Part sebelumnya, diceritakan, kalau Sani pindah ke tempat tinggalnya yang dulu. Terus, ia juga memutuskan untuk cuti kuliah. Lalu, hari ke hari, Miko jadi sedikit tertarik dengan Sani. Bahkan, ia dipergoki oleh Mamanya saat memerhatikan Sani saat bekerja. Hanya saja, ia menyangkal hal tersebut. Akan seperti apa kisah selanjutnya? Cus, langsung aja baca kisah selanjutnya di bawah! Semangat membaca!
[AUTHOR]
Miko dan Sani tiba di warungnya Ibu Euis, beliau langsung mengambil kue bolu yang dibawa oleh mereka berdua, dan menyimpannya di etalase. Lalu, beliau tampak heran melihat ke arah Sani dan cukup penasaran dengannya. Karena, beliau baru kali ini menjumpai Miko bersama seorang wanita.
“Ini calon kamu, Mik?”
“Eh, bukan, Bu. Bukan.” Miko sedikit panik, karena langsung ditembak dengan pertanyaan seperti itu.
“Dia ini Sani, anaknya temen Mama. Dia yang bantu-bantu Mama bikin kue sekarang.”
“Oohh, ini yang diceritain sama Mama kamu kemarin. Ibu kira calon kamu.”
Sani tampak mesem saat dilirik oleh Ibu Euis.
“Eh, iya. Kamu gak mungkin punya pacar secantik dia. Kamu, kan, cuma main laptop aja kerjaannya. Gak pernah keluar rumah.”
Miko jadi sedikit kesal mendengar penuturan dari Ibu Euis. Tapi, berusaha ia sembunyikan perasaannya itu.
“Tunggu, ya. Ibu ambil uang hasil penjualan yang kemarin.”
“Iya, Bu.”
Sani merasa heran dengan perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Miko, setelah Ibu Euis tentang kebiasaannya itu.
Ibu Euis kembali dan memberikan sejumlah uang kepada Miko.
“Ini uangnya, Mik. Semua kuenya laku. Alhamdulillah.”
Miko menghitung uang tersebut.
“Itu udah Ibu potong sama komisi yang Ibu dapat.”
“Oh, iya pas uangnya, Bu. Makasih. Kalo gitu, kami pamit. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam!”
“Permisi, Bu.”
Sani juga berpamitan kepada Ibu Euis.
“Iya, silakan.”
***
Sekarang mereka berdua mengantarkan kue yang berikutnya, ke Warung Ibu Dede. Sani kembali mendapati dugaan yang sama dari Ibu Dede.
“Kamu pacarnya Miko, ya? Udah berapa lama pacarannya?”
“Bu-bukan, Bu. Saya ini cuma karyawannya Tante Meri,” jawab Sani dengan sedikit malu-malu.
“Oh, kirain pacarnya Miko. Soalnya, kalian cocok, loh.”
“Ah. Ma-masa, sih, Bu?”
Sani kembali tersenyum mesem menanggapi gurauan tersebut.
***
Terakhir, mereka mengantarkan kue ke warungnya Pak Madi. Karena jaraknya jauh, mereka pun menggunakan sepeda motor untuk pergi ke sana. Miko langsung menghentikan sepeda motornya ketika sudah sampai. Sani turun terlebih dahulu, kemudian Miko.
Pemilik warung tampak keluar dan menghampiri mereka berdua.
“Wah, hebat. Sekarang kamu nganterin kuenya ditemenin sama pacar.”
Lagi-lagi mereka disangka pacaran oleh orang ketiga yang mereka temui hari ini. Sani kembali tersenyum mesem menanggapinya, sedangkan Miko, agak tidak suka mendengarnya.
Miko mengambil alih kotak kue yang dibawa oleh Sani dan memberikan kepada Pak Madi.
“Dia bukan pacar saya, Pak. Tapi, karyawannya Mama. Jadi, dia bantuin saya juga buat nganter kue ini ke warung-warung.”
“Oh, gitu, toh.” Seru Pak Madi seraya menerima kotak kue tersebut. “Tapi, nanti juga kalian pacaran. Bapak yakin. Apalagi, dia karyawan Mamamu. Pasti ketemu setiap hari, kan?”
Sani dan Miko saling bertatapan.
“Kalo itu, saya gak bisa berkomentar.”
Miko berusaha untuk tidak terlalu serius menanggapinya.
“Ya udah, makasih. Uangnya udah ditransfer ke Mama kamu.”
“Iya, Pak. Sama-sama.”
Pak Madi kembali masuk ke dalam warungnya. Lalu, Miko bergegas menaiki sepeda motornya. Dan Sani tampak menunggu Miko selesai memutar arah sepeda motornya. Kemudian, Sani naik dan Miko langsung tancap gas membuat Sani sedikit terkejut dibuatnya.
***
[SANI]
Kali ini aku lebih banyak diam sepanjang perjalanan pulang. Karena, aku teringat kembali kejadian tadi di rumahnya Miko.
***
“Ya udah, gue mau kerja lagi.”
Aku merasa kesal, kenapa orang itu tiba-tiba meneleponku. Bikin aku gak enak aja sama Tante Meri gara-gara pekerjaanku terhenti, karena harus jawab telepon dari dia.
Aku mencoba menenangkan pikiranku dengan melihat ke sekeliling ruangan ini. Lalu, pandanganku tertuju ke sebuah foto yang terpajang di lemari kaca.
“Ini foto masa kecilnya Miko?”
Aku seperti tidak asing dengan wajah masa kecilnya Miko. Lalu, aku pun terkejut melihat jam tangan robot yang dipakai olehnya di foto tersebut.
***
“San, lo baik-baik aja, kan, di belakang sana?”
“Eh, iya. Ada apa?”
“Udah gue duga. Kayaknya, lo kepikiran sama omongan orang-orang tadi, ya?”
“Enggak, kok.”
“Terus kenapa lo diem aja dari tadi?”
Apa aku cerita aja sama Miko?
“Gue cuma kepikiran, lo masih inget gak sama temen-temen masa kecil lo?”
“Kenapa lo tiba-tiba tanyain itu?”
“Enggak. Gue tadi, sehabis terima telepon, liat foto masa kecil lo di ruang tamu.”
“Oh, yang di lemari kaca? Terus hubungannya sama pertanyaan lo tadi apa?”
“Kayaknya dulu kita pernah berteman, deh?”
“Ah masa? Kok, gue gak inget?”
Ternyata, Miko tidak mengingat hal tersebut.
“Iya, sih. Gue gak heran kalo lo gak inget. Soalnya, kita temenannya cuma sebentar waktu itu. Pas kelas satu SD, doang. Terus, pas naik ke kelas dua, gue sekeluarga pindah ke luar kota. Gue juga udah hampir lupa.”
“Bentar, gue inget-inget dulu. Temen gue yang namanya Sani, waktu kelas satu SD.”
Cukup lama juga dia berpikirnya. Memangnya selupa itu dia sama masa kecilnya?
“Ah, gue inget. Lo si anak lugu itu, kan? Yang gampang banget gue kerjain.”
Kenapa malah ke situ, sih, yang dia ingat? Pake ketawa segala, lagi.
“Gue kesel, tau. Lo malah ingetnya yag itu.”
Miko kembali tertawa.
“Habisnya, gak ada kenangan yang lain selain itu. Gimana?”
Iya juga, sih. Waktu itu kalo kami ketemu, dia sering banget ngerjain aku.
“Lo tau, gak? Apa yang bikin gue inget sama lo pas liat foto masa kecil lo itu?”
“Apa?”
“Jam tangan robot-robotan yang selalu lo pake dan lo bangga-banggain itu. Gue jadi ketawa, pas ngingetnya. Ngeselin tapi lucu.”
“Bagus. Ceritanya lo lagi ngolok-ngolok gue, gitu?”
Ternyata, dia sadar dengan yang aku maksud.
***
Kami pun sampai di rumahku.
“Gue gak nyangka bisa ketemu sama temen masa kecil gue, saat gue balik lagi ke sini. Gue kira lo udah melanglang buana entah ke mana, pake jam tangan robot-robotan lo itu.”
Aku tertawa melihat ekspresi kesalnya itu.
“Udah kenapa, ngolok-ngoloknya. Atau lo mau gue kerjain lagi, kayak waktu itu?”
“Iya-iya, maaf.”
Aku merasa puas bisa mengerjainya seperti ini.
***
Aku menghubungi Desi buat meminta penjelasan darinya. Lalu, dia meminta maaf padaku.
“Gue minta maaf, San. Soalnya, mantan lo terus-terusan desek gue buat ngasih tau ke mana lo pindah.”
“Ya, udah. Gue maafin. Udah terlanjur juga, dia mau ke sini minggu ini.”
“Terus, lo mau gimana kalo dia datang ke sana nanti?”
“Ya, gue sebisa mungkin buat gak kerayu lagi sama ucapannya yang manis kayak gula buatan itu.”
“Yang kalo kebanyakan malah jadi pait rasanya. Iya, kan?”
Aku cukup terhibur dengan jokes tersebut.
“Ah, jokes-jokes mahasiswa tata boga. Gak jauh-jauh sama bumbu masakan.”
“Eh, Des. Lo mau tau sesuatu gak?”
“Apa? Jangan bikin gue penasaran lah.”
“Ternyata, Miko itu temen SD gue, loh.”
“Bukannya dari SD lo udah pindah dari sana?”
“Iya, tapi sebelum pindah, gue kelas satunya di sini. Nah, dia itu, bisa dibilang salah satu temen gue.”
“Ingatan lo hebat juga, bisa ingat kenangan waktu SD. Tapi tunggu, kok, lo bilangnya kek gitu? Emangnya waktu itu lo gak sedeket itu sama dia?”
“Justru, gue cukup deket sama dia. Tapi, dalam hal lain.”
“Maksud lo yang kayak gimana?”
Duh, aku keceplosan bilang seperti itu. Desi, kan, orangnya kepoan. Kalo gak dijawab dia pasti maksa-maksa buat diceritain detailnya seperti apa.
“Dia suka banget ngerjain gue. Karena, gue lugu banget pas masih SD.”
“Ah, iya, sih. Sekarang lo juga masih lugu dan juga polos. Makanya kena gombalan mantan lo itu.”
“Ah, asem. Gue nyesel cerita ini sama lo.”
Desi tertawa lepas banget, aku jadi kesal dibuatnya.
“Emang ya, jodoh gak bakal ke mana.”
“Kenapa malah jadi ke sana larinya, sih?”
Tapi, kalau memang kami berjodoh. Apa ini yang dinamakan takdir? Kenapa aku jadi berpikiran seperti itu, sih?
“Woy, lo kenapa tiba-tiba geleng-geleng kepala gak jelas gitu? Jangan-jangan lo suka sama dia, ya? Tapi, lo berusaha buat nyangkal itu.”
“Enggak. Iih! Lo suka banget ya, ngejodoh-jodohin orang.”
“Soalnya gue seneng, dan nungguin banget lo punya pasangan lagi. Biar kita bisa double date lagi, kayak waktu itu.”
“Ah, udah, ah. Lo malah bikin gue inget masa-masa itu lagi. Kesel, tau.”
Aku langsung memutus sambungan video call-ku dengan Desi.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰