Indomie Rasa Mantan #CeritadanRasaIndomie

3
2
Deskripsi

Aku harus memilih, disambar petir atau menurunkan rasa gengsi untuk bertemu sang mantan?

Pada akhirnya, aku memilih opsi ke dua. Bertemu mantan masih lebih baik daripada harus mati konyol tersambar petir.

"Perkenalkan, Indomie varian terbaru dengan rasa mantan. Dikombinasikan dengan bumbu-bumbu cinta dan kasih sayang," candaku pada Marwan yang sedang menonton acara televisi. Aku menyajikan dua piring Indomie goreng untuk menemani dinginnya hari. Tetesan air hujan di luar masih terdengar gemericik.

Pria yang sudah resmi menjadi mantan beberapa bulan lalu itu menatapku aneh. "Enggak meyakinkan. Selama ini kamu nggak pernah berhasil menciptakan makanan enak."

Aku tersenyum miring. Tidak tersinggung sama sekali dengan ucapannya. Karena memang semua itu adalah hal yang benar. Aku tidak bisa memasak.

Mi goreng yang kubuat itu belum juga terjamah sampai beberapa menit ke depan. Manusia berambut keriting itu tetap memfokuskan kedua netra besarnya ke layar televisi. Bolak-balik mengganti kanal. Namun, sepertinya memang dia tidak memiliki minat untuk menontonnya.

"Maaf, kalau kehadiranku bikin kamu enggak nyaman. Aku bingung harus ke mana lagi. Kalau tahu bakalan hujan, aku pasti enggak akan keluar rumah." Aku jadi merasa bersalah.

Marwan menggembungkan dua pipinya. Lalu meloloskan napas. Sejak dia menerimaku sejam yang lalu, ekspresinya datar saja. Tidak ada satu tanda pun yang menunjukkan kalau dirinya menyukai kehadiranku.

Satu jam yang lalu, saat angin kencang, rintik gerimis mulai membasahi bumi. Juga hadirnya petir yang membelah cakrawala. Aku kelabakan, berlari-lari mencari tempat untuk berteduh. Bukan hanya aku, orang-orang pun sama. Kebanyakan dari mereka membawa payung. Jadi, tidak kehujanan. Sedangkan aku kelimpungan sendiri harus mencari tempat berteduh.

Aku paling takut dengan kilat yang menggelegar. Kakiku jadi gemetaran setiap kali mendengar suara petir yang meledak-ledak. Hanya ada dua pilihan, aku basah kehujanan dengan risiko disambar petir atau aku berlindung ke tempat seseorang yang kukenal. Kuputuskan memilih opsi ke dua. Pergi ke rumah mantan.

Aku menggigit bibir bawah. Hawa dingin menusuk-nusuk sampai ke tulang. Dengan keberanian untuk menjatuhkan harga diri, aku nekat mengetuk rumah kontrakan Marwan. Pria yang sudah digadang-gadang bakal menjadi calon suamiku kelak. Namun, akhirnya gagal karena kami ditakdirkan berpisah.

"M-maaf, aku boleh nggak numpang berteduh? Di luar lagi hujan deras," ucapku terpatah-patah. Bibirku gemetaran menahan dingin sekaligus malu. Bagaimana tidak, pada bulan ke empat aku memutuskan untuk tidak melanjutkan hubunganku dengan Marwan. Padahal, pria di depanku itu sudah memohon-mohon agar hubungan kami tidak putus. Namun, aku kekeh untuk mengakhirinya.

Marwan tidak langsung menyuruhku masuk. Dia berdiri di ambang pintu menatapku dengan segala macam pikiran yang mungkin bergelayut di dalam kepalanya.

"Masuk! Aku nggak mau kamu pingsan di sini," ucapnya datar.

Berbagai cara sudah kulakukan untuk bisa memasak dengan rasa yang enak. Namun, hasilnya sama saja, terkesan biasa.

Marwan mulai menjamah piring berisi Indomie goreng yang aku masak tadi. Aku menyimak, melihat sorot mata itu membuatku mengerti. Dia sama sekali tidak berminat. Tangannya mulai mencomot satu dari banyak makanan yang memiliki bentuk keriting dan panjang itu dari piring.

"Masih kaku dan mentah gini," hardiknya.  Memilin Indomie goreng yang tadi kubuat.

"Marwan, kamu tahu sebenarnya aku masih sayang sama kamu. Tapi jujur, ini salah satu yang menjadi alasan aku mengakhiri hubungan kita." Tidak tahu kenapa air mataku malah jatuh ke pipi. "Kalau kamu bisa sedikit aja menghargai kerja keras, perjuangan dan semua yang aku korbankan selama ini. Mungkin cerita kita bisa berbeda ujungnya."

"A-aku nggak bermaksud--"

"Anggap aja aku lagi ngasih kesempatan buat kamu sekarang. Tapi setelah aku pertimbangkan lagi, kayaknya emang hubungan kita udah nggak ada celah lagi buat balikan." Aku menyeka air mata yang semakin deras mengalir.

"Mawar, maaf kalau selama ini aku terlalu jujur dan membuatmu sakit. Tapi kalau aku nggak jujur dari awal, bukankah semua akan terasa lebih menyiksa dan menyakitkan?" Marwan menatap ke dalam dua bola mataku. "Berhubung kamu tamu di sini, akan kubuatkan mi spesial."

Marwan membawa dua piring Indomie goreng gagal buatanku ke dapur. Aku mengikutinya dari belakang.

"Karena mi goreng buatan kamu mentah dan kaku, aku terpaksa harus mengulang semua dari awal, bukan?" Tangan pria berambut keriting itu cekatan memasukkan dua butir telur ke air mendidih, diikuti dua Indomie goreng dan beberapa sayuran yang  sudah diiris tipis.

"Biarpun Indomie buatanku kaku, tapi cintaku sama kamu gak sekaku itu," ucapku sambil mengerutkan bibir.

"Kamu mau nggak, hubungan kita juga dimulai dari awal lagi? Kita ulang semua dari nol," pintanya.

Marwan mematikan kompor. Mendorong tubuhku ke dinding terdekat. Aku mengerjapkan mata. Napas kami saling beradu. Dua mata kami saling bertemu, menekuri perasaan masing-masing.

"Apa ini? Kenapa kita begini?" tanyaku gemetaran. Bukankah aku mengakhiri hubungan dengannya karena alasan yang kuat. Perlahan, tanganku mendorong tubuh Marwan ke belakang. "Aku laper, jangan sampai mi buatanmu melar."

Marwan membuang napas dengan sedikit kesal. Dia menuang minyak dan bumbu ke dalam piring besar. Mi, sayur dan telur di dalam wajan ditiriskannya. Kemudian mengaduk semuanya menjadi satu di dalam piring berisi bumbu.

"Kok satu doang?" protesku.

"Aku pengen makan sepiring berdua sama kamu. Terserah kamu mau menganggap aku sahabat, mantan atau musuhmu. Aku udah nggak peduli." Marwan ngeloyor pergi membawa piring berisi mi goreng bersama sepasang sumpit dan sebuah garpu.

"Yakin nggak papa kita makan dalam satu wadah?" tanyaku penasaran.

Marwan mengernyitkan dahi. "Kalau nggak suka, nggak masalah."

"Bukan gitu. Aku takut nanti chemistry kita terbangun lagi."

"Bagus dong, jadi ada alasan buat kita balikan lagi," kilahnya. "Udah ah, aku cuma bercanda, buruan makan!"

Aku menatap ke dalam piring. Ada sesuatu yang kurang.

"Ah, iya. Aku ambil saus dan kecap dulu." Rupanya ingatan pria ini masih amat kuat. Aku tidak bisa makan mi tanpa tambahan saus dan kecap.

Marwan dengan telaten mengaduk mi agar saus dan kecapnya bisa merata. Dia memberikanku sumpit, sementara ada sebuah garpu di tangannya. Begitulah cara kami menikmati Indomie goreng. Berbeda, tetapi tetap satu hati.

Aku dan Marwan tidak menyadari, di dalam mulut kami ada sehelai mi yang sama. Mi itu terulur panjang dengan masing-masing ujung berada di mulut kami. Mata kami saling membelalak. Aku hanya diam saat Marwan menarik mi itu dengan mulutnya. Tahu-tahu, wajahnya sudah mendekat ke arahku.

Aku jadi malu dan salah tingkah sendiri seolah-olah hubungan kami masih sama seperti dulu. Aku terpaksa mengalah memotong mi di dalam mulutku memakai gigi.

"Maaf, aku jadi kebawa suasana begini." Bibir Marwan menjadi merah, sama seperti dulu. Kalau makan mi instan dicampur saus, efeknya jadi begitu.

"Wan, kamu masih sayang sama aku nggak, sih?" tanyaku secara tiba-tiba.

Marwan mendongakkan wajah. "Kenapa tiba-tiba nanya gitu?"

"Mi yang kita makan bisa putus. Sama kayak hubungan kita. Tapi kalau kamu ngasih satu kardus Indomie goreng ke aku, mungkin itu bisa jadi jalan buat nyatuin kita lagi." Aku sudah tidak tahan lagi untuk tidak bilang kalau masih sayang sama Marwan.

Marwan tergelak. Dia menyingkirkan piring yang isinya sudah mulai tandas. "Aku udah capek-capek nawarin cinta. Kamu malah minta Indomie sekardus."

"Tapi aku mau ngasih satu syarat."

"Apa?"

"Kamu harus janji, mau nerima aku apa adanya. Sabar saat aku berada dalam proses belajar. Aku akan belajar masak, belajar semua hal yang kamu inginkan." Aku menatap mata Marwan yang berkaca-kaca. 
"Karena enggak ada yang instan di dunia ini. Mi instan aja enggak bener-bener instan. Harus dimasak dulu. Iya nggak?"

Marwan tertawa. Dia mengusap-usap pucuk kepalaku. Memelukku lagi. Rasanya selalu nyaman saat berada di dalam pelukannya. Apalagi cuacanya dingin begini. Rasanya hangat dan menyenangkan ditemani sama orang dan makanan mi goreng kesayangan.

"Besok kita beli Indomie sekardus, ya."

Aku mengangguk senang.

Pada akhirnya, perasaan kami yang masih sama. Juga segala kebaikan Indomie, membuat kami bersatu kembali.

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Pesona Ustaz Gundul 1-3
1
0
Bagaimana Nayya tidak bucin dengan suaminya sendiri? Selain tampan, hatinya juga begitu lembut. Setiap perbuatan yang dilakukan Rafan membuatnya meleleh.Rafan memiliki sejuta pesona yang bisa memikat hati wanita manapun. Tidak heran banyak yang menjulukinya sebagai Ustaz GUNAWAN (baca: gundul tapi menawan). Selain rupawan, ia seorang pemuka agama. Untuk itu, Nayya merasa harus selalu menjaga pangerannya.Konflik di antara mereka terjadi saat usia pernikahan baru seumur jagung. Ternyata Nayya menikah dengan Rafan yang berstatus duda. Nahasnya, Nayya terlambat mengetahuinya. Wanita itu anti sekali dengan pernikahan perawan dan duda. Ia sendiri malah harus mengalaminya. Lantas, apakah untuk hal satu ini Nayya bisa memaafkan Rafan?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan