Stoikisme menjadi ppopuler di era modern hari ini karena dianggap mampu menyeleraskan manusia dengan kehidupan yang lebih baik dan terbebas dari segala nuansa negatif di dalamnya. Namun apakah klaim tersebut benar-benar terjadi? Atau justru menjadi Stoa di era sekarang hanyalah sebagai sosok pasif terhadap dunia dan realitas yang sesungguhnya?
"My formula for greatness in a human being is Amor fati: that one wants nothing to be different, not forward, not backward, not in all eternity. Not merely bear what is necessary, still less conceal it—all idealism is mendacity in the face of what is necessary—but love it." (Nietzsche on Ecce Homo)
Amor fati (love of fate), mencintai nasib merupakan frase yang sering kali diasosiakan kepada pemikiran Nietsche. Tidak hanya Nietsche, para Stoa juga dianggap mengamini gagasan tentang kehidupan ala amor fati. Terlebih di era sekarang, di saat semua orang merasa punya penyakit mental yang mengganggu produktivitas mereka. Dari yang disebut stress, overthingking, sampai depresi. Cara hidup Stoa (Stoikisme) tiba-tiba menjadi populer karena dianggap mampu mengontrol, menyembuhkan atau juga membatasi pikiran manusia agar tidak berpikir terlalu jauh dan besar. Singkatnya, meminjam perkataan Martin Suryajaya, Stoikisme merupakan cara untuk berdiplomasi dengan kekacauan, sehingga pada akhirnya manusia bisa fokus dengan diri mereka masing-masing. Kemudian muncul pertanyaan di benak gua, apakah Stoikisme mampu mendamaikan manusia dengan dunia yang sesungguhnya kacau? Atau sebenarnya Stoikisme hanya sebagai copium dan candu manusia karena tidak mampu berhadapan langsung dengan dunia?
Epictetus dalam bukunya Discourse yang dituliskan oleh salah satu muridnya, mengatakan bahwa “Filsafat tidak menawarkan jawaban di luar diri manusia, sebab hal tersebut telah keluar dari subjek utama pembahasannya.” Epictetus menggunakan analogi seorang tukang kayu hanya akan mengerti tentang kayu dan bagaimana dia menggunakan kayu, sedangkan sebagian para pembuat patung hanya menggunakan perunggu, jadi menurut Epictetus kapasitas subjek dalam kehidupan itu berbeda-beda setiap masih-masing individu. Berdasarkan pernyataan tersebut, akan tidak masuk akal bagi para Stoa untuk berpikir sesuatu di luar diri manusia, sebab semua itu di luar kapasitas manusia. Segala sesuatu sudah berada di jalurnya (takdirnya), apa yang bisa manusia lakukan hanyalah mengontrol diri mereka secara rasional, yaitu mengendalikan apa yang hanya manusia bisa pikirkan, lakukan, serta terima sebagai bagian dari dirinya.
Di sisi lain, Nietzsche tidak bersikap pasif terhadap dirinya di dalam pengertiannya tentang amor fati. Nietsche dikenal sebagai filsuf anti-kebenaran, sebab baginya yang ada hanyalah perspektif manusia. Oleh karena itu cara berpikir Nietsche disebut perspektivisme. Meskipun begitu, bukan berarti semua tentang Nietsche bersifat setengah-setengah. Nietsche justru sangat yakin amor fati harus diekspresikan dengan semangat dan kehendak kuat terhadap takdir itu sendiri. Deskripsi tersebut tertuang dalam karakter Ubermensch, Overman, Beyond man, Superman. Di dalam bukunya Thus Spoke Zarathustra, Nietsche melawankan sosok Ubermensch dengan sosok Last man atau Ultimate man. Berbeda dengan Ubermensch yang menggunakan dirinya untuk menantang dunia dan menjadi tujuan utama sebagai manusia. Last man tidak punya niat apapun selain kenyamanan dan rutinitas pasif, menghindari segala sesuatu yang berpotensi menimbulkan resiko, rasa sakit serta kekecewaan. Last man hanya peduli dengan ketenangan dan kenyamanan serta seorang hedonis yang meragukan niat Zarathustra, “Are you a new strength and a new right? A first movement? A wheel rolling out of itself? Can you compel even the stars to revolve around you?” Alih-alih menerima takdir yang mungkin kacau dan tidak mudah dimengerti, sosok Last man hanya menikmati rutinitasnya, menutup diri dari rasa sakit dengan bersembunyi di dalam dirinya
Berdasarkan cara pandang Nietzsche tentang perbedaan Ubermensch dan Last man, maka kaum Stoa populer di era sekarang tidak lebih dari bentuk yang lebih indah dari Last man karena menggunakan sains dan psikologi untuk menjustifikasi tindakan pasif mereka. Lebih jauh gagasan Stoikisme di era sekarang dipenuhi dengan nuansa determinisme dan idealism.
Markus Aurelius meyakini bahwa hukum alam dalam artian takdir adalah sistem utama yang menggerakkan segalanya termasuk manusia. Sistem alam semesta tidak bekerja abstrak ataupun bersifat transenden melainkan hadir immanen sebagai kesatuan alam semesta termasuk di sekitar manusia. Mereka percaya kebenaran dapat diraih dengan logos, logika dan reasoning, berargumentasi sesuai aturan logos untuk membedakaannya dengan fallacy, sesat pikir. Bagi Chrysippus sebagai makhluk rasional dan bisa menggunakan logos maka kebenaran atau virtue bisa ditempuh dengan berpikir logis dan berpandangan rasional sebab tindakan memahami diri sendiri secara rasional sama dengan memahami alam semesta (takdir).)
Cara berpikir seperti Stoa tentang takdir dan kerja logos sama seperti fatalisme atau juga determinisme teleologis. Alih-alih memperbanyak kemungkinan yang terjadi di dalam realitas. Mereka justru menutup diri dengan hanya menerima apa yang mungkin berdasarkan kerja rasionalitas manusia. Posisi ini juga merupakan bentuk reduksi terhadap realitas. Karena tidak semua hal dapat dirasionalisasi oleh manusia dan logos saja tidak akan pernah cukup untuk menjelaskan realitas. Pemikiran Stoa yang terlalu berharap pada takdir dan rasionalitas manusia pada akhirnya adalah bentuk determinisme tertutup dan tidak menawarkan kebaruan apapun untuk memahami realitas.
Para Stoa juga sekumpulan Idealis. Pemikiran mereka bernuansa Idealisme karena terlalu memuja logos dan rasionalitas manusia serta menurunkan nilai penderitaan dan kesakitan karena dianggap bukan bagian dari virtue. Seolah-olah hanya dengan berpegang teguh pada logos maka segala sesuatu pasti akan mencapai virtue atau kebenaran. Masyarakat modern mencoba meniru para Stoa di masa lalu dengan hidup sederhana dan minimalistik. Jika biasanya idealis diasosiakan dengan perfeksionis, maka para Stoa di era sekarang mencoba bertindak dan berpikir minimalistik di setiap hal. Persoalannya apakah tindakan minimalistik tersebut punya konsekuensi yang lebih signifikan dari tindakan yang secara umum perlu pertimbangan lebih banyak dan melelahkan bahkan sebelum dilakukan? Atau jangan-jangan para Stoa hanya malas berpikir dan hanya mementingkan sikap egoisnya?
Di dalam filsafat, Idealisme secara sederhana didefiniskan sebagai pemikiran yang meyakini realitas tidak bisa lepas dari perspektif manusia bahwasanya realitas sebenarnya kontruksi mental berdasarkan ide manusia. Poinnya adalah sosok manusia sangat sentral dan bersifat niscaya di dalam Idealisme. Begitu juga dengan Stoikisme, tanpa manusia sebagai makhluk rasional, maka virtue tidak akan pernah tercapai. Bagi para Stoa di era sekarang, tidak ada yang lebih penting selain mengejar virtue masyarakat modern yaitu mendapatkan pekerjaan tetap, produktivitas, gaji tetap dengan tanpa perlu merasa overthingking, stress, tertekan, dan menderita atas komplek serta kacaunya dunia.
Salah satu buku populer berbahasa Indonesia yang membahas Stoikisme di dalam masyarakat modern berjudul “Filosofi Teras” karya Henri Manampiring yang terbit sekitar tahun 2019. Pada bagian bab kedua, disebut bahwa Stoikisme sebagai filosofi yang realistis. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan realistis di sini sebab tidak dijelaskan lebih jauh selain hanya menjelaskan tentang pentingnya kontrol diri khususnya energi negatif melalui praktik Stoikisme. Perlu diperhatikan, kontrol energi negatif di dalam buku tersebut tidak lebih dari menyingkirkannya dan fokus pada hal-hal positif dalam kendali manusia. Dijelaskan pula Stoikisme bersifat inklusif terhadap semua manusia dan alam khususnya pada Bab 10 Henri menuliskan bahwa penting bagi manusia untuk menjaga alam karena alam merupakan bagian diri manusia. Sekilas nampak penuh dengan praktik moral dan kebajikan. Namun kembali pada apakah filsafat Stoikisme realistis? Jawabannya tidak, tidak sama sekali. Stoikisme lebih dekat dengan panggilan, ‘Minimalist Idealism’, Idealisme Minimalistik.
Realisme di dalam filsafat secara mendasar meyakini ada hal lain selain manusia di dunia dan bersifat independent dari manusia. Namun bukan berarti kita harus meninggalkan mereka dan hanya fokus kepada manusia saja seperti para kaum Stoa. Salah satu contoh realisme popular di era sekarang adalah Speculative Realism, Realisme Spekulatif. Bagi Realisme Spekulatif status kehadiran manusia tidak lebih tinggi dari pohon, kuda atau tokoh fiksi seperti Doraemon. Sehingga mencoba menghilangkan objek lain dan hanya berkutat pada manusia bukan sebuah gerakan realisme. Kemudian berpikir bahwa manusia punya kontrol penuh terhadap diri mereka, tanpa mempertimbangkan objek lain merupakan tindakan yang sangat idealis, naif dan tidak realistis.
Bagi Nietzsche, Amor fati merupakan bentuk mencintai kehidupan bukan dengan menghilangkan rasa sakit dan segala energi negatif. Melainkan menerima, menghidupi rasa sakit dari luar diri manusia sebagai suatu hal yang harus dihadapi dan ditempuh untuk menjadi sosok manusia yang sesungguhnya. Stoa di era modern mencoba menghilangkan rasa sakit, dan semua energi negative untuk mendapatkan energi positif, ketenangan, kebahagian bahkan bagi mereka sebuah kebajikan (virtue). Pada akhirnya Stoa modern tidak membuat manusia lebih dekat dengan diri manusia di dalam dirinya, justru bagian buruknya adalah Stoa modern hanyalah obat penenang, copium bagi kaum Last man yang tidak lagi tertarik dengan kehidupan manusia yang sebenarnya.
It is impossible to subordinate human personhood to the dictates of positivity entirely. Without negativity, life degrades into ‘something dead’. Indeed, negativity is what keeps life alive. Pain is constitutive for experience (Erfahrung). Life that consists wholly of positive emotions and the sensation of ‘flow’ is not human at all. (Han Byung Chul on Psychopolitics)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰