IZINKAN AKU MENDUA (BAB 1 SAMPAI 10)

1
0
Deskripsi

"Bun, ini foto Ayah kan?"

Pertanyaan polos putra sulung Hannan membuatnya penasaran dan segera membuka beberapa pesan yang masuk di ponselnya melalui applikasi hijau.

Hannan terkejut ketika membuka deretan foto dan video yang dikirim oleh nomor tak dikenalnya itu.

Semua foto dan video itu menampakkan suaminya dari berbagai sisi memakai pakaian pengantin serba putih sedang melaksanakan prosesi pernikahan dengan seorang gadis yang mengenakan kebaya putih di sampingnya.

Buru-buru Hannan menghubungi nomor...

BAB 1. KIRIMAN VIDEO

Kurebahkan tubuh di ranjang pengantin setelah kelelahan karena seharian ini menyalami tamu undangan. Sedangkan Dewi, istri yang baru saja kunikahi tadi pagi masih berkumpul bersama keluarga besarnya di ruang tengah rumah mewah ini.

Kupejamkan mataku sambil menikmati aroma bunga melati yang menghiasi kamar Dewi yang juga menjadi kamar pengantin kami. Kuhela menghela napas panjang-panjang sambil membayangkan semua peristiwa yang telah kulalui hingga berada di sini, di sebuah kota yang jauh keluargaku, kota tempat di mana aku ditugaskan.

Dewi Puspita Sari, gadis cantik molek yang baru saja kunikahi itu memang mempunyai kekurangan. Karena kekurangannya itulah ayahnya harus turun tangan langsung dalam mencarikan jodoh untuk putri tunggalnya, hingga akhirnya mempercayakan putri kesayangannya itu padaku. Aku tersenyum membayangkan bahwa ini akan menjadi malam pertamaku dengannya, gadis yang begitu lembut dan penurut. Setidaknya begitulah penilaianku terhadapnya sejak mengenalnya kurang lebih 3 bulan yang lalu.

Namun bayangan seseorang dengan 2 orang bocah lucu yang selalu menunggu kepulanganku mampu menghapus semua senyum di wajahku begitu saja. Ada rasa bersalah di dalam dadaku ketika wajah itu hadir menggantikan wajah Dewi dan indahnya malam pertama yang tadinya menari-nari di depan mataku. Dengan malas aku bangkit lalu mencari gawaiku yang tadi kuletakkan di dalam laci meja saat aku menjalani ritual akad nikah yang dirangkai dengan resepsi dengan panggung yang lumayan megah di pelataran rumah yang luas milik orangtua Dewi ini.

Kutekan tombol ON dan menyalakan ponselku yang memang sengaja ku-nonaktif-kan seharian ini. Beberapa pesan langsung masuk di Applikasi hijau ketika ponselku telah menyala dengan sempurna. Beberapa pesan dari grup kompi, lalu pesan dari nomor yang kusimpan dengan nama “My Wife” di ponselku.

Aku terkesiap ketika membuka pesan dari nomor itu, kakiku terasa lemas dan tak sanggup lagi menahan berat tubuhku ketika aku membuka beberapa foto yang dikirim olehnya. Foto-foto pernikahanku dengan Dewi!

[Ini kamu kan, Bang?]

[Ini beneran Abang?]

[Aku menunggu penjelasan Abang!]

[Aku nggak terima Abang mengkhianatiku!]

Aku semakin terhuyung dan jatuh terduduk di lantai kamar ketika membuka sebuah video. Video saat aku mengucapkan akad nikah tadi dan di dalam video itu terdengar sangat jelas suara dari Paman Dewi yang menjadi wali nikah tadi menyebut nama lengkapku ketika pria itu menjabat tanganku dengan pasti dan menyerahkan keponakannya untuk menjadi istriku.

[Tadinya aku berharap itu bukan Abang, tapi video ini sudah menjelaskan semuanya. Kenapa, Bang? Apa salahku? Apa yang kurang dari Hannan? Kenapa Abang tega mengkhianati pernikahan kita?]

Jantungku berdetak kencang. Maysa Hannan, istri yang telah memberiku 2 orang anak ternyata telah mengetahui pernikahanku ini. Ia mengetahuinya bahkan di hari pertama aku menduakannya. Tapi dari mana Hannan memperoleh semua foto-foto dan video itu? Bahkan disaat aku belum menikmati malam pertamaku bersama wanita yang kini menjadi madunya.

“Mas, makan dulu, yuk.” Suara lembut itu menyapaku dengan senyum manisnya dari depan pintu kamar.

“I- iya, Wi. Sebentar lagi Mas nyusul ya. Mas mau ganti baju dulu,” jawabku.

“Loh, jadi Mas dari tadi di dalam kamar ngapain aja? Kok baru mau ganti baju sekarang?”

“Mas nungguin kamu dari tadi, jadi lupa ganti pakaian.” Aku menggodanya. Toh, ia hanya bisa mendengar suaraku dan tak bisa melihat ekspresi panik yang tergambar di wajahku setelah membaca pesan dari Hannan tadi.

“Ah, Mas Randy bisa aja. Ya udah, Dewi tunggu di meja makan ya,” ucapnya dengan wajah merah merona tersipu malu kemudian berlalu dari depan pintu kamar.

Ya, Dewi Puspita Sari, gadis yang baru saja kunikahi itu hanya bisa mendengar suaraku, tanpa bisa melihat wajahku. Karena ia adalah seorang gadis tuna netra!

***

Namaku Maysa Hannan. Ibu rumah tangga yang sehari-hari disibukkan mengurus 2 orang anak. Putraku yang pertama, Zaid Putra Maulana, sudah berusia 7 tahun dan kini duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar. Sedangkan putraku yang kedua, Zayn Putra Maulana baru berusia 2 tahun.

“Bun! Bunda!” Suara Zaid memanggil-manggilku ketika aku sedang memasak di dapur.

“Ada apa, Nak? Udah belajarnya?” tanyaku saat melihat putra sulungku itu menyodorkan ponsel padaku.

Zaid memang sedang mengikuti pembelajaran online menggunakan ponselku. Hal yang tengah dialami oleh semua murid di negara yang sedang dilanda pandemi ini.

“Belum selesai belajarnya, Bun. Tapi tadi ada yang kirim pesan ke HP Bunda.” Zaid berucap sambil menggeser-geser layar ponselku.

“Ini, Bun. Foto Ayah menikah,” lanjutnya sambil terkekeh geli.

Aku mengeryitkan keningku dan segera mengambil ponselku dari tangannya.

DEGG!!!

Jantungku serasa berhenti berdetak. Bukankah itu Bang Randy suamiku? Mengapa ia berbalut baju pengantin putih-putih dan berdiri berdampingan dengan seorang wanita yang juga memakai kebaya putih?

Lalu dengan tangan gemetar aku membuka beberapa foto lainnya. Tidak salah lagi, dari berbagai sudut pengambilan foto memang sangat jelas jika itu adalah Bang Randy, suamiku.

Baru saja aku hendak membalas pesan dari nomor yang tak kukenal itu, ketika sebuah video kembali terkirim lewat applikasi hijau di ponselku.

Video pernikahan suamiku! Dengan lantang lelaki yang sudah memberiku 2 orang putra itu mengucapkan ijab kabul pada seorang gadis yang terlihat duduk menunduk dengan khidmat di sampingnya.

“Bun ... Bunda kenapa?” tanya putra sulungku panik ketika melihatku luruh terjatuh ke lantai.

Bersambung.

BAB 2. KE MANA HARUS BERTANYA

“Bunda kenapa?” tanya putraku.

“Bunda nggak apa-apa, Nak. Tadi gimana belajarnya? Sudah selesai?” Aku berusaha terlihat baik-baik saja di depan putra sulungku.

“Belum, Bun. Masih ada pelajaran tadi, tapi Zaid kaget pas liat ada foto Ayah. Itu benar Ayah kan, Bun?”

“Eh ... iya ... maksud Bunda bukan, Nak. Itu hanya foto orang yang kebetulan mirip Ayah,” jawabku. Aku tak ingin anakku menanyakan lebih jauh lagi.

“Nah, sekarang Zaid terusin dulu belajar daringnya, ya. Nanti kalau sudah selesai ponselnya setor ke Bunda kembali. Kalau ada pesan masuk nggak usah dibuka ya, Nak. Zaid fokus di pelajaran saja,” lanjutku.

Zaid mengangguk paham lalu kemudian berlalu dan meneruskan kegiatan belajar daringnya. Sementara aku masih terduduk lemas, kakiku seolah tak mampu menopang berat tubuhku untuk bangkit dan berdiri.

Video yang dikirim seseorang di ponselku tadi benar-benar membuatku terkejut. Bang Randy menikah lagi tanpa sepengetahuanku! Aku belum memastikan kapan dan di mana foto-foto dan video itu diambil, namun aku bisa memastikan bahwa pengantin pria dalan foto dan video itu adalah Randy Maulana, suamiku.

Tak dapat lagi aku berkonsentrasi, gelisah menunggu ponselku selesai dipakai belajar oleh putraku. Aku harus segera menghubungi Bang Randy dan menanyakan hal ini padanya. Tiba-tiba saja aku merasa sangat takut. Takut menghadapi kemyataan yang akan menghadang ke depan, foto-foto dan video tadi sudah jelas suamiku. Pastinya kehidupanku akan berubah setelah aku fakta-fakta ini terkuak. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku pura-pura tak tau dan menunggu saja hingga Bang Randy mengakuinya padaku? Ataukah aku harus segera menanyakan ini padanya?

Netraku memanas menatap putra sulungku yang masih berkonsentrasi belajar dan adiknya yang bermain di lantai di depan tv yang sedang menayangkan film kartun. Kedua putraku masih sangat kecil, bagaimana nantinya jika mereka harus kehilangan sosok ayah? Tapi jika aku berpura-pura tak tau, maka aku yang akan sakit menanggung semua ini. Maka dengan menguatkan hati, aku memilih harus bertanya pada Bang Randy saat ini juga tentang foto-foto dan video pernikahannya itu.

“Sudah belajarnya, Nak?” tanyaku pada Zaid purtaku.

“Sudah, Bun. Tinggal nulis beberapa baris. Tapi ponsel Bunda sudah nggak dipakai kok,” jawab Zaid seolah mengetahui bahwa aku menunggu ponselku yang tadi dipakainya untuk belajar online.

“Ya udah. Jaga adikmu sebentar, ya, Nak.”

Lalu aku melangkah ke dalam kamar kemudian menutup pintunya. Dengan tangan gemetar aku kembali membuka semua foto-foto dan video tadi. Air mataku berderai tak dapat kutahan lagi. Tega sekali lelaki yang telah memberiku 2 orang putra itu mengkhianatiku. Aku memutuskan untuk melakukan panggilan telepon namun ternyata nomor Bang Randy sedang tidak aktif. Nomornya memang jarang sekali aktif karena setauku saat ini Bang Randy sedang bertugas di pedalaman Papua. Selama ini aku memang jarang menghubunginya karena di sana tak ada signal, Bang Randy lah yang akan menghubungiku terlebih dahulu jika ia sedang berada di kota atau ponselnya bisa menangkap signal telekomunikasi.

Kembali kupandangi satu persatu foto-foto itu. Jantungku berdetak kencang ketika mendapati salah satu foto tadi mencantumkan tanggal dan jam pengambilan gambar. Foto itu diambil hari ini, sekitar 2 jam yang lalu!

Kucoba menghubungi nomor tak dikenal yang mengirimkan foto dan video itu, tapi nomornya pun sudah tidak aktif lagi. Apa yang harus kulakukan Ya Allah? Kemana aku harus bertanya?

Ditengah kekalutan pikiranku, aku kemudian berinisiatif untuk mengirim kembali foto-foto itu ke ponsel Bang Randy dengan harapan ia akan segera membacanya ketika ponselnya aktif.

[Ini kamu kan, Bang?]

[Ini beneran Abang?]

[Aku menunggu penjelasan Abang!]

[Aku nggak terima Abang mengkhianatiku!]

Aku mengirim rentetan pesan itu dengan tangan gemetar. Hanya centang satu, yang artinya pesan belum terkirim. Lalu aku kembali mengirim video yang memperlihatkan suamiku sedang melakukan akad nikah tadi.

[Tadinya aku berharap itu bukan Abang, tapi video ini sudah menjelaskan semuanya. Kenapa, Bang? Apa salahku? Apa yang kurang dari Hannan? Kenapa Abang tega mengkhianati pernikahan kita?]

Air mataku semakin luruh seiring deretan pesan yang kukirim ke ponsel Bang Randy.

“Bunda napa nangis?” Tiba-tiba saja putra bungsuku muncul di depan pintu kamar dan bertanya dengan suara khas balita.

“Ah, nggak, Nak. Bunda nggak nangis. Zayn mau apa? Zayn lapar” tanyaku. Balita montok itu mengangguk pasti.

Dengan perasaan tak menentu aku mengusap-usap kepala bungsuku yang sedang makan dengan lahapnya. Apa yang akan terjadi pada kami kedepannya? Apa yang harus kulakukan jika Bang Randy benar-benar meninggalkan kami? Bagaimana aku bisa menghidupi kedua putraku jika ayahnya telah berpaling pada wanita lain? Mataku kembali berkabut namun berusaha sekuat tenaga kutahan. Aku tak boleh memperlihatkan kegelisahanku di hadapan anak-anakku. Aku harus menunggu penjelasan dari suamiku sebelum berpikiran yang buruk.

Pesanku baru terlihat centang dua berwarna biru saat menjelang sore. Kedua putraku masih terlelap tidur siang. Aku memutuskan untuk keluar dari kamar dan menunggu balasan dari Bang Randy atau mungkin menunggu telepon darinya.

Jantungku berdetak tak karuan ketika gawaiku bergetar. Benar saja, Bang Randy langsung menelpon setelah membaca rentetan pesan dariku tadi.

[Dari mana Bunda dapat foto dan video itu?]

Suara Bang Randy terdengar panik.

[Cukup jawab iya atau tidak, Bang!]

Entah dari mana aku memperoleh kekuatan untuk membentaknya. Padahal selama menjadi istrinya, aku tak pernah meninggikan suaraku padanya.

[Bun, dengarkan penjelasanku dulu.]

[Iya atau tidak! Itu Abang atau bukan?]

Terdengar helaan nafas kasarnya dari seberang sana.

[Iya, itu Abang.]

Jawabnya dengan suara lemah.

Aku tergugu. Rasanya ingin sekali aku melempar gawaiku sekarang juga untuk melampiaskan kemarahanku. Namun pikiran jernihku masih menguasaiku, ini adalah gawaiku satu-satunya yang juga dipakai oleh putraku untuk mengikuti pembelajaran daring. Jika aku melemparnya karena emosiku padanya, maka aku sendiri yang akan kerepotan nantinya dalam membimbing pelajaran putraku.

[Dengarkan penjelasanku dulu, Bun.]

[Apa lagi yang mau kamu jelasin, Bang?]

Aku terisak, tak mampu berbicara lebih banyak lagi. Pengakuannya padaku membuat dadaku begitu sesak.

[Jangan menangis, Bun. Aku akan merasa bersalah jika Bunda menangis.]

[Lalu apa Abang ingin aku tertawa? Abang ingin aku bahagia dengan pengakuan Abang ini? Abang ingin aku tersenyum melihat foto-foto dan video pernikahanmu?]

“Bunda ....” Suara Zayn dari depan pintu kamarku membuatku menghentikan kalimatku dan menyusut bening yang mengalir di sudut mataku.

[Kamu dengar itu, Bang? Itu suara anakmu. Aku mengingatkanmu kalau saja kamu lupa bahwa ada 2 orang bocah yang selalu menunggu kepulangan ayahnya. Tapi mungkin sekarang aku harus berusaha menjelaskan pada mereka bahwa ayahnya tidak akan pernah kembali lagi.]

[Bun ... tolong jangan seperti ini. Kita masih bisa bicara baik-baik.]

Aku mengakhiri panggilan telepon tanpa mengucapkan salam. Lalu memilih menghampiri putra bungsuku yang memang selalu mencariku saat ia terbangun dari tidurnya.

Bersambung.

BAB 3. GORESAN LUKA

Bang Randy masih menghubungi ponselku berkali-kali namun aku tak menggubrisnya lagi. Rengekan putra bungsuku yang meminta dibuatkan segelas susu mengalihkan perhatianku. Putra bungsuku memang terbilang lebih bongsor dibanding dengan anak-anak seusianya. Nafsu makannya pun jauh lebih lahap dibanding dengan abangnya yang justru terlihat lebih kurus dibanding anak-anak seusianya.

“Ayah halo-halo, Bun?” tanya Zayn dengan polosnya saat aku sedang membuatkan segelas susu untuknya. Kurasa ia melihat layar ponselku yang sedang bergetar tanda panggilan masuk. Zayn memang selalu menyebut telepon dengan istilah ‘halo-halo’.

“Oh, iya, Nak.”

“Zayn mau halo-halo sama Ayah,” pintanya.

Aku meliriknya sekilas, mungkin Zayn sedang merindukan ayahnya. Biasanya memang saat Bang Randy menelpon anak-anak akan selalu bergantian berebut ponselku untuk berbicara pada ayahnya. Tak ada salahnya aku membiarkan Zayn berbicara pada ayahnya sambil menunggu susu yang sudah kubuatkan tadi dingin, pikirku.

Lalu aku menggeser tombol hijau di layar ponselku.

[Bun, dengarin Ayah dulu.]

Suara Bang Randy langsung terdengar dari speaker.

[Bukan aku yang mau ngomong. Nih, Zayn yang mau ngomong.]

Kusodorkan ponsel pada putra bungsuku itu. Zayn kemudian mengobrol asal dengan suara khas balitanya pada ayahnya. Sementara aku memilih hanya memandangi wajah gembira Zayn saat mengobrol 'halo-halo' dengan ayahnya. Ya Allah, bagaimana nanti aku menjelaskan pada wajah-wajah polos ini jika hubunganku dengan ayahnya harus kandas? Pengakuan suamiku tadi membuatku memikirkan hal yang paling buruk dalam hubungan kami, yaitu perpisahan.

Aku sedang melamun ketika suara Zayn mengagetkanku.

“Bun, ini hp Ibun. Zayn sudah halo-halonya sama Ayah. Zayn capek, mau minum susu,” ucapnya dengan mimik lucu sambil meraih gelas susunya.

Aku tersenyum padanya sambil meraih ponselku yang ternyata masih tersambung dengan panggilan Bang Randy. Tanpa mempedulikan apakah di seberang sana dia masih menunggu, aku memilih menggeser tombol merah dan mengakhiri panggilan. Beberapa saat kemudian beberapa pesan kembali masuk dari nomor Bang Randy.

[Bun, cobalah bersikap dewasa. Aku pasti akan menjelaskan padamu, aku masih mencari waktu yang tepat. Aku tak menyangka jika Bunda tau semuanya justru di hari pernikahanku. Bolehkah Ayah tau siapa yang mengirim foto-foto dan video itu ke ponsel Bunda?]

‘Huhh!! Dasar lelaki buaya!’ batinku. Aku baru hendak menonaktifkan ponselku ketika satu pesan kembali masuk.

[Ayah akan usahakan pulang meskipun harus menambah izin. Tunggulah penjelasanku. Jangan berburuk sangka dulu. Jika saja Bunda mengenalnya, Bunda pasti bisa memahamiku. Dia wanita yang punya kekurangan, Bun.]

Aku memencet tombol OFF, kemudian membanting ponselku kesal.

“Enak saja menyuruhku memahaminya,” gumamku kesal.

“Bunda kenapa?”

“Oh, Bunda nggak apa-apa, Sayang. Sudah habis belum susunya?”

“Sudah, Bunda.”

***

Baru saja aku melipat mukenaku setelah menunaikan salat Maghrib ketika mendengar pintu depan rumah sederhana peninggalan orangtuaku ini diketuk. Buru-buru kukenakan jilbab instanku kemudian berjalan menuju ke arah pintu. Hatiku berdesir ketika mengintip dari balik gorden jendela melihat siapa yang berdiri di sana. Bang Randy!

Kunetralkan debaran jantungku sebelum meraih gagang pintu dan membukanya.

“Assalamualaikum, Bun,” sapanya sambil tersenyum.

“Walaikumsalam.” Aku menjawab datar salamnya, kulihat lelaki itu menatapku tajam.

“Anak-anak di mana, Bun?”

“Zaid dan Zayn lagi di kamar.”

“Baiklah. Aku hanya punya waktu sebentar untuk kembali ke markas, Bun. Aku ingin bicara empat mata dengan Bunda,” ucapnya, kemudian duduk di kursi di ruang tamu.

“Kenapa kamu jadi seperti tamu dan orang asing di rumah ini, Bang? Apa anak-anak sudah tak ada artinya lagi bagimu? Apa sudah tak ada lagi rasa rindumu pada anak-anak?” sindirku saat melihat ia justru duduk bak seorang tamu di rumah kami. Padahal biasanya ia akan segera mencari anak-anaknya ketika pulang ke rumah.

“Bukan seperti itu, Bun. Tapi sekarang ada hal yang lebih penting yang harus kita bahas berdua, tanpa gangguan anak-anak.”

“Oh, jadi anak-anakku sekarang sudah menjadi gangguan bagi Ayahnya?”

“Ckk!! Kenapa Bunda berburuk sangka seperti ini? Duduklah dulu, kita bicara.”

Aku menatapnya tajam. Lelaki ini, biasanya aku akan menyambut kedatangannya dengan rasa rindu yang membuncah, karena sudah beberapa bulan ini ia bertugas di pulau yang nun jauh di ujung Indonesia Timur sana. Namun sekarang, aku merasa jijik melihatnya. Deretan foto dan video akad nikahnya kemarin sukses membuat perasaanku padanya berubah menjadi kebencian.

“Ayolah Bun, mari kita bicara.” Aku menepis tangannya saat Bang Randy mencoba menarik tanganku.

“Jangan sentuh aku!” bentakku, lalu duduk di sofa yang paling jauh dari jangkauannya. Aku jijik padanya! Jika memang benar kemarin ia menikahi wanita lain, maka bisa kupastikan tangan dan tubuh itu juga sudah menyentuh tubuh wanita lain. Membayangkan itu semua hatiku terasa remuk.

“Bun, aku memang telah menikah lagi kemarin. Maafkan aku karena tak meminta izin dulu pada Bunda. Tapi kuharap Bunda jangan berburuk sangka dulu. Aku bukan menikah hanya karena nafsu, Bun. Aku menikahinya karena amanah yang sudah terlanjur kuterima dari orangtuanya.”

Cihhh!!! Dasar buaya!! Aku makin jijik melihatnya. Jika saja tak akan menimbulkan kegaduhan, aku pasti sudah menampar wajah lelaki di hadapanku ini.

“Cukup dengan pengakuanmu telah mengkhianati pernikahan ini, Bang. Aku tak butuh alasanmu! Karena kamu sudah mengaku dengan sendirinya di hadapanku, maka sekarang aku minta ceraikan aku. Pergi jauh-jauh dari hidupku! Aku tak butuh lelaki br*ngsek sepertimu yang berkhianat namun mencari pembenaran atas kebejatanmu!” ucapku lantang.

Aku akui, aku memang tipe wanita yang keras hati. Kehidupan keras yang selama ini kulalui sepeninggal kedua orangtuaku menempaku menjadi sosok wanita yang tak mudah untuk dirayu. Bang Randy menarik napas panjang mendengarku membentaknya.

“Dengarkan aku, Bun. Jika aku menikah lagi hanya karena nafsu, aku tak mungkin menikahi seorang wanita tuna netra,” ucapnya lirih.

Sejenak aku terpranjat mendengarnya. Foto dan video yang dikirim oleh nomor tak dikenal di ponselku kemarin terlihat biasa saja. Aku tak tau jika wanita yang berdiri di sebelah suamiku itu adalah seorang tuna netra. Sejujurnya ada rasa penasaran dalam hatiku, namun aku tetap berusaha tak menunjukkannya.

“Apa peduliku? Mau seperti apapun wujud wanitamu itu. Poin pentingnya adalah kamu sudah mengkhianati pernikahan kita!”

“Aku akui aku salah, Bun. Seharusnya aku meminta izin dulu padamu, hanya saja waktuku tak banyak. Aku harus berkejaran dengan waktu karena tugasku. Maka aku berencana akan membicarakan ini denganmu jika aku ada waktu yang lapang. Percayalah, aku berniat meminta izinmu. Tapi kiriman foto dan video itu menghancurkan semua rencanaku. Boleh aku tau siapa yang mengirim foto-foto dan video itu?”

Ya Allah aku makin emosi mendengar penjelasan lelaki ini. Mengapa dulu aku bisa jatuh ke dalam pelukan lelaki br*ngsek ini?

“Izinkan aku mendua, Bun. Aku berjanji akan bersikap adil seadil-adilnya.”

“Ceraikan aku!!!” ucapku dengan nafas tersengal.

Sakit sekali rasanya mendengar permintaan suami yang meminta izin untuk mendua. Masih punya perasaan kah lelaki di hadapanku ini hingga tega meminta izin untuk mendua? Seolah itu hanya permintaan biasa, padahal ada goresan luka di dalam hatiku mendengar permintaannya itu.

Bersambung.

BAB 4. PERTAMA BERTEMU

Namaku Randy Maulana. Aku adalah seorang suami dan ayah dari 2 orang putra yang lucu-lucu. Namun sudah setahun belakangan ini aku tak bisa tinggal satu kota bersama istri dan kedua putraku. Profesiku sebagai aparat TNI mengharuskanku hidup terpisah dari anak dan istriku setahun belakangan ini. Aku ditugaskan di pedalaman Papua yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat kecil. Di sana juga tak ada singnal telekomunikasi karena letaknya memang masih sangat terpencil. Itu membuatku sedikit kesulitan berkomunikasi dengan Maysa Hannan, istriku, serta Zaid dan Zayn, kedua putraku, sejak aku ditugaskan di sana.

Tugasku di pedalaman Papua sungguh sangat berat, kami harus berusaha menguasai medan yang rumit ditengah incaran kelompok separatis yang kadang tiba-tiba saja muncul dan meneror warga. Sungguh, selama menjadi aparat TNI ini adalah tugas terberat yang harus kulalui. Beberapa orang rekanku bahkan ada yang tiba-tiba saja menghilang dari markas kami lalu kemudian ditemukan sudah dalam keadaan tak bernyawa akibat ulah kelompok separatis yang memang sengaja mengincar pucuk-pucuk senjata kami untuk kemudian dipakai oleh mereka menebar teror serta menggganggu kemananan dan ketenangan warga sipil.

Aku baru bisa berkomunikasi dengan Hannan dan kedua putraku jika kebetulan aku sedang bertugas ke ibukota kabupaten. Di sana ponselku dapat menangkap signal telekomunikasi meskipun kadang masih terputus-putus juga. Setahun bertugas di peladalam Papua membuatku menyadari bahwa sungguh masih banyak Warga Negara Indonesia yang belum bisa merasakan nikmatnya kemerdekaan. Mereka yang berada di sana masih terjajah oleh kemiskinan dan kebodohan. Fasiltas sekolah hanya ada beberapa dan jarak tempuhnya pun berkilo-kilo meter. Fasilitas kesehatan pun demikian, hanya ada puskesmas kecil yang tenaga kesehatannya juga hanya beberapa orang.

Satu hal yang membuatku merasa sedikit terhibur bertugas di sini adalah rasa kekeluargaan yang terbangun antara kami di markas. Kami sudah seperti saudara sendiri, karena kami semua memang jauh dari keluarga masing-masing.

Tiga bulan pertama awal aku bertugas di sini, aku sangat dekat dengan atasan kami di markas. Namanya Budi Nugroho, pria berpangkat Brigjen itu sangat dekat dengan seluruh bawahannya, termasuk aku. Kami kadang tak segan untuk bersenda gurau bersama disela-sela tugas kami, meskipun kami semua tetap menjunjung tinggi semua perintah beliau sebagai atasan kami. Diantara semua pasukan, akulah yang paling dekat dengan beliau, mungkin karena kami berdualah yang paling sering salat bersama. Pak Nugi, begitu beliau minta disapa, tak pernah melewatkan salat subuh berjamaah di ruangan kecil yang kami fungsikan sebagai musholla. Di sini, tak pernah sekalipun terdengar azan, karena memang tak ada mesjid di sekitar markas kami. Maka kami, terutama aku dan Pak Nugi hanya menggunakan cara-cara tradisional untuk mengira-ngira waktu sholat.

Selama memimpin, Pak Nugi sudah beberapa kali berhasil memimpin pasukan kami menguasai markas musuh dan mendesak mundur mereka ke dalam hutan-hutan belantara Papua yang masih alami. Hal itu membuat Pak Nugi menerima penghargaan kenaikan jabatan dan kemudian dipindahkan ke Kota Jayapura, Ibu Kota Provinsi Papua.

Aku dan beberapa orang rekanku pernah sekali berkunjung ke Kota Jayapura ketika kami ditugaskan mengambil sejumlah persediaan makanan dan obat-obatan. Karena masih intens berkomunikasi dengan Pak Nugi, beliau pun saat itu mengundang kami ke rumahnya. Ternyata Pak Nugi memiliki rumah mewah di Kota Jayapura. Yang kudengar dari beberapa orang rekanku, beliau memang tak hanya berprofesi sebagai TNI tetapi juga memiliki beberapa bisnis warisan orangtuanya di Jakarta.

Pada saat memenuhi undangan Pak Nugi, beliau memperkenalkanku dan rekanku pada putri tunggalnya, Dewi Puspita Sari. Tak ada yang istimewa pada gadis berkulit putih mulus yang tampak kontras dengan sebagian besar penduduk asli di Kota Jayapura itu. Kami hanya berkenalan seperti layaknya seorang yang baru berkenalan, aku bahkan tak memperhatikannya setelah itu, meski aku melihat tatapan tak biasa dari ayahnya sewaktu melihatku bersalaman dengan putrinya.

Namun cerita dari rekanku yang dijuluki Tyson dalam perjalanan pulang kembali ke pedalaman tempat tugas kami membuatku sedikit terkejut.

“Putri Pak Nugi tadi cantik ya, Ran. Sayangnya ia tuna nerta.”

“Hahh!!! Tuna nerta? Maksud kamu buta?”

“Iya, dia buta. Kamu nggak liat cara dia jalan setelah berkenalan tadi. Meski ia sudah hapal dengan letak-letak ruangan di dalam rumahnya, namun tetap aja kelihatan jalannya masih mencari-cari arah.”

“Wah, aku nggak perhatiin malah, Son. Tadi abis kenalan ya aku fokus ngobrol dengan Pak Nugi kembali.”

“Kamu sih super cuek gitu. Padahal tadi yang kulihat Pak Nugi tersenyum ketika kalian berkenalan. Dengar-dengar kan beliau sedang mencarikan jodoh untuk Dewi. Sepertinya kamu bisa jadi kandidat bagi Pak Nugi.”

“Ah ... gila kamu, Son. Pak Nugi kan tau aku udah punya anak istri di Jakarta. Mana mungkin beliau menjodohkan putri tunggalnya pada laki-laki yang sudah beristri.”

“Ya kan siapa tau masih nyari istri kedua,” sahut Tyson terbahak. "Eh, tapi kamu liat nggak foto yang terpampang di rumah mewah Pak Nugi tadi.”

“Iya, aku liat. Foto Pak Nugi dan putrinya dalam pigura besar itu kan?”

“Kamu nggak penasaran kenapa hanya ada foto Pak Nugi dan Dewi?”

Aku mengeryitkan keningku kemudian menggeleng.

“Itu karena Pak Nugi sudah bercerai dari istrinya. Sekarang istrinya tinggal di Jakarta, punya usaha butik yang terkenal di sana. Kabarnya hubungan mereka kurang baik sejak berpisah karena memperebutkan Dewi. Padahal saat meninggalkan Pak Nugi dulu, istrinya sudah menyerahkan Dewi pada Pak Nugi karena beliau malu punya anak tuna netra. Tapi ternyata setelah 2 kali menikah lagi sejak bercerai dari Pak Nugi, mantan istrinya itu tak bisa punya keturunan lagi. Lalu sekarang ingin mengambil Dewi kembali dari Pak Nugi. Jelas aja Pak Nugi nggak mau, karena ia sudah memelihara Dewi seorang diri sejak Dewi berumur 5 tahun saat ia bercerai dari istrinya.”

“Ooohh gitu.” Aku manggut-manggut mendengar cerita Tyson di dalam pesawat kecil yang membawa kami ke pedalaman di mana markas kami berada.

‘Kasian juga Pak Nugi. Aku tak menyangka dibalik kesuksesan karir dan limpahan materi, ternyata beliau menyimpan masalah keluarga yang rumit,’ batinku. Namun yang membuatku salut, mantan atasanku itu tak pernah meninggalkan salat, bahkan selalu mengingatkan kami para bawahannya untuk menjaga salat di mana pun dan dalam kondisi bagaimana pun.

“Makanya Pak Nugi sedang gencar-gencarnya mencarikan jodoh untuk putrinya. Agar setelah Dewi menikah, mantan istrinya tak pernah berpikir lagi untuk mengambil Dewi dan membawanya ke Jakarta karena sudah ada yang bertanggung jawab atas Dewi.”

“Kamu kok tau semuanya, Son?” tanyaku menyelidik.

“Aku dulu dekat dengan Pak Nugi, sebelum kamu gabung dengar markas. Beliau sering bercerita tentang keluarganya padaku. Tapi sejak kedatanganmu gabung di markas, beliau kelihatannya lebih tertarik padamu. Padahal aku sempat berkhayal bakal dijodohin dengan putrinya. Meskipun tuna netra, kamu lihat kan body nya Dewi tadi. Uuuhhh ... aduhai ... sintal dan padat, kulitnya juga putih bersih.”

Kulempar wajah mesum Tyson dengan bantal kecil yang ada di dalam pesawat.

“Gimana Pak Nugi mau jodohin ama putrinya, muka kamu mesum gitu!” cetusku tertawa.

Bersambung.

BAB 5. GADIS YANG UNIK

Dua bulan setelah aku dan Tyson berkunjung ke rumah Pak Nugi, terjadi kontak sejata lagi antara TNI/Polri dan kelompok separatis. Salah satu rekan kami bahkan gugur dalam insiden tersebut, dan kelompok seperatis bisa menguasai markas kami di pedalaman. Kami yang terdesak mundur kemudian menghubungi ke Ibu Kota Kabupaten dan Ibu Kota Jayapura. Bantuan segera datang beberapa jam setelahnya. Sebuah pesawat kecil yang mendarat membawa pasukan yang diturunkan khusus untuk membantu kami.

Yang membuatku tercengang adalah sosok Pak Nugi yang berada di antara mereka. Rupanya beliau memilih memimpin langsung pasukan bantuan yang didkirim dari Jayapura. Mungkin karena beliau merasa sudah lebih menguasai medan karena pernah memimpin markas kami di sini.

Malam hari yang mencekam gelap gulita tanpa cahaya ketika markas terbaru kami kembali menerima teror penembakan dari arah hutan belantara Papua. Insting prajutir kami segera muncul. Aku dan rekan-rekanku, termasuk juga Pak Nugi langsung mengambil posisi siaga saat itu juga. Memang salah satu keahlian kelompok separatis di Papua adalah mereka dapat bergerak pasti dalam kegelapan, mereka sangat menguasai kontur hutan belantara Papua.

Beberapa menit setelah kontak senjata, kami tak lagi mendengar bunyi tembakan. Sepertinya mereka pun memilih tak melanjutkan kontak senjata. Aku menarik napas lega, paling tidak kami masih bisa bertahan hingga pagi hari. Hal yang selalu kami syukuri setiap harinya ketika bertugas di sini adalah ketika kami masih bisa melihat mentari pagi hari, apalagi setelah kontak senjata dengan kelompok separatis.

Aku baru saja hendak memejamkan mataku karena kantuk yang menghinggapiku setelah lelah seharian ini ketika kembali keudengar dua kali suara tembakan dari arah hutan. Mataku kembali melek dan memasang posisi siaga.

“Komandan tertembak!! Komandan tertembak!! Cepat cari bantuan!” Suara pekikan beberapa rekanku dari arah luar membuat terkejut. Aku dan beberapa rekanku langsung mengambil posisi untuk melindungi rekan kami yang lain yang sedang menolong korgan yang tertembak.

Sekilas dalam kegelapan aku melihat sosok berkharisma itu tergeletak tak berdaya, sedangkan beberapa rekan yang lain mmeberikan tindakan pertolongan pertama.

‘Ya Allah! Pak Nugi tertembak!’ teriakku dalam hati.

Kami masih beberapa kali berbalas tembakan ke arah hutan, dan baru berhenti keyika fajar mulai menyingsing. Ditengah keletihan luar biasa, aku masih melihat rekan-rekanku masih terus memberi tindakan pertolongan pada Pak Nugi yang sepertinya kondisinya sudah semakin lemah.

Pesawat TNI datang beberapa saat kemudian untuk mengevakuasi Pak Nugi ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif.

“Randy, ikutlah ke dalam pesawat,” ucapnya pria paruh baya itu terbata-bata memintaku untuk menemaninya. Tanpa membuang-buang banyak waktu, aku pun ikut masuk ke dalam kabin pesawat yang akan membawa Pak Nugi ke rumah sakit.

Pesawat segera mengudara setelah Pak Nugi telah berada di dalam, kami semua memang harus terbiasa bergerak cepat. Aku dan salah satu rekanku terus menunggu Pak Nugi di sampingnya di dalam pesawat yang mengangkut kami. Sepertinya Pak Nugi sudah sangat banyak kehilangan darah. Meski pun ia masih tetap sadar, namn kondisinya terlihat sangat lemah, bahkan semakin lemah.

“Randy ... seper ... tinya ... Bapak tidak ... akan ... bertahan ....” Suara Pak Nugi terbata-bata membuatku segera menggenggam tangannya.

“Siap, Pak! Bapak harus bertahan! Bapak pasti bertahan!” ucapku memberinya semangat. Rekanku pun berucap hal yang sama di sampingku.

“Boleh ... kah ... Bapak meminta sesuatu ... padamu? Bapak mohon ... kamu ... bisa ... mengabulkan ... permintaan terakhir Bapak.”

“Siap! Saya akan mendengarkan!” Air mataku mulai menetes, aku merasa kondisi beliau semakin menurun.

“Menikahlah dengan Dewi putriku ... Bapak ... percaya padamu ... hanya kamu ... yang Bapak yakini ... bisa ... melindungi dan ... menjaga Dewi.”

Aku terkesiap. Otakku harus kupakai berpikir cepat, kurasa kami sedang berkejaran dengan waktu saat ini.

“Siap! Tapi saya sudah berkeluarga, Pak!”

“Nikahi ... Dewi ... secara ... siri. Dia tak akan menuntut apapun padamu. Dia ... hanya perlu status dan sosok untuk ... tempatnya berlindung. Bapak ... Bapak ... sudah tak bisa lagi mengaja dan melindunginya dari ... dari ....” Napas Pak Nugi semakin tersengal-sengal.

Aku tak lagi menjawab, buru-buru kubetulkan selang oksigen yang terpasang di hidungnya agar ia bisa menghirup oksigen lebih baik lagi.

“Berjanjilah padaku!” Tiba-tiba saja pria itu memegang tanganku dan menatapku memohon.

Ya Allah! Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Aku memang dididik untuk mengikuti semua perintah atasanku, tapi untuk hal seperti ini, apakah aku juga harus mematuhi perintahnya.

Namun ternyata aku memilih menganggguk, dan menjawab permintaan Pria itu sebelum ia benar-benar tak sadarkan diri.

“Siap, Pak! Saya bersedia dan saya berjanji!” ucapku dengan lantang dan pasti.

***

Pak Nugi dirawat intensif di Ruang ICCU Rumah Sakit TNI sesampainya di Jayapura. Beliau sama sekali tak boleh dijenguk selama menjalani perawatan intensif. Aku dan rekanku masih mendapat mandat untuk berada di Jayapura dan mengurus beberapa laporan terkait kontak senajata kemarin di Kantor Pusat Jayapura. Sesekali aku mengunjungi Rumah Sakit dan terus memantau perkembangan kondisi Pak Nugi. Dewi, putri Pak Nugi pun selalu terlihat berada di sekitar ruangan ICCU. Rupanya gadis itu pun tak pernah meninggalkan sang ayah.

Aku selalu mencuri-curi pandang pada gadis itu. Ternyata benar apa yang dikatakan Tyson tempo hari, meski gadis itu tuna netra, tapi ia adalah gadis yang sangat cantik. Kulitnya putih bersih dan bercahaya, matanya pun kelihatan bersinat tajam meski pun sebenarya ia tak bisa melihat. Seorang asistennya terus berada di sampingnya dan menuntunnya melakukan apapun. Menatapnya dari jauh membuatku mengingat akan janjiku pada ayah gadis itu. Aku telah berjanji pada Pak Nugi untuk menikahinya.

Dalam hati aku berdoa agar Pak Nugi bisa segera sadar dari komanya, dan aku akan membicarakan hal ini kembali padanya. Keadaan mendesak saat di pesawat waktu itu membuatku berjanji padanya tanpa berpikir panjang lagi. Padahal aku sadar akan statusku yang telah menikah. Lagipula, profesiku sebagai aparat TNI tak memperbolehkanku untuk memiliki istri lebih dari satu, dan kukira Pak Nugi sangat tau aturan itu. Maka aku berharap beliau segera sadar agar aku bisa menanyakan kembali maksud dari permintaan beliau waktu itu.

Namun harapanku tinggallah harapan. Ternyata Pak Nugi berpulang pada hari ketiga ia dirawat. Kami semua berduka, Pak Nugi telah gugur akibat kontak senjata dengan kelompok separatis yang dulu pernah ditaklukkannya dan membawanya ke jabatan yang lebih tinggi.

Aku terenyuh ketika melihat Dewi menangis tergugu di kursi depan Ruang ICCU ditemani oleh asistennya. Bahu gadis itu terlihat naik turun dengan posisi kepala tertunduk. Kurasa merasakan kesedihan yang begitu mendalam dengan kepergian ayahnya. Aku dan beberapa rekanku yang berdiri terpaku di lorong rumah sakit menepi saat ia dan asistennya berjalan melewati kami, sepertinya ia hendak menuju ke parkiran mobil. Mungkin akan pulang ke rumahnya dan menunggu jenazah Pak Nugi di sana.

Gadis itu berhenti ketika berada tepat di hadapanku, sebelumnya kulihat sang asisiten membisikkan sesuatu padanya. Aku terkejut ketika ia mengarahkan wajahnya padaku, ia benar-benar tak terlihat seperti seorang tuna netra. Dewi seolah menatapku tajam.

“Apa Anda yang bernama Randy?” tanyanya tegas. Kurasa gadis ini mewarisi karakter tegas ayahnya.

“Ya, benar. Saya Randy,” jawabku.

“Ayah saya menitipkan beberapa pesan sebelum meninggal tadi. Kurasa saya perlu bicara dengan Anda setelah proses pemakaman Ayah selasai.”

“Apa kamu bisa melihatku?” Aku tak dapat lagi menahan pertanyaan di benakku.

“Kurasa Anda sudah tau kalau saya tuna netra. Bagaiamana mungkin saya bisa melihat Anda?”

“Lalu bagaimana kamu tau ini aku dan aku ada di sini.”

“Asisitenku bisa membaca dengan jelas papan nama di dadamu,” jawabnya tegas, kemudian melangkah pergi.

‘Gadis yang unik,’ batinku tersenyum memandangi punggunggnya yang berjalan menjauh.

Bersambung.

Jangan lupa tekan love dan tinggalkan komen ya🥰

BAB 6. DENYUT NYERI DI JANTUNGKU

PoV Hannan.

“Izinkan aku mendua, Bun. Aku berjanji akan bersikap adil seadil-adilnya.” Aku terkesiap, tega-teganya lelaki ini berkata seperti itu padaku. Dadaku merasa sesak oleh permintaan tak masuk akalnya.

“Ceraikan aku!!!” ucapku dengan nafas tersengal.

Sakit sekali rasanya mendengar permintaan suami untuk yang meminta izin untuk mendua. Masih punya perasaan kah lelaki di hadapanku ini hingga tega meminta izin untuk mendua? Seolah itu hanya permintaan biasa, padahal ada goresan luka di dalam hatiku mendengar permintaannya itu.

“Aku tak akan menceraikanmu!”

Aku baru saja hendak menjawabnya ketika Zayn putra bungsuku tiba-tiba saja sudah muncul di depan hadapanku.

“Ayah? Ayah pulang? Yeee Ayah pulang!” seru balita itu sambil menyerbu ke dalam dekapan ayahnya. Aku berusaha tersenyum pada Zayn ketika bocah itu menatapku berbinar-binar dalam dekapan ayahnya.

“Bunda napa nggak bangunin Zayn tadi? Kan Zayn bica main lama-lama cama ayah,” protesnya padaku dengan suara cadelnya.

“Bunda baru aja mau bangunin Abang Zaid dan Zayn tadi, ehh Zayn nya udah bangun duluan sebelum Bunda bangunin. Lagian ayah baru aja tiba, kok,” jawabku tetap berusaha menyunggingkan senyum pada putraku.

“Ya udah, Bunda bangunin Abangmu dulu ya,” lanjutku lagi lalu melangkah ke dalam kamarku berniat membangunkan putra sulungku.

“Biar Abang yang bangunin, Bun.” Tiba-tiba saja sosok tinggi tegap itu sudah berdiri di sampingku dan menepuk lembut pundakku saat aku tengah duduk di pinggir tempat tidur berusaha membangunkan Zaid.

Aku segera beranjak dari sana, masih tak sudi rasanya aku berdekatan dengan lelaki itu. Kulihat Bang Randy melirikku sekilas, mungkin ia merasa jika aku berusaha menghindar darinya.

Beberapa saat kemudian aku sudah mendengar Bang Randy serta kedua putraku bermain dengan serunya di ruang tengah rumah sederhana ini. Aku akui, Bang Randy adalah ayah yang baik dan sangat dekat dengan kedua anakku. Kehadirannya dan kepulangannya selalu menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh Zaid dan Zayn. Bahkan telepon darinya pun merupakan hal paling menyenangkan bagi kedua putraku, mengingat Bang Randy memang jarang sekali menelepon ketika sedang berada di pedalaman Papua.

“Kapan Ayah pulang?” tanya putra sulungku saat kami berempat sedang menikmati makan malam di meja makan.

Ya, meskipun tak mengajaknya ngobrol, aku tetap menyiapkan menu makan malam untuk keluargaku, termasuk Bang Randy. Aku tak ingin anak-anakku melihat kejanggalan hubunganku dengan ayahnya, aku masih belum siap jika mereka bertanya.

“Besok subuh-subuh sekali Ayah sudah harus kembali, Nak. Mungkin Zaid dan Zayn belum bangun besok ketika Ayah sudah harus berangkat lagi,” jawabnya sambil melirikku. Kurasa ia sengaja menjelaskannya sekalian memperdengarkannya padaku. Aku bergeming, tak bereaksi, dan hanya fokus dengan makananku sambil sesekali menegur Zayn jika makanannya berantakan.

Malam ini aku memilih tidur di kamar sebelah. Kubiarkan kedua putraku melepas kangen pada ayahnya dan tidur di kamar kami. Beruntung Zaid dan Zayn bisa menerima penjelasanku ketika mereka mananyakan mengapa aku justru di kamar sebelah. Kuberikan alasan pada mereka bahwa tempat tidur kami tak muat jika aku ikut tidur di sana, dan aku ingin mereka menghabiskan waktu bersama ayah mereka malam ini.

Kurebahkan tubuh di tempat tidur sempit yang memang hanya muat untuk satu orang di kamar ini, kamar yang memang jarang digunakan karena kedua putraku masih memilih tidur di kamarku, meskipun aku sudah melatih Zaid untuk pindah ke kamar ini mengingat usianya sudah 7 tahun.

Masalah berat yang membebani pikiranku sejak kemarin membuat tubuhku terasa sangat lelah dan mengantuk. Aku baru saja mulai terlelap dalam buai mimpi ketika merasakan ada yang mencium keningku. Dengan sisa-sisa tenagaku aku kembali membuka mataku dan mendapati wajah Bang Randy tepat di depanku. Dengan refleks aku menghindar dari wajahnya yang sudah berhadapan denganku, bahkan aku bisa merasakan nafas hangatnya menerpa wajahku. Buru-buru aku bangkit dari tidurku dan memilih duduk di tepi tempat tidur.

“Bun, aku tak punya banyak waktu. Percuma saja aku bela-belain pulang jika Bunda tak bisa diajak bicara seperti ini.”

Rasa kantukku mendadak hilang begitu saja.

“Lancang sekali Abang masuk ke sini. Apa Abang yang tidur di sini, biar aku yang menemani anak-anak.”

Astaghfirullah, lancang gimana sih Bun? Aku ini suamimu.”

“Itu karena kita belum bercerai. Tapi bagiku, Abang sudah bukan suamiku lagi sejak aku melihat foto-foto dan video itu! Terlebih dengan pengakuan dari Abang!”

Sekali lagi aku meninggikan suaraku. Kuakui aku memang wanita yang berwatak keras, apalagi menghadapi masalah seperti ini. Aku terluka, maka aku akan berusaha menghindari sumber luka itu.

“Bun, dengarkan aku. Abang berjanji akan bersikap adil pada kalian. Aku sudah berpikir panjang sebelum melakukan ini, Bun. Aku menikahinya bukan semata karena keegoisanku, Kalian bertiga, Bunda dan juga kedua putra kita juga menjadi alasanku menikahinya.”

Aku mengeryitkan keningku, berusaha memahami apa maksud ucapan lelaki itu.

“Bukan karena keegoisanmu? Lalu karena apa? Karena nafsumu? Kamu sudah menghianatiku dan anak-anak, Bang!”

“Dengarkan penjelasanku dulu, Bun.” Ia berusaha meraih tanganku, namun kutepis tangannya dengan kasar.

“Aku akan melaporkanmu ke kesatuanmu! Apa Abang sudah lupa dengan profesi Abang? Apa Abang sudah lupa jika Abang adalah seorang aparat TNI? Apa Abang sudah lupa peraturan yang mengikat anggota TNI? Aku istri sahmu, Bang. Istri yang diakui oleh hukum di negara ini. Apa kamu sadar apa akibatnya jika aku melaporkan tindakanmu ini?”

“Ya, aku tau itu, Bun. Aku sudah memikirkannya matang-matang,” ucapnya sambil menghela nafasnya.

Aku memilih diam, menunggunya meneruskan kalimatnya.

“Aku akan mengundurkan diri dari profesiku sebagai aparat TNI,” lirihnya.

Aku terhenyak, tak bisa menyembunyikan rasa kagetku.

“Apa maksud Abang?”

Lelaki itu kembali menghela nafasnya. “Aku sadar sudah melanggar peraturan, Bun. Maka aku sendiri yang akan mengundurkan diri dari TNI.”

“Kamu gila, Bang? Menjadi TNI adalah cita-citamu sejak dulu. Lalu sekarang Abang akan melepas semua yang telah Abang raih hanya karena wanita itu?” Aku menatapnya tak percaya.

“Maka dengarkan penjelasanku dulu, Bun. Bukan hanya demi Dewi, tapi juga demi Bunda dan anak-anak.”

‘Ohhh, jadi wanita itu bernama Dewi?’ batinku. Hatiku berdenyut nyeri mendengar suamiku menyebut nama wanita lainnya di hadapanku.

💥Bersambung💥

Jangan lupa tekan love dan tinggalkan komen ya akak-akak🥰

BAB 7. AKU MENGINGINKANMU

Aku mengelak dan semakin menjauhkan diriku dari Bang Randy ketika lelaki itu menggeser duduknya lebih mendekat padaku. Ia menatapku tajam.

“Percayalah padaku, Bun. Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku akan mengajukan pengunduran diri dari TNI, dan mengurus usaha ayah Dewi. Dengan begitu aku bisa pulang dan bertemu Bunda dan anak-anak kapanpun aku rindu.”

Hatiku semakin terhimpit oleh sesaknya luapan perasaanku.

“Abang pikir aku boneka yang tak punya perasaaan? Abang pikir aku masih akan merindukanmu setelah kamu menduakanku? Hebat sekali perempuan itu bisa mengubahmu secepat ini, Bang? Kamu sudah lupa bagaimana perjuanganmu dulu demi lulus menjadi anggota TNI dan mewujudkan cita-citamu? Kamu berubah, Bang! Aku tak mengenalimu lagi.”

“Bun, keadaan berubah setelah aku merasakan beratnya tugas di pedalaman. Aku harus loyal pada kesatuanku sedangkan hatiku kadang memberontak terisi kerinduan pada keluargaku. Kurasa ini adalah jalan keluar bagi kita, Bun. Aku akan membantu Dewi mengurus usaha peninggalan ayahnya yang juga atasanku dulu, dan kehidupan kita pun akan lebih baik. Aku akan lebih sering pulang ke rumah dibanding dulu, Bun. Dewi pun sangat membutuhkan kehadiranku dalam hidupnya. Kurasa kita bisa hidup dengan bahagia, Bun. Toh, Bunda dan Dewi tidak tinggal di kota yang sama.”

“Berhenti menyebut namanya di hadapanku, Bang! Kamu benar-benar keterlaluan! Bisa-bisanya menawarkan hal seperti itu padaku. Kurang setia apa aku yang selalu menantimu kembali dari tugas muliamu? Kurang doa apa yang kupanjatkan agar suamiku di sana selalu dalam lindungan-Nya dan bisa kembali pulang suatu saat memelukku dan anak-anakku? Aku bangga, Bang. Aku bangga dengan profesimu sebagai abdi negara. Aku sangat bangga meskipun harus hidup sederhana dan melewati banyak hari-hariku ditemani rasa rindu padamu. Aku tak pernah menyangka suami yang sangat kubanggakan ini ternyata justru jatuh dalam godaan wanita lain, wanita kaya raya yang ternyata putri dari atasannya sendiri.”

“Bunda!” Tangan Bang Randy kembali berusaha meraih tubuhku ketika ia mendengar kalimatku yang semakin meninggi. Aku kembali menepis kasar tangannya.

“Jangan sentuh aku! Aku jijik dengan sentuhan Abang!”

Bang Randy menyugar kasar rambutnya.

“Bunda, tenangkanlah dirimu. Abang harap kamu mau mengenal Dewi lebih dulu sebelum mencap dia sebagai wanita penggoda. Ia justru menitip salam padamu dan anak-anak saat tau aku akan mengunjungi kalian.”

“Sudah kubilang jangan menyebut namanya di hadapanku!”

“Kenapa Bunda keras kepala seperti ini? Lalu apa mau Bunda sekarang? Aku sudah menikahinya! Ia juga istriku sekarang!”

“Ceraikan aku! Hanya itu pintaku sekarang! Aku tak pernah mau diduakan! Aku tak pernah mau membagi hati. Jika Abang memang memilih bersamanya, tinggalkan aku!”

“Kamu nggak mikirkan anak-anak, Bun?”

“Justru aku memikirkan mereka, Bang. Aku bukan Abang yang hanya memikirkan nafsu. Pergilah dengannya jika itu pilihanmu. Aku sudah tak peduli Abang mau mengundurkan diri dari TNI dan melupakan semua cita-cita mulia Abang selama ini atau tidak. Aku benar-benar sudah tak peduli!”

“Tapi aku peduli, Bun. Tak bisakah kamu menghargai langkahku ini. Apa Bunda pikir ini bukan pilihan berat bagiku? Berat, Bun ... sangat berat. Ketika aku harus melupakan semua perjuanganku selama ini untuk meraih cita-citaku.”

“Keluar dari kamar ini, Bang. Aku sungguh tak mengenalmu lagi! Kamu sekarang orang asing bagiku!”

Bang Randy menatapku dengan mata memerah. Entah karena marah atau karena menahan air matanya, aku sudah tak peduli lagi. Bagiku, ia sudah benar-benar seperti orang asing saat ini. Terlebih ketika dari bibirnnya beberapa kali terucap nama wanita lainnya. Apapun alasannya, bagaimana pun kondisi wanita yang katanya tuna netra itu, istri mana yang sanggup mendengar alasan tak masuk akal seperti itu dari suaminya.

“Mana ponselmu, Bun? Siapa yang mengirimkan foto-foto dan video pernikahanku kemarin padamu? Aku harus memberi pelajaran pada orang itu. Ia sudah menghancurkan semua rencanaku. Aku sudah punya rencana untuk membicarakan hubungan ini baik-baik dengan Bunda. Meminta izin dengan lembut pada Bunda agar Bunda mengerti jika aku melakukan ini bukan semata untuk diriku sendiri.”

“Meminta izin? Meminta izin setelah kamu mendua? Abang yakin masih waras? Untuk apa kamu menyalahkan orang lain, Bang. Kamu! Kamu sendiri sumber dari semua masalah ini. Apa Abang pikir aku akan mengabulkan keinginan Abang untuk menduakanku? Abang benar-benar semakin membuatku jijik! Untuk apa Abang datang ke sini menemuiku? Bukannya ini adalah malam-malam indahmu dengannya? Bagaimana rasanya, Bang? Masih adakah bayangan kami terlintas ketika Abang menghabiskan malam bersamanya? Masih adakah rasa bersalahmu padaku? Setidaknya pada anak-anakmu?” Air mata yang sedari tadi kutahan mulai menyeruak satu-persatu dari pelupuk mataku. Bagaimana pun kerasnya karakterku, aku tetaplah seorang wanita. Sisi hatiku yang terluka membuatku tak sanggup lagi membendung perasaanku.

“Jangan menangis, Bun. Nanti anak-anak terbangun. Oke, maafkan aku. Aku akui semua kesalahanku, mari kita memperbaikinya demi anak-anak kita. Demi Abang Zaid dan Zayn. Abang sayang kalian bertiga, Bun. Kemarilah ... katakan padaku apa yang Bunda inginkan. Apa Bunda ingin Abang mengurungkan niat untuk mundur dari TNI? Abang akan kembali mempertimbangkannya jika itu keinginan Bunda.”

Aku merasa tertantang ingin menguji sampai di mana lelaki yang sudah bersamaku selama 8 tahun ini memperjuangkan hubungan kami.

“Aku ingin seperti dulu. Tak ada orang lain selain aku dan anak-anak kita!” Aku menatapnya tajam. Aku sudah siap apapun jawabannya.

Jika pun nantinya ia mau mengabulkan keinginanku, tak semudah itu juga aku akan kembali padanya. Keputusannya untuk menikah lagi di belakangku dan menduakanku sudah cukup bagiku jadi alasan untuk berpisah. Terlebih lagi aku sangat yakin jika lelaki itu pasti sudah menjamah wanitanya. Ia sudah berbulan-bulan berada di pedalaman, kurasa status nikah siri mereka kemarin sangat cukup baginya untuk melampiaskan semuanya. Bagaimana pun Bang Randy lelaki normal, bahkan bagiku yang sudah 8 tahun menjadi istrinya, ia tipe lelaki yang sangat mampu memuaskan wanita. Apalagi dari foto-foto yang kulihat di ponselku kemarin, wanita yang dinikahinya itu sangatlah cantik. Wajahnya bersinar dan bentuk tubuhnya pun sangat proporsional. Bahkan tak ada satupun fotonya yang menampakkan jika wanita itu seorang tuna netra.

Seperti dugaanku sebelumnya, Bang Randy menjawabku dengan gelengan pelan.

“Aku tak bisa meninggalkannya, Bun. Ia benar-benar membutuhkan kehadiranku. Aku juga sudah terikat janji pada ayahnya sebelum beliau meninggal.”

Mataku kembali memanas. Kini aku bisa memastikan, hati lelaki itu sudah bukan lagi untukku. Ia telah berubah. Lelaki yang kukenal sejak di bangku SMU ini kini bukan lagi dirinya yang dulu. Sudah cukup. Mungkin memang jodohku dengannya hanya sampai di sini.

“Abang yang keluar dari kamar ini, atau aku yang keluar,” lirihku.

“Tolong mengertilah sekali ini saja, Bun.”

Aku tak menjawab dan memilih berdiri untuk meninggalkan kamar mungil yang akan menjadi kamar Zaid ini. Namun baru saja aku membuka pintu kamar ketika tangan kekar Bang Randy menutup kembali pintu yang baru terbuka sedikit. Lelaki itu kemudian memangkas jarak dan mengunci tubuhku di antara kedua lengannya.

“Abang mau apa?” tanyaku panik ketika melihat kilatan mata elangnya.

“Aku menginginkanmu, aku merindukanmu!”

Tiba-tiba saja ujung hidungnya sudah menyentuh hidungku. Ada desiran halus di dalam dadaku. Sejujurnya aku pun sangat merindukan lelaki ini, merindukan semua sentuhannya. Namun yang kurindukan adalah sentuhan suamiku, suami yang menjadikan aku satu-satunya wanita di hatinya. Bukan sentuhan lelaki yang berwujud suamiku tapi hatinya telah terbagi pada wanita lain.

“L- lepaskan ak ....” Kalimatku belum juga selesai ketika aku merasakan bibir tebalnya sudah mendarat sempurna di bibirku, sementara tubuhku masih terkunci oleh kedua lengan kekarnya yang membuatku tak bisa bergerak. Bagaimana ini?

Bersambung.

BAB 8. YANG MELEPAS DAN YANG MENYAMBUT

Pov Randy.

Fajar belum lagi menyingsing ketika aku terpaksa harus kembali meninggalkan istriku Hannan dan kedua putraku di rumah sederhana peninggalan mendiang orangtua Hannan yang sudah kami tinggali bersama selama 8 tahun. Kedua putraku, Zaid dan Zayn bahkan masih terlelap dalam tidurnya ketika aku sudah harus berangkat lagi. Meski masih merasa berat meninggalkan mereka bertiga, namun statusku yang masih sebagai aparat TNI aktif mengharuskanku untuk tetap menjunjung tinggi kedisiplinan.

Sebenarnya kepulanganku kali ini benar-benar menyisakan masalah baru dalam hubunganku dengan Hannan. Bagaimana tidak, wanita yang sudah kunikahi selama 8 tahun ini meminta bercerai dariku. Aku paham, keputusanku untuk menduakannya dengan menikahi Dewi pastilah melukai hatinya. Tapi justru itulah aku rela datang walau cuma beberapa jam untuk bertemu langsung dengannya dan menjelaskan semuanya, sekaligus meminta izinnya untuk hubunganku dengan Dewi. Namun ternyata Hannan tetap tak bisa menerima semua alasanku dan tetap memintaku untuk menceraikannya.

Aku tersenyum miris mengingat bagaimana reaksinya semalam saat aku berusaha mendekatinya, tak kusangka Hannan justru menggigit kuat bibirku saat aku berusa mencium wanita itu. Padahal aku begitu menginginkannya semalam, aku sangat merindukannya. Meski malam sebelumnya aku juga telah menghabiskan malam panjang dan panas dengan Dewi, istri baruku. Namun Hannan tetaplah wanita yang begitu kuinginkan, ia adalah cinta pertamaku. Terlebih lagi kami sudah lama menjalani hubungan jarak jauh karena aku harus bertugas di pedalaman Papua.

Kupikir Hannan juga akan merindukan sentuhanku, sebab selama ini ia selalu takluk padaku ketika aku kembali. Namun, gigitannya di bibirku tadi malam benar-benar menyakitiku dan membuatku terpaksa melapaskan kungkunganku padanya. Sampai saat ini bibirku bahkan masih terasa panas dan bengkak akibat ulah brutal Hannan.

Wanita itu melepaskan diri dan berlari masuk ke dalam kamar kami dan mengunci pintunya ketika ia lepas dari kungkunganku, membuatku terpaksa tidur sendirian berteman dingin di kamar kecil milik Zaid semalaman tadi.

“Jangan coba-coba memperlakukanku seperti tadi malam,” ucapnya sinis ketika melihatku bangun tadi subuh.

“Aku sengaja bangun pagi-pagi buta karena aku tau kamu akan berangkat. Bukan karenamu, tapi demi anak-anak. Berpamitanlah pada anak-anak sebelum Abang pergi. Meski mereka masih terlelap, namun mereka pasti bisa merasakan jika ayahnya sudah berpamitan,” lanjutnya tanpa menatapku.

“Bun, haruskah hubungan kita menjadi rusak seperti ini?” tanyaku lirih. Biasanya aku akan memberikan pelukan ataupun ciuman selamat pagi padanya, namun kali ini itu tak mungkin kulakukan. Ia bahkan sudah memeperingatiku sebelum aku berniat mendekatinya.

“Bukan aku yang merusak hubungan ini, tapi Abang yang sudah merusaknya! Aku akan mengajukan gugatan cerai pada Abang. Meski aku belum tau bagaimana caranya, sebab hal itu tak pernah terlintas di benakku selama ini.”

“Jika aku mengajak Dewi bertemu Bunda. Apa kamu akan berubah pikiran, Bun? Kenalilah dia dulu, kalian bisa menjadi sahabat. Dia wanita yang baik, Bun,” gumamku.

“Sudah kubilang jangan menyebut nama wanitamu itu di hadapanku!!!” bentaknya kasar kemudian melempar gelas yang sedang berada dalam genggamannya.

Gelas yang dilemparkan seketika pecah berkeping-keping dan menimbulkan bunyi yang nyaring khas benda pecah.

Astaghfirullah!” seruku terkejut.

“Abang liat pecahan gelas itu? Seperti itulah perasaanku sekarang. Hancur berkeping-keping setelah Abang mengkhianati pernikahan kita. Masih bisa kah Abang mengembalikan gelas itu kembali utuh? Maka seperti itu pula hatiku. Abang tak akan bisa mengembalikan apa yang sudah Abang hancurkan, apa yang sudah Abang rusak. Hubungan kita pun seperti itu, tak akan bisa kembali seperti dulu lagi meski seribu alasan yang Abang berikan.”

Aku hanya menarik napas kasar mendengar ucapannya. Aku tau Hannan adalah tipe wanita keras kepala, namun aku tak menyangka kali ini benar-benar melihat kemarahan di dalam matanya. Padahal biasanya, sekeras-kerasnya Hannan, ia akan selalu tunduk dan menurut padaku. Itulah yang membuatku waktu itu yakin untuk menikahinya dan menjadikannya ibu dari anak-anakku.

Kini aku hanya bisa menatap kosong pada wanita itu. Ia masih menyediakan nasi panas dan telur dadar serta segelas teh untukku, namun tak ada lagi senyum manis di wajahnya untukku. Ekspresinya benar-benar datar saat menyuguhkan makanan untukku sebelum berangkat.

“Makanlah dulu sebelum berangkat. Jangan lupa berpamitan pada anak-anak setelah itu,” ucapnya meninggalkanku di meja makan seorang diri.

Leherku terasa tercekat menikmati makanan yang disuguhkannya. Haruskah aku menyesali tindakanku ini? Haruskan aku menyesali menikahi Dewi? Tapi gadis itu pun membutuhkan kehadiranku dalam hidupnya. Ia bahkan sudah menyerahkan semuanya padaku, tidak hanya tubuh mulusnya, tapi juga seluruh hak untuk menjalankan usaha peninggalan orangtuanya.

Lalu keberangkatanku untuk kembali ke tempatku bertugas kali ini benar-benar sunyi. Hannan bahkan tak mau membuka pintu kamar saat aku mengetuknya dan mengatakan akan berpamitan.

“Hati-hati di jalan, Bang.” Hanya suaranya yang terdengar olehku dari balik pintu kamar Zaid.

“Keluarlah sebentar, Bun. Entah kapan aku bisa kembali lagi. Paling tidak antarkanlah suamimu sampai di depan teras,” pintaku.

“Pergilah, Bang. Gapailah apa yang kamu inginkan. Jangan pedulikan aku, jangan jadikan aku sebagai penghalang.”

“Bun ....”

“Maaf, Bang. Semua sudah berubah. Abang berubah, dan aku pun harus berubah. Hanya satu pintaku, tetaplah peduli pada anak-anak meski Abang sudah menemukan kebahagiaan lain di luar sana.”

“Bun ....” Kali ini aku terisak di depan pintu kayu yang masih tertutup rapat. Samar-samar aku juga mendengar isak tangis Hannan dari dalam sana.

“Maafin aku, Bun,” lirihku.

Tak ada lagi jawabannya dari balik pintu. Hanya terdengar isakannya yang semakin membuat ada yang hilang dari dalam hatiku.

“Aku pamit, ya, Bun.”

Hanya seperti itu ia melepasku tadi. Meski separuh hatiku pun merasa hancur, namun aku tetap harus berangkat. Meski langkahku kali ini pun terasa sangat berat, namun aku harus menghadapi ini. Maafkan aku, Hannan. Aku tak menyangka bisa melukai hatimu sedalam ini.

***

Hari masih pagi ketika aku kembali menginjakkan kakiku di Kota Jayapura, ibukota Provinsi Papua. Sambil menunggu jadwal pesawat kecil yang akan membawaku kembali ke markas, aku memesan transportasi online menuju rumah Pak Nugi, rumah Dewi, istriku.

Berbeda dengan situasi haru ketika berpamitan pada Hannan tadi subuh. Dewi justru menyambutku dengan senyum manisnya saat mendengarku mengucapkan salam.

“Sini ranselnya aku bawain, Mas,” ucapnya sambil berusaha meraih ransel yang masih berada di punggungku. Dewi memang memanggilku dengan sebutan “Mas Randy”.

Aku benar-benar takjub padanya, meski ia tak bisa melihat, tapi ia bisa tau aku sedang membawa ransel hanya dengan menyentuh bahuku.

“Kok kamu tau Mas bawa ransel?”

Style anggota TNI kan gitu, Mas. Kemana-mana bawa ransel. Mas lupa siapa Dewi?”

“Ah, iya. Maaf, Sayang. Mas lupa kalau istri Mas yang cantik ini putri kesayangan dari aparat TNI teladan.” Aku mencolek ujung hidungnya dengan jariku. Pipinya merona merah membuatku semakin gemas pada wanita berkulit putih bersih itu.

“Tapi sayangnya Ayah justru mengingkari kesetiaannya di akhir hidupnya,” gumamnya.

“Maksud kamu?”

“Dengan memintamu menikahiku padahal Ayah tau statusmu yang sudah menikah, Ayah telah melanggar janjinya pada Negara. Padahal selama baktinya sebagai TNI, Ayah selalu menjunjung tinggi kesetiaan. Ayah melakukannya hanya demi aku, demi putrinya yang memiliki kekurangan. Ayah rela melanggar janjinya demi aku,” ucapnya lirih.

Aku terpaku menatapnya. Kalimatnya barusan sekaligus menyindir dan menohokku.

“Aku pun sudah melanggar janjiku pada Negara.”

“Maka Mas Randy harus menebus semuanya dengan melepas pekerjaan dan status Mas sebagai aparat Negara.”

Aku menghela napas, banyak sekali yang harus kuurus setelah ini. Keputusanku untuk menikahinya benar-benar telah mengubah seluruh hidupku.

“Sudahlah jangan membahas itu dulu. Kamu nggak kangen sama suamimu, hmmm...,” bisikku di telinganya.

“Kangen, Mas. Kangen banget. Gimana urusan Mas di Jakarta? Lancar?” tanyanya.

“Nanti aja Mas ceritain, sekarang masuk ke kamar dulu, yuk. Mas kangen.”

Ia memekik tertahan ketika aku meraih tubuhnya dan menggendongnya menuju ke kamarnya.

💥Bersambung💥

Jangan lupa tinggalkan like dan komen ya kakak2 yang baik😍

BAB 9. AKU SUKA SUARANYA

Pov Dewi.

Kepergian mendadak ayahku yang menjadi korban kontak senjata dengan kelompok separatis di pedalaman membuatku sangat terpukul. Meski sedari kecil ayah sudah mendidikku untuk selalu siap kehilangannya sewaktu-waktu karena tugas beliau sebagai seorang aparat TNI. Namun, tetap saja kepergiannya membuatku kehilangan. Ayahku adalah sosok yang sangat luar biasa bagiku, aku tumbeh besar bersamanya, tanpa kasih sayang ibuku. Ayah dan Ibuku telah berpisah sejak aku kecil. Ibuku meninggalkanku dalam asuhan ayah setelah mereka bercerai. Bukan tanpa sebab, Ibuku tak mau mengasuhku sebab kabarnya beliau malu punya anak buta. Ya, aku memang buta sejak dilahirkan. Aku tak pernah melihat indahnya dunia ini.

Satu hal yang patut kusyukuri adalah Ayahku yang meski disibukkan dengan pekerjaannya sebagai aparat Negara, beliau tetap memberi perhatian penuh padaku. Bahkan semua orang-orang yang ada di sekelilingku adalah orang-orang yang dipilh ayah secara langsung. Ayah seolah mempunyai insting tentang siapa saja yang tulus menyayangiku. Mulai dari supir, asisten pribadi, sampai pelayan di rumah kami, semua adalah orang pilihan ayah, dan memang terbukti selama ini mereka semua adalah orang-orang yang sangat setia membantuku menjalani hari-hariku. Mereka semua bak sepasang mata yang sudah disiapkan ayah untuk membantuku mengenal dunia meski dalam kegelapan.

Aku memang dilahirkan di Kota Jayapura, meski sebenarnya Ayah dan Ibuku berasal dari Jakarta. Dari cerita ayah yang kudengar, beberapa bulan setelah Ayah dan Ibuku menikah, Ayah ditugaskan di Kota Jayapura, Ibukota Provinsi Papua. Ayah saat itu pun memboyong ibu ke Jayapura untuk mendampinginya selama bertugas. Ayah sendiri sesungguhnya putra dari pengusaha sukses di Jakarta, namun menurut Ayah, sejak kecil ia memang bercita-cita menjadi seorang TNI.

Maka saat kedua orangtua ayahku meninggal, ayah tetap mendapatkan warisan beberapa perusahaan milik kakekku. Ayah dan ibu pun tak pernah kekurangan dari segi perekonomian. Meski profesi ayah di awal menikah hanya sebagai aparat TNI yang masih berpangkat rendah, namun aliran dana dari perusahaan kakek selalu mengaliir ke rekening ayah. Itulah sebabnya ayah bisa membangun rumah mewah di jantung Kota Jayapura demi kenyamanan ibu yang pada saat itu tengah mengandungku.

Sayang seribu sayang, kehadiranku di tengah-tengah keharmonisan hubungan ayah dan ibuku justru membuat keadaan berangsur-angsur berubah. Menurut ayah, ibu sering kali meninggalkanku dengan pengasuh bayi dan pulang ke Jakarta selama berbulan-bulan. Itulah sebabnya sedari kecil, aku lebih dekat dengan pengasuhku dibanding dengan Ibu kandungku sendiri. Kondisiku yang terlahir dalam keadaan cacat tuna netra membuat ibuku seakan menjauhiku. Hubungan ayah dan ibupun mulai renggang dan sering terjadi cekcok hingga akhirnya ibuku mengajukan gugatan cerai pada ayah dan kembali ke Jakarta. Usiaku baru mengunjak 7 tahun waktu itu.

“Sekarang hanya tinggal kita berdua, Nak. Ibumu sudah memilih jalannya sendiri dan meninggalkan kita. Sedangkan Ayah punya segudang pekerjaan dan akan sering meninggalkan Dewi sendirian.” Aku masih ingat dengan jelas kalimat Ayahku saat itu.

“Kenapa Ibu ninggalin kita, Yah? Apa karena Dewi? Apa karena Dewi buta?” tanyaku dengan polos. Meski tak terlalu dekat dengan ibu karena beliau sering meninggalkanku sejak aku masih bayi, namun ia tetaplah ibuku. Aku tetap menyayanginya.

“Bukan, Nak. Bukan karena itu. Hanya saja Ayah dan Ibu sudah tak bisa lagi bersama. Dewi masih kecil, suatu saat nanti Dewi akan mengerti mengapa ibu meninggalkan kita. Jadi mulai sekarang Ayah akan menyuruh beberapa orang untuk selalu berada di samping Dewi dan menjagamu sepanjang hari, Nak. Karena Ayah tak bisa berada di sisimu sepanjang hari, Ayah punya tanggungjawab pekerjaan,” ucap Ayahku.

Sejak saat itulah aku selalu didampingi oleh asistenku yang selalu dipilih langsung oleh Ayah.

“Ayah sendiri yang akan menyeleksi orang-orang yang akan menjagamu, Nak. Termasuk menyeleksi jodohmu kelak.” Itu adalah salah satu kalimat ayah yang selalu dilontarkannya padaku ketika aku beranjak remaja.

Sejak meninggalkan kami, Ibuku hampir tak penah menghubungiku lagi, apalagi mengunjungiku. Dari cerita Ayah, kudengar Ibuku sudah menikah lagi beberapa bulan setelah bercerai dari Ayah. Padahal dari desas-desus yang hinggap di telingaku, aku mendengar rumor bahwa ternyata ibuku bahkan sudah menikah sebelum mereka resmi bercerai. Itu artinya ibuku mengkhianati ayahku. Namun aku memilih tak menanyakan itu pada ayah.

Namun ternyata lagi-lagi rumah tangga ibu kandas dengan suaminya setelah ayah. Dari kabar yang kudengar, suaminya hanya menguras harta ibu dan melakukan tindakan KDRT pada wanita yang telah melahirkanku itu. Semua itu kudengar dari pamanku, satu-satunya saudara ayah yang tinggal di Jakarta. Ibuku pun kembali menikah setlah bercerai dari suami keduanya, jadi suami yang bersamanya sekarang merupakan suami ketiga dari ibuku.

Sesekali jika aku liburan ke Jakarta, aku mengunjungi ibu. Entah itu di rumahnya ataupun di butik yang dikelolanya. Ibuku memang mengelola butik yang lumayan terkenal, semua modal usahanya diperolah dari harta gono-gini yang diberikan ayah ketika mereka berpisah.

“Dewi, maukah Dewi ikut tinggal di Jakarta dengan Ibu?” Aku terkejut ketika ibu mengatakan itu padaku saat aku mengunjunginya. Aku masih duduk di bangku SMP waktu itu, dan sedang berkunjung ke Jakarta karena sekolah sedang libur.

“Apa maksud Ibu?”

“Maafkan Ibu, Nak. Selama ini, selama Dewi lahir Ibu merasa Ibu sudah jahat padamu. Ibu tak sering meninggalkanmu dan tak mau mengurusmu. Sekali lagi maafin Ibu, Nak. Sekarang ... sekarang Ibu mendapatkan balasannya.” Kudengar wanita itu mulai terisak. Aku semakin tak mengerti.

“Ibu sudah menikah 2 kali setelah berpisah dengan ayahmu. Tapi sampai sekarang Ibu belum juga punya anak dari suami Ibu. Padahal dokter selalu mengatakan Ibu baik-baik saja dan tak ada masalah. Ibu rasa, Allah sedang menghukum Ibu karena dulu tak peduli padamu, Nak. Maukah Dewi ikut Ibu sekarang? Apalagi Ayah kamu pasti sibuk dengan tugas-tugasnya dan jarang di rumah.”

“Tidak, Bu! Dewi tak bisa!” Aku menolak dengan keras. “Meski Ayah memang jarang pulang karena tugas dan tanggungjawabnya, tapi Ayah selalu berusaha membuat Dewi tak kekurangan apapun. Ayah tak pernah membuat Dewi merasa kekurangan, Ayah sudah seperti mata bagi Dewi yang buta ini.”

“Ibu tak menyangka kamu sekeras ini, Nak. Pasti semua karena didikan keras Ayahmu. Tapi ingat, Ibu akan tetap memperjuangkanmu. Ibu ingin kamu berada dalam pengasuhan Ibu.”

***

“Ayah tak bisa bertahan, Nak. Biarkan Ayah gugur sebagai seorang pejuang. Ayah sudah menyiapkan calon suami yang akan mendampingi Dewi setelah Ayah pergi.” Aku terisak ketika mendengar kalimat Ayah saat itu, saat Ayah tengah sekarat di ICU akibat luka tembak.

Ayah bangun dan mencariku hanya untuk menyampaikan hal itu. Menceritakan dengan singkat tentang seorang lelaki yang merupakan bawahannya, yang disiapkannya untuk menjadi calon suamiku.

“Namanya Randy Maulana, dari awal mengenalnya Ayah sangat kagum padanya dan ingin ia menjadi suamimu. Tapi ia sudah berkeluarga, Nak,” ucap Ayah terbata-bata.

Aku terkejut. “Lalu mengapa Ayah ingin ia menikahiku jika ia sudah punya istri?”

“Entahlah, insting Ayah mengatakan hanya ia yang bisa mendampingimu setelah Ayah pergi.”

“Lalu bagaimana dengan statusnya sebagai aparat TNI, Yah? Bukankah ia akan menghianati janjinya pada negara jika menikahi Dewi?”

“Itulah yang menjadi tugas Dewi nanti setelah ayah pergi. Ayah percaya Dewi pasti bisa mencari jalan keluarnya. Ayah tau tindakan Ayah ini salah dan melanggar peraturan. Tapi hanya ini yang dapat Ayah lalukan diakhir hidup Ayah, Nak. Ayah ingin Dewi menikah dengan orang yang tepat. Meskipun akan banyak masalah ke depannya akibat keinginan Ayah ini. Ia juga sudah berjanji pada Ayah untuk menikahimu, Ayah rasa ia adalah laki-laki sejati yang bisa memegang janjinya. Carilah dia ... Ayah rasa ... ia masih ada di sekitar sini.”

Lalu ayahku benar-benar pergi diiringi ratap tangisku yang kehilangan sosoknya. Sosok yang bisa menjadi ayah sekaligus ibu bagiku.

Aku langsung memerintahkan pada asistenku untuk memberitahuku jika ia melihat seorang yang bernama Randy Maulana di sekitar rumah sakit ini.

Lalu aku menghentikan langkahku ketika asistenku membisikkan informasi itu padaku.

“Apa Anda yang bernama Randy?” tanyaku dengan suara tegas setelah merasa telah berdiri tepat di hadapannya.

“Ya, benar. Saya Randy,” jawabnya.

“Ayah saya menitipkan beberapa pesan sebelum meninggal tadi. Sepertinya saya perlu bicara dengan Anda setelah proses pemakaman Ayah selasai.”

“Apa kamu bisa melihatku?” .

“Kurasa Anda sudah tau kalau saya tuna netra. Bagaiamana mungkin saya bisa melihat Anda?”

“Lalu bagaimana kamu tau ini aku dan aku ada di sini.”

“Asisitenku bisa membaca dengan jelas papan nama di dadamu,” jawabku kemudian melangkah pergi. Jantungku berdetak tak karuan. Inikah suara lelaki yang diinginkan Ayah untuk menjadi suamiku? Aku menyukai suaranya!

💥Bersambung💥

BAB 10. REKAMAN SUARA AYAH

Pemakaman ayahku berlangsung khidmat dengan prosesi militer. Meski tak dapat melihat, tapi aku tau begitu banyak yang melepas kepergian ayahku di taman makam pahlawan. Banyak sekali yang datang mendekat dan menggenggam tanganku memberi kekuatan, meski aku hanya mengenal beberapa orang di antaranya lewat suara mereka, namun dukungan yang terus mengalir padaku membuatku sedikit terhibur.

Ibuku pun hadir di antara para pelayat, beliau langsung terbang dari Jakarta bersama suaminya beberapa saat setelah mendengar kabar meninggalnya ayahku. Om Ardi, pamanku, adik kandung satu-satunya dari ayahku juga datang bersama dengan istrinya dari Jakarta. Itu semua membuatku merasa tak sendirian di tengah kegelapan dan kesedihan karena kepergian ayah.

Lalu ketika kami semua sudah kembali ke rumah, tak kusangka ibuku justru mengatakan hal-hal yang membuat emosiku naik. Tega sekali wanita yang telah melahirkanku itu langsung membahas semua perusahaan milik ayah di Jakarta pada saat kami masih dalam suasana duka, bahkan mungkin taburan bunga yang baru saja kami tabur tadi masih segar di atas makam ayah.

“Ibu harus segera kembali ke Jakarta, Wi. Maka kita harus membicarakan ini sebelum Ibu pulang ke Jakarta. Ibu tak menuntutmu untuk ikut Ibu sekarang juga, namun kamu sudah harus memutuskan ini, Nak. Semua perusahaan ayahmu otomatis jatuh ke tanganmu setelah kepergiannya. Sedangkan kondisimu yang seperti ini tak mungkin untuk memimpin perusahaan. Maka Ibu harus turun tangan. Dewi harus ikut Ibu ke Jakarta dan Ibu akan mewakilimu dalam semua urusan perusahaan ayahmu.”

“Bu, Dewi tak mau ke Jakarta. Dewi sudah betah tinggal di sini. Mengenai urusan perusahaan Ayah, biar Om Ardi yang mengurusnya, jadi Ibu tak usah repot.”

“Apa maksudmu? Kamu tak percaya pada Ibumu? Mengapa kamu justru memberikan kuasa pada orang lain bukan ibumu?” Tiba-tiba suara seorang pria menimpali. Kurasa itu adalah suara dari Om Ivan, suami Ibu.

“Om nggak usah ikut campur,” ucapku kesal sambil menoleh ke arah suaranya tadi.

“Jangan kurang ajar pada ayah tirimu, Wi!” bentak Ibu.

Kurasa Ibu tau jika aku tak begitu menyukai suaminya itu. Bukan tanpa sebab aku tak menyukainya, beberapa kali saat aku menginap di rumah Ibu di Jakarta, aku menangkap hal aneh dari Om Ivan. Saat Ibu sedang tak di rumah karena mengurus butiknya, beberapa kali aku mendengar suara-suara aneh di dalam rumah ibu. Memang aku seorang gadis tuna netra, tapi Allah memberiku kelebihan berupa pendengaran yang lebih tajam dari pada orang lain pada umumnya. Asistenku tak mengerti saat aku menanyakan asal suara-suara aneh itu padanya, katanya ia tak mendengar apapun. Namun karena penasaran aku sendiri yang mencari asal suara itu. Apa yang kudengar berikutnya benar-benar membuatku terpukul dan kemudian membenci pria yang telah menikahi ibuku itu. Bagaimana tidak, dari balik pintu yang aku sendiri tak tau itu kamar siapa, aku mendengar desahan-desahan khas pergumulan orang dewasa dari dalam sana. Kemudian pembicaraan antara sepasang pria dan wanita.

“Kapan kamu menikahiku, Mas Ivan?”

“Sabar ya, Yuli. Mas masih menunggu saat yang tepat untuk menguras semua harta Hilda sebelum menceraikannya.”

Aku terkesiap. Yuli? Bukankah itu nama ART yang bekerja di rumah Bu Hilda, ibuku. Jadi Om Ivan selingkuh dengan pembantu Ibu? Bagaimana mungkin Ibuku memelihara benalu di rumahnya sendiri?

“Wi, Ibu sudah bikin perjanjian dengan Ayahmu sebelumnya. Jika Ayahmu sakit atau meninggal, maka hak pengasuhanmu akan jatuh ke tangan Ibu. Ibu yang akan mengurus kamu, termasuk semua usaha Ayahmu yang otomatis jatuh ke tanganmu. Tak ada orang lain yang memiliki hubungan dekat denganmu kecuali Ibu. Jika saja kamu normal, kamu memang tak memerlukan Ibu untuk turun tangan. Tapi kau berbeda Wi, kamu perlu orang terdekatmu untuk mengurusmu agar kamu tak dimanfaatkan oleh orang lain.” Suara Ibu membuyarkan lamunanku tentang kejadian di rumahnya waktu itu.

“Betul apa kata Ibumu, Wi. Ibumu hanya takut kamu dimanfaatkan orang lain yang menginginkan harta dan perusahaan peninggalan ayahmu.” Kembali terdengar suara Om Ivan yang makin membuatku muak.

“Kurasa bukan orang lain, tapi justru orang-orang disekitarku yang akan memanfaatkanku. Termasuk Om Ivan.”

“Dewi!!! Kenapa kamu bisa berkata kurang ajar begitu pada Om Ivan?” bentak Ibu.

“Ibu belum tau siapa dia, Bu. Selama ini suami yang ibu bangga-banggakan itu hanya memanfaatkan Ibu.”

“Dewi!! Lancang sekali kamu! Jika saja saat ini bukan dalam suasana berkabung, Ibu pasti sudah memberimu pelajaran atas kelancanganmu ini. Pokoknya Ibu nggak mau tau, kamu ikut Ibu ke Jakarta setelah semua urusan di sini beres dan serahkan semua kuasa pengeloaan perusahaan Ayahmu pada Ibu. Ibu punya salinan perjanjian atas hak asuhmu yang ditandatangani Ayahmu. Kamu tak bisa menolaknya kecuali ....”

“Kecuali apa, Bu?”

“Kecuali saat ini kamu sudah bersuami.”

Aku menghela napasku. Setitik benang merah tentang amanat Ayah yang berusaha keras mencarikanku calon suami sebelum kepergiannya menemukan jawabannya. Kurasa Ayah sudah tau akan ada kejadian seperti ini setelah kepergiannya.

“Tapi kamu tak mungkin menikah, Nak. Laki-laki mana yang mau menikahi gadis cacat sepertimu? Jadi kamu akan kembali pada Ibu.”

Ada rasa perih ketika Ibu yang telah melahirkanku berkata seperti itu. Disaat Ayah selalu menanamkan rasa percaya diriku meskipun aku berbeda, Ibuku justru melontarkan kalimat-kalimat yang membuatku merasa down. Inilah yang membuatku tak mau ikut wanita ini, terlebih dengan adanya Om Ivan yang kedoknya sudah kuketahui itu di sampingnya.

“Dewi akan segera menikah, Bu. Ayah sudah menyiapkan calon suami bagi Dewi sebelum Ayah pergi.”

Kudengar suara tawa sinis dari Ibuku.

“Kamu jangan mimpi, Nak. Lak-laki mana yang mau menikahi gadis tuna netra?”

“Saya! Saya yang akan menikahi Dewi!”

Aku terkejut mendengar suara itu. Suara tegas dan lantang yang baru tadi pagi kudengar di rumah sakit saat aku menegurnya.

“Mas Randy!!!” seruku sambil menoleh ke asal suara tadi meski yang kulihat hanyalah kegelapan.

“Siapa kamu? Apa maksudmu akan menikahi putriku?”

“Saya Randy, saya sudah berjanji pada mendiang Pak Nugi sebelum dia meninggal untuk menikahi putrinya. Jadi jangan pernah memaksa Dewi lagi karena kami akan segera menikah!”

“Diam kamu! Kamu pasti hanya memanfaatkan Dewi dan menginginkan hartanya!”

“Saya mengemban amanat dari Almarhum Pak Nugi,” sahutnya.

“Mana buktinya?” tantang Ibuku.

“Dewi punya buktinya, Bu,” jawabku pasti.

Beruntung disaat-saat terakhir Ayahku, beliau menyuruhku merekam seluruh isi pembicaraan kami. Menurut Ayah, aku akan memerlukan semua itu kelak. Tapi ternyata bukan besok atau lusa, bahkan di hari pemakaman Ayah, aku sudah memerlukan semua rekaman itu untuk menentang keinginan Ibu yang tidak masuk akal. Aku meraih gawaiku dan menyerahkannya pada asistenku untuk memutar rekaman pembicaraan terakhirku dengan Ayah sebelum kepergiannya.

💥Bersambung💥


Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya IZINKAN AKU MENDUA (BAB 11 SAMPAI 20)
0
0
Bun, ini foto Ayah kan?Pertanyaan polos putra sulung Hannan membuatnya penasaran dan segera membuka beberapa pesan yang masuk di ponselnya melalui applikasi hijau.Hannan terkejut ketika membuka deretan foto dan video yang dikirim oleh nomor tak dikenalnya itu.Semua foto dan video itu menampakkan suaminya dari berbagai sisi memakai pakaian pengantin serba putih sedang melaksanakan prosesi pernikahan dengan seorang gadis yang mengenakan kebaya putih di sampingnya.Buru-buru Hannan menghubungi nomor Bang Randy, suaminya, yang memang sedang bertugas di Pulau ujung timur Indonesia.[Ini Abang, kan?][Aku menunggu penjelasan Abang!]JANGAN LUPA FOLLOW AKUNKU YA KAK🥰 -Aina Ra- 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan