
Bab 6
Happy Reading !!!
***
“Maaf bikin Abang nunggu lama,” ringis Ziva tak enak hati.
“Gak apa-apa, salah aku juga gak nanya kamu pulang jam berapa.”
Saking semangatnya bertemu Ziva, Gilang bahkan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Benar-benar bukan dirinya sekali. Tapi mohon di maklumi, Gilang sedang jatuh cinta. Dan saat ini tengah bahagia-bahagianya karena akhirnya ia memiliki kekasih.
Seperti yang Gilang bilang, ia mengambil keputusan berengsek yang kelak akan membuat keluarganya kecewa dan adiknya terluka. Tapi Gilang nyatanya memang tidak bisa mengabaikan perasaannya. Sisi hatinya yang egois menginginkan Ziva, dan Gilang memilih mengikutinya.
Satu bulan sudah pengkhianatan itu mereka lakukan dan sialannya baik Ziva mau pun Gilang benar-benar menikmatinya.
Intensitas pertemuan mereka memang tak sesering pasangan baru pada umumnya, mengingat Galen masih jadi tunangan Ziva yang kerap mengantar atau menjemputnya. Tapi mereka aktif berkomunikasi, dan sesekali bertemu meskipun harus mencuri-curi waktu. Entah itu ketika makan siang atau menjemput Ziva pulang kantor di saat Galen memiliki kesibukan.
Bahkan, Gilang pernah juga nekat menemui Ziva di rumahnya, saking rindunya pada gadis itu. Tidak sampai masuk memang, karena orang tua Ziva jelas tahu siapa Gilang, dan tentunya akan jadi pertanyaan ketika melihat kedatangannya. Maka taman kompleks lah yang pada akhirnya menjadi tempat mereka melepas rindu, meskipun sebenarnya tidak pernah cukup. Tapi mau tak mau, mereka memang harus bersabar dulu hingga waktu yang tidak bisa di tentukan, mengingat tidak mudah mengakhiri hubungan Ziva dan Galen yang sudah memiliki ikatan.
Hanya pertunangan, tapi tetap saja tidak se-simple itu untuk mengakhirinya. Terlebih tidak adanya problem di hubungan Ziva dan Galen. Kecuali permasalahan tentang perasaan yang mana Ziva tidak mencintai tunangannya.
Gilang sudah tahu semua cerita di balik hubungan Ziva dan Galen, dan itu cukup membuat Gilang iba pada sang adik. Semenjak Galen memperkenalkan Ziva ke hadapan orang tua, Gilang tahu Galen begitu mencintai kekasihnya. Tapi Gilang juga tidak bisa menyalahkan Ziva sepenuhnya, sebab bagaimanapun dirinya tahu bahwa rasa memang tidak bisa di paksakan.
Satu tahun Ziva mengusahakan, menumbuhkan cinta yang memang seharusnya ada di dalam hubungannya dengan Galen. Dan mungkin itu berhasil, hanya saja kalah besar dengan rasa cintanya kepada Gilang. Membuat setitik cinta itu kembali terkikis, dan berakhir dengan pengkhianatan ini.
Sejujurnya Ziva juga tidak ingin berada di posisi ini. Ziva ingin mencintai sosok yang menjadi kekasihnya, mengingat Galen adalah pria baik dan penuh perhatian. Pria itu begitu menjaga dan mencintainya.
Bisa di bilang Galen tak memiliki celah. Siapa pun akan merasa beruntung memiliki pria itu. Pun dengan Ziva. Sebelum bertemu dengan Gilang Ziva pernah merasa begitu beruntung memiliki Galen. Tapi kemudian Ziva buta oleh cinta yang dirinya rasa. Ziva tak bisa membayangkan akan sekecewa apa Galen ketika tahu hubungannya dengan Gilang nanti.
Sesungguhnya baik Ziva maupun Gilang belum ada yang mampu bicara, mereka sama-sama tidak siap mengakui pengkhianatan ini. Tapi untuk menyudahinya jelas tidak bisa mereka lakukan. Terlebih sekarang hubungan itu sudah mereka jalin. Kerap menghabiskan waktu bersama dan saling berbagi cerita. Kedekatan yang mereka cipta membuat rasa itu semakin tumbuh dalam. Dan mereka merasa bahwa ini sudah benar. Bahkan di saat berdua seperti ini mereka sering tiba-tiba lupa pada Galen yang mereka khianati.
Benar-benar berengsek!
Namun mereka tak peduli, itu biarlah menjadi urusan nanti, karena sekarang Ziva dan Gilang lebih ingin bersenang-senang, melepas rindu setelah beberapa hari tak bertemu. Gilang sibuk, sementara Ziva terus di tempeli Galen yang akan berangkat ke luar kota untuk mengurusi pekerjaannya.
Pagi tadi pria itu pergi, baru akan pulang satu minggu kemudian. Dan keabsenan Galen ini menjadi kesempatan untuk Gilang berperan sebagai kekasih.
“Mau makan di mana?” tanya Gilang sesaat setelah mobilnya melaju meninggalkan parkiran.
“Ke supermarket aja gimana? Beli bahan makanan, biar nanti aku yang masak?” usul Ziva dengan binar semangat.
“Gak cape memangnya?”
Ziva menggeleng. “Masaknya yang simple-simple aja. Lagi pula aku udah lama gak masak. Abang juga belum pernah cobain masakan aku ‘kan?” karena selama satu bulan mereka berhubungan Gilang memang selalu mengajaknya makan di luar karena mereka tidak memiliki banyak waktu untuk bersama. Sekarang mereka bisa menghabiskan waktu lebih lama sebelum Gilang mengantarkannya pulang ke rumah.
Supermarket yang ada di kawasan apartemen lah yang menjadi tujuan setelah Gilang menyetujui usulan Ziva untuk memasak. Dan sekarang troli yang Gilang dorong sudah di isi dengan segala kebutuhan mereka, mulai dari daging, udang, buah, sayuran dan tak lupa camilan ikut melengkapi belanjaan mereka.
Dan hal sederhana seperti ini mampu membuat mereka bahagia, karena ternyata menemani pasangan belanja begitu menyenangkan. Gilang suka.
“Selagi nunggu makan malamnya siap, aku mandi, ya?” ucap Gilang selesai meletakkan belanjaan mereka ke atas meja bar dapurnya.
“Oke.” Responsnya di iringi senyum manis yang selalu saja berhasil membuat Gilang gemas hingga tak tahan untuk tidak melayangkan kecupan di pipi atau bahkan bibir wanita itu. Namun kali ini sepertinya Gilang tidak bisa hanya mengecupnya saja karena begitu bibirnya menempel di bibir Ziva, Gilang mendamba sebuah lumatan, dan pada akhirnya ciuman panjang terjadi hingga membuat Ziva nyaris kehabisan napas. Tapi tak bohong bahwa Ziva begitu menyukainya.
“Nanti aku minta tambah,” kata Gilang sesaat setelah melepaskan ciumannya, setelah itu menjatuhkan kecupan di puncak kepala gadisnya, lalu pergi menuju kamarnya, meninggalkan Ziva di dapur seorang diri dengan napas yang masih sedikit memburu.
Jika soal ciuman Gilang benar-benar selalu membuatnya kewalahan. Benar, ini bukan untuk yang pertama, karena sebelumnya Gilang pernah melakukannya juga, bahkan lebih lama dibandingkan barusan. Dan Ziva akui bahwa dirinya ketagihan. Ziva ingin terus merasakan lembutnya bibir Gilang yang bermain dengan bibirnya.
Namun dengan cepat Ziva menggeleng untuk membuang pikiran gilanya, ia mulai mengeluarkan semua barang dari kantong belanjaannya, lalu merapikannya di tempat seharusnya, setelah itu barulah Ziva memulai acara masaknya.
Udang saus tiram adalah menu yang Gilang inginkan, dan Ziva memutuskan untuk membuat capcai juga tahu kecap sebagai tambahan.
Kurang dari satu jam semua makanan selesai Ziva hidangkan, dan Gilang yang semula memilih duduk di living room sambil melanjutkan pekerjaan terlihat berbinar ketika mendapati semua makanan di meja. Membuat Ziva refleks mengembangkan senyum, senang karena Gilang tergiur dengan makanannya, bahkan pria itu begitu lahap saat memakannya. Terlihat seperti orang tak makan berhari-hari. Membikin Ziva geli, tapi tak urung merasa senang juga.
Selesai makan malam dan membereskan sisa kekacaun di dapur, Ziva dan Gilang memutuskan untuk duduk-duduk di balkon, menikmati pemandangan malam, yang terlihat indah dengan bintang yang bertabur di langit. Membuat Gilang seketika ingat pada kebodohannya malam itu. Tapi berkat kebodohannya itu lah akhirnya sekarang Gilang bisa bersama Ziva, memeluk perempuan itu secara nyata. Yang Gilang harap ‘kan berlangsung selamanya.
“I love you, Zi,” bisik Gilang seraya menambah erat pelukannya, membuat Ziva menoleh dan mengerutkan kening, menatap Gilang.
“Kalau aja malam itu aku gak mabuk, sampai sekarang aku pasti masih menjadi pecundang yang hanya berani menatapmu dari kejauhan dan mencintai kamu dalam diam,” senyum Gilang tersumir tipis.
“Terima kasih karena kamu memilih langsung mengambil langkah sejak tahu bagaimana perasaanku.”
Karena jujur saja Gilang bukan pria gentle yang berani mengutarakan rasa suka secara blak-blakan pada sosok yang berhasil mencuri perhatiannya. Hingga pernah Gilang kehilangan seorang gadis karena terlalu kaku dan lambat dalam bertindak. Tapi itu tidak membuatnya marah. Gilang cukup merasa sadar bahwa mungkin Tuhan memang tidak menakdirkan gadis itu untuknya. Dan ketika dirinya menyukai Ziva pun, Gilang tak berani menunjukkan perasaannya.
Selain karena dirinya yang tak pandai mendekati lawan jenis, Ziva juga milik adiknya. Tapi itu tidak lantas membuat Gilang menyudahi perasaannya, karena semakin hari dirinya malah semakin mendambakan Ziva, sampai kemudian menatapnya secara diam-diam adalah kegemarannya. Hingga akhirnya dengan bantuan alkohol, Gilang berhasil mengutarakan rasanya, dan Ziva menyambutnya.
“Tapi Abang gak nyesel ‘kan sekarang?”
“Kenapa Abang harus menyesal?” balik Gilang bertanya dengan kening mengerut dalam.
Ziva mengedikan di bahu singkat. “Karena mencuri milik Galen mungkin.”
“Apa kamu menyesal?” tanya Gilang serius.
Ziva melepaskan diri dari pelukan Gilang lalu mengubah posisi duduknya jadi berhadapan dengan pria itu, menatap Gilang tak kalah seriusnya. “Apa Abang melihat sebuah penyesalan di mataku?”
Tidak ada. Gilang jelas mengetahui itu. Sama seperti dirinya Ziva pun menikmati pengkhianatan ini. Karena di bandingkan sesal, justru bahagialah yang tergambar di kedua mata itu.
“Abang gak akan tahu bagaimana jantungku berdebar ketika malam itu Abang bilang cinta aku. Aku sampai terjaga hingga pagi demi memastikan bahwa Abang benar-benar mengatakannya. Empat kali Abang menggumamkannya secara jelas, dan aku gak bisa untuk gak percaya. Sampai akhirnya aku memutuskan bertemu abang. Aku ingin kembali memastikan bahwa apa yang abang katakan memang sungguhan,” dan meskipun awalnya Ziva di buat kecewa, pada akhirnya mereka tetap bersama. Meski harus mengkhianati Galen demi mewujudkan cintanya.
“Dan kamu pun gak akan tahu bagaimana cemburunya aku setiap lihat kamu sama Galen. Aku kesal ketika tangan dia merangkul kamu, terlebih ketika bibirnya mampir di puncak kepala kamu. Jika saja aku gak ingat status kalian apa, aku ingin sekali menjauhkannya dari kamu. Tapi yang aku bisa hanya menahan sakit itu,” lirih Gilang di akhir kalimatnya.
Ziva dapat merasakan emosi Gilang ketika menceritakan itu, dan Ziva malah justru tersenyum. Hatinya berbunga mendengar pengakuan Gilang barusan.
“Mulai sekarang aku janji akan mengambil jarak. Aku juga gak akan biarin Galen mendapat kesempatan untuk melakukan itu lagi. Tapi aku gak janji bisa langsung menghindarinya,”
“Aku paham,” sela Gilang cepat.
Semua memang tidak bisa semudah yang mereka inginkan. Di sini baik Gilang mau pun Ziva tidak ada yang ingin menyakiti Galen, meskipun apa yang mereka lakukan saat ini sudah terhitung menyakiti Galen. Tapi selama Galen tak mengetahuinya, setidaknya mereka harus tetap bersikap normal, hingga saatnya tiba nanti, Gilang janji akan mengakui kesalahannya ini
***
See you next part !!!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
