NODA PERNIKAHAN (BAB 1 SAMPAI 10)

6
4
Deskripsi

Alana menemukan banyak sekali kebohongan dalam hubungan pernikahannya dengan Wildan, seorang akuntan sukses sekaligus manajer keuangan di sebuah perusahaan besar.

Setelah Alana menemukan fakta bahwa suaminya memiliki wanita lain selain dirinya, fakta-fakta lain tentang rahasia Wildan selama 5 tahun pernikahannya mulai terkuak satu-persatu.
Alana seolah kehilangan separuh dunianya. Ia yang merasa tak sanggup menerima pengkhiatanan suaminya, kemudian memilih pergi.

Takdir kemudian mempertemukannya kembali...

BAB 1. RAHASIA

Alana.

“Naf, aku pulang duluan, ya,” pamitku pada Nafisa yang duduk di sampingku. Aku sedikit merasa risih dengan dress tali satu yang kugunakan saat ini. 

Sebenarnya tadi aku memakai cardigan untuk outer karena dress bercorak floral yang kukenakan sangat terbuka di bagian atasnya. Namun, insiden aku bertabrakan dengan waiters tadi membuat cardiganku basah ketumpahan minuman, bahkan sebagian dari tumpahannya juga mengenai dressku sehingga aku terpaksa melepas cardiganku yang basah.

“Udah dijemput?” tanya Nafisa.

“Mas Wildan nggak jadi jemput, Naf. Tadi ngirim pesan katanya lagi ada kerjaan mendesak dan harus lembur. Aku sudah memesan transportasi online,” jawabku.

“Aku antar ya, Alana.” Tiba-tiba saja pria itu sudah berada di sampingku. Aku meliriknya sekilas kemudian berusaha tersenyum sambil menggeleng.

“Makasih, Win. Aku udah pesan Grab kok. Ya udah, aku ke depan dulu ya, sepertinya grab nya udah tiba,” ucapku sambil melirik aplikasi transportasi online di ponselku.

“Tunggu, Al!” seru Darwin ketika aku sudah melangkah beberapa langkah meninggalkan mereka. “Pakai ini, sepertinya kamu kedinginan akibat ketumpahan minuman tadi, dan juga tak baik berpenampilan terbuka seperti ini dengan menumpang transportasi online,” ucapnya sambil melepas jas nya dan memakaikannya padaku.

Aku belum sempat menolak ataupun mengiyakan. Namun, jas hitamnya sudah menutup tubuhku, terutama bagian bahuku yang tadinya terekspos bebas. Rasa hangat segera kurasakan saat jas itu menutupi tubuhku. Ah, aku merasa nyaman dengan balutan jas ini, itu membuatku spontan mengangguk dan mengucapkan terima kasih dengan gugup padanya. Kupikir tak ada salahnya menerima pinjamn jas Darwin, apalagi aku harus pulang menumpang transport online. Sementara di belakang punggung Darwin kulihat Nafisa tersenyum usil melihat Darwin memakaikan jas nya padaku.

“Cieeee ....” Kurasa begitu Nafisa berucap, terlihat dari gerakan bibirnya walaupun tanpa suara.

Kurapatkan jas hitam yang menutup tubuhku lebih erat lagi saat sudah berada di dalam mobil grab yang kupesan lewat aplikasi tadi. Udara dingin dari AC mobil membuatku sedikit kedinginan. Jas beraroma parfum maskulin milik Darwin ini benar-benar membantu dan membuatku merasa hangat kembali. Diam-diam aku menghirup dalam-dalam aroma maskulin yang menguar dari jas yang sedang kupakai.

“Sudah pulang, Nak?” sambut Ibu mertuaku setelah tiba di rumahku dan membuka pintu rumah serta mengucapkan salam. 

Sejak 2 hari ini Ibu mertuaku memang sedang menginap di rumah kami. Namun, Ibu tidak sendiri, dia bersama Lilis, seorang wanita yang baru beberapa lalu melahirkan lewat operasi caesar. 

Menurut Ibu, Lilis adalah kerabat dekatnya yang yatim piatu, sementara suaminya sedang berada di luar kota, sehingga Ibulah yang menemaninya saat wanita itu melahirkan. Sebenarnya aku sedikit heran karena dalam beberapa hari kemarin Mas Wildan dan Ibu benar-benar heboh dan sibuk bolak-balik ke rumah sakit saat Lilis melahirkan putranya lewat proses operasi. Namun aku hanya menyimpan keherananku karena kupikir mungkin memang Lilis tak punya kerabat lain sehingga Ibu yang disibukkan, dan kurasa Mas Wildan jadi ikutan repot karena permintaan Ibu.

Mas Wildan memang sangat dekat dengan Ibunya. Apalagi sejak Fadli, adik satu-satunya meninggal setahun yang lalu akibat kecelakaan motor di kampung Ibu.

“Alana?” Ibu menatapku heran karena aku hanya terpaku di depan pintu.

“Eh ... iya, Bu. Alana baru pulang,” jawabku.

“Wildan nya mana? Bukannya tadi udah janji mau jemputin Al?” tanya Ibu lagi.

“Oh, Mas Wildan lembur, Bu. Jadi nggak jadi jemputin,” jawabku. Namun aku kembali menoleh pada Ibu ketika menyadari satu hal, “Ibu tau dari mana kalau Mas Wildan mau jemput Al?” tanyaku menyelidik.

“Ehm ... itu ... tadi sore Wildan sempat pulang sebentar ke rumah sebelum kembali ke kantornya. Wildan yang mengatakan pada Ibu kalau udah janji mau jemput Nak Alana dari acara reuni.”

Aku menyipitkan mata. ‘Mas Wildan pulang kerumah tadi sore? Ngapain?’ pikirku.

“Jangan berpikiran macam-macam Al, tadi Wildan hanya pulang untuk mengambil beberapa berkas kantornya yang ketinggalan di kamar kalian,” ucap Ibu mertuaku seolah mengerti isi hatiku.

“Bu, salep yang tadi sore Lilis minta belikan Mas Wildan ditaruh di mana ya?” Lilis tiba-tiba muncul di depan pintu kamar tamu, kamar yang ku sediakan untunya selama wanita itu menginap di rumah kami bersama putranya yang baru berusia beberapa hari. Sedangkan Ibu menggunakan kamar satunya lagi, di samping kamar Lilis.

Aku spontan menoleh ke arah pintu kamar tamu, begitu juga dengan Ibu. Kulihat Lilis terlihat salah tingkah melihatku.

"Eh, Mbak Alana udah pulang," sapanya dengan senyum tipis.

"Iya, Lis," jawabku singkat, namun aku masih memikirkan pertanyaan Lilis tadi. 'Salep yang dibelikan Mas Wildan tadi sore?' pikiranku sedikit terganggu dengan pertanyaan itu. Apalagi kata Ibu barusan, Mas Wildan tadi sore pulang ke rumah untuk mengambil berkas kerjanya.

Baru saja akan menanyakan pada Ibu, ponselku yang kugenggam di tanganku berbunyi. 

Husband calling. 

Aku mengangguk pada Ibu meminta izin untuk mengangkat telpon dari Mas Wildan sambil berjalan menuju kamar utama di rumah ini, kamarku dengan Mas Wildan.

"Laptopku ketinggalan di kamar, Dek. Aku sekarang lagi di bandara mau ke Balikpapan, maaf tak sempat berpamitan. Tiba-tiba saja aku dan tim harus terbang ke sana malam ini juga karena ada beberapa masalah di kantor cabang di Balikpapan. Tolong kamu kirim beberapa file ke emailku ya, aku memerlukan data-data itu tapi tak mungkin untuk pulang mengambil laptopku."

Mas Wildan pun memberikan beberapa petunjuk lewat ponsel tentang letak file-file penting yang dibutuhkannya. Kemudian aku mengirimkan semua berkasnya lewat emailnya. Ternyata memang laptop Mas Wildan masih dalam posisi on, mungkin dia memang sangat terburu-buru tadi sehingga lupa membawa laptopnya, bahkan lupa mematikannya.

"Udah, Mas," jawabku setelah selesai mengirim berkas-berkas yang dimaksudnya.

"Ok, terima kasih, Sayang. Baik-baik di rumah dengan Ibu dan Lilis ya." Mas Wildan menutup panggilan telpon tanpa basa-basi lagi.

Aku baru saja akan mematikan laptop Mas Wildan ketika aku melihat pesan masuk di layar. Rupanya laptonya masih terkoneksi dengan applikasi Whatsapp di ponsel Mas Wildan.

Iseng aku membuka dan membaca-baca beberapa chat di sana. Beberapa chat di grup perusahaan tempatnya bekerja dan grup pertemanannya. Namun aku tersentak ketika membuka grup pertemanan Mas Wildan dan mendapati beberapa ucapan selamat di sana.

"Selamat ya Wil akhirnya jadi bapak juga."

“Selamat atas kelahiran putra pertamanya ya Wil.” 

"Wah, selamat datang di club bapak-bapak keren."

"Duh, anakmu ganteng banget Wil. Tapi nggak mirip kamu, pasti ibunya cantik ya."

Masih banyak lagi ucapan selamat dari teman-teman Mas Wildan dan semuanya dibalas dengan ucapan terima kasih dari nomor Mas Wildan.

Aku terkesiap.

Lalu ... dengan tangan gemetar aku membuka pesan di grup perusahaannya dan mencari chat dari beberapa hari yang lalu. Hatiku kembali seperti diremas-remas ketika mendapati pesan dengan isi serupa di grup itu. Ucapan selamat atas kelahiran putra pertama Mas Wildan, suamiku. Kali ini dengan kalimat yang lebih formal, mungkin karen ini adalah grup perusahaan. Bahkan kulihat, atasan Mas Wildan pun turut memberikan ucapan selamat dan dibalas dengan ucapan terima kasih oleh Mas Wildan.

Aku terhuyung. Ya Allah! Ada apa ini? Aku merasa ada sesuatu yang tidak ku ketahui.

Suara tangisan bayi dari arah kamar tamu membuat hatiku semakin dipenuhi tanda tanya.

Putra pertama Mas Wildan?

Apakah yang mereka maksud adalah bayi Lilis?

Kalau begitu siapa sebenarnya Lilis?

Benarkah dia hanyalah kerabat Ibu yang yatim piatu?

💫Bersambung💫

 

BAB 2. SAYAP-SAYAP PATAH

Aku semakin penasaran dan membuka-buka semua deretan pesan di laptop Mas Wildan yang masih terkoneksi dengan aplikasi whatsapp di ponselnya. Tak ada lagi pesan yang masuk, sepertinya ponsel Mas Wildan sudah non aktif, mungkin dia sudah terbang menuju Balikpapan.

Beberapa teman dekat Mas Wildan yang juga ku kenal bahkan mengirim chat pribadi mengucapkan selamat pada suamiku atas kelahiran putra pertamanya. Aku terus membaca semua pesan-pesan itu, yang semuanya dibalas dengan ucapan terima kasih dan emot senyum oleh Mas Wildan. Sementara suara tangisan bayi Lilis mengiringi air mataku yang kini mulai mengalir, mengaburkan pandanganku. Semua ucapan selamat itu dikirim 5 hari yang lalu, hari di mana Mas Wildan dan Ibu terlihat sibuk karena menemani Lilis yang sedang menjalani operasi caesar di rumah sakit.

Ah ... hatiku merasa sakit, aku yakin putra pertama Mas Wildan yang dimaksud oleh semua isi chat itu adalah bayi Lilis. Aku tak menyangka bayi yang sudah 2 hari ini berada di dalam rumahku itu adalah anak dari suamiku. Lalu Lilis? Ah, aku tak sanggup membayangkan siapa Lilis, wanita polos dengan kecantikan alami yang baru 5 hari lalu melahirkan putranya.

Masih dengan perasaan tak menentu aku berusaha mencari kontak bernama Lilis, namun dari sederetan chat tersebut, tak ada satu pun pesan chat dari nama Lilis. Namun jariku tak berhenti begitu saja, kubaca satu persatu dan menemukan pesan dari “Fadli”. Aku mengeryitkan keningku. Fadli? Apakah itu adik Mas Wildan? Tapi bukankah Fadli sudah lama meninggal karena kecelakaan motor? Mengapa nomornya masih aktif mengirimkan pesan. 

“Mas, sepertinya aku kontraksi.”

“Mas Wildan ke sini nemanin Lilis melahirkan, kan?”

“Lilis maunya lahiran ditemani suami.”

“Mas, kata Bidan dedek bayinya kelilit tali pusat. Sepertinya harus ke rumah sakit, Mas. Nggak bisa lahiran di bidan, takutnya harus tindakan operasi.”

Sederet pesan dari kontak bernama “Fadli” membuatku semakin gemetaran. Selanjutnya aku membaca balasan dari Mas Wildan.

“Kamu dan Ibu bersiap-siap ya, Lis. Mas ke sana sekarang jemput kalian. Kamu lahiran di Jakarta aja biar dekat dan Mas bisa selalu mengawasimu dan bayi kita.”

“Hahh?? Bayi kita? Tega sekali kamu, Mas!” gumamku lirih.

Aku berusaha mencari-cari charger laptop Mas Wildan agar aku bisa mencari tau lebih banyak lagi dari pesan-pesan di laptopnya. Gotcha! aku menemukannya di dalam tas laptop yang tergeletak begitu saja di bawah meja. Sepertinya Mas Wildan memang sangat terburu-buru tadi sehingga melupakan barang-barang pentingnya ini. Atau mungkin Allah sedang memberi jalan untukku mencari tau mengenai Mas Wildan, suamiku.

Aku mengambil charger di tas laptop dan menghubungkannya dengan aliran listrik. Namun naluriku menyuruhku membuka tas laptop Mas Wildan. Entahlah, aku merasa semakin penasaran untuk terus mencari fakta. Ternyata naluriku tak salah, di sekat kantong depan tas laptop suamiku aku menemukan tumpukan nota-nota rumah sakit dan apotik. kubaca satu-persatu nota-nota itu.

Nyesss! hatiku kembali seakan diremas hingga remuk ketika membaca nota rumah sakit dimana Lilis melahirkan beberapa hari lalu. Semua nota pembayaran dibayar oleh Wildan Ramadhani dengan jumlah yang tidak sedikit karena Lilis menempati ruang VIP di rumah sakit itu. 

Namun yang lebih membuat hatiku remuk adalah selembar Surat Keterangan Lahir berlogo rumah sakit, dimana di sana tertulis jelas nama suamiku Tn. Wildan Ramadhani sebagai ayah dari bayi laki-laki dengan berat 3,2 kg dan panjang 56 cm yang dilahirkan oleh Ny. Lilis Andriani.

Aku tergugu, tak dapat lagi membendung tangisku. Semua bukti yang terpampang di hadapanku saat ini sangat membuatku terpukul. Aku merasa diasingkan, sayap-sayapku patah dan aku tak sanggup untuk terbang kembali. Dengan tangan gemetar dan air mata yang terus mengalir aku mengambil gawaiku, kufoto semua bukti-bukti itu, termasuk semua pesan di laptop Mas Wildan. Aku harus tetap berdiri meski sayapku telah patah. Aku pasti akan memerlukan semua bukti ini nantinya.

Malam ini, aku terpekur seorang diri di dalam kamarku menangisi kenyataan pahit yang baru saja kutemukan. Aku mengusap perutku rataku. Apa karena aku belum bisa menghadirkan anak baginya sehingga suamiku tega memiliki anak dari wanita lain? Padahal selama ini Mas Wildan tau bagaimana usahaku agar segera bisa hamil benihnya. Karena selama ini akupun sering merasa kesepian di rumah ini. Rumahku dan Mas Wildan terhitung sangat besar untuk ditinggali hanya oleh kami berdua, aku memilih untuk tidak memakai jasa ART karena kurasa belum memerlukannya. Belum lagi pekerjaan Mas Wildan yang sering kali mengharuskannya untuk bertugas ke luar kota.

Maka, di saat aku ditinggal sendirian, aku selalu merasa kesepian sehingga keinginanku untuk segera memiliki anak sangatlah besar.

Aku beberapa kali mengajak Mas Wildan berkonsultasi ke dokter untuk menanyakan kesuburan kami. Meskipun Mas Wildan menolaknya dan selalu saja mengatakan jika dia tidak pernah mempermasalahkan anak, namun akhirnya Mas Wildan mengalah juga dan menemaniku berkonsultasi ke dokter. Hasil pemeriksaan kami berdua pun tak ada yang mengkhawatirkan, kami berdua dinyatakan subur dan tak memiliki hambatan apapun untuk memperoleh keturunan. Mungkin karena belum rejeki dari-Nya saja sehingga sampai usia 5 tahun pernikahanku dengan Mas Wildan aku belum juga kunjung hamil.

Aku menggeliat ketika mendengar ketukan di pintu kamarku. Seluruh sendiku terasasa kaku. Ah, pantas saja, rupanya aku ketiduran di atas karpet lantai kamarku. Mungkin karena semalam kelelahan menangis membuatku ketiduran di atas karpet. Kulirik jam di dinding, sudah subuh rupanya. Pantas saja pintu kamarku di ketuk. Ibu mertuaku memang selalu rajin membangunkanku ataupun Mas Wildan untuk sholat subuh disaat Ibu sedang menginap di rumah kami. Sambil menahan pegal di sekujur tubuhku aku bangkit dan berjalan perlahan menuju pintu.

“Sudah subuh, Nak. Yuk salat jamaah,” sapa Ibu ketika aku membuka pintu kamarku.

“Ibu salat duluan aja, ya. Alana mau mandi dulu, nanti biar salat di kamar aja,” jawabku.

“Oh, baiklah, Nak,” kata Ibu mengangguk.

Aku kembali menutup perlahan pintu kamarku, namun merasa heran ketika tangan Ibu sedikit menahan gagang pintu bahkan kemudian mendorongnya perlahan.

“Alana habis nangis? Kok matanya bengkak gitu kayak orang habis menangis?” tanya Ibu menatap mataku.

“Ng- nggak kok, Bu. Mungkin karena baru bangun tidur aja,” jawabku. Padahal aku ingin sekali mengatakan bahwa aku memang menangis semalaman. Menangisi kebodohanku yang telah dibohongi oleh kalian semua. 

“Ya sudah, jangan lupa salat subuh ya, Nak,” ucap Ibu lembut sambil mengusap punggung tanganku. Sedangkan matanya masih terus menatap tajam seolah mencari sesuatu ke dalam mataku.

💫Bersambung💫

 

BAB 3. KEHILANGAN ARAH

Kuraih gawaiku di atas nakas setelah melaksanakan salat subuh dan merapikan kembali alat-alat salatku. Mas Wildan sama sekali tak mengirim pesan sekedar mengabarkan kalau dia sudah tiba di Balikpapan. Tapi itu memang hal yang sudah biasa bagiku, ketika sedang menekuni pekerjaannya, Mas Wildan jarang sekali mengirimkan pesan. Mas Wildan juga jarang mengabari sudah sampai di kota mana ketika dia sedang bertugas di luar kota, kecuali jika aku yang menanyakan atau menelponnya duluan. 

Tapi jangan ditanya bagaimana Mas Wildan jika sudah berada di rumah. Dia selalu menjadi suami yang romantis, memperlakukanku dengan sangat lembut. Kemudian kami berdua akan melalui malam-malam panjang yang melelahkan berdua, seolah menebus waktu-waktu yang sudah dihabiskannya di luar dengan pekerjaannya. Itulah yang membuatku sangat mencintai suamiku, Mas Wildan selalu bisa menebus dinginnya malam-malamku dalam kesendirian dengan menciptakan suasana romantis nan indah pada malam-malam berikutnya. 

Meskipun, sesekali saat sedang berada di rumah Mas Wildan juga masih serius dengan setumpuk pekerjaannya. Satu lagi, Mas Wildan sangat memanjakanku dengan limpahan materi. Rekeningku selalu rutin diisinya setiap bulan, belum lagi hadiah-hadiah mahal yang selalu diberikannya padaku. Sehingga aku tak pernah merasa kekurangan materi selama menjadi istri Mas Wildan.  

Aku menarik nafasku berat, mengingat 5 tahun yang sudah kulalui dengan segala suka duka dengan Mas Wildan. Mengenang hari-hari sepiku seorang diri di saat Mas Wildan sibuk dengan pekerjaannya, kemudian mengenang hari-hari penuh cinta di antara kami berdua di saat Mas Wildan sedang tidak sibuk bekerja. Mas Wildan selalu mengajakku ke tempat-tempat romantis ketika dia punya waktu luang. Suamiku itu selalu memujiku, memuji semua yang ada di tubuhku. Bahkan Mas Wildan sendiri yang memilih dan membelikan semua baju-baju rumahku hingga lusinan lingerie yang tergantung rapi di lemari. Dia selalu menyuruhku memakai pakaian-pakaian seksi di rumah, ini jugalah salah satu alasan aku memilih tak mempekerjakan ART di rumah kami. Karena jika sedang di rumah, aku selalu hanya menggunakan tank top dan hot pants. Itu semua atas permintaan Mas Wildan. Katanya, melihatku memakai baju-baju minim akan membuatnya kembali segar setelah menghadapi tumpukan pekerjaan di kantornya. 

Kunyalakan kembali laptop Mas Wildan yang masih dalam posisi standby, tak ada apapun di sana selain percakapannya dengan rekan kerjanya. Aku memilih masih belum mematikan laptopnya, menunggu sesuatu yang mungkin masih akan memberiku informasi di sana. Semoga saja Mas Wildan tak menyadari jika aplikasi whatsapp ponselnya masih terhubung ke web.

“Alana, sarapan dulu, Nak.” Suara Ibu kembali terdengar sambil mengetuk pintu kamarku. 

Ah, rasanya aku malas sekali keluar dari kamar ini dan bertemu dengan mereka. Aku masih tak tau bagaimana harus menghadapi Ibu, wanita itu memperlakukanku dengan sangat lembut namun aku tak percaya jika Ibu tak mengetahui apapun tentang Lilis dan Mas Wildan. Apakah Ibu sedang bersandiwara di depanku dengan sikap lembutnya? 

Akupun malas bertemu Lilis, entah aku harus memasang ekspresi wajah seperti apa nanti ketika bertatapan dengan wanita itu. Wanita yang baru saja melahirkan anak dari suamiku.

Aku masih harus berpura-pura tidak tau dan mencari waktu yang tepat untuk membongkar semua kebusukan mereka.

“Al ... Alana!” Ibu kembali memanggil namaku.

“Iya, Bu,” jawabku malas. Kurapikan rambutku dan mengolesi wajahku dengan krim serta menaburi sedikit bedak agar tak terlihat pucat. Meskipun mataku masih terlihat sedikit bengkak ketika aku melihat bayanganku di cermin.

Aku langsung disuguhi pemandangan Lilis sedang menyusui bayinya ketika aku membuka pintu kamarku. Wanita itu tersenyum lebar menyapaku.

“Selamat pagi, Mbak Alana,” sapanya. Aku hanya mengangguk kecil dan berusaha membalas senyumnya. Lilis meraih tangan mungil bayinya, kemudian menggerakkannya.

“Ayo, Nak. Disapa dulu Tante Alana nya. Selamat Pagi Tante Alana,” ucapnya menirukan suara anak kecil sambil menggerak-gerakkan tangan bayinya. Namun aku sudah tak menggubrisnya lagi, aku melangkahkan kakiku ke arah dapur.

“Ayo silahkan sarapan, Nak. Ibu sudah menyiapkan menu kesukaan Nak Alana ini. Kata Wildan, Alana suka sekali sarapan bubur ayam,” ucap Ibu mertuaku. Aku melirik sekilas ke meja makan, di sana sudah tertata menu bubur ayam, seperti yang Ibu ucapkan tadi.

“Maaf, Bu. Alana sedang tak selera makan. Al mau sarapan sereal aja,” jawabku sambil membuka lemari dapur dan mengambil sebungkus sereal dari dalam sana. Ketika aku sedang menyeduh sereal dengan air panas, ekor mataku menangkap Ibu sedang menatapku dengan wajah sedih. Mungkin Ibu merasa sedih karena aku tak mau makan masakannya kali ini. Ah ... biarlah, aku tak peduli. Aku memang sedang tak berselera makan saat ini. 

“Al balik ke kamar dulu ya, Bu,” pamitku sambil membawa gelas berisi sereal yang masih mengepulkan asap.

“Iya, Nak,” jawab Ibu lirih, ada sebersit kekecewaan terpancar di mata wanita tua itu.

Akupun buru-buru melangkah kembali ke arah kamarku. Sejujurnya aku tak tega melihat Ibu seperti itu, maka aku memilih kembali saja ke dalam kamarku daripada berlama-lama di dapur.

Saat melangkah melewati ruang tengah, aku tak lagi menyapa Lilis yang masih duduk di sofa menyusui anaknya. Lilis pun tak lagi menyapaku, namun aku tau dia terus menatapku hingga aku menghilang di balik pintu kamar.

“Huffttt!!” gumamku ketika menutup pintu kamar. Kenapa harus aku yang menghindar seperti ini? Ah, biarlah, tak apa aku mengalah dulu. Aku masih ingin mengumpulkan bukti-bukti atas pengkhiatan suamiku.

Aku memilih kembali duduk di depan laptop Mas Wildan. Ada beberapa pesan baru di sana yang sepertinya sudah dibaca oleh Mas Wildan. Baguslah, jadi aku pun tak perlu takut ketahuan jika membukanya duluan.

[Wah, cakep banget anakmu Wil. Udah berapa hari umurnya masih merah gitu.] pesan dari Tio, sahabat lama Mas Wildan. Ternyata Tio menulis pesan itu setelah melihat foto yang dipasang Mas Wildan di status WA nya. 

Aku terbelalak ketika membuka foto yang dipajang Mas Wildan di status WA nya. Itu bayi Lilis dengan latar belakang sofa di rumahku. Lilis memang tidak kelihatan di foto itu, hanya tangannya yang terlihat sedang menggendong bayinya, dan aku tau itu adalah pakaian yang saat ini sedang dikenakannya. Kubaca caption pada foto bayi Lilis yang dipajang Mas Wildan,

"Selamat Pagi Jagoan Ayah” begitu kalimat yang ditulis Mas Wildan.

Nyesss!!! Hatiku kembali nyeri seolah diremas-remas. Buru-buru kuraih ponselku kemudian mencari pembaharuan status WA Mas Wildan. Tapi aku tak menemukan status apapun di kontak Whatsapp Mas Wildan. Rupanya lelaki itu menyembunyikan pembaharuan statusnya dariku. Ah ... jahat sekali kamu, Mas! Aku mengeraskan rahangku marah. Aku akan membalas semua kecuranganmu ini! Lihat saja, aku bukanlah perempuan lemah yang bisa kau permainkan sesuka hatimu! 

Rasa amarah yang menguasai hatiku membuatku memutuskan untuk keluar mencari udara segar, berlama-lama di kamar ini hanya membuatku semakin sesak. Aku membuka lemari dan memilih dress lengan pendek dengan panjang sampai betis. Kuraih gawaiku dan tas tanganku serta kunci mobilku. Saat akan membuka pintu kamar, mataku tertuju pada jas hitam yang tergeletak di pinggir tempat tidurku. Jas hitam milik Darwin, yang semalam dipinjamkannya padaku untuk menggantikan cardiganku yang basah. Kuraih jas hitam itu kemudian mendekatkannya ke hidungku. Hmmmm, aku sangat menyukai aroma maskulin dari jas ini! 

“Mau kemana Alana?” Ibu tergopoh-gopoh melangkah ke arah pintu ketika mendengar aku menyalakan mesin mobilku.

“Al mau keluar sebentar cari angin, Bu,” jawabku asal kemudian melajukan mobilku keluar dari pagar.

💫Bersambung💫

 

BAB 4. MENGEJAR JANTUNG HATI

Wildan.

Kuseruput kopi panas yang baru saja diantarkan ke kamarku oleh petugas hotel. Aku memang sengaja meminta layanan sarapan di kamar sebab aku masih harus menyiapkan beberapa bahan untuk pekerjaanku selama di Balikpapan. Tubuhku masih sedikit lelah, karena terbang dengan penerbangan terakhir Jakarta-Balikpapan tadi malam. Apalagi beberapa hari sebelumnya aku memang sedang banyak sekali urusan, disamping padatnya pekerjaanku, aku pun harus bolak-balik ke rumah sakit mengurus Lilis yang baru saja melahirkan putraku melalui operasi caesar.

Memikirkan tentang Lilis, aku selalu merasa khawatir. Khawatir bagaimana reaksi istriku Alana nanti jika dia mengetahui bahwa aku memiliki hubungan dengan wanita lain, bahkan kini wanita itu telah melahirkan seorang putra untukku. Ah, semoga saja Alana bisa memahamiku, aku masih mencari cara yang halus untuk menyampaikan ini padanya. Aku begitu mencintai Alana. Dulunya, tidak mudah bagiku mendapatkan hati wanita itu.

Aku masuk ke dalam hidupnya ketika dia sedang patah hati karena hubungannya dengan kekasihnya kandas. Ketika itu kami kuliah di kampus yang sama dan Alana adalah adik tingkatku. Sebenarnya sudah lama aku memperhatikannya, kulitnya yang putih bersih dan mata bulatnya yang selalu berbinar-binar saat berbicara membuatku terpukau, belum lagi bentuk tubuhnya yang begitu menggoda. Meskipun Alana selalu berpakaian sopan, namun tubuhnya selalu menjadi objek yang empuk untuk dipandang mata.

Kurasa bukan hanya aku, beberapa mahasiswa lain juga kulihat selalu mencuri-curi pandang pada Alana. Namun saat itu, Alana masih punya kekasih yang juga kuliah di kampus yang sama. Karena aku dan Alana sama-sama mengambil jurusan Akuntansi, maka aku sering sekali berpapasan dengannya, sedangkan yang kutau saat itu, kekasih Alana mengambil jurusan IT.

Hingga pada tahun kedua Alana kuliah, kudengar dia putus dengan kekasihnya. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu, dengan segala upaya aku berusaha mendekati Alana. Aku mencari tau semua jadwalnya, dan aku akan selalu ada di sekitarnya. Usahaku membuahkan hasil, aku dan Alana mulai akrab. Awalnya kami akrab dalam urusan perkuliahan, prestasiku saat itu memang menonjol, sehingga adik-adik tingkatku termasuk Alana selalu mencariku untuk sekedar bertanya ataupun berkonsultasi tentang pelajaran. Aku memang populer di jurusanku, aku sangat menyukai akuntansi dan menguasainya dengan baik, sehingga beberapa dosen memang menyarankan pada mahasiswa lain untuk belajar padaku. 

Singkat cerita, aku kemudian menawarkan hubungan yang spesial pada Alana, gadis pujaanku. Saat itu, Alana menolakku mentah-mentah, bahkan kemudian berusaha menjauhiku karena merasa aku punya maksud lain padanya. Namun aku tak putus asa dengan penolakannya, aku masih terus berusaha untuk dekat dengannya dan selalu berada di sekitarnya. Aku meminta maaf padanya karena telah mengungkapkan perasaanku hingga membuatnya tak nyaman. Diluar dugaanku, Alana justru tersenyum dan mengucapkan terima kasih karena aku menyukainya meskipun Alana tak bisa membalas perasaanku.

Hubungan pertemanan kami pun terus berlanjut, dan aku tetap mencari celah untuk mencuri hatinya. Kuselipkan beberapa kata-kata dan tindakan-tindakan romantis di sela-sela pertemanan kami. 

Hingga akhirnya saat aku pulang dari lokasi KKN yang jauh di pedalaman selama 2 bulan, Alana tiba-tiba saja muncul di hadapanku kemudian menghambur memelukku dengan deraian air mata. Rupanya kehilanganku selama 2 bulan sejak aku KKN di pedalaman membuatnya merasa kehilangan.

“Apa tawaran Mas Wildan waktu itu masih berlaku?” tanyanya lirih, masih dengan memelukku.

“Tawaran yang mana?” tanyaku pura-pura tak mengerti. Padahal jangan ditanya bagaimana jantungku berdetak lebih cepat di dalam sana. Aku memejamkan mataku menikmati pelukan dari gadis idamanku.

“Ng ... itu ... tawaran jadi ... jadi ....” Gadis itu terbata-bata dengan wajah merona merah.

“Tawaran apa sih, Al? Kok malah jadi kayak kepiting rebus gitu mukanya?” Aku masih menggodanya.

“Ih, Mas Wildan nggak peka banget. Aku ... aku kangen!” lirihnya.

Aku tertawa melihatnya salah tingkah. Kueratkan dekapanku pada tubuh wanginya. “Aku mengerti, Al. Aku peka. Tapi maaf Al, aku udah punya pacar sekarang," ucapku dengan nada serius.

"Oohh, maafkan aku! Ka- kalau begitu aku balik dulu ya," ucapnya terbata-bata dengan mata yang berkabut.

Aku tersenyum dan menarik tangannya, membuat Alana yang baru saja hendak melangkah menjauh kembali jatuh ke pelukanku.

"Nggak, Al. Aku hanya bercanda, aku belum punya pacar. Aku suka sama seorang gadis, tapi dia menolakku. Dan sekarang gadis itu sedang berada di pelukanku."

Alana memukul lenganku sambil menyeka sudut matanya. 

"Sekarang mau jadi pacarku, hmm?” ucapku dengan nada lembut di telinganya.

Gadis itu mangangguk pasti, setetes air mata menetes di pipinya.

“Eh, kok malah nangis?”

“Aku kangen Mas Wildan. Kenapa lama banget sih KKN nya? Kenapa nggak bisa dihubungi? Al kehilangan teman cerita, kehilangan teman diskusi. Mas Wildan jahat nggak sekalipun hubungin Alana.”

“Bukan nggak mau hubungi, Al. Aku juga kangen kamu, tapi aku sadar bukan siapa-siapa. Takut dicuekin akunya. Lagian di sana memang nggak ada signal.”

Alana hanya mengangguk, wajah polosnya membuatku merasa gemas ingin menyentuh dan mencium pipinya, namun kutahan semata agar dia tak menilaiku kurang ajar.

“Jadi kita jadian nih?” tanyaku menggodanya.

Anggukan kepalanya benar-benar membuatku terlena dan tak tahan lagi untuk menyentuhnya. Kudekatkan wajahnya kemudian mendaratkan kecupan ringan di keningnya. Ciumanku yang pertama untuk gadis pujaanku, hanya di kening, namun semua perasaan cintaku kutuangkan dalam kecupan ringan itu. Alana pun terlihat sedikit terkejut menerima kecupanku di keningnya. Namun akhirnya gadis itu tersenyum dengan mata bulatnya yang berbinar indah.

Drrrttt ... drrrtttt ....

Bunyi ponselku membuyarkan lamunanku tentang Alana. Kuraih ponselku dan membuka pesan yang masuk. Ternyata dari Lilis, aku bahkan belum mengganti namanya di kontakku, nomornya masih tersimpan dengan nama “Fadli”. Aku tersenyum ketika melihat foto-foto yang dikirim Lilis. Foto putraku yang baru berusia 6 hari. Ah, baru kemarin tak melihatnya saja, aku sudah rindu pada putra pertamaku itu. Ya, putra pertama yang sayangnya bukan lahir dari Alana istriku, namun lahir dari rahim Lilis, gadis yang kunikahi secara siri setahun yang lalu.

Aku menghela nafas panjang. Kembali memikirkan tentang Lilis membuatku sedikit takut, takut jika Alana mengetahui jika Lilis adalah madunya, dan bayi yang sedang ditampungnya di rumah kami sekarang adalah anakku, darah dagingku. Foto-foto lucu bayiku yang dikirm Lilis sedikit menghilangkan kegelisahanku, kupasang foto terbaiknya di status whatsappku, tak lupa kuubah pengaturannya di ponselku agar Alana tak bisa melihat foto yang baru saja kujadikan status WA itu. 

Tak berapa lama, beberapa pesan masuk di ponselku, kebanyakan teman-temanku memberi ucapan selamat dan mengomentari foto putraku. Memang sejak kelahiran putraku beberapa hari kemarin, banyak sekali ucapan selamat dari teman-temanku termasuk dari atasanku. Karena mereka semua tau bahwa aku sudah 5 tahun menikah dan baru saja dikaruniai seorang anak. Namun ada juga beberapa teman akrabku yang tau jika bayiku adalah anak dari istri siriku.

Sebenarnya Alana pun sangat ingin memiliki anak dariku, aku tau dia selalu merasa kesepian jika kutinggal sendirian di rumah karena segudang kesibukan kerjaku, beberapa kali istriku itu mengajakku memeriksakan diri ke dokter. Aku sering menolaknya karena sebenarnya aku tau jika Alana normal dan subur. Namun untuk menyenangkannya aku pun menuruti keinginannya untuk berkonsultasi ke dokter. Dan seperti dugaanku, hasil pemeriksaan menyatakan kami berdua subur. 

Alana hanya tak tau, kalau sebenarnya selama ini aku yang belum menginginkannya melahirkan anak. Rahasia yang sampai sekarang masih kusimpan sendiri.

💫Bersambung💫

 

BAB 5. SEMUA PASTI BAIK-BAIK SAJA

Aku bersiap menuju ke kantor cabang di Kota Balikpapan setelah menikmati sarapan pagiku. Ada beberapa masalah keuangan di kantor cabang Balikpapan yang mengharuskanku sebagai manager keuangan pusat harus turun tangan langsung dalam rangka megaudit laoporan keuangan cabang. 

Biasanya jika aku sudah turun tangan langsung seperti ini, beberapa pejabat di kantor cabang akan khawatir dengan posisi mereka. Karena pasti akan ada yang berubah setelah aku melakukan audit keuangan, entah itu penurunan jabatan atau bahkan pemecatan oleh pemilik perusahaan. Karena aku hanya akan turun tangan langsung jika memang kondisi keuangan sudah sangat banyak penyimpangan oleh oknum-oknum tertentu.

Kuraih laptopku di atas meja kemudian memasukkannya ke dalam tas. Sebenarnya ini hanya laptop cadanganku di kantor karena laptop yang sehari-hari kugunakan ketinggalan di rumah saat aku mampir membawakan salep untuk mengobati iritasi bayi yang dipesan Lilis. 

Beruntung Alana bisa membantuku dengan mengirimkan semua berkas yang kuperlukan di laptop itu ke alamat emailku. Alana memang istri cerdas yang sangat bisa kuandalkan. Beda sekali dengan Lilis yang semuanya tergantung padaku dan Ibu, bahkan untuk urusan salep aja harus aku yang mencarikannya ke apotik.

Ponselku bergetar ketika kami sedang dalam perjalanan menuju kantor cabang, aku meraihnya dan menatap layar. Ibu menelpon. 

"Halo, ada apa, Bu?" Aku langsung bertanya pada Ibu.

"Wil, kamu ada nelpon istrimu?" tanya Ibu.

"Siapa, Bu? Alana atau Lilis?" Aku mengusap tengkukku bingung, istri yang mana yang dimaksud Ibu? Mereka berdua sedang berada di rumahku saat ini.

Kudengar di seberang telpon Ibu menghela napasnya.

“Alana, Wil. Kamu ada nelpon Alana nggak? Barusan dia pergi, ini masih pagi banget loh. Ibu nanya mau kemana tapi Alana hanya menjawab mau cari angin.”

“Ya udah nggak apa-apa, Bu. Mungkin Alana lagi suntuk di rumah.”

“Tapi, Nak ...”

“Kenapa lagi, Bu? Jangan bikin Wildan pusing deh, tolong jaga mereka selama Wildan di luar kota ya, Bu. Wildan lagi banyak kerjaan banget di sini.”

Kembali terdengar helaan napas Ibu.

“Alana tadi nggak sarapan, Wil. Padahal Ibu sudah masakin bubur ayam kesukaannya, dan tadi pagi saat Ibu membangunkannya untuk sholat subuh, Ibu lihat mata Alana bengkak seperti habis menangis semalaman.”

Aku terdiam. Aku memang tak menghubungi Alana lagi setelah kemarin menyuruhnya mengirim email. Jika benar apa yang dikatakan Ibu, apa yang membuatnya menangis?

“Wil, apa mungkin istrimu sudah mengetahui tentang Lilis dan bayi kalian?”

“Ah ... nggak mungkinlah, Bu. Memangnya Alana tau dari siapa? Ibu nggak ngomong sesuatu ke Al kan?”

Aku berusaha meyakinkan Ibu, padahal aku sendiri menjadi sedikit khawatir mendengar penjelasan Ibu tentang Alana.

“Nggak, Nak. Ibu nggak bahas apapun ke istrimu. Sebaiknya kamu cepat pulang, Wil. Ibu punya firasat kalau Alana tau sesuatu. Tak biasanya dia seperti ini pada Ibu.”

“Wildan baru saja tiba, Bu. Bahkan belum sampai di kantor cabang dan belum tau seberapa besar masalah di sini. Ibu doakan saja semua berjalan baik, dan tolong jaga Alana ya, Bu.”

Terus terang hatiku gelisah setelah berbicara dengan Ibu di telpon, namun aku berusaha meyakinkan diriku bahwa semua baik-baik saja. Aku sudah berhasil menyembunyikan ini selama setahun dari Alana, dan keberhasilanku sudah di depan mata. Aku hanya ingin hidup bahagia dengan Alana dan putraku setelah ini.

Beberapa pejabat penting cabang perusahaan Balikpapan menyambutku dan tim ku di depan pintu utama ketika mobil perusahaan yang menjemput kami di hotel tadi tiba di kantor cabang. Perusahaan tempatku bekerja bergerak di bidang pertambangan dan mempunyai beberapa cabang di daerah Sumatera dan Kalimantan bahkan sampai ke Papua. Aku sendiri menjabat sebagai Manajer Keuangan di kantor pusat di Jakarta. 

Kulangkahkan kakiku dengan gagah dan langsung menuju ke ruang keuangan untuk melakukan pekerjaan kami, mengaudit laporan keuangan cabang perusahaan yang belakangan terlihat mencurigakan. Sebenarnya aku sudah tau di mana kesalahannya dan siapa yang berada di balik permainan keuangan di cabang ini. Instingku sebagai akuntan tak pernah salah, namun kami mambutuhkan bukti otentik agar kasus penggelapan ini bisa diproses di pengadilan nantinya. Sejenak kulupakan masalah di rumah dan mulai berkonsentrasi pada pekerjaanku.

Saat istirahat untuk makan siang, aku membuka beberapa pesan di ponselku. Aku memang jarang membuka ponselku ketika sedang sibuk dengan pekerjaanku. Kubuka beberapa pesan dari Ibu.

[Alana belum pulang sampai sekarang, Wil.]

[Ibu khawatir dengan Alana.]

[Nggak usah terlalu khawatir, Bu. Nanti juga Alana pulang. Mungkin dia lagi jalan dengan teman-temannya.] balasku pada Ibu.

Kemudian pesan dari nomor Lilis yang tertera dengan nama “Fadli” di ponselku.

[Yang semangat Ayah kerjanya.] Tulisnya di bawah foto bayiku yang terlihat sedang tertidur pulas.

[Mas udah ketemu nama belum buat anak kita? Masa Lilis manggilnya baby baby mulu sih?]

[Kalau Lilis kasih nama Bagas, Mas setuju nggak? Nanti sisanya Mas Wildan yang nambahin.]

[Sabar dulu ya, Lis. Mas masih belum nemu nama yang pas untuk putra kesayangan Mas.] Begitu balasanku pada Lilis.

Bukan apa-apa, aku ingin Alana yang memberi nama pada putraku itu. Tapi aku belum ada waktu berdiskusi dengan Alana.

Kuscroll pesan-pesan di applikasi Whatsappku, masih ada beberapa pesan dari teman-temanku, kebanyakan dari mereka mengomentari foto putraku yang kupasang di status tadi. Tak ada satu pun pesan dari Alana. Kucoba menelpon ke nomornya namun Alana tak mengangkatnya.

Kuulangi berkali-kali namun Alana tetap saja tak mengangkat telponnya. Akhirkya kuputuskan mengirimkan pesan padanya.

[Lagi ngapain istri cantikku? Kok nggak angkat telpon? Aku kangen.]

Tak ada balasan, hanya centang dua berwarna abu-abu menandakan Alana belum membaca pesanku.

[Aku lanjut kerja dulu ya, Sayang. Doakan lancar dan cepat selesai biar bisa pulang dan memelukmu lagi. Love u Alana.]

Kusimpan kembali ponselku dan meneruskan makan siangku. Ada sedikit kekhawatiran dalam hatiku, seperti juga yang dirasakan Ibu. Tapi kutepis semua itu dan membayangkan yang indah-indah saja tentang rumah tanggaku.

💫Bersambung💫

 

BAB 6. KISAH CINTA DUA SEJOLI

Ibu.

Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah besar putraku, Wildan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam, namun Alana, menantuku, belum juga pulang kembali ke rumah. Entah mengapa aku merasa ada yang tak biasa dari wanita cantik yang sudah 5 tahun menemani putraku itu. Tadi pagi, saat mengajaknya untuk sholat berjamaah, aku merasa Alana berbeda, matanya bengkak seperti orang yang habis menangis semalaman.

Begitupun saat aku menawarkan sarapan dengan menu favoritnya, Alana menolak dan lebih memilih sereal untuk sarapan. Bahkan Alana terlihat seperti enggan menatapku dan berlama-lama berbicara denganku. Padahal biasanya Alana selalu terlihat senang berlama-lama mengobrol denganku, dia selalu mencari tau tentang masa kecil suaminya padaku. Kemudian kami akan tertawa bersama ketika aku menceritakan cerita-cerita lucu saat Wildan masih kecil.

“Bu, ini kok kulit Bagas masih merah-merah gini ya ... padahal sudah Lilis olesin salep yang dibeli Mas Wildan kemarin.” Suara Lilis membuyarkan lamunanku tentang Alana.

“Bagas? Kalian sudah memberinya nama?” tanyaku.

“Lilis yang memberinya nama Bagas, Bu. Mas Wildan sih belum bilang setuju, katanya masih belum ketemu nama yang pas. Tapi, Lilis maunya namanya Bagas. Itu adalah nama yang diinginkan Mas Fadli dulu jika kami menikah dan punya anak,” jawabnya. Kalimat terakhirnya terdengar lirih nyaris menggumam.

Aku menarik napasku panjang, menatap Lilis yang sedang menggendong bayinya. Lilis, gadis polos dan penurut. Lilis dulunya adalah kekasih dari Fadli, putra bungsuku. Fadli adalah putra kesayanganku, dia anak yang tidak terlalu berambisi seperti kakaknya, Wildan. Wildan sejak lulus SMA lebih memilih kuliah di kota, bahkan Wildan bisa membiayai kuliahnya sendiri, kudengar putra sulungku itu mengajar privat di beberapa tempat untuk mendapatkan penghasilan selama kuliah. Wildan memang sangat berprestasi, sejak SMA Wildan tak pernah lepas mendapatkan beasiswa. Berbeda dengan adiknya Fadli, saat aku menyuruhnya untuk kuliah di kota, Fadli malah memilih membantuku mengelola Toko Sembako peninggalan ayahnya. Alasannya karena tak mau meninggalkanku seorang diri, apalagi setelah Wildan menikah.

Maka saat Fadli membawa seorang gadis ke rumah dan memperkenalkan Lilis sebagai kekasihnya, aku langsung menyukai Lilis. Gadis itu terlihat sangat menyayangi Fadli, begitupun sebaliknya. 

Namun nahas, beberapa bulan sebelum rencana pernikahan mereka, Fadli dan Lilis mengalami kecelakaan motor ketika Fadli hendak mengantar Lilis pulang. Fadli kehilangan nyawanya dalam kecelakaan itu, motornya hancur, aku bahkan tak sanggup melihat kondisi motornya pada saat itu. Aku membayangkan bagaimana kondisi putra bungsuku itu sedangkan motornya saja sehancur itu setelah kecelakaan. Sedangkan Lilis tak sadarkan diri selama seminggu setelah kecelakaan.

“Jadi gimana ini, Bu? Kasihan ini paha Bagas sampai merah-merah karena alergi.” Suara Lilis lagi-lagi membuyarkan pikiranku.

“Rajin-rajin ganti popoknya, Lis. Juga salepnya harus diolesin rutin, titpis-tips aja olesnya,” jawabku.

“Tapi ini nggak berbahaya kan, Bu? Mas Wildan kapan sih pulangnya, sepertinya Bagas harus dibawa ke dokter deh, Bu.”

“Jangan terlalu panik, Insya Allah bayimu nggak apa-apa. Itu hanya alergi biasa. Rajin-rajin dibersihin aja biar alerginya hilang.”

Aku kembali melirik ke arah pintu, menunggu Alana pulang.

“Ibu lagi nunggu Mbak Alana?” tanya Lilis.

“Iya, Ibu khawatir. Sudah jam segini kok Alana belum pulang ya,” gumamku.

“Mungkin Mbak Alana memang sering pulang malam, Bu. Apalagi kalau Mas Wildan sedang nggak ada di rumah.”

“Kamu nggak usah ngomentari Alana, Lis. Konsentrasi saja mengurus bayimu. Bagaimana luka operasinya? Masih sering nyeri?” tanyaku.

“Sesekali masih teras nyeri, Bu. Ya sudah, Lilis dan Bagas masuk ke kamar dulu ya, Bu.”

Aku hanya mengangguk lalu meraih ponsel dan berusaha menghubungi Alana namun nomornya tidak aktif. Apakah Alana sudah mengetahui tentang Lilis? Apakah Alana sudah mengetahui bahwa bayi Lilis adalah anak kandung dari suaminya? Semoga saja Alana belum mengetahuinya, Wildan masih mencari cara yang halus untuk jujur pada Alana tentang Lilis. Aku merasa sangat bersalah, bagaimanapun akulah yang paling bertanggung jawab atas kondisi rumah tangga Wildan putraku.

Ingatanku kembali melayang pada saat kami kehilangan Fadli. Hampir sebulan lebih aku terpuruk dalam kesedihan karena kepergian putra bungsuku itu. Wildan dan Alana hanya menemaniku selama seminggu setelah pemakaman Fadli, karena Wildan tak bisa lama-lama meninggalkan pekerjaannya. Sedangkan Lilis masih terbaring di rumah sakit, gadis itu terlihat makin terpuruk saat mengetahui jika Fadli, kekasihnya, meninggal dalam kecelakaan motor yang menimpa mereka. 

Yang makin membuatku merasa iba, beberapa hari setelah Lilis keluar dari rumah sakit, ibunya meninggal dunia. Sehingga gadis itu menjadi yatim piatu karena ayahnya sudah meninggal sejak Lilis masih kecil. Karena kasihan dan merasa senasib ditinggal oleh orang-orang tersayang, aku pun menyuruh Lilis tinggal di rumah bersamaku. Lilis juga tak menolak, karena gadis malang itu pun merasa kesepian setelah Fadli kemudian ibunya meninggalkannya.

Drrrttt .... Drrrtttt .... Aku buru-buru menjawab ponselku yang berdering. Wildan menelpon.

"Nak, Alana ada hubungin kamu nggak?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Justru Wildan mau nanya Alana ada di rumah nggak, Bu? Nomornya nggak aktif nih."

"Alana belum pulang, Nak. Coba kamu hubungi teman-temannya. Ibu khawatir. Sungguh Ibu merasa takut, sepertinya Alana sudah mengetahui tentang Lilis dan bayinya. Kamu hubungi teman-temannya ya, Nak."

"Iya ... iya, nanti Wildan hubungi teman Alana, Bu. Ibu nggak usah khawatir, Alana itu wanita cerdas, Bu. Dia nggak mungkin melakukan hal-hal yang merugikan dirinya."

"Tetap saja Ibu merasa sangat bersalah pada istrimu itu, Nak. Kalau saja waktu itu Ibu tak memaksamu menikahi Lilis."

"Sudahlah, Bu. Jangan dibahas. Wildan sudah punya rencana ke depannya untuk hidup Wildan dan Alana, Bu. Biar Wildan konsentrasi pada kerjaan Wildan dulu. Setelah itu Wildan akan mengajak Alana untuk bicara. Ya sudah, Bu. Wildan nelpon teman-teman dekat Al dulu."

"Iya, Nak!"

Aku menyeka air mataku setelah Wildan mengakhiri panggilannya. Seandainya saja waktu itu aku tak menyuruhnya menikahi Lilis, sesalku. Sebulan setelah kepergian Fadli, Wildan selalu menyempatkan datang sesekali untuk menengokku. Tapi Wildan tak pernah mengajak Alana, karena katanya dia hanya mencuri-curi waktu di sela-sela padatnya pekerjaannya untuk mengunjungiku. Wildan pun beralasan tak ingin membuat istrinya kecapean karena harus bolak-balik. 

Wildan memang kelihatan sangat mencintai Alana, istrinya. Akupun sangat menyayangi Alana karena kulihat besarnya rasa cinta putraku pada wanita terpelajar itu. Rumah tangga mereka kelihatan sangat bahagia dan harmonis, meskipun Wildan sering sekali meninggalkan Alana sendirian di rumah mereka karena sering ke luar kota maupun saat sedang lembur di kantornya. Hanya satu kekurangan dari rumah tangga mereka, yaitu belum adanya anak yang hadir meramaikan rumah besar mereka. Padahal mereka sudah 4 tahun menikah pada saat itu.

“Alana dan aku nggak ada masalah, Bu. Kami berdua sehat dan subur. Hanya saja Wildan memang belum menginginkan Alana hamil, meskipun Alana sebenarnya sudah sangat menginginkannya.” Begitu jawaban dari Wildan saat aku menanyakan anak padanya.

Aku mengeryitkan keningku. “Belum menginginkannya? Jadi Alana KB?” tanyaku.

“Nggak lah, Bu. Alana malah rutin minum obat penyubur dari dokter. Tapi Wildan yang sengaja menghindar.”

“Astaghfirullah! Apa maksud kamu, Nak?”

“Ah, sudahlah, Bu. Pokoknya Wildan belum rela melihat tubuh Al berubah karena hamil.”

Aku terkejut dan heran mendengar pengakuan Wildan, namun aku akhirnya diam dan tak membahasnya lagi karena kulihat dia kecapean.

💫Bersambung💫

 

BAB 7. PELUKAN PERTAMA

Tiga bulan setelah kecelakaan yang merenggut nyawa Fadli, putra bungsuku. Kulihat Lilis pun sudah tidak terlalu sedih, gadis malang itu sudah mulai berinteraksi dengan beberapa tetangga yang sebaya dengannya. Lilis meminta izin padaku untuk tetap tinggal di rumah, menurutnya dia tak sanggup tinggal sendirian di rumahnya karena ibunya pun sudah meninggal. Itu akan membuatnya merasa sendiri dan kesepian.

Aku pun menyetujuinya, karena selain aku juga merasa kesepian jika harus tinggal sendirian di rumah ini, aku juga sudah menyayangi Lilis, gadis itu sudah kuanggap sebagai anakku sendiri. Sebenarnya, beberapa kali Wildan dan Alana memintaku untuk tinggal bersama mereka, namun aku menolak. Aku lebih suka tinggal di sini, dan masih mengelola toko sembako kecil-kecilan peninggalan suamiku.

Hingga suatu hari, ketika Wildan kembali mengunjungiku. Aku kembali mempertanyakan cucu padanya, namun seperti biasa, Wildan hanya menjawab dengan gelengan.

“Wildan masih menikmati masa-masa indah pernikahan dengan Alana, Bu,” jawabnya beralasan.

“Nak, kehidupan pernikahanmu akan lebih indah jika kalian memiliki anak.”

“Perhatian Alana pasti akan terbagi Bu, dan Wildan belum ingin kehilangan perhatian Alana. Sudahlah Bu, tolong jangan bahas ini terus.”

Aku menatap dalam mata putra sulungku itu, sebenarnya ada sesuatu yang ingin kupinta padanya. Hal yang tiba-tiba saja terus melintas di kepalaku sejak beberapa waktu belakangan. Mengetahui aku sedang menatapnya tajam, Wildan menoleh.

“Ada apa, Bu?”

“Wil, jika ibu meminta sesuatu padamu. Apa kamu mau mengabulkan permintaan Ibu?”

“Insya Allah, Bu. Ibu satu-satunya orangtuaku yang tersisa, Wildan akan selalu berusaha mengabulkan permintaan Ibu,” jawabnya tersenyum.

“Ibu ingin ... kamu menikahi Lilis, Nak.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku. Entahlah, aku sendiri merasa heran dengan pemikiran dan ide yang tiba-tiba saja muncul di kepalaku itu.

“Bu!!!” seru Wildan terkejut. “Ibu sadar apa yang baru saja Ibu ucapkan?” tanyanya dengan suara meninggi.

“Iya, Nak. Ibu sadar. Beberapa hari ini Ibu terus kepikiran tentang rencana Ibu ini. Ibu kasihan pada Lilis, gadis malang itu harus kehilangan orang-orang yang disayanginya dalam waktu yang hampir bersamaan. Ibu ingin Lilis tetap di sini menemani Ibu. Seandainya saja adikmu masih hidup, Nak. Ibu pasti sangat bahagia tinggal dengan mereka berdua di rumah ini.” kuseka sudut mataku, kenangan tentang Fadli putra bungsuku kembali terlintas.

Wildan meraih bahuku dan memeluk tubuh rentaku. “Bu, Wildan tau Ibu sedih. Wildan tau Ibu kesepian. Tinggallah bersama kami agar Ibu tidak terlalu merasa sendirian, Alana akan sangat senang jika Ibu mau tinggal di rumah kami.”

“Tidak Nak, Ibu mau tetap di sini. Untuk itulah Ibu memintamu menikahi Lilis, jika dia berstatus istrimu, dia bisa terus tinggal bersama Ibu. Ibu menyayangi gadis itu, Ibu seperti sedang bersama Fadli jika sedang bersamanya. Ibu juga membayangkan jika Lilis bisa punya anak darimu, maka rumah ini akan semakin ramai dan tak menyisakan kesedihan lagi. Semoga kamu bisa mengerti maksud Ibu, Nak.”

Namun, hingga waktunya pulang kembali, Wildan menolak sama sekali permintaanku untuk menyuruhnya menikahi Lilis. Saat Wildan akan membuka pintu depan, secara kebetulan Lilis juga muncul di depan pintu, sepertinya gadis itu baru pulang dari rumah tetangga sebelah yang akan menggelar hajatan.

“Eh, Mas Wildan. Udah mau pulang, Mas?” tanya Lilis tersenyum. Kulihat dari sudut mataku, Wildan melirik sekilas padaku.

“Iya, Lis. Oiya, Mas Wildan tititp Ibu, ya.”

“Iya, Mas. Jangan khawatir. Salam buat Mbak Alana ya, meskipun Lilis belum pernah bertemu,” ucap Lilis terkekeh. Wildan hanya mengangguk.

Masih ku tatap punggung Wildan ketika kemudian putraku itu kembali menoleh dan memperhatikan Lilis diam-diam. Aku mengulum senyum simpul. Seandainya saja Wildan mau mengabulkan permintaanku. Toh, kurasa itu juga tak akan mengganggu hubungannya dengan istrinya. Semua akan berjalan seperti biasa, Wildan tidak harus setiap saat pulang ke sini. Aku hanya ingin status yang jelas untuk Lilis, dan cucu yang lucu yang akan menemani hari-hari kami. 

*** 

Lilis.

Setelah peristiwa kecelakaan yang menimpaku dan Mas Fadli beberapa bulan yang lalu, kemudian disusul oleh kepergian ibuku untuk selama-lamanya, aku benar-benar merasa terpuruk dan duniaku hancur. Bagaimana tidak, impian pernikahan dan kebahagiaan yang sudah di depan mata bersama lelaki pujaanku harus sirna dalam sekejap karena Mas Fadli meninggal dalam kecelakaan itu.

Beruntungnya Ibu Mas Fadli selalu ada di sampingku dan memberiku semangat, padahal aku tau wanita paruh baya itu juga sangat terpukul dengan kematian Mas Fadli. Ibu Mas Fadli bahkan memintaku untuk tinggal di rumahnya, karena kami berdua sekarang sama-sama kesepian dan sendirian, tanpa bepikir panjang akupun setuju, aku juga tak sanggup tinggal sendirian di rumah orangtuaku tanpa ibuku yang juga sudah meninggalkanku tak berapa lama setelah kepergian kekasihku.

Mas Fadli sangat dekat dengan Ibunya, itulah sebabnya Mas Fadli memilih tak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi setelah lulus SMU. Dia lebih memilih menemani Ibunya mengelola toko sembako peninggalan ayahnya yang tak jauh dari rumah mereka.

Menurut cerita Mas Fadli, dia punya kakak laki-laki yang sangat sukses dan berprestasi sejak dari sekolah. Mas Fadli selalu membanggakan Mas Wildan, kakaknya. Padahal kurasa, Mas Fadli pun bisa sesukses kakaknya jika dia mengejar kesuksesannya. Namun, kenyataannya Mas Fadli lebih memilih tinggal di kampung dan menjaga ibunya. Itulah yang membuatku jatuh hati padanya. Mas Fadli sosok lelaki yang dipenuhi cinta dan kasih sayang.

Hingga suatu hari, ibu memperkenalkannya padaku.

“Lis, kenalkan ini Wildan, kakaknya Fadli.” Ibu memperkenalkan seorang pria padaku ketika itu. 

Aku terkesiap menatapnya gugup, pria itu terihat mirip sekali dengan Mas Fadli meskipun terlihat lebih matang, lebih berisi dan lebih rapi khas orang kantoran. Air mataku seketika tumpah, Mas Wildan benar-benar mengingatkanku pada orang yang sangat kucintai.

“Eh ... Lis? Kok malah nangis, Nak?” tanya Ibu menepuk-nepuk bahuku.

“Maaf, Bu. Lilis keingatan Mas Fadli. Mas Wildan sangat mirip dengan ... dengan ....” Aku tak sanggup lagi meneruskan kalimatku. Aku menangis sesegukan di hadapan Ibu dan Mas Wildan.

Namun, aku terkejut ketika merasakan tubuhku didekap dengan hangat oleh sesosok tubuh kekar dan kemudian membenamkan kepalaku di dada bidangnya.

“Sudah, Lis. Jangan menangis, itu akan membuat Ibu juga kembali bersedih. Tetaplah di sini ya, menemani Ibu, dan terima kasih sudah mencintai adikku sedalam ini,” lirih Mas Wildan. Sambil memeluk tubuhku!

Nyaman. Aku merasa sangat nyaman dalam dekapannya. Selama kepergian Mas Fadli, belum pernah ada perasaan senyaman ini selain hanya kesedihan dan kepiluan memenuhi hari-hariku. Aku merasa ada yang salah, tapi bolehkah aku menikmati kenyamanan ini beberapa detik saja?

Aku berontak berusaha melepaskan diri setelah mengembalikan kewarasanku. Tiba-tiba saja rasa nyaman itu berganti dengan rasa risih. Satu-satunya lelaki yang pernah memelukku adalah Mas Fadli, dan aku masih bisa merasakan dekapan hangatnya ketika aku mengenang kembali kebersamaan kami. Lalu lelaki ini, tiba-tiba saja memelukku. Meskipun merasa sangat nyaman, aku bergidik. Aku tak mau menghkianati Mas Fadli.

Mas Wildan melepaskan pelukannya dengan lembut. Matanya berembun, sepertinya dia pun merasakan kesedihan mengenang Mas Fadli, adik satu-satunya.

💫Bersambung💫

 

BAB 8. HARUSKAH MEMBUKA HATI?

Lilis

Subuh itu, saat aku hendak membangunkan ibu untuk sholat subuh bersama, aku terkejut mendapati tubuh renta ibu tergeletak di lantai kamarnya. Dengan panik aku berusaha mengangkat tubuh ibu ke atas tempat tidurnya. Subuh-subuh aku terpaksa menggedor-gedor rumah tetangga untuk meminta pertolongan.

Ditengah kepanikanku, aku teringat untuk memberi kabar tentang ibu pada Mas Wildan. Kuraih ponselku kemudian mencari-cari kontak Mas Wildan. 

"Halo! Ini siapa?" Aku terkejut mendengar suara Mas Wildan yang terdengar setengah berteriak.

“Aku ... aku Lilis, Mas. Maaf harus menelpon subuh-subuh. Lilis cuma mau mengabari Mas Wildan kalau Ibu pingsan, Mas.”

Astaghfirullah, Lilis! Kamu ngagetin aku tau nggak! Kamu pakai nomor Fadli? Aku kaget sekali ada panggilan dari nomor ponsel almarhum, nggak taunya kamu yang nelpon.”

Suara Mas Wildan masih terdengar sedikit berteriak, mungkin dia memang sedang kaget karena aku memang menelpon pakai ponsel Mas Fadli. Saat kecelakaan motor waktu itu, ponsel Mas Fadli terlempar keluar dari sakunya dan hanya retak di bagian casingnya. Maka ketika ibu menyerahkan ponsel itu padaku, aku memilih memakainya tanpa mengganti nomornya, bahkan aku juga membiarkan casingnya yang retak tanpa menggantinya. Ya, semua tentang Mas Fadli rasanya ingin selalu kuabadikan, agar aku selalu merasa bahwa dia masih ada di dekatku.

"Lis! Kok kamu malah diam? Dan apa katamu tadi? Ibu pingsan?"

“Eh, iya. Maaf, Mas. Iya Lilis pakai ponsel dan nomor Mas Fadli. Maafkan Lilis sudah membuat Mas Wildan kaget. Iya, Mas, Ibu pingsan. Tadi pagi saat akan membangunkan beliau salat subuh, Ibu sudah tergeletak di lantai kamarnya, Mas.”

“Sudah berapa lama ibu pingsan, Lis? Terus sekarang ibu sudah ditangani apa belum?”

“Lilis nggak tau sudah berapa lama ibu tergeletak di lantai kamarnya saat Lilis menemukannya. Sekarang Ibu sedang diperiksa oleh Mantri Desa, Mas.”

“Baiklah, Lis. Terimakasih sudah mengabariku. Aku akan segera ke sana. Oiya, pagi ini kamu benar-benar berhasil membuat jantungku hampir copot karena menelponku dengan nomor Fadli.”

***  

Wildan.

“Kamu datang, Nak?” lirih Ibu menoleh ketika aku tiba di rumah sakit. Ibu memang dibawa ke rumah sakit di ibukota kabupaten dengan bantuan fasililitas Puskesmas Desa.

“Iya, Bu. Wildan di sini. Ibu baik-baik saja kan? Ya Allah, Wildan khawatir sekali tadi ketika Lilis menelpon dan mengabari.” Aku meraih tangan ibuku yang sudah keriput. Mencium dan mengusap-usap punggung tangan wanita yang sudah melahirkanku itu.

Ibu hanya mengangguk lemah. “Alana nggak ikut, Nak?”

"Alana sedang berada di Bandung, Bu. Hari minggu nanti keponakannya akan disunat dan akan ada acara syukuran di rumah orang tuanya. Wildan akan mengabarinya nanti, Bu.”

Berikutnya, aku hanya duduk dan menunggu Ibu yang terbaring lemah di ranjang pasien. Menurut dokter tadi, tekanan darah ibu sangat rendah.

Kemungkinan ibu kecapean dan kurang istirahat atau banyak pikiran sehingga tekanan darahnya drop. Aku menatap sayu wajah wanita yang sangat kucintai itu, matanya yang terpejam membuat wajah ibu terlihat sangat tenang. Kurasa ibu bukan kecapean, karena tidak terlalu banyak aktifitas harian ibu. Di toko sembako peninggalan ayah, ibu hanya duduk di meja kasir. Karena aku mempekerjakan beberapa orang di sana untuk membantu ibu. Meskipun ibu menolaknya, namun demi ibuku, aku diam-diam mengupah beberapa orang pekerja toko yang mungkin hasil toko bahkan tak cukup menutupi gaji mereka. Namun, aku diam-diam melakukannya demi ibuku.

Pekerjaan ibu di rumah sehari-hari pun dibantu Lilis. Bahkan kudengar dari cerita ibu, beliau tak pernah lagi memasak ataupun mencuci pakaiannya karena semua sudah dikerjakan oleh Lilis. Aku melirik sekilas ke arah Lilis, gadis itu terlihat sedang mengupas beberapa buah apel agak jauh dari tempatku duduk.

“Mas, Lilis mau ke minimarket sebentar ya. Ini buah apel sudah Lilis kupas, nanti kalau Ibu sudah bangun boleh disuapin,” ucap Lilis padaku.

“Iya, Lis. Terima kasih, ya.”

“Terima kasih untuk apa, Mas?”

“Terima kasih karena kamu sudah menemani Ibu, merawatnya dengan begitu baik.”

“Oh, nggak perlu berterima kasih untuk itu, Mas. Lilis juga punya banyak utang budi pada Ibu.”

Gadis itu tersenyum, kemudian keluar dan menghilang di balik pintu.

“Istrinya telaten sekali ngerawat ibunya, Mas,” ucap ibu-ibu di ranjang pasien sebelah, satu ruangan dengan ibuku. “Beruntung sekali Mas nya punya istri perhatian gitu sama mertua. Lah, kayak saya ini. Boro-boro diperhatiin, pas lagi sakit gini aja dibiarin sendirian gini,” lanjutnya lagi.

Aku hanya tersenyum, tak berniat menanggapi ucapan ibu-ibu itu. Terlihat memang ibu itu hanya sendirian, tak ada yang menunggui. Tadi pagi sempat kulihat seorang pria berseragam PNS datang sebentar menjenguknya dan membawa beberapa macam makanan dan buah. Mungkin pria tadi adalah anaknya si ibu itu. Kulihat tadi Lilis bahkan ikut membantu mengupaskan beberapa buah untuk ibu itu.

“Wildan ...” panggil ibu dengan suara lemah. 

 “Iya, Bu,” sahutku.

“Apa kamu sudah memikirkan tentang permintaan Ibu, Nak?”

“Permintaan yang mana, Bu?”

“Permintaan Ibu agar kamu mau menikahi Lilis.”

Aku menarik nafas panjang. “Ibu nggak usah mikir yang nggak-nggak dulu, ya. Lebih baik Ibu istirahat biar segera pulih dan bisa pulang ke rumah.”

“Ibu beberapa hari ini nggak bisa tidur, Nak. Ibu terus memikirkan keinginan Ibu itu, agar kamu mau menikahi Lilis. Tak bisakah kamu mengabulkan keinginan Ibu yang satu itu, Nak.”

Astaghfirullah, Bu. Jadi Ibu sampai jatuh sakit gini gara-gara itu? Kenapa memaksakan diri sih, Bu?”

“Bagaimana lagi Ibu harus memohon agar kamu mau memenuhi keinginan Ibu, Nak?”

Aku meremas rambutku kuat-kuat. Sungguh keinginan Ibu kali ini membuatku sangat frustasi. Kutatap wajah Ibu yang terlihat sayu.

“Baiklah, Bu. Wildan akan memikirkannya,” lirihku.

Ibu tersenyum, akupun membalas senyum ibu sambil mengusap-usap lengan ibu.

Aku frustasi membayangkan keinginan ibu, membayangkan jika aku harus menikahi Lilis. Lalu bagaimana dengan Alana? Istriku yang selalu cantik dan menawan bagiku. Ah, mengingat tentang Alana membuatku sangat merindukannya, merindukan kehangatan tubuhnya yang selalu saja membuatku mabuk kepayang.

“Mas Wildan kok senyum-senyum sendiri?” Aku terkejut ketika Lilis tiba-tiba sudah berdiri di dekatku.

“Eh ... kamu, Lis,” jawabku grogi. “Habis belanja apa?” tanyaku melihat plastik berlogo indo*aret di tangannya.

“Nih, beli air mineral, beberapa cemilan dan obat nyamuk. Di sini banyak nyamuk kalau malam, Mas,” jawabnya terkekeh.

“Kamu tau dari mana di sini banyak nyamuk?” tanyaku lagi.

“Dulu waktu aku cidera waktu kecelakaan motor dengan Mas Fadli, aku dirawat lama selama seminggu lebih di rumah sakit ini, Mas,” jawabnya datar.

“Ohh, maaf,” sahutku.

“Enggak apa, Mas.”

“Oiya, aku sudah mengajukan ibu untuk pindah ke kamar perawatan VIP, tapi sepertinya kamarnya full. Jadi kamu sabar aja dulu di sini ya,” ucapku padanya, gadis itu hanya menjawab dengan anggukan kepala sambil tersenyum dan mengangkat jempolnya padaku.

Kami pun terdiam. Lilis menyusun beberapa barang belanjaannya tadi di lemari kecil di samping ranjang pasien.

“Lis, bisa bicara sebentar?” tanyaku.

“Lah, ini dari tadi kan udah bicara, Mas,” jawabnya terkekeh.

“Ehm ... maksudku bicara berdua, Lis.”

“Dari tadi juga kita bicara berdua, Mas.”

Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Ah, gadis ini pintar sekali membuatku salah tingkah begini.

“Aku tunggu di luar ya, Lis. Ada yang ingin ku bicarakan denganmu. Kalau di sini takutnya mengganggu Ibu dan pasien lainnya yang mau istirahat,” ucapku.

“Baiklah, Mas. Nanti Lilis menyusul.”

💫Bersambung💫

 

BAB 9. RUANG UNTUK PULANG

“Lis, apa kamu tau Ibu memintaku untuk menikahimu?” tanyaku saat kami berdua sudah duduk di kursi yang ada di taman di area rumah sakit. 

Kulihat gadis itu menghela nafasnya. “Lilis tau, Mas. Ibu pun sudah mengatakannya pada Lilis,” jawabnya lirih.

“Lalu bagaimana tanggapanmu, Lis?”

“Aku tak tau, Mas. Masa depanku terasa gelap saat Mas Fadli meninggalkanku bersama impian-impian yang sudah kami bangun berdua. Aku merasa aku hidup, tapi terasa mati. Mas Fadli nyaris membawa pergi semua gairah hidupku.” Gadis itu menyeka sudut matanya. 

Aku terdiam, menunggunya meneruskan kalimatnya.

“Yang kuinginkan saat ini hanyalah berada di sekitar Ibu, walaupun mungkin orang-orang akan memandang aneh padaku. Tapi tinggal di rumah Ibu dan melihat Ibu setiap hari membuatku merasa Mas Fadli tak pergi jauh-jauh dariku. Maka, ketika Ibu mengatakan niatnya meminangku untuk Mas Wildan, aku tak bisa mengiyakan maupun menolaknya. Sungguh, aku hanya ingin berpasrah karena aku pun tak tau mau ke mana arah hidupku sekarang.”

“Kamu masih muda, Lis. Jalanmu masih panjang jika kamu ingin maju,” ucapku sambil menatap matanya yang terlihat hanya menerawang tanpa fokus.

“Tapi aku tak ingin maju dan menjauh, Mas. Aku hanya ingin di sini, dan berhenti di sini agar kenangan-kenanganku bersama Mas Fadli tidak memudar. Maafkan aku jika kehadiranku di rumah Ibu membuat Ibu berpikiran untuk menikahkanku dengan Mas Wildan. Aku tau Mas Wildan sudah memiliki rumah tangga yang bahagia. Jadi sekali lagi aku tak ingin mengiyakan ataupun menolak, aku akan menuruti apapun keputusan yang Ibu dan Mas Wildan sepakati. Hanya satu keinginanku, jangan menyuruhku meninggalkan Ibu, aku sudah sangat menyayangi Ibu seperti Ibuku sendiri. Terlebih aku selalu melihat cinta Mas Fadli di mata Ibu.”

Lilis kembali menyeka air matanya yang kali ini tidak hanya di sudut matanya, tapi bahkan menetes beberapa butir di pipinya. Kuraih pundaknya dan merengkuhnya dalam dekapanku.

“Jangan menangis, Lis. Aku tau kamu sangat kehilangan Fadli. Ibu dan aku tak mungkin memintamu pergi dari rumah. Kulihat Ibu pun sangat menyayangimu, bahkan kamu sekarang terlihat lebih dekat dengan Ibu dibanding aku dan Alana, istriku.”

Kulihat Lilis memejamkan matanya saat aku memeluk pundaknya. Ini kali kedua aku memeluknya. Saat pertama adalah pada waktu Ibu pertama kali mengenalkannya padaku. Aku sangat iba melihat gadis yang telah mengisi hari-hari adikku disaat-saat terakhir hidupnya itu, sehingga dengan spontan waktu itu aku mendekapnya dalam pelukanku. Awalnya Lilis kaget, kemudian terdiam beberapa saat, lalu kemudian malah berontak berusaha melepaskan diri dariku.

Namun malam ini, kulihat Lilis memejamkan matanya seolah menikmati rengkuhanku di bahunya.

“Mas Wildan jangan terbebani dengan keinginan Ibu, ya. Jika Mas Wildan menolaknya maka itu tak akan terjadi,” ucapnya lirih, masih dengan mata terpejam.

“Mas akan memikirkannya, Lis. Ayo kita kembali ke ruangan Ibu, takutya Ibu bangun dan mencari kita.”

*** 

Aku terpaksa mengajukan cuti beberapa hari karena tak ingin meninggalkan Ibu yang masih dalam kondisi lemah. Meskipun Ibu sekarang sudah kembali ke rumah dan menjalani rawat jalan setelah 2 hari dirawat inap di rumah sakit. Alana sendiri masih berada di Bandung, keluarganya sedang berkunpul dalam rangka persiapan syukuuran sunatan putra dari Mas Sofyan, kakak Alana satu-satunya yang merupakan seorang perwira polisi.

Ayah Alana sendiri juga adalah pensiunan POLRI, mereka memilih tinggal di Bandung setelah pensiun karena Bandung adalah kota dimana Ayah Alana bertugas. Ayah dan Ibu Alana pun sudah merasa cocok tinggal di sana sehingga mereka memilih tak kembali ke Jakarta lagi setelah pensiun. 

2 hari menemani Ibu selama di rumah sakit membuat mataku terbuka melihat bagaimana dengan telatennya Lilis merawat Ibuku. Aku selalu memperhatikannya diam-diam, tatapannya pada Ibu begitu tulus. Mungkin benar apa yang diucapkannya waktu itu, gadis itu merasa dekat dengan Fadli saat dia berada di sekitar Ibu. Maka merawat Ibuku membuatnya bahagia karena merasa sedang berada bersama kekasihnya. Ah, seandainya saja Allah memberi waktu sedikit lagi pada adikku di dunia ini. Kurasa mereka berdua akan menjadi pasangan yang saling mencintai, sama sepertiku dan Alana.

Akhirnya, aku harus menepati janjiku pada Ibu untuk memberi keputusan sebelum masa cutiku habis dan aku kembali ke Jakarta. Malam ini setelah mengimami Ibu dan Lilis sholat Isya, aku menahan mereka berdua dan mengatakan apa yang sudah aku pikirkan selama 2 hari belakangan ini.

“Bu, Wildan mau ngomong sesuatu,” ucapku.

Ibu tersenyum. “Ibu mendengarkannya, Nak.”

“Kalau begitu Lilis masuk ke kamar dulu, ya,” sahut Lilis buru-buru melipat mukenanya.

“Tetaplah di sini, Lis. Ini juga tentang mu, jadi kamu juga berhak untuk mendengarkan,” ucapku. Lilis pun kembali duduk di samping Ibu.

Kehela nafasku panjang-panjang sambil memejamkan mata.

“Wildan sudah mengambil keputusan, Bu. Wildan akan memenuhi keinginan Ibu untuk menikahi Lilis.” Suaraku pelan nyaris tak terdengar bahkan olehku sendiri.

Namun kurasa Ibu dan Lilis mendengarnya dengan sangat jelas. Kedua wanita berbeda generasi itu terlihat menangis di hadapanku, meski dengan tangisan yang berbeda. Mungkin Ibu menangis terharu karena aku memenuhi apa yang diingikannya. Namun aku yakin, Lilis menangis karena dia merasa akan mengkhianati Fadli jika aku menikahinya. 

“Tapi, aku tak mau Alana tau tentang ini, Bu. Toh, Wildan juga akan tetap seperti dulu, tidak bisa ke sini setiap saat. Semua akan berjalan seperti biasa, hanya saja aku akan memberikan status istri pada Lilis agar Lilis bisa tetap di sini menemani Ibu.”

Semua terjadi begitu cepat, hingga akhirnya aku pun dengan lantang mengucapkan Ijab Kabul atas Lilis Andriani. Paman Lilis, adik dari ayahnya menjadi wali nikah gadis itu. Akhirnya, akupun resmi menjadi suami dari 2 orang wanita, yaitu Alana dan Lilis.

Ah, pikiranku serasa kosong. Entah bagaimana hidupku setelah ini. Aku hanya berharap Alana tidak mengetahui semua ini, walaupun aku ragu, sampai kapan aku akan menutupi ini darinya.

Syukuran sederhana yang digelar di rumah Ibu atas pernikahanku dengan Lilis pun telah usai, hanya tersisa beberapa kerabat dan tetangga yang membantu membereskan sisa-sisa acara tadi.

“Istirahat di kamar toh, Nak,” Ibu membangunkanku saat aku sudah hampir terlelap di sofa. Dengan langkah gontai dan mata merah menahan kantuk akupun melangkah ke arah kamarku.

“Wil, kamu kok malah ke kamar itu sih, masuk ke kamar Lilis sana! Lagian di kamarmu banyak barang yang tadi di masukkan ke sana agar rumah ini lapang untuk acara syukuran tadi.” Ibu kembali memprotesku. Aku hanya menggumam kemudian melangkah ke arah kamar Lilis.

Kuedarkan pandanganku ke sekeliling bekas kamar adikku ini, tidak ada yang berubah di dalam kamar ini. Nampaknya Lilis benar-benar membiarkan semua kenangannya tentang Fadli abadi. Di atas meja bahkan masih terpampang foto Fadli dan Lilis berlatar belakang debur ombak di pantai. Entah di pantai mana mereka berdua berfoto, yang pasti pose dan ekspresi mereka di foto itu menunjukkan betapa mereka berdua saling mencintai.

Aku merebahkan tubuh di tempat tidur, tubuhku benar-benar lelah. Hari ini aku benar-benar lelah dalam arti yang sesungguhnya, lelah fisik dan pikiran. Aku hanya ingin beristirahat, aku bahkan tak sempat menghubungi Alana hari ini. Biarlah, toh Alana pun sedang berkumpul bersama keluarga besarnya di Bandung. Kupejamkan mataku yang sudah terasa berat karena mengantuk. 

Aku merindukanmu, Alana. Kamu selalu menjadi ruang untukku pulang.

💫Bersambung💫

 

BAB 10. NASIHAT SAHABAT

Alana.

Kuparkirkan mobilku di parkiran Kafe Jingga. Ini adalah kafe yang kubangun bersama Nafisa, sahabatku. Meskipun kami berdua jarang terlibat langsung dalam pengelolaan Kafe ini karena kesibukan kami dengan rumah tangga masing-masing. Aku dan Nafisa mempercayakan pengelolaan Kafe Jingga pada Handi, sepupu Nafisa. 

Entah kenapa, pagi ini setelah menemukan fakta-fakta mengejutkan tentang Mas Wildan, aku jadi ingin ke kafe ini. Di dalam ada ruangan khusus yang hanya aku dan Nafisa yang punya kuncinya. Aku ingin istirahat dan menghabiskan waktuku di sana. Kuraih gawaiku kemudian mencari kontak Handi, menyuruhnya sedikit agak pagi datang ke kafe karena Handi yang pegang kunci kafe.

"Mbak Alana mau sarapan? Mau dibikinin menu apa nih, Mbak?" tanya Handi setelah membuka kafe.

"Boleh deh, Han. Kebetulan Mbak laper nih belum sarapan. Tolong bikinin kopi kental dan roti bakar pakai selai cokelat ya," pintaku.

"Baik, Mbak. Nanti Handi antakan ke ruangan Mba Alana kalo udah siap."

Kurebahkan tubuhku di sofa, lelah sekali rasanya. Bukan hanya tubuhku saja yang terasa lelah, namun juga pikiranku. Kuraih ponselku dari dalam tas ku. Tak ada panggilan atau pesan apapun dari Mas Wildan. Ah, apa yang sedang kuharapkan? Mungkin aku bukan jadi prioritas Mas Wildan lagi sekarang. Aku kembali teringat sosok Lilis dan bayinya yang saat ini sedang berada di rumahku.

Hmmm ... aku menggeliat, melemaskan otot-otot tubuhku. Perlahan ku buka mataku kemudian merasa heran karena ternyata aku sedang tidak berada di kamarku.

"Duh, putri tidur kita sudah bangun rupanya!" Suara dari depan pintu mengagetkanku.

"Nafisa? Ngapain di sini? Aku tertidur rupanya," gumamku ngelantur setelah menetralkan jantungku akibat kaget oleh suara Nafisa tadi.

"Harusnya aku yang ngapain kamu di sini? Sampai tidur berjam-jam udah kayak kebo aja dibangunin nggak respon."

"Hah?? Berjam-jam? Ini udah jam berapa emangnya? Perasaan aku baru aja terlelap setelah makan roti bakar buatan Handi."

"Baru aja terlelap? Tuh liat udah jam berapa! Handi sampai panik nelpon aku karena kamu nggak keluar-keluar dari ruangan ini." Nafisa mengoceh.

Aku melirik jam dinding dan melongo ketika melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 13.15. Aku tersenyum setengah meringis pada Nafisa.

“Maaf, Naf. Aku nggak nyangka ketiduran sampai jam segini.”

“Kamu lagi ada masalah, Al? Menurut Handi tadi kamu udah di sini bahkan sebelum kafe ini buka,” tanya Nafisa menyelidik.

Aku manarik nafas berat. Haruskah kuceritakan masalah ini pada Nafisa? 

“Aku lapar, Naf. Ntar aja ya ngobrolnya. Aku mau pesan makanan dulu, sekalian mau nyobain menu baru Kafe Jingga.”

Aku meraih gawaiku sambil menunggu Handi mengantarkan menu pesananku. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Mas Wildan. Juga beberapa pesan whatsapp.

[Lagi ngapain istri cantikku? Kok nggak angkat telpon? Aku kangen.]

[Aku lanjut kerja dulu ya, Sayang. Doakan lancar dan cepat selesai biar bisa pulang dan memelukmu lagi. Love u Alana.]

Sepertinya pesan itu dikirim saat jam makan siang tadi. Aku mencibir membaca pesan penuh ungkapan cinta dari Mas Wildan.

“Eh, baca apaan sampai mencibir gitu.” Nafisa mencoba mengintip ke layar ponselku.

“Lagi baca pesan dari laki-laki paling brengsek di dunia,” makiku emosi.

Kulihat Nafisa semakin penasaran dan mengeryitkan keningnya. “Kurasa kamu sedang tak baik-baik saja, Alana. Aku menuntut penjelasanmu!”

Huhhh!! Nafisa memang selalu begini. Persahabatanku dengannya terjalin sejak kami SMA. Nafisa selalu menjadi orang yang paling terdepan mendengarkan ceritaku. Tak ada yang kusembunyikan dari Nafisa. 

“Iya, Naf. Aku sedang tak baik-baik saja. Ada yang ingin kuceritakan padamu, tapi tunggulah, aku sangat lapar sekarang,” ucapku lirih.

*** 

Aku memilih tak pulang ke rumah. Rasanya aku sangat ingin menghindar untuk bertemu dengan Lilis dan bayinya, juga ibu mertuaku. Nafisa sendiri sudah pulang sore tadi ketika suaminya menjemputnya di kafe. 

Meskipun awalnya Nafisa tak tega meninggalkanku sendiri setelah aku menceritakan dan memperlihatkan semua bukti-bukti yang kuperoleh dari chat Mas Wildan yang sudah kusimpan di galeri ponselku. Nafisa menangis, sama sepertiku, Nafisa sangat menyayangkan jika Mas Wildan benar-benar mengkhianatiku bahkan punya anak dari wanita lain.

Selama ini, aku dan Mas Wildan memang terlihat sangat bahagia dan harmonis. Di acara-acara formal seperti pesta pernikahan teman maupun acara-acara formal perusahaan, kami berdua selalu jadi pusat perhatian. Tubuhku yang proporsional sangat serasi bersanding dengan tubuhku Mas Wildan yang tinggi atletis, ditambah lagi dengan wajahnya yang ganteng. Mas Wildan pun sepertinya tak segan-segan memamerkan kemesraan ketika sedang berada di sampingku, dia sepertinya selalu bangga ketika menggandeng tanganku, seolah ingin mengatakan pada dunia bahwa aku adalah pasangannya.

Soal penampilanku, jangan ragukan. Mas Wildan selalu memberiku uang lebih, bahkan dia selalu menyuruhku melakukan perawatan-perawatan rutin di salon-salon mahal. Pun dengan gaun, Mas Wildan kadang tiba-tiba saja membawaku ke butik dan memilihkan gaun-gaun mahal untukku. Kemudian dengan bangga memuji penampilanku setelah itu.

Nafisa termasuk salah satu orang yang selalu memuji keserasian kami. Maka pada saat aku menangis di hadapannya bercerita tentang kegalauanku akan keberadaan Lilis dan bayinya, Nafisa pun merasa tertipu. Tertipu oleh semua kemesraan dan keserasian kami selama ini.

“Sebelum memperoleh kepastian tentang suamimu, sebaiknya kamu mengedepankan asas praduga tak bersalah, Al. Meskipun kamu punya bukti-bukti, kamu harus tetap menanyakan dan membicarakan ini dengan suamimu.” Begitu nasihat Nafisa tadi.

Suami Nafisa berprofesi sebagai pengacara, wajar saja omongannya juga sudah seperti orang yang mengerti hukum.

“Aku tau, Naf. Aku pun masih menunggu Mas Wildan pulang dari Balikpapan untuk menanyakan masalah ini. Hanya saja, sekarang aku nggak mau pulang ke rumah. Melihat seorang wanita yang kucurigai mempunyai hubungan khusus dengan suamiku sedang berada di rumahku membuatku sesak. Sementara ini aku hanya ingin menyendiri dulu.”

“Terus, sekarang mau mau kemana, Al? Mau nginap di Kafe?”

“Nggaklah, Naf. Mungkin aku nginap di hotel aja malam ini. Yang penting nggak pulang ke rumah, aku benar-benar nggak sanggup jika harus pulang ke rumah malam ini.”

“Ya udah, buruan sekarang cari hotelnya. Jangan terlalu lama di sini. Aku takut kamu akan ketemu dengan orang yang dari dulu sangat ingin bertemu denganmu.”

“Maksud kamu apa, Naf?”

“Nggak ... nggak apa-apa ... nggak usah dipikirin. Udah ya aku pulang dulu, kasian suamiku udah lama nungguin.”

“Iya, Naf. Terima kasih ya sudah menemaniku hari ini. Peluk cium buat baby Almira, ya,” ucapku.

“Iya ntar disampaikan peluk ciumnya buat Almira. Asal jangan titip peluk cium buat papanya Almira. Kamu baik-baik ya, Al. Jangan berbuat hal-hal yang akan merugikan dirimu sendiri,” jawabnya sambil tersenyum menyelipkan nasihat padaku sebelum akhirnya pulang dan kembali meninggalkanku sendiri di ruangan ini.

Kulirik jam dinding, pukul 18:30. Segera kuraih tasku dan keluar dari ruangan. Meskipun tidak terlalu ramai, masih terlihat ada beberapa pengunjung di Kafe Jingga. Karyawan kafe sendiri sudah berganti shift sejak tadi siang.

Kulangkahkan kaki menuju wastafel, hanya untuk membasuh wajahku agar terasa segar kembali.

Baru saja akan meninggalkan wastafel, ketika pintu toliet kafe terbuka.

“Alana ....” Suara itu menyapaku lembut.

💫Bersambung💫

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya NODA PERNIKAHAN (BAB 11 SAMPAI 20)
4
0
Alana menemukan banyak sekali kebohongan dalam hubungan pernikahannya dengan Wildan, seorang akuntan sukses sekaligus manajer keuangan di sebuah perusahaan besar.Setelah Alana menemukan fakta bahwa suaminya memiliki wanita lain selain dirinya, fakta-fakta lain tentang rahasia Wildan selama 5 tahun pernikahannya mulai terkuak satu-persatu. Alana seolah kehilangan separuh dunianya. Ia yang merasa tak sanggup menerima pengkhiatanan suaminya, kemudian memilih pergi.Takdir kemudian mempertemukannya kembali dengan Darwin, cinta pertamanya. Namun siapa sangka, pertemuan kembali keduanya justru malah membawa masalah baru dalam kehidupan Alana. Membuatnya harus menjalani hidup bak roller coaster.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan