AURORA - Bab 6 - 8

1
0
Deskripsi

Bab 6

Happy Reading!!!

****

Sepertinya aku salah memilih waktu mengambil cuti, karena satu minggu berada di Bali setiap harinya ada saja hujan yang turun membasahi bumi, membuatku lebih banyak terkurung di penginapan dibandingkan jalan-jalan sebagaimana yang sudah aku rencanakan. Sempat aku berpikir untuk pulang, dan menyudahi liburan ini. Tapi rasanya terlalu sayang. Tidak mudah aku mendapatkan kesempatan untuk rehat dari pekerjaan, karena biasanya ada saja tawaran kerja yang tidak mudah untuk di tolak. Dan jujur saja aku lelah.

Tapi bagaimana, cuti pun tidak membuatku baik-baik saja. Pikiranku tidak bisa lepas dari pertemuanku dengan Galen beberapa hari lalu. Dan itu membuatku kembali meraba kisah yang pernah kami rajut bersama, bahagia yang kami cipta bersama, tawa yang kami ukir bersama, dan masa depan yang menjadi mimpi indahku dengannya. Semua terasa begitu nyata. Hingga kemudian hancur berantakan.

Mulanya memang karena kesalahpahaman, tapi berlangsung karena keinginan. Dan aku tidak bisa mengubah keadaan, sebab Galen sudah lebih dulu menemukan kebahagiaannya sendiri. Jauh berbeda denganku yang hingga hari ini masih saja diam di tempat. Keinginan melangkah itu ada, tapi aku tidak bisa. Rasanya terlalu berat. Dan aku merasa tidak sanggup. Tapi, bukankah sekarang semuanya telah jelas? Perpisahanku dengan Galen sudah memiliki kepastian. Jadi, apa setelah ini langkahku akan ringan?

“Jangan terlalu banyak berpikir, Aurora!” 
Teguran itu menyadarkanku dari lamunan, dan sentuhan lembut yang di berikan pada keningku sukses membuatku terkejut, hingga nyaris saja kursi yang aku duduki terjengkang ke belakang, andai tangan dan kaki Galen tidak segera menahannya.

“Ceroboh!” ujarnya sembari berdecak kesal.

“Lo, ngapain di sini?” tanyaku tanpa repot-repot menyembunyikan kekesalan.

“Nyamperin kamu,” jawabnya begitu ringan. Dan itu benar-benar terdengar menyebalkan di telingaku.

“Ngapain? Udah gue bilang ‘kan, Gal … pergi jauh-jauh dari gue. Anggap bahwa kita gak pernah kenal satu sama lain.”

“Tapi aku gak bisa melakukan itu, Ra. Aku gak bisa berpura-pura gak mengenal kamu, terlebih setelah tahu kesalahpahaman kita sembilan tahun lalu. Aku gak bisa pergi. Aku gak bisa ninggalin kamu, karena nyatanya sejak dulu aku selalu ingin berada di sampingmu. Aku ingin selalu dekat denganmu,”

Bullshit!” selaku dengan sinis. Namun dia hanya tersenyum, seakan memahami kemarahanku.

“Jalan-jalan di pantai, yuk, Ra?” ajaknya, mengabaikan kalimatku. Dan aku tentu saja menolak ajakannya, karena jalan-jalan dengannya tidak sama sekali ada dalam rencana liburanku. Tapi Galen memang benar-benar sialan, bukannya menghargai penolakanku, pria itu malah memaksaku agar ikut dengannya. Bahkan tanpa persetujuan pria itu menarik tanganku keluar dari restoran yang menjadi tempatku menikmati makan malam.

“Lepasin gue, Galen!” sentakku sembari berusaha melepaskan tangan dari genggamannya. Namun tidak sama sekali pria itu menghiraukan, karena yang ada justru terus berjalan membawaku menyusuri tepi pantai. Menikmati hembusan angin malam yang terasa begitu menyejukkan, di sertai debur ombak yang terdengar menenangkan, membuatku perlahan menikmatinya. Dan menyudahi penolakan akan genggaman tangan Galen, karena ternyata berada di sana aku merasa nyaman. Kehangatannya pun masih berhasil membuatku terbuai. Aku tidak tahu ini mimpi atau ilusi, yang jelas aku sadar bahwa aku tidak ingin menyudahi ini.

“Waktu tahu isi dari pesan itu, aku marah. Aku kecewa karena kamu seenaknya mengakhiri hubungan kita gitu aja. Dan aku benci ketika berharap penjelasan aku dapatkan, nomor kamu malah justru gak aktif. Saat itu juga aku ingin pergi nyusul kamu, tapi tugas kuliah bikin aku gak bisa melakukan itu. Ongkos aja aku gak punya. Aku terlalu boros saat itu,” ucapnya diakhiri tawa. Membuat aku yang semula larut dalam lamunan sendiri beralih menatapnya yang terlihat sendu.

“Aku juga pernah hubungi Mama kamu, nanya tentang kamu, tapi beliau bilang kalau hubungan kita memang lebih baik di akhiri. Katanya, kamu mau fokus sama karir dulu. Dan aku di suruh fokus belajar aja biar bisa cepat lulus kuliah dan kerja. Mama kamu bilang masa depan kamu udah cemerlang, apa aku gak malu punya pacar yang udah bisa hasilin uang sementara aku masih minta-minta sama orang tua?” senyum malu kali ini tampil di wajahnya, meskipun tidak begitu ketara karena hari yang sudah malam,

“Di sana akhirnya aku sadar bahwa apa yang mama kamu bilang benar. Sebagai laki-laki aku gak mungkin bergantung sama perempuan. Dan ketika aku pengen ngajak kamu jalan, masa iya harus minta orang tua dulu? Aku malu sama kamu. Sekalipun kamu gak akan mempermasalahkan itu,” lanjutnya, lalu melirik sebentar ke arahku sebelum kembali menatap lurus ke depan, masih sambil melanjutkan jalan dengan tanganku yang berada dalam genggamannya. Namun kali ini tidak lagi di pergelangan, melainkan telah menyelusup ke jari-jari tanganku, membuat tangan kami saling bertautan. Sialannya, itu menambah kenyamanan. Hangatnya bahkan merambat ke hatiku yang beberapa tahun belakangan ini terasa beku.

“Di tengah kesadaran diri dan patah hati, aku ketemu satu perempuan. Mirip banget sama kamu,” ucapnya sambil kembali melirik ke arahku. “Bedanya dia lebih dewasa dengan pembawaan yang lembut. Namanya Ziva Nasturtium Aylin, orangnya cukup pendiam. Dan aku dekati dia saat masih jadi adik tingkatku. Tapi pacaran begitu aku udah wisuda. Aku gak tahu alasan kenapa aku suka sama dia. Entah karena dia yang sulit di luluhkan pria termasuk aku, atau karena sikapnya yang lembut, atau juga karena parasnya yang serupa sama kamu. Aku gak pernah bisa memastikan. Yang jelas saat itu aku tahu bahwa aku harus memilikinya. Hingga akhirnya setelah satu tahun berpacaran aku memutuskan untuk tunangan. Kamu sempat dengar sendiri ‘kan?” kepalaku mengangguk tanpa sama sekali diperintahkan.

“Aku memang tunangan,” ucapnya melanjutkan. Dan sungguh ketika kalimat itu di suarakan hantaman itu kembali aku rasakan. Perih dan sesak, hingga tanpa sadar aku mengencangkan cengkeraman tanganku yang berada dalam genggamannya, membuat Galen refleks meringis dan melirik ke arah tangan kami seraya menghentikan langkahnya dan berdiri tepat di depanku.

“Tapi entah di hari ke berapa pertunangan itu, dia mengkhianatiku. Bang Gilang. Dia mencintai Ziva, begitu pula sebaliknya. Aku baru tahu setelah empat bulan hubungan mereka. Kejujuran itu dia ucapkan di saat aku mengutarakan keinginan untuk menikahinya. Dan yang bikin aku semakin terluka adalah, dia sedang mengandung anak Bang Gilang. Tidak hanya marah, aku juga kecewa, sama kecewanya saat membaca pesan dari nomor kamu yang berisi tentang pengakhiran hubungan kita, padahal saat itu kita sudah berjanji akan bersama hingga maut datang nanti.”

Sebuah senyum miris tampil di wajahnya yang tampan, lalu di susul dengan raut penyesalan. 
“Maaf,” ucapnya teramat pelan. “Andai saat itu aku lebih percaya diri, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Aku gak akan kehilangan kamu, dan aku gak akan mungkin mendapatkan pengkhianatan ini. Aku gak akan menjadi penjahat, aku juga gak akan menjadi laki-laki yang menyedihkan. Aku pasti udah bahagia sama kamu, iya ‘kan, Ra?”

Dan aku benar-benar mengangguk, menyetujui apa yang Galen ucapkan meskipun cerita yang pria itu kisahkan belum benar-benar mampu aku percayai sepenuhnya. Tapi tetap saja air mataku jatuh karena ceritanya. Terlalu tak menyangka bahwa Galen pun ternyata tak beda jauh denganku. Dia tidak baik-baik saja. Meskipun alasannya tidak hanya aku. Tapi aku dapat membayangkan bagaimana sakitnya Galen saat mendapati pengkhianatan itu. Bukan hanya dari tunangan, tapi juga kakaknya sendiri.

Bang Gilang.

Ah, aku tidak menyangka sosok itu akan menjadi duri untuk adiknya sendiri.

“Mereka udah nikah?” tanyaku pada akhirnya.

“Tiga tahun lalu,” jawabnya. Tapi kali ini tidak ada luka di matanya, karena yang ada justru sebuah senyum tulus. “Mereka udah bahagia. Udah punya anak juga. Seharusnya udah dua. Tapi yang pertama keguguran karena keegoisanku yang tidak mau melepaskannya. Aku memaksa untuk tetap menikahi dia meskipun Ziva sedang mengandung anak Bang Gilang.” Ceritanya melanjutkan.

“Terus alasan apa yang akhirnya bikin lo merestui mereka?” tanyaku penasaran.

“Saat itu aku pernah buat Bang Gilang celaka. Koma selama tiga bulan. Lumpuh juga. Sejak saat itu aku akhirnya sadar bahwa aku sudah terlalu egois. Mereka hanya jatuh cinta, tapi aku malah merasa seakan yang paling tersakiti. Sejak saat itu pula aku mengkaji ulang tentang perasaan yang sebenarnya aku miliki. Benarkah aku cinta Ziva? Atau hanya obsesi semata karena dalam wajahnya ada kamu. Dan beberapa hari ini aku baru menemukan jawabannya,” ucapnya, diiringi senyum yang menawan.

“Apa?” aku tentu saja penasaran.

“Aku memang tidak pernah bisa berpaling dari kamu.”

Dan jawabannya itu sukses membuat wajahku memanas.

“Cinta aku yang sebenarnya tidak pernah pergi dari kamu. Hanya saja aku curahkan pada sosok yang menyerupai kamu. Ziva mungkin menjadi wujud yang mendapatkan perlakuan manisku, tapi tanpa aku sadari bahwa semua itu justru aku niatkan untukmu.”

“Stop membual!” protesku sembari menatapnya tajam.

“Aku serius, Aurora. Beberapa hari ini aku sudah memikirkan semuanya, meraba setiap kejadian yang menimpa. Dan menyelaraskannya dengan debar di dada yang selalu ada setiap kali bersama kamu. Sejak dulu, debar ini tidak pernah berubah. Dan ketika bersama Ziva aku gak merasakannya sehebat itu. Kamu gak percaya?” tanyanya padaku, dan tanpa ragu aku menggelengkan kepala.

“Rasain,” katanya sembari membawa tanganku ke dadanya. “Masih sama ‘kan?” ucapnya dengan sorot yang menatapku dalam.

“Gue gak tahu,” elakku seraya membawa tanganku menjauh. Tapi dengan cepat Galen mengambilnya dan menempatkan kembali di dadanya.

“Aku yakin kamu masih ingat debar jantungku ketika hari itu aku nyatain cinta ke kamu.”

“Gue gak ingat,” kukuh aku tidak ingin mengaku. Meski hati nyatanya telah menjerit bahagia, sebab apa yang Galen bilang benar, debar itu masih sama. Dan aku tidak pernah lupa. Sama halnya seperti debar yang aku punya.

“Bohong! Kamu pasti pura-pura lupa,” nyatanya dia pun tidak ingin mengalah. Membuatku mendengus. Galen benar-benar tidak berubah. Masih saja tidak keras kepala dan tak ingin kalah.

“Gak. Pokoknya gue gak ingat!”

“Ya udah, kalau gitu biar aku ingatkan lagi,” ucapnya bertekad.

“Gak mau!” terus saja seperti itu, hingga wajah Galen memerah karena kesal, dan pada akhirnya kami saling mengejar sambil memperdebatkannya.

Dan malam ini, tawa itu kembali terdengar. Dengan perasaan lega yang mengiringi. 
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada kami di masa depan, tapi aku percaya bahwa setelah ini jalan yang kami tempuh akan sama-sama terasa ringan. Entah itu kembali jalan bersama atau menemukan jalan masing-masing.

Namun besar harapanku bisa mewujudkan segala mimpi yang pernah kami rangkai bersama. Tapi, jika pun tidak, aku berharap Tuhan akan tetap memberiku bahagia, pun dengan dia yang pernah aku cinta.

Ah, sepertinya hingga sekarang rasa itu masih untuknya.

***

Bab 7
 

“Kamu di Bali kerja apa liburan?” tanya Galen ketika kami tengah menikmati sarapan di salah satu restoran yang tak jauh dari penginapanku. Kali ini bukan Galen yang tidak sengaja menemukanku kemudian menghampiri, karena semalam, setelah Galen mengantarku pulang ke villa sebuah janji sarapan bersama menjadi hal yang kami setujui. Maka di sinilah akhirnya kami berada. Sudah bisa duduk bersama tanpa ada perih yang menyiksa.

“Liburan,” jawabku singkat tanpa mengalihkan tatap dari makanan yang teramat nikmat. Entah karena makanannya, atau memang karena aku yang kelaparan, mengingat beberapa hari belakangan nafsu makanku selalu di hancurkan oleh Galen.

“Sendirian?” Galen memastikan. Dan aku jawab lewat anggukan. “Berapa lama?”

Aku tahu sejak dulu Galen itu aktif berbicara, tapi tidak menyangka bahwa pria itu akan bertanya terus menerus seperti wartawan kayak gini. Membuatku jengah tentu saja. Tapi tak urung aku menjawab meskipun di akhiri dengusan kesal. “Tiga bulan.”

“Wow, lama banget? Kamu kehabisan kerjaan? Agensi kamu bangkrut apa gimana?”

Dan kalimatnya itu benar-benar membuatku tak lagi segan untuk melayangkan sendokku pada keningnya. “Sembarangan aja emang lo kalau ngomong!” delikku tak suka.

“Ya, maaf. Lagian kamu liburan gak kira-kira. Tiga bulan di Bali mau ngapain aja, hah?”

“Gue cape kerja terus, Galen. Tubuh gue butuh rehat. Otak gue butuh penjernihan. Lo pikir kerja jadi model itu enak?” kepalaku menggeleng tegas. “Kelihatannya hanya pose-pose depan kamera, dan jalan di atas panggung sambil pamerin produk fashion terbaru. Kelihatannya mudah, tapi aslinya melelahkan. Belum lagi kalau tempat pemotretannya jauh. Badan gue rasanya pengen remuk tahu gak!”

Belum lagi tekanan-tekanan lain dari sana sini. Aku menderita jika boleh berkata yang sebenarnya, terlebih ketika mama yang masih menjadi manager sekaligus asistenku. Tidak boleh ada sedikit pun kesalahan. Tidak boleh ada penolakan yang aku berikan. Semuanya harus aku kerjakan. Tapi beruntungnya mama tidak memintaku menjadi seorang artis, sebab jika sampai itu terjadi, sepertinya aku benar-benar memilih mati saja. Karena menjadi model saja sudah cukup melelahkan, apa kabar dengan menjadi artis yang syutingnya tidak tahu waktu?

“Iya, yang mudah dan enak emang cuma jadi istri aku, Ra. Ya udah lah yuk, kita nikah aja, biar kamu gak cape-cape harus kerja. Semua kebutuhan kamu aku yang tanggung. Tenang, sekarang aku udah kaya, kok, udah jadi bos perusahaan,” ujarnya dengan kerlingan menggoda, membuat aku yang semula berwajah lesu mengingat pekerjaan yang selama ini menuntutku berubah jadi kesal sekaligus bahagia karena kalimatnya. Namun bahagia itu aku tutupi dengan dengusan kecil dan delikan sinis. Tapi Galen bukannya merasa tersinggung, malah justru tertawa dan mengacak gemas rambutku. Hal yang dulu sering dilakukannya, sesering aku memprotesnya. Tapi sungguh, aku begitu merindukannya.

“Jadi gimana, mau gak nikah sama aku?” tanyanya entah sungguhan atau hanya guyonan. Tapi apa pun itu aku tetap menanggapi dengan gelengan. Membuat kecewa nampak jelas di wajahnya yang tampan. “Kenapa?” tanyanya terdengar pelan.

“Sekarang gue lagi pengen liburan, bukan nikah,” jawabku asal sembari membuang pandangan dari Galen yang selalu saja membuat dadaku berdebar.

“Jadi, kalau liburannya udah selesai kamu mau nikah sama aku?” Galen masih tidak ingin menyerah rupanya. Dan itu diam-diam membuatku merasa hangat.

“Nanti deh gue pikir-pikir lagi,” kataku dengan seulas senyum tipis, lalu bangkit dari duduk begitu sarapanku berhasil dihabiskan. Aku tergiur untuk jalan-jalan di pinggir pantai, menikmati pagi yang satu minggu ini tidak terlalu aku nikmati. Dan itu masih Galen penyebabnya.

“Perasaan rencana itu udah kita pikirin dari lama deh, Ra? Sekarang kamu tinggal bilang ‘iya’-nya, setelah itu selesai, mimpi kita yang dulu akan tercapai,” ucapnya begitu langkah kami sejajar.

“Ck, pikiran lo masih aja bocah!” cibirku memutar bola mata. “Lagian lo udah terkontaminasi cewek lain, Gal. Itu yang bikin gue harus berpikir ulang, apalagi lo sama dia udah nyaris nikah,” mengangkat bahu, aku lirik Galen sekilas, dan sebuah penyesalan terpampang di wajahnya.

“Ra—”

“Gue tahu waktu itu di awali kesalahpahaman, tapi tetap aja hubungan lo sama dia nyata. Meskipun lo mengaku itu karena lo melihat kemiripannya sama gue, tapi nama yang lo sebut bukan gue, melainkan dia. Jadi, siapa yang tahu bahwa saat itu lo benar-benar menganggap dia adalah gue? Lagi pula mendengar cerita lo yang sampai berani mencelakai Bang Gilang, gue meragu hati lo benar-benar masih untuk gue. Siapa yang tahu bahwa sekarang justru gue yang menjadi bayangannya,” aku mengedikkan bahu ringan. Lagi pula itu tidak menutup kemungkinan. Iya kan?

“Kamu gak percaya sama aku, Ra? Kamu gak percaya sama perasaanku?” tuntutnya terluka.

“Maaf Galen,” hanya itu yang aku katakan. Dan setelahnya keheningan terjadi diantara aku dan dia. Meskipun tidak ada diantara kami yang memilih menghentikan langkah. Baik aku maupun Galen masih jalan beriringan, menyusuri tepi pantai yang pagi ini tidak begitu ramai, mengingat ini bukan weekend.

“Aku yang seharusnya minta maaf,” Galen kembali membuka suara setelah menit berlalu cukup lama. “Maaf udah gak setia. Maaf udah buat kamu terluka. Dan maaf udah menghancurkan mimpi-mimpi indah kita.”

“Bukan sepenuhnya salah lo, Gal. Karena nyatanya apa yang terjadi berawal dari pihak gue,” aku tidak akan mengelak lagi sekarang, sebab bukti sudah Galen perlihatkan. Dan mama-ku yang mengambil peran. “Lagi pula semuanya sudah terjadi, dan waktu gak akan bisa kita ulang kembali. Yang penting semuanya sudah bisa kita luruskan,” ucapku dengan senyum terukir lebih ringan.

“Tapi perasaan kamu masih ada ‘kan Ra?” Galen sepertinya ingin memastikan. Dan tanpa ragu aku membenarkan. Sebab aku memang tidak bisa membohongi diri bahwa selama ini aku memang masih mencintainya. Alasan yang membuatku tidak bisa membuka hati untuk pria mana pun. “Kalau begitu aku mohon jangan kamu hilangkan. Dan mengenai ragu yang kamu miliki, biar aku berusaha untuk menghilangkannya. Kamu bersedia ‘kan, Ra?”

Tidak ada alasan untuk aku tidak bersedia, karena nyatanya aku pun memang ingin Galen melakukannya. Seperti yang selama ini aku tekadkan. Aku tidak akan menikah jika bukan Galen orangnya. Dan karena di depanku ini adalah pria itu, tidak mungkin aku menolaknya. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk meyakinkan diriku sendiri.

Ah, tidak. Lebih tepatnya waktu untuk Galen meyakinkan diri bahwa memang aku yang pria itu inginkan. Bukan Ziva yang pernah menjadi tunangannya, bahkan nyaris Galen nikahi.

“Kalau gitu, kata putus kamu hari itu di tarik kembali ya?”

“Kenapa harus?” sebelah alisku terangkat bingung.

“Karena meskipun kamu belum terima aku jadi suami, setidaknya kamu masih bersedia menjadi calon istri. Dan aku gak mau diantara kita gak ada hubungan apa pun. Semua butuh kejelasan. Dan status pacaran akan menjadikan kita berhak atas satu sama lain. Gak mungkin kan ketika ada yang nanya, aku gak bisa jawab apa-apa? Yang ada nanti kamu di embat orang!” ujarnya diakhiri dengusan kesal. Dan aku sukses di buat tertawa olehnya.

“Jadi sekarang kita pacaran nih?” tanyaku menggoda.

“No, bukan hanya sekarang. Tapi sejak sebelas tahun yang lalu.” Ralatnya sekaligus mempertegas.

“Dih mana bisa? Enam tahun lalu lo punya pacar selain gue, udah tunangan, udah hampir nikah malah,” protesku tak terima.

“Tapi kan kita gak pernah bilang putus, Ra,” rengeknya dengan wajah sedih.

“Tapi lo pernah menganggap kita putus,” bantahku cepat.

“Aku gak iyain, Ra. Waktu itu emosi, aku gak pernah benar-benar mau putus dari kamu,” elaknya masih saja tidak ingin menyerah. Membuatku memutar bola mata jengah. “Anggap aja waktu itu aku berengsek karena selingkuh. Dan berakhir kita berantem,” katanya kemudian.

“Berantemnya bertahun-tahun, ya, Gal? Hebat banget, sampai bikin lo nyaris nikah. Apa mungkin kalau waktu itu lo benar-benar nikah terus cerai juga harus gue anggap kita gak pernah putus, dan itu hanya keberengsekan lo aja karena terlalu marah sama gue?” delikan sinis aku layangkan, membuat Galen menggaruk belakang lehernya salah tingkah. “Selingkuh lo anjing banget gak, sih, Gal kalau kayak gitu? Atau gue-nya yang bodoh karena mau-maunya maafin lo?” tambahku semakin sinis. Dan di sini Galen mulai gelagapan, sampai akhirnya mendesah kalah karena tidak mampu membantah apa yang aku tuturkan.

****

Bab 8
 

“Kamu seriusan liburan sendiri?” tanyanya begitu tiba di villa yang nyaris dua minggu ini aku tinggali.

Memang, setelah berjalan-jalan di pantai dan di rasa hari mulai panas, aku memutuskan untuk kembali ke penginapan. Tadinya Galen mengajakku untuk melakukan olahraga air, tapi aku menolak. Bukan tidak suka apalagi tidak bisa, hanya saja aku sedang malas melakukannya. Aku belum ingin melakukan kegiatan yang berat-berat. Hanya ingin menikmati keindahan Bali meskipun hanya dengan berjalan kaki. Mungkin lain kali aku bisa mempertimbangkannya. Toh waktuku di sini masih panjang. Masih tersisa dua bulan, jadi santai sebentar tidak apa ‘kan? Toh aku tetap menikmati liburan ini meskipun tanpa banyak kegiatan.

“Kamu serius pengen aku liburan sama orang lain?” balik aku bertanya. Kini tidak lagi menggunakan lo-gue, karena Galen bilang itu gak manis untuk panggilan sepasang kekasih. Aku tentu saja memprotes, tapi Galen dan kekeraskepalaannya memang tidak pernah ingin kalah. Jadilah aku yang mengalah dan menuruti keinginannya.

“Ya, kenapa enggak? Lagian kan liburan sama teman-teman lebih seru, Ra. Yang penting kamu gak liburan berdua bareng laki-laki. Cukup aku aja laki-laki yang dekat sama kamu.”

Dan aku memutar bola mata mendengar jawabannya. “Aku masih sama seperti dulu, Gal. Aku gak pandai berteman,”

“Jadi kamu gak punya teman sama sekali?” selanya.

Aku menggeleng. “Punya satu. Namanya Melody. Aku berteman sama dia sejak awal kuliah, itu pun karena aku memberanikan diri mendekatinya. Gak tahu kenapa aku milih dia, padahal dia gak sama sekali lirik aku pada awalnya. Dia terlalu sibuk mengejar cintanya,” ceritaku diiringi kekehan kecil mengingat kembali masa itu. “Tapi sepertinya memang karena itu aku memilih dia untuk menjadi teman. Dia punya kesibukan, dan aku enggan ada yang mengulik kehidupanku. Aku berteman dengannya hanya agar tidak terlihat sendiri, tapi lama kelamaan aku malah nyaman. Dan kecocokan mulai kami dapatkan. Tidak menyangka hingga sekarang kami masih berteman.”

“Terus kenapa gak liburan bareng dia?” Galen terlihat begitu penasaran dan aku tidak segan untuk menceritakan perihal Melody yang tidak bisa aku ajak pergi, karena kandungannya, juga karena Raja tidak mungkin mengizinkan, apalagi liburan dalam waktu selama ini.

“Biasanya aku selalu sama dia. Tapi karena alasan itu akhirnya aku mutusin buat sendiri, meskipun ada dua orang baru yang belakang menjadi temanku. Awalnya emang berencana liburan bertiga. Tapi kamu tahu sendiri ‘kan Gal, aku tidak mudah nyaman dengan orang baru,” ceritaku panjang lebar.

“Ya udah gak apa-apa, yang penting aku tahu kalau selama ini kamu punya teman. Tidak masalah hanya satu, yang penting kamu nyaman,” katanya dengan seulas senyum tulus. “Kapan-kapan kenalin aku sama teman kamu itu, ya,”

“Ngapain?” selaku cepat dengan mata memicing curiga. Dan hal itu membuat Galen merasa gemas terhadapku, hingga bukan lagi usakan di rambutku yang menjadi pelampiasannya, tapi mencubit di pipi serta hidungku yang menjadi sasarannya kali ini.

“Aku cuma mau bilang terima kasih, karena dia bersedia berada di samping kamu, menjadi teman kamu, dan memberi warna lain di hidup kamu. Aku tidak tahu bagaimana pertemanan kalian, tapi aku bersyukur karena kamu tidak sendiri. Sejak awal, kamu tahu ‘kan apa kekhawatiranku? Kamu terlalu sibuk dengan pemotretan hingga tidak ada waktu untuk kamu berteman, dan aku takut di kota besar hal itu semakin menyulitkan kamu. Aku gak ada di sisi kamu, gak bisa nemenin dan melindungi kamu. Makanya aku ingin berterima kasih sama Melody karena berkat dia kamu akhirnya tidak sendiri.”

“Tapi semasa sisa SMA di Jakarta aku gak punya teman,” ungkapku terkesan seperti mengadu. “Tidak ada yang ingin berteman denganku karena mengira bahwa aku terlalu sombong dan angkuh. Sama seperti di sekolah sebelumnya. Bedanya saat itu aku punya kamu, meskipun di sekolah gak ada siapa pun yang ajak aku main, tapi setelahnya ada kamu yang mengobati kesendirianku. Aku jadi gak terlalu memikirkan soal sikap mereka. Beda ketika aku pindah ke Jakarta. Kesibukanku bertambah, dan aku semakin sulit memiliki teman, di tambah dengan kabar kamu yang tidak pernah lagi aku dapatkan.”

“Sekarang aku tidak akan pernah pergi. Dan aku tidak akan pernah biarin kamu pergi lagi. Aku akan terus berada di samping kamu, Aurora. Selamanya.” Janjinya terdengar tegas dan serius.

“Kamu yakin?” aku memastikan.

“Sangat yakin.” Jawabnya tanpa keraguan.

“Kota yang kita tinggali tidak sama,” aku mengingatkan. Dan sepertinya Galen baru menyadari itu. “Kamu yakin akan terus berada di samping aku? Memangnya bisa?”

Tidak langsung menjawab, Galen terlihat berpikir untuk beberapa saat, sampai akhirnya jawaban itu aku dapatkan. “Bisa, asal kamu mau menikah sama aku, dan setelah itu kita akan tinggal dalam satu rumah yang sama. Aku tidak peduli di mana pun kamu ingin tinggal, aku gak akan keberatan.”

“Pekerjaan kamu?”

“Ikut pindah lah. Itu bukan hal yang sulit, sayang.”

Dan aku merona mendengar panggilannya barusan. Dadaku bergetar, dan jantungku berdesir menyenangkan. Hingga rasanya aku tidak sanggup menahan lonjakannya. Sungguh, bahagia sekali rasanya mendengar panggilan itu lagi. Terakhir kali aku mendapatkannya adalah sembilan tahun yang lalu. Sudah begitu lama. Jadi jangan katakan aku norak, sebab nyatanya aku memang tidak biasa. Dan barusan adalah panggilan yang paling indah sepanjang hidupku dua puluh enam tahun ini.

“Terus keberadaan kamu di Bali sekarang untuk apa?” tanyaku ingin tahu, karena seingatku pria itu terlihat lenggang sepanjang hari ini. Entah jika hari-hari kemarin. “Liburan?” sepertinya tidak mungkin.

“Kebetulan aku memang ada kerjaan di sini,” jawabnya singkat.

“Sekarang udah selesai?” aku ingin memastikan. Dan ketika jawaban sebuah anggukan diberikan Galen, mendadak aku merasa sedih. Karena itu artinya tidak lama lagi Galen akan pulang ke tempat asalnya.

Galen yang seolah paham akan pikiranku segera menarikku masuk ke dalam pelukannya, dan sebuah kecupan segera aku rasakan di puncak kepalaku.

“Mau ikut aku pulang?” tawarnya terdengar mengharapkan. “Lanjutkan liburan kamu di tempatku. Mama sama Papa pasti senang ketemu kamu,”

“Aku kangen mereka,” kataku jujur. Tak hanya pada orang tua Galen. karena nyatanya aku pun merindukan kedua orang tua kandungku yang telah berada di sisi Tuhan.

Seberapa pun besarnya tekanan yang mama berikan, aku tetap menyayanginya. Dan seberapa pun papa sibuk dengan pekerjaan hingga membuat aku terabaikan, sayangku padanya tidak pernah berkurang. Terlebih setelah aku tahu bahwa apa yang mereka lakukan semata-mata untuk aku. Agar aku tidak hidup kekurangan dan kesulitan setelah mereka menyerah pada kehidupan.

“Jadi, mau ya ikut pulang sama aku? Papa sama Mama juga pasti merindukan kamu.”

“Kapan memangnya kamu pulang?” kepalaku sedikit mendongak demi bisa menatapnya.

“Besok atau lusa?” itu tidak terdengar seperti jawaban, tapi pertanyaan, meyakinkanku bahwa Galen belum memutuskan kepulangannya. Dan bolehkah aku berpikir bahwa itu alasannya karena aku? Apa mungkin Galen juga tidak rela berpisah denganku? Jika benar begitu, bolehkah aku senang?

“Gak masalah memangnya kalau aku ikut kamu?” karena aku tidak ingin kehadiranku malah merepotkannya. Galen pastilah memiliki pekerjaan dan aku tidak mungkin merengek pada Galen untuk di temani jalan-jalan. Diam di rumah jelas bukan pilihan yang menyenangkan meskipun aku yakin tidak akan terlalu membosankan. Ada mama Galen yang pasti menemaniku. Tapi apa mungkin aku masih mereka terima? Terlebih setelah sekian tahun aku tidak pernah menyapa mereka.

“Aku lebih bermasalah kalau kamu di sini tanpa aku, Rora. Aku gak akan tenang. Jadi sebelum aku benar-benar gila, lebih baik kamu ikut aku. Aku janji akan temani kamu ke mana pun kamu mau.” Galen sungguh-sungguh, membuatku tidak bisa untuk tidak berkaca. Dan untuk ungkapan terima kasih yang tidak sanggup aku lontarkan aku memilih memeluknya begitu erat, lalu menumpahkan tangis di dada bidangnya. Bukan kesedihan melainkan kebahagiaan yang tidak bisa aku jabarkan. Saking besarnya.

“Lusa aja, ya? Besok kita belanja dulu, beli oleh-oleh buat Mama Papa kamu,” ucapku setelah merasa lebih tenang. Dan aku senang ketika anggukan tanda persetujuan di berikan oleh Galen. Hingga akhirnya sisa hari itu aku putuskan untuk berkemas, di lanjut dengan jalan-jalan sore, dan menyicil membeli oleh-oleh. Sungguh, rasanya aku tak sabar bertemu lagi dengan keluarga Galen, meskipun sadar bahwa itu artinya aku juga akan bertemu dengan sosok yang nyaris Galen nikahi, mengingat perempuan itu sekarang telah menjadi istri dari kakak Galen sendiri. 
Tapi tak apa, aku juga ingin memastikan apa yang Galen katakan.

Benarkah wanita itu mirip denganku? Atau hanya bualan Galen saja.

***

Bersambung ...
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Aurora
Selanjutnya AURORA - Bab 9 - 12
1
0
"Kamu tidurnya di kamar Galen aja, ya, Ra, biar dia yang tidur di kamar Bang Gilang,” kata Mama Veronica ketika kami sudah tiba di ruang tengah.“Aku tidur sama Aurora aja lah, Ma. Kamar Abang seram,” ucap Galen seraya bergidik. Dan sebuah pelototan langsung dilayangkan Mama Veronica juga Papa Asra.“Jangan kamu ulangi kelakukan Abang kamu itu ya, Len. Mama gak mau ada hamil di luar nikah jilid dua. Malu-maluin!” ucapnya sarat akan mengancam. “Kamu, jangan lupa kunci pintu. Kalau dia ngetuk-ngetuk minta di bukain jangan mau. Kalau masih ngeyel juga kamu tendang selangkangannya,” tambahnya beralih memperingatiku.“Jangan mentang-mentang udah pada dewasa, bebas melakukan apa saja. Mama tidak melarang kalian pacaran, tapi Mama mohon jangan sampai keterlaluan. Cukup Bang Gilang yang buat Mama dan Papa kecewa, kalian jangan,”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan