KITA TANPA KATA

1
0
Deskripsi

“Bantu aku. Tinggallah bersamaku, tetaplah di sampingku. Bantu aku mengembalikan semua pada tempatnya."
-Danindra Fauzan-

"Kita berdua sedang berada di ruang yang salah, dan kita harus keluar dari sana apa pun risikonya.”
-Kamila Aziza-

"Aku sudah sampai pada titik lelahku. Aku lelah menggapaimu, aku letih mengejarmu. Sementara kamu semakin menjauh dan sengaja terus berlari.”
-Gita Gayatri Aprilia-

Selamat membaca 😊
Jangan lupa FOLLOW akunku. Terima Kasih.

BAB 1. MEMILIH BERSEMBUYI

Mata elang Danindra terus mengikuti pergerakan gadis manis dengan kerundung berwarna peach yang tampak sibuk menata berbagai makanan dan minuman serta beberapa buket bunga. Semua barang yang tengah disusun oleh gadis manis itu dibawa oleh beberapa rekan kerja Danindra yang baru saja berpamitan meninggalkan ruangan ini.

Sesekali pria tampan berusia 35 tahun itu meringis saat merasakan sakit di bagian perutnya, namun bola mata hazelnya tak pernah lepas mengikuti gerakan Kamila, si gadis berkerudung peach.

“Sakit lagi?” tanya Kamila lembut saat mendengar Danindra meringis.

“Sedikit,” jawab pria itu sambil tersenyum.

“Harusnya tadi Mas Nindra nggak usah meladeni mereka membahas pekerjaan. Gimana mau cepat keluar dari sini kalau Mas masih saja memikirkan perkerjaan, padahal dokter kan sudah bilang kalau Mas nggak boleh banyak pikiran dulu.” Gadis di hadapannya itu terus bicara, sementara tangannya masih terus menata beberapa makanan kalengan di atas nakas.

Danindra tak menjawab, ia justru memejamkan matanya menikmati suara Kamila yang baginya terdengar merdu di telinga, meski sebenarnya gadis itu tengah melayangkan protes padanya.

Ini hari ketiga Danindra terbaring lemah di ruang VIP sebuah rumah sakit swasta di Samarinda, kota yang merupakan ibukota Kalimantan Timur. Sudah hampir dua tahun lamanya Danindra tinggal di kota yang terletak di pulau Borneo ini, dua tahun yang terpaksa dilaluinya sendirian, jauh dari keluarganya. Pekerjaannya pada Persada Energy Tbk, sebuah perusahaan tambang yang memiliki jaringan luas di Asia mengharuskannya meninggalkan keluarganya di Jakarta ketika ia dan beberapa orang rekannya dipercaya menduduki jabatan penting di perusahaan untuk area Kalimantan.

Sambil memejamkan mata, Danindra kembali meringis saat perutnya kembali terasa kram. Ya, sudah tiga hari ini sejak bawahannya menemukannya pingsan saat tengah melakukan inspeksi lapangan, pria itu terpaksa terbaring di ranjang pasien dan meninggalkan padatnya pekerjaannya sebagai kepala divisi pertambangan di Persada Energy Tbk.

“Mas, ini obat lambungnya diminum dulu. Satu jam setelah minum obat lambungnya baru boleh makan bubur.” Suara lembut Kamila membuat Danindra membuka matanya. Gadis itu mengulangi kalimat yang diucapkan perawat saat menjelaskan mengenai obat-obatan yang harus diminumnya.

Di depan mata Danindra sudah ada segelas air putih dan sebutir obat yang disodorkan oleh Kamila. Danindra kembali melebarkan senyumnya pada gadis itu sambil mengucapkan terima kasih. Kata yang sudah ribuan kali diucapkan pria itu pada gadis berusia 27 tahun yang selama dua tahun ini selalu memberi perhatian padanya.

Danindra meraih sebutir pil yang disodorkan Kamila dan meneguk air putih dari gelas.

“Terima kasih,” ucapnya lagi saat mengembalikan gelas pada Kamila. Gadis itu hanya menjawab dengan senyum dan anggukan kepala.

“Nggak ngajar, Dek?” tanya Danindra.

Gadis itu melirik arlojinya sejenak.

“Dua jam lagi Mila ada kelas, Mas. Masih sempat ngurusin makan siang Mas Nindra sebelum berangkat,” jawabnya.

Danindra menghela napas berat. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa tak tega melihat Kamila yang harus terlibat sejauh ini menemani dan merawatnya. Namun ia tak punya pilihan lain saat hanya Kamila lah yang selalu ada dan mengulurkan tangan padanya saat ia tengah tak berdaya seperti sekarang. Padahal seharusnya bukan Kamila, tapi seseorang yang saat ini berada jauh darinya lah yang mendampingi dan merawatnya.

“Maaf, ya, Dek. Mas ngerepotin kamu lagi.” Suara Danindra lemah.

Sekali lagi gadis yang kini memilih duduk di kursi lipat tak jauh dari ranjang pasien itu mengangguk dan tersenyum.

“Mas Nindra lagi melow, ya. Hari ini udah berkali-kali bilang maaf dan terima kasih pada Mila,” ucapnya sambil tertawa pelan.

Suara tawa pelan dan lembut Kamila membuat Danindra kembali menghela napas berat. Suara itu begitu lembut di telinganya, suara yang membuatnya selalu mati-matian menahan dirinya untuk tidak menarik gadis itu dalam pelukannya. Pria itu mengusap-usap dadanya, mengusir semua rasa yang tak seharusnya ada di sana.

“Kenapa, Mas? Sakit lagi?” Kamila bertanya saat melihat pria pemilik bola mata tajam berwarna coklat yang kini tengah terbaring tak berdaya itu mengusap dadanya.

“Nggak,” jawab Danindra. “Hanya sedang berusaha mengusir sesuatu dari dalam dada,” lanjutnya lagi.

Kamila tertunduk saat matanya bersitatap dengan mata hazel Danindra. Dia tau apa yang ada dalam pikiran pria yang sedang terbaring tak berdaya itu. Mereka selalu seperti ini, merasakan perasaan masing-masing tanpa kata. Karena keduanya menyadari bahwa kata yang kini tengah bersemayam dalam hati masing-masing tak boleh terucap di bibir. Meski tanpa kata, namun keduanya menyadari jika saat ini hati mereka sedang berada dalam kondisi tak wajar, melenceng dari koridor yang seharusnya.

Hanya sedang berusaha mengusir sesuatu dari dalam dada. Kamila mengerti makna dari kalimat Danindra tadi. Ya, gadis itu tau jika ia harus terusir pergi dari sana, karena dia memang masuk tanpa permisi, mengendap-endap bak seorang maling yang takut ketahuan pemilik rumah.

Ponsel yang berpendar di atas meja kecil di samping brankar rumah sakit membuyarkan keheningan yang menguasai keduanya. Kamila menghampiri meja lalu kemudian tersenyum getir saat melihat layar ponsel. Kini saatnya dia bersembunyi, agar sang pemilik tak memergokinya sedang berada di sana, di tempat yang tidak seharusnya.

“Telepon dari Mbak Gita,” ujarnya sambil menyodorkan ponsel yang masih berdering pada Dinandra. Sementara Dinandra menerima ponselnya dengan helaan napas berat. Sangat berat.

Dia menatap dalam-dalam mata Kamila, sebelum menggeser layar ponselnya untuk menjawab panggilan masuk. Kamila mengangguk lemah, lalu dengan langkah gontai menepi dari sana.

Dia harus bersembunyi, agar pemilik rumah tak menyadari keberadaannya di sana. Bukankah itu yang dilakukan oleh seorang maling yang takut ketahuan? Bersembunyi atau lari dari sana, dan kali ini Kamila masih memilih untuk bersembunyi, seperti yang sudah sering dilakukannya.

Danindra meletakkan ponselnya di dekat telinga, lalu suara manja yang selalu dirindukannya itu terdengar mendayu-dayu.

“Gimana keadaanmu, Mas?” Suara dari seberang sana terdengar khawatir.

“Masih lemah, masih harus bed rest beberapa hari di sini,” jawab Danindra.

Hening, tak ada jawaban.

“Kapan ke sini? Mas lagi butuh kamu, Mas sendirian di sini,” lanjut Dinandra setelah tak ada jawaban dari seberang sana.

“Maaf, Mas. Aku harusnya besok terbang ke sana tapi aku reschedule tiket.”

“Kenapa? Kamu nggak mikirin Mas di sini?” Ada nada kecewa yang mendalam dari nada bicara Danindra.

“Mmmm ... itu, Mas. Lusa ada arisan ibu-ibu wali kelas di sekolah Namira dan aku sudah berjanji untuk hadir, jadi aku dan Namira akan terbang ke Samarida setelah acara arisan selesai.

Danindra mendengkus kasar. Selalu seperti ini, wanita itu selalu menomorduakan dirinya.

“Mas Indra nggak apa-apa, kan?” Suara itu kembali terdengar saat Danindra hanya diam.

“Kamu lebih mementingkan kegiatan arisanmu itu ketimbang aku suamimu? Aku merindukanmu dan Namira, apalagi dengan kondisiku yang sedang sakit seperti ini. Tapi ....”

“Mas, jangan manja deh! Aku dan Namira tetap akan ke sana, tapi setelah semua urusan di sini selesai.” Wanita itu bahkan tak membiarkan Danindra meneruskan kalimatnya.

Seperti biasa, Danindra lagi-lagi memilih mengalah daripada harus berdebat panjang lebar dengan istrinya. Tidak akan ada habisnya, justru akan semakin menguras tenaga dan emosinya karena dia tau persis bagaimana keras kepalanya Gita, istrinya. Pembicaraannya dengan Gita berakhir, menyisakan kesepian yang semakin menggigit jiwanya saat ia mendengar suara putri semata wayangnya yang tadi ikut berbicara sebelum ia mengakhiri panggilan.

Gita Gayatri Aprilianti, wanita yang dinikahinya sepuluh tahun yang lalu. Wanita yang telah memberinya seorang anak perempuan cantik secantik ibunya. Wanita yang begitu dicintai dan digilainya, namun kini berada jauh berbeda pulau dengannya.

Danindra memijit kepalanya yang terasa berat. Pembicaraannya lewat telepon dengan Gita bukannya membuat pikirannya tenang, tetapi justru membuat kepalanya semakin pusing. Bagaimana mungkin wanita itu lebih mementingkan kegiatan arisannya dibanding datang dan mengurus suaminya yang sedang sakit.

Mata Danindra menatap ke arah pintu ruangan, menunggu seseorang muncul di sana. Seseorang yang seperti biasa akan mengobati kesepiannya, mengobati kesendiriannya, bahkan mengobati fisiknya yang lelah dengan setumpuk masalah pekerjaan dan masalah pribadinya.

Pria itu tampak gelisah ketika sosok yang ditunggunya belum juga muncul setelah beberapa menit ia menunggu. Lalu senyumnya merekah saat daun pintu yang dari tadi ditatapnya itu bergerak membuka. Senyum manis Kamila langsung memanjakan matanya. Gadis itu masuk dengan menenteng sebuah kantong plastik berlogo minimarket.

“Dari mana?” tanya Danindra.

“Nih, beli buah,” jawab gadis itu.

“Bukannya tadi anak-anak bawa banyak makanan dan buah-buahan?” tanyanya lagi mengingat beberapa saat yang lalu beberapa rekan kerjanya menjenguk dengan membawa berbagai macam buah tangan.

Kamila tak menjawab, gadis itu hanya mengangkat bahunya sambil meletakkan kantong belanja yang tadi dibawanya.

“Nggak ada jeruk, ya?” Danindra terkekeh saat melihat Kamila mengangguk.

Danindra hafal sekali buah kesukaan gadis manis itu. Kamila sangat menyukai buah jeruk dan aroma jeruk. Bahkan parfum Kamila beraroma jeruk, begitu pun lipgloss yang sering dilihatnya saat Kamila memoleskan benda itu ke bibir ranumnya juga beraroma jeruk. Aroma sangat akrab bagi penciuman Danindra sejak mengenal Kamila dua tahun lalu. Aroma yang kini juga menjadi aroma favorit Danindra karena tanpa sengaja ia juga memasang parfum beraroma jeruk dalam mobilnya.

“Mbak Gita jadi datang besok?” tanya Kamila ragu-ragu, tanganya tengah mengupas kulit jeruk.

“Nggak jadi, Dek.” Suara Danindra terdengar malas.

“Ha? Kenapa nggak jadi, Mas? Mbak Gita nggak tau Mas lagi sakit?”

“Ya tau lah, Dek. Kan dari awal sakit juga Mas udah ngabarin.”

“Terus?”

Danindra menghela napasnya. “Jangan bahas Gita, Dek. Kepalaku pusing,” katanya.

Kamila hanya menatap iba pada pria yang tengah terbaring sakit itu. Sebenarnya banyak hal yang ingin ditanyakan oleh gadis itu, namun dia memilih diam.

“Maaf sudah membawamu sejauh ini, dan terima kasih sudah mau mengerti keadaanku.” Mata tajam itu menatap sayu pada gadis yang masih memegang buah jeruk di tangannya itu.

Danindra selalu merasa bersalah saat Kamila dengan sabarnya harus menjauh saat Gita menelponnya, hanya agar sang istri tidak curiga ketika melihat atau menyadari keberadaannya di sana.

Bersambung.


BAB 2. MENAHAN RASA

“Mas Nindra bisa makan sendiri?” Kamila mengaduk-aduk bubur yang terlihat masih mengepulkan asap.

“Itu bubur lagi, Dek? Mas udah bosan makan bubur.” Alih-alih menjawab, Danindra malah mengeluh pada gadis manis di hadapannya.

“Mas Nindra lagi sakit, jadi sementara harus makan bubur dulu.” Kamila menjawab sambil tertawa pelan melihat ekspresi wajah pria yang masih terbaring dengan jarum infus menancap di pergelangan tangannya.

“Tapi rasanya nggak enak, Dek. Hambar. Mungkin kalau bubur buatanmu Mas bisa lebih lahap makannya.”

“Ya udah, sementara Mas makan yang ini dulu, ya. Ntar Mila minta tolong ibu deh masakin bubur buat Mas.”

Gadis manis itu menata piring berisi bubur dan segelas air putih di atas overbed table, meja makan yang khusus dipakai untuk pasien rumah sakit.

Sekali lagi Danindra melempar senyum pada gadis itu, gadis yang begitu telaten merawatnya meski ia tak bisa menjanjikan apa pun padanya. Gadis yang awalnya ia anggap sebagai adiknya sendiri hingga akhirnya perasaan tak biasa itu tiba-tiba saja hadir di tengah kesepian dan kesunyian jiwanya yang berada jauh dari keluarga kecilnya.

Pikiran Danindra melayang pada kejadian dua tahun lalu, saat ia mendapatkan promosi jabatan pada perusahaan tempatnya bekerja. Dia yang awalnya menjabat sebagai Kepala Departemen Perencaanaan Tambang dan berkantor di kantor pusat di Jakarta, mendapat promosi untuk menduduki jabatan setingkat di atasnya sebagai Kepala Divisi Pertambangan. Promosi yang sangat wajar mengingat bagaimana prestasi kerjanya selama ini di Persada Energy Tbk. Membawa perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan itu mampu bersaing dan berada di posisi teratas perusahaan tambang di berbagai daerah di Indonesia. Sayangnya, tawaran jabatan yang diimpikannya itu mengharuskannya pindah dan berkantor di Pulau Kalimantan dan mengurus cabang Persada Energy Tbk yang ada di sana.

Saat itu Danindra dihadapkan pada dua pilihan yang membuatnya dilema. Jabatan yang sangat menarik dan menantang pria yang berijazah S2 jurusan pertambangan dari sebuah universitas swasta itu tentu saja sangat sayang untuk dilewatkan. Namun ternyata langkahnya terbentur saat Gita – istrinya menolak untuk ikut pindah ke Kalimantan. Berbagai cara telah dipakai pria itu untuk membujuk istri yang sudah sepuluh tahun hidup bersamanya dan telah memberinya seorang putri, tapi Gita tetap pada pendiriannya.

“Aku nggak bisa tinggal di sana, Mas.”

“Namira juga nggak mungkin pindah sekolah ke sana. Di sana pasti nggak ada sekolah yang bagus seperti sekolah Namira.”

“Aku belum pernah berpisah jauh dari mami dan papi, Mas.”

“Mas kan bisa pulang seminggu sekali ke Jakarta saat weekend, jadi nggak akan ada yang berubah.”

Begitulah sederet kalimat penolakan yang diucapkan Gita saat Danindra mengajaknya untuk ikut bersamaya ke tempatnya bertugas. Lalu nada bicara wanita itu akan semakin meninggi jika Danindra menjawabnya dan memberinya beberapa alasan agar istrinya itu mau mengabulkan keinginannya.

Hingga akhirnya Danindra akan selalu mengalah, agar Gita tak semakin liar lalu papa mertuanya akan ikut campur. Danindra tau, papa mertuanya yang seorang pengusaha SPBU dan sekaligus pensiunan dari instansi kepolisian itu pasti akan menolak jika Danindra mengatakan akan mengajak putri bungsunya itu untuk ikut bersamanya ke seberang pulau.

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatannya untuk mengembangkan karir, akhirnya Danindra memutuskan menerima tawaran dari perusahaan. Keputusan yang akhirnya membuatnya harus menahan rindu setiap hari karena tinggal berjauhan dengan Gita dan Namira, anak dan istrinya. Keputusan yang akhirnya mempertemukannya dengan sesosok gadis muda bernama Kamila Aziza, putri dari salah satu rekan kerjanya. Keputusan yang akhirnya membuatnya lambat laun menyadari jika kesepian yang dulu dirasakannya di awal kepindahannya ke Kalimantan telah berangsur-angsur sirna, karena sisi hatinya yang kosong kini dihias oleh senyum gadis manis itu.

Pria itu menghela napas berat. Memikirkan Kamila, gadis yang setahun belakangan selalu mengisi hatinya dan mengganggu tidurnya itu selalu membuat dadanya sesak.

“Mas ....” Suara Kamila membuyarkan lamunan Danindra.

“Ehm!” Pria itu berdehem.

“Mikirin Mbak Gita?” tanya gadis itu, Danindra menggeleng.

“Mikirin kamu.”

Blush!! Pipi Kamila merona merah. Lalu dengan salah tingkah gadis itu kembali menunjuk ke bubur yang tadi sudah disusunnya.

“Makan dulu buburnya, Mas. Ntar keburu dingin.”

Danindra tersenyum melihat rona merah di pipi Kamila, juga gerakan kakunya yang terlihat salah tingkah hanya dengan kalimat ‘mikirin kamu’ yang tadi dilontarkannya. Pria tampan itu menyadari, meski tanpa kata, meski Kamila tak pernah jujur padanya, tapi dia tau jika gadis itu juga memiliki rasa yang sama terhadapnya. Danindra pria dewasa yang berpengalaman, dia tau perasaan apa yang kini tengah menghiasi hubungan keduanya.

“Ini obat yang harus Mas minum setelah makan, ya, Mas.” Kamila meletakkan beberapa butir obat di piring kecil dan meletakkannya di meja.

Gadis itu menelan salivanya kasar dengan pipi yang semakin merona ketika tanpa sengaja tanganya bersentuhan dengan punggung tangan Danindra yang tengah meraih mangkuk berisi bubur.

“Maaf,” gumam keduanya bersamaan.

Danindra pun meletakkan kembali mangkuk berisi bubur di meja. Sentuhan singkat tanpa kesengajaan itu bukan hanya berpengaruh pada Kamila, karena sekarang pria itu pun merasakan hal yang sama. Jantungnya berdetak lebih cepat dari ritme normalnya.

Pria itu menarik napas panjang berkali-kali untuk menormalkan hatinya.

“Selalu seperti ini, ya, Dek.” Suara Danindra pelan disertai helaan napas berat. “Kita harus gimana?” tanyanya lagi sambil menatap Kamila.

Ya, ini bukan kali pertama mereka bersinggungan secara tak sengaja, dan itu selalu membuat perasaan keduanya tak menentu. Jika saja Danindra pria bebas, tentu lah dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadikan gadis yang berhasil menggetarkan hatinya itu menjadi wanita yang halal untuk disentuhnya. Tapi, keadaan membuatnya harus selalu seperti ini, terkurung dalam hasrat yang mati-matian dipendamnya.

“Jangan dibahas, Mas. Mila pamit dulu, ya. Sebentar lagi jadwal ngajar.”

Masih dengan gerakan kaku, gadis itu meraih tas nya dari dalam lemari kecil yang terletak di sisi ranjang pasien. Danindra kembali tertawa, kali ini nadanya terdengar sumbang. Dia tau, Kamila selalu seperti ini. memilih kabur darinya ketika ia mulai membahas hal-hal sensitif dalam hubungan tanpa kata mereka. Tapi Danindra tak ingin menahannya, dia selalu melepas kapan saja gadis itu memilih pergi darinya. Karena ia sadar tak punya hak untuk menahan Kamila, dan juga tak ada hubungan apa pun yang bisa ditawarkannya pada gadis itu.

“Istirahat yang banyak, ya, Mas. Jangan lupa obatnya diminum, kalau perlu sesuatu Mas panggil perawat.. Nanti sore Mila bawain bubur dari rumah,” ucap gadis itu panjang lebar, persis seperti seorang ibu yang sedang merawat anaknya yang sedang sakit.

Kamila selalu seperti itu, perhatian-perhatian sederhananya seperti inilah yang berhasil membuat mata hati Danindra yang tadinya hanya tertuju pada sosok Gita kini terbagi saat ia harus sesekali melirik Kamila.

“Iya, Dek,” sahutnya lembut saat Kamila masih terus mengatakan beberapa kalimat larangan padanya, terutama larangan untuk memikirkan pekerjaan di tengah kondisinya yang tengah lemah seperti ini.

“Mas nggak mikirin kerjaan kok,” lanjut Dinandra lagi.

“Baguslah, Mila juga sudah minta tolong ayah biar menyampaikan ke perusahaan untuk membiarkan Mas beristirahat total dulu sampai benar-benar pulih.” Gadis itu menjawab.

“Mas bukan mikirin kerjaan, tapi mikirin kamu.”

Gerakan tangan Kamila terhenti di gagang pintu, lalu beberapa detik kemudian gadis itu kembali membuka pintu ruangan.

“Mila pamit, ya, Mas. Assalamualaikum.” Gadis itu menoleh singkat ke arah Danindra.

“Dek!”

Kamila kembali menoleh.

“Selamat bekerja, Sayang.” Suara Danindra nyaris tak terdengar, namun berhasil membuat gadis di depan pintu itu menunduk menahan rasa.

Bersambung


BAB 3. UCAPAN SAYANG

Kamila berdiri bersandar di dinding setelah menutup pintu ruang rawat VIP di mana Danindra dirawat. Dadanya bergemuruh menahan perasaan yang hadir di sana. Sebenarnya ini bukanlah kali pertama gadis itu mendengar Danindra menyebutnya sayang. Di rumahnya, ayah dan ibunya sering memanggil putri tunggalnya itu dengan panggilan seperti itu. Lalu kemudian panggilan itu menular pada beberapa tetangga dan teman akrab orang tuannya, termasuk Danindra yang memang bersahabat dengan ayahnya. Namun panggilan sayang yang terucap lirih dari bibir Danindra barusan serasa menusuk-nusuk hatinya.

Dulu, ia akan melempar apa pun pada Dinandra ketika pria itu memanggilnya sayang, karena baginya Danindra sedang mengolok-oloknya dengan panggilan itu. Siapa pun yang mendengarnya memang kadang menertawakan ketika ayah dan ibunya memanggilnya dengan panggilan sayang. Tak sekali dua kali pula Kamila memprotes ayah dan ibunya, namun kedua orang yang telah menghadirkannya ke dunia itu hanya menertawakannya.

“Udah terbiasa, Nak. Dari kamu bayi ayah dan ibu sudah terbiasa memanggimu sayang.” Itu yang diucapkan ayah dan ibunya jika ia memprotes.

“Tapi Kamila malu, Yah. Bahkan teman-teman ayah jadi mengolok-olok Mila,” protesnya, yang malah ditertawakan oleh ayahnya.

“Untuk apa Kamila peduli pada teman-teman Ayah? Mereka hanya bergurau.”

Namun kata sayang dari bibir Dinandra tadi terasa berbeda. Tak ada kesan olokan di sana, Dinandra bahkan mengucapkannya dengan lembut, lirih, nyaris tak terdengar. Bukan seperti biasanya yang terucap dengan lantang mengandung olokan, membuat Kamila merasa jika pria itu mengucapkannya dari hati. Apa yang sedang dirasakannya ini? Rasa apa yang memorakporandakan hatinya ini? Apakah ia sedang jatuh cinta? Tidak! Dia tak boleh jatuh cinta pada pria itu. Sangat mengerikan jika gadis sepertinya harus jatuh cinta pada pria seperti Dinandra. Pria yang sudah memiliki istri, lengkap dengan seorang gadis kecil cantik nan ceria.

Kamila pernah bertemu dengan Gita dan Namira saat keduanya berkunjung ke Kalimantan menghabiskan hari libur Namira. Seingat Kamila, selama Danindra bertugas di Kalimantan, sudah dua kali anak dan istrinya datang dari Jakarta mengunjunginya. Kunjungan pertama pada saat Danindra baru sekitar enam bulan di Kalimantan, saat itu Danindra memperkenalkannya pada Gita, wanita cantik yang hanya dengan sekali memandang Kamila sudah bisa menilai jika wanita itu memiliki kelas sosial yang tinggi. Barang-barang mewah dan branded yang melekat di tubuh Gita cukup menunjukkan bagaimana kehidupan wanita itu.

Ingatan Kamila melayang pada saat perkenalannya dengan wanita yang dipanggilnya Mbak Gita itu. Mereka berdua langsung akrab setelah berkenalan, terlebih Gita memang tak punya teman di kota di mana suaminya sedang bertugas selain Kamila. Selama seminggu Gita dan Namira berada di samarinda, dan Kamila selalu menemani mereka berdua ke mana pun karena Dinandra sibuk dengan pekerjaannya. Dia mengajak Kamila keliling kota dengan meminjam mobil ayahnya.

Saat itu keduanya begitu akrab, selama seminggu bersahabat tanpa jarak, bak kakak adik yang memiliki hubungan yang sangat dekat. Saat itu, belum ada rasa enggan di dada Kamila seperti yang dialaminya kini, di mana dia akan memilih bersembunyi ketika Gita menelepon, apalagi jika wanita itu melakukan panggilan video pada suaminya. Tak ada yang aneh dari perkenalan keduanya di saat pertama kali Gita berkunjung. Karena saat itu, hatinya belum serumit sekarang. Saat itu, Dinandra baginya hanya salah seorang dari sahabat dan rekan kerja ayahnya, sama seperti rekan-rekan kerja ayahnya yang lain.

Namun saat kedatangan kedua kalinya Gita ke Kalimantan, saat itu Gita hanya datang seorang diri tanpa Namira. Saat itu lah Kamila mulai menyadari bahwa ada yang berbeda di hatinya. Kamila tak mengerti mengapa saat itu hatinya terasa nyeri ketika melihat bagaimana keintiman Dinandra dan Gita yang kadang tanpa sengaja terlihat olehnya. Rumah Dinandra memang hanya berjarak dua rumah dari kediaman Kamila dan kedua orang tuanya, karena mereka memang menghuni perumahan khusus untuk para karyawan Persada Energy Tbk. Terlebih selama ini, Danindra sangat dekat dengan kedua orang tuanya. Bahkan saking dekatnya, Danindra bisa dengan leluasa datang ke rumah orang tua Kamila kapan pun itu. Ibu Kamila sudah menganggap pria berperawakan tinggi dengan tubuh atletis itu seperti putranya sendiri.

Bukan pemandangan yang aneh lagi ketika Kamila mendapati lelaki itu berada di meja makan, menikmati masakan ibunya sambil bersenda gurau dengan ayah dan ibunya, atau memergoki Dinandra terlelap di sofa di depan TV di ruag keluarga mereka karena ketiduran di sana.

Kedatangan Gita kedua kalinya pada saat itu menyadarkan Kamila jika ia sudah berada di jalur yang salah dan ia harus meluruskannya sebelum ia terluka sendiri. Kamila masih ingat bagaimana ia mendapati Danindra dan Gita saat itu berciuman panas ketika ibunya menyuruhnya mengantarkan makanan pada mereka. Pun saat ia memergoki keduanya terlelap berdua di sofa dengan pakaian yang sudah tak lengkap lagi saat ayahnya menyuruhnya mengantarkan kunci mobil perusahaan pada Dinandra karena ayahnya sedang sakit dan meminta Dinandra menggantikan perkerjaannya.

Saat itu, pintu rumah Dianndra masih sedikit terbuka sementara tak ada jawaban apa pun dari dalam ketika ia sudah mengetuk pintu dan memencet bell berkali-kali. Lalu, ia disuguhi pemandangan yang membuatnya harus menelan salivanya kasar dengan pipi yang memanas saat ia membuka pintu rumah Dinandra. Kamila tau apa yang baru saja dilakukan oleh sepasang manusia itu, dan Kamila menyesali dirinya sendiri ketika menyadari bahwa ada rasa sesak yang dirasakannya.

Hey! Mereka suami istri yang sah dan mereka saling mencintai. Kamila tau itu. Lalu kenapa dia harus merasa sakit melihat pemandangan itu? Bukankah itu semua karena kesalahannya yang dengan lancang membuka pintu rumah Danindra karena tak ada jawaban dari dalam sana?

Apakah dia sedang cemburu?

Kamila buru-buru pergi dari sana dan bahkan melupakan niatnya datang ke sana untuk menyerahkan kunci mobil sesuai perintah ayahnya. Gadis itu bahkan tak menjawab ketika ayahnya menegurnya saat dia pulang ke rumah setengah berlari dengan wajah merah padam, lalu melempar kunci mobil ke atas meja teras dan masuk ke dalam kamarnya. Kamila menangis, padahal ia sendiri tak mengerti untuk apa dia menangis. Hingga akhirnya gadis itu memutuskan untuk menjauhi Danindra dan Gita, apa pun alasannya. Sebelum semua bertambah runyam dan dia harus tersiksa oleh perasaannya sendiri.

“Mbak? Kok di luar?” Suara seorang perawat membuyarkan lamunan Kamila.

Perawat wanita yang membawa beberapa alat-alat medis itu tengah membuka pintu ruang rawat Danindra, namun merasa heran ketika melihat Kamila yang dikenalinya sebagai penunggu pasien di ruang VIP itu berdiri bersandar di dinding dengan tatapan kosong.

“Eh, iya, Mbak.” Kamila gelagapan, ia berusaha mengembalikan pikirannya yang tadi sedang berada di tempat lain.

“Mau tindakan apa, Mbak?” tanyanya lagi saat melihat si perawat membawa beberapa peralatan medis.

“Hanya pengambilan sampel darah,” jawab si perawat.

“Oh, gitu. Silakan, Mbak,” ucap Kamila lalu melangkah menjauh setelah si perawat masuk ke ruangan.

Sementara di dalam ruangan, Danindra yang mendengar sekilas percakapan perawat dengan seseorang di depan pintu mengeryitkan keningnya. Itu suara Kamila? Bukannya gadis itu sudah berpamitan dan keluar dari sana sejak sepuluh menit yang lalu?

“Tadi ngobrol dengan siapa di depan pintu, Mbak?” tanyanya pada perawat yang sedang mengambil darahnya.

“Oh, ngobrol sama istrinya, Pak.”

Danindra terkejut.

“Hah? Istri saya?” Bayangan Gita lah yang terlintas di kepalanya saat perawat menyebut kata istri.

“Iya. Yang nungguin Bapak selama dirawat bukannya istrinya?”

Lalu Danindra tertawa saat menyadari jika si perawat mengira Kamila adalah istrinya, namun ia memilih tak meralatnya. Sementara justru si perawat itu yang kini terheran-heran melihat pasien itu tertawa.

Pikiran Danindra malah tertuju pada gadis yang baru saja dikira istrinya itu. Kenapa Kamila masih di sana tadi? Apa karena panggilan sayang yang tadi diucapkannya? Tapi bukannya ia sudah sering memanggilnya seperti itu bahkan sering mengolok Kamila dengan panggilan sayang?

Apa Kamila juga menyadari jika panggilan sayangnya tadi berbeda dari biasanya? Karena kata sayang yang terucap tadi memang keluar dari hatinya yang paling dalam. Tanpa sadar Danindra tersenyum.

Bersambung.


BAB 4. RINDU YANG TERGANGGU

Wanita anggun dengan rambut hitam panjang dan bergelombang berjalan dengan langkah pasti menyusuri koridor rumah sakit, di belakangnya ada seorang bocah perempuan yang tangannya digandeng oleh perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik. Mereka bertiga baru saja tiba di Samarinda pagi ini, dijemput oleh salah satu bawahan Danindra di bandara dan langsung menuju ke rumah sakit di mana Danindra dirawat. Langkah wanita cantik dengan postur tubuh bak seorang model itu terhenti di pintu ruang VIP. Ia berhenti sesaat dan menarik napasnya sebelum memutar grendel pintu.

Senyumnya merekah dengan indahnya saat pintu terbuka dan langsung memperlihatkan sosok pria yang tengah duduk di sofa dalam ruangan.

“Mas ....” Wanita itu berlari kecil menghampiri Danindra.

Assalamualaikum.” Wanita paruh baya yang menyusul di belakangnya mengucap salam.

Danindra membalas salam yang diucapkan oleh ibu mertuanya kemudian menatap kecut pada istrinya. Gita yang tau apa yang ada di dalam pikiran Danindra pun menggumam mengucapkan salam. Dia tau, suaminya sedang menatapnya protes karena tadi langsung menyelonong masuk tanpa ucapan salam.

Danindra meraih tubuh istrinya, kemudian mencium singkat kening Gita. Lalu beralih mencium punggung tangan mertuanya sebelum merentangkan tangannya lebar-lebar menanti gadis kecilnya menghambur ke pelukannya.

“Hati-hati, Sayang,” ucap Gita saat melihat putrinya lari dan menghambur ke pelukan Danindra. “Papa masih sakit,” lanjutnya lagi. Sementara Namira dan Danindra terlihat tak begitu peduli karena keduanya semakin berpelukan erat melepas rindu.

“Papa kangen, Nak.” Danindra menciumi wajah putrinya berkali-kali, sementara gadis kecil berusia sembilan tahun itu tak kalah ekspresifnya. Namira melingkarkan kedua tangannya memeluk leher papanya.

“Bagaimana keadaanmu, Nak?” ibu mertua Danindra bertanya.

“Udah agak mendingan, Mi.”

Kondisi Danindra memang sudah lebih baik, dibanding beberapa hari yang lalu saat ia dilarikan ke rumah sakit ini karena tiba-tiba pingsan di lokasi pekerjaannya.

“Maaf, ya, Nak. Istrimu terlambat datang untuk merawatmu.” Alih-alih Gita yang meminta maaf, tapi justru Mami Iis, ibu mertuanya lah yang meminta maaf.

“Nggak apa-apa, Mi,” jawab Danindra seraya melirik pada wanita dengan bentuk tubuh indah di depannya.

“Kata dokter Mas Nindra sakit apa?” Wanita yang dipandangi suaminya itu bertanya dengan suara manjanya, tubuhnya dihempaskan di samping tubuh Danindra, bersandar dengan manja pada pundak suaminya itu.

“Diagnosanya Mas kena tipes dan maag akut,” jawab pria yang kedua tangannya masih memeluk erat gadis kecilnya itu.

“Aduh, kok bisa tipes lagi, Mas? Mas Nindra nggak teratur makannya?”

Danindra hanya bisa meringis mendengar kalimat istrinya, seandainya saja saat ini ia hanya berdua dengan Gita, tentu saja pria itu akan langsung menegur kelancangan wanita itu. ‘Aku sakit begini karenamu, wahai wanita bergelar istri,’ ucap Danindra dalam hatinya.

Beruntung Mami Iis memahami situasinya, dan kekesalan Danindra akibat ucapan istrinya tadi bisa sedikit berkurang.

“Kenapa ngomong gitu, Nak? Bagaimana suamimu mau teratur makannya, sedangkan kamu tak ada di sini mengurusnya,” kata Mami Iis.

Gita memutar bola matanya, tak ingin berdebat dengan maminya. Wanita itu tau jika maminya akan selalu sependapat dengan suaminya mengenai ini. Dari dulu, Mami Iis sudah berulang-ulang kali menasihatinya agar ikut ke Kalimantan bersama Namira, dan tinggal menetap di sini menemani suaminya yang sedang ditugaskan di pulau ini.

Selama ini, hanya papinya lah yang selalu membelanya ketika ia mempertahankan keinginannya untuk tetap berada di Jakarta. Gita anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya Ira berusia tiga tahun di atasnya, telah menikah dan memiliki dua orang putra.

Menjadi anak bungsu membuat Pak Harry - papi Gita sangat memanjakannya dan menjadi over protective padanya. Bahkan saat dulu Danindra mengajaknya keluar dari rumah orang tuanya untuk tinggal di rumah sederhana yang dibeli Danindra dengan hasil keringatnya sendiri setelah setahun tinggal di rumah mewah milik orang tua Gita, butuh waktu lama bagi Danindra untuk meyakinkan pensiunan polisi itu.

Meski sebenarnya Danindra memiliki hak penuh untuk membawa anak dan istrinya untuk pindah dari rumah mertuanya, namun pria itu tak ingin melukai hati mertuanya dan memilih melakukan pendekatan pelan-pelan sambil membujuk Papi Harry berharap hingga akhirnya pria paruh baya itu luluh. Lalu saat Danindra menerima tawaran promosi jabatannya dan pindah ke Kalimantan, Papi Harry lah yang selalu mendukung keengganan Gita untuk ikut menemaninya, wanita itu memang tak tertarik untuk ikut merantau bersamanya. Hingga kemudian Gita dan Namira kembali tinggal bersama mami dan papinya sejak Danindra merantau ke Kalimantan.

Danindra menatap sang istri, meski sedikit kesal karena begitu sulit untuk mengajak Gita menyusulnya bahkan di saat kondisinya sedang sakit, namun rasa rindunya pada wanita itu membuatnya mengabaikan rasa kesalnya. Dengan lembut pria itu menarik tubuh sang istri.

“Mas kangen,” ucapnya dengan suara pelan. Mami Iis yang melihat anak dan menantunya sedang saling menatap dengan pancaran kerinduan masing-masing memilih menarik lembut tangan cucunya dari dekapan Danindra.

“Namira sama Oma dulu, ya,” ucapnya membujuk sang cucu lalu kemudian menepi ke sudut lain di ruangan rumah sakit, membiarkan sepasang suami istri yang sedang melepas rindu.

Danindra menarik tubuh istrinya ke pangkuan. Menghirup wangi rambut panjang milik Gita yang memanjakan penciumannya, lalu mengecup lembut kulit leher putih mulus milik istrinya.

“Mas, kamu lagi sakit,” gumam Gita.

“Aku udah baikan, Sayang. Paling besok udah bisa pulang.” Danindra turut menggumam.

“Aku ... kangen,” lanjutnya lagi dengan suara berat.

Ada sisi kelelakian Danindra yang sedang haus dan menuntut lebih. Beberapa bulan tak bertemu membuatnya hampir meledak, belum lagi kehadiran sosok gadis manis yang selalu berada di sekitarnya, menarik hatinya dengan sangat kuat, membangkitkan sisi maskulinnya, namun tak bisa menyentuhnya, membuat Danindra semakin tersiksa.

Pria itu semakin menuntut lebih, sementara Mami Iis dan Namira sudah tak terlihat lagi di sana, entah sejak kapan keduanya keluar dari ruangan ini. Danindra tersenyum senang, ibu mertuanya memang orang yang paling mengerti dirinya, selain Ummi Evi – ibu angkatnya.

Keduanya larut dalam kerinduan sepasang suami istri yang telah lama berpisah. Saling memeluk hingga masing-masing menuntut lebih dan lebih. Namun di saat Gita sudah mulai terbuai dengan perlakuan suaminya, tiba-tiba saja pria yang menikahinya sepuluh tahun lalu itu berhenti.

“Mas ....” Suara Gita merdu mendayu-dayu, tangan wanita cantik itu melingkar di leher suaminya.

Danindra menghela napas kasar. Pria itu menggaruk tengkuknya, melepaskan dengan lembut tangan istrinya yang memeluk di sana. Sebongkah perasaan bersalah tengah meyesakkan hatinya. Wajah lembut Kamila menari-nari di kepalanya, justru saat ia sedang berada sangat dekat dan bersentuhan dengan istrinya.

“Kenapa, Mas?” Tatapan Gita meredup ketika api yang baru saja dipercikkan oleh suaminya harus disiram hingga padam.

“Kita sedang di rumah sakit, Ma.” Danindra mencari alasan.

Gita mengangguk mengerti, lalu wanita pemilik bentuk tubuh indah itu berjalan ke arah pintu dan menguncinya.

“Ma ....” Dinandra memprotes. Pria itu kembali menelan kasar salivanya, saat tubuh istrinya kembali ke pangkuan.

“Aku kangen,” bisik Gita.

Danindra menghela napas berkali-kali. Apa ini? Apa yang sedang terjadi padanya? Apa yang salah di dalam kepalanya? Bukan kah seharusnya dia menguasai dengan penuh wanita cantik yang sedang berada di pangkuan ini? Bukankah seharusnya dia melepas rindu yang sudah lama dipendamnya setelah berbulan-bulan tak bertemu istrinya? Tapi kenapa dia justru ingin mundur? Mengapa bayangan gadis polos sederhana dengan jilbab yang menyembunyikan rambutnya dengan sempurna itu dengan lancang menari-nari di matanya? Mengapa wajah cantik Gita yang saat ini tepat berada di depan matanya justru terasa asing? Berganti dengan wajah dengan polesan make up tipis yang selalu mengulum senyum malu-malu padanya.

“Arrgghh!” Pria itu mengugar kasar rambutnya, membuat Gita turun dari pangkuannya.

“Mas? Ada yang sakit?” tanyanya panik.

Pria itu hanya menggeleng, lalu kembali menarik kembali tubuh istrinya.

“Nggak ... aku baik-baik saja ... Maafkan aku.”

Gita mengeryitkan keningnya.

“Maaf untuk?”

Danindra menggeleng, kemudian membelai rambut sang istri.

“Tinggal lah di sini bersamaku,” bisiknya.

“Mas!”

Please, Git! Aku butuh kamu.”

Mata Gita menyipit. Ia tau suaminya sedang berbicara sangat serius ketika memangilnya dengan namanya, bukan dengan panggilan mama atau sayang yang biasa dilakukannya.

“Kamu kenapa, Mas? Aku nggak mau berdebat, kita sudah berkali-kali membicarakan ini, dan kamu tau keputusanku.” Suara Gita terdengar lebih nyaring.

“Aku benar-benar butuh kamu.” Danindra menatap penuh harap.

“Kenapa? Mas juga mau nyalahin aku karena kamu sakit? Itu bukan karenaku Mas? Kamu sendiri yang nggak memperhatikan jadwal makanmu!”

Lagi-lagi Danindra menelan kasar salivanya.

‘Aku takut kehadiranmu tergantikan oleh orang lain jika kamu tak selalu ada di sampingku.’ Kalimat itu hanya terucap dalam hati Danindra, sementara matanya terpejam berusaha mengusir bayangan gadis lembut dan sederhana itu dari matanya, dan dari hatinya.

Bersambung.


BAB 5. PADA SIAPA RINDU INI

Gita membuka matanya dengan malas saat merasakan telapak tangan lebar milik Danindra menepuk-nepuk pipinya.

“Bangun, Mam. Sudah subuh, kita salat jamaah,” bisik Danindra di telinganya.

Wanita itu menggeliat malas, menatap suaminya beberapa detik kemudian kembali memejamkan matanya.

“Bangun, Sayang.” Danindra kembali menepuk, kali ini sambil memencet hidung bangir istrinya. “Buruan wudhu,” lanjut Danindra.

“Aku nggak bawa mukena, Mas.” Gita memberi alasan.

“Nggak bawa mukena bukan alasan untuk tak mendirikan salat, Mam. Kamu bisa meminjamnya pada perawat jaga di depan,” ucap Danindra lagi, sementara Gita hanya menggumam malas.

Tak ingin berdebat pagi-pagi buta, Gita pun memilih bangkit lalu masuk ke dalam kamar mandi.

“Ini mukenanya,” Danindra menunjuk mukena berwarna putih yang baru saja dipinjamnya dari perawat jaga untuk istrinya. “Lagian Mas kan udah pernah bilang kalau ke mana-mana itu sebaiknya bawa mukena, salat itu—“

“Mas ngajakin salat apa mau ceramah?” Gita memotong kalimat suaminya. Ini bukan pertama kalinya Danindra menegurnya karena tak membawa peralatan salatnya, maka wanita itu memilih memotong kalimat Danindra karena dia sudah tau apa yang akan diucapkan suaminya itu.

Gita tau, ujung-ujungnya Danindra akan menegurnya dan menyuruhnya sehari-hari memakai jilbab untuk menutupi kepalanya. Gita hanya tersenyum datar saat melihat ada pancaran kekecewaan dari mata Danindra. Ya, dia selalu melihat binar kecewa itu di sana saat Danindra ia tak menggubris nasihat Danindra mengenai keinginan pria itu melihatnya memakai penutup kepala. Pergaulan sosial Gita dengan beberapa sahabat karibnya yang mereka beri nama “Geng Aura” membuatnya enggan untuk mengabulkan permintaan suaminya. Semua sahabatnya di Geng Aura tak ada yang berjilbab, sehingga Gita pun memilih untuk mengabaikan keinginan Danindra. Selain karena ia memang merasa kurang sreg memakainya.

“Mas udah boleh pulang belum hari ini?” tanya Gita saat mencium punggung tangan suaminya setelah selesai salat bersama.

“Nggak tau, Mam. Belum ada info dari petugas medis,” jawab Danindra, pria itu mendaratkan kecupan di kening Gita yang masih berbalut mukena. “Mas suka ngeliat kamu seperti ini, Sayang. Bagi Mas kecantikanmu makin terpancar dengan penampilan seperti ini.” Pria itu mengusap-usap kepala sang istri yang tertutup oleh mukena.

Gita bergeming, tak menanggapi ucapan suaminya.

“Mas kamu kelihatannya sudah sehat, loh. Apa kamu hanya mencari-cari alasan agar aku dan Namira datang ke kota ini?”

Danindra memejamkan mata, menahan rasa kesal yang kini menguasai.

“Mam, mau aku sakit atau nggak. Mau aku sedang berpura-pura sakit atau benar-benar sakit, sudah seharusnya kamu berada di sini menemaniku.”

“Mas! Kenapa pembahasan kita jadi mundur gini, sih? Bukannya kita sudah sepakat aku dan Namira tetap tinggal di Jakarta. Kenapa akhir-akhir ini Mas Nindra malah sering membahas ini lagi? Aku capek, Mas. Apa Mas pikir aku di Jakarta hanya bersenang-senang? Aku ngurusin anak kamu, Mas!” Lagi-lagi suara Gita meninggi.

Wanita itu melipat mukena, lalu bangkit. Namun gerakannya terhenti saat Danindra menarik tangannya.

“Kita tak pernah sepakat, Git. Aku hanya selalu menuruti kemauanmu sementara kamu tak pernah mau mendengarkanku. Dan jika kamu bertanya kenapa belakangan ini aku mempermasalahkannya, itu karena belakangan ini aku semakin merasa tak sanggup jauh darimu. Aku takut ....” Danindra tak meneruskan kalimatnya.

Gita menatap heran saat tiba-tiba saja wajah suaminya seolah sedang menyembunyikan sesuatu.

“Takut apa, Mas? Kalau Mas memang sudah tak sanggup tugas di sini, ya minta pindah kembali ke kantor pusat.”

Danindra menghela napasnya. “Ternyata kamu tak pernah mengerti aku, Gita. Ini karirku, ini cita-citaku, dan aku tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Tak mudah menduduki posisiku sekarang ini dalam usia yang relatif muda sepertiku.”

“Kalau gitu jangan mengeluh dengan keadaan ini, Mas! Aku tak mau membahas ini lagi. Pokoknya sampai kapan pun aku dan Namira nggak akan ikut ke sini. Titik!”

Gita melepaskan tangannya dari genggaman Dianandra. Lalu berjalan menjauh, membuka pintu ruangan dan berlalu dari sana. Danindra kembali harus menahan rasa kecewa, entah untuk yang kesekian kalinya. Gita memilih menghindar, agar Danindra melupakan dan tak membahas keinginannya lagi mengajaknya hijrah ke kota ini. Gita meyakini jika besarnya rasa cinta suaminya padanya dan putrinya lah yang membuat mereka selalu mengalami perdebatan ini.

Wanita itu tak tau jika sifat dan karakter suaminya bisa saja berubah lantaran kecewa dan rasa sakit yang dialaminya. Gita tak menyadari jika rasa cinta dan peduli bisa saja berubah menjadi tak acuh dan masa bodoh karena hati yang sudah terlanjur dibiarkan gersang.

Gita tak tau jika selangkah setelah ia meninggalkan ruangan dan menutup pintu VIP rumah sakit, suaminya justru menekan tombol ponselnya, mencari ketenangan dari suara yang selalu terdengar lembut di telinganya, suara merdu yang diharapnya bisa meredam kecewanya atas kalimat perlawanan Gita padanya. Namun wajah Danindra semakin kecewa ketika pemilik suara lembut yang dicarinya ternyata tak menjawab panggilan teleponnya.

Pria itu lalu membuka geleri rahasia di ponselnya, lalu dengan lancang menatap foto seorang gadis manis yang dikelilingi beberapa anak didiknya sedang tersenyum pada bocah-bocah kecil yang menatapnya dengan antusias. Foto yang diambil Dinandra diam-diam saat memberi kejutan pada Gita dengan menjemputnya di sekolah dasar swasta tempat gadis itu mengajar.

Tanpa sadar Danindra tersenyum. Dia tau semua yang dilakukannya ini salah, namun hati kecilnya tak bisa berbohong bahwa hanya dari sosok gadis itu lah sekarang ia mendapatkan ketengangan. Kedatangan Gita yang diharapkannya bisa menepis semua ketidaknormalan pada hatinya ternyata tak serta merta mengenyahkan bayangan Kamila dari mata dan hatinya. Terbukti di hari pertama Gita menemaninya di rumah sakit, wanita itu malah mengeluh karena harus tidur meringkuk di sofa. Hingga membuat Danindra akhirnya mengalah dan membiarkan Gita lah yang tidur di atas ranjang pasien sementara ia yang meringkuk di sofa. Membuat Danindra terpaksa menerima komplain dari perawat ketika melihat pasien bertukar tempat dengan penjaga pasien.

“Mas kangen, Dek,” gumamnya sambil mengusap layar ponselnya, lalu kemudian kembali mengulangi panggilan ke nomor Kamila namun tetap tak ada jawaban.

[Dek, angkat teleponnya.]

Danindra memilih mengirim pesan melalui aplikasi Whatsapp yang ternyata langsung terbaca oleh Kamila. Pria itu mengeryitkan kening sesaat kemudian menyadari apa penyebab Kamila mengabaikan panggilan teleponnya. Padahal biasanya gadis itu akan selalu menjawab lalu menanyakan kenapa dia menelepon dan apa yang bisa dibantunya.

Kamila sengaja menolak panggilannya karena keberadaan Gita, dan Danindra sendiri menyadari jika apa yang dilakukan gadis itu sudah sangat tepat. Kamila pasti tak ingin mengganggu waktunya dengan sang istri. Danindra meringis, menyadari jika bukan kehadiran Kamila yang akan mengganggunya, tapi justru kehadiran Gita lah yang sekarang seolah menjelma menjadi gangguan baginya. Buru-buru pria itu mengucapkan istighfar, berharap perasaan tak biasa itu segera pergi dari hatinya. Namun ternyata tidak, karena ia justru semakin merindukan senyum Kamila, gadis sederhana yang selalu lemah lembut.

***

Kamila baru saja melipat mukenanya setelah melaksanakan salat subuh ketika mendengar ponselnya berdering. Matanya menatap nanar saat melihat nama penelpon yang tertera di layar.

“Mas Nindra,” gumamnya. Namun Kamila memilih membiarkan benda pipih itu berpendar di atas nakas hingga akhirnya diam.

Gadis dengan rambut hitam lurus sebahu itu duduk di tepi tempat tidurnya, menatap ponselnya yang baru saja menampilkan nama pria yang belakangan mengusik hatinya. Kamila menyadari, ada hubungan istimewa antara dirinya dan pria beristri itu meski keduanya tak pernah mengatakannya. Tanpa kata, ia dan Danindra selalu saling mencari. Tanpa kata, ia dan Danindra selalu saling peduli. Tanpa kata, ia dan Danindra selalu saling menatap dalam getar. Tanpa kata, ia menyadari jika ada perasaan tak biasa yang dirasakannya pada pria itu. Ada rasa sepi saat ia tak melihat Danindra dan sebaliknya ada rasa bahagia dan berbunga-bunga jika keduanya bertemu.

Kamila sendiri tak menyadari sejak kapan perasaan itu ada, sejak kapan sudut hatinya mulai dipenuhi oleh bayangan sosok pria dewasa pemilik tubuh atletis itu. Gadis itu menelan salivanya dengan kasar saat membaca beberapa pesan yang dikirim Danindra padanya.

[Dek, angkat teleponnya.]

[Dek, nggak kangen Mas?]

[Mas kangen kamu, Dek.]

Beberapa pesan yang dikirim Danindra hanya berisi perasaan rindu padanya. Ingin sekali gadis itu menjawab dengan kalimat yang sama, karena di sini ia pun merasakan kerinduannya pada pria yang baru sehari tak ditemuinya itu. Kamila sengaja menepi, memberi ruang pada pemiliknya untuk hadir di sana, memberi waktu pada Gita, wanita yang terikat pernikahan dengan pria itu untuk menjalankan perannya. Memberi peringatan pada hatinya sendiri bahwa dia bukan siapa-siapa. Namun pesan-pesan yang dikirim Danindra justru membuat hatinya sakit.

“Aku juga kangen, Mas,” gumamnya lirih.

Berkali-kali gadis itu menepuk dadanya, mengusir pergi perasaan yang tak seharusnya hadir di sana, mengucap istighfar di bibir agar ia tak menzalimi hati wanita lain. Hingga akhirnya ia membalas pesan dari Danindra.

[Sepertinya Mas Nindra salah kirim pesan. Ini nomor Mila, Mas. Bukan nomor Mbak Gita.]

Diketiknya dengan menyelipkan emoticon tertawa, berharap stiker tawa itu bisa menetralkan suasana hati keduanya. Padahal Kamila tau persis, kata rindu itu memang tertuju padanya.

Bersambung.

BAB 6. BANTU AKU

Hari ini, Danindra sudah diperbolehkan pulang ke rumah setelah enam hari menjalani perawatan di rumah sakit. Salah seorang bawahannya sudah menunggu di parkiran rumah sakit untuk menyambut mereka untuk pulang.

“Mobil kamu mana, Mas? Kenapa nggak pakai mobil kamu?” tanya Gita dengan wajah cemberut saat melihat orang suruhan suaminya menjemput dengan mobil double cabin yang di sisi kiri dan kanannya tertulis nama dan logo perusahaan tempat suaminya bekerja. Mobil yang khas digunakan di daerah pertambangan itu terlihat sedikit kotor.

“Mobilku ada di rumah, Mam. Tadi mereka semua sedang di lokasi, jadi kusuruh jemput pakai mobil operasional saja, kasihan kalau harus bolak-balik ke rumah lagi mengganti kendaraan,” Danindra menjawab sambil tersenyum dan mengangguk pada bawahannya yang menjemput mereka.

“Tapi kotor gitu,” gumam Gita lagi.

“Namanya juga mobil lapangan.” Danindra menjawab malas.

Hal-hal seperti ini pun selalu menjadi perdebatan mereka. Gita yang manja selalu ingin semuanya perfect dalam hal apa pun. Danindra masih ingin menjelaskan jika mobil berlogo perusahaan tempatnya bekerja itu cuma kotor luarnya saja, karena memang menempuh medan yang tak mulus untuk mecapai titik pekerjaan. Tetapi, pria itu mengurungkan niatnya untuk menjelaskan karena dia tau bahwa Gita masih akan tetap dengan penilaiannya. Namun Danindra terpaksa menegur tegas pada istrinya itu saat Gita kembali berucap.

“Kenapa nggak pesan taksi online saja sih, Mas? Yang lebih layak.”

Danindra menoleh lalu menatap mata istrinya dengan sorot kecewa.

“Jaga perasaan bawahanku, Mam. Dia sudah bantuin kita, ini bahkan diluar dari tugasnya. Jangan terlalu banyak mengeluh, lagian jarak ke rumah tak jauh dari sini,” ucap Danindra berbisik agar tak terdengar oleh bawahannya, sementara wajah Gita makin menekuk.

Namira, gadis kecil dengan rambut dikuncir dua berlari menyambut Danindra ketika mereka tiba di rumah dengan gaya minimalis yang sudah dua tahun ini dihuninya.

“Jangan gendong Namira dulu, Nak!” Mami Iis datang melerai ketika Danindra hendak menggendong putrinya.

“Biarin aja, Mi! Mas Nindra sudah sembuh, kok. Biarkan Mira melepas kangen dengan papanya sebelum kita balik ke Jakarta besok,” ucap Gita sambil melangkah masuk ke dalam rumah.

Sementara Danindra justru berdiri terpaku di tempatnya. Pulang ke Jakarta besok? Gita tak mengatakan hal ini padanya sebelumnya. Kembali rasa kecewa hadir menelusup dalam dada, dia bahkan belum melepas rindu pada anak dan istrinya, dan kini Gita sudah membahas kepulangan mereka besok. Danindra menarik napas panjang, tanpa sadar matanya menatap pada rumah dengan pagar warna-warni yang berjarak dua rumah dari rumahnya. Mencari kalau saja bayangan gadis lemah lembut ini tampak di sana, menatapnya dengan senyum manisnya, atau hanya sekedar melihatnya dari jauh. Tapi rumah itu tampak sepi dengan pintu yang tertutup rapat.

“Papa lihat apa?” Suara Namira membuatnya menoleh, lalu wajahnya memanas ketika menyadari bahwa Mami Iis – mertuanya pun kini sedang menatap padanya.

“Gadis yang di rumah itu namanya siapa? Oma lupa?” Danindra semakin salah tingkah ketika Mami Iis justru menanyakan nama sang gadis pada Namira.

“Tante Kamila, Oma.” Ada getar yang hadir saat mendengar putrinya menyebut nama Kamila.

‘Ah, mengapa aku seperti ini? Mengapa aku seolah tak bisa menguasai diriku?’ Danindra mengguman di dalam hati, berharap Mami Iis tak melihat perubahan gesturnya saat dia tiba-tiba saja tak bisa menguasai diri saat mendengar nama Kamila. Tapi ternyata dia harus kembali menelan saliva, ketika Mami Iis seolah tau bahwa menantunya itu sedang grogi.

“Katanya kamu rekan kerja ayahnya?”

Danindra menatap Mami Iis. “Ha? Kata siapa, Mi?”

“Kamila. Bukankah kamu sedang memikirkannya? Kata gadis itu kamu adalah rekan karib ayahnya.”

Deggg!! Jantung Danindra berdegup kencang. Ada rasa ingin tahu lebih jauh dalam tanya mertuanya.

“Oh, iya, Mi. Ini perumahan perusahaan, jadi hampir semua penghuni perumahan di sini adalah rekan kerja.” Ia berusaha menetralkan gesturnya lalu mengajak Mami Iis dan Namira masuk.

“Mam, ikut aku bentar. Ada yang ingin kubicarakan.” Pria itu menarik tangan istrinya setelah Namira sudah kembali keluar, berbaur bersama beberapa anak kecil seusianya yang bermain di depan rumah mereka, sementara Mami Iis sudah terlihat sibuk di dapur.

“Mas ... katanya mau ngomong,” gumam Gita saat mereka masuk ke dalam kamar dan suaminya justru melingkarkan tangan disepanjang perut dan pinggangnya.

“Ngomongnya ntar aja. Ada yang lebih penting dari itu.” Suara Danindra terdengar berat.

“M-Mas ... m-mandi dulu.” Wanita itu pun mulai larut ketika suaminya mulai bermain-main di lehernya.

“Mandi bareng.”

Gita mengangguk. Dia tau Danindra sudah lama menunggunya. Dia tau suaminya sedang menuntut haknya. Dia tau sudah terlalu lama pria itu menahan dirinya. Dan hari ini wanita itu sudah berniat melakukan apa pun yang diinginkan oleh Danindra. Maka pagi ini, tak terhitung sudah berapa kali keduanya menyatu, melebur rindu yang sekian lama harus terbendung, melepas rasa yang terpasung oleh jarak. Membuat keduanya sama-sama kehabisan tenaga setelah berbagi peluh, lalu terlelap dengan saling mendekap. Membuat Danindra tak lagi memedulikan bahwa ia baru saja pulih dari sakitnya, kebutuhan lelakinya tak lagi mampu dibendung saat dia menemukan tempat yang memang menjadi hak nya.

Danindra mengecup kening istrinya yang kini terlelap dalam tidurnya.

“Maaf,” gumamnya lirih.

Satu kata itu sedari tadi menari-nari di dalam pikirannya namun urung diucapkannya karena tak ingin istrinya menanyakan untuk apa kata maaf itu. Danindra merapikan anak-anak rambut istrinya di kening mulus yang masih berpeluh itu.

‘Bahkan saat sedang seperti ini, bahkan saat sedang bersama istriku, mengapa justru wajahmu yang hadir? Mengapa justru senyummu yang terbayang? Mengapa justru kamu yang kuinginkan?’ Danindra merasa sangat bersalah, ketika kini ia merasa hatinya sendiri telah mengkhianatinya, ketika merasa telah dipermainkan oleh perasaannya sendiri.

“Bantu aku, Mam. Tinggallah bersamaku, tetaplah di sampingku. Bantu aku mengembalikan semua pada tempatnya,” gumamnya lagi pada wanita yang tergolek di sisi, yang sudah berada di alam mimpinya.

Tuhan, jangan biarkan aku jatuh cinta padanya.

***

Kamila memarkirkan motor maticnya di depan rumah. Gadis itu membuka jok motonya lalu mengambil beberapa barang dari sana lalu melangkah ke arah pintu rumahnya. Namun langkahnya terhenti saat mendengar seseorang memanggil namanya. Netra gadis itu melebar saat melihat dari mana asal suara itu.

“Mbak Gita!” serunya saat melihat wanita cantik dengan tubuh semampai berjalan ke arahnya.

“Hai Kamila. Apa kabar?” Gita mengulurkan tangan yang disambut hangat oleh Kamila.

Lalu wanita yang wanginya memancar memenuhi penciuman itu harus sedikit menunduk ketika bersalaman khas wanita dengan saling menyentuhkan pipi kiri dan kanan. Postur tubuh Kamila memang selisih lumayan jauh dari postur tubuh semampainya.

“Aku baik, Mbak. Mbak Gita kapan datang?” Kamila terpaksa berbasa basi, padahal dia tau persis kapan wanita itu tiba. Karena kedatangannya lah yang membuat dirinya harus menepi, memberi jalan pada wanita itu untuk mengakses semua yang menjadi miliknya.

Kamila tau, Danindra tak mungkin memberitahukan pada istrnya tentang keberadaannya di rumah sakit menemaninya selama beberapa hari sebelum kedatangan istrinya.

“Maaf, ya, Dek. Mas berbobong pada Gita. Mas bilang selama di rumah sakit Mas sendirian, hanya dirawat oleh perawat.”

“Mas nggak mau Gita salah paham dan kamu jadi sasarannya.”

“Gita orangnya nekatan, Dek. Mas takut dia cemburu padamu.”

Itu beberapa kalimat yang diucapkan Danindra padanya, yang membuatnya harus menjauh saat wanita sang pemilik itu sedang menghubungi suaminya.

Kamila menatap wanita cantik di hadapannya. Selalu ada rasa bersalah dalam hatinya pada wanita ini, apalagi saat ia tengah berhadapan langsung dengannya seperti ini. Maka saat keduanya kini telah duduk di kursi teras di depan rumah Kamila, gadis itu memberanikan diri bertanya.

“Mbak Gita kenapa nggak pindah ke sini aja?”

Sesunguhnya itu adalah pertanyaan sekaligus harapan dari hati kecil Kamila. Namun ia harus menelan kecewa saat Gita menjawab.

“Kamu sekongkol sama suamiku, Mil?”

Wajah Kamila memucat.

“Kurasa Mas Nindra juga menyuruhmu untuk membujukku agar pindah ke kota ini,” ucapnya lagi sambil terkekeh.

“Mas Nindra memang seperti itu, Mil. Dia begitu mencintaiku dan putri kami. Makanya Mas Nindra sangat berharap aku dan Namira pindah ke sini. Mempengaruhi mamiku agar mau membujukku, lalu sekarang mempengaruhimu,” lanjut Gita tanpa menunggu jawaban Kamila.

Kamila tersenyum setelah mampu mengusai diri kembali dan mengembalikan rona wajahnya yang tadinya pucat mendengar pertanyaan Gita.

“Kalau gitu kenapa Mbak nggak mengabulkan permintaan Mas Nindra?”

“Aku nggak bisa ninggalin Jakarta hanya untuk nemaninn Mas Nindra di sini, Mil.”

“Tapi, Mbak .... Apa Mbak Gita nggak takut kalau ....”

“Aku sudah sering mendengar itu, Mila. Dan jawabanku selalu sama. Aku yakin suamiku tak akan pernah berpaling, dia sangat mencintaiku. Yang seperti apa lagi yang dicarinya sementara ia sudah memilikiku?”

Ada kesombongan di dalam kalimatnya. Kamila menghela napas berat mendengar alasan Gita.

Kamu pasti nggak tau kalau suamimu mengirimkan pesan berisi rindu padaku. Kamu pasti nggak tau kalau kami sedang dalam situasi yang membahayakan. Kamu pasti tak tau kalau aku sedang berusaha mati-matian agar tidak zolim kepadamu. Kamu pasti tak tau jika suamimu sering kali menepuk-nepuk dadanya demi mengusir rasa yang sama di dalam sana, agar kami berdua tak tersesat dalam dosa. Kamu pasti tak tau jika penolakanmu untuk mendampinginya di sini adalah tindakan yang mungkin suatu saat akan menjadi bumerang padamu.’ Kamila berucap di dalam hati.

Lalu saat Gita berpamitan padanya, ia hanya bisa menatap kosong punggung wanita itu.

“Bantu aku, Mbak. Tinggallah bersamanya, tetaplah di sampingnya. Bantu aku mengembalikan semua pada tempatnya,” gumam Kamila bermonolog.

Bersambung.


BAB 7. UNGKAPAN HATI

Please, jangan pulang dulu, Mam. Aku masih kangen. Aku juga belum sempat ngajak Namira jalan-jalan di sini.” Danindra menatap lesu wanita yang terlihat tengah merapikan isi trolley bag nya.

“Namira nggak butuh jalan-jalan di sini, Mas. Dia sudah punya semuanya di Jakarta dan itu sudah cukup. Dia hanya butuh kamu, Mas. Namira hanya butuh papanya di sini.”

Mata Danindra masih mengikuti gerakan istrinya, Gita mengambil tumpukan pakaian yang baru saja diantar oleh karyawan laundry lalu menyusunnya ke dalam koper.

“Lagian Namira itu nggak libur, Mas. Tadinya anak itu malah mau kutinggal saja tapi dia ngotot minta ikut karena kangen papanya. Jadi cuma izin beberapa hari dari sekolah, nggak bisa lama-lama. Yang penting kangennya padamu sudah terobati.” Gita masih bicara panjang lebar.

“Lalu bagaimana denganmu?”

Gita menoleh. “Apanya yang bagaimana?”

“Kamu nggak kangen aku, Mam?”

Wanita itu menghampiri suaminya.

“Istri mana yang nggak kangen suaminya, Mas? Aku juga selalu merindukanmu, tapi aku selalu menutupinya dengan banyak-banyak beraktifitas.”

“Kalau begitu tinggallah beberapa hari lagi,” bisik Danindra di dekat telinga istrinya, namun hatinya harus kembali menelan kekecewaan saat melihat gelengan kepala wanita itu.

“Kalau Mas masih kangen, pulang ke Jakarta. Ambil cuti kek, bukannya Mas udah lama nggak ngambil cuti? Atau lebih bagus lagi kalau Mas minta pindah kembali ke kantor pusat.”

Danindra berdecak kesal.

“Kenapa nggak pernah mau ngalah sih, Mam? Aku nggak mungkin minta pindah tugas sekarang, masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan di sini. Kenapa nggak kamu aja yang ikutin Mas? Kamu itu istriku, sudah seharusnya kamu mengikuti ke mana aku pergi, sudah seharusnya kamu menuruti apa yang suamimu inginkan. Bukan dengan terus-terusan membantah seperti ini. Selama ini aku selalu memilih untuk mengalah karena kamu menggunakan Namira sebagai alasan. Padahal tadi saat aku mengajaknya bicara berdua, Namira mengatakan bersedia pindah ke kota ini jika mamanya mengizinkan. Dia juga senang berteman dengan beberapa anak tetangga di sini.”

Gita menautkan alisnya.

“Kamu meracuni pikiran anakmu, Mas? Bagaimana mungkin Namira memilih pindah kemari dan meninggalkan semua fasilitasnya di Jakarta? Sudahlah, Mas. Besok kami kembali ke jakarta, kenapa Mas malah ngajakin berdebat lagi? Bukankah sebaiknya kita mengisi waktu yang sedikit ini dengan pembicaraan yang lebih berkualitas?”

Danindra menghela napas. Bagi Gita ini bukan pembicaraan yang berkualitas, padahal baginya ini adalah pembahasan yang penting.

“Gita.”

Wanita yang sedang kembali menyusun pakaiannya itu menoleh. Dia tau suaminya sedang mengajaknya berbicara serius ketika memanggil namanya seperti itu.

“Ya, Mas.”

“Aku laki-laki normal, dan aku selalu membutuhkan tempat melabuhkan diri jika sedang penat. Kurasa kamu paham apa yang kumaksud. Jika kamu terus memilih hidup terpisah seperti ini, apa kamu nggak takut aku tergoda wanita lain?”

Kali ini Gita yang menghela napasnya, lalu wanita itu kembali melangkah menghampiri suaminya. Gita mengusap-usap rahang suaminya yang terasa kasar dengan telapak tangan halusnya, kemudian ia memilih duduk di pangkuan Danindra.

“Kamu sudah melewatinya selama dua tahun dengan baik, Mas. Aku tau kamu nggak akan mungkin berpaling dariku, aku punya segalanya dan hubungan kita berawal dari rasa saling cinta. Apa kamu lupa bagaimana kerasnya perjuanganmu dulu untuk memperoleh restu papi? Mas hanya perlu mengingat semua pengorbanan itu, aku yakin dengan begitu Mas nggak akan pernah berpikir atau tergoda oleh yang lain. Di sini, hanya ada aku. Bukankah itu yang selalu Mas ucapkan selama ini?” Gita menunjuk dada suaminya.

“Kalau sudah tak tahan, pulang dan datanglah padaku. Aku akan selalu memberikan kehangatan yang Mas inginkan, tapi tidak untuk ikut tinggal di sini bersamamu,” lanjutnya lagi. Tangan lembutnya kini sudah mulai menelusuri bagian-bagian tubuh Danindra yang disukainya.

Suara-suara yang keluar dari bibir keduanya terdengar menuntut lebih jauh, hingga keduanya kembali menyatu, menyisakan lelah yang membuat keduanya sama-sama terkulai lemah.

“Aku lelaki normal, Mam.” Danindra menggumam.

“Bukan hanya sekedar membutuhkan hal seperti ini, aku juga butuh teman hidup di sini, teman untuk bercerita, teman untuk mendengarkan, dan tempatku untuk melepas lelah. Aku butuh kamu, agar pikiranku tetap lurus dan fokus padamu.”

Tapi wanita itu menjawab.

“Kalau begitu pindah kembali ke Jakarta. Hanya itu pilihanmu.”

Ya, seegois itu seorang Gita Gayatri Aprilianti. Wanita yang dulu mati-matian diperjuangkannya untuk memperoleh restu dari orangtuanya. Wanita yang dikenalnya saat Mami Iis menitipkan Gita ke pesantren karena kenakalannya yang tak lagi terkendali saat remaja.

Gita dan Namira kembali ke Jakarta, menyisakan rasa rindu dalam dada Danindra yang masih belum puas bertemu putrinya, menyisakan rasa penasaran di dalam dadanya ketika ia masih berusaha membangkitkan rindunya pada sosok wanita berstatus istrinya. Danindra menahan Gita bukan lagi karena kerinduannya, tapi karena ingin membangkitkan kembali rasa pada wanita itu yang perlahan mulai menjauh seiring dengan jarak dan waktu yang memisahkan.

Ternyata, tak mudah bagi seorang Danindra untuk menjalani hubungan LDR. Ia mengalami depresi hati ketika sosok lain tiba-tiba saja mengambil alih sebagian sisi hatinya. Sosok yang di matanya begitu menggoda, begitu indah untuk disingkirkan begitu saja dari dalam hati. Bukankah seperti itu cara syaitan menggoda manusia? Danindra menyadari itu, tapi hatinya tak cukup kuat karena hati lain yang diharapkannya bisa mengusir pergi rasa itu justru memilih memjauh dengan keegoisannya.

Ada rasa yang tak dijelaskannya, yang membuat ia justru menghentikan mobilnya di depan rumah Anton – rekan kerjanya sekaligus ayah dari Kamila setelah pulang mengantar anak dan istri serta ibu mertuanya ke bandara. Seperti biasa, Bu Anton menyambutnya dengan ramah, karena mengenali dirinya sebagai tetangga sekaligus rekan kerja sang suami. Bu Anton tak pernah tau, jika Danindra, tamu yang sedang dijamunya ini bukan sedang bersilaturahmi biasa, tapi datang untuk mencari obat untuk hatinya. Mencari sosok gadis yang dengan melihat siluetnya saja bisa membuat hatinya bergetar.

Danindra masih berbasa basi berbincang dengan Bu Anton ketika suami dari wanita paruh baya itu datang dan menyapanya. Anton memang selalu menyempatkan pulang untuk makan siang di rumahnya. Direktur keuangan di Persada Energy Tbk itu merupakan pria yang sangat dekat dengan keluarganya, terlebih dengan Kamila – putri tunggalnya. Sama sepertinya, Anton pun bukanlah penduduk asli di kota ini, dia dan keluarganya pindah setahun lebih awal dari Danidnra ke kota ini, meinggalkan rumahnya di Jakarta yang hanya dijaga oleh orang suruhannya. Bedanya, Anton megangkut anak dan istrinya ketika dipromosikan dengan jabatan yang kini di jabatnya.

Seperti biasa, Anton mengajaknya untuk makan siang bersama, menikmati masakan Bu Anton yang memang selalu memanjakan lidah. Keduanya membahas pekerjaan ketika sedang menikmati makanan, tapi mata elang Danindra tetap mencari keberadaan sosok yang dicarinya, tanpa berniat menanyakan kederadaan Kamila pada ayah atau pun ibunya.

Lalu iris mata hazel pria itu membulat sempurna saat melihat pemandangan yang membuat jantungnya semakin tak karuan.

“Ibu ....” Kamila tersentak dan terpaku di tempatnya berdiri saat sedang mencari keberadaan ibunya.

Gadis itu tak menyangka jika di sana, di ruang makan keluarga mereka ada orang lain selain ayahnya yang sedang duduk di sana. Sebenarnya ini pemandangan yang sangat biasa baginya, karena bukan hanya Danidnra, tapi beberapa rekan ayahnya yang lain pun sering berada dan berdiskusi dengan sang ayah di sana. Tapi yang membuat Kamila terpaku adalah kondisinya saat ini dengan pakaian rumahan dan rambut yang tergerai tanpa penutup kepala. Sementara sosok di hadapan sana melahap semua pemandangan di depannya dengan mata membulat.

Buru-buru gadis itu berbalik arah dan kembali ke kamarnya, ia tak mengetahui keberadaan Danindra di rumahnya.

“Kok di sini, Mas?” tanyanya pada pria yang tadi menatapnya dari ujung kaki hingga ujung rambut setelah kembali ke ruang makan.

“Kok nanyanya gitu, Sayang?” Anton menegur putrinya, membuat Kamila memasang wajah cemberut ketika ayahnya kembali memanggilnya sayang. Dia tau senyum Danindra yang mengembang saat ini adalah senyum penuh ejekan,

“Ayah!” Kamila memutar matanya tanda protes, sementara Anton hanya terkekeh.

“Kok nanya gitu, Sayang?” Sayangnya Danindra tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, karena pria itu memilih mengucapkan kalimat yang sama dengan ayahnya.

Kamila semakin memperlihatkan wajah cemberutnya.

“Kok Mas Nindra di sini? Nggak dicari Namira?” Kamila hanya menyebut nama putri Danindra, enggan menyebut nama istri dari pria itu.

“Mereka udah balik ke Jakarta pagi ini, Dek.” Suara Danindra terdengar datar.

“Loh, kok balik? Bukannya Mas Nindra baru kemarin keluar dari rumah sakit?”

Meski tak ingin ikut campur, tapi rasa penasaran membuat Kamila bertanya. Dia gadis yang sudah dewasa, Kamila tau ada kebutuhan orang dewasa yang terikat pernikahan yang tak bisa diabaikan begitu saja. Tapi kenapa Gita hanya sehari menemani suaminya setelah pulang dari rumah sakit? Padahal Kamila mengira anak dan istri Danindra masih akan berada beberapa hari di kota ini, paling tidak hingga rasa rindu mereka terobati setelah sekian lama terpisah.

***

Cuaca terlihat mendung saat Kamila keluar dari kamarnya dengan pakaian kerja.

“Ada kelas, Nak?” Anton bertanya pada putrinya.

Kamila memang bukan guru tetap di sekolah tempatnya mengajar, dia hanya guru sukarela yang dibayar dengan bayaran tak seberapa. Kamila mengajar hanya untuk menyalurkan ilmunya agar bisa berguna bagi orang lain. Gadis itu mengajar mata pelajaran teknologi komputer pada anak-anak sekolah dasar. Kamila pun hanya akan berangkat kerja jika memang ada jadwalnya untuk mengajar. Karena profesi utama dari gadis itu adalah programmer. Lulusan cumlaude jurusan informatika dari salah satu universitas di Jakarta itu ahli dalam membuat program dan aplikasi berbasis komputer.

Kamila bisa menerima pesananan kliennya dan mengerjakannya dari rumah. Salah satu ruangan di rumah Anton bahkan diubah menjadi workshop untuk menunjang pekerjaannya. Kamila, gadis cerdas namun sederhana. Tapi bukan kecerdasannya yang membuat Danindra menyukai gadis itu, melainkan sifat lemah lembut dan perhatiannya.

“Di luar mendung, Dek. Bareng aku aja, ya.” Danindra mengajukan ajakannya namun langsung ditolak oleh gelengan dan kata tidak yang tegas oleh Kamila.

“Aku kebetulan mau kontrol ke rumah sakit, Dek. Kan ngelewatin sekolah kamu. Jadi bisa sekalian bareng,” ajaknya lagi.

Dan Kamila tak bisa lagi menolak saat ayahnya memberi izin padanya, terlebih di luar cuaca memang sedang mendung.

***

“Gimana kabarmu, Dek? Mas kangen berapa hari nggak ketemu.” Suara Danindra memecah kesunyian saat mobil Danindra sudah melaju pelan di jalan raya, sementara di luar sudah mulai gerimis.

Kamila mendesis lirih. Danindra selalu seperti itu, menyebut dirinya “aku” ketika berbicara padanya di depan orang lain, seperti saat berbicara pada Kamila di depan ayahnya tadi. Lalu menyebut dirinya “mas” ketika hanya berdua dengan Kamila. Sayangnya, Kamila menikmati semua itu, Kamila larut dengan semua perlakuan istimewa Danindra padanya.

Maka, tak perlu kata apa pun. Keduanya menyadari jika hubungan keduanya sudah tak lagi dalam koridor normal.

“Jangan bilang gitu, Mas. Please ...,” pinta Kamila serius.

“Kenapa hmmm?” Danindra menoleh sekilas sebelum kembali menatap lalu lintas di hadapannya.

Kamila menggeleng. “Mila nggak tau alasannya, pokoknya jangan!”

Danindra menepikan mobilnya, lalu menoleh pada gadis di sampingnya.

“Karena kamu juga merasakan hal yang sama, kan?” tanyanya lirih.

Kamila menelan salivanya.

“Jalan, Mas. Aku takut terlambat,” pintanya.

“Mas nggak akan jalan sebelum kamu menjawabnya, Dek.”

“Bagaimana aku menjawabnya, Mas? Mas salah, Mila salah, kita berdua salah!”

“Apanya yang salah?”

“Mila rasa Mas tau itu, tanpa perlu kata-kata untuk menjelaskannya. Mari kita kembali ke jalurnya, Mas. Sebelum kita tersesat lebih jauh.”

Danindra tersenyum getir, Meski kalimat yang keluar dari bibi gadis itu seolah bersayap, tapi dia sangat paham apa yang sedang dibahasnya.

“Mas salah karena merindukanmu? Lalu kenapa kamu juga salah? Apa itu artinya kamu juga merindukan Mas? Lalu kita berdua sama-sama bersalah karena memiliki rasa itu?” Danindra memperjelas, sementara Kamila menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Hey, kok nangis, Dek?” Danindra panik ketika mendengar isakan kecil dari wajah yang tertutup oleh telapak tangan Kamila.

“Jangan begini, Mas. Jangan siksa Mila.” Suara gadis itu nyaris tak terdengar.

Kamila sedang menormalkan hatinya, saat ia menyadari beberapa hari terakhir ada rasa tak nyaman yang mengganggun hatinya meski ia sudah berupaya mengusirnya. Rasa yang kemudian diartikannya sebagai sebuah rasa cemburu. Ya, rasa cemburu itu datang menyiksa saat Kamila harus menepi karena keberadaan Gita. Rasa yang belum pernaah dirasakan gadis itu sebelumnya, dan ternyata rasa itu begitu menyesakkan. Lalu kini makin menyesakkan ketika ia mendengar kata rindu dari pria di sampingnya. Kemudian semakin perih dan menyiksa ketika ia mendengar kalimat Danindra berikutnya.

“Bukan hanya kamu, Dek. Mas juga tersiksa.”

“Apa kamu tau, Mas justru merindukanmu ketika sedang bersama Gita.”

“Apa kamu tau, Mas hanya membayangkanmu dan justru merasa asing dengannya.”

“Apa kamu tau, Mas begitu tersiksa dengan perasaan yang tak seharusnya ada ini.”

“Mas rasa tak perlu kata apa pun, kita berdua tau hati kita sedang berada di mana.”

Kamila mengurai telapak tangannya yang menutupi wajah, kini Danindra bisa leluasa menatap mata yang kini telah basah oleh air mata itu.

“Jangan diteruskan, Mas,” pintanya.

Tapi Danindra sudah tak bisa mundur lagi.

“Mas mencintaimu, Dek.”

Runtuh sudah semua benteng yang susah payah dibangun Kamila. Karena kini gadis itu semakin tergugu ketika mendengar kalimat keramat itu dari bibir Danindra.

Danindra pun sama. Setitik bening menetes di sudut matanya saat kata-kata yang selama ini ditahannya mati-matian itu kini terucap di bibirnya. Kalimat yang seharusnya indah namun menjadi menyakitkan saat harus terucap di waktu dan tempat yang salah.

“Maafin Mas, Dek. Mas mencintaimu. Mas nggak tau sejak kapan rasa itu ada.”

Pria itu menghela napas berat setelahnya. Seharusnya ini menjadi momen yang syahdu, ia mengucap kata cinta di tengah terpaan gerimis di luar sana. Namun sayang, gerimis yang sedang turun justru makin membuat hati keduanya basah oleh rasa bersalah.

Bersambung.


BAB 8. MARI SALING MEMBANTU

“Antar Mila pulang, Mas.” Suara Kamila terdengar lirih.

Gerimis kini telah berubah menjadi hujan, suaranya terpaannya membuat suasana di dalam mobil Danindra pasca pengakuan rasanya pada tempat yang tak seharusnya menjadi semakin menyesakkan di dada keduanya.

“Nggak jadi ngajar?” Suara Danindra tak kalah lirih.

“Aku nggak bisa ke sekolah dengan keadaan seperti ini.”

Danindra menatap gadis di sampingnya, mata gadis itu terlihat merah dan ujung hidung mancungnya berwarna pink akibat tangis.

“Maaf.” Rasa bersalah memenuhi rongga dada pria itu.

Kamila tak menjawab.

“Temani Mas ke rumah sakit dulu, ya. Hari ini jadwal kontrol dan sekalian ambil obat.”

Gadis itu mengangguk.

Danindra kembali melajukan mobilnya di jalan raya, di tengah terpaan hujan yang semakin deras. Tangan Kamila mencengkram rok nya kuat-kuat, menahan agar air matanya tak lagi tumpah, meski di hatinya hujan sedang tak kalah derasnya. Tadi, saat membuka ponselnya dan mengirim pesan ke pihak sekolah untuk mengkonfirmasi ketidakhadirannya, ia mendapat pesan dari nomor yang tak tersimpan di ponselnya.

[Aku balik ke Jakarta pagi ini, Kamila. Maaf nggak sempat pamit, harus debat alot dulu dengan suami yang manjanya kumat nggak mau ditinggal]

[Titip suamiku ya, Mil. Dia masih belum pulih seratus persen]

[Oiya, kalau lihat suamiku mencurigakan kabari aku, ya]

[Aku khawatir dia digoda cewek lain (emoticon tertawa)]

[Kalo kebetulan balik ke jakarta berkabar, ya, Mil. Nanti kita jalan bareng]

[See u]

Bederet pesan WA yang baru terbaca oleh Kamila. Dia tau siapa yang mengirim sederet pesan itu, dan Kamila hanya membalas singkat.

[Safe flight, Mbak Gita]

Meski ia tau, orang yang mengiriminya pesan tadi mungkin sudah tiba di Jakarta saat ini.

Danindra memarkirkan mobil pajero sport nya di parkiran rumah sakit. Kamila menahan napasnya ketika pria itu mengucap permisi kemudian sedikit condong ke arahnya saat mengambil beberapa berkas di laci dashboard tepat di depan Kamila. Wangi maskulin yang menguar mengganggu penciuman Kamila dan mengirim sinyal ke otaknya, membuat jantungnya kembali bergedup kencang.

“Nggak nemanin?” Pria di sampingnya bertanya.

“Mila nunggu di mobil aja, Mas.”

Danindra menatap kecewa.

“Yaaa, padahal pengennya ditemanin,” gumamnya.

Kamila tak bereaksi.

Titip suamiku ya, Mil. Aku khawatir dia digoda cewek lain. Isi pesan dari Gita tadi mengusik hatinya. Gadis itu menatap punggung Danindra ketika pria itu tkeluar dari mobilnya dan meninggalkan area parkir.

“Kenapa harus kamu, Mas?” gumamnya.

Kamila sungguh menyesali rasa yang kini hadir tak terbendung, juga menyesali pengakuan rasa Danindra padanya. Padahal selama ini dia sudah merasa cukup nyaman ketika mereka hanya terhubung tanpa kata.

Gadis itu mulai merasa bosan ketika sudah menunggu hampir satu jam dan Danindra belum juga kembali ke parkiran. Ada rasa cemas yang dirasakan, namun Kamila berusaha mengabaikannya. Dia juga enggan mengirim pesan pada Danindra untuk bertanya. Tak ingin memperlihatkan lebih jauh lagi rasa pedulinya pada pria itu. Baginya, pengakuan rasa Danindra tadi adalah alarm untuknya menjauh, meski sebenarnya dia sangat peduli pada lelaki berusia 35 tahun itu. Hingga akhirnya Danindra lah yang mengirim pesan padanya.

[Dek, maaf sepertinya masih agak lama. Pasiennya masih antre]

Pesan yang sangat biasa, namun menjadi luar biasa ketika Danindra mengirimkan swafotonya yang sedang mengantre di depan poli rumah sakit untuk meyakinkan Kamila. Foto biasa, bahkan sedikit blur, juga dengan ekspresi datar tanpa senyum, namun berhasil membuat hatinya menghangat. Dengan telunjuknya, Kamila mengusap foto itu di layar ponselnya.

Mas mencintaimu, Dek. Kata-kata Danindra di tengah gerimis tadi terngiang-ngiang di telinganya. Gadis itu menggeleng. Tidak! Dia harus berhenti di sini! Kamila tak mau menjadi perusak hubungan Danindra dan Gita. Sungguh selama ini meski memiliki perasaan suka pada Danindra, tapi tak pernah terlintas dalam pikiran gadis itu untuk mengungkapkan dan memperlihatkannya. Kamila sudah sangat nyaman dengan hubungan keduanya tanpa kata. Hanya sebatas saling perhatian dan saling peduli.

Namun ternyata Danindra memilih mengungkapkan rasa, maka sudah saatnya Kamila menjauh. Agar ia tak menyakiti hati yang lain, meski hatinya sendiri sedang butuh penyembuhan setelah ini. Telunjuknya masih mengusap layar ponsel yang menampilkan senyuman Danindra di sana saat benda pipih itu berdering.

“Masih nunggu di parkiran, Dek?” Danindra menelpon.

“Masih, Mas.”

“Kenapa nggak balas pesan? Mas pikir kamu kabur pulang duluan.”

Kamila berdecak, mana mungkin dia kabur pulang sementara kunci mobil Danindra masih tertancap di lubang kunci.

“Masih lama nggak, Mas?” Dia memilih bertanya.

Namun pria di seberang telepon tak langsung menjawab, justru terdengar helaan napas berat dari sana.

“Mungkin masih agak lama, Dek. Kuharap kamu bisa menunggu dengan sabar. Aku pasti akan datang padamu, karena aku sudah tak bisa lagi menenggelamkan rasa ini.”

Buru-buru Kamila mengakhiri panggilan. Dia tau makna dari kalimat Danindra. Pria itu bukan hanya memintanya menunggu di parkiran, tapi juga memintanya menunggunya melabuhkan hati.

***

Sudah seminggu sejak kejadian dalam mobil Danindra di tengah gerimis, Kamila tak pernah lagi bertemu dengan pria itu. Gadis manis itu benar-benar menghindar setelah hubungan keduanya kini diwarnai kata cinta. Kamila tau, Danindra pun sedang melakukan hal yang sama, yaitu menghindarinya. Sebab malam setelah pengakuan rasa Danindra padanya itu keduanya saling berkirim pesan.

[Maaf jika pengakuan Mas tadi membuatmu tak nyaman, Dek. Tapi Mas sudah tak bisa lagi menahan untuk tidak mengungkapkannya]

Begitu isi pesan Danindra malam itu. Saat itu Danindra mengantar Kamila pulang setelah hampir dua jam gadis itu bertahan menunggu di dalam mobil di parkiran rumah sakit.

[Nggak apa, Mas. Tapi kurasa Mas juga tau kalau kita sedang dalam situasi yang salah. Tak apa ada rasa, bukan hak Mila untuk mengusir itu. Tapi sebaiknya Mas memperbaiki semua sebelum terlanjur. Cukup Mila yang tau, Mila akan bantu Mas Nindra memulihkan hati, menghapus rasa yang salah itu]

Begitu balasan pesan dari Kamila. Lalu malam itu keduanya saling berbalas pesan untuk saling membantu menepis rasa.

[Bagaimana Mas nggak jatuh cinta kalau kamu sebijak ini, Dek? Mas sadar ini salah, terima kasih sudah mengingatkan. Sekali lagi maafin Mas karena kata itu sudah telanjur terucap dari bibir. Terima kasih sudah mengerti dengan sangat bijak. Terima kasih sudah peduli untuk memulihkan hati. Tapi, bagaimana dengan hatimu sendiri?]

Kamila menghela napasnya dalam-dalam. Meski belum satu kata pun yang keluar dari bibir wanita itu, tapi Danindra bisa membaca dari tangisnya dan juga diamnya jika Kamila juga punya rasa yang sama terhadapnya.

[Sama sepertimu, Mila juga tak punya hak atas rasa yang hadir perlahan-lahan di sana. Tapi Mila punya akal dan pikiran untuk mengendalikan rasa itu. Mila anggap ini ujian. Ujian untuk tak menjadi manusia yang zolim. Ujian untuk pengendalian diriku sendiri. Mari saling membantu, mari saling membatasi diri. Agar kita berdua tetap pada jalur yang benar, agar kita berdua menjadi manusia yang lulus dari ujian ini]

[Ah, Kamila!]

Entah apa yang ada di balik pesan terakhir dari Danindra.

Ah, Kamila! Dia tau ada banyak kata yang tersembunyi di balik itu. Kata yang sudah seharusnya ditelan sendiri.

Seminggu sudah sejak pesan terakhir itu Kamila tak pernah lagi menerima tatapan tajam dari pemilik iris mata berwarna coklat. Sudah seminggu pula Kamila harus berusaha menekan hatinya dengan membawanya dalam doa-doa malamnya agar ia tak terjebak dalam hubungan yang salah. Sudah seminggu ini ia dan Danindra tanpa kata. Saling membantu pengendalian diri masing-masing.

Hingga pagi ini, gadis itu dikejutkan oleh tatapan bola mata coklat yang terlihat lebih sendu dari biasanya. Wajah pucat pria yang sedang berdiri di hadapannya itu membuatnya ingin bertanya. Namun urung dilakukannya ketika Danindra memberitahu jika ia sedang mencari ayahnya. Dengan gugup Kamila menyuruhnya duduk, Danindra pun bersikap resmi tak seperti biasanya. Suasana canggung menguasai keduanya sebelum akhirnya terurai saat Bu Anton – ibu Kamila muncul dari dalam rumah.

“Eh, tumben lama nggak kelihatan.” Bu Anton menegur ramah seperti biasanya.

“Iya, Bu. Lagi jarang di rumah.” Danindra menjawab singkat.

Lalu saat Kamila ingin berlalu dari sana dan memanggilkan ayahnya untuk si tamu, ibunya menahan langkahnya.

“Di sini aja, biar ibu yang manggil ayah.”

Langkah Kamila terkunci, dan suasana canggung kembali menguasai.

“Maaf, Dek. Mas bukan sengaja kemari. Mas pikir kamu udah berangkat kerja, bukannya ada jadwal mengajar pagi ini?”

Kamila menautkan alisnya. “Kok Mas tau?”

Pria dengan wajah pucat itu tertawa sumbang.

“Bukannya kita harus saling membantu, Dek? Salah satu caraku adalah mengetahui jadwalmu, agar tak muncul begitu saja di depanmu. Agar hati kembali pada tempat yang seharusnya.”

Kamila terdiam. Diam yang menyakitkan, karena harus kembali mendengar kalimat sedalam itu dari bibir lelaki yang memesona itu.

“Maaf, Mila masuk dulu, Mas.” Hanya itu yang bisa dikatakannya. Hanya itu yang bisa dilakukannya saat ini. Menghindar sebisanya.

Danindra mengangguk dengan senyum yang tulus, membuat sesuatu dari dalam diri Kamila seolah tengah mengajaknya untuk duduk di sana lebih lama, berbagi cerita lebih banyak lagi dengan pria itu. Kamila kembali ke dalam kamarnya dengan langkah yang berat.

Sementara sepeninggal Kamila, Danindra memilih menekan nomor seseorang. Seseorang yang selalu diharapnya untuk mengusir perasaan gundahnya. Danindra menelpon istrinya. Bukankah dia harus kembali kepada istrinya ketika melihat wanita lain yang lebih indah di luar sana? Maka Danindra memilih menelepon karena keduanya memang sedang terpisah jarak.

“Kamu di mana, Mam?” sapanya setelah panggilan telepon tersambung.

“Lagi di Surabaya, Mas. Ini baru aja landing, masih nunggu bagasi.” Gita menjawab.

Mata Danindra seketika membulat.

“Di Surabaya? Ada urusan apa? Kok nggak izin Mas?”

“Rencananya mau kabarin Mas nanti pas udah nyampai hotel, ehh nggak taunya Mas nelpon duluan. Ada urusan bisnis, Mas. Ntar kuceritain deh.” Suara Gita terdengar ceria, namun tidak dengan Danindra. Pria itu menahan emosi karena istrinya bepergian tanpa meminta izin padanya.

“Ngabarin pas nyampai hotel? Itu hukan minta izin, Mam! Apa kamu tau apa hukumnya seorang istri bepergian tanpa izin dari suaminya?” Nada bicara Danindra meninggi.

Namun jawaban dari seberang sana membuat emosinya semakin menjadi.

“Jangan berlebihan deh, Mas! Tadi juga aku flight nya mendadak. Mau ngabarin kamu tapi takut menganggu jam kerjamu. Aku juga ke sini bukan buat senang-senang. Jihan mau buka cabang butiknya di sini dan dia menawariku menjadi partner bisnisnya.”

Gita menyebut nama salah satu sahabat anggota geng nya yang memang memiliki usaha butik. Danindra ingin marah, namun ia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Bukankah ia tadi menelpon Gita untuk mencari ketenangan setelah hatinya berantakan bertemu kembali dengan Kamila setelah seminggu memilih menghindari pertemuan?

“Lain kali jangan seperti ini, Mam. Kalau mau ke mana-mana kabari aku.” Suaranya melemah.

“Namira ikut?” tanyanya lagi.

“Nggak, Mas. Namira sama Mami.”

Lagi-lagi rasa kecewa memenuhi relung hati Danindra. Lalu suara Pak Anton yang muncul dari dalam rumah membuat Danindra mengabaikan semuanya, lalu membahas beberapa pekerjaan dengan rekannya yang beberapa hari ini tak masuk kerja karena mengambil cuti.

“Kok pucat, Ndra? Sakit lagi?” Suara Pak Anton menyapa.

Pak Anton dan istrinya memang hanya memanggil Danindra dengan namanya, sedangkan Danindra memanggil rekannya dengan sebutan Pak Anton, mengingat umur keduanya memang selisih dua puluh tahunan. Danindra adalah karyawan termuda yang menjabat direktur operasional di usianya yang masih relatif muda.

“Iya nih, Pak. Masih agak oleng,” jawab Danindra.

“Kenapa nggak ambil cuti dulu sementara?”

“Kerjaan lapangan sedang padat-padatnya, Pak.”

Danindra kembali tertawa sumbang. Tawa yang terkesan dipaksakan itu membuat Kamila yang mendengar semua percakapan di luar sana harus menahan diri untuk tidak kembali ke sana. Ya, Kamila mendengar semua percakapan Danindra, termasuk percakapan dan perdebatannya dengan Gita di telepon tadi.

‘Bagaimana aku mengabaikanmu jika kamu serapuh ini, Mas?’

Bersambung.


BAB 9. SEKALI INI SAJA

Gita meraih ponselnya dengan malas ketika benda pipih itu berdering dengan nyaring. Ini hari kedua dia berada di salah satu hotel bintang lima di Surabaya. Kedatangannya ke kota ini untuk melihat langsung kemungkinan ia bekerja sama dengan Jihan – salah satu sahabatnya untuk membeli sebuah butik ternama yang akan dijual pemiliknya ternyata tak berjalan sesuai ekspekstasinya. Harga jual butik yang sebelumnya didengarnya dari Jihan dijual dengan seluruh properti di dalamnya ternyata tak seperti kenyataannya. Harga tinggi yang ditawarkan sang pemilik ternyata hanya harga tempat dan brand yang memang sudah terkenal di sana.

Hal itu membuat Gita dan rekannya berpikir ulang karena merasa harga yang ditawarkan oleh pemilk butik sangatlah tinggi, menjadi dua kali lipat dari yang mereka kira.

Mata wanita pemilik kulit putih mulus itu menatap malas ketika melihat nama penelpon. Gita tau si penelpon yang di kontaknya tersimpan dengan nama “My Husband” itu pastilah akan kembali memberinya kata-kata nasihat, yang membuat kepala wanita itu akan bertambah pening setelah kegagalan bisnisnya.

“Iya, Mas,” Gita menyapa.

Assalamualaikum, Mam.” Suara suaminya dari seberang.

Wanita itu memutar bola matanya. “Walaikumsalam.

“Kapan balik ke Jakarta?”

“Mungkin besok, Mas. Masih mau mencoba negosiasi dengan pemilik butik untuk menurunkan harga.”

Terdengar helaan napas dari suaminya.

“Sekarang kamu tau kan, Mam. Semua yang kamu lakukan tanpa izin suami tidak akan memberikan hasil yang baik. Itulah mengapa seorang istri memerlukan ridho suami ke manapun ia pergi, apa pun yang dilakukannya.”

“Mas ... please! Jangan bikin kepalaku makin pening. Kalau kamu memang beranggapan seperti itu, ya udah beri izin, beri ridho, agar usahaku berhasil. As simple as that, Mas! Untuk apa dibikin rumit.”

Gita memijit keningnya, dia memang sudah menceritakan pada Danindra mengenai terhambatnya pemindahtanganan butik itu karena kesalahan informasi awal yang diterima Jihan. Padahal ia sudah membayar uang muka dan di perjanjian jual beli uang muka akan hangus jika transaksi jual beli itu gagal.

“Justru kamu sendiri yang membuat urusanmu menjadi rumit, Mam. Kamu berbisnis tanpa perhitungan, tanpa pemikiran yang matang, hanya karena terpengaruh oleh bujuk rayu teman-temanmu. Tidak akan menjadi rumit jika saja kamu mau melibatkanku, setidaknya meminta izin dan meminta pendapat dari suamimu saat akan memulai.”

“Jangan ngajak berantem, Mas!” Gita selalu menjawab dengan nada tinggi ketika mulai merasa tak nyaman.

“Ya udah, tinggalin aja. Mungkin belum rezeki. Lagian untuk apa nyari kesibukan sih, Mam? Masih kurang jatah bulanan dariku? Mending fokus jagain Namira, Mam.”

Gita memilih tak menjawab, ia tak ingin memperpanjang perdebatan dengan suaminya di telepon. Diakuinya, jatah nafkah yang rutin dikirim oleh suaminya setiap bulan memang sudah sangat cukup bahkan berlebih untuk membiayai hidupnya dan putri tunggal mereka. Bahkan modal bisnis yang dipakainya saat ini juga adalah uang dari Danindra yang selama ini disimpannya. Tanpa sepengetahuan suaminya, selama kembali tinggal bersama kedua orang tuanya, dia tak pernah mengeluarkan biaya sepeser pun kecuali untuk biaya sekolah Namira. Karena orangtuanya lah yang membiayai semua keperluannya sehari-hari, bahkan ayahnya masih rutin memberikan jatah uang jajan padanya. Ini juga menjadi salah satu rahasia yang disembunyikannya dari suaminya.

Maka uang bulanan yang dikirm oleh suaminya hanya dipakai Gita untuk memuaskan nafsu belanjanya dan menyimpan sisanya hingga berani memulai membuka bisnis yang ternyata malah berujung kegagalan ini.

“Mam.” Panggilan Danindra mengejutkannya.

“Iya.”

“Pulang lah, semalam aku mimpi buruk tentang Mira. Tadi pagi langsung telpon Mami tapi nggak diangkat.”

Gita berdecak. “Kalau gitu telepon ke Papi.”

Lagi-lagi suara helaan napas Danindra yang terdengar. Gita tau, sejak mereka menikah hubungan Danindra dengan papinya tak begitu baik. Gita sendiri tak pernah peduli penyebab hubungan kedua pria keras kepala itu selalu dingin. Perlakuan papinya pada suaminya sangat berbeda dengan caranya memperlalukan suami dari kakaknya yang selalu disambut dengan sangat ramah. Terlebih lagi saat Danindra memutuskan menerima promosi jabatan yang mengharuskannya pindah ke Kalimantan. Papi Harry dengan terang-terangan menentang saat Danindra ingin mengajaknya serta putri mereka.

Gita tau, latar belakang keluarga dan masa lalu Danindra lah yang membuat Papi Harry – papinya tak terlalu menyukai suaminya. Danindra yang yatim piatu dan hanya dibesarkan oleh orang tua angkatnya membuat Papi Harry begitu sulit melepas putri bungsunya pada pria itu.

Bahkan butuh waktu lama saat itu menyakinkan papinya ketika ia akan menikah. Hingga sepuluh tahun berlalu, ternyata papinya belum juga bisa menerima dengan sepenuhnya kehadiran Danindra.

Gita masih mengobrol ringan dengan suaminya saat menyadari ada yang aneh dari suara di seberang sana.

“Mas, kamu sakit lagi? Suaranya kok beda?” tanyanya saat menyadari suara suaminya sedikit berbeda.

“Hanya pilek, Mam. Kemarin kena hujan.”

“Ck! Kenapa jadi sering sakit sih, Mas?”

“Karena nggak ada yang urusin.”

Gita tak menjawab, dia tau suaminya sedang menyindirnya.

“Mam.”

“Iya.”

“Jangan tinggalin salat.”

Lagi-lagi Gita memilih diam. Ia bahkan baru bangun jam delapan pagi dan melewatkan salat subuh tadi.

“Agar aku punya satu saja alasan untuk bertahan, selain Namira.” Suara dari sana sangat pelan, nyaris tak terdengar di telinga.

“Kenapa, Mas?” Dia memilih untuk memastikan apa yang baru saja didengarnya. Namun suaminya tak lagi mengulangi, hanya terdengar suara helaan napas beratnya.

“Pulang lah, jaga rumah kita baik-baik. Assalamualaikum.

Gita mengeryitkan keningnya sesaat setelah panggilan terputus. Ada yang tak biasa dari cara suaminya berbicara tadi.

Agar aku punya satu saja alasan untuk bertahan, selain Namira.

Apa dia tak salah dengar ucapan lirih suaminya tadi? Apa maksud dari kalimat itu?

Pulang lah, jaga rumah kita baik-baik.

Rumah yang mana yang dimaksud suaminya? Bukankah Danindra sudah membayar orang untuk merawat rumah yang mereka tinggali dulu sebelum Gita memilih kembali ke rumah orang tuanya saat suaminya menerima tawaran mutasi ke Kalimantan? Rumah itu kah yang dimaksud oleh suaminya tadi? Apa itu berarti Danindra akan segera kembali menetap di Jakarta?

Sementara di seberang pulau, Danindra yang memilih tidur di sofa depan TV harus menghela napas panjang berkali-kali saat menyadari bahwa ia telah mengirim sinyal pada istrinya bahwa keadaannya sedang tidak baik-baik saja, terutama hatinya.

Berulang kali sudah ia berusaha melawan perasaannya, tapi keadaan justru semakin membuat rasa itu bertambah kuat. Pembangkangan dan ketidakpatuhan istrinya membuat hatinya dengan lancang membandingan kenyamanan saat bersama Gita dan saat bersama Kamila. Bahkan hanya dengan mengobrol lewat telepon saja, banyak sekali kekecewaan yang dirasakannya pada sosok wanita yang telah memberinya seorang putri itu. Berbeda dengan perasaan takjub yang dirasakannya bahkan hanya dengan membaca penggalan-penggalan kalimat dari balasan pesan Kamila padanya.

Kamila benar-benar telah membuat hatinya berantakan.

Tak terhitung sudah berapa tetes air mata yang ditumpahkannya di atas sajadah, meminta agar hatinya kembali pada tempat yang seharusnya. Namun segumpal daging bernama hati itu terus saja mencari sosok bersahaja dengan tatapan menenangkan itu. Meminta agar Allah memampukannya melewati apa yang disebut Kamila sebagai ujian ini.

Danindra kembali meraih ponselnya. Dia memilih menelpon seseorang yang diharap bisa membantunya menghadapi dirinya sendiri.

Assalamualaikum, Ummi,” sapanya ketika panggilan tersambung.

Danindra menghubungi Ummi Evi, wanita renta yang telah merawatnya sejak ia masih kecil. Satu-satunya orang yang menganggapnya keluarga sebelum ia benar-benar membangun keluarga kecilnya bersama Gita. Suara Ummi Evi saat membalas salamnya membuatnya merindukan ibu angkatnya itu. Wanita yang benar-benar tulus menyanyanginya, wanita yang pernah menasihatinya saat ia dan Gita tengah dimabuk asmara.

“Dia anak orang berada, Nak. Ummi nggak yakin keluarganya bisa menerimamu, meski Nak Gita memang terlihat mencintaimu.” Begitu kalimat Ummi Evi yang sepuluh tahun lalu sering didengarnya.

Namun cinta telah membutakan matanya, hingga ia nekat melamar seorang Gita Gayatri Aprilia pada papinya. Terlebih Gita juga memiliki perasaan yang sama padanya, dan keduanya telah menjalin hubungan selama hampir dua tahun.

“Bagaimana kabar cucu Ummi, Nak?” Suara Ummi Evi menguraikan lamunannya.

Pertanyaan yang selalu didengarnya saat terlibat percakapan dengan Ummi Evi. Hal ini sudah pernah dibicarakannya dengan istrinya, tak sekali dua kali Danindra meminta Gita sesekali menengok ibu angkatnya ke rumah sederhana yang dibeli Danindra dan dihuninya bersama Ummi Evi sebelum ia menikahi Gita. Namun selama dua tahun di Kalimantan, tak sekali pun Gita datang dan menengok wanita renta itu, kecuali jika kebetulan ia pulang ke Jakarta dan mengajak serta anak istrinya ke sana.

“Namira baik, Um. Kalau Ummi kangen nanti Nindra bilangin Gita biar bawa Mira ke rumah Ummi.” Danindra menjawab dengan sangat santun pada wanita yang paling berjasa dalam hidupnya itu.

“Nggak usah, Nak. Nggak usah nyusahin istrimu. Biar nanti kalau kamu pulang ke Jakarta baru Ummi ketemu cucu Ummi.”

Danindra tau, Ummi Evi menolak karena sudah menduga jika istrinya tak berkenan ke sana membawa putrinya. Padahal Ummi Evi sedang benar-benar sedang merindukan gadis kecil itu.

“Ummi ... Nindra kangen Ummi.”

Hanya hening, tapi kemudian Danindra terkejut saat Ummi Evi berkata, “Ada masalah apa, Nak? Cerita pada Ummi.”

Ya, sekuat itu ikatan batin antara ibu dan anak angkat itu. Ikatan batin yang bahkan mungkin melebihi ikatan batin pemilik hubungan darah kandung.

“Ummi ....” Suara Danindra serak.

“Iya, Nak.”

“Nindra jatuh cinta lagi ... pada seseorang di sini.”

Lalu Danindra mendengar suara Ummi Evi terbatuk-batuk dan mengucap istighfar berkali-kali. “Ummi sakit?” tanyanya.

“Nggak, Nak. Ummi mengkhawatirkanmu.”

Danindra menelan kasar salivanya. Hanya pada Ummi Evi lah dia berani terbuka. Meski dengan begitu dia telah melanggar kesepakatannya dengan Kamila.

Cukup Mila yang tau, Mila akan bantu Mas Nindra memulihkan hati, menghapus rasa yang salah itu. Itu pinta Kamila padanya.

“Maaf, Kamila. Rasa ini terlalu indah untuk tak kubagi pada Ummi,” gumamnya.

Lalu satu pesan yang masuk dari ibu mertuanya setelah mengakhiri panggilan dengan Ummi Evi membuat perutnya tiba-tiba merasa kram.

“Nak, Namira jatuh dari tangga baru aja. Sekarang lagi dibawa opanya ke rumah sakit. Mami udah hubungi Gita tapi nggak diangkat.”

Ya Tuhan, apa lagi ini? Danindra menyugar rambut dengan kedua tangannya, sementara perutnya semakin terasa kram.

[Mam, sudah dengar kabar Namira jatuh?]

Dengan panik ia mengirim pesan pada istrinya, karena berkali-kali mencoba menelpon tapi Gita tak menjawab panggilannya. Buru-buru pria itu meraih kunci mobilnya, dia sendiri tak mengerti apa yang akan dilakukannya sekarang. Sebuah foto yang dikirim Mami Iis tadi membuat pikirannya semakin kusut. Putrinya terbaring di rumah sakit dengan kaki dibalut gips, dan sialnya orang yang harusnya ada di sana dan dipercayanya menjaga gadis kecilnya itu kini justru tak ada di sana, bahkan tak menjawab panggilannya.

Masih dengan gerakan tergesa-gesa pria itu membuka pintu lalu berlari ke arah mobilnya.

“Arrgghhh!!” Danindra berteriak frustasi ketika kakinya justru tersandung karena langkahnya yang terlalu tergesa.

“Mas?” Masih dengan ekspresi meringis akibat tersandung, pria itu menoleh ke asal suara.

“Mas kenapa?” Kamila sudah berdiri di sana, di depan pagar rumahnya.

“Mila bawain makanan, disuruh ibu.” Gadis itu memperlihatkan tas kanvas yang dibawanya.

Namun Danindra mengabaikannya ketika mendengar ponselnya berdering. Kamila yang masih memperhatikan semua gerakan pria itu mengeryitkan keningnya ketika wajah pria itu dari senyum meringis berubah marah saat menjawab panggilan di ponselnya.

“Pulang sekarang! Namira mencarimu!”

Kamila tak mendengar percakapan dari arah lawan bicara Danindra, tapi gadis itu memilih mundur ketika kembali berteriak marah.

“Persetan dengan bisnismu! Pulang sekarang juga! Ini perintahku! Kecuali jika kamu sudah bosan menjadi istriku!”

Kamila semakin menjauh, tak ingin mendengarkan terlalu banyak lagi. Namun langkahnya terhenti saat lengan gamisnya ditarik lembut.

“Mil.”

Kamila menoleh. Mulutnya terngaga, merasa heran dengan perubahan pria itu dalam sekejap. Baru beberapa detik yang lalu ia menyaksikan ekspresi kemarahan dari seorang Danindra, tapi kini pria itu sudah kembali berdiri di hadapannya dengan senyum manis yang sempurna.

“Maaf, ya, sudah marah-marah di depanmu tadi,” ucap Danindra lembut, tak tersisa kemarahannya di sana.

“Tadi bilang apa, Sayang?”

Huft! Kaki Kamila serasa tak berpijak lagi di bumi, sementara Danindra terlihat menyesali kalimatnya barusan.

“Maaf. Mas lagi banyak pikiran,” sesalnya.

Bagaimana ia menormalkan keadaan jika bibirmya justru tanpa terkontrol mengucapkan kata-kata yamg membuat ia dan Kamila jadi salah tingkah? Danindra menggaruk tengkuknya.

Inilah yang berulang kali dipintanya dalam doa, agar Tuhan menghilangkan perasaan seperti ini jika berhadapan dengan Kamila. Tapi ternyata rasa itu semakin dalam, bahkan lisannya pun seolah tak lagi bisa dikontrolnya.

“Ini, dari ibu.” Kamila menyodorkan tas kanvas berisi makanan padanya.

Sama seperti Danindra, Kamila pun sedang menagih doa-doa yang selalu dirapalkannya agar tak lagi memiliki desiran halus saat berhadapan dengan pria itu.

Namun sekali lagi keduanya harus kalah telak ketika Danindra setengah meringis berucap, “Kebetulan Mas sedang kelaparan. Temanin makan, ya.”

“Tidak! Ayo menggeleng! Pergi dari sana!” Suara-suara dari dalam hati Kamila. Tapi, kenyataannya gadis itu justru mengangguk lemah.

“Dia sedang sakit, lihat aja wajahnya yang pucat begitu. Sekali ini saja, temani dia. Sepertinya dia sedang banyak masalah.” Sisi hatinya yang lain menenangkan.

Lagi-lagi Danindra hanya tersenyum melihat anggukan kepala Kamila. Entah harus merasa senang atau menyesali anggukan kepala itu. Karena ajakannya dan anggukan Kamila membuay keduanya akan kembali bersinggungan.

“Sekali ini saja, kamu sedang butuh teman berbagi.” Suara hati Danindra pun tak kalah bimbang.

Sekali ini saja, semoga hanya sekali ini saja. Keduanya saling menatap dalam-dalam dengan pikiran masing-masing.

Bersambung.

______________

Jangan lupa tekan love dan tinggalkan komen, ya.

Baca juga novelku yang lain di applikasi ini:

👉 DOSA TERINDAH

👉 SUAMIKU SUAMIMU

👉 NODA HITAM PERNIKAHAN

👉 AKU TANPAMU

👉 KAMULAH TAKDIRKU

👉 YANG TERNODA

👉 IZINKAN AKU MENDUA

Semuanya sudah tamat loh. Terima kasih🙏🙏🙏

BAB 10. JANGAN!

Tak ada interaksi yang berarti dari pertemuan Danindra dan Kamila. Kedua manusia yang sedang sama-sama menahan rasa itu sungguh memiliki hati yang sama kuatnya. Sekuat Kamila untuk tidak terlalu banyak bertanya tentang kemarahan Danindra tadi, juga tentang gerakan tergesa pria itu hingga tersandung, sekuat itu pula Danindra menahan untuk tidak bercerita dan berkeluh kesah pada gadis yang seluruh yang ada padanya terlihat memesona itu.

Hati kecil keduanya saling protes untuk saling membatasi, perasaan bersalah keduanya saling membelenggu pergerakan mereka, hingga semua terasa semakin canggung.

Danindra menghela napasnya berkali-kali saat ia dan Kamila kini telah duduk di kursi teras di depan rumahnya.

“Buruan dimakan, Mas. Mumpung masih hangat, tadi ibu bikin sup ayam, terus keingatan Mas Nindra dan nyuruh Mila anterin ini.” Kamila berusaha mengurai kecanggungan dengan mengeluarkan beberapa wadah makanan dari tas kanvas yang dibawanya.

Danindra menatap gadis itu dengan senyuman.

“Bukan ibu yang keingatan, Dek. Tapi kamu yang sedang keingatan Mas,” gumamnya.

Gadis di hadapannya menautkan alis.

“Hanya kamu yang tau Mas doyan sup ayam, bukan ibu.”

Kamila menelan salivanya.

“Bukan ibu juga kan yang masak ini? Tapi kamu.”

Blush! Pipi Kamila merona dengan sempurna. Bagaimana pria di hadapannya itu tau semuanya? Dalam hati Kamila menyesali ketika pria di hadapannya itu bisa dengan gampangnya menebak semuanya dengan tepat. Ya, memang dia lah yang berinisiatif membuat sup ayam itu untuk Danindra. Lalu membawanya dengan dalih ibunya menyuruh.

“Kamu mengkhawatirkan Mas?” Pertanyaan Danindra seolah mengulitinya, karena ia memang sedang mengkhawatirkan pria itu.

“Mila nggak sengaja dengar obrolan ayah dan ibu tadi. Kata ayah Mas Nindra belakangan ini terlalu banyak bekerja sampai lembur bahkan tak pulang ke rumah. Ayah juga cerita kalau kemarin Mas sempat dibawa ke klinik karena maag nya kumat lagi. Aku hanya ingin bantu.” Kamila menyembunyikan kekhawatirannya.

Tapi, Danindra membuatnya bak maling yang tertangkap basah.

“Terima kasih sudah mengkhawatirkan. Mas baik-baik saja, tak perlu khawatir. Cukup jaga dirimu sendiri, melihatmu tetap sehat dan ceria itu sudah cukup bagi Mas.”

Cukup! Kamila tak ingin mendengar lagi kalimat dari bibir pria itu yang membuat hatinya semakin menyukai.

“Mas bukannya lapar?”

Danindra masih menatapnya.

“Tolong ambilin,” pintanya.

“Sepertinya enak,” lanjutnya lagi.

“Masakan yang dibuat dengan hati dan perhatian yang tulus pasti terasa enak.” Pria itu masih berbicara.

“Apalagi kalau dibuat khusus untukku.” Danindra menekankan kalimat terakhirnya. Dia tau sup ayam yang merupakan makanan kesuakaannya itu pasti memang dibuat khusu untuknya.

“Mila masuk ambilin alat makan, ya.” Kamila memilih berdiri setelah Danindra mengangguk menizinkannya.

Gadis itu terbelalak melihat deretan kotak makanan junk food di atas meja ruang TV rumah Danindra. Sederet keping obat-obatan yang sudah tak utuh lagi juga berserak di sana. Kamila mengucap istighfar sambil merapikan meja. Lalu membawa kotak junk food berbagai merk itu keluar.

Danindra menatap heran saat melihat Kamila kembali keluar dengan kotak-kotak yang sudah tak utuh lagi di tangannya.

“Gimana Mas mau sembuh kalau tiap hari makan beginian?” Gadis itu membuang kotak-kotak makanan yang sudah dingin dan sebagian masih ada isinya itu.

“Itu yang paling praktis, Dek.” Danindra terkekeh.

“Iya. Tapi, makanan-makanan itu juga yang bikin Mas sakit-sakitan. Nggak sehat Mas Kalau tiap hari makan junk food!

Danindra tertawa, mungkin bagi Kamila saat ini dia sedang tak suka, sedang marah atau mengomel padanya, atau apalah namanya. Tapi, suara gadis itu tetap pada nada lemah lembutnya, membuat Danindra menatapnya dengan senyum tak henti-hentinya.

“Kok malah senyum-senyum, Mas?”

“Kamu menggemaskan.”

Kamila menunduk dengan pipi merah jambu.

“Ish! Mila sedang marah, Mas,” protes Kamila.

“Marahmu terlalu indah, Dek.”

Pria itu terkekeh.

“Cepat ambilin alat makan, Dek. Mas nggak mau makanan istimewa ini dingin,” pintanya.

Kamila kembali membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam rumah, lalu mengambil beberapa peralatan makan. Gadis itu tertergun sesaat ketika menyadari ada yang salah. Hatinya memberontak ketika raganya dengan lancang sudah berani masuk ke dalam rumah Danindra. Ini memang bukan pertama kalinya dia masuk ke rumah ini, tapi ini pertama kalinya ia masuk hanya seorang diri, sementara pemilik rumah yang juga sedang sendiri menunggunya di depan sana.

Gadis itu bergidik ketika menyadari bahwa ia tanpa sadar telah kembali terjerat, dan Kamila memilih melepaskan dirinya dari jeratan itu. Meski jerat itu justru menjanjikan sesuatu yang menghangatkan hatinya. Namun langkah kakinya terhenti ketika berbalik badan dan mendapati sang pemilik rumah sudah berdiri tepat di hadapannya.

Tanpa kata, Danindra tiba-tiba saja sudah mengunci pergerakannya. Sehingga Kamila hanya bisa berdiri mematung ketika ia tak bisa lagi menghindar karena posisinya terkunci oleh tubuh jangkung di depannya.

Hening.

Hanya degup jantung keduanya yang berdetak tak karuan. Juga helaan napas yang sesekali terdengar berat. Keduanya hanya terdiam mematung merasakan dan menahan getar dalam dada masing-masing.

Kamila merasa napasnya mulai sesak, seolah ia sedang kehabisan oksigen untuk bernapas. Pun dengan Danindra yang merasa harus susah payah mengisi oksigen ke dalam diagfragmanya untuk tetap bernapas normal.

“Mas.”

“Dek.”

Suara itu terucap bersamaan dari bibir masing-masing. Suara lirih yang sarat makna.

Kamila memejamkan mata, berusaha mengumpulkan kewarasannya, memperingatkan hatinya sendiri bahwa ia tengah berada dalam situasi yang membahayakan, situasi yang sangat memungkinkan untuknya terjatuh lebih dalam dan membuatnya menjelma menjadi manusia yang kotor.

Danindra memicingkan matanya menyaksikan wajah cantik bersahaja dengan mata terpejam tepat di depannya. Sama seperti Kamila, pria itu pun sedang berusaha mengumpulkan kekuatannya untuk menjauhkan dirinya, memperingatkan hatinya jika dia tak boleh merusak keindahan di depan matanya itu, memaksa hatinya untuk menjaga pandangannya. Danindra tau, gadis itu memejamkan mata bukan untuk memberinya ruang, tapi untuk menormalkan situasi yang sedang tak terkendali ini.

Tetapi, dahaga pria itu sudah sedemikian menyiksa. Sehingga di saat hati kecilnya berteriak lantang untuk menjaga apa yang ada di depan matanya, tapi tubuhnya menghianati itu. Danindra bergerak perlahan, mendekatkan diri pada keindahan yang sedang menggoda kewarasannya. Sementara kelopak mata Kamila terbuka saat merasakan embusan napas hangat yang menerpa wajahnya. Gadis itu seolah sudah tak berpijak lagi di bumi saat mendapati wajah Danindra dengan jakun yang bergerak turun naik tepat berada di depannya. Waktu seolah terhenti bagi mereka berdua. Meski hati keduanya bisa memastikan jika syaitan sedang ada di antara mereka, menunggu dengan tak sabaran agar kedua manusia itu mengikuti hasutannya.

“Mas ... jangan ...,” lirih suara Kamila nyaris tak terdengar.

Bukankah kata ‘jangan’ harus dikatakan dengan tegas? Itu yang ada di dalam benak gadis itu, tapi bibirnya hanya sanggup berkata lirih. Suara lirih yang semakin terdengar merdu bagi Danindra. Sungguh sulit melepaskan diri dari semua keindahan yang tersaji.

“Mas ... ja ... ngan.” Kamila masih ingin berusaha sekali lagi, meski tubuhnya sudah terasa tak lagi bertulang. Embusan napas hangat serta iris mata coklat yang kini terlihat lebih sendu di hadapannya telah membuatnya seolah kehilangan akal sehatnya.

Kamila kembali memejamkan matanya, kali ini bukan lagi untuk mengembalikan kewarasannya, tapi kali ini ia memejamkan mata sebagai tanda jika tubuhnya sedang menanti keindahan itu membuainya.

Ampuni aku, Tuhan. Maafin aku, Mbak Gita.

Namun ternyata Tuhan masih memberinya sedikit waktu, karena embusan napas itu menjauh seiring dengan deringan dari ponsel Danindra yang membuat konsentrasi pria itu teralihkan. Tubuh Kamila luruh, jatuh ke lantai rumah Danindra dengan wajah yang kini sudah dibanjiri air mata. Isakan halus mulai terdengar dari bibirnya, sementara Danindra menatap kebingungan bak seorang yang baru saja kehilangan kesadaran.

Dengan sisa kesadaran yang dimiliki, Danindra menjawab panggilan telepon di ponselnya.

Assalamualaikum. Iya, Mi.” Suara Danindra menyapa, tapi pandangannya tak beralih dari gadis yang tengah terduduk luruh di lantai.

Walaikumsalam, ini Namira, Pa.” Suara dari seberang membuat mata Danindra membulat.

Itu suara Namira, buah hatinya. Konsentrasinya kini beralih penuh pada ponsel di tangan, mengabaikan Kamila yang masih terisak di sana.

“Namira ... bagaimana keadaanmu, Nak? Gimana kakinya? Apa kata dokter, Sayang?”

Di sela-sela isak tangisnya, di antara kabut yang kini memenuhi bola matanya, Kamila melihat ekspresi penuh cinta di mata Danindra ketika berbicara pada putrinya.

“Kaki Mira nggak bisa gerak, Pa. Mira mau Papa ke sini.”

Jawaban Namira jelas hanya terdengar bagi Danindra, tapi tak terdengar oleh Kamila. Namun gadis itu berusaha menghentikan tangisnya ketika Danindra kembali menatap padanya sambil, berbicara dengan ponsel yang menempel di telinga.

“Di sini nggak ada siapa-siapa, Nak. Papa sendirian, mungkin Mira salah dengar.”

Ah, gadis kecil itu mungkin saja mendengar isakan kecilnya tadi.

Danindra menjauhinya, hingga Kamila sudah tak dapat lagi mendengar dengan jelas pembicaraan pria itu. Kamila mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Dia harus pergi secepatnya dari sana.

Dengan langkah lunglai, Kamila melangkah menjauh. Hingga keduanya saling menjauh, kerana sudah seharusnya seperti ini.

‘Terima kasih, Namira,’ gumam Kamila dalam hati. Kerinduan gadis kecil itu pada papanya telah menyelamatkan ia dan Danindra dari jurang bernama dosa pengkhianatan.

“Dek!”

Kamila menoleh tepat di saat ia sudah di depan pintu. Danindra sedang menatap padanya, tangannya menutup speaker ponselnya agar suaranya tak terdengar ke seberang, ke si penelpon, ke telinga gadis kecil yang tengah merindu padanya.

“Maaf.”

Kamila mengangguk, lalu melanjutkan langkah. Beberapa detik kemudian gadis itu kembali menoleh, pria di depan sana masih berdiri mematung dengan tangan yang masih menutup ponsel.

“Sup nya dimakan, Mas.”

Danindra mengangguk, menatap punggung Kamila yang menjauh dengan penuh rasa bersalah.

‘Maafin Papa sudah berbohong padamu, Nak’ gumamnya dalam hati sebelum kemudian melanjutkan pembicaraannya dengan sang putri.

Bersambung.

_____________

Jangan lupa tap love dan tinggalkan komentar.

Mohon izin untuk mengunci bab selanjutnya, ya.

Terima kasih❤

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya KITA TANPA KATA (BAB 11 SAMPAI 20)
1
0
Part ini terdiri dari 10 Bab, dan tiap Bab nya berisi minimal 2000kata. Dijamin puas bacanya!“Bantu aku. Tinggallah bersamaku, tetaplah di sampingku. Bantu aku mengembalikan semua pada tempatnya. -Danindra Fauzan-Kita berdua sedang berada di ruang yang salah, dan kita harus keluar dari sana apa pun risikonya.” -Kamila Aziza-"Aku sudah sampai pada titik lelahku. Aku lelah menggapaimu, aku letih mengejarmu. Sementara kamu semakin menjauh dan sengaja terus berlari.” -Gita Gayatri Aprilia-Selamat membaca 😊 Jangan lupa FOLLOW akunku. Terima Kasih.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan