
Bab 35
Tidak ada alasan untuk aku meninggalkan Pak Naren setelah semua memori yang hilang kembali aku ingat. Tidak ada alasan untuk aku menjauhinya dan menyalahkan apa yang terjadi di masa lalu. Kecelakaan itu memang ada kaitannya dengan Pak Naren, tapi sama sekali bukan sepenuhnya salah Pak Naren. Perasaan memang kadang menghancurkan, entah itu semuanya atau salah satunya. Namun perlu diingat bahwa itu diluar kuasa manusia. Hati tidak pernah tahu kepada siapa dia akan berlabuh, perasaan tidak pernah tahu dengan siapa dia bersambut dan cinta … tidak ada yang tahu tentang misteri itu.
Kak Sifi memang memiliki cinta untuk pria yang menjadi sahabatnya, dan Pak Naren memiliki cinta untuk adik dari sahabatnya. Aku tidak berbangga diri karena lebih unggul dari kakakku, tapi aku sadar tidak ada yang bisa mengendalikan rasa. Aku sudah berniat mengalah karena aku jelas tahu kakakku lebih berharga dari apa pun di dunia ini. Namun sekali lagi siapa yang tahu jodoh, siapa yang tahu takdir, dan siapa yang tahu maut? Semua kembali pada Tuhan dan aku tidak bisa menjauhi Pak Naren hanya gara-gara itu, terlebih Kak Sifi tidak ada di dunia ini. Aku bukan mensyukuri itu, tapi aku hanya berusaha berpikir terbuka. Aku tidak ingin egois dan aku juga tidak mau berkeras hati mengelak mengenai perasaan yang aku miliki.
“Maafin Icha, Kak. Maaf belum sempat membuat Kakak bahagia dan bangga memiliki adik seperti Icha. Maaf untuk kesalahan yang juga pernah Icha lakukan. Icha harap Kakak bahagia di sisi Tuhan. Icha sayang Kak Sifi,” kubiarkan air mata turun dari sudut mata sambil menatap nisan berukirkan nama Kak Sifi. Sekian tahun terlewati ini kali ketiga aku mengunjungi pembaringan terakhir Kak Sifi dan tujuanku kali ini untuk meminta maaf. Maaf atas tindakanku yang dulu mengecewakannya.
Teringat jelas bagaimana raut kecewa Kak Sifi ketika mendapati kenyataan aku bersama Pak Naren. Terlihat jelas raut terlukanya, dan itu benar-benar membuatku merasa bersalah. Andai saat itu aku jujur terhadap Kak Sifi, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Aku salah karena pernah melambungkannya dengan memberi usul untuk mengungkapkan rasanya, tapi akhirnya aku sendiri yang menjatuhkannya ke dasar yang paling menyakitkan.
Aku melihat bagaimana sakitnya Kak Sifi waktu itu, tapi tidak ada yang tahu sesakit apa aku ketika dihadapkan diantara dua pilihan yang sama-sama ingin aku genggam. Sakit rasanya mengingat itu kembali, terlebih sampai saat ini ibu belum juga memberi restu untuk hubunganku dengan Pak Naren. Ibu masih berkeras tidak ingin aku bersama pria tercintaku karena ibu merasa bahwa Pak Naren-lah penyebab kehancurannya. Aku cukup memahami itu mengingat ibu begitu menyayangi Kak Sifi. Tapi haruskah aku tetap mengalah di kala Kak Sifi sudah tidak ada? Jangan konyol! Aku tidak ingin menyiksa diriku sendiri dengan melepaskan Pak Naren yang begitu amat aku cintai.
“Kak, mungkin aku tidak bisa melihat Kakak. Tapi aku yakin Kakak bisa melihatku dan juga mendengar aku. Maaf kalau selama ini aku jarang mengunjungi Kakak dan sekarang tiba-tiba aku datang dengan pria yang berhasil menghancurkan hati Kakak. Maaf karena aku pun menjadi bagian dari kehancuran itu,” air mata yang masih terus menetes kuseka lebih dulu. Ini bukan tangis kepuasan, melainkan kesedihan yang ternyata masih aku simpan setelah sepuluh tahun bertahan dalam kebodohan karena sama sekali tidak menyadari apa pun yang terjadi hingga mengakibatkan Kak Sifi berada di keabadian.
“Seharusnya sejak awal aku bilang sama Kakak, seharusnya sejak awal kami jujur sama Kakak. Tapi nyatanya kami sepengecut itu, kami malah berniat semakin membuat Kakak hancur. Maaf sudah menjadi adik yang buruk untuk Kakak,” melihat tangisku mulai tak terkendali, Pak Naren yang sejak tadi duduk di sampingku segera meraih tubuhku ke dalam pelukannya, memberikan elusan pelan untuk menenangkanku yang terguncang.
Seharusnya ini sudah berlalu. Sepuluh tahun terlewati tapi aku malah baru sekarang bersedih hati. Aku tidak tahu bahwa aku akan sejahat ini pada kakakku sendiri.
“Dulu aku pernah berjanji akan mengalah. Tapi Kak, apa aku tetap harus melakukan itu? Jujur aku tidak bisa. Aku sadar bahwa untuk berada di belakang itu terlalu menyesakkan. Dan mungkin itu juga yang Kakak rasakan saat tahu hubunganku dengan Mas Naren. Aku minta maaf. Tapi Kak, maaf jika kedatanganku ini termasuk lancang karena jelas bahwa bukan kekalahan yang ingin aku sampaikan, melainkan sebuah restu yang ingin aku dapatkan. Aku tidak tahu sejahat apa lagi aku melukai Kakak. Tapi harus jujur aku katakan bahwa tidak mudah kehilangan sosok yang aku inginkan. Maaf jika lagi-lagi aku mengecewakan. Tapi aku serius mencintainya Kak. Mungkin rasaku tidak lebih besar dari rasa yang Kakak miliki, tapi aku ingin egois kali ini. Tolong izinkan aku bersamanya. Tolong restui hubungan kami. Aku janji akan membahagiakannya. Aku janji akan selalu ada di sampingnya, dan aku janji akan mencintainya sebesar Kakak mencintai dia. Aku harap Kakak mau rela membiarkan aku tetap bersamanya. Aku harap Kakak ikut bahagia dengan hubungan yang kami jalani ini.”
⁂
Sekembalinya dari pemakaman, aku dan Pak Naren tidak langsung pulang melainkan memilih taman hiburan untuk menjernihkan pikiran sekaligus mengenang masa remaja dulu yang sempat aku lupakan. Pak Naren menepati janji untuk kembali mengajakku naik roller coaster dengan meneriakan kalimat yang sama seperti bertahun-tahun lalu. Dan itu masih saja mampu membuat wajahku memanas, malu sekaligus bahagia.
Seperti layaknya masih remaja, kami menaiki satu per satu permainan yang disuguhkan dengan perdebatan yang lebih dulu kami lakukan demi memutuskan siap yang paling berani dan bisa menahan jeritan selama dalam permainan yang cukup menantang. Benar-benar lupa bahwa umur sudah tidak lagi remaja seperti bertahun-tahun lalu, tapi tidak bisa aku bohongi bahwa aku bahagia. Dan aku sadar bahwa sebahagia itu juga aku di masa remaja. Bersama Pak Naren yang diam-diam mencuri hatiku.
“Terima kasih,” ungkapku saat kami sudah duduk di sebuah café yang masih berada di area taman bermain. Namun kami memutuskan untuk menyudahi acara main-main ini, dan bersiap pulang ketika sudah mengisi penuh perut masing-masing.
“Tidak perlu berterima kasih untuk apa yang juga aku senangi. Lagi pula aku bukan menuruti ingin kamu. di sini aku dan kamu ada untuk mengenang masa yang sudah pernah kita lalui. Aku senang karena Tuhan masih memberi kita kesempatan. Diluar masalah yang sempat membuat kita sama-sama terluka, kini aku bersyukur karena bisa kembali menghabiskan waktu bersama kamu.”
Senyumku terukir mendengar kalimat Pak Naren barusan, lalu tak segan aku memeluk pria itu yang tentu saja langsung di balasnya, bahkan satu kecupan aku rasakan di puncak kepalaku.
Tak lama makanan yang kami pesan datang, membuatku melepas pelukan dan berbinar saat fusilli carbonara yang kupesan terhidang di meja. Perut kosong yang sudah keroncongan membuatku tak sabar melahap makanan tersebut. Pak Naren sampai geleng kepala melihat itu. Namun aku abaikan, perut kosongku lebih penting dari image di depan pria itu. Biarkan, toh Pak Naren sudah tahu bagaimana bobroknya aku.
“Setelah ini mau ke mana lagi? Masih siang nih,” kata Pak Naren, membuatku yang duduk di sampingnya menoleh, menatap wajah tampan itu untuk beberapa saat sambil memikirkan ke mana kiranya aku ingin pergi kali ini. Tapi beberapa menit terlewati tidak juga ada tempat yang ingin aku datangi. Membuatku akhirnya memutuskan untuk pulang. Kos-ku pasti kotor setelah hujan tiga hari lalu, mengingat sejak saat itu aku tidak kembali ke kos, karena justru malah terjebak di apartemen Pak Naren dan di lanjutkan menginap di rumah sakit. Pagi tadi aku baru pulang dan bukannya di gunakan untuk istirahat aku malah sudah main-main. Tapi beruntung tidak terjadi apa-apa meskipun sempat merasa sedikit sakit di bagian kepala.
Selesai mengisi perut, Pak Naren mengendarai mobilnya menuju kos-ku. Ibu dan ayah sudah pulang ke rumah tadi pagi dengan diantar Pak Naren dan juga aku sebelum kemudian mampir ke pemakaman Kak Sifi. Awalnya mereka memintaku untuk tetap tinggal di rumah barang beberapa hari untuk memulihkan kondisiku, tapi aku menolak, karena rasanya tidak enak jika harus terus-terusan cuti kerja mentang-mentang bosnya adalah kekasihku sendiri. Bisa di demo aku oleh karyawan yang lain. Ini juga untungnya terhalang sabtu dan minggu jadi cuma hari jumat saja aku bolos.
Sosok Sari yang menyambut kedatanganku di depan kos, perempuan itu sepertinya baru kembali dari luar, terlihat dari kantong makanan di tangannya.
“Dari mana aja, Cha, tumben jarang ada di kos akhir-akhir ini?” pertanyaannya memang biasa, tapi kedipannya itu yang membuatku memutar bola mata. Sari sepertinya berpikir yang aneh-aneh mengingat aku sudah memiliki kekasih sekarang dan ke mana-mana pasti saja Pak Naren berada di sampingku. Ya, meskipun aku tidak bisa mengelak bahwa belakangan ini aku memang lebih sering menghabiskan waktu di apartemen Pak Naren, tapi kan tidak aneh. Lebih tepatnya tidak banyak.
“Kenapa, kangen, ya, karena gak ada teman gosip?” balik aku menggodanya.
“Gak sih, biasa aja. Cuma setiap malam aku pulang ngerasa seram aja gitu,” katanya seraya bergidik.
“Heleh, dasar penakut!” ujarku mencebikkan bibir, lalu merogoh tas demi mencari kunci kos. Pak Naren tadinya mau mampir dan membantuku membersihkan kos, tapi aku tidak mengizinkan karena pria itu pun pastilah lelah sudah menemaniku sejak di rumah sakit sampai hari ini.
“Eh Cha, serius kamu ke mana aja, udah jarang pulang? Gak berencana tinggal bareng pacar kamu itu ‘kan?” selidiknya melangkah mengikutiku masuk ke dalam.
“Gila!” delikku tajam. “Mana mungkin aku tinggal bareng pacar,” tambahku yang memilih menghentikan kalimat di sana karena tidak mau sampai menyinggung lebih jauh, terlebih soal dosa dan sebagainya, aku tidak ingin dianggap menyinggung terlebih tahu apa yang menjadi pekerjaan Sari.
Meskipun menyadarkan seseorang yang salah itu perlu, tapi tidak semua orang berkenan menerima. Terlebih aku sendiri tahu bahwa apa yang Sari jalani sebuah keterpaksaan yang mengharuskannya jadi kebiasaan dan sebuah kesenangan. Sekali lagi, aku tidak ingin menghakimi. Jika pun ada yang harus membuat Sari sadar, itu bukan aku orangnya. Meskipun jujur aku peduli padanya. Aku hanya tidak ingin mencampuri terlalu jauh. Biarkan, akan ada masa dimana Sari berhenti tanpa harus di ingatkan dan di sentil dengan sebuah sindiran.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
