Tegalrejo pada tahun 1957. Di pesantren ini Gus Dur nyantri selama sekitar 2 tahun lebih sedikit, di bawah asuhan KH. Chudlori. Greg Barton menyebut demikian: “Gus Dur membuktikan dirinya sebagai siswa yang berbakat dengan menyelesaikan pelajarannya di bawah asuhan KH. Chudlori selama 2 tahun di Tegalrejo. Kebanyakan siswa lain memerlukan waktu 4 tahun untuk menyelesaikan pelajaran ini. Bahkan di Tegalrejo ini Gus Dur menghabiskan sebagian besar waktunya di luar kelas dengan membaca buku-buku Barat (2003: 50).Meski sudah di Tegalrejo, Gus Dur kadang menyempatkan waktunya untuk belajar paruh waktu ke Denanyar-Jombang di bawah asuhan Mbah Bishri (2003: 51). Dan pad saat yang sama, Gus Dur juga mencari peluang menonton wayang kulit, kegemarannya yang sudah dilakoninya ketika di Yogyakarta. Untuk hal itu, menurut Greg, Gus Dur harus berjalan kaki cukup jauh agar dapat menonton wayang kulit.Sang guru, KH. Chudlori adalah anak dari seorang penghulu di Tegalrejo zaman penjajahan Belanda, bernama Kyai Muhammad Ihsan.Oleh Bambang Pranowo dalam buku Islam Jawa Kyai Chudlori digambarkan sebagai “sosok kyai yang membekali santrinya dengan berbagai ilmu dan riyadloh (tirakat) dalam rangka olah batin mengasah kemampuan spiritual santri atau yang dikenal dalam dunia tasawuf sebagai mujahadah.” Tentang tirakat Kyai Chudlori mendirikan pesantren itu, dikemukakan oleh Bambang Pranowo dalam buku Islam Jawa (hlm. 171-173).Ketika Gus Dur di pesantren Tegalrejo, sebagai santri dia juga diwajibkan menghafalkan Alfiyah dan beberapa kitab yang harus dikaji, yang kemudian hafalan Alfiyah ini didaras ulang ketika di Tambakberas. Di samping itu, sebagaimana disebut Greg, Gus Dur kadang pergi ke Denanyar. Gus Dur juga mengaji kitab al-Hikam kepada Kyai Dalhar Watucongol, sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedi Abdurrahman Wahid (I: 107). Cerita belajar al-Hikam ini, menurut Mukhlas Syarkun, penulis Ensiklopedi Abdurrahman Wahid itu (I: 95), bersumber dari Kholish Muzakki yang mendapat cerita dari keluarga yang dulu satu kamar dengan Gus Dur di Tegalrejo, yang bercerita begini: “Gus Dur juga pernah berguru kepada Kyai Dalhar dalam bidang tasawuf, Gus Dur mengaji kepada beliau kitab al-Hikam yang merupakan kitab yang sangat berpengaruh pada pola kesufian Gus Dur. Akan tetapi menurut Gus Yusuf Chudlori, Gus Dur itu ngalap tabaruk dengan Kyai Dalhar, dan itu dikatakan ketika Gus Dur mondok di Tegalrejo, Magelang” (IV: 220).Kyai Dalhar menurut masyarat pesantren diyakini sebagai wali, dan makamnya ada di Gunungpring di dekat Raden Santri, dan merupakan mursyid tarekat Sadziliayh. Beberapa kali penulis sendiri mengunjungi makam ini. Mbah Dalhar ini juga guru dari Gus Miek, sehingga dalam wasilah dzikir surat al-Fatihah seratus kali di kalangan Dzikrulo Ghofilin, salah satu wasilahnya juga ditujukan kepada Mbah Dalhar Watucongol. Selain kepada Kyai Dalhar, Gus Dur kemudian juga ngalap barokah al-Hikam kepada Kyai Imam Sarang. Mukhlas Syarkun menyebutkan bahwa berdasarkan informasi dari Kyai Muslih, alumni Sarang, Gus Dur sempat ngaji kepada Mbah Imam Kholil Sarang (I: 99). Dari Kyai Dalhar, juga menurut cerita Kholis Muzakki yang mendapat cerita dari saudaranya yang pernah satu kamar dengan Gus Dur ketika di Tegalrejo, seperti disebut Muklas Syarkun, Gus Dur memperoleh Ijazah Dalail.Mukhlas Syarkun juga mengutip Kyai Nu’man (yang mimpin JQH zaman PBNU dipegang Gus Dur), yang menurut ceritanya Gus Dur pernah bercerita kepadanya bahwa ketika nyantri di Tegalrejo, dia mengamalkan riyadhoh dan tirakat yang diajarkan Kyai Chudlori. Sementara detil tirakat di pesantren Tegalrejo diceritakan oleh Bambang Pranowo dalam buku Islam Jawa, di antaranya, santri harus berpuasa Ya man Huwa, yang selama 41 hari; dan Yaman Huwa itu (rangkaian doa yang diawali Ya Man Huwa) harus dibaca. Sementara juga dari cerita Kyai Nu’man, Gus Dur bercerita bahwa dia diajarkan untuk ngrowot oleh Kyai Chudlori. Menurut Bambang Pranowo, wirid Hizib yang diamalkan di pesantren Tegalrejo Hizib Ghozali, dimana santri kelas Alfiyah diwajibkan mengamalkn Hizib ini, dengan puasa 7 hari, dan membaca Hizib ini minimal 7-41 x setelah itu.Menurut cerita Kyai Nu’man juga, Hizib Ghozali ini dibaca Gus Dur bukan hanya ketika di pesantren saja, tetapi juga ketika sudah tidak di pesantren (Ensiklopedi, IV: 224-225). Bagi mereka yang sudah pernah menamatkan riyadhoh dalam ilmu-ilmu hikmah, tentu, pembacaan itu setelah riyadhoh, seiring waktu berjalan, menyesuaikan kondisi dan keadaan, bisa duduk, berjalan, berbaring, dan lain-lain. Hal ini biasa dilakukan oleh mereka yang jalan hidupnya mengurusi umat, menyebarkan ilmu, dan melakukan perubahan sosial, cara berdzikir dari wadzifah-wadzifah wiridnya, dilakukan menurut kondisinya itu.Dan, ketika di Tegalrego, ada beberapa cerita yang berkaitan dengan Gus Dur, di antaranya adalah:Ikan yang Dicuri Menjadi HalalSalah satu sanad cerita ini bersumber dari Kyai Yusuf Chudlori, seperti diwawancarai detik (22 Oktober 2017), dan telah beredar dalam humor-humor Gus Dur di masyarakat. Berawal dari ajakan tiba-tiba Gus Dur kepada teman-teman sekamarnya. Suatu malam Gus Dur mengajak teman-teman sekamarnya untuk makan ikan segar. Gus Dur meyakinkan teman-temannya yang sempat heran dan tidak percaya karena sudah malam. Gus Dur meyakinkan teman-temannya yang awalnya ragu dan protes, dan mereka hanya perlu mengikutinya jika ingin makan ikan.Mereka kemudian berbagi peran, meski sebagian teman-temannya sempat protes, sebelum menyetujui gagasan Gus Dur. Mereka diajak Gus Dur ke kolam, tepat pada jam 12 malam, yaitu kolam milik Kyai Chudlori. Gus Dur berjaga di sekitar kolam, sementara 4 teman lainnya bertugas masuk ke kolam air. Saat itu belum ada listrik, sehingga mereka tidak begitu kelihatan melakukan aksinya.Akan tetapi tepat pada saat itu juga, ternyata Kyai Chudlori datang dan mendekat ke kolam. Ketika dekat dengan kolam, Kyai Chudlori menurut Gus Yusuf: “Kyai meneriaki dan menanyakan siapa yang ada di kolam.” Saat kyai sudah mendekati kolam, Gus Dur menjawab, bahwa hanya dirinya yang ada di tempat tersebut. Sementara 4 temannya, ketika melihat Kyai Chudlori berbincang dengan Gus Dur, lebih dulu lari menyelamatkan diri. Lalu, Kyai Chudlori bertanya ke Gus Dur: “Kenapa ada ember-ember yang ada ikannya?” Gus Yusuf kemudian bercerita:“Gus Dur kemudian menjawab bahwa ada beberapa santri berniat mencuri ikan, dan dia menggagalkan rencana tersebut. Adapun ikan-ikan yang ada di ember adalah barang buktinya,” kata Gus Dur. Mendengar cerita itu, Gus Dur diperintahkan Kyai untuk memasak ikan-ikan itu bersama teman-temannya.Sesampai di kamar, Gus Dur diprotes teman-temannya, karena tidak mengaku kalau dia adalah otak pencurinya.Gus Yusuf yang diwawancarai detik kemudian menyebutkan: “Gus Dur hanya menjawab. Kalian mau makan ikan nggak. Ini ikannya sudah ada, halal lagi, karena diberikan oleh Kyai. Tadi itu kan proses, yang penting makan ikan.”Tentu saja teman-temannya, akhirnya mau juga makan ikan yang sudah halal itu.Kyai Chudlori dan Pembagian Bondo DesaCerita tentang ini sudah beredar luas, dan salah satunya disebutkan dalam Novel Peci Miring yang ditulis Aguk Irawan. Pada saat itu, Gus Dur meyaksikan aktivitas Kyai Chudlori yang didatangi oleh penduduk kampung. Suatu hari masyarakat kampung di sekitar kampung Kyai Chudlori mendatangi pesantren. Mereka sebelumnya sudah terlibat musyawatah dan belum ada titik temu, untuk membagi bondo desa yang ingin digunakan untuk apa. Sebagian masyarakat, menginginkan untuk pembangunan renovasi masjid dan sebagian menginginkan untuk membeli alat-alat kebudayaan, yaitu gamelan.Ketika mereka sampai dan diterima Kyai Chudlori, masing-masing kelompok menuturkan keinginannya, dan ketika giliran Kyai Chudlori memberikan pendapat, mereka semua berdebar mendengarkan. Kelompok yang ingin bondo desa itu untuk renovasi masjid, sangat senang, karena mengira Kyai Chudlori sebagai Kyai pesantren, pasti akan memberikan fatwa bahwa bondo itu untuk masjid.Akan tetapi, Kyai Chudlori justru mengatakan “sebaiknya dana itu digunakan untuk membeli gamelan.” Sontak perkataan Kyai Chudlori itu mengagetkan banyak orang, termasuk mereka yang mendukung dana itu untuk pembelian gamelan. Menurut Kyai Chudlori, kalau gamelannya sudah ada, nanti dengan sendirinya yang untuk masjid nanti ada. Ada juga versi yang menjelaskan, Lalu kemudian mengatakan “kalau kita tidak ngemong kepada masyarakat yang senang gamelan, nanti yang sholat di masjid siapa.”Rombongan tamu itu akhirnya menerima keputusan Kyai Chudlori, dan Gus Dur melihat tamu-tamu itu, dan argumen-argumen mereka, juga melihat keputusan Kyai. Sebuah keputusan yang dapat merekonsiliasikan antara kebutuhan kebudayaan dan masjid, kedua-duanya dapat terakomodasi tanpa terjadi perpecahan. Hal ini yang di kemudian hari juga mengilhami aksi-aksi dan pemikiran kebudayaan Gus Dur, dan rekonsiliasi kebudayaan-Islam.Imtihan/Khataman dan WayangCerita lain yang beredar luas, ketika Gus Dur di Tegalrejo adalah ketika Imtihan, yaitu masa akhir tahun para santri, yang diisi dengan doa dan hiburan. Kalau sekarang, di pesantrn API Tegalrejo, ketika Khataman arau Imtihan tidak jarang menanggap kirab budaya dan wayang. Dokumentasi soal ini banyak diunggah di video youtube dan diberitakan oleh fast-fmmagelang. Pesantren API, dari sudut penerimaan mereka dan terhadap wayang dan pagelaran budaya memang unik, dibandingkan pesantren-pesantren yang tidak melakukan demikian itu.Di antara salah seorang Kyai penerus Kyai Chudlori yang melakukan ini dalah KH. Ahmad Muhammad (dan kemudian Kyai Yusuf Chudlori), yang wafat pada Jumat, 6/3/2009. Bahkan kewafatan beliau, saat itu berbarengan dengan akan diadakannya pentas “ Orkestra Afala Tatafakarun” yang sedianya akan digelar di kompleks PP API Tegalrejo. Akan tetapi acara ini kemudian dibatalkan, karena pada saat itu, KH. Ahmad Muhammad API Tegalrejo wafat.Sejarah rekonsiliasi dan penggunaan budaya untuk dakwah di API, telah dimulai sejak zaman Kyai Chudlori sendiri, yang ketika itu Gus Dur adalah salah satu santrinya. Dalam satu Imtihan, yang akan dilakukan di API Tegalrejo, Gus Dur diajak diskusi oleh Kyai Chudlori, tentang apa kira-kira yang akan dilakukan untuk mensyukuri akhir tahun pelajaran, atau Imtihan. Akhirnya, Gus Dur mengusulkan diundangnya masyarakat yang dulu pernah datang untuk menanyakan soal bondo desa. Kyai Chudlori pun setuju. Maka, setelah itu, Imtihan yang panitianya dilakukan Gus Dur, salah satunya adalah nanggap wayang, di sampaing ada rangkaian-rangkaian mujahadah dan doa.Tentu saja, bahwa mengundang acara sejenis wayang atau seni lain ke pesantren, panitia-panitia Imtihan santri itu pasti sudah berdebat sebelumnya tentang hubungan Islam dan seni. Bahwa akhirnya Kyai Chudlori dan API Tegalrejo memilih mengambil jalan terjadinya pertemuan Islam dan seni dan berdakwah dengan seni, adalah juga meneruskan apa yang telah dirintis oleh para wali-wali sejak zaman Walisongo. Hanya, belakangan hal ini memang mulai berubah ketika wayang dan seni tidak lagi banyak dipentaskan pada Imtihan pesantren-pesantren di Nusantara, dan di antara pengecualian itu adalah API Tegalrego, ada juga pernah dilakukan PP Sunan Pandanaran.Sebelum wafat, Kiai Chudlori meninggalkan empat wasiat untuk para santri di API Tegalrejo. Wasiat tersebut terpampang di sekitar komplek makam. Ditulis dengan tulisan Jawa pegon.Nurwahidi, salah satu pengelola makam menunjukkan wasiat tersebut kepada wartawan koran ini. Isinya yakni, pertama untuk mengkhatamkan Alquran di makam Kiai Chudlori bisa satu kali, tujuh kali, maupun 41 kali. Kedua, bagi yang tidak bisa membaca Alquran dapat membaca dzikir 70 ribu kali. Ketiga, jika sudah selesai nyantri disarankan untuk mengajar, menularkan ilmunya serta tetap belajar Alquran. Keempat, imbauan kepada santri agar tidak menjadi pegawai negeri.Nurwahidi pun menuturkan para santri maupun alumni masih berpegang teguh tentang wasiat tersebut. Banyak yang datang ke makam Kiai Chudlori untuk mengkhatamkan Alquran. Paling ramai ketika menjelang Ramadan. “Makam Mbah Chudlori pasti selalu ada peziarah setiap harinya. Biasanya kalau malam Jumat dan hari Minggu lumayan ramai,” ujarnya.WAFATKH. Chudlori wafat pada tanggal 28 Agustus 1977. Jenazah beliau dimakamkan di komplek makam keluarga Pesantren API Magelang.Setelah KH Chudlori wafat pada tahun 1977, Ponpes API dilanjutkan diasuh oleh KH Abdurrahman Chudlori (kakak tertua) dan KHA Muhammad Chudlori. Namun setelah keduanya meninggal, pengasuh ponpes diteruskan, KH Mudrik Chudlori, KH Hanif Chudlori dan Gus Yusuf.Para putra ini tetap berusaha menjaga tinggalan-tinggalan orang tua yang baik dan relevan. Oleh karena itu, pondok pesantren salaf dengan racikan dan metode kuno, namun masih dibutuhkan tetap dijaga."Pondok pesantren salaf yang dengan metode-metode kuno, tetapi masih sangat dibutuhkan, ini kita jaga. Di sini ada yang salaf itu tanpa terikat kurikulum Diknas maupun Kemenag dan tidak ada ijazah formal. Itu murni racikan kurikulum Pesantren Tegalrejo. Ini masih kita rawat sampai hari ini ada sekitar 6.000 santri putra dan 4.000 santri putri," ujarnya.Namun demikian dalam perkembangannya, Gus Yusuf bersama KH Abdurrahman Chudlori, mendirikan Yayasan Syubbanul Wathon yang membawahi pendidikan formal. Pendidikan formal yang dikelola mulai dari TK, SD, SMP, SMA/SMK hingga Sekolah Tinggi. Para siswa ini, pagi harinya sekolah formal, namun sore dan malam ngaji dengan sistem boarding."Jadi pagi sekolah formal, sore ngaji, malam ngaji, itu sekarang ada sekitar 4.000-an santri, itu perkembangannya bahkan juga Syubbanul Wathon setahun ini kita Alhamdulillah berhasil mendirikan rumah sakit ya untuk pelayanan masyarakat dan santri. Artinya bahwa Tegalrejo itu terus berkembang sesuai dengan tuntutan masyarakat," kata Gus Yusuf.Lebih dari itu, hingga kini Ponpes Tegalrejo juga tetap menjalin hubungan baik dengan kelompok-kelompok seni lokal di Magelang dan sekitarnya. Gus Yus masih terus mengikuti dan mendukung kegiatan kesenian rakyat yang berkembang di daerah tersebut. Meneruskan berdakwah dengan hati ala Mbah Chudlori. (***) Aji SetiawanDaftar Pustaka :1. Abdullah Alwi, KH Chudlori, Santri Kelana Pendiri API Tegalrejo, nu.or.id2. Budi, Biografi KH. Chudlori, ladunni.id , 1 September 20223. Muhyiddin, KH Chudlori, Ulama Rendah Hati dan Bersahaja, Republik, 20 Desember 20204. Eko Susanto - detikNews, Gaya Dakwah KH Chudlori: Beli Gamelan Dulu, Masjid Menyusul Kemudian, Jumat, 19 Jul 20195. Kiai Chudlori Tinggalkan Empat Wasiat untuk Para Santri API Tegalrejo, Radar Semarang, Rabu, 21 April 20216. Nur Khalik Ridwan, Ketika Gus Dur Ngaji Kepada Mbah Chudori Tegalrejo (1957-1959), Bangkit Media, 19 Desember 20197. Sejarah dan Profil Pondok Pesantren API TegalrejoPesantren, Wikisantri, 20218. Naeli Rohmah, Mengenal Sosok KH Chudlori, Pendiri Pesantren API Tegalrejo, PCNU Cilacap, Jumat, 17 Juni 2022Sesepuh Mursyid Naqsabandiyah Khalidiyah Tanah Jawa Ia adalah sosok ulama yang cukup di segani di Banyumas Jawa Tengah.Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya memegang dua thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-SyadziliyahAsy-Syaikh Abdul Malik lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, pada hari Jum’at 3 Rajab 1294 H (1881). Nama kecilnya adalah Muhammad Ash’ad sedang nama Abdul Malik diperoleh dari ayahnya, KH Muhammad Ilyas ketika ia menunaikan ibadah haji bersamanya. Sejak kecil Asy-Syaikh Abdul Malik telah memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya yang ada di Sokaraja, Banyumas terutama dengan KH Muhammad Affandi.Sang ayah adalah KH Muhammad Ilyas bin H Aly Dipowongso. Syaikh Muhammad Ilyas trukah berdakwah di wilayah eks Karsidenan Banumas di mulai dari grumbul Kedungparuk sekembalinya dari menuntut ilmu selama puluhan tahun di Mekkah. Guru Ilyas demikian nama yang lebih dikenal dilahirkan di Kedung Paruk sekitar tahun 1186 H/1765 M dari seorang ibu bernama Siti Zaenab binti Maseh bin KH Abdussamad (Mbah Jombor). Guru Ilyas mulai menyebarkan luaskan thariqah naqsabandiyah khalidiyah sesuai tugas dan amanah gurunya yakni Syaikh Sulaiman Zuhdi Al Makki sekitar tahun 1246 H/1825 M pada usia 60 tahun.Setelah belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama diantaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqh, Tasawuf dan lain-lain. Asy-Syaikh belajar di Tanah suci dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih selama limabelas tahun.Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Tha bin Yahya Al-Magribi (ulama Hadramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin Al-Musawwa, Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al-Hasani), Sayid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, Sayid Ali Ridha.Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, Asy Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.Sesudah sang ayah wafat, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke- 100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur Asy Syaikh berusia tiga puluh tahun.Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Perlu diketahui, Asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar Al-‘Allamah.Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahiem kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya. Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah telah ia peroleh secara langsung dari ayah beliau yakni Syaikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari As-Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki (Mekkah).Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalwat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir AS atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lain.Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Soleh berkata kepada para jamaah,”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya.Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”Dalam berbagai kesempatan oleh murid kesayangan Mbah Malik yakni Habib Luthfi bin Aly bin Hasyim bin Yahya (Pekalongan) bahwa beliau memiliki ratusan guru ruhani, tapi yang “kemantil-kantil” di pelupuk mata beliau adalah Mbah Malik.Tiga hal yang diwasiatkan kepada penerus Mbah Malik yaitu; jangan tinggalkan shalat, jangan tinggalkan al-qur’an dan jangan tinggalkan shalawat. Disamping itu dalam berbagai kesempatan Mbah Malik sering menyampaikan pesan-pesannya kepada murid-murid dan cucu-cucu beliau untuk melakukan dua hal, yaitu pertama agar selalu membaca shalawat kepada Rasulullah SAW dan kedua agar sellau mencintai serta menghormati dzuriyyah (cucu-cucu ) Rasulullah SAW.Penerus Mbah MalikMbah Malik adalah guru besar Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan As-Syadziliyah Indonesia. Silsilah kemursyidan diserahkan kepada murid kesayangan beliau (Habib Muhammad Luthfi bin Aly bin Hasyim bin Yahya dan cucu beliau Abdul Qadir bin ilyas Noor).Kalau kepadasang cucu hanya kemursyidan thariqah An-Naqsabandiyah al-Khalidiyahnya saja, namun kemursyidan kedua thariqah besar tersebut (Naqsyabandi dan Syadzili) diserahkan kepada muridnya yakni Habib Muhammad Luthfi bin Aly bin Hasyim bin Yahya.Mbah Malik menurunkan seorang anak laki-laki dari Nyai Siti Warsiti yang lebih dikenal Mbah Johar (putri syaikh Abubakar bin H Yahya, kaliwedi, guru mbah Malik) yakni Ahmad Busyairi, namun meninggall dalam usia 36 tahun (1953). Sedang dari mBah Mrenek Maos Cilacap, tidak dikaruniai anak. Dari perkawainannya dengan Nyai Siti Hasanah putri H Abdul Khalil (Kedung Paruk), ia menurunkan seorang putri yaitu Nyai Khairiyah. Sang putri tunggal ini Nyai Khairiyah menurunkan sembilan anak. Dengan Kyai Anshor Sokaraja, satu orang putri yaitu Hj Siti Fauziyah dan dariKyai Ilyas Noor, delapan anak tiga laki-laki dan lima perempuan yaitu Hj Siti Faridah, KH Abdul Qadir, Siti Fatimah, Siti Rogayah, KH Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor , Hj Isti Rochati dan Nurul Mu’minah.Tiga penerus Mbah Malik yang meneruskan amaliah Mbah Malik masing-masing yakni pertama, KH Abdul Qadir bin KH Ilyas Noor Subtil Malik lahir di Kedung Paruk 11 Oktober 1942 wafat pada hari Selasa 19 Maret 2002 (5 Muharam 1423 H dalamusia 60 tahun) dan dimakamkan dibelakang Masjid Bahaa-ul-Haq wa Dhiyaa-uf-Dien. Ia memangku kemursyidan selama 22 tahun (1980-2002).Penerus kedua yakni yakni KH Sa’id bin KH Ilyas Noor Subtil Malik lahir diKedung Paruk pada tanggal 15 April 1951 wafat pada hari kamis tanggal 3 Juli 2004 dalam usia 53 tahun dan dimakamkan di belakang Masjid Bahaa-ul-Haq wa Dhiyaa-uf-Dien. Ia memangku kemursyidan selama 2 tahun (2002-2004). Selepas itu kemursyidan thariqah dari tahun 2004 sampai sekarang dipegang oleh KH Muhammad bin KH Ilyas Noor Subtil Malik.Syaikh Abdul Malik wafat pada hari Kamis, 2 Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) pada usia 99 tahun dan dimakamkan di belakang masjid Bahaaul-Haq wa Dhiyaa-ud-Dien, Kedung Paruk Purwokerto Banyumas dan memangku kemursyidan selama 68 tahun (1912-1980). (*)Aji Setiawan Habib Ali bin Abdurahman bin Abdullah Al-HabsyiPenggerak Majelis Taklim di Tanah BetawiIa dikenal sebagai penggerak pertama Majelis Taklim di Tanah Betawi. Majelis taklim yang digelar di Kwitang, Jakarta Pusat, merupakan perintis berdirinya majelis taklim-majelis taklim di seluruh tanah airSetiap Minggu pagi kawasan Kwitang didatangi oleh puluhan ribu jamaah dari berbagai pelosok, tidak hanya dari Jakarta, saja namun juga dari Depok, Bogor Sukabumi dan lain-lain. Bagi orang Betawi, menyebut Kwitang pasti akan teringat dengan salah satu habib kharismatik Betawi dan sering disebut-sebut sebagai perintis majelis Taklim di Jakarta, tiada lain adalah Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi atau yang kerap disapa dengan panggilan Habib Ali Kwitang.Habib Ali adalah keturunan Rasululullah yang memiliki nasab sebagai berikut: al-Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad al-Habsyi Shahib Syi’ib bin Muhammad bin Alwi bin Abubakar al-Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan at-Turabi bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra binti Rasulullah Muhammad SAW.Jamaahnya makin hari makin bertambah banyak. Begitu pula dengan peringatan Maulid. Jamaah yang hadir setiap tahun bertambah banyak. Bak lautan manusia, mereka memadati setiap ruas jalan yang berada di sekitar kawasan Masjid Kwitang, Jakarta. Mereka seperti tersedot oleh pesona Simthud Durar.Majelis taklim Habib Ali di Kwitang merupakan majelis taklim pertama di Jakarta. Sebelumnya, boleh dibilang tidak ada orang yang berani membuka majelis taklim. Karena selalu dibayang-bayangi dan dibatasi oleh pemerintah kolonial, Belanda. “Orang-orang Betawi sendiri baru menggelar majelis taklim setelah Habib Ali wafat. Sebelumnya tidak ada yang berani,” kenang K.H. Abdul Rasyid.Maka, untuk mengenang jasa-jasa Habib Ali, tiga majelis taklim tersebut selalu membuka pengajian dengan membaca Surah Al-Fatihah, untuk dihadiahkan kepada almarhum.Menurut beberapa habib dan kiai, majelis taklim Habib Ali Kwitang akan bertahan lebih dari satu abad. Karena ajaran Islam yang disuguhkan berlandaskan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, dan nilai-nilai keluhuran budi atau akhlakul karimah. Habib Ali, kata mereka, mengajarkan latihan kebersihan jiwa melalui tasawuf. Dia tidak pernah mengajarkan kebencian, hasad, dengki, gibah, ataupun fitnah. Sebaliknya, almarhum mengembangkan tradisi ahlulbait, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menghormati hak setiap manusia tanpa membedakan status sosial.Menurut K.H. Abdul Rasyid, banyak ulama Jakarta yang menjadi murid almarhum. Mereka belajar di Madrasah Unwanul Falah di Kwitang yang didirikan tahun 1920, sebagai madrasah modern pertama bersama Jam’iyyatul Khair. Sementara itu, oleh Habib Abdul Rahman, cucu almarhum, madrasah yang telah ditutup saat revolusi fisik dahulu sudah dibuka kembali. “Tanah yang dulu jadi tempat madrasah yang didirikan kakek saya sudah dibebaskan. Sekarang tinggal membangun kembali,” kata Habib Abdul Rahman.Dalam dakwahnya selama 80 tahun, Habib Ali selalu menganjurkan agar umat senantiasa berbudi luhur, memegang teguh ukhuwah Islamiah, dan meneladani keluhuran budi Rasulullah SAW. Ia juga menganjurkan kepada kaum ibu untuk menjadi tiang masyarakat dan negara, dengan mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya.Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi lahir pada hari Minggu tanggal 20 Jumadil ‘Awal 1286 atau pada 20 April 1870 di Kampung Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Beliau merupakan putra dari pasangan Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi dengan Nyai Salmah.Kelahiran Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi merupakan kelahiran yang sangat ditunggu-tunggu kedua orang tuanya, karena setelah bertahun-tahun menikah, Habib Abdurrahman dan Nyai Salmah belum juga diberi keturunan.Kelahiran Habib AliPada suatu waktu, Nyai Salmah kemudian bermimpi menggali sumur yang airnya melimpah ruah hingga membanjiri sekelilingnya. Lalu, diceritakanlah mimpi itu kepada sang suami.Setelah mendengar mimpi istrinya itu, Habib Abdurrahman langsung menceritakannya kepada Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih.Kemudian, Habib Syekh menjelaskan, mimpi tersebut sebagai tanda akan la hirnya seorang putra yang saleh dan ilmunya akan melimpah ruah berikut keberkahannya.Adapun kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat. Dia menikah di Semarang. Dalam pelayaran kembali ke Pontianak, ia wafat, karena kapalnya karam. Adapun Habib Muhammad Al-Habsyi, kakek buyut Habib Ali Kwitang, datang dari Hadramaut lalu bermukim di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiah dengan para sultan dari klan Algadri.Simthud DurarDua tahun setelah sang ayah wafat, Habib Ali Kwitang yang saat itu masih berusia 11 tahun, berangkat belajar ke Hadramaut. – sesuai wasiat ayahandanya yang kala itu sudah wafat. Tempat pertama yang dituju adalah rubath Habib Abdurrahman bin Alwi Alaydrus. Di majelis mulia itu ia juga membaca kitab kepada Habib Hsan bin Ahmad Alaydrus, Habib Zen bin Alwi Ba’abud dan Syekh Hasan bin Awadh bin Makhdzam.Tapi sayangnya, ayah beliau, Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi tidak lama hidup mendampingi putra yang beliau cintai tersebut. Beliau berpulang ke Rahmatulloh pada saat putra beliau masih berumur 10 tahun.Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi berpulang ke haribaan Allah SWT pada usianya ke 98 tahun, tepatnya pada hari Minggu tanggal 20 Rajab 1388 bertepatan dengan 13 Oktober 1968, di tempat kediaman beliau di Kwitang Jakarta.Ketika Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi berusia 20 tahun, beliau mengadakan pengajian sambil berdagang kecil-kecilan di Pasar Tanah Abang.Pada usia itu pula Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi menikah dengan Hababah Aisyah Aisyah Assegaf dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Beliau dikaruniai sepuluh anak :Di antara para gurunya yang lain di Hadramaut yaitu Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (penyusun Simthud Durar), Habib Ahmad bin Hasan Alatas (Huraidah), dan Habib Ahmad bin Muhsin Al-Hadar (Bangil). Selama 4 tahun, Habib Ali Kwitang tinggal di sana, lalu pada tahun 1303 H/1886 M ia pulang ke Betawi.Pulang dari Hadramaut , ia belajar kepada Habib Utsman bin Yahya (mufti Batavia), Habib Husein bin Muhsin Alatas (Kramat, Bogor), Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Umar bin Idrus Alaydrus, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas (Pekalongan), Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor.Ikut mendirikan NU Jakarta.Ketika NU Berdiri, Habib Ali Kwitang Kirim Utusan ( KH Marzuki,Cipinang) Kepada KH Hasyim Asy’ari - Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (1870-1968), atau akrab dipanggil Habib Ali Kwitang,Ketika sampai di sana, Kiai Marzuki kemudian meminta satu hal kepada Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Yaitu agar jilbab yang dipakai perempuan NU dibenarkan. Jika itu dilakukan, Kiai Marzuki yakin NU akan bisa masuk ke tanah Batavia.Seperti dilansir NU Online, setahun kemudian Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim datang ke Batavia. Mereka ingin agar NU didirikan di sana.Ketika sampai di Batavia, orang yang pertama kali ditemui Hadratussyekh Hasyim Asy’ari adalah Habib Ali Kwitang. “Setelah itu tahun 1928, NU dibentuk di Batavia. Habib Ali Kwitang memberikan izin pendirian waktu itu. Lagi-lagi Habib Ali Kwitang masih memegang fatwa Habib Utsman bin Yahya. Jadi jangan dimasukkan namanya (Habib Ali Kwitang di jajaran pengurus NU).Menurut Anto, semula orang-orang di Batavia kurang tertarik masuk NU karena tidak ada nama Habib Ali Kwitang di sana. Kemudian Kiai Marzuki ‘menegur’ Habib Ali Kwitang karena dulu ia yang memintanya untuk mendirikan NU di Batavia, namun ternyata setelah berdiri Habib Ali Kwitang malah tidak bersedia bergabung.Sampai pada akhirnya Habib Ali Kwitang memproklamirkan dirinya jadi warga Nahdliyin dengan masuk NU. Ini jarang yang mengungkapkan, padahal ini dipublikasikan di koran-koran zaman dulu. Salah satu korannya berbahasa Belanda, koran Het Nieuws van den Dag (terbit) tanggal 20 Maret 1933.Seorang tokoh karismatik di Batavia (Jakarta) pada abad 20, Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi, atau dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang (lahir di Jakarta, 20 April 1870) pernah memproklamasikan diri sebagai warga NU. Ia menyatakan hal itu pada tahun 1933 disaksikan salah seorang pendiri dan pemimpin NU, KH Abdul Wahab Chasbullah.Peristiwa Habib Ali Kwitang itu disaksikan oleh 800 ulama dan 1000 orang warga umum DKI Jakarta. Mereka juga turut serta dengan pengakuan Habib Ali Kwitang, menjadi warga NU.Peristiwa tersebut diabadikan oleh koran Belanda, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indiie .edisi 20 Maret 1933..Sebetulnya, sebelum Habib Ali Kwitang memproklamasikan diri sebagai Nahdliyin, pada tahun 1928, NU sudah berdiri di Jakarta yang dipimpin KH Ahmad Marzuki bin Mirshod yang dikenal dengan panggilan Guru Marzuki. Guru Marzuki mendirikan NU atas izin gurunya, yang tak lain adalah Habib Ali Kwitang sendiri setelah melakukan penelitian di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.Habib Ali Kwitang merupakan salah seorang tokoh yang hadir pada Muktamar NU ketujuh di Bandung pada tahun 1932. Muktamar NU Bandung berlangsung pada tanggal 12 sampai 16 Rabiul Tsani 1351 H bertepatan dengan 15 sampai dengan 19 Agustus 1932 M. Muktamar itu diakhiri dengan openbaar (rapat umum) yang berlangsung di masjid Jami Kota Bandung. Pada rapat umum itu, Masjid Jami Kota Bandung dihadiri sepuluh ribu kaum Muslimin yang hadir dari kota-kota terdekat sekitar Jawa Barat, para peserta muktamar dari berbagai daerah di Indonesia, para pengurus Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO, sekarang PBNU).Menurut laporan muktamar tahun itu, hadir 197 ulama dan 210 pengiringnya dan tamu lain-lain dari 83 daerah di Indonesia. Para ulama itu itu menyelesaikan beberapa persoalan yang diajukan jauh-jauh hari dari berbagai cabang. Mereka berhasil menyelesaikan persoalan nomor satu hingga 12 secara berurutan. Kemudian mereka membahas langsung nomor 23 oleh karena sangat urgen segera diselesaikan. Meskipun Habib Ali mengizinkan NU berdiri di Jakarta, tapi sayangnya tak berkembang dengan baik. Pasalnya, Habib Ali Kwitang tak mau terlibat lebih dalam di NU dengan mencantumkan namanya di kepengurusan. Ia hanya mengizinkan dan mengikuti acara besar NU seperti muktamar. Menurut Anto Jibril, seorang kolektor arsip Habib Ali Kwitang, saat mengisi acara Kajian Manuskrip Ulama Nusantara di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Sabtu (27/4/2019), Habib Ali tak mau mencatatkan diri sebagai pengurus NU karena ia memegang fatwa gurunya, Habib Utsman yang memintanya untuk tidak mencantumkan diri di organisasi apa pun.Ini menjadi keresahan Guru Marzuki. Tak banyak ulama dan kiai yang berminat. Juga masyarakat umum. Maka, suatu ketika, Guru Marzuki berkata kepada Habib Ali Kwitang.“Ya Habib, engkau yang menyuruh aku mendirikan NU di DKI Jakarta, tapi engkau tak mau ikut di dalamnya,” begitu kira-kira pernyataan yang bernada permintaan dari Guru Marzuki.Dari situlah, maka terjadi peristiwa Habib Ali Kwitang memproklamasikan dirinya sebagai warga NU secara terbuka di hadapan 800 ulama dan 1000 warga Jakarta. Mereka ikut keputusan Habib Ali. Salah seorang di antaranya adalahHabib Salim Jindan. Menurut Anto Jibril, peristiwa itu tersebut menjadi perhatian media massa pada zamannya, termasuk koran Belanda tersebut.Habib Ali Kwitang mendeklarasikan dirinya menjadi Nahdliyin pada 1933, atau setahun sebelum wafatnya Kiai Marzuki. Kemudian diadakan Kongres NU di daerah Kramat, Batavia. KH Abdul Wahab Chasbullah yang bertugas memimpin jalannya kongres tersebut.Setelah Habib Ali Kwitang mendeklarasikan diri menjadi Nahdliyin, ada sekitar 800 ulama yang saat itu siap masuk NU.“Dan kurang lebih seribu, disebutkan di koran itu, siap masuk pula menjadi warga Nahdlatul Ulama. Pertama Habib Salim bin Jindan,Dua bulan setelah peristiwa itu, DKI Jakarta menjadi tuan rumah muktamar NU kedelapan, yang berlangsung bulan Mei 1933 yang berlangsung di daerah Kramat. KH Abdul Wahab Chasbullah yang bertugas memimpin jalannya kongres tersebut, sementara Hadratussyekh berhalangan hadir. Setahun setelah muktamar itu, Guru Marzuki wafat.Habib Ali adalah sosok ulama’ besar Indonesia yang berjasa besar dalam dakwah Islam di Jakarta. Habib Ali bersahabat baik dengan Kiai Hasyim Asy’ari, karena mempunyai visi yang sama dalam dakwah Islam di Indonesia.Pada saat jelang Proklamasi kemerdekaan RI, Habib Ali Kwitang meski seorang ulama besar yang selalu dakwah tentang Islam, namun jiwa-jiwa kebangsaannya sebagai warga negara Indonesia tak pernah padam. Dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, Habib Ali Kwitang punya andil yang cukup penting.Ketua Umum Rabithah Alawiyah Habib Zein bin Umar Sumaith pernah mengatakan, sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden Soekarno meminta pendapat kepada Habib Ali Kwitang terkait waktu pelaksanaannya.Habib Ali menentukan tanggal 17 Agustus 1945 M yang tepat pada 9 Ramadan 1364 H sebagai hari untuk membacakan naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini juga dikatakan oleh Ketua PWNU DKI Kiai Samsul Ma'arif.“Habib Ali Kwitang kala itu yang menentukan hari dan waktu proklamasi kemerdekaan Indonesia,” katanya seperti dilansir dari NU Online, Senin (15/8/2022).Dalam sumber lain disebutkan jika Soekarno juga meminta pendapat kepada pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari terkait tanggal proklamasi kemerdekaan. KH Hasyim Asy’ari melakukan musyawarah dengan para ulama lainnya.Hasil musyawarahnya, KH Hasyim Asy’ari menyarankan agar proklamasi kemerdekaan dilakukan pada hari Jumat di bulan Ramadan. Jumat adalah sayyidul ayyam (penghulunya hari) dan Ramadan adalah sayyidus syuhrur (penghulunya bulan).Saat proklamasi kemerdekaan dibacakan pada 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi oleh Soekarno, kabar ini tidak cepat menyebar. Jangankan rakyat Indonesia, masyarakat Jakarta saja sebagian besar tidak tahu bahwa Indonesia baru saja merdeka. Boleh jadi hanya para tetangga di kawasan Menteng saja (kawasan Jl Pegangsaan) yang tahu peristiwa itu.Maklum, komunikasi tidak secanggih sekarang. Bahkan suara Soekarno yang kita dengar saat ini, itu adalah suara rekaman dari RRI, bukan ketika proklamasi dibacakan.Saat proklamasi kemerdekaan dibacakan pada 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi oleh Soekarno, kabar ini tidak cepat menyebar. Jangankan rakyat Indonesia, masyarakat Jakarta saja sebagian besar tidak tahu bahwa Indonesia baru saja merdeka. Boleh jadi hanya para tetangga di kawasan Menteng saja (kawasan Jl Pegangsaan) yang tahu peristiwa itu.Maklum, komunikasi tidak secanggih sekarang. Bahkan suara Soekarno yang kita dengar saat ini, itu adalah suara rekaman dari RRI, bukan ketika proklamasi dibacakan.Karena itu tidak banyak warga yang memasang bendera atau teriak “merdeka”. Untung saja, ada Habib Ali Kwitang. Habib yang banyak jamaahnya itu, termasuk dari segelintir orang di Jakarta yang tahu soal kemerdekaan.Waktu itu, usai salat Jumat, Habib Ali memberitahukan kepada jamaah yang hadir agar memasang bendera merah putih. Perintah ini sedikit membingungkan awalnya. Apalagi Jepang masih bercokol. ” Umat Islam harus memahami, apa yang diumumkan pada hari ini diberitahukan kepada yang tidak mengetahuinya,” kata habib yang lahir di Jakarta pada 20 April 1869 itu.Tapi darimana pula Habib Kwitang itu tahu bahwa Jumat itu Indonesia merdeka? Catatan sejarah menuliskan, sehari sebelum proklamasi, Soekarno datang ke kediaman sang habib ditemani MH Thamrin, pahlawan asal Jakarta. Tujuannya minta doa dan restu. Kebetulan pula Soekarno sudah tiga bulan ikut pengajian di Kwitang.Habib Ali Kwitang juga mempunyai kedekatan dengan Ir. Soekarno.Tak berlebihan kiranya jika kita mengagumi sosok Presiden RI Pertama Ir Soekarno. Kedekatannya dengan ulama Zurriyah Nabi, Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang, Jakarta) menjadi berkah tersendiri bagi beliau dan juga bangsa Indonesia.Ada banyak referensi yang membuktikan bahwa Soekarno cukup dekat dengan tokoh habaib yang sangat dihormati di masa Soekarno itu. Bahkan, ulama keturunanan Nabi ini punya sumbangsih besar dalam penetapan hari dan waktu proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.Seorang tokoh karismatik di Batavia (Jakarta) pada abad 20, Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi, atau dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang (lahir di Jakarta, 20 April 1870) pernah memproklamasikan diri sebagai warga NU. Ia menyatakan hal itu pada tahun 1933 disaksikan salah seorang pendiri dan pemimpin NU, KH Abdul Wahab Chasbullah.Peristiwa Habib Ali Kwitang itu disaksikan oleh 800 ulama dan 1000 orang warga umum DKI Jakarta. Mereka juga turut serta dengan pengakuan Habib Ali Kwitang, menjadi warga NU.Peristiwa tersebut diabadikan oleh koran Belanda, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 20 Maret 1933.Sebetulnya, sebelum Habib Ali Kwitang memproklamasikan diri sebagai Nahdliyin, pada tahun 1928, NU sudah berdiri di Jakarta yang dipimpin KH Ahmad Marzuki bin Mirshod yang dikenal dengan panggilan Guru Marzuki. Guru Marzuki mendirikan NU atas izin gurunya, yang tak lain adalah Habib Ali Kwitang sendiri setelah melakukan penelitian di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.Selaku pemimpin bangsa, Soekarno merangkul dan menghormati Habib Ali sebagai ulama yang patut dimintai fatwa dan nasihatnya. Betapa berkahnya sebuah bangsa tatkala pemimpin (umaro) dan ulama bergandengan tangan.Untuk diketahui, Masjid Kwitang pernah menjadi tempat sholat Soekarno dan para Founding Fathers (bapak pendiri bangsa) bersama Habib Ali Al-Habsyi. Bahkan disebutkan bahwa Bung Karno pernah bersembunyi di masjid ini ketika masa penjajahan Belanda.Masjid Kwitang kini dikenal dengan Masjid Al Riyadh yang berlokasi di Jalan Kembang IV, Kwitang, Jakarta Pusat. Masjid ini sangat terkenal karena menyimpan banyak sejarah sebelum kemerdekaan Indonesia. Di areal masjid ini juga Habib Ali Bin Abdurachman Bin Abdullah Al Habsyi dimakamkan dan hingga kini selalu ramai peziarah.Masjid Kwitang merupakan tempat Habib Ali berdakwah. Awalnya hanya berupa surau dengan desain rumah panggung, kini menjadi bangunan masjid dua lantai yang berdiri di atas lahan seluas 1.000 meter persegi.Masjid ini diresmikan oleh Presiden Soekarno dan namanya diubah menjadi Khuwatul Ummah artinya kekuatan umat. Karena situasinya pada saat itu bangsa Indonesia sedang menjaga kemerdekaan.Masjid Al-Riyadh hanya ada tiga di dunia. Pertama, ada di Hadhramaut, Yaman. Dua lagi ada di Indonesia yaitu di Kwitang dan di Kota Solo tepatnya di Pasar Kliwon.Ustaz Anto Djibril membenarkan kedekatan Soekarno dengan Habib Ali Habsyi. Dalam referensi yang dikumpulkannya dalam arsip Pustaka Lutfiyah diabadikan beberapa momen saat Soekarno dan para pemimpin Indonesia sholat Jumat bersama Habib Ali-Habsyi pada Tahun 1942.Ketika terjadi perang di Tripoli Barat (Libya), Habib Utsman menyuruh Habib Ali Kwitang untuk berpidato di masjid Jami’ dalam rangka meminta pertolongan pada kaum muslimin agar membantu umat Islam yang menderita di Tripoli. Padahal pada waktu itu, Habib Ali Kwitang belum terbiasa tampil di podium. Tapi, dengan tampil di podium atas suruhan Habib Utsman, sejak saat itu lidahnya fasih dalam memberikan nasehat dan kemudian ia menjadi dai.Setelah itu, ia pergi ke Kota Pekalongan untuk berkunjung kepada Habib Ahmad bin Abdullah Al-Aththas. Saat itu hari Jum’at, selepas shalat Jum’at, Habib Ahmad menggandeng tangan Habib Ali dan menaikannya ke mimbar. Habib Ali lalu berkata pada Habib Ahmad, ”Saya tidak bisa berbicara bila antum berada di antara mereka.” Habib Ahmad lalu berkata kepadanya, ”Bicaralah menurut lidah orang lain”(seolah-olah engkau orang lain).Ia mulai melaksanakan maulid akhir Kamis bulan Rabiul Awwal setelah wafatnya Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi sejak tahun 1338 H/1920 M sampai 1355 H/1937 M di madrasah Jamiat Kheir. Kemudian pada tahun 1356 H/1938 M ia membangun masjid di Kwitang yang dinamakan masjid Ar-Riyadh. Lalu maulid dipindahkan ke masjid tersebut pada tahun 1356 H.Menurut Abdul Qadir Umar Mauladdawilah dalam 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia (2013), di masa awal ketika Habib Ali merintis majelisnya, tidak ada seorangpun yang berani membuka majelis ta’lim karena dakwah waktu itu sangat diawasi dan dibatasi gerak-geriknya oleh pemerintah Kolonial Belanda.Para ulama kala itu dianggap berbahaya oleh pemerintah. Mereka kerap diasosiasikan sebagai penghasut, provokator, hingga pemberontak terhadap kekuasaan kolonial. Itulah sebabnya mengapa para ulama semua perilakunya diawasi ketat oleh pemerintah.Barulah setelah majelis Habib Ali berdiri, bermunculan beberapa majelis lain di Jakarta dan di berbagai daerah di luar Jakarta. Kini majelis ta’lim menjadi ciri tersendiri dari model dakwah para ulama di Jakarta, entah yang berasal dari golongan habaib atau kyai biasa.Hampir di tiap sudut kota Jakarta sekarang pasti ada forum pengajian untuk masyarakat umum. Semua itu tidak mungkin terjadi tanpa ada upaya awal dari Habib Ali.Berangkat dari hal di atas tidak keliru jika dikatakan kalau pengajian umum minggu pagi rintisan Habib Ali merupakan forum ilmu yang sangat berpengaruh di Tanah Air.Saking berpengaruhnya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam satu artikel di Majalah Tempo berjudul Kwitang! Kwitang! (1983), menulis bahwa majelis Habib Ali bahkan sampai dijadikan strategi mencari penumpang oleh para kondektur bus kota yang trayeknya melewati lokasi pengajian.Menurut Gus Dur, tiap minggu pagi para kondektur bus kota yang lewat lokasi pengajian akan berteriak, “Kwitang, Kwitang,” sebagai cara menarik penumpang.Para kondektur ini tahu bahwa animo masyarakat yang akan hadir ke pengajian Habib Ali sangat besar. Itulah sebabnya mereka berteriak, “Kwitang, Kwitang,” guna mencari penumpang. Tingkah para kondektur ini uniknya hanya terjadi di hari minggu atau di hari ketika pengajian berlangsung.Di hari biasa, tidak ada kondektur yang berteriak, “Kwitang, Kwitang.” Mereka kembali ke mode normal seperti sebelumnya. Hal demikian menjadi bukti bagaimana besarnya pengaruh/barokah pengajian Habib Ali terhadap lingkungan sekitar. Majelis ta’lim tidak hanya menjadi forum ilmu, tapi juga menjadi sarana orang banyak untuk mengais rezeki.Ia mengusahakan pada kawan-kawan dari keluarga Al-Kaf agar mewakafkan tanah masjid itu, sampai ia menulis surat kepada Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin agar berangkat ke Hadramaut untuk berbicara dengan mereka. Setelah Sayyid Abubakar bernegosiasi, akhirnya masjid itu diwakafkan, sehingga tanah itu sampai sekarang tercatat sebagai wakaf pada pemerintah Hindia Belanda.Ukuran tanah masjid itu adalah seribu meter persegi. Habib Ali Habsyi juga membangun madrasah yang dinamakan unwanul Falah di samping masjid tersebut yang tanahnya sekitar 1500 meter persegi dan membayar sewa tanah sebesar 25 rupiah setiap bulan. Kesimpulannya, pekerjaan-pekerjaan dan perbuatan-perbuatannya mengherankan orang yang mau berfikir. Shalatnya sebagian besar dilakukannya di masjid tersebut.Habib Ali menunaikan haji 3 kali. Pertama tahun 1311 H/1894 M di masa Syarif Aun, kedua tahun 1343 H/1925 M di masa Syarif Husein, dan ketiga tahun 1354 H/1936 M di masa Ibnu Saud dan pergi ke Madinah 2 kali.Habib Ali sebagaimana para habaib lainnya juga suka melakukan surat menyurat dengan para ulama dan orang-orang sholeh serta meminta ijazah dari mereka. Dan para ulama yang disuratinya pun dengan senang hati memenuhi permintaan Habib Ali karena kebenaran niat dan kebagusan hatinya. Ia memiliki kumpulan surat menyurat yang dijaga dan dinukilkan (dituliskan ) kembali.Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin dalam Rikhlatu Asfar menyebutkan perasaan kecintaan dan persahabatan yang sangat erat. Dalam catatan perjalanan itu, Sayyid Abubakar mencatat saat-saat perjalanan (rikhlah) mereka berdua ke berbagai daerah seperti ke Jawa, Singapura dan Palembang.”Saya juga menghadiri pelajaran-pelajarannya dan shalat Tarawih di masjid. Tidak ada yang menghadalangi saya kecuali udzur syar’i (halangan yang diperbolehkan oleh syariat).”Pada salah satu surat Sayyid Abubakar ketika Habib Ali Kwitang di Hadramaut, menyebutkan, “Perasaan rindu saya kepadamu sangat besar. Mudah-mudahan Allah mempertemukan saya dan engkau di tempat yang paling disukai oleh-Nya.”Ternyata setelah itu, mereka berdua dipertemukan oleh Allah di Makkah Al-Musyarrafah. Keduanya sangat bahagia dan belajar di Mekah, mengurus madrasah dan majelis taklimnya diserahkan kepada menantunya, Habib Husein bin Muhammad Alfaqih Alatas. Di Mekah ia mendapat ijazah untuk menyelenggarakan Maulud Azabi, karya Syekh Umar Al-Azabi, putra Syekh Muhammad bin Muhammad Al-Azabi.Karamat Habib Ali Kwitang sebenarnya sangat banyak. Saat je Hadramaut dengan Habib Alwi bin Ali al Habsyi berkunjung ke Hadramaut, Dulu Tatkala Al Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi berkunjung ke Negeri Hadramaut untuk menziarahi para Ulama, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Dalam kunjungannya, Beliau di temani oleh putra Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi yaitu Al Habib Muhammad Al Habsyi.Diantara kunjungannya. Beliau menyempatkan menghadiri Majelisnya Al Habib Alwi bin Abdullah bin Sahab di kota Tarim.Melihat kedatangan Al Habib Ali Al Habsyi, Al Habib Alwi bin Syahab langsung menyambutnya dengan penuh kehormatan dan menempatkan Habib Ali Al Habsyi duduk di bagian depan berdampingan dengan Beliau.Di hadapan Jamaah yang hadir di Majelis Beliau, Habib Alwi bin Syahab berkata :"Hadirin sekalian, kita telah kedatangan seorang Alim Ulama dari Jawa, dari Bandar Betawi, yang namanya sudah tidak asing lagi di Negeri ini yaitu Al Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi"."Dan atas kehadiran Beliau di Majelis ini, kami meminta kepada Al Habib Ali Al Habsyi untuk bermohon kepada Allah SWT agar menurunkan air hujan di Negeri kita ini, karena sudah cukup lama tidak turun hujan yang menimbulkan kekeringan di mana-mana, dan kita mohon kepada tamu kita Al Habib Ali Al Habsyi untuk berdoa memohon kepada Allah SWT atas niat tersebut."Al Habib Ali Al Habsyi sempat menolaknya karena Beliau datang adalah untuk mengambil barokah dan mengharap do'a Al Habib Alwi bin Syahab. Tapi karena di mohon oleh tuan rumah, pada akhirnya Habib Ali Al Habsyi memanjatkan do'a kepada Allah SWT.Selesai memanjatkan do'a, maka tidak begitu lama terlihat cuaca mulai mendung dan Habib Alwi berkata :"Sepertinya Majelis ini dicukupkan saja dulu, karena sebentar lagi akan turun hujan".Tidak begitu lama, hujan pun turun dengan lebatnya dan akhirnya Habib Ali Al Hansyi bermalam di rumah Habib Alwi bin Syahab.Hampir satu hari lamanya hujan tidak kunjung reda, maka pada akhirnya beberapa Jama'ah yang mewakili penduduk Negeri Tarim meminta kepada Habib Alwi bin Syahab agar menyampaikan kepada Habib Ali Al Habsyi untuk berdo'a agar hujan yang begitu lebat di alihkan di Wadi atau di sungai-sungai saja.Dan Habib Alwi bin Syahab meminta lagi kepada Habib Ali Al Habsyi : "Ya Hababana Ali, mohonlah kepada Allah agar hujan ini di turunkan di sekitar kota saja yang tidak ada rumah rumahnya. Karena kalau tidak, rumah-rumah kami ini bisa hancur karena semua terbuat dari Tanah".Mendengar perkataan Habib Alwi bin Syahab, langsung Habib Ali Al Habsyi menengadahkan tangannya tinggi-tinggi seraya berdo'a Kepada Allah SWT. Subhanallah, hujan pun berangsur-angsur berhenti.Melihat hal demikian, Habib Alwi bin Syahab memeluk Habib Ali Al Habsyi seraya berkata :"Yaa Habib Ali Al Habsyi, Antum Mujabatud Da'wah. Beruntung sekali Negeri yang Antum ada di dalamnya".Setelah Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, penyusun Simthud Durar, wafat pada 1913, pembacaan Maulid Simthud Durar pertama kali digelar di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, di majelis taklim yang diasuh Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi. Belakangan Maulid Simthud Durar dibaca di majelis taklim di Tegal, Jawa Tengah, kemudian di Bogor, selama beberapa tahun, lalu di Masjid Ampel, Surabaya.Tahun 1919, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, pelopor peringatan Maulid dengan membaca Simthud Durar, wafat di Jatiwangi. Sebelum wafat ia berpesan kepada Habib Ali Al-Habsyi agar melanjutkannya. Maka sejak 1920 Habib Ali Kwitang mulai menggelar Maulid dengan membaca Simthud Durar di Tanah Abang. Ketika Ar-Rabithah Al-Alawiyah berdiri, perkumpulan itu mendukung Maulid tersebut. Dan sejak 1937 acara Maulid diselenggarakan di Masjid Kwitang.Sebagai pecinta maulid sejati, dalam menghadiri peringatan Maulid SAW, Habib Ali Kwitang juga pernah membeda-bedakan pengundangnya. Tentang hal ini Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf pernah menceritakan dalam sebuah kesempatan. Suatu malam, rumah Habib Ali Kwitang diketuk oleh seseorang yang bermaksud mengundangnya menghadiri selamatan sekaligus maulidan. Istri Habib Ali lah yang membukakan pintu.Orang tersebut lalu menyampaikan maksudnya untuk mengundang sang habib sepuh itu. Namun istri Habib Ali menggeleng, “Maaf, Habib sedang kurang enak badan. Saat ini beliau sudah akan tidur.”Dengan tampak memelas orang itu memohon, “Tolong, Bu. Jama’ah sudah terlanjur berdatangan ke tempat saya, sementara ustadz kampung saya yang sedianya akan memimpin acara tersebut berhalangan hadir.Belum lagi sang wanita tuan rumah itu menjawab, tiba-tiba Habib Ali Kwitang telah berdiri di belakangnya dengan pakaian lengkap. Ulama sepuh itu segera mengajak sang pengundang itu berangkat.Ternyata rumah pria itu terletak di kawasan kumuh, dekat rel kereta api. Sesampainya di tempat itu, Habib Ali pun langsung memimpin pembacaan maulid dan menyampaikan taushiah. Betapa senangnya sang tuan rumah dan para tamu karena acara sederhana mereka dihadiri seorang ulama ternama yang karismatik.Kemudian tibalah acara penutup, yakni makan bersama. Hidangan malam itu adalah nasi putih hangat dengan lauk belut goreng. Habib Ali Kwitang pun tertegun. Ia tak suka belut, namun ia tak ingin mengecewakan tuan rumah yang tentu sudah bersusah payah menyiapkan makanan itu.Maka habib sepuh itu berkata dengan santun, “Wah menunya lezat sekali. Saya jadi teringat istri dan anak-anak saya. Maaf, Pak. Bolehkah makanan saya ini dibungkus dan dibawa pulang, agar saya bisa memakannya bersama keluarga di rumah?”Tuan rumah yang mengira Habib Ali menyukai belut pun segera membungkuskan nasi dan belut tersebut. Dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga ia mengantarkan sang habib. Pagi harinya, matahari belum lagi sepenggalah ketika rumah Habib Ali Kwitang diketuk. Dengan bergegas Habib Ali membukakan pintu. Ternyata yang mengetuk pintu itu adalah sang pengundang Maulid tadi malam.“Maaf, Bib. Nampaknya Habib sangat menyukai belut. Kebetulan saya pedagang belut. Sebagai tambahan ucapan terima kasih keluarga kami atas kehadiran habib tadi malam, kami memberikan sekedar luk untuk Habib sekeluarga,” kata orang itu sambil menyerahkan seember besar belut segar.Kembali Habib Ali terbengong-bengong menyaksikan kepolosan tamunya itu. Dengan menampakkan senyum gembira, Habib Ali pun menerima pemberian itu sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.Dengan UlamaBetapa erat hubungan antara ulama Betawi dan para habaib, dapat kita simak dari pernyataan (alm) K.H. M. Syafi’i Hadzami tentang dua gurunya, Habib Ali Al-Habsyi dan Habib Ali Alatas (wafat 1976). “Sampai saat ini, bila lewat Cililitan dan Condet (dekat Masjid Al-Hawi), saya tak lupa membaca surah Al-Fatihah untuk Habib Ali Alatas,” katanya.Supaya dekat dengan rumah Habib Ali, gurunya yang tinggal di Bungur, Kiai Syaf’i Hadzami pindah dari Kebon Sirih ke Kepu, Tanah Tinggi. Ia juga tak pernah mangkir menghadiri majelis taklim Habib Ali di Kwitang, Jakarta Pusat. Ketika ia minta rekomendasi untuk karyanya, Al-Hujujul Bayyinah, Habib Ali bukan saja memujinya, tapi juga menghadiahkan sebuah Al-Quran, tasbih, dan uang Rp 5.000. Kala itu, nilai uang Rp 5.000 tentu cukup tinggi.Demikianlah akhlaq para orangtua kita, akhlaq yang begitu indah antara murid dan guru. Kala itu para habib bergaul erat dan tolong-menolong dengan para ulama Betawi. Akhlaq yang sangat patut kita teladani sebagai generasi penerusnya.Bertemu Wali AllohSaat Habib Ali Kwitang berjumpa dengan Murobbi Ruuhina, almarhum Kyai Moh. Hasan Sepuh Genggong sejenak Habib Ali Kwitang tertegun dan terdiam.Selepas itu dipeluknya Mbah Hasan Sepuh Genggong dengan penuh keharuan. Air mata deras mengaliri pipi Habib Ali Kwitang.Saat itu ada seorang yang menemani Habib Ali Kwitang bertanya:“Bib, siapakah orang tua yang sangat sepuh ini engkau peluk tubuhnya Hingga engkau menitikkan air mata seperti ini,” tanya lelaki itu.Sambil mengusap air matanya, Habib Ali Kwitang berkata:“Ketahuilah anakku, aku sering bermimpi berjumpa Rasulullah dan aku sering mendapati orang sepuh ini bersama Rasulullah.” ucap Habib Ali Kwitang.“Aku melihatnya selalu mengiringi Rasulullah sambil memegangi tangan Rasulullah,” jawab Habib Ali sambil menunjuk kepada Mbah Hasan Sepuh Genggong.Demikianlah kisah keramat Habib Ali Kwitang yang berjumpa sosok wali sepuh yang selalu hadir dalam mimpinya bersama Rosulullah SAW. Sholu 'ala Nabi Muhammad.Pada 1960, KH Syafi’i Hadzami berhasil menulis sebuah kitab berjudul Al-Hujajul Bayyinah (argumentasi-argumentasi yang jelas). Untuk karyanya ini, ia meminta rekomendasi kepada Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi alias Habib Ali Kwitang. Setelah membaca naskah kitab tersebut, Habib Ali bukan hanya memberikan rekomendasi dalam bahasa Arab, melainkan juga memberikan sebuah Al-Quran, tasbih, dan uang sebesar Rp 5.000 kepadanya – nilai yang cukup besar untuk ukuran saat itu.Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi berpulang ke haribaan Allah SWT pada usianya ke 102 tahun, tepatnya pada hari Minggu tanggal 20 Rajab 1388 bertepatan dengan 13 Oktober 1968, di tempat kediaman beliau di Kwitang Jakarta.Pada usia itu pula Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi menikah dengan Hababah Aisyah Aisyah Assegaf dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Beliau dikaruniai sepuluh anak :Ketika itu, TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi yang menyiarkan berita duka cita. Ribuan orang berbondong-bondong melakukan takziah ke kediamannya di Kwitang, Jakarta Pusat, yang sekaligus menjadi majelis taklim tempat ia mengajar.Sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara berdatangan memberikan penghormatan terakhir. Sejumlah murid almarhum dari seluruh Jawa, bahkan seluruh Indonesia dan luar negeri, juga datang bertakziah. Sebelum jenazah di makamkan di Masjid Ar-Riyadh, yang dipimpinnya sejak ia muda, Habib Salim bin Jindan, yang sering berdakwah bersama almarhum, membaiat Habib Muhammad, putra almarhum, sebagai penerusnya. Ia berpesan agar meneruskan perjuangan almarhum dan memegang teguh akidah Alawiyin.Ada kisah menarik sebelum almarhum wafat. Suatu hari, ia minta tiga orang kiai kondang asal Jakarta maju ke hadapannya. Mereka adalah K.H. Abdullah Syafi'i, K.H. Thahir Rohili, dan K.H. Fathullah Harun. Habib Ali mempersaudarakan mereka dengan putranya, Habib Muhammad. Dalam peristiwa mengharukan yang disaksikan ribuan jemaah itu, Habib Ali berharap, keempat ulama yang dipersaudarakan itu terus mengumandangkan dakwah Islam.Harapan Habib Ali menjadi kenyataan. Habib Muhammad meneruskan tugas ayahandanya memimpin majelis taklim Kwitang selama 26 tahun. K.H. Abdullah Syafi'i, sejak 1971 hingga 1985, memimpin Majelis Taklim Asy-Syafi'iyah, dan K.H. Thahir Rohili memimpin Majelis Taklim Ath-Thahiriyah. Sedangkan K.H. Fathullah Harun belakangan menjadi ulama terkenal di Malaysia.Tidak mengherankan jika ketiga majelis taklim tersebut menjadikan kitab An-Nasaih ad-Diniyyah, karya Habib Abdullah Alhadad, seorang sufi dari Hadramaut, penyusun Ratib Hadad, sebagai pegangan. Sebab, kitab itu juga menjadi rujukan Habib Ali Kwitang.“Meskipun kitab kuning ini telah berusia hampir 300 tahun, masalah-masalah yang diangkat masih relevan,” kata K.H. Abdul Rasyid bin Abdullah Syafi'i, yang meneruskan Majelis Taklim Asy-Syafi'iyah.Kini Asy-Syafi’iyah memperluas kiprahnya dengan membuka Universitas Asy-yafi’iyah di Jatiwaringin, Jakarta Timur. Sedangkan K.H. Abdul Rasyid A.S. membuka Perguruan Ilmu Al-Quran di Sukabumi. Sementara kakaknya, Hajjah Tuty Alawiyah A.S., yang pernah menjadi menteri urusan peranan wanita pada kabinet Habibie, meneruskan kegiatan dakwahnya dalam Badan Koordinasi Majelis Taklim se-Jabotabek.Mengutip laman NU Online, PWNU DKI Jakarta pernah mengusulkan Habib Ali Kwitang sebagai pahlawan kemerdekaan. Namun, usulan tersebut perlu izin dari pihak keluarga.“PWNU mengusulkan ini Bib kepada Al Walid Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi untuk diusulkan ke negara supaya bisa menjadi pahlawan kemerdekaan. Tapi semua itu harus izin keluarga,” tutur Ketua PWNU DKI Kiai Samsul Ma'arif meminta izin kepada keluarga Habib Ali Kwitang di kediamannya pada September 2021 lalu.“Kalau memang diperbolehkan, kami akan membuat surat ke Presiden, bahwa allahyarham Habib Ali supaya menjadi salah satu pahlawan kemerdekaan," sambungnya..(***) Aji SetiawanDaftar Pustaka :1. Saudagar Baghdad dari Betawi"". Shahab, A: Saudagar Baghdad dari Betawi, hal 43. Penerbit Republika, 2004. ISBN 979-3210-30-32. Rahman Prayitno Sodikin.Habib Ali Kwitang Berjumpa dengan Sosok Kakek Tua Misterius, Berikut Kisah Keramat Sang Wali. Pikiran Rakyat. 24 Juli 2022,3. Aji Setiawan Kolom. Habib Ali Kwitang, Penggerak Majelis Taklim di Tanah Betawi.b Iqra.id , Teladan 3 Januari 20224. Muhamad Husni Tamam. Kisah Keturunan Rasulullah SAW Habib Ali Kwitang Turut Putuskan Tanggal 17 Agustus Sebagai Hari Kemerdekaan RI. Lipuran 6 .16 Agu 2022,5. Willy Vebriandy. Habib Ali Kwitang, Waliyullah yang Menjadi Pakunya Jakarta. Hidayatuna.id August 16, 20226. Rusman H Siregar. Masjid Kwitang, Saksi Sejarah Kedekatan Soekarno dengan Habib Ali Al-Habsyi (1). Sindo. Kamis, 12 Agustus 20217. Abdullah Alawi. Habib Ali Kwitang Memproklamasikan Diri sebagai NU Tahun 1933. Nu.or.id. Selasa, 28 Januari 20208. Novi Fauzoyah.Ratusan Ulama Masuk NU Usai Habib Ali Kwitang Deklarasikan Diri Jadi Nahdliyin. Muslim.id, 8 Januari 2020Simpedes BRIb372001029009535KH Abdul Hadi ZahidUlama Berhati LembutPada awalnya, Pondok Pesantren Langitan dibangun di atas tanah ladang di tepi sebelah utara Bengawan Solo. Karena merupakan daerah yang sering terkena dampak banjir, lokasi pesantren dipindahkan di sebelah utara Tangkis bagian utara di tepi jalan provinsi yang menghubungkan Tuban dan Babat dengan Surabaya. Pemindahan lokasi dilakukan pada 1904 M.Tuban sendiri adalah kota di Pantai Utara Jawa Timur yang ramai dan penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Selain sebagai bandar berpengaruh, juga merupakan pusat pengembangan agama Islam selain di Sedayu, Gresik, Surabaya, dan lainnya. Daerah Widang, letak Pondok Pesantren Langitan berada, adalah daerah yang ramai. Lokasinya yang dekat dengan Bengawan Solo merupakan jalur lalu lintas perdagangan dan penambangan potensial bagi masyarakat dan para pedagang dari kota-kota besar menuju kota-kota dan tempat perdagangan yang terletak di sepanjang perairan tersebut, baik yang ada di daerah pedalaman maupun yang ada di tepi pantai.Sejarah nama Pondok Pesantren Langitan memiliki beberapa versi. Namun, satu sama lainnya saling melengkapi. Pertama, Langitan merupakan perubahan dari kata Ngelangitan, gabungan dari kata Ngelangi (Jawa) yang berarti berenang dan Wetan (Jawa) yang berarti Timur. Hal ini dikaitkan dengan cerita adanya seseorang yang bermaksud tirakat dengan berenang di Sungai Bengawan Solo dalam tujuh kali putaran dari arah Barat ke Timur. Pada putaran terakhir ia keluar dari air dan bertemu dengan Syeikh Muhammad Nur. Sejak saat itulah dinamai dengan Pesantren Ngelangitan.Saat pertama kali berdiri, Pondok Pesantren Langitan hanya sebuah surau kecil di daerah Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Sang pendiri, KH Muhammad Nur, mengajar keluarga dan tetangga dekat untuk meneruskan perjuangan dalam mengusir penjajah dari tanah Jawa. KH Muhammad Nur mengasuh pondok sekitar 18 tahun mulai tahun 1852 hingga 1870.Ponpes Langitan berpegang teguh pada kaidah “Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholih Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah” yakni memelihara budaya-budaya klasik yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang konstruktif. Itu membuat ponpes itu tidak sampai terombang-ambing oleh derasnya arus globalisasi, namun justru sebaliknya dapat menempatkan diri dalam posisi yang strategis, dan bahkan kadang-kadang dianggap sebagai alternatif.Meski berawal dari surau kecil, dalam rentang satu abad Ponpes Langitan menjadi saksi sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Pondok ini ternyata pernah menjadi tempat belajar pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. KH Hasyim Asy’ari, menghabiskan 3 tahun di pondok tersebut pada akhir tahun 1900-an. Ada pula tokoh-tokoh NU yang pernah belajar di pesantren tersebut seperti KH Syamsul Arifin (ayah KH As’ad Syamsul Arifin), KH Shiddiq (ayah KH Ahmad Shiddiq), KH Wahab Hasbullah.Selepas diasuh KH M Nur. Estafeta berlanjut ke KH Abdul Hadi yang lahir di Desa Kauman Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1309 H. Sejak berusia sebelas tahun beliau sudah mulai belajar di Pondok Pesantren Langitan hingga usia sembilan belas tahun, dan atas saran KH. Muhammad Khozin beliau melanjutkan studi di Pesantren Kademangan Bangkalan Madura di bawah asuhan KH. Kholil selama tiga tahun. Pada usia 13 tahun, beliau belajar di Pesantren Jamsaren Solo asuhan KH. Idris.Setelah itu kembali lagi nyatri di Pondok Pesantren Langitan hingga pada usia 25 tahun, dan diambil menantu oleh KH. Muhammad Khozin, dijodohkan dengan Ning Juwairiyah.Pada usia yang relatif muda, 30 tahun beliau sudah menerima tugas berat sebagai pengasuh Pondok Pesantren Langitan. Namun meskipun begitu, di bawah asuhannya Pondok Pesantren Langitan saat itu mengalami peningkatan yang cukup signifikan.Terbukti mulai periode ini (tahun 1949 M) mulai dikembangkan sistem pengajaran klasikal yang dahulu belum dikenal, dengan cara mendirikan madrasah ibtida’iyah dan madrasah muallimin serta kegiatan ekstra kurikuler seperti bahsul masail lil waqiah, jamiyatul muballighin, jamiyatul qurro wal khuffadz dan lain-lain.Di samping itu kegiatan rutinitas berupa pengajian kitab baik sistem sorogan maupun weton terus dilestarikan dan kembangkan, terlebih sholat berjamaah, karena beliau adalah seorang ulama yang bertipikal sangat disiplin waktu dan terkenal keistiqomahannya.Sebagaimana yang diceritakan oleh KH. M. Ihya’ Ulumuddin (seorang alumni ponpes Langitan dan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haromain Malang) bahwa, dia dan para santri yang lain yang bertugas jaga malam, ketika mendengar suara kriek dari pintu belakang rumah yang terbuat dari bambu karena KH. Abdul Hadi keluar untuk mengambil air wudlu itu menunjukkan jam yang tepat kira-kira jam 2 malam.Waktu pun terus bergulir, bergerak menuju suratan taqdir. Mendung duka menyelimuti atmosfir Pondok Pesantren Langitan. Air mata qebagai kesaksian atas cinta kepada sang guru besar jatuh menetes tak tertahankan.Hari itu, 9 Shofar 1391 H. atau bertepatan dengan tanggal 5 April 1971 M. kiai panutan umat, pengemban amanat, telah kembali ke haribaan ilahi Rabbi setelah mengasuh Pondok Pesantren Langitan dalam masa yang cukup lama, 50 tahun (1921-1971 M.). Ribuan umat kehilangan tongkat, orang bijak kehilangan hikmat.Dalam perkembangannya, Ponpes Langitan terus berupaya melakukan perbaikan dan kontekstualitas dalam merekonstruksi bangunan-bangunan sosio kultural, khususnya dalam hal pendidikan dan manajemen. Usaha-usaha ke arah pembaharuan dan modernisasi memang sebuah konsekuensi dari sebuah dunia yang modern. Namun Pondok Pesantren Langitan dalam hal ini mempunyai batasan-batasan yang konkret, pembaharuan dan modernisasi tidak boleh merubah atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren.(****) Aji SetiawanSimpedes BRI 372001029009535Sayid Sulaiman bin Abdurrahman BasyaibanPerjuangan Sayid Sulaiman bin Abdurrahman Basyaiban dalam membabat kawasan timur pulau Jawa menjadi daerah yang sarat dengan nilai-nilai religius sudah tidak disangsikan lagi. Hasil jerih payahnya masih dapat kita saksikan sampai sekarang.Makam Mbah Sayyid Sulaiman sering kali dikunjungi para peziarah dengan berbagai kepentingan, salah satunya ingin segera mendapatkan jodoh.Entah benar atau tidak, namun masyarakat berbondong-bondong menyambanginya. Puncak kunjungan terjadi pada malam Jumat Legi. Makam Mbah Sayyid Sulaiman di Dusun Rejo Slamet, Desa Mancilan, Kecamatan Mojoagung, Jombang semakin ramai dipadati pengunjung.Mereka tidak hanya dari wilayah sekitar seperti Kediri, Blitar, Madiun, Trenggalek, Pasuruan hingga Banyuwangi, juga dari luar Jawa Timur seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat. Bahkan Sulawesi dan daerah-daerah lain.Apa yang membuat mereka tertarik? Masing-masing pengunjung punya keyakinan berbeda ketika berziarah ke makam tersebut. Ada yang mengaku pingin mendapat berkah sehingga cepat mendapat jodoh, pingin sukses usahanya, terlepas dari semua masalah yang dihadapi, dan masih banyak alasan lainnya.Kompleks makam yang luasnya sekitar dua hektare itu sebenarnya terletak persis di perbatasan antara Dusun Rejo Slamet dan Desa Betek. Tetapi karena sudah kadung kesohor makam tersebut terletak di Desa Betek, para pengunjung pun hingga saat ini menyebut makam Mbah Sayyid Sulaiman tersebut di Desa Betek.Padahal, makam tersebut ada di Dusun Rejo Slamet, tepatnya Desa Mancilan. Bahkan, ada cerita sebelum makam Mbah Sayyid ini dikenal banyak orang, Dusun Rejo Slamet bernama Dusun Kuburan.Sekitar pertengahan abad ke-16 M tersebutlah seorang pemuda gagah berdarab Arab di pinggir laut Jawa, Cirebon.Selama beberapa bulan, ia berlayar dari kampung halamannya di negara Yaman. Saat itu memang sedang gencar-gencarnya orang-orang Arab berimigrasi ke tanah Jawa. Dan salah satu dari mereka adalah Abdurrahman Ba Syaiban.Ba Syaiban adalah gelar warga habib keturunan Sayid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkemuka di Tarim, Hadhramaut yang terkenal alim dan sakti.Sayid Abu Bakar mendapat julukan Syaiban (yang beruban) karena ada kisah unik dibalik julukan itu.Suatu ketika, Sayid Abu Bakar yang saat itu masih tergolong muda menghilang. Sejak itu ia tidak muncul-muncul.Konon, ia uzlah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Baru, setelah tiga puluh tahun, Sayid Abu Bakar muncul di Tarim. Anehnya, ia tetap muda.Tapi yang lebih aneh lagi, rambutnya telah berubah putih keperakan, tak sehelai rambutnya yang berwarna hitam. Kepalanya seperti berambut salju. Sejak ituah orang-orang menjulukinya Syaiban (yang beruban). Sayid AburaAbdurrahman masih tergolong cicit dari Sayid Abu Bakar Ba Syaiban. Ia putra sulung Sayid Umar bin Muhammad bin Abu Bakar Ba Syaiban.Lahir pada abad ke-16 M di Tarim, Yaman bagian selatan sebuah perkampungan sejuk di Hadhramaut yang masyhur sebagai gudang para wali dan auliya’ Allah.Ketika dewasa ia merantau ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa. Sayid Abdurrahman memilih tempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat.Beberapa waktu kemudian ia mempersunting putri Maulana Sultan Hasanuddin, Demak. Putri bangsawan itu juga masih keturunan Rasulullah.Ia bernama Syarifah Khadijah dan masih cucu Raden Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati.Dari pasangan ini lahir tiga putra, yakni Sayid Sulaiman, Sayid Abdurrahim dan Sayid Abdul Karim. Mewarisi keturunan leluhurnya dalam berdakwah, keluarga ini berjuang keras menyebarkan Islam di Jawa, tak jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati di Cirebon.Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah membuat penjajah Belanda khawatir. Maka ketika menginjak dewasa Sayid Sulaiman dibuang oleh mereka.Ia kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan Jawa Tengah. Di Pekalongan, ia menikah dan mempunyai beberapa orang putra. Empat diantaranya laki-laki yakni Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir dan Ali Akbar.Dari Pekalongan, Sayid Sulaiman berkelana lagi. Kali ini, ia menuju Solo sebagai tempat tujuan berdakwah. Selama di Solo, ia terkenal sakti mandraguna. Kesaktiannya yang sudah masyhur itu mengundang rasa iri seorang ratu dari Mataram. Sang ratu ingin membuktikan kesaktian Sayid Sulaiman.Maka diundanglah ke keraton Mataram yang saat itu sedang berlangsung pernikahan putrid bungsu sang Ratu. Untuk memeriahkan pesta pernikahan putri bungsunya itu, Ratu meminta Sayid memperagakan pertunjukan yang tak pernah diperagakan oleh siapa pun.Mendengar permintaan sang Ratu, sayid meminta pada Ratu untuk meletakkan bamboo di atas meja, sembari berpesan untuk ditunggu, Sayid Sulaiman lalu pergi kea rah timur.Masyarakat sekitar kraton menunggu kedatangan Sayid sedemikian lama, namun Sayid belum juga dating. Ratu Mataram hilang kesabaran.Ia marah, lalu membanting bambu di atas meja hingga hancur berkeping-keping. Ajaib, kepingan bamboo-bambu itu menjelma menjadi hewan bermacam-macam. Ratu Mataram tersentak kaget melihat keajaiban ini, barulah ia mengakui kesaktian Sayid Sulaiman.Ratu Mataram kemudian menitahkan beberapa prajuritnya untuk mencari Sayid Sulaiman. Sedang hewan-hewan jelmaan bamboo itu terus dipelihara. Hewan-hewan itu ditampung dalam sebuah kebun binatang yang kemudian diberi nama Sriwedari.Artinya, Sri adalah tempat, sedangkan Wedari adalah wedar sabdane Sayid Sulaiman. Kebun binatang itu tetap terpelihara.Tak lama berselang, Sriwedari menjadi sebuah taman dan objek wisata terkenal peninggalan Mataram.Setelah meninggalkan Solo, Sayid Sulaiman menuju ke timur tepatnya, Ampel Surabaya. Ia kemudian berguru kepada santri-santri Raden Rahmat, Sunan Ampel. Kabar keberadaan Sayid Sulaiman akhirnya sampai ke telinga Ratu Mataram.Ia mengirim utusan ke Surabaya untuk memanggilnya. Diantara utusan itu ternyata ada Sayid Abdurrahim, adik kandungnya sendiri.Sesampainya di Ampel, ia sangat terharu bertemu kembali dengan kakaknya tercinta. Dan akhirnya ia memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram. Ia juga ingin belajar kepada santri-santri Sunan Ampel bersama Sayid Sulaiman.Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke Pasuruan untuk nyantri kepada Mbah Sholeh Semendi di Segoropuro. Lepas dari itu mereka mondok di Mbah Soleh, Sayid Sulaiman tinggal di Kanigoro, Pasuruan.Sehingga ia mendapat julukan Pangeran Kanigoro dan sempat pula menjadi penasehat Untung Surapati. Untung Surapati adalah tokoh terkemuka Pasuruan dan tercatat sebagai pahlawan yang berjasa mengusir penjajah Belanda dari Nusantara.Berita kesaktian Sayid Sulaiman juga terdengar oleh Ratu Keraton Pasuruan. Ratu Pasuruan tidak percaya tentang kesaktiannya. Ia seringkali melecehkan kesaktian Mbah Sayid. Sampai suatu ketika Putri Keraton yang sedang berjalan-jalan keliling kota hilang. Sang ratu menjadi bersedih bermuram durja.Lalu diadakanlah sayembara, bagi yang menemukan sang putri, akan mendapat hadiah yang sangat besar. Tapi malang, sampai berhari-hari diadakan sayembara itu, tak satupun dari peserta yang berhasil menemukan sang putri.Akhirnya, sang ratu meminta bantuan Sayid Sulaiman, dan dengan mudah ia menemukan sang putri keraton. Begitu sampai di hadapan sang ratu, Sayid Sulaiman memasukan tangannya ke dalam saku. Tak berapa lama kemudian ia melemparkannya ke halaman.Luar biasa! Dengan izin Allah, sang putri muncul dengan kereta dan kusirnya di halaman Keraton. Konon, ia dibawa lari oleh jin ke alam gaib.Melihat putrinya kembali, ia menjadi gembira, dan meminta Sayid Sulaiman menikahi putrinya sebagai ucapan terima kasih atas jasanya itu.Namun, Sayid Sulaiman menolaknya, ia lebih memilih tinggal di Kanigoro dan tak berapa lama kemudian ia diambil menantu oleh Mbah Soleh Semendi. Sayid Sulaiman juga mempunyai istri dari Malang dan mempunyai seorang putra yang bernama Hazam.Setelah menikah dengan putri kedua Mbah Soleh, Sayid Sulaiman kembali ke Cirebon. Tapi suasana Cirebon dan banten saat itu sedang terjadi kericuhan besar, dimana Sultan Ageng Tirtayasa sedang berperang dengan putranya sendiri yakni Sultan Haji (1681-1683).Melihat pertikaian ini, Sayid Sulaiman kemudian kembali ke Pasuruan dan menetap di desa Gambir Kuning.Di Gambir Kuning ia mendirikan dua buah masjid dan sampai sekarang masjid itu masih ada dan mengalami sedikit perubahan pada lantai dan sebagian bangunan lainnya.Rupanya kekeramatan Sayid Sulaiman kembali di dengar oleh Ratu Mataram, kembali ia memanggilnya untuk bertemu.Ratu Mataram kemudian menurus salah satu Adipatinya untuk menemuinya dan mengajak Sayid Sulaiman untuk bertemu dengan sang ratu.Bersama tiga orang santrinya yakin, Mbah Jaelani (Tulangan, Sidoarjo), Ahmad Surahim (putra Untung Surapati), dan Sayid Hazam (putranya) mereka berangkat ke Solo. Ratu Mataram pada waktu itu berembuk untuk mengangkat Sayid Sulaiman sebagai hakim, namun ia menolak dengan alasan akan meminta pertimbangan dan restu dari istri dan masyarakat yang ada di Pasuruan.Tentu saja, mereka yang ada di Pasuruan tidak menyetujuinya. Sayid Sulaiman kemudian pamit kepada istrinya yang sedang hamil tua untuk pergi ke Solo. Namun di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Batek, Mojoagung Jombang, ia jatuh sakit. Selama masa sakit, ia dirawat oleh seorang kiai bernama Mbah Alif sampai beliau wafat dan kemudian wafat dan di makamkan di sana.Perjuangan Sayid Sulaiman dalam membabat kawasan timur pulau Jawa menjadi daerah yang sarat dengan nilai-nilai religius sudah tidak disangsikan lagi. Hasil jerih payahnya masih dapat kita saksikan sampai sekarang. Sayid Sulaiman berjasa mendirikan pesantren Sidogiri,s ebuah pesantren tertua di Jawa Timur dan menurunkan pewaris perjuangan, di mana anak keturunannya di kemudian hari banyak menjadi pemangku pesantren-pesantren besar di tanah Jawa, mulai dari pesantren Sidogiri (Pasuruan), Sidoresmo (Surabaya), Al Muhibbain (Surabaya) sampai Syaikhona Cholil (Bangkalan).Sayid Sulaiman dari istri pertamanya di Krapyak (Pekalongan), ia dikaruniai empat putra yakni Hasan, Abdul Wahab, Muhammad Baqir (Galuran, Sidoarjo) dan Ali Akbar. Dari galur Abdul Wahab banyak keturunannya yang tinggal di Magelang dan Pekalongan. Sedangkan dari jalur Muhammad Baqir berada di Krapyak (Pekalongan).Abdul Wahab dan Hasan (Pangeran Agung) dikenal sebagai pejuang yang gigih melawan penjajah Portugis dan Belanda. Melalui jalur Ali Akbar terlahir ulama-ulama pemangku pesantren di Jawa Timur seperti Sidogiri, Demangan (Bangkalan), dan Sidoresmo (Surabaya).Sayid Ali Akbar meninggalkan enam putra yakni Imam Ghazali (Tawunan, Surabaya), Sayid Ibrahim (Kota Pasuruan), Sayid Badrudin (makamnya di sebelah Tugu Pahlawan, Surabaya), Sayid Iskandar (Bungkul, Surabaya), Sayid Abdullah (Bangkalan, Madura), Sayid Ali Ashghar (Sidoresmo).Dari Sayid Abdullah inilah menurunkan para pemangku pesantren Sidogiri dan Demangan (Bangkalan) yang memiliki puluhan ribu santri. Keturunan dari Sayid Ali Ashghar di Surabaya banyak tinggal di Sidoresmo dan Sidosermo. Sekarang, di dua desa itu terdapat sekitar 28 pondok pesantren dan semuanya adalah anak keturunan dari Sayid Sulaimain. Sayid Ali Asghar juga menurunkan ulama-ulama pemangku pesantren di Tambak, Yosowilangon. Dari istri kedua, putri mbah Soleh Semendi Sayid Sulaiman menurunkan Sayid Ahmad (Lebak, Pasuruan). Dari istri ketiganya di Malang, ia mempunyai satu putra, Sayid Hazam.(***)KH. M. Munawwir KrapyakUlama Nusantara Ahli Qur’an MenduniaDalam agama Islam, sosok kiai merupakan posisi dan pemegang peranan yang kompleks dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Sebagaimana sudah tertanam dipikiran masyarakat bahwa kiai merupakan seorang panutan yang selalu dijadikan contoh oleh masyarakat dengan beragam kelebihan yang telah dimiliki. Al-Qur’an merupakan panutan bagi seorang muslim karena al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang menjadi sarana ibadah untuk orang muslim. Salah satu ulama yang ahli dalam Qira’at al-Qur’an adalah KH. M. Munawwir Krapyak sebagai pemegang sanad al-Qur’an yang sampai kepada Rasulullah Saw. Pendiri Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta.KH. M. Munawwir Krapyak adalah salah satu ulama Nusantara ahli qur’an mendunia abad ke 20 . Nama lengkapnya KH. M. Munawwir bin Kiai Abdullah Rasyad bin Kiai Hasan Bashari. Ia lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, dari pasangan Kiai Abdullah Rasyad dengan Nyai KhadijahKH M. Munawwir beristrikan empat orang, yaitu Ny. R.A. Mursyidah dari Kraton, Ny. Hj. Suistiyah dari Wates, Ny. Salimah dari Wonokromo, dan Ny. Rumiyah dari Jombang. Ketika istri pertamanya meninggal dunia, KH M. Munawwir menikahi Ny. Khodijah dari Kanggotan, Gondowulung.Berbicara masalah sanad al-Qur’an di bumi Nusantara, khususnya Pulau Jawa tidak dapat dipisahkan dengan Kyai Muhammad Munawir atau Kyai Munawir Krapyak. Cahaya al-Qur’an yang bersemanyam di dalam dirinya menjadikan daerah Krapyak menjadi semakin dikenal masyarakat luas. Thalabah yang ingin meneguk madu keilmuannya, tidak hanya dari Nusantara, melainkan merambah ke manca negara. Mereka dengan asyiqnya belajar qiraah Ashim riwayat Hafsh dari penjaga wahyu ini.Garis KeturunanKyai Munawir Krapyak merupakan keturunan dari darah biru. Ia terlahir dari keluarga yang hidup di sekitar lingkungan Kauman, Yogyakarta yang kental dengan nuansa religi dan dekat dengan Keraton Kesultanan Yogyakarta. Kakeknya, Kyai Hasan Besari merupakan salah seorang ajudan kepercayaan Pangeran Diponegoro di saat dikumandangkannya Perang Jawa. Kepada sang kakek, Pangeran Diponegoro pernah menulis, “Orang semuanya mesti tahu akan hal ini, laki-laki, perempuan, besar, kecil, tidak perlu disebutkan satu persatu, adapun orang yang saya suruh, namanya Kasan Basari (Hasan Bashari).”Sebagaimana yang disebutkan di atas bahwa Kyai Munawir Krapyak lahir di lingkungan Kauman yang penuh dengan kegiatan keagamaan dan kenegaraan. Kauman di zamannya, ada banyak kyai yang mempunyai peranan penting seperti Kyai Lurah Nor, Kyai Abu Bakar, Kyai Haji Lurah Hasyim, dan lain-lain, yang mana ulama-ulama ini disebut dengan Abdi Ndalem Putihan Agama Islam di Keraton Yogyakarta. Kelompok putihan inilah yang memainkan peranan agama di Kesultanan Yogyakarta.Keluarga Kyai Munawir Krapyak yang merupakan salah seorang yang ikut andil dalam perkembangan agama Islam di Kauman, Yogyakarta. Mereka selalu mengedepankan nilai-nilai ajaran Islam sebagai bekal untuk menapaki kehidupan di dunia dan akhirat. Sebagai langkah utama agar benteng tauhid menjadi kokoh, maka mereka dikenalkan kepada Allah dan RasulNya (melalui Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul) beserta sifat wajib, jaiz, dan muhallnya, serta ilmu-ilmu yang lainnya, khususnya al-Qur’an yang menjadi pegangan hidup umat Islam.Kyai Abdullah Rasyad sangat mendambakan agar keturunannya dapat membaca, menghafal, dan menguasai isi al-Qur’an. Saking semangatnya ingin mempunyai anak yang ahli dalam bidang al-Qur’an, ia dengan senang hati akan memberikan hadiah uang sebanyak 150-250 rupiah kepada Kyai Munawir Krapyak jika telah menghatamkan al-Qur’an dengan baik. Model motivasi yang seperti ini memang manjur digunakan untuk menggugah semangat anak-anak supaya tetap giat dalam belajar. Semua itu dapat terealisasi. Alangkah bahagianya Kyai Abdullah Rasyad.Di masa kecil Kyai Munawir Krapyak belajar ilmu agama kepada ayahnya dan ulama-ulama yang ada di sekitar kauman Yogyakarta.Karomah Munawwir Krapyak sudah kelihatan sejak kecil, Kiai Aqil Sirodj (Kempek – Cirebon) dikala masih berusia sekitar 8 tahun belum bisa mengucap dengan jelas bunyi “R”. Namun setelah minum air bekas cucian tangan beliau, langsung dapat membaca “R” dengan jelas.Kala mengajar, biasanya beliau sambil tiduran, bahkan kadang benar-benar tertidur. Namun bila ada santri yang keliru membaca, beliau langsung bangun dan mengingatkannya.Setelah dari Yogyakarta, Kyai Abdullah Rasyad menyuruhnya untuk belajar di Demangan Madura guna belajar kepada Syaikhona Khalil Bangkalan. Di Pesantren ini jaringan Kyai Munawir Krapyak semakin terbangun, ia berkenalan dengan santri-santri yang datang dari berbagai penjuru seperti Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Wahab Hasbullah, Kyai Dimyathi Termas, Kyai Ma’shum Ahmad, dan lain-lain.Selama mondok di Pesantren Demangan, gelagat Kyai Munawir Krapyak yang akan menjadi ulama berpengaruh dalam bidang al-Qur’an telah dicium oleh Syaikhona Khalil Bangkalan.[1] Hal ini sudah terbiasa sebagaimana yang terjadi kepada murid-muridnya yang lain seperti Kyai Ridwan Abdullah, Kyai Wahab Hasbullah, dan Kyai Ma’ruf Kedunglo. Dikisahkan bahwa Kyai Munawir Krapyak disuruh Syaikhona Khalil untuk menjadi imam salat padahal umurnya masih sekitar 10 tahun. Hal ini ditafsirkan sebagai bentuk pengakuan sang guru atas keilmuan Kyai Munawir Krapyak dalam bidang al-Qur’an atau qiraat.Kyai Munawir Krapyak merasa masih haus untuk mencari ilmu. Ia merasa tidak cukup dengan ilmu yang didapatkannya. Ia pun akhirnya mengembara untuk menambah keilmuannya dengan mengunjungi Pesantren Darat yang diasuh oleh Kyai Sholeh Darat Semarang yang dikenal sebagai guru sufi-nya tanah Jawa. Ia dijuluki dengan nama Imam Ghazali al-Shaghir. Selain kepada Kyai Sholeh Darat Semarang, ia juga pernah belajar kepada Kyai Abdullah Kanggotan Bantul, Kyai Abdurrahman Watu Congol, Magelang. Dengan banyaknya ulama yang ditimba ilmunya, ia berharap dapat menguasai berbagai disiplin ilmu agama seperti Tauhid, Fiqih, Hadist, Tafsir, Tasawuf, dan lain-lain.Supaya keilmuan Kyai Munawir Krapyak lebih matang dan rukun Islamnya menjadi sempurna, sang ayah memerintahkannya untuk melanjutkan belajar di Haramain sembari menunaikan ibadah haji (1888). Tahun keberangkatannya ini bertepatan dengan kepulangan Kyai Ahmad Dahlan dari menjalani dirasah di Haramain untuk yang pertama kalinya.Tradisi mengunjungi Haramain, baik untuk belajar atau menunaikan ibadah haji sudah biasa dilaksanakan oleh ulama Kauman sejak dijaring hubungan Kesultanan Mataram dengan Daulah Asyraf di Haramain. Hubungan bilateral ini sama-sama menguntungkan. Syarif Makkah dapat mengirimkan tokoh agama untuk menyebarkan agama Islam di Mataram, sedangkan Sultan Mataram dapat mengirim rakyatnya untuk belajar atau menunaikan ibadah haji. Di antara ulama Kauman yang belajar di Masjidil Haram adalah Syaikh Baqir al-Jukjawi, Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Hanad Noor, dan Kyai Maklum. Semuanya ini masih ada hubungan kerabat dengan Kyai Munawir Krapyak, sebab salah adik Kyai Munawir Krapyak telah dinikahi oleh Kyai Ahmad Dahlan. Sedangkan Syaikh Baqir al-Jukjawi, Kyai Hanad Noor, dan Kyai Maklum merupakan keponakan Kyai Ahmad Dahlan.Sewaktu awal di Tanah Suci, beliau mengirimkan surat kepada ayahnya, menyatakan niat untuk menghapalkan al-Quran. Namun ayah beliau belum memperkenankannya, sehingga berniat mengirimkan surat balasan. Namun, belum sempat mengirimkan surat balasan, sang Ayah sudah mendapat surat kedua dari putranya yang menyatakan bahwa ia sudah terlanjur hafal. Dihafalkannya dalam waktu 70 hari (keterangan lain menyatakan 40 hari).Tidak tanggung-tanggung Kyai Munawir Krapyak belajar di Haramain. Dirasahnya dijalani selama 21 tahun, waktu yang cukup lama. Dengan perincian, 16 tahun belajar di Makkah al-Mukarramah, dan 6 tahun nyantri di Madinah. Selama di Haramain, ia fokus dengan derasahnya terlebih dalam masal al-Qur’an, baik hafalan maupun qiraahnya. Ia belajar ke berbagai ulama yang menggelar halaqahnya di Haramain di antaranya adalah Syaikh Abdullah Syanqara, Syaikh Syarbini, Syaikh Muqri, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdusy Syakur, Syaikh Musthafa, Syaikh Mahfudz al-Termasi, dan Syaikh Yusuf Hajar.Karena kecintaan Kyai Munawir Krapyak terhadap al-Qur’an, maka ia ingin mendalami dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengannya, sehingga al-Qur’an yang dihafalkannya tidak hanya terasa di mulut, namun merasuk ke dalam hati, sehingga mempengaruhi ihwal kesehariannya. Agar niatnya ini mendapatkan sebuah keberkahan, maka ia pun terlebih dahulu mengirimkan surat kepada ayahnya untuk meminta restu dan izin. Surat dari haramain dilayangkan sebanyak dua kali. Surat pertama tidak mendapat balasan. Surat yang kedua, ia sudah terlanjur menghafalkan al-Qur’an sebanyak 30 juz. Mengetahui anaknya telah menekuni al-Qur’an, alangkan bahagianya Kyai Abdullah Rasyad yang mempunyai keinginan atas cita-cita tersebut sejak lama.Langkah-langkah yang dilakukan oleh Kyai Munawir Krapyak supaya al-Qur’an bersemayam di dalam dirinya adalah melalui tiga tahapan. Pertama, selama seminggu, ia menghatamkan al-Qur’an sekali. Kedua, selama tiga hari ia menghatamkan al-Qur’an sekali. Ketiga, selama tiga tahun, ia menghatamkan al-Qur’an setiap hari. Ketiga tahapan ini meskipun berat, namun dengan penuh kesabaran ia dapat melaluinya dengan baik. Bahkan dikisahkan, bahwa Kyai Munawir Krapyak membaca al-Qur’an selama 40 hari non stop, sehingga mulutnya mengeluarkan darah.Bahtera Rumah TanggaLamanya Kyai Munawir Krapyak berdirasah di Haramain tidak membuatnya lupa menunaikan sunnah rasul, pernikahan. Tercatat, ia pernah melakukan pernikahan sebanyak enam kali yang darinya dikaruniai 34 keturunan. Semuanya memberikan keturunan kecuali pernikahannya dengan Nyai Wuryan.Pernikahan yang pertama bersama dengan Nyai Mursyidah dari Kauman, Yogyakarta. Keduanya dikaruniai lima anak yaitu, Abdullah Siradj, Khadijah, Ummatullah, Abdullah Affandi, dan Abdul Qadir.Pernikahan yang kedua berlangsung dengan Nyai Khadijah (Nyai Sukistiyah) dari Wates, Kulon Progo Yogyakarta. Darinya, Kyai Munawir Krapyak dikarunia 11 keturunan, yaitu Muhammad, Bahrudin, Jazilah, Hasyimah, Zaini, Jamalah, Hani’ah, Zainal Abidin, Ahmad Warson, dan Fathimah.Pernikahan yang ketiga berlangsung dengan Nyai Salimah dari Wonokromo Bantul yang membuahkan sembilan keturunan, yaitu Hindun, Aminah, Zulaikha’, Badhi’ah, Washil, Ja’far, Dalhar, Jauharah, dan Hidayatullah,Bersama istri keempat, yakni Nyai Rumiyah dari Jombang Jawa Timur, Kyai Munawir Krapyak dianugerahi keturunan empat, yaitu, Juhannah, Zainab, Zainudin, da Badriyah.Untuk pernikahan Kyai Munawir Krapyak bersama dengan istri yang kelima, yaitu Nyai Khodijah dikaruniai lima keturunan, yaitu Juwariyah, Dzurriyah, Walidah, Ahmad, dan Zuhriyah.Pesantren KrapyakJika sudah menikmati indahnya dirasah di Haramain dan bagaimana pahala ibadah di dalamnya yang dilipatgandakan, maka thalibul ilmi merasa berat untuk meninggalnya. Ia ingin selalu hidup di samping Masjidil Haram, Makam Rasulullah SAW dan Masjid al-Nabawi. Namun, apa boleh buat? Panggilan dakwah menyebarkan Islam sebagaimana yang diperintah agama sangatlah penting meskipun hanya satu ayat, mengentaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Kyai Munawir Krapyak merasa terpanggil untuk kembali ke kampung halamannya guna menularkan apa yang sudah didapatkannya selama nyantri di Haramain seperti halnya temannya, Kyai Ahmad Dahlan.Kepulangan Kyai Munawir Krapyak ke kampung halamannya disambut antusias oleh keluarganya dan ulama keputihan yang ada di sekitar Kauman. Mereka mengharapkan semakin banyak generasi pemuda Kauman lulusan Haramain, maka akan menambah semakin ramainya kegiatan keagamaan yang diselenggarakan. Masjid Gede semakin ramai diisi pengajian, silih berganti kyai yang mengajar, menjadi imam, dan khatib di saat salat Jum’at ditunaikan.Pondok Pesantren Al Munawwir didirikan oleh KH. Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad pada tanggal 15 November 1911 M, sejak awal berdiri dan berkembangnya pondok pesantren ini semula bernama pondok pesantren Krapyak, karena memang terletak di dusun Krapyak. Dan pada tahun 1976-an nama pondok pesantren tersebut ditambah 'Al-Munawwir'.Penambahan nama ini bertujuan untuk mengenang pendirinya yaitu KH. M. Munawwir. Dan Al-Qur'anlah sebagai ciri khas pendidikan di pesantren ini di awal berdirinya. Pondok pesantren Al-Munawwir adalah salah satu lembaga pendidikan yang dalam khazanah ilmu dunia pesantren dikenal dengan istilah salaf yang hingga saat ini mampu bertahan dan bahkan terus berkembang dalam kiprahnya membangun bangsa dan negara Indonesia.Pondok pesantren Al-Munawwir adalah salah satu lembaga pendidikan yang dalam khazanah ilmu dunia pesantren dikenal dengan istilah salaf yang hingga saat ini mampu bertahan dan bahkan terus berkembang dalam kiprahnya membangun bangsa dan negara Indonesia. Kemudian pada perkembangan selanjutnya pondok pesantren Al-Munawwir tidak hanya mengkhususkan pendidikannya dalam bidang Al-Qur’an saja, melainkan merambat ke bidang ilmu yang lain, khususnya kitab-kitab kuning (kutubussalafu assholih) yang kemudian disusul dengan penerapan sistem madrasah (klasikal) yang melahirkan lembaga- lembaga pendidikan.Kyai Munawir Krapyak yang fokus dalam bidang al-Qur’an merasa kurang nyaman jika bertempat di Kauman sebab terlalu ramai, sehingga kurang kondusif apabila digunakan santri yang dalam proses tahfidz, sehingga terbesitlah dalam dirinya untuk mendirikan sebuah pesantren yang jauh dari keramain kota. Amanah mendirikan pesantren ini mulanya timbul dari sahabatnya, Kyai said saat masih menjalani dirasah di Haramain.Setelah melalui pertimbangan dengan matang, Kyai Munawir Krapyak memilih desa krapyak sebagai lokasi yang nantinya akan digunakan sebagai tempat tinggal dan media dakwahnya. Dibelilah sebidang tanah dekat Kandang Menjangan dari Bapak Jopanggung (disebut desa Krapyak) yang masih berupa hutan lebat, penuh dengan binatang buruan, terlebih rusa atau menjangan. Uang pembelian tanah tersebut hasil waqafan dari Haji Ali Graksan, Cirebon. Karena dibangun di atas tanah Krapyak, maka pesantren ini dikenal sebagai Pesantren Krapyak. Ia didirikan pada tahun 1909 M. Sebagian pendapat menyebutkan didirkan pada 1911.Setelah hijrah dari kauman menuju Krapyak, santri-santri yang dahulunya ngaji bersama dengan Kyai Munawir Krapyak ikut pindah bersama dirinya. Musalla di Kauman yang dahulunya digunakan untuk mengajar al-Qur’an diserahkan sepenuhnya kepada iparnya, Kyai Ahmad Dahlan yang kemudian hari menjadi milik Nasyiatul Aisyiah Yogyakarta.Maha Guru Para Qurra’ di NusantaraNama Kyai Munawir Krapyak semakin melejit dalam dunia al-Qur’an di Nusantara, khususnya Pulau Jawa. Kehadirannya semakin menambah cahaya (nawwara yunawwiru munawwaran) dan khazanah pesantren Nusantara. Disiplin al-Qur’an yang didalaminya bak nibras yang menerangi dan membuat orang ingin mendekatinya supaya mendapat sinar atau keberkahan. Santri-santri yang ingin ngalap berkah kepadanya semakin bertambah, mulai sekitar 60-an (1910-1920) hingga menjadi 150-an (1921-1923). Saat kembali ke rahmatullah, santri krapyak ada sekitar 200-an yang berasal dari Nusantara dan manca Negara.Kyai Munawir Krapyak fokus dalam menjaga wahyu ilahi, baik dengan dideres (dibaca berulang-ulang), diajarkan, atau diamalkan isinya dalam kehidupan sehari-hari. Ia hanya fokus mengurus al-Qur’an, tidak tergiur untuk mengurus dunia atau ikut dalam dunia pergerakan sebagaimana yang dilakoni oleh sebagian sahabatnya seperti Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Hasyim Asy’ari, dan Kyai Wahab Hasbullah. Keistiqamahannya dalam menjaga wahyu ini menjadi asset besar untuk pengembangan kajian al-Qur’an dalam masalah qiraah yang ada di Nusantara. Berduyun-duyun, santri mendatangi kediamannya untuk ikut serta meneguk madu keilmuan yang bersemayam di dalam dirinya. Murid-muridnya kebanyakan menjadi ulama besar yang meneruskan perjuangannya menjaga wahyu ilahi seperti halnya Kyai Muhammad Arwani Kudus, Kyai Abdul Hamid Hasbullah (adik Kyai Wahab Hasbullah), Kyai Yusuf Cirebon, Kyai Abdul Jamil Cirebon, Kyai Ma’shum Cirebon, Kyai Baidlowi Kendal, Kyai Umar Abdul Mannan Solo, Kyai Muntaha Wonosobo, Kyai Suhaimi Bumiayu, Kyai Hasbullah Yogyakarta, dan lain-lain.Santri-santri Kyai Munawir Krapyak yang meneruskan estafetnya dalam meneruskan perjuangan menjaga kalam ilahi dan meneruskan rantai-rantai sanad al-quran. Tercatat, bahwa sang maha guru al-Qur’an nusantara ini sanadnya menempati posisi yang ke-30 dari silsilah sanad al-Qur’an yang diwarisi secara turun temurun mulai dari nabi Muhammad saw hingga dirinya. Sebagian pendapat ada yang mengatakan bahwa sanad al-Qur’an yang didapat oleh Kyai munawir itu menempati posisi yang ke-28, namun setelah dilakukan kajian yang mendalam, ternyata sanad yang mengatakan menempati posisi 28, masih ada nama ulama yang belum disebutkan. Berikut adalah kutipan sanad tersebut :(30) Kyai Munawir Krapyak (w. 1360 H/1942 M) dari – (29) Syaikh Abdulkarim bin Umar al-Badri ad-Dimyathi, dari (28) Syaikh Isma’il Basytin, dari (27) Syaikh Ahmad ar-Rasyidi, dari (26) Syaikh Musthafa ibn Abdurrahman ibn Muhammad al-Azmiri (w. 1156 H/ 1743 M), dari (25) Syaikh ahmad Hijaziy, dari (24) Syaikh Ali bin Sulaiman ibn Abdullah al-Manshuriy (w. 1134 H/ 1722 M), dari (23) Syaikh Sulthan ibn Ahmad ibn Salamah ibn Ismail al-Muzaziy al-Mishri (w. 1075 H/1664 M), dari (22) Syaikh Abul Futuh Saifuddin bin ‘Athaillah al-wafai al-Fadhaliy (w. 1020 H/ 1611 M), dari (21) Syaikh syahadzah al-Yamani, dari (20) Syaikh Nasirudin Muhammad ibn Salim ibn Ali ath-Thablawiy (w. 966 H/1559 M), dari (19) Syaikh Zakariyya ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Zakaria al-Anshari al-Mishri (w. 926 H/1520 M), dari (18) Syaikh Shihabudin Ahmad ibn Asad ibn Abdul Wahid al-Umyuthi al-Syafi’i (w. 872 H/1467 M), dari (17) Syaikh Abul Khair Muhammad ibn Muhammad ibn Ali ibn Yusuf al-Jazariy al-Syafii (w. 833 H/ 1429 M), dari (16) Syaikh Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Abil Hasan ibn Sha’igh al-Hanafi (w. 776 h/ 1374 m) atau Syaikh Abu Muhammad Abdurrahman ibn Ahmad ibn Ali ibn Mubarak ibn al-Ma’ali al-Washithi al-Mishri al-Bagdadi (w. 781 H/1378 M), dari (15) Syaikh Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abdul Khaliq ibn Ali ibn Salim al-Mishri al-Syafi’i (w.725 H/ 1379 M), dari (14) Al-Imam Abi Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abdul KHALIQ ibn Ali ibn Salim ibn Musa al-Hasyimi al-Abbasi al-Mishri (w. 661 H/1262 M), dari (13) syaikh abu Muhammad al-Qasim ibn Firruh ibn Khalaf ibn Ahmad al-syathibi al-Ru’aini al-Andalusi (w. 590 H/1194 M), dari (12) Al-Imam Abi al-Hasan ali ibn Muhammad ibn Ali ibn Hudzail (w. 564 H/1168 M), dari (11) Ibnu Dawud Sulaiman ibn Najah ibn Abil Qasim al-Andalusi (w.496 H/ 1103 M), dari (10) Syaikh Abu Amr Ustman ibn Said ibn Ustman ibn Umar al-Dani (w. 444 H/ 1053 M), dari(9) Abi al-Hasan ath-Thahir ibn Abdul Mun’im ibn Abdullah Ghalbun (w. 399 H/ 1008 M), dari (8) Syaikh Abul Hasan Ali ibn Muhammad ibn Shaleh ibn Abi Dawud al-Hasyimi (w. 368 H/978 M), dari (7) Syaikh Abul Abbas Ahmad ibn Sahl ibn Fairuzani al-Asynani (w. 307 H/919 M), dari (6) Syaikh Abu Muhammad Ubaid ibn al-Shabbah ibn Suraih al-Kufi al-Baghdadi al-Nasyali (w. 235 H/849 M), dari (5) Abu Umar Hafsh ibn Sulaiman ibn Mughirah al-Asadi al-Bazzar al-Ghaziri al-Kufi (w. 180 h/ 796), dari (4)‘Ashim Ibn Bahdalah-Maula Bani Djudaimah ibn Malik ibn Nasyr ibn Qo’in ibn Asad (w. 128 H/ 745 M), dari (3) Abu Abdurrahman Abdullah ibn Habib ibn Rubai’ah al-Sulami al-Kufi (w.73 H/692 M), dari (2) Sadatina Utsman bin ‘Affan (w. 23 H/ 644 M), ‘Ubay bin Ka’ab (w. 30 H/ 650 M), Zaid bin Tsabit (w. 45 H/ 665 M), ‘Ali bin Abi Thalib (w. 74 H/693 M), Abdullah ibn Mas’ud (w. 32 H/ 652 M), dari (1) Rasulullah Muhammad Saw (w. 11 H/ 632 M).Di antara para muridnya itu adalah KH Arwani Amin Kudus, KH Badawi Kaliwungu Semarang, K. Zuhdi Nganjuk Kertosono, KH Umar Mangkuyudan Solo, KH Umar Kempek Cirebon, KH Nor/Munawwir Tegalarum Kertosono, KH Muntaha Kalibeber Wonosobo, KH Murtadlo Buntet Cirebon, KH M. Ma‘shum Gedongan Cirebon, KH Abu Amar Kroya, KH Suhaimi Benda Bumiayu, KH Syatibi Kiangkong Kutoarjo, KH Anshor Pepedang Bumiayu, KH Hasbullah Wonokromo Yogyakarta, dan KH Muhyiddin Jejeran Yogyakarta.KH M. Munawwir dikenal sebagai seorang yang istiqamah dalam beribadah. Salat wajib dan sunnah rutin dikerjakannya. Wirid Al-Qur'an selalu ia khatamkan sepekan sekali, biasanya setiap hari Kamis. Sifat muru'ah tercermin dari kerapiannya berpakaian. Ia terus-menerus mengenakan tutup kepala (kopiah atau serban), berpakaian sederhana, dan terkadang mengenakan pakaian dinas Kraton Yogyakarta saat menghadiri acara resmi kraton.KH M. Munawwir dikenal sebagai seorang yang istiqamah dalam beribadah. Salat wajib dan sunnah rutin dikerjakannya. Wirid Al-Qur'an selalu ia khatamkan sepekan sekali, biasanya setiap hari Kamis. Sifat muru'ah tercermin dari kerapiannya berpakaian. Ia terus-menerus mengenakan tutup kepala (kopiah atau serban), berpakaian sederhana, dan terkadang mengenakan pakaian dinas Kraton Yogyakarta saat menghadiri acara resmi kraton.Menurut KH. Munawir AF, alumnus Krapyak dan Mustasyar PWNU DIY, Mbah Munawwir adalah sosok yang penuh teladan. Sebagaimana umumnya ulama, para Kyai, Mbah Munawwir juga mempunyai wirid/riyadhah yang spesial dalam hal Al-Qur'an.“Selama 7 hari 7 malam, beliau mengkhatamkan Al-Qur'an 1 kali - selama 3 tahun. Setiap 3 hari 3 malam, mengkhatamkan Al-Qur'an 1 kali - selama 3 tahun. Setiap 1 hari 1 malam, mengkhatamkan Al-Qur'an 1 kali - selama 3 tahun. Selama 40 hari/malam membaca Al-Qur'an tanpa henti,” tegasnya.Kiai Munawir AF juga menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Mbah Munawwir tersebut merupakan teladan yang dilaksanakan para sahabat Nabi.“Sebagaimana para sahabat Rasulullah SAW dulu, mereka mengkhatamkan Al-Qur'an ada yang 5 hari sekali, tetapi yang banyak setiap 7 hari sekali, seperti: Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas'ud, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dll, termasuk Mbah Munawwir, beliau lakukannya sehingga wafat,” lanjutnya.“Suatu riyadhah yang tidak mungkin dilaksanakan kecuali hamilul Qur'an yang memiliki kemauan yg kuat, semangat yang tinggi seperti Mbah Munawwir atau yang setara dengannya. Berbahagialah santri Krapyak yang mempunyai Mbah Munawwir sebagai cermin keteladanan yang bermutu tinggi,” kenangnya.KH Munawwir adalah sosok yang memiliki perhatian besar terhadap keluarga dan para santrinya. Wejangan-wejangan yang ia sampaikan dalam pengajian secara apik diterapkan dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak membedakan tamu yang mendatanginya, semua ia sambut dengan baik.Setelah sekian lama dijajah Belanda, pada bulan Maret 1942, bangsa Jepang mengganti menjajah bumi Nusantara. Pendudukan Jepang ini tidak kalah pahitnya dengan Belanda, bahkan rakyat semakin menderita dengan romusa sebagai ganti atas cultuur stelsel atau rodi yang digencarkan oleh Belanda. Jepang sebagai pelindung bangsa Indonesia, hanya sebuah omong kosong belaka, sebab selain mengeruk alam, dan tenaga, mereka juga memaksa umat Islam untuk melakukan seikere yang dapat membahayakan tauhid umat Islam. Demi ketetapan iman, banyak ulama yang harus dipenjara seperti Kyai Hasyim Asy’ari dan Kyai Karim Amrullah. Di situasi yang genting, yang menimpa umat Islam seperti ini Kyai Munawir Krapyak mengajak santri-santrinya untuk membaca shalawat Nariyah sebanyak 4444 kali dan surat Yasin 41. Amaliah seperti ini mempunyai kekhasan dapat menolak balak atau bencana atas kehendak Allah.Bahkan, ia sesekali bersilaturahmi kepada keluarga santrinya, begitu pula kepada tetangganya. Di tengah-tengah cakaran kekuasaan Jepang atask bumi Nusantara, KH Munawwir sakit selama 16 hari sebelum meninggal dunia pada hari Jum'at , tanggal 11 Jumadil Akhir 1360 H (6 Juli 1942) di rumahnya, saat KH. M. Munawwir wafat ditunggui oleh salah seorang putrinya yang bernama Nyai Jamalah. KH. M. Munawwir dimakamkan di Dongkelan Kauman tepatnya di Tirtonirmolo, Kecamatan asihan Kabupaten Bantul, Yogyakarta.Riwayat regenarasi pengasuh Pondok Pesantren Krapyak selepax KH. M. Munawwir adalsh.KH. R. Abdullah Affandi,KH. R. Abdul Qadir (tahun 1941-1968 M), KH. Ali Maksum (tahun 1941-1989 M), KH. Zainal Abidin Munawwir(tahun 1989-2014 M)., KH. Ahmad Warson Munawwir (tahun 1989-2013 dan saat ini diasuh oleh KH. Ahmad Shidqi Masyhuri S.Psi., M.Eng(***) Aji Setiawan Daftar Pustaka :Al-Harari, Syaikh Muhammad Amin bin Abdullah. Majma’u al-Asanid wa Madfaru al-Maqashidu min Asanidi Kulli al-Fununi. Maktabah al-Asadi. Makkah al-Mukarramah. Tanpa Tahun.Mastuki HS dan M. Ishom El-Seha (ed). Intelektualisme Pesantren; Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren. Seri 1-3. DIVA Pustaka. Jakarta. 2006.Nisa, Khalimatu & Fahma Amiratulhaq. Jejak Sang Pioneer Kamus al-Munawir KH. A. Warson Munawir. Yogyakarta : Pustaka Komplek Q. 2015.Budi, Biografi KH Munawwir Krapyak, ladunni, 11 Januari 2021Solahudin, M. Ulama Penjaga Wahyu. Kediri. Nous Pustaka Utama. 2013.Kiai Bisri SyansyuriTeguh Berfiqh Tegas BersikapKiai Haji Bishri Syansuri (18 September 1886 – 25 April 1980) seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Ia adalah pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang dan terkenal atas penguasaannya di bidang fikih agama Islam. Bisri Syansuri juga pernah aktif berpolitik, antara lain sempat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante, ketua Majelis Syuro Partai Persatuan Pembangunan dan sebagai Rais Aam NU. Ia adalah kakek dari Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia keempat.. Bisri Syansuri lahir dari pasangan Syansuri dan Mariah, pada tanggal 18 September 1886 (2 Dhulhijjah 1304 H). Anak pertama dari pasangan ini bernama Mas’ud, yang kedua adalah anak perempuan bernama Sumiyati. Bisri adalah anak ketiga dan setelah itu masih ada dua anak lagi yaitu Muhdi dan Syafa’atun. Mereka semuanya lahir di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah. Keluarga ini sangat kuat dalam menjalankan ibadah, dari garis silsilah ibunya, Bisri merupakan keluarga besar Kiai Kholil Kasingan Rembang dan Kiai Baidlowi Lasem[1].Masyarakat Tayu pada umumnya memiliki tingkat kehidupan yang rendah apabila di bandingkan dengan derah lainya di pulau Jawa. Tanah pertanian yang tidak subur dan laut yang tidak meghasilkan ikan, menjadikan masyarakatnya bersikap pasrah dan mempercayai segala macam takhayul. Pada kondisi yang seperti itu, banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di pesantren. Pesantren merupakan pusat pendalaman ilmu dan pesantren juga memiliki peran yang vital sebagai penyedia calon ulama bagi daerah pedalaman Jawa. Ulama yang dihasilkan dari pesantren tidak pernah putus hingga saat ini. Bisri, anak ketiga dari Syansuri dan Maniah nantinya juga ditakdirkan akan menjadi bagian dari proses pengembangan ajaran Islam di pedalaman Jawa.Bisri mulai belajar Al-Qur’an pada usia tujuh tahun dengan belajar membaca dan aturan bacaan (tajwid) pada Kiai Shaleh di Desa Tayu. Pelajaran tersebut ditempuh Bisri hingga usia Sembilan tahun, kemudian beliau melanjutkan belajarnya kepada keluarga dekatnya yang menjadi ulama terkenal dan memiliki pesantren di Desa Kajen sekitar 8 km dari Tayu. Gurunya adalah Kiai Abdul Salam yang hafal Al-Qur’an dan terkenal dengan penguasaannya yang mendalam tentang ilmu fiqih. Melalui ulama ini pula, Bisri mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab, fiqih, tafsir, serta kumpulan hadits. Kiai Abdul Salam dalam mendidik Bisri sangat ketat. Sikap Kiai Salam yang fiqih oriented inilah yang kemudian mempengaruhi pola pikir dan karakter Bisri di kemudian hari[2].Hidup KH. Bisri Syansuri menegaskan jika dia meneruskan perjuangan Syekh Mutamakkin. Masa hidupnya hampir bersamaan dengan Syekh Abdurrahman Ba syaiban atau Pangeran Sambu yang makamnya di belakang Masjid Lasem Rembang. Keduanya me miliki kedekatan kekerabatan yang bertemu pada Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya/Jaka Tingkir. Ke duanya berjuang bersama melanjutkan perjuangan Jaka Tingkir yang telah menjauhi kehidupan keraton untuk berkiprah di masyarakat. Dari jalur Pangeran Sambu inilah dikemudian hari muncul ulama-ulama besar terutama di Lasem, seperti Mbah Ma shum, Mbah Baedlowie, Mbah Zubair, Mbah Abdul Aziz, Kiai Umar Harun dan lain sebagainya. Karenanya, tak heran jika pada era berikutnya, para penerus Syekh Mutamakkin dan Syekh Abdurrahman Sambu saling bersilaturahmi dan bersinergi. Dan, Bisri adalah titik temu dari kedua jalur syekh tersebut, sehingga hubungannya dengan Kiai Hasyim Asy ari cukup dekat dan mem beri perhatian khusus kepada Bisri Syansuri, bahkan akhirnya memperat hubungannya dengan menikah kan putra-putri mereka. Dalam Arsip Nasional III-6 disebutkan, tepat nya pada tahun 1898,Bisri menuju ke Kajen, bersama putra Kiai Amin, yaitu KH. Sholeh Amin (pendiri NU). Di Kajen, Bisri berguru kepada Kiai Siroj dan Kiai Abdus Salam. Kiai Siroj bin Ishaq (w.1926 M), pendiri Pon dok Wetan Banon (sekarang bernama Salafiyah) di Kajen Pati. Kiai Siraj, murid Kiai Ismail Kajen dan Kiai Abdullah. Kiai Abdullah merupakan salah seorang kiai yang cukup berpengaruh di zamannya, sebuah titik balik generasi penerus leluhurnya, Syekh Mutamakkin.Sedangkan KH. Abdus Salam (w. 1944) adalah salah satu putra Kiai Abdullah, pendiri Pondok Pesantren Mathaliul Falah kajen. Sebenarnya, KH. Abdus Salam masih paman Bisri dari jalur ibu. Putra-putra KH Abdus Salam cukup dekat dengan Bisri Syansuri, seperti KH. Mahfudh (ayah KHM. Sahal Mahfudh, Rois Aam PBNU) dan KH. Abdullah Salam. KH. Abdus Salam ini juga cukup dekat dengan Kiai Hasyim Asy ari. Pernah dalam suatu kesempatan Kiai Hasyim Asy ari berkesempatan silaturahmi di kediaman beliau. Aku pengen ketemu Kiai Salam, kata Kiai Ha syim Asy ari.Salah satu saudara Kiai Abdus Salam, Kiai Nawawi pun mengantarkan. Sampai di ke diaman Kiai Salam, didapati tuan rumah sedang mengajar anak-anak kecil mengaji. Kiai Hasyim serta-merta menahan langkah, menyembunyikan di ri dari pandangan Kiai Salam, dan menunggu. Setelah semua anak-anak kecil itu selesai mengaji, barulah Kiai Hasyim mengucap salam, yang lantas disambut dengan suka-cita luar biasa. Setelah bercengkrama dan meninggalkan ke diaman Kiai Salam, Kiai Hasyim kelihatan ngungun. Air matanya mengambang. Yahya Staquf menceri takan ulang dalam bentuk percakapan seperti ini:Ada apa, Yai? Kiai Nawawi keheranan. Kiai Hasyim mengendalikan tangisnya, meng hela napas dalam-dalam. Aku punya cita-cita sudah sejak sangat lama tapi hingga sekarang belum mampu ku laksanakan Kiai Salam malah sudah istiqomah Aku iri Cita-cita apa, Yai? Ta liim as shibyaan (Mengajar anak-anak kecil).Kiai Abdul Salam yang hafal al Quran dan terkenal dengan penguasaannya yang mendalam atas fiqh itulah yang nampaknya telah mematri minat Bisri dalam berkiprah. Di bawah ulama ini Bisri mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab, fiqh dan tafsir al Quran (seringkali disingkat 'tafsir' saja) serta kumpulan hadits Nabi yang berukuran kecil dan sedang. Kiai Abdul Salam menerapkan pola kehi dupan beragama yang sangat keras aturan-aturannya dan berjalur tunggal moralitas/akhlaqnya.Tidak heranlah jika di kemudian hari sifat berpegang pada aturan agama secara tuntas menjadi salah satu tanda pengenal kepribadian Bisri yang khas, yang menurut Gus Dur yaitu Pecinta Fiqh Sepanjang hayat. Gemblengan yang diterimanya dari Kiai Abdul Salam di usia menginjak masa remaja ternyata sangat membekas, dan sangat menentukan corak kepribadian yang berkembang dalam dirinya di kemudian hari, demikian tulis Gus Dur. Di bawah asuhan Kiai Salam ini, Bisri mempelajari ilmu fiqh dan ilmu-ilmu aqidah, berhubungan dengan doktrin, keyakinan keagamaan dan perilaku. Bisri nampaknya berprinsip sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, sehingga selama di Kajen, sekaligus berguru kepada kiai Abdus Salam, Kiai Siroj dan tidak menutup kemungkinan dengan kiaikiai lainnya di Kajen. Guru-guru Bisri selama menuntut ilmu di Kajen dimakamkan di komplek pemakaman Syekh MutamakkinKiai Bisri juga memperdalam lagi dengan belajar kepada , KH Fathurrahman bin Ghazali di Sarang Rembang, Kiai Syua'ib Sarang (Rembang) dan Kiai Khalil Kasingan (Rembang).Pada usia 15 tahun, Bisri berpindah lokasi belajar. Beliau menuju pesantren di Demangan, Bangkalan Madura di bawah asuhan KH. Kholil, seorang ulama besar yang menjadi guru dari hampir semua kiai yang terpandang di Jawa pada saat itu. Bisri mulai mempelajari ilmu nahwu dan shorof sebagai pendukung ilmu Al-Qur’annya. Saat berguru pada Kiai Kholil inilah, beliau bertemu dengan Abdul Wahab Hasbullah, seorang santri yang menjadi sahabat dan rekan perjuangannya.Pada waktu itu tradisi santri berkeliling untuk menuntut ilmu masih sangat kuat terjadi di beberapa pesantren. Begitu pula yang dilakukan oleh Bisri dan Wahab Hasbullah. Pada tahun 1906 keduanya memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tebuireng Jombang, asuhan KH. Hasyim Asyari. Bisri belajar di Pesantren Tebuireng selama 6 tahun. Bisri dan Wahab sangat mengagumi reputasi pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng yakni KH. Hasyim Asy’ari, karena kedalaman ilmu-ilmu agamanya sehingga membuat beliau mendapat gelar maha guru atau Hadratussyaikh[3].Selama di Tebuireng, Bisri mendapat ijazah ajar dari gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama, seperti kitab fiqih Al Zubad (yang kemudian menjadi kegemarannya), hingga ke kitab hadis yang menjadi spesialisasi KH. Hasyim Asyar’i yaitu hadits Bukhari, dan Muslim. Ketika itu sudah terlihat corak keilmuan Bisri yang akan membuatnya terkenal di kemudian hari.Pendalaman pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqih sangat beliau kuasai. Bisri menyelesaikan pendidikannya di Tebuireng pada tahun 1911-1914, kemudian berangkat ke Mekkah bersama Abdul Wahab Hasbullah. Keduanya kemudian belajar pada sejumlah ulama terkemuka di Tanah Suci, semisal Syaikh Muhammad Baqir al Jogjawi, Syaikh Muhammad Sa’d Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, dan Syaikh Jamal Maliki. Juga belajar kepada gurunya Kiai Hasyim Asy’ari seperti Kiai Ahmad Khatib Padang, Syu’aib Daghistani dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika Kiai Bisri berada di Mekkah selama dua sampai tiga tahun, di sana awal mula pembentukan sebuah cabang Sarekat Islam di tanah suci. Pendirinya antara lain, KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Asnawi Kudus, KH. Abbas Jember, dan KH. Dahlan Kertosono. Kiai Bisri tidak melibatkan diri dalam organisasi tersebut, namun hal ini kemudian mengubah pola pikirnya bahwa perlunya mengorganisir dalam melakukan perjuangan keagamaan di luar jaringan pesantren. Selain itu Kiai Bisri tidak ikut terlibat secara intens dalam organisasi Sarekat Islam karena menunggu perkenaan dari guru yang sangat dihormatinya, Kiai Hasyim Asy’ari, hanya saja, sebelum mendapat izin dari gurunya, beliau harus kembali ke Tanah Air[5]. Sebelum kembali ke tanah air, Kiai Bisri menikah dengan Nur Khadijah, adik perempuan sahabat karibnya, KH. A. Wahab Hasbullah. Pernikahan ini terjadi pada tahun 1914, dan pada saat itu pula Kiai Bisri memutuskan untuk kembali ke tanah air.Di kemudian hari, anak perempuan Bisri Syansuri (Nyai Solihah) menikah dengan KH Wahid Hasyim dan menurunkan KH Abdurrahman Wahid dan Ir.H. Solahuddin Wahid.Sepulangnya dari tanah suci Kiai Bisri menetap di pesantren mertuanya, Tambak Beras Jombang. Bisri tinggal selama dua tahun, untuk membantu mertuanya di bidang pendidikan dan pertanian.Pada tahun 1917 Kiai Bisri berencana untuk mendirikan sebuah pesantren di Desa Denanyar Jombang. Denanyar merupakan sebuah desa yang terletak di garis perbatasan antara Kota Jombang dengan daerah pedalaman sebelah barat laut. Dengan letak yang strategis, didukung adanya pabrik gula yang praktis, namun ternyata Desa Denanyar rawan dengan berbagai tindak kejahatan, seperti perampokan, pencurian, dan pembunuhan. Kiai Bisri tidak gentar melihat berbagai kejahatan di desa tersebut, beliau tetep yakin dengan niat awalnya untuk mendirikan pesantren dan mertuanya Kiai Hasbullah sangat mendukung langkahnya untk mendirikan pesantran.Hingga pada akhirnya Kiai Bisri berhasil mendirikan pesantren sendiri di Denanyar. Hanya saja sebagaimana kebiasaaan saat itu, Kiai Bisri menerima santri putra saja dan tidak menerima santri perempuan. Pada era tersebut masyarakat masih memandang remeh pendidikan bagi anak perempuan, ditambah lagi tidak ada sekolah ataupun pesantren yang menerima perempuan.Perempuan pada zaman tersebut hanya disuruh diam saja di rumah untuk membantu memasak dan setelah itu disuruh menikah walaupun umur mereka masih terbilang dini untuk menikah. Akses pendidikan juga sangat terbatas, hanya anak-anak priyayi yang bisa bersekolah. Kiai Bisri kemudian bertekad untuk memajukan pendidikan Islam yang kemudian bersama istrinya melakukan sebuah inovasi dengan membuka kelas khusus untuk santri-santri putri.Langkah inovatif ini dimulai pada tahun 1919 dengan memberikan pendidikan yang sistematis kepada santri putri. Dalam tradisi pesantren, pondok pesantren putri Denanyar dipandang sebagai satu-satunya yang ada pada masa itu atau setidaknya di wilayah Jawa Timur. Tidak heran apabila kemudian Kiai Bisri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kiai Bisri lah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri perempuan di pesantren yang didirikannya.Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kiai Bisri termasuk kategori aneh. Guru yang sangat dihormatinya, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kiai Bisri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang dicintainya.Pesantren Kiai Bisri di Desa Deanyar tersebut kemudian dinamai dengan pesantren Mamba’ul Ma’arif. Pada tahun 1923, Kiai Bisri mendirikan Madrasah Salafiyah yang pelajarannya khusus pada pelajaran agama. Lama pelajarannya 6 tahun dengan menyandang nama resmi Madrasah Mabadi’ul Huda.Selain bergerak di dunia pesantren, Kiai Bisri juga sisi pergerakan, ia bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem, dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Ia adalah peserta aktif dalam musyawarah hukum agama, yang sering berlangsung di antara lingkungan para kiai pesantren, sehingga pada akhirnya terbentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintisnya di berbagai tempat.Pada masa penjajahan Jepang, Bisri Syansuri ini terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.Pada masa kemerdekaan ia pun terlibat dalam lembaga pemerintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masyumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis).Pesantren, tidak pernah ditinggalkan, sekalipun sudah menjadi pejabat. Terbukti antusiasme masyarakat terbilang tinggi. Ini dibuktikan dengan berdirinya madrasah untuk santri putra dan putri ini terisi penuh empat kelas. Inovasi terus dilakukan oleh Kiai Bisri dengan cara mengubah bentuk madrasah salafiyah menjadi madrasah modern. Perubahan radikal ini dilakukan kurang lebih pada awal tahun 1950-an, setelah bangsa Indonesia benar-benar berdaulat.Di tengah-tengah proses reformasi pendidikan pesantren ini, istri Kiai Bisri, Hj. Nur Khadijah meninggal dunia pada tahun 1955. Wafatnya istri yang setia mendampingi Kiai Bisri dalam melakukan reformasi di bidang Pendidikan Islam ini tentu banyak mempengaruhi pemikiran Kiai Bisri. Hanya saja, Kiai Bisri tidak mau larut dalam kesedihan. Pada tahun 1956, atas prakarsa Kiai Bisri, dibukalah Madrasah Tsanawiyah yang setara dengan SLTP. Dua tahun berikutnya, tepatnya tahun 1958, Madrasah Tsanawiyah putri dibuka. Modernisasi terus dijalankan secara konsisten. Tepat pada tahun 1962, didirikanlah Madrasah Aliyah yang kemudian juga berjalan dengan stabil. Pada tahun itu juga status organisasi dikukuhkan dengan membentuk Yayasan Mamba’ul Ma’arif (YAMAM)[6].Kiai Bisri tidak pernah berkeinginan mengubah Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif menjadi lembaga pendidikan modern, namun dalam perkembangannya Kiai Bisri menghendaki adanya kurikulum Salaf dan Kholaf dalam Pondok Pesantren. Mengenai hal kurikulum pengajaran di Lembaga Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif terdapat perpaduan kurikulum salaf dan kholaf yang sejatinya tidak dapat diprosentasikan secara pasti, dikarenakan adanya lembaga pendidikan baru yang bersifat formal ini menopang pendidikan salaf pondok pesantren, namun dapat diperkirakan sekitar 70% pendidikan salaf dan 30% pendidikan kholaf (departemen agama).Dari lembaga pendidikan ini lahir beberapa tokoh besar seperti PROF. KH. Abd. A’la Basyir, DR. DRA. Hj Sinta Nuriah Wahid ., M.Hum, KH. Arori Ahmad (PP MAMBA’UL MA’ARIF Denanyar,Jombang) dll.Ia juga menjadi anggota Dewan Konstituante tahun 1956, hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Setelah wafatnya KH Abdul Wahab Chasbullah, tahun 1972 ia diangkat sebagai Rais Aam (ketua) Syuriah (pimpinan tertinggi) Nahdlatul Ulama.[butuh rujukan] Ketika NU bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan, ia pernah menjadi ketua Majelis Syuro partai ini. Ia terpilih menjadi anggota DPR sampai tahun 1980.Pemikiran Kiai Bisri tercatat sebagai penggagas terobosan-terobosan yang sangat maju pada masanya dalam aspek fiqih. Contohnya dalam hal RUU Perkawinan, dan Keluarga Berencana. Salah satu prestasi yang paling mengesankan yaitu ketika Kiai Bisri Syansuri berhasil mendesakkan disahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan Undang-Undang Perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Kiai Bisri memiliki pola pikir fiqih minded, ternyata mampu memberikan pengaruh signifikan pada setiap gagasan yang beliau lahirkan. Modernisasi pendidikan Islam agar tetap berkembang sesuai kemajuan zaman terus dilakukan oleh Kiai Bisri. Maka atas dasar itu pendirian pesantren putri yang pertamaka kali di Jawa dipelopori oleh Kiai Bisri, kelak di kemudian hari diikuti oleh banyak kiai lainnya. Sehingga pendidikan tidak diskriminatif dengan mengutamakan laki-laki saja.KH. M. Bisri Syansuri dikatakan sebagai “Kiai Plus“. Dalam diri KH. Bisri Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi. Kiai Bisri berupaya membekali para santrinya dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan kinestetikal (keterampilan). Santri yang tidak mempunyai keterampilan hidup, maka akan menghadapi berbagai problematika yang akan mempersempit perjalanan hidupnya.Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan Kiai Bisri adalah untuk memenuhi kebutuhan duniawi dan ukhrowi, moralitas dan ahlak, dengan titik tekan pada kemampuan kognisi (iman), afeksi (ilmu) dan psikomotor (amal, akhlak yang mulia).Kiai Bisri Syansuri selain menjadi pengasuh pesantren juga berperan aktif dalam mendirikan Organisasi Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Beliau duduk sebagai A’wan (anggota) Syuriah dalam susunan PBNU pertama kali. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Kiai Bisri bergabung ke dalam barisan Sabilillah dan menjabat sebagai Kepala Staf Markas Besar Oelama Djawa Timoer (MBO-DT) yang kantornya di belakang pabrik paku Waru, Sidoarjo.Di saat maju bertempur di Surabaya, Kia Bisri ditemani santrinya yakni Salamun dan Ahmadun (adik) sesuai perintah gurunya KH Bisri Syansuri harus "gantian" kalau ikut bertempur di Surabaya dari markas Kiai Bisri ini.Dan KH Bisri Syansuri jugalah yang mengatur semua logistik makanan untuk para pejuang..makanan para pejuang itu tiwul dan gatot (terbuat dari ubi kayu) yang dibungkus daun pisang.Setelah peristiwa Surabaya, tepatnya pada 1947 atau di saat Agresi II Belanda, bapak saya dapat tugas lagi dari KH Bisri Syansuri untuk menyembunyikan dan menemani KH Wahid Hasyim (menantu beliau) di rumah Bapak di Desa Turipinggir Megaluh.Sekitar empat bulan lamanya KH Wahid Hasyim berada di Turipinggir bersama Bapak, Paklek Ahmadun, Pakde Munandar dan juga penjagaan barisan Lasykar Hizbullah lain.Di Turipinggir pada setiap malam Jumat, KH Bisri Syansuri sang mertua selalu saja mengirimkan hidangan matang kepala kambing untuk sang menantu yg diantar dua orang santri yang berjalan kaki 8 km, jarak Denanyar-Turipinggir. Dan itu ternyata makanan kegemaran KH Wahid Hasyim "ayah Gus Dur" ini.Kiai Bisri juga menjadi anggota BP KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) mewakili Masyumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis). Tetapi keterlibatan tersebut dilanjutkan dalam keanggotaan Dewan Konstituante tahun 1956, hingga kemudian Kiai Bisri memilih untuk menghendaki keluarnya Nahdlatul Ulama dari keanggotaan partai Masyumi.Kemudian setelah Nahdlatul Ulama keluar dari Masyumi yang menjadi partai politik tersendiri dengan kemampuan menyuguhkan kekuatan besar dalam pemilihan umum tahun 1955. Terakhir keterlibatannya yang semakin besar dalam urusan pemerintahan di negeri ini, tugas yang dipikul Kiai Bisri menjadi tidak semakin ringan dan waktu yang dapat disediakannya langsung untuk mendidik santri di pesantrennya juga semakin mengecil.Sifat dari kekuasaan Syuriah (Dewan Agama) yang begitu besar dalam lingkup pengambilan keputusan di lingkungan Nahdlatul Ulama, yang bahkan dapat membatalkan keputusan yang diambil oleh pihak Tanfidziah (Dewan Pelaksana), dengan sendirinya membuat lebih penting lagi keterlibatan Kiai Bisri dalam proses pengambilan keputusan politik. Setelah wafatnya Kiai Hasyim Asy’ari, kedudukan Ra’is Akbar dihapuskan dan digantikan kedudukan Rais Am sejak 1947, dengan Rais Am pertama Kiai Abdul Wahab dan Kiai Bisri sebagai wakilnya.Untuk memasuki era Demokrasi terpimpin bukan perkara mudah bagi para pemimpin NU. Walaupun organisasi para ulama tersebut setuju dengan Manifesto politik dan kembali ke UUD 1945, tetapi ketika hendak masuk Kabinet dan DPR-Gotong Royong menjadi masalah karena pada waktu itu ada dua aliran. Kiai Wahab menghendaki NU masuk dalam sistem tersebut, sementara Kiai Bisri Syansuri menentangnya. Dengan argumen yang kuat akhirnya pendapat Kiai Wahab yang diterima secara resmi, sehingga NU masuk ke dalam sistem Demokrasi Terpimpin.Pasca peristiwa G30 S/PKI tahun 1965, Kiai Bisri harus meninggalkan Jombang untuk turut dalam pengambilan keputusan di lingkungan NU mengenai masalah-masalah nasional. Kiai Bisri pun diangkat sebagai Rais Am. Ketika NU bergabung ke PPP (partai persatuan pembangunan), Kiai Bisri juga menjadi ketua Majelis Syuro partai ini. Pendirian prinsipil NU dalam sejumlah perbenturan dengan pemerintah selama tahun 1970-an biasanya dikaitkan dengan kepemimpinan KH. Bisri Syansuri. Sikap rendah hati dan tidak gila jabatan tampak saat mengikuti dinamika perjuangan di tahun 1960-an.Saat berlangsungnya Muktamar NU ke-24 pada tahun 967 di Bandung, Kiai Bisri menunjukkan sikap tawadlu’ yang perlu kita teladani. Ketika itu sedang terjadi pemilihan Rais Am yang melibatkan antara dua kiai sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu KH. Abdul Wahab Hasbullah Rais Syuriah PBNU dan Kiai Bisri.Hasil pemilihan ternyata di luar dugaan.Walaupun lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri bisa meraih suara terbanyak. KH. Abdul Wahab Chasbullah pun menerima kekalahan dengan berbesar hati, apalagi yang mengalahkan sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri. Menanggapi sikap Kiai Bisri, Kiai Wahab menerima amanah itu. Tidak perlu merasa tersinggung, karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk memimpin NU dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara Kiai Bisri dipercaya sebagai Wakil Rais Am.Kemudian ketika Kiai Wahab wafat pada tahun 1971, baru Kiai Bisri menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat pada tahun 1980 dan kedudukannya sebagai Rois Aam PBNU digantikan oleh Kiai Ali Ma'sum Krapyak, Yogyakarta.Itulah keteladanan politik kiai. Beberapa partai politik di Indonesia cenderung terus mengalami degradasi dan gagal membangun sistem internal yang kokoh. Karena itu gagal pula menjadi unsur penting yang menopang proses stabilisasi politik nasional. Hal itu bisa terjadi karena beberapa elite partai tidak mampu mengawinkan ketiga perspektif di atas (teologis, akhlak dan fiqh) dalam berpolitik, bahkan sebagian lagi mengabaikan ketiga dimensi itu, sehingga terseret dalam pusaran konflik yang berkepanjangan.Orientasi politiknya hanya kekuasaan jangka pendek, aturan main cenderung dilanggar, dan kesantunan politik diabaikan. Suatu praktik politik bertentangan dengan apa yang sudah dibangun para kiai di masa lalu. Kiai Bisri adalah orang besar, karena beliau memilih mengikuti sebuah pola kehidupan yang tunduk kepada hukum fiqh. Dengan kewafatannya, hilang pula sebuah tonggak besar dalam kehidupan kita sebagai bangsa: angkatan ulama yang mampu menerapkan hukum fiqih.KH. Bisri Syansuri memang tidak banyak menulis karya berupa buku,” kata Kiai Aziz Mashuri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Aziziyah Denanyar Jombang. Ini memaklumi pertanyaan tersebut, sebab untuk mengukur kebesaran seseorang kadang-kadang dinilai dari banyaknya buku dibuat.Namun, melihat kiprah Mbah Bisri, jelas penilaian di atas kurang tepat. Sebab, karya monumental Mbah Bisri bersama beberapa ulama lain adalah organisasi bernama Nahdlatul Ulama (NU) serta orang-orang besar yang dibimbing Mbah Bisri dalam rapat, pengajian di rumah dan masjid, diskusi di dalam perjalanan, di dalam rapat politik, maupun dalam berbagai kesempatan lain.Buah pikirannya juga terurai di mana-mana, dalam banyak kesempatan dan peristiwa, dikembangkan oleh banyak kader dan santri, dan tidak sempat dibukukan. Adapun perkara minim dan nihilnya pendokumentasian gagasan dan buah pemikiran Mbah Bisri ini juga dapat dimaklumi karena selama beliau hidup tidak memiliki seorang sekretaris maupun asisten pribadi yang bertugas mencatat pemikirannya.Jadwal yang sangat padat dan aktivitasnya sebagai pemimpin umat, sejak muda hingga menjelang kewafatan pada usia kurang lebih 96 tahun, ternyata dirasa cukup kurang untuk bisa memiliki waktu luang menulis buku.Sebaliknya, dalam kurun 70 tahun, waktunya digunakan untuk membina umat, mengasuh pesantren, menemani kalangan ulama, berdiskusi dengan politisi dan kelompok pergerakan, berjuang di era perang kemerdekaan, dan menyediakan diri sebagai nahkoda NU.Benar, Mbah Bisri memang tidak sempat menulis buku beraksara A, B, C maupun Alif, Ba, Ta dan seterusnya, tapi beliau telah menulis dalam jiwa para santri, kader, dan masyakat melalui keteladanan selama hidupnya. Jadi, Mbah Bisri tidak menulis buku, karena hidupnya adalah teks terbuka yang bisa dibaca oleh siapapun.KH. Bisri Syansuri wafat pada umur 93 tahun, tepatnya pada tanggal 25 April 1980. Beliau dimakamkan di komplek Pesantren Denanyar (PP Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang. Ia meninggalkan putra ; Ahmad Atoillah, yang dikenal dengan nama KH. Ahmad Bisri, Muassomah, Muslihatun, Nyai Sholihah Wakhid Hasyim, Musyarofah, Sholihun, Ali Abd Aziz dan Shohib. Sumber Referensi1. KH. A, Aziz Masyhuri, Almaghfirlah KH. M. Bisri Syansuri: Cita-cita dan pengabdiannya (Surabaya:al-ikhas,tt), hal 21. 2. Abdurrahman Wahid, Kiai Bisri Syansuri : Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat, (Jakarta: Amanah, 1989), hal 10.3. Kiai Bisri Syansuri; Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap 1524. Amin, Samsul Munir. Percik Pemikiran Para Kiai. Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, 2009.5. Anam, Choirul. Profil Nahdlatul Ulama Sebagai Organi sasi Sosial Keagamaan Berhalauan Ahlussunah Wal Jama ah. Surabaya: Aneka Ilmu, 1984.6. Anonim. Ibu Kartini Seratus Tahun. Jakarta: PP Mus limat NU, t.t. 153 Syaikh Yasin al FadangiMusnid Dunia dari PadangNama lengkap beliau adalah ‘Alam al-Din Abu Fayd Muhammad Yasin bin Muhammad ‘Isa bin Udik al-Fadani al-Makki al-Syafi’i. Ia dilahirkan pada 27 Sya’ban 1337 H/1917 M di Mekkah al-Mukarramah, sebuah kota mulia tepatnya di kawasan Misfalah. Ia dilahirkan dari orangtua Syekh Muhammad ‘Isa al-Fadani dan Nyai Maimunah binti Abdullah al-Fadani, keduanya keturunan Minangkabau.Awal pendidikan Syaikh Yasin ia mendapat pengajaran langsung dari ayahnya, mulai dari ilmu membaca Al-Qur’an, tauhid, fiqh, gramatika Arab, dan lain-lain. Berkat ibunya yang juga seorang penghafal Al-Qur’an (Haafizhah), beliau mampu menghafal Al-Qur’an dengan baik dan benar pada usia 8 tahun.Syekh Yasin al-Fadani telah berguru kepada Sayغid Muhsin al-Musawwa, Syekh Mukhtar Utsman Makhdum, Syekh Abdullah Muhammad Niar, dan Syekh Muhammad Hasan al-Masysyath selama 6 tahun di Madrasah Shaulathiyyah. Sedangkan di Madrasah Dar al-‘Ulum, Syekh Yasin belajar kepada Sayyid Muhsin al-Musawwa, Syekh Ibrahim Dawud al-Fathani, Syekh Muhammad Ali al-Makki, Syekh Zubair bin Ahmad al-Filfulani, Syekh Abdul Muhaimin al-Lasemi, Syekh Husain ibn Abdul Ghani al-Falimbani, Syekh Ahmad al-Qishthi, dan lain-lain.Setelah dinyatakan lulus dari Madrasah Dar al-Ulum, beliau diminta oleh masyayikh madrasah untuk mengajar dan menjadi mudir disana. Di samping mengajar di Madrasah Dar al-Ulum, beliau juga aktif mengajar di Masjidil Haram. Majelis taklim beliau cukup dikenal dan diminati oleh penduduk Mekkah sehingga beliau harus membuka pelajaran tambahan di rumahnya. Di samping majelis taklim yang rutin dilakukan setiap hari, setiap bulan Ramadan beliau mengkhatamkan Kutub al-Sittah. Kajian ini senantiasa beliau tekuni hingga berjalan sampai 15 tahun lamanya.Beliau senantiasa tekun menimba ilmu meskipun beliau sudah menjadi seorang guru. Beliau banyak berguru kepada ulama Timur Tengah. Adapun dalam disiplin ilmu hadis dan sanad beliau berguru kepada Syekh Umar Hamdan al-Mahrusi, Syekh Muhammad Ali Husain al-Maliki, Syekh ‘Umar Bajunaid (Mufti Syafi’iyyah Makkah), Syekh Sa’id bin Muhammad al-Yamani, dan Syekh Hasan al-Yamani. Dalam disiplin ilmu Usul al-Fiqih, gramatika Arab, Qawaid al-Fiqhiyyah, Syekh Yasin belajar kepada Syekh Muhsin ibn ‘Ali al-Falimbani al-Maliki dan Sayid ‘Alwi bin ‘Abas al-Maliki al-Makki. Dalam disiplin Ilmu Falak dan Miqat kepada Syaikh khalifah an-Nabhani.Syekh Yasin sangat menghormati guru-guru beliau. Karakter akhlak mulia yang dibarengi dengan kecerdasan sekaligus sifat warak mampu menjadikan beliau semakin alim. Guru-guru beliau pun mencapai lebih dari 700 orang jumlahnya. Beliau juga mempunyai kurang lebih 500 sanad keilmuan yang terkemuka. Sebegitu pentingnya sanad di mata beliau sehingga beliau melakukan pengembaraan mencari guru sebuah ilmu yang lengkap beserta sanadnya di Thaif, makkah, Madinah, Riyadh, maupun kota lainnya. Bahkan beliau sempat keluar Arab Saudi seperti Yaman, Mesir, Kuait dan negeri-negeri lainnya.Berbicara mengenai sanad keilmuan khususnya di Indonesia, tak bisa dilepaskan dari Syekh Yasin al-Fadani. Beliau mempunyai kontribusi besar terhadap ulama nusantara meskipun beliau tidak menetap di Nusantara. Sebelum wafat pada tahun 1990, beliau mengijazahkan kitabnya, al-‘Iqd al-Farid min Jawahir al-Asanid yang berisi kumpulan sanad kepada para kiai pengasuh pondok pesantren di Indonesia seperti K.H. Mahrus Ali (Lirboyo, Kediri), K.H. Abdul Basyir Hamzah (Meranggen, Demak), K.H. Maimun Zubair (Sarang, Rembang), K.H. Syafiq Nabhan (Kudus), K.H. M. Cholil Bisri (Raudhatu al-Thalibin, Rembang), K.H. Abdullah Faqih (Langitan, Tuban), K.H. Syafi’i Hadzami (Jakarta), dan lain sebagainya.Syekh Yasin al-Fadani telah mengarang kurang lebih 102 kitab. Dimana 9 kitab tentang ilmu hadis, 25 kitab tentang ilmu dan ushul fikih, 36 buku tentang ilmu falak, dan sisanya tentang Ilmu-ilmu yang lain. Kitab-kitab karangan beliau itu telah banyak dijadikan rujukan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam baik di Mekkah maupun Asia Tenggara.Adapun karya-karya Syekh Yasin al-Fadani dalam bidang Ilmu al-Hadis antara lain: Ad-Dur al-Mandhud fi Syarh Sunan abi Dawud, al-‘Iqd al-Farid min Jawahir al-Asanid, Fathu al-‘Alam Syarah Buluugh al-Maram, Arba’un Hadithan min Arba’ina Kitaban ‘an Arba’ina Syaikhan, Arba’un al-Buldaniyyah Arba’un Haditsan ‘an Arba’in Syaikhan min Arba’ina Baladan, Arba’un Hadithan min Riyadh al-Jannah min Atsari Ahli al-Sunnah, dan lain-lainSyekh Yasin memiliki kedekatan emosional dengan Nahdlatul Ulama. Ia hadir dalam Muktamar NU ke-26 di Semarang, Jawa Tengah, pada 1979. Kemudian mengunjungi sejumlah pesantren di Jawa.Syekh Yasin wafat pada 21 Juli 1990 (28 Dzulhijjah 1410 H) dan dimakamkan di Pemakaman Ma'Ia Makkah. (***)perubahan data bank untuk penarikan ke Bank Rakyat Indonesia (BRI) 372001029009535 a/n AJI SETIAWAN. ST.Harap konfirmasi dengan klik tombol konfirmasi di bawah. Bila kamu tidak mengajukan permintaan ini harap
45,567 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
Jejaring Ulama Nusantara II
1
0
Peran Strategis Ulama, Prinsip Amar Ma’ruf Nahi MunkarKH As"ad Samsul Arifin-Asembagus , SitubondoKH M Hasan, Genggong ProbolinggoKH Hasan Besari, PonorogoKH Muqoyyim Abdul Hadi, Buntet Pesantren CirebonKH Dalhar, Watucongol. Muntilan, MagelangSyaikh Abdul Muhyi, PamijahanSyaikh Tolhah, Kali Sapu, CirebonKH Chudori, Tegalrejo MagelangSyaikh Abdul Malik, Kedung Paruk. PurwokertoHabib Ali bin Abdurrahman al Habsyi, KwitangKH Abdul Hadi Zahid, Langitan TubanSayid Sulaiman BasyaibanKH M Munawwir, Krapyak YogyakartaKH Bisri SansuriSyaikh Yasin
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan