
Singapura, 10 Tahun Kemudian
Seminggu di Asakusa: https://karyakarsa.com/AisyDA/series/seminggu-di-asakusa
Zahira dan Takashi berjalan menyusuri Jalan Beach ke pusat Kampong Glam. Banyak penduduk muslim tinggal di daerah Kampong Glam. Masih ada beberapa toko dan kedai makanan yang buka sampai malam. Jalanan tidak begitu ramai sehingga Zahira dan Takashi bisa lebih leluasa melihat-lihat sekitar. “Di mana kamu tinggal, Takashi?” Zahira bertanya mengenai tempat tinggal Takashi selama di Singapura.
“Di Jalan Queen. Ada losmen untuk menampung mahasiswa.” Yang dimaksud Takashi adalah semacam indekos tetapi tidak menyediakan makanan, makanya yang terpikirkan oleh Takashi adalah ‘losmen’. “Tolong jangan tanya harga sewanya.”
“Yang pasti, tidak semahal hotel.”
“Begitulah.” Takashi berhenti di depan sebuah vending machine. “Aku mau minum lagi. Kamu mau?”
“Sekarang tidak.”
“Untuk nanti?”
Zahira mengedikkan bahu. “Baiklah. Boleh.”
“Aku mau wintermelon tea—teh buah kundur. Zahira mau apa?”
Zahira melihat sebentar isi vending machine. “Aku mau chamomile tea saja.”
Maka, Takashi mengeluarkan sebotol teh buah kundur dan sebotol teh kamomil. Zahira memberikan selembar uang kepada Takashi. “Tidak usah.”
“Kamu sudah membelikanku banyak.”
“Aku punya banyak uang.”
“Dalam kurs dolar Singapura?”
“Ingat, aku pernah bekerja kepada seorang mangaka,” kata Takashi lalu berjalan ke sebuah bangku. “Keuntungannya lumayan.”
Zahira ikut duduk di sebelah Takashi yang sedang minum beberapa teguk teh buah kundur. “Kamu sendiri apakah sudah membuat manga sendiri?” tanya Zahira.
“Belum. Aku akan membuatnya setelah lulus. Aku sudah memikirkan ceritanya. Aku hanya harus menyelesaikan tesisku dulu.”
Zahira pun bertanya, “Tesismu tentang apa?”
“Nuansa visual untuk membangun sebuah cerita lewat gambar.”
Zahira tidak berniat untuk bertanya lebih lanjut karena belum tentu ia mengerti. Fakta bahwa Takashi menyebutkannya dalam bahasa Indonesia/Melayu membuat Zahira merasa agak ciut. “Bisakah kita berbicara dalam bahasa Jepang saja?”
“Bergantung apa yang mau kamu bicarakan,” balas Takashi dalam bahasa Jepang.
“Aku ingin berbicara tentang teman-teman,” Zahira berkata dalam bahasa Jepang. “Teman-teman kita.”
“Ah, baik. Aku pernah mengobrol dengan Fumihito. Kusano, kamu ingat? Dia saat ini sedang bekerja di sebuah perusahaan FMCG1. Tapi, dia berencana resign dari situ karena berusaha untuk melamar ke JAXA2.”
“Oh, ya. Aku rasa, aku pernah melihat foto Fumi-san sedang bekerja dari Instagram.”
“Kalau tidak salah, kamu juga punya teman yang suka Astronomi juga. Siapa?”
“Maya. Maya Bintang Kelana,” kata Zahira. “Ah! Dia juga sedang berkuliah S-2 jurusan Astronomi di Indonesia. Dulu, dia S-1 Astronomi juga.”
“Begitu, ya. Fumihito ingin lanjut studi juga, katanya. Dia dulu kuliah Meteorologi. Dia pernah dengar juga soal jurusan Astronomi di perguruan tinggi di Indonesia. Mungkin dia mau ke sana.”
“Mungkin Fumi-san bisa menjangkau Maya nantinya.”
Takashi mengangguk mengiakan. Zahira bertanya, “Takashi, apakah kamu diundang ke pernikahan beberapa teman kita yang sudah menikah?”
“Ah, iya. Aku diundang, tapi ada beberapa yang aku berhalangan hadir. Aku datang ke pernikahan Masaki, Iwai Masaki, dengan Yonedzu, Yonedzu Shintarō. Kautahu, Yonedzu itu sekelas dengan kita di kelas 1-B.”
“Yah, aku ingat sekilas. Sayangnya, aku tidak terlalu dekat dengan Yonedzu-san. Siapa lagi?”
“Aku datang juga ke pernikahan Satsuki, pernikahan Shimomura Koharu dan Matsumae Natsuo, dan pernikahan Suwabe Shizuo. Aku diundang ke pernikahan Sawayama Izumi, tapi aku tidak sempat datang karena di minggu yang sama, kakekku meninggal dunia. Jadi, aku hanya bisa mengirimkan hadiah untuk Sawayama-san dan suaminya yang bernama Mutō Kōta. Fujinuma-san, Ritsuko, menikah di Filipina karena tunangannya orang Filipina.”
“Bagaimana dengan Kuzuha-san? Dia, kan sahabatmu.”
“Saat ini, dia belum menikah,” jawab Takashi. “Begini, aku tidak yakin kalau kamu tahu. Tapi, tahukah kamu kalau Kōga pernah pacaran dengan Masaki? Pacaran jarak jauh Tokyo-Hiroshima, yang sayangnya itu sudah kandas juga. Itu setelah dia putus dengan pacarnya yang di SMA-nya di Hiroshima, yang namanya Inaho Kotone.”
“Benarkah? Aku baru tahu!”
“Iya. Inaho ini kuliah di Kyoto juga, satu universitas denganku waktu S-1, tapi dia jurusan Produksi Film, aku jurusan Manga. Aku jadi berteman dengan Inaho. Waktu Inaho menikah, aku pun diundang dan datang juga.”
“Oh, begitu ya,” tanggap Zahira. Zahira mulai bertanya dengan hati-hati, “Bagaimana denganmu? Jalan romansamu? Apakah kamu punya pacar?”
Takashi menghela napas. “Haaah. Kalau kamu sadar, tadi aku menyebut nama Satsuki langsung nama depan. Aku memang pernah jadian dengannya.”
Jantung Zahira seolah berhenti sebentar. Zahira ingat pengakuan Satsuki mengenai rasa sukanya terhadap Takashi. Tak kusangka mereka sempat jadian. Zahira berpaling cepat kepada Takashi, “Kapan kamu jadian dengan Satsuki?”
“Waktu kelas 2 SMA. Hanya setahun, tidak banyak orang yang mengetahui juga. Masuk kelas 3 SMA, kami fokus ke tujuan masing-masing selepas lulus SMA.”
“Ooh.” Zahira melongo. “Lalu? Kenapa?”
Takashi tersenyum dan menggeleng-geleng. “Tidak kenapa-kenapa. Satsuki memang baik kepadaku, tapi tujuan hidup kami berbeda. Aku ingin menjadi mangaka, Satsuki ingin punya perusahaan besar. Sangat kontras, bukan?”
“Iya.” Itu mengingatkan Zahira bahwa keluarga Kanagawa, keluarganya Satsuki, punya toko peralatan elektronik.
“Selanjutnya, aku pernah punya pacar sekali lagi waktu kuliah S-1. Dia ini temannya Inaho di jurusan Produksi Film. Yah, hampir sama masalahnya. Kami fokus dengan jurusan masing-masing sampai kami jarang bertemu. Hanya pada saat sebelum dan sesudah ujian kami bertemu karena kami harus belajar bersama, padahal kami sudah jalan selama dua tahun. Kalau untuk sekarang, aku masih lajang, tidak menjalin hubungan dengan siapa pun dulu.”
Zahira menahan diri untuk tidak menanyakan hal yang di luar konteks, jadi dia hanya mengangguk-angguk mendengarkan cerita Takashi.
“Sebelum kamu bertanya, tidak, aku tidak pernah melakukan hal yang aneh-aneh. Bisa dipastikan, aku masih perjaka.”
Zahira melotot keheranan. “KENAPA KAMU BILANG SEPERTI ITU?!”
Orang-orang yang lewat di dekat Zahira dan Takashi menoleh ke bangku tempat Zahira dan Takashi duduk. “Sssst!” Takashi menenangkan Zahira. “Sorry. We’re sorry. She’s just shocked. Sorry for the inconvenience.” Takashi berdiri lalu membungkuk meminta maaf kepada orang-orang di sekitar mereka.
Akhirnya, orang-orang di sekitar mereka melanjutkan aktivitas mereka, tidak menghiraukan Zahira dan Takashi lagi. “Aku minta maaf, Takashi,” ucap Zahira.
“Tidak apa-apa,” kata Takashi setelah duduk kembali. “Aku juga minta maaf. Aku hanya…, kautahu, tidak ingin menimbulkan salah paham. Makanya, aku memberi tahumu itu.”
“Oh, baiklah.”
“Bagaimana denganmu?” Takashi balik bertanya. Zahira mengerti maksud pertanyaan Takashi.
“Umm,” Zahira berpikir sejenak, “aku sama sekali belum pernah berpacaran. Seperti dirimu, aku sangat sibuk dan fokus berkuliah Psikologi. Jadi, tidak ada yang seru untuk diceritakan dalam percintaanku. Tapi, aku punya banyak teman baik juga yang kutemui waktu aku kuliah.”
“Begitu, ya,” tanggap Takashi pengertian. “Kamu orang yang baik dan menjaga diri, Zahira. Kurasa, kamu punya hati yang murni.”
“Benarkah begitu?”
“Ya. Tadi di kafe, aku memintamu untuk bertanya kepada hatimu. Aku awalnya tidak ingin dianggap serius karena itu sebenarnya suatu metode yang diajarkan kepadaku kalau sedang butuh ide berkarya tetapi mengalami kebuntuan. Aku memintamu begitu hanya karena kupikir itu cocok untukmu. Ternyata, kamu memang orang yang berhati seperti itu.”
Zahira menggeleng tidak setuju. “Menurutku, mendengarkan hati merupakan perkara serius. Tidak semua orang bisa mendengar suara hati mereka alih-alih mendengarkan hati mereka dengan saksama. Butuh latihan dan keinginan kuat untuk mendengarkannya.”
Takashi tersenyum. “Itu masuk akal.”
“Itu juga kudapat setelah belajar Psikologi.”
“Begitu, ya?” Takashi menanggapi sambil terkekeh.
Zahira menegakkan duduknya. “Aku jadi teringat satu lagi mantan pacarmu. Bagaimana dengan Ayaka? Hashiguchi-san? Aku pernah melihat fotonya masih bersama Momose-san di Instagram.”
“Ah, mereka belum menikah, tapi mereka tinggal bersama di Yokohama. Sudah ada rencana, kok. Aku belum pernah bertemu langsung lagi dengan mereka,” Takashi menjawab. “Kamu masih ingat soal Ayaka ingin mendonorkan satu ginjalnya ke Momose Kiyoko, adiknya Junpei?”
“Iya, aku masih ingat.”
“Ayaka tidak jadi pendonor,” jelas Takashi. “Ada orang meninggal bergolongan darah A yang masih baru waktu itu di rumah sakit tempat adiknya Junpei dirawat. Kiyoko jadi mendapatkan donor ginjal dari jasad orang itu. Itu sudah disetujui oleh keluarga orang yang meninggal. Keluarga Hashiguchi dan keluarga Momose mengeluarkan uang banyak untuk menghadiahi keluarga orang yang meninggal itu. Karena cocok, operasinya lancar, Kiyoko mampu diselamatkan. Sampai saat ini, Momose Kiyoko sehat.”
“Wah!” Zahira lega dan kagum mendengarnya. “Sepertinya, Ayaka ingin menyelamatkan adiknya Momose-san juga karena Ayaka mendengarkan hatinya. Namun, keadaannya berubah, menjadi lebih menguntungkan, dengan adiknya Momose-san mendapat donor ginjal dari orang yang baru meninggal dunia.”
“Mungkin Ayaka memang berkeinginan kuat.”
“Hahaha. Bisa jadi.”
Posisi matahari makin merendah. Takashi melihat jam tangannya. “Kurasa, aku mau mengerjakan sedikit tesisku setelah ini. Sebelum kita berpisah, aku punya pengakuan terakhir.”
“Apa itu?”
“Sebenarnya, aku dan kakakku berupaya menyusulmu untuk mengantarmu ke Bandara Narita sepuluh tahun yang lalu. Sayangnya, begitu kami sampai bandara, pesawat ke Indonesia sudah mau lepas landas sehingga kami tidak bisa bertemu denganmu yang sudah memasuki pesawat. Kita jadi tidak bisa bertemu lagi di bandara.”
Darah Zahira berdesir. Jadi, itukah sebabnya? Aku mampu merasakan keberadaan Takashi di dekatku dengan perasaan-perasaan itu?
“Oooh.” Hanya itu tanggapan Zahira. “Permintaan kakakmu?”
“Kami berdua yang mau. Aku jadi bolos jam pertama sekolah di hari Senin, baru masuk di jam pelajaran kedua. Untungnya, aku tidak ketahuan Odagiri-sensei sehingga Odagiri-sensei tidak memarahiku.”
Zahira mengangguk mafhum.
“Oke, sudah cukup.” Takashi berdiri dari bangku. “Aku akan mengantarmu jalan ke hotel. Kita masih searah.”
“Iya.” Zahira mengangguk lagi. Zahira mengikuti Takashi berjalan. Mereka tidak banyak berbicara selama berjalan pulang. Zahira melambaikan tangan kepada Takashi sebelum masuk hotel. Takashi mengangguk sekali untuk pamit lalu berjalan meninggalkan pelataran hotel. Zahira menoleh ke belakang sekali lagi untuk melihat Takashi berjalan pergi.
===
1 FMCG: Fast Moving Consumer Goods, atau barang-barang konsumen yang bergerak cepat. Barang-barang produksi yang banyak dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yang berharga terjangkau tetapi berumur simpan singkat (contoh: sabun, makanan, minuman, obat-obatan, dsb.).
2 JAXA: Japan Aerospace Exploration Agency (Badan Penjelajah Antariksa Jepang), semacam NASA-nya Jepang.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
